Anda di halaman 1dari 6

Nama: Hanif Halim Wicaksono

NIM: 15122056

GEODESI SATELIT
TUGAS-2
Astronomi Geodesi
Geodesi astronomi adalah cabang ilmu geodesi yang memiliki karakteristrik yang menggunakan
pengamatan astronomi untuk menentukan posisi dan bentuk Bumi. Pengukuran posisi menggunakan
benda ekstraterrestrial, seperti bintang dan planet, telah menjadi bagian integral dari sejarah geodesi
astronomi. Secara sederhana, Astronomi Geodesi merupakan penerapan metode Astronomi dalam
proyek dan jaringan di bidang Geodesi. Disiplin ini melibatkan observasi dari arah garis tegak lurus.
Seiring waktu, teknik dalam Astronomi Geodesi telah berkembang, memungkinkan penentuan lintang
dan bujur yang tergeoreferensi.
Awal sejarah astronomi geodesi sudah ada sejak zaman kuno yang ditandai dengan Penggunaan bintang
sebagai referensi untuk navigasi dan pengukuran waktu. Bintang dianggap sebagai titik tetap di langit
dan digunakan sebagai landasan untuk menentukan arah dan posisi. Sejarah perkembangan Astronomi
Geodesi mencakup masa sebelum abad ke-2, di mana surveying menggunakan konsep Astronomi
sangat diperlukan. Prinsip dasar spherical astronomy, yang juga menjadi dasar dari Astronomi Geodesi,
telah digunakan di Yunani sejak awal. Seiring waktu, Astronomi Geodesi terus berkembang di Yunani
hingga pada awal abad ke-2, di mana disiplin ini telah mapan. Prinsip-prinsip Astronomi Geodesi
digunakan untuk menentukan lintang, bujur, dan sistem waktu. Sebelum tahun 1970, penentuan bujur
dan sistem waktu belum mencapai presisi optimal. Namun, sejak tahun 1970, kemajuan teknologi
semakin pesat, dan sekitar tahun 1980, peluncuran GPS dan GLONASS menjadi langkah signifikan
dalam perkembangan Astronomi Geodesi.
Parameter-parameter yang dapat ditentukan oleh astronomi geodesi adalah koordinat yang dapat
menetapkan lintang dan bujur hingga waktu. Selain itu juga dapat menghasilkan sistem koordinat yang
merujuk pada benda langit seperti bintang dan matahari. Contoh sistem koordinat yang memanfaatkan
astronomi geodesi adalah horizon, Hour Angle, dan Right Ascension. Selain itu juga, memperkenalkan
sistem waktu seperti waktu sideris dan waktu universal (solar time). Astronomi Geodesi juga
mempertimbangkan variasi koordinat yang disebabkan oleh nutasi, presesi, proper motion, dan
pergerakan kutub.

SLR (Satellite Laser Ranging)

Karakteristik SLR adalah SLR berbasiskan pada pengukuran jarak dengan menggunakan pulsa laser
yang ditembak dari stasiun di bumi ke satelit yang dilengkapi dengan retro-refrektor. Pulsa laser ini lalu
Nama: Hanif Halim Wicaksono
NIM: 15122056

dipantulkan kembali ke stasiun yang bersangkutan. Jarak antara stasiun di bumi dan satelit dapat
ditentukan dengan persamaan berikut
𝑑 = 𝑐. ∆𝑡/2
Dimana ∆t adalah waktu tempuh laser dari bumi ke satelit dan kembali lagi sedangkan c adalah
kecepatan cahaya.
Sistem SLR (Safellite Laser Ranging), yang mulai dikembangkan oleh NASA pada tahun t964 dengan
peluncuran satelit Beacon-Explorer B, adalah salah satu sistem penentuan posisi absolut yang paling
teliti saat ini. Sistem ini berbasiskan pada pengukuran jarak dengan laser ke satelit yang dilengkapi
dengan retro-reflektor laser. Setelah itu, dilakukan peluncuran beberapa satelit yang dilengkapi dengan
retroreflector, memungkinkan pengamatan satelit SLR ke berbagai jenis satelit seperti Satelit Geodetik
SLR, Satelit Inderaja, Satelit Navigasi GNSS, dan Satelit untuk Space Science. Pada tahun 1976, lebih
dari 100 stasiun melakukan pengukuran terhadap Lageos-1, salah satu satelit yang dilengkapi reflektor
dan digunakan oleh ILRS. Pada saat itu, berhasil diperoleh koordinat dengan akurasi mencapai 2
cm.Saat ini, stasiun SLR beroperasi di bawah naungan International Laser Ranging Service (ILRS),
yang merupakan layanan dari International Association of Geodesy (IAG). ILRS mencakup lebih dari
40 stasiun yang terletak secara bersamaan dengan GNSS, VLBI, dan DORIS. ILRS menetapkan standar
operasional jaringan dengan mengumpulkan dan memvalidasi data, yang kemudian dapat diakses oleh
pengguna melalui pusat data resmi ILRS, yaitu CDDIS (Goddard) dan EDC (DGFI).
SLR dapat digunakan untuk menentukan parameter-parameter orientasi bumi. Sebagai contoh posisi
kutub serta orentasi sumbu rotasi bumi. Selain itu SLR juga dapat digunakan untuk memantau variasi
sekular dari pergerakan kutub oleh post glacial rebound dan perubahan sekular dalam keseimbangan
massa lempengan es. Selanjutnya SLR dapat memberikan gambaran tentang respon kerak bumi
terhadap fenomena pasang surut lautan dan atmosfer. Disamping itu juga dapat menentukan variasi
posisi pusat bumi dan lainnya.

LLR (Lunar Laser Ranging)


LLR memiliki konsep prinsip kerja yang mirip dengan SLR. Perbedaan mendasar antara LLR dan SLR
adalah posisi retro reflektor yang diletakkan pada permukaan bulan. Karakteristik LLR adalah LLR
berbasiskan pada pengukuran jarak dengan menggunakan pulsa laser yang ditembak dari stasiun di
bumi ke permukaan bulam yang dilengkapi dengan retro-refrektor. Pulsa laser ini lalu dipantulkan
kembali ke stasiun yang bersangkutan. Jarak antara stasiun di bumi dan satelit dapat ditentukan dengan
persamaan berikut
d=c.∆t/2
Nama: Hanif Halim Wicaksono
NIM: 15122056

Dimana ∆t adalah waktu tempuh laser dari bumi ke satelit dan kembali lagi sedangkan c adalah
kecepatan cahaya.
Lunar Laser Ranging (LLR) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1962 sebagai bagian dari Program
Apollo NASA. Publikasi tersebut pada tahun 1962 mencatat data yang konsisten dan memiliki kualitas
yang baik. Meskipun sebenarnya, LLR sudah beroperasi sejak tahun 1960. Sejak tahun 1969, beberapa
observatorium mulai mengungkapkan hasil eksperimen LLR menggunakan retroreflektor lunar.
Satu dari retroreflektor laser yang terkenal adalah "Apollo 11". Pada bulan Juli 1969, Misi Apollo 11
berhasil menempatkan 100 reflektor di Bulan. Kemudian, pada November 1970, Misi Luna 17
(Lunakhod 1) membawa Reflektor Prancis, tetapi sayangnya tidak dapat digunakan karena tertutup
debu. Pada bulan Februari 1971, Misi Apollo 14 menyimpan 100 reflektor, dan pada bulan Juli tahun
yang sama.

parameter parameter yang dihasilkan oleh LLR adalah Koordinat stasiun pengamat, Kecepatan stasiun
pengamat, Rotasi Bumi, Orientasi Sumbu Rotasi, Presesi, Nutasi, Koordnat reflektor, Posisi Bulan,
Kecepatan Bulan, GM, Bumi maupun Bulan, Rotasi Bulan, Medan gaya berat bulan, Parameter
elastisitas, Parameter dispasi, dan percepatan sekular bulan.

VLBI (Very Long Baseline Interferometry)


Very Long Baseline Interferometry adalah Teknik penentuan posisi relative dengan menggunakan data
fase dari gelombang radio yang dipancarkan oleh kuasar, yaitu benda langit pemancar gelombang radio
alamiah. Teknik ini adalah Teknik penentuan posisi yang paling teliti untuk baseline (jarak antar titik)
yang relatif panjang. Prinsip dasar VLBI adalah dengan menggunakan 2 sistem VLBI yang terpisah
dengan jarak tertentu untuk mengamati suatu kuasar yang sama. Data-data yang diamati oleh kedua
sistem ini selanjutnya dikorelasikan. Dari proses korelasi ini selanjutnya akan diperoleh data
pengamatan berupa perbedaan waktu tempuh sinyal'dari kuasar ke kedua stasiun (group delagl,
perbedaan fase dari kedua sinyal Qthase delagl, serta laju dari kedua delag tersebut (delagrate).
Nama: Hanif Halim Wicaksono
NIM: 15122056

Teknik Very Long Baseline Interferometry (VLBI) awalnya muncul dalam ranah Radio Astronomi,
yang mendalami struktur sumber gelombang radio di luar angkasa dengan resolusi ketelitian angular
yang tinggi. Pada awal 1950-an, radio interferometer dan antena-antena sudah dihubungkan
menggunakan kabel, waveguide, atau radio links yang dapat terpisah oleh ribuan kilometer atau lebih.
Pada awal tahun 1967, Radio Astronom Amerika Serikat dan Kanada melakukan eksperimen yang
mengumpulkan data dari antena yang terpisah oleh jarak yang sangat jauh, dan teknik ini kemudian
dikenal sebagai Very Long Baseline Interferometry (Kellermann, 2020).
Saat ini, stasiun VLBI terus mengalami perkembangan. Terdapat 33 stasiun dari International VLBI
Service for Geodesy and Astrometry (IVS) yang menghasilkan produk seperti Terrestrial Reference
Frame (TRF), the International Celestial Reference Frame (ICRF), dan Earth Orientation Parameters
(EOP) (Abidin, 2001).
Parameter-parameter yang dihasilkan dari teknik VLBI adalah Pergerakan kutub, Laju pergerakan
kutub, UTI, LOD, Nutasi.

GNSS (Global Navigation Satellite System)


Global Navigation Satellite System (GNSS) adalah sistem penentuan posisi berbasis antariksa yang
terdiri dari satu atau lebih konstelasi satelit dan infrastruktur augmentasi yang diperlukan untuk
mendukung tujuan kegiatan berupa posisi, navigasi dan waktu dan tersedia selama 24 jam dimanapun
pengguna berada di seluruh permukaan bumi (Hofmann-Wellenhof, B, 2018). Prinsip dasar
menggunakan GNSS untuk penentuan posisi seperti pemotongan ke muka (Resection) dalam survei
konvensional (Fajriyanto, 2009). Data yang diukur untuk penentuan posisi dengan GNSS adalah jarak
dari penerima ke setidaknya tiga satelit, sehingga posisi penerima GNSS dapat ditentukan
(Fajriyanto,2009). Secara visual prinsip dasar penentuan posisi menggunakan GNSS dapat dilihat
pada berikut.
Nama: Hanif Halim Wicaksono
NIM: 15122056

Sejarah Global Navigation Satellite System (GNSS) dimulai pada tahun 1960-an dengan
pengembangan sistem navigasi satelit pertama, Transit System, oleh Amerika Serikat untuk keperluan
militer. Transit System memberikan posisi navigasi dengan beberapa satelit yang mengorbit Bumi. Pada
tahun 1970-an, sistem ini ditingkatkan dengan integrasi jam atom akurat dalam Timation System.
Perkembangan signifikan terjadi pada akhir 1970-an dengan pengembangan sistem GNSS pertama,
yaitu Global Positioning System (GPS), oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. GPS mulai
dioperasikan pada awal 1980-an dan awalnya digunakan untuk keperluan militer sebelum dibuka untuk
penggunaan sipil. Pada periode yang sama, Uni Soviet juga mengembangkan sistem navigasi satelit
mereka, GLONASS, yang mencapai operasional penuh pada awal 1990-an. Selain itu, berbagai negara
dan organisasi mengembangkan sistem navigasi satelit lainnya seperti Galileo (Uni Eropa) dan BeiDou
(China). Seiring berjalannya waktu, teknologi GNSS semakin terintegrasi dalam berbagai aspek
kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian integral dalam aplikasi dan perangkat modern, menyediakan
cakupan dan akurasi yang tinggi secara global.
Parameter yang dapat diberikan oleh GNSS dapat berupa Posisi lintang, bujur, dan altitude, waktu,
kecepatan, arah, dan undulasi geoid.

Satelit Altimetri
Satelit altimetri adalah teknik pengukuran yang menggunakan sinyal dari satelit untuk menggambarkan
kondisi topografi dalam laut. Satelit altimetri diperlengkapi dengan pemancar pulsa radar (transmiter),
penerima pulsa radar yang sensitif (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, altimeter
radar yang dibawa oleh satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang elektromagnetik (radar) ke
permukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh
satelit. lnformasi utama yang ingin ditentukan dengan satelit altimetri adalah topografi dari muka laut.
Hal ini dilakukan dengan mengukur ketinggian satelit di atas permukaan laut (a) dengan menggunakan
waktu tempuh (Dt) dari pulsa radar yang dikirimkan ke permukaan laut dan dipantulkan balik ke satelit,
sebagai berikut:
𝑑 = 𝑐. ∆𝑡/2

Satelit Altimetri pertama kali dioperasikan oleh Amerika Serikat melalui misi Skylab dan Geos3 pada
tahun 1978 (Seasat) dan pada tahun 1985 (Geosat). Pada tahun 1981, Poseidon sedang dievaluasi oleh
French Space Agency (CNES), sementara NASA, pada waktu yang sama, berupaya meningkatkan
kualitas Seasat dan merencanakan misi Topex (Topography Experiment). Pada tahun 1987, CNES dan
NASA bergabung untuk bekerja sama dalam suatu proyek. Selanjutnya, pada tahun 1991, European
Space Agency (ESA) meluncurkan ERS-1 yang dilengkapi dengan radar altimeter. Selama periode misi
Topex/Poseidon, beberapa misi altimetri lainnya juga diluncurkan, termasuk ERS-2 (1995), GFO
(1998), Jason-1 (2001), dan Envisat (2002).
Nama: Hanif Halim Wicaksono
NIM: 15122056

Satelit Altimetri memiliki kemampuan untuk mengukur berbagai parameter. Dengan menggunakan data
waktu tempuh sinyal, satelit ini dapat memberikan informasi mengenai posisi vertikal permukaan laut,
topografi muka laut (SST), undulasi geoid, topografi es, serta lokasi dan kecepatan arus laut. Selain itu,
data mengenai bentuk dan struktur muka gelombang pantul dapat memberikan informasi tentang tinggi
dan panjang gelombang laut dominan, termoklin, dan kemiringan lapisan es. Data amplitudo gelombang
pantul juga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kecepatan angin permukaan
sepanjang jalur lintasan satelit serta batas laut atau es.

Referensi
https://www.academia.edu/29577066/Geodesi_Satelit

https://repo.itera.ac.id/assets/file_upload/SB2108270011/23117014_4_125150.pdf

Anda mungkin juga menyukai