Anda di halaman 1dari 232

Bandung Kota Cerdas Pangan

Membangun Sistem
Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Penulis :
Theresia Gunawan, Pius Sugeng Prasetyo, Tini Martini Tapran,
Siti Fatimatul Wafiroh, Beby Nurtesha Putri, Vrameswari Omega Wati,
Renaldi Stevanus, Shofaa Fairuuz Salsabila Respati, Jessica Anqeligue,
M. Gulam Faridz, Ruben Hisar Eriyono Manik, Febriani Yusnikana,
Lely Ayukusuma Bakti, Ruth Latreia Theo Saphira, Zulaekha Amalia,
Salsabila Dwi Putri Perbatas, Yosefa, Hansen William, Nadya Alyssa,
Jeremia G.P. Simanjuntak, Yuliana Maria Mediatrix,
Fransiska Anita Subari, Jeany Nataly Giaviany
Editor :
Hansen William, Harris Kristanto
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

DAFTAR ISI

PENGANTAR UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN ii

PENGANTAR RIKOLTO INDONESIA iv

PENGANTAR MILAN URBAN FOOD POLICY vi

PENGANTAR DKPP KOTA BANDUNG viii

KEGIATAN URBAN FARMING KETAPANG-KITA.ID 1

ANALISIS KAMPANYE SOSIAL MEDIA & PUBLIKASI BANDUNG

FOOD SMART CITY TAHUN 2021 19

PENGETAHUAN MAKANAN DAN KANTIN SEHAT DI LIMA

SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA BANDUNG 33

ANALISIS RANTAI PASOK PANGAN SEGAR DI KOTA BANDUNG

BERDASARKAN POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA 49

EFEKTIVITAS PRAKTIK “BURUAN SAE” DALAM MENDUKUNG

KETAHANAN PANGAN DI KOTA BANDUNG 67

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP EKOLABEL, MINAT BELI

DAN KAMPANYE EKOLABEL DI INDONESIA 87

i
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PENGANTAR
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Langkah untuk membangun Kota Bandung sebagai Kota Cerdas Pangan menunjukkan
bahwa pemerintah dan masyarakat mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk
mewujudkannya. Program dan gerakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
Kota Bandung ini pada dasarnya merupakan dukungan kesepakatan global yang tertuang
dalam Sustainable Development Goals – SDGs khususnya nomor (2) Zero Hunger, dan (12)
Responsible consumption and production. Sedangkan secara nasional langkah ini untuk
mendukung kebijakan di sektor pangan yang juga tertuang dalam RPJMN 2020 – 2024.
Pemerintah Pusat juga melangkah dengan membangun sentra atau lumbung pangan
nasional (food estate) yang terdapat di beberapa lokasi seperti di Kalimantan Tengah
(Kalteng), Sumatera Selatan (Sumsel), Sumatera Utara (Sumut), dan Nusa Tenggara Timur
(NTT). Langkah ini sudah selayaknya untuk didukung oleh berbagai pihak baik pemerintah
daerah, lembaga non-pemerintah, sektor bisnis, kelompok masyarakat maupun dunia
pendidikan.
Kota Bandung yang masih memiliki ketergantungan pangan sangat tinggi, kurang
lebih 95%, dari kawasan di sekitar Bandung terus ambil bagian dalam upaya mewujudkan
ketahanan pangan kota. Berbagai program dan kegiatan dilakukan secara berkelanjutan
seperti “Buruan Sae” (Urban Farming), pelatihan pengelolaan sampah organik termasuk
sampah makanan (food waste), berbagai langkah penyadaran melalui berbagai media
seperti website, Facebook, Instagram, blogger. Demikian juga pengenalan kantin sehat di
sekolah-sekolah, serta pembuatan aplikasi food sharing yang bertujuan untuk membangun
solidaritas antar warga dalam memudahkan akses pangan. Kajian atau riset terkait dengan
isu pangan juga dilakukan seperti Efektifitas Urban Farming, Food Value Chain, dan Eco
Labelling. Keseluruhan kegiatan tersebut ditempatkan secara terintegrasi dalam konteks
untuk mewujudkan Bandung Kota Cerdas Pangan.
Program yang berkelanjutan ini dilakukan dengan format kolaborasi yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan baik dari pemerintah Kota Bandung khususnya dengan
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP), Bagian Kerjasama Kota Bandung,
maupun pihak-pihak non pemerintah seperti Rikolto – Belgia perwakilan Indonesia, Gerakan
Semangat Selalu Ikhlas – GSSI Bandung, Universitas Katolik Parahyangan Bandung,
kalangan perhotelan dan restoran, serta komunitas-komunitas yang ada dalam masyarakat,
demikian juga dengan media massa khususnya media digital.
Buku Bandung Kota Cerdas Pangan yang mengambil sub-tema Membangun Sistem
Ketahanan Pangan Kota Yang Berkelanjutan ini pada dasarnya merupakan kompilasi
laporan kegiatan yang dilakukan oleh tim kajian yang dilakukan selama tahun 2021 yang
diintegrasikan menjadi satu kesatuan untuk menopang sistem ketahanan pangan kota.
Keberlanjutan program ini juga didukung secara kelembagaan dengan pembentukan Tim
Bandung Kota Cerdas Pangan yg ditegaskan melalui Surat Keputusan Walikota Bandung

ii
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

No 521/Kep. 888-DKP Tahun 2021. Keanggotaan dan keterlibatan aktif Kota Bandung
dalam wadah Milan Urban Food Policy Pact, serta keanggotaannya sebagai Steering
Committee MUFPP untuk kawasan Asia Pacific juga semakin mengukuhkan Kota Bandung
dalam mewujudkan Kota Cerdas Pangan.
Program yang fokus pada isu pangan kota ini pada dasarnya akan sangat mendukung
ketahanan pangan kota. Bahkan dalam skala tertentu praktek Buruan Sae (urban Farming)
di Kota Bandung yang dari waktu ke waktu semakin meningkat jumlahnya dapat menjadi
lumbung pangan kota (city food estate). Saat ini terdapat 303 lokasi Buruan Sae yang
tersebar di seluruh kelurahan di kota Bandung. Berdasarkan data yang diperoleh
menunjukkan bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Tim Bandung Kota Cerdas
Pangan telah banyak melibatkan kaum perempuan. Bahkan bisa dikatakan bahwa sebagian
besar peserta yang terlibat adalah kaum perempuan misalnya ibu-ibu PKK dari kelurahan-
kelurahan di Kota Bandung. Selain itu kegiatan ini juga mencoba untuk menjangkau kaum
muda misalnya kelompok “penjaga bumi”. Langkah ini menjadi sangat penting ketika
internalisasi dan penyadaran akan pentingnya berperilaku cerdas dalam mengkonsumsi
pangan dan juga memberi perhatian pada keberlanjutan lingkungan.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang terus berkolaborasi. Secara khusus buku ini didedikasikan untuk mantan walikota
Bandung almarhum Bapak H. Oded M Danial yang menjadi pelopor dan banyak memberi
dukungan serta memberi inspirasi nyata melalui praktik-praktik Buruan Sae di Kota Bandung
dan bahkan mempraktikannya di kediaman rumah dinasnya sehingga bisa menjadi tempat
pembelajaran bagi banyak pihak. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian – DKPP Bapak Gin Gin Ginanjar dan para kolega di
DKPP, Ibu Nonie Kaban dari Rikolto Indonesia, juga kolega Tim Bandung Kota Cerdas
Pangan Theresia Gunawan, Tini Martini Tapran, Yosefa, Beby Nurtesha Putri, Vrameswari
Omega Wati, Jeremia Gom Gom P. S., Yuliana M. Mediatrix, Hansen William, Fransiska
Anita Subari, Jeany Natali Giaviany, Nadya Alyssa, dan para mahasiswa yang membantu
dalam kegiatan-kegiatan selama tahun 2021.
Semoga buku ini menjadi salah satu sumber inspirasi yang berguna bagi siapa saja yang
membacanya sehingga dapat menggerakkan berbagai pihak untuk ambil bagian dalam
rangka meningkatkan kepedulian terhadap isu pangan dan mewujudkan kota cerdas
pangan melalui aneka ragam kegiatan yang berkelanjutan. Semoga Tuhan senantiasa
memberkati langkah kita bersama. Terima kasih. Salam sehat.

Dr. Pius Sugeng Prasetyo

Koordinator Tim Bandung Food Smart City

iii
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PENGANTAR RIKOLTO INDONESIA

Pandemi COVID-19, yang menyebabkan dislokasi sosial dan ekonomi besar-besaran, telah
memunculkan sedikit keraguan tentang rapuhnya sistem pangan di seluruh dunia. Dalam
beberapa tahun terakhir, pakar pembangunan telah mendorong konsensus global tentang
perlunya perubahan mendasar dalam sistem pangan kita untuk meningkatkan
keberlanjutan dan kesetaraan. Dalam beberapa tahun terakhir, Rikolto Indonesia bekerja
sama dengan para mitra telah bergerak cepat dari fokus pada rantai nilai pertanian ke
pendekatan sistem pangan yang lebih luas. Kami ingin menginspirasi berbagai pihak untuk
bersama-sama mengatasi tantangan yang saling berkaitan satu dengan yang lain yaitu
kerawanan pangan, perubahan iklim, dan ketidaksetaraan ekonomi.
Program Kota Cerdas Pangan di Bandung merupakan satu contoh kerja sama multi
pihak yang telah kami bangun bersama UNPAR dan Kota Bandung untuk mendukung
ketahanan pangan, mengurangi dampak perubahan iklim, dan mengatasi ketidaksetaraan
ekonomi.
Dalam buku Bandung Kota Cerdas Pangan edisi ketiga ini menyajikan berbagai
kegiatan yang telah dilakukan di kota Bandung untuk mendukung kegiatan-kegiatan di atas.
Misalnya, 1) kegiatan urban farming untuk anak-anak, kelompok perempuan, serta
pembuatan modul “Tiwi dan Kunci Kulina” yang ditujukan untuk anak-anak, 2) hasil dari
berbagai bentuk kampanye penyadaran mengenai isu-isu pangan melalui sosial media yang
telah digunakan dan laksanakan oleh tim, 3) hasil riset kantin sehat di sekolah yang
menjelaskan mengenai peran penting kantin sebagai salah satu sarana pendidikan, 4)
analisis rantai pasok pangan segar di kota Bandung yang menyatakan bahwa pasar
tradisional masih menjadi tujuan favorit masyarakat kota Bandung untuk membeli bahan
makanan, 5) hasil riset tim mengenai keefektifan praktek Buruan Sae dalam mendukung
ketahanan pangan di kota Bandung, 6) serta riset dengan tema ecolabelling yang memberi
inspirasi pada gerakan produksi yang tetap peduli pada keberlanjutan lingkungan hidup.
Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di Bandung pun telah dibagikan ke berbagai
acara internasional misalnya pada kegiatan MUFPP global forum tahun 2021, juga
keterlibatannya sebagai narasumber maupun sebagai partisipan dalam forum COP-26,
serta peranannya sebagai anggota Steering Committee MUFPP untuk region Asia – Pacific.
Rikolto Indonesia sangat mengapresiasi kerja sama dan upaya-upaya yang telah
dilakukan Universitas Parahyangan sehingga program Kota Cerdas Pangan di kota
Bandung terlaksana. Kami juga mengucapkan terima kasih khususnya kepada Almarhum
bapak walikota Bandung, Bapak H. Oded M Danial dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan
dan Pertanian Kota Bandung, Bapak Gin Gin Ginanjar yang telah mendukung program Kota
Cerdas Pangan sampai terbentuknya Tim Kota Cerdas Pangan periode 2021-2023.

iv
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Kami berharap melalui buku ini, berbagai pihak dapat menggunakan informasi,
pelajaran dan contoh-contoh implementasi kegiatan ketahanan pangan di Kota Bandung
agar masyarakat luas dapat mengakses pangan sehat, bergizi, dan bernutrisi.

Denpasar, 8 Februari 2022

Nonie Kaban

Head of Programme Rikolto in Indonesia

v
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PENGANTAR
MILAN URBAN FOOD POLICY

Buku ini adalah sebuah kesempatan untuk mengungkapkan dan mendalami perjalanan
Kota Bandung dalam hal kebijakan pangan yang dibangun dalam kerjasama yang kuat
antara Universitas Katolik Parahyangan dan Rikolto.
Di Indonesia dan di seluruh wilayah Asia Pasific, Bandung semakin menunjukkan
sebagai kota yang mampu bertindak dalam tingkatan lokal untuk mengembangkan
serangkaian aksi yang bertujuan untuk memperbaiki sistem pangan melalui urban farming,
pencegahan sampah makanan, mendorong penyediaan makanan di sekolah dan sekaligus
membagikan pengetahuan mengenai hal tersebut ke dalam tingkatan nasional, sehingga
memberikan kontribusi dalam memperbaiki sistem pangan dunia.
Pada tahun 2020, Kota Bandung bergabung dengan Milan Urban Food Policy Pact
(MUFPP), jaringan pertama dan terkemuka yang beranggotakan lebih dari 220 kota yang
aktif dalam pertukaran, kerja sama dan perlindungan terhadap sistem pangan yang lebih
berkelanjutan dan inclusif. Di dalam jaringan ini, Bandung termasuk di dalam MUFPP
Steering Committee - bersama 12 kota lainnya dari seluruh dunia - dan telah meningkatkan
tujuan Pakta di Indonesia dan wilayah lainnya.
Sebagai pelopor bagi kota-kota di Indonesia, Kota Bandung mendorong para walikota
untuk menandatangani MUFPP dan mengembangkan kebijakan pangan Kota Semarang,
Surakarta dan Pekanbaru sehingga sekarang menjadi bagian dari komunitas yang menjadi
semakin diperkaya dengan kontribusi dari kota-kota di Indonesia, dengan tantangan dan
prioritasnya.
Peran penting Kota Bandung dalam mempromosikan kebijakan pangan
berkelanjutan dengan membagikan pengetahuan dan pengalaman untuk kota-kota lain
telah dikonsolidasikan di kawasan Asia Pasifik yang lebih luas melalui partisipasi dalam
Forum Global MUFPP, webinar internasional, dan Pelatihan Kebijakan Pangan MUFPP Asia
Pasifik.
Bagi Kota Bandung, Pakta Milan adalah sebuah panggung untuk mendukung
peningkatan inisiatif lokal dan internasional, sementara bagi Pakta Milan Kota Bandung
merupakan rekan kunci dalam mencapai tujuannya di Asia Pasific. Apa langkah
selanjutnya? Yaitu membuat proyek-proyek yang didanai bersama antara para pemangku
kepentingan di kota-kota dan wilayah seperti ASEAN, untuk menyelenggarakan kegiatan-
kegiatan regional yang bertujuan untuk maju bersama dalam menuju sistem pangan
berkelanjutan, memanfaatkan sorotan kepada Indonesia sebagai presidensi di G20.

vi
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Hanya dalam kurun waktu hampir dua tahun sejak pertama kali akar dari kerjasama ini
ditanam, kami telah mulai menuai manfaatnya. “Bandung Kota Cerdas Pangan:
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota yang Berkelanjutan“ akan menginspirasi kota-
kota lain untuk melakukan yang terbaik guna meningkatkan sistem pangan di masa yang
akan datang bagi masyarakat dan planet kita. Kita tidak memiliki pilihan lain selain berhasil.

Dr. Filippo Gavazzeni

Ketua Sekretariat Milan Urban Food Policy Pact

www.milanurbanfoodpolicypact.org

vii
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PENGANTAR DKPP KOTA BANDUNG

Selamat disampaikan kepada tim Universitas Parahyangan (UNPAR) untuk penerbitan


buku yang penting ini. Penting bukan hanya informasinya yang sangat kaya namun juga
mampu menggambarkan apa yang harus dilakukan di masa datang berkenaan dengan
konsensus Bandung menuju kota cerdas pangan (Food Smart City). Manfaatnya tentu dapat
dirasakan bukan hanya untuk UNPAR sendiri tetapi juga untuk Pemerintah Kota Bandung
(Pemkot Bandung), komunitas Urban Farming, dan masyarakat kota sebagai konsumen
pangan utama.
Kerja sama Government to University (G to U) antara Pemkot Bandung dengan
UNPAR sudah dilakukan sejak 2018. Kolaborasi dimaksud terus berlanjut dengan
meluaskan kerja sama teknis dengan Organisasi Perangkat Daerah Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian (OPD DKPP). Salah satu aksi kolaborasi yang terpupuk hingga saat
ini adalah dalam mengawal Kota Bandung sebagai anggota sekaligus Steering Committee
Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP) atau dalam sebutan lain Pakta Milan/Milan Pact.
Kota Bandung, yang sejak 6 Agustus 2020 tergabung sebagai salah satu dari 215
Kota di dunia yang menandatangani Pakta Milan, terpilih menjadi Steering Committee
MUFPP untuk periode 2021-2023 bersama dengan 12 kota di beberapa benua lainnya.
MUFPP sendiri adalah kesepakatan internasional antar kota yang berkomitmen untuk
mengembangkan sistem pangan perkotaan yang berkelanjutan, inklusif, tangguh, aman
dan ramah iklim, yang menyediakan makanan sehat dan terjangkau untuk semua.
Dengan menggandeng Rikolto Internasional, Kolaborasi UNPAR-OPD DKPP makin
meluas. Termasuk juga menyangkut pekerjaan riset untuk beberapa jenis penelitian pada
sektor pangan dan pertanian. Buku yang anda baca sekarang adalah hasil dari beberapa
penelitian yang dilakukan belum lama ini. Buku ini memuat enam bahasan penting antara
lain menyoal publikasi food smart city, kantin sehat, rantai pasok pangan, efektifitas Buruan
SAE hingga ecolabelling.
Makanan yang kita konsumsi menghasilkan sisa yang acapkali disebut sampah
makanan. Sedikit banyak, Kota Bandung menjadi entitas pendukung untuk skala Indonesia
yang menghasilkan sampah makanan terbesar kedua di dunia. Dengan karakteristik kota
padat penduduk, mengedukasi warga kota untuk mengurangi sampah makanan menjadi
sangat penting. Maka memberi informasi yang benar tentang makanan hilang (food loss)
terutama pada proses penyimpanan dan saat distribusi serta untuk mengurangi makan
terbuang (food waste) saat dikonsumsi (di pasar, restoran atau rumah) di wilayah Kota
Bandung perlu terus diupayakan konsistensinya.
Penyebarluasan informasi untuk mengedukasi masyarakat kota di masa sekarang
perlu mempertimbangkan kemajuan teknologi informasi. Pemanfaatan berbagai jenis
media, sebagai akibat dari majunya teknologi informasi, tentu dimaksudkan bukan hanya
untuk dapat menjangkau audiens yang luas dan tapi juga untuk menyasar berbagai
kalangan tanpa kecuali. Mengedukasi untuk pandai menemukenali bahan sisa yang (selalu)

viii
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

dianggap sampah dan dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih berguna adalah salah satu
contoh konten yang layak untuk dibagi pada berbagai bentuk sosial media.
Menyoal makanan yang berasal kantin di sekolah-sekolah yang berada di kota
menjadi bahasan dalam buku ini yang tak kalah menarik. Terlebih usia sekolah adalah input
sumberdaya manusia yang penting untuk masa depan kota. Memperhatikan makanan sehat
yang akan dikonsumsi penduduk kota pada usia sekolah yang dijual kantin-kantin di
lingkungan sekolah, menjadi sangat penting. Perlu langkah kolaboratif untuk
menggaungkan program kantin sehat dimulai dengan percontohan pada sekolah yang
relatif siap secara infrastruktur dan rekayasa sosialnya.
Untuk temuan-temuan hasil penelitian tim UNPAR pada sektor pangan dan pertanian
di atas, sebagai Kepala DKPP saya sangat terbantu. Temuan tersebut bukan hanya dapat
mewarnai wewenang DKPP seperti telah ditugaskan kepala daerah, tapi juga semakin
menggambarkan bahwa urusan pangan di Kota Bandung memiliki spektrum yang sangat
luas. Oleh karenanya menempatkan perhatian yang lebih pada sektor pertanian sebagai
penghasil pangan di perkotaan semakin penting dan seyogyanya dapat disadari semua
pihak.
Dalam melaksanakan kewenangan penyelenggaraan urusan pangan pertanian dan
perikanan, kami mengembangkan inovasi Buruan SAE sebagai program urban farming
terintegrasi. Manfaat program yang menghimpun delapan aktivitas sektor pertanian dan
perikanan yang saling terintegrasi satu sama lain dalam satu lokasi kegiatan ini, benar-benar
saya yakini. Dan dalam perjalanannya, dimana praktek Buruan SAE diorganisasikan untuk
diadaptasi banyak komunitas kota, sering kali saya greget ingin menampilkan bahwa
program yang diusung ini manfaatnya dapat dikuantifikasi. Sebagai founder Buruan SAE,
oleh karenanya, saya tidak terlalu heran jika peneliti dapat menemukan sederet angka yang
menggambarkan beragam manfaat tangible dan intangible-nya. Temuan penelitian penting
lainnya yang dimuat buku ini setidaknya juga dapat mengurangi greget saya itu, karena di
dalamnya pembaca dapat menemukan jawaban seluas dan sebesar apa manfaat Buruan
SAE dimata para peneliti yang mendalaminya. Pada buku ini pembaca dapat menyimak
manfaat-manfaat Buruan SAE dari lima aspek, yaitu: 1. Manfaat Ekonomi; 2. Manfaat
Lingkungan; 3. Manfaat Kesehatan; 4. Manfaat Sosial; dan 5. Manfaat Pendidikan.
Akhirnya, seperti telah disebut diawal pengantar, sekali lagi saya sampaikan
penghargaan setinggi-tingginya untuk UNPAR dengan telah selesainya penyusunan buku
yang komprehensif ini. Sudah barang tentu buku ini dapat berkontribusi baik untuk
perkembangan Bandung menuju kota cerdas pangan, sekaligus menjadi alternatif bagi
pembaca yang haus akan informasi tata kelola pangan di perkotaan. Terima kasih.

Ir. H. Gin Gin Ginanjar, M.Eng

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung

ix
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

x
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

KEGIATAN URBAN FARMING KETAPANG-KITA.ID


Tini Martini Tapran, Siti Fatimatul Wafiroh

Latar Belakang

Pandemi coronavirus (COVID-19) memiliki dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya
di seluruh dunia, baik dalam hal kesehatan maupun sosial ekonomi. Pada 11 April 2020,
WHO melaporkan 1,6 juta kasus dan hampir 100.000 kematian telah terjadi secara global.
Sementara COVID-19 tidak membeda-bedakan negara yang dimasukinya (FSIN, 2020),
apakah negara tersebut memiliki kerawanan pangan atau tidak. Bahkan negara dengan
food security yang baik dapat terancam juga. Kerawanan pangan akan menjadi konsekuensi
karena pandemi menjadikan pergerakan terbatas.
World Food Programme (WFP) sebelumnya telah memperingatkan bahwa pada
2020 akan menjadi tahun yang sulit bagi banyak negara yang dilanda oleh kemiskinan atau
perang. Sebanyak 135 juta orang terancam menghadapi krisis kelaparan atau lebih buruk
lagi. Angka tersebut ditambah dengan 821 juta orang yang saat ini tengah dilanda kelaparan
kronis, hal ini dapat mendorong lebih dari 1 miliar orang ke dalam situasi yang mengerikan
(Rizal, 2020). Dunia saat ini menghadapi krisis pangan dan kenaikan harga pangan sebagai
akibat dari kurangnya produktivitas pertanian (Maye, 2019).
Karakteristik krisis pangan sangat berbeda dengan krisis moneter. Krisis pangan
berdampak menciptakan kemiskinan jangka panjang. Imbas krisis pangan langsung pada
rakyat kecil dan krisis pangan menjadi sumber berbagai konflik baik antar rakyat dengan
negara maupun dengan rakyat, dan krisis pangan akan menghilangkan “generasi emas”
dalam beberapa dekade. Sebagaimana yang telah diakui oleh Bank Dunia bahwa lonjakan
harga pangan dunia menjadi penyebab utama banyaknya warga dunia yang jatuh ke bawah
garis kemiskinan (Carebesth, 2012).
Dari sudut pandang tantangan, virus Covid-19 melumpuhkan sebagian
perekonomian dan berdampak sangat luas untuk mengubah masyarakat dengan adaptasi
kebiasaan baru. Adaptasi kebiasaan baru juga memaksa masyarakat untuk membatasi
interaksi sosial dengan diam di rumah, sehingga distribusi barang terhambat. Daya beli
masyarakat yang menurun karena hilangnya pemasukan juga menjadi tantangan,
sementara pengeluaran konsumsi pangan akan terus bertambah setiap harinya. Bantuan
dari pemerintah yang terbatas, serta keterbatasan logistik menjadi tantangan bagi
masyarakat untuk bertahan dalam masa pandemi Covid-19.
Dari sudut pandang potensi yaitu pemanfaatan lahan, baik lahan tidur, ruang terbuka
hijau, pemanfaatan lahan pekarangan sangat potensial untuk dilakukan dalam bentuk pot
atau lahan kecil yang tersedia. Selain itu, program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan,
Manfaatkan) yang digiatkan Pemerintah Kota Bandung dapat digunakan sebagai
pendekatan urban farming. Mengingat lokasi berdekatan dengan tempat tinggal, maka

1
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

waktu luang dalam mengelola urban farming dapat dilakukan dengan baik. Selain itu,
kolaborasi dengan komunitas dan tingginya pengguna media sosial membuat penetrasi
program urban farming dapat diasah dengan baik.
Konsep urban farming di Ketapang-kita.id ini sejalan dengan SDGs 2030, yakni pada
poin (1) Tanpa Kemiskinan, (2) Tanpa Kelaparan, (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera, (8)
Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, (9) Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, (10)
Berkurangnya Kesenjangan, (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan, (12) Konsumsi
dan Produksi yang Bertanggung Jawab, (13) Penanganan Perubahan Iklim, dan (15)
Ekosistem Daratan. Sedangkan titik berat program ini terletak pada circular economy,
sejalan dengan SDGs poin (12), yakni konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, juga
sejalan dengan program Kota Bandung, yaitu Buruan Sae.
FAO (Food and Agriculture Organization) mencatat bahwa Indonesia adalah negara
dengan Food loss dan Food waste terbesar kedua di dunia. Berdasarkan sumber Badan
Ketahanan Pangan Kementan, sampah dan kehilangan pangan orang Indonesia jika
dikumpulkan dalam satu tahun jumlahnya mencapai 1,3 juta ton. Sehingga dirata-rata, satu
orang menghasilkan sampah dan kehilangan makanan 300 kilogram per tahun
(www.mediaindonesia.com, 2020). Terbuangnya bahan pangan dan makanan terjadi mulai
dari produksi pertanian, sistem manajemen pasokan dan logistik hingga di dapur dan meja
makan rumah tangga, restoran dan hotel juga ritel (FAO, 2011).
Setiap hari masyarakat Kota Bandung turut menyumbang produksi sampah yang
jumlahnya tidak sedikit. Rata-rata dalam satu hari masyarakat Kota Bandung menghasilkan
sekitar 1.500 ton sampah atau setara dengan luas satu lapangan sepak bola (Muhaemin,
2018). Untuk itu maka Ketapang-kita.id mengintegrasikan urban farming dengan
pengelolaan sampah organik sebagai bahan tambahan untuk media tanam serta mencegah
material organik sampai ke TPA.

Kegiatan-Kegiatan

Sebagai bentuk turut serta dalam mencapai tujuan SDGs 2030 pada poin 12 yang berkaitan
dengan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab maka Urban Farming Ketapang-
kita.id memiliki berbagai kegiatan sebagai berikut:

TOT Urban Farming untuk anak sekolah

Kota Bandung sudah mendeklarasikan sebagai Kota Cerdas Pangan (Food Smart City)
yang kemudian tergabung dalam keanggotaan dalam Pakta Milan (Milan Pact). Sebagai
tindak lanjutnya maka masyarakat dan pemerintah Kota Bandung terus melakukan berbagai
program/kegiatan yang diarahkan untuk semakin menumbuhkan kepedulian seluruh warga
Kota Bandung terhadap persoalan yang terkait dengan masalah pangan, serta untuk
meningkatkan kesadaran bersama dalam mengurangi limbah makanan (food waste).
Gerakan dilakukan juga untuk menumbuhkan rasa solidaritas antar warga dalam

2
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

pemenuhan kebutuhan pangan antar warga (food sharing), serta gerakan mendorong
warga untuk membangun pertanian kota (urban farming) sehingga dapat mendukung
ketahanan pangan kota di Ketapang-kita.id.
Ditambah dengan permasalahan sampah yang tak kunjung usai, karena hampir
1.500 ton sampah di Kota Bandung terkumpul setiap harinya dan sebagian besar dari
sampah tersebut berasal dari rumah tangga. Saat ini TPA Sari Mukti tempat warga Bandung
menumpukkan sampahnya sudah dalam keadaan penuh (overload). Artinya sudah tidak
bisa menampung sampah lagi, dengan kondisi TPA yang seperti ini maka diperlukan
gerakan masif agar tidak terjadi lagi kejadian Bandung lautan sampah seperti yang pernah
terjadi di tahun 2005
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah
menghadirkan program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan). Mulai dari
mengurangi, memilah, dan memanfaatkan sampah skala lingkungan rumah tangga,
sehingga akan menjadi solusi yang masif dan murah, serta melibatkan semua pihak dari
anggota keluarga dengan segala usia. Sehingga, pembelajaran Kang Pisman menjadi
penting untuk diedukasi dan dilakukan oleh seluruh masyarakat, dimulai dari usia kanak-
kanak atau PAUD, SD, SMP, sampai usia dewasa dan lansia. Sekaligus menjadi
pembangunan karakter untuk anak-anak usia dini. Peran pendidik sangat diperlukan dalam
membangun karakter peduli lingkungan di kalangan anak-anak.
Namun kenyataan di lapangan kegiatan di sekolah baik guru dan murid masih belum
seluruhnya diarahkan pada tujuan yang demikian. Banyak kendala yang ditemui sehingga
kompetensi ini jarang dicapai. Diantaranya adalah kurang memahami bagaimana
melakukannya, keterbatasan alat, dan sarana. Untuk itulah maka Ketapang-kita.id bekerja
sama dengan KOMED. Komunitas Media Pembelajaran (KOMED) merupakan wadah bagi
para guru di seluruh Indonesia dalam mengembangkan kompetensi profesionalitasnya
melalui workshop, seminar, dan pelatihan. Komunitas media pembelajaran berusaha
memfasilitasi guru yang selalu ingin terus belajar untuk maju dan mengambil bagian dari
peradaban yang dinamis, dengan menghasilkan sebuah karya sebagai bukti pemahaman
dan keseriusan belajar. Salah satu misi dari KOMED adalah terpenuhinya pengetahuan
yang dibutuhkan oleh anggota komunitas, dalam hal ini para guru. Untuk itu KOMED
berupaya menyajikan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pendidik di jaman
sekarang.
Ketapang-kita.id bekerja sama dengan KOMED mengadakan webinar Edukasi siklus
organik sebagai pendukung dari Kegiatan TOT Urban Farming untuk anak sekolah.
Dilatarbelakangi oleh tingkat kompleksitasnya yang tinggi untuk mengedukasi isu sampah
makanan kepada anak-anak sehingga membutuhkan strategi khusus bagi anak untuk
mengenalkan proses panjang mendapatkan makanan sampai ke piring/meja yang
menyebabkan banyaknya makan yang terbuang selama proses tersebut. Tujuan dari
kegiatan ini yaitu untuk mengenalkan anak pada isu sampah makanan seperti masalah dan
dampaknya untuk bumi, mengajak anak berperan aktif dalam mengelola sampah makanan
melalui kegiatan sehari-hari hingga anak melihat hasil dari usahanya dan mendapatkan

3
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

apresiasi. Selain mengurangi dan mengelola sampah makanan anak-anak menggunakan


pun diajak untuk mulai menanam makanannya sendiri secara sederhana.
Workshop edukasi siklus organik untuk anak-anak dilakukan melalui kegiatan
workshop bagi guru-guru di Kota Bandung yang dilaksanakan pada tanggal 14, 28, Agustus
dan 11, 25 September 2021 melalui Zoom meeting pada pukul 09.00 – 12.00 dengan target
40 guru yang terlibat. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan workshop para peserta diminta
membuat media pembelajaran bagi anak-anak dengan menggunakan modul edukasi siklus
organik. Dari workshop ini terkumpul 20 media pembelajaran, salah satunya adalah Belajar
Siklus Organik Lewat Cerita (https://youtu.be/fyx0jwZ9xu4 dan https://youtu.be/lG-
aZm3DEdo).

Gambar 1. Media pembelajaran hasil kerja sama KOMED – Ketapang-kita.id

Tabel 1. Media pembelajaran yang terkumpul setelah workshop


NAMA ASAL SEKOLAH MEDIA PEMBELAJARAN
Neng Wina Apriliana SD Gemilang Kartu Lingkungan
Hasna SD Gemilang Kartu Lingkungan
Ammy Kudo Eco Cerah School Game siklus organik
Ammy Kudo Eco Cerah School Dongeng siklus organik
Suhendar SDN 098 Ciroyom Video Edukasi “Memilah Jenis-jenis Sampah”
Citra Amalia SD Gemilang Board game rantai makanan
Citra Amalia SD Gemilang Congklak jenis makanan hewan
Milda Sekolah Alam Bandung Pembelajaran Alam
Neng Wina SD Gemilang Game alam
Citra Amalia SD Gemilang Word wall dan quiz lingkungan
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Cerita "Bana Si Pisang Berjalan-jalan”
Ii Wartini, S.Pd. SDN Arcamanik 04 Word wall Hidup Bersih dan Sehat
Sukmawanti, S.Pd. SDIT AL MUMTAZ Membuat karya 3 dimensi berupa hiasan pensil dari bulu ayam
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Cerita Edukasi “Tiwi dan Pusaran Kehidupan” (Seri 2 Gempita)
Sukmawanti, S.Pd. SDIT AL MUMTAZ Media Pembelajaran Interactive Board
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Edukasi Membuat Ecobrick
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Edukasi Membuat Pupuk Kompos
Citra Amalia hsg gemilang Food chain chess
IRA SDIT Mutiara Islam Warick (Wayang Ecobrick)
Elis Suciati, S.Pd.I, M.M. MIN Bandung Tabla perkalian
PURWANTO, S.Pd KB IT ALMAWADDAH WAKUTIK (WAYANG KULIT TEMATIK)

4
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Selain lewat guru-guru, TOT Urban Farming juga langsung menyentuh anak-anak.
Dilaksanakan di RW 02 Jamaras Kelurahan Jatihandap, peserta yang terlibat dalam
kegiatan ini yaitu 18 anak dari RW 02 Jamaras. Anak-anak yang tergabung dalam
BACILUNG (Barudak Cinta Lingkungan) melakukan kegiatan tanam menanam. Dalam
kegiatan ini anak-anak mendapat penjelasan tentang sistem pernapasan pada tumbuhan
dan manusia sehingga anak-anak faham bahwa manusia hidupnya bergantung juga pada
tanaman. Ada simbiosis mutualisme antara tanaman dengan manusia sehingga kita harus
bisa merawat keberadaan tanaman di sekitar kita. Anak-anak mulai diajak menanam yang
dimulai dengan mengolah sampah organik sebagai salah satu media tanamnya.

Gambar 2. TOT Urban Farming untuk anak-anak RW 02 Jamaras

Dalam mentransfer semangat menjaga lingkungan pada anak-anak dibutuhkan


inovasi salah satunya dengan membuat ular tangga lingkungan agar dalam mengedukasi
anak-anak bisa dilakukan sambil bermain, karena kami percaya melalui permainan yang
menyenangkan anak-anak bisa menyerap lebih banyak informasi. Untuk itulah maka
Ketapang-kita.id bekerja sama dengan STTB membuat board game ular tangga sebagai
bagian dari seri edukasi Tiwi. Proses pembuatan board game ini melibatkan dosen dan
mahasiswa DKV STTB dengan ide awal dan materi dari bu Tini (Ketapang-kita.id)

Gambar 3. Brosur board game Tiwi dan Ular Tangga

5
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tiwi dan Ular Tangga adalah sebuah permainan sejenis ular tangga, akan tapi tidak
seperti ular tangga pada umumnya. Permainan ular tangga ini memiliki papan permainan
dengan ukuran yang besar dibandingkan dengan ular tangga pada umumnya. Tidak
terdapat pion disini karena yang menjadi pion adalah para pemain yang nantinya akan
berada di dalam papan permainan. Permainan ini dilakukan oleh 3-4 orang dan dipandu
oleh satu orang, pemandu ini bertugas untuk mengawal jalannya permainan dan
memberikan kartu yang dibutuhkan oleh para setiap pemainnya. Pemain yang bisa sampai
pada finish terlebih dahulu maka dia adalah pemenangnya. Segmentasi dari Board Game
Tiwi dan Ular Tangga ini adalah usia 9-11 tahun atau setara dengan kelas 3-5 SD. Tujuan dari
permainan ini adalah untuk mengedukasi mengenai lingkungan kepada anak. Dengan
adanya permainan ini, diharapkan proses edukasi lingkungan pada anak menjadi lebih
efektif dan lebih menyenangkan.
Di launching di Kawasan Bebas Sampah Cibunut yang merupakan dampingan Bu Tini
(2015-2020) oleh ibu Walikota Bandung Ibu Siti Mumtamah S.AP, serta uji coba pada anak-
anak BOCIL (bocah cinta lingkungan) Cibunut. Keseluruhan acara bisa di lihat di
https://youtu.be/5RJOW35KnA

Gambar 4. Launching board game Tiwi dan Ular Tangga di Cibunut

Bootcamp Penjaga Bumi

Dilatarbelakangi oleh krisis iklim yang semakin hari semakin parah, dengan pertimbangan
bahwa manusia adalah penyebab kerusakan alam akan tetapi manusia juga yang dapat
menjadi faktor penyembuhnya. Cara yang efektif untuk menyembuhkannya yaitu dengan
mengubah sistem manusia agar selaras dengan alam dari bentuk liner menjadi siklus.
Tujuan diadakannya kegiatan ini yaitu untuk meningkatkan kesadaran anak tentang
kerusakan alam akibat ulah tangan manusia, memahamkan sistem keselarasan dan
ketidakselarasan dengan alam, serta mengajak berkontribusi untuk keberlangsungan alam
di masa depan yang berkelanjutan. Bootcamp Penjaga Bumi diikuti oleh 24 orang anak yang

6
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Sebagian besarnya pesertanya adalah finalis lomba Duta Baca. Lomba Duta Baca ke-8
diselenggarakan oleh Dinas Arsip Dan Perpustakaan Kota Bandung. Bekerja sama dengan
Rikolto, Ketapang-kita.id, dan POKJA Literasi Kota Bandung. Kegiatan bootcamp pemuda
penjaga bumi dilaksanakan secara offline dengan menggunakan protokol kesehatan secara
ketat, di Eco Camp Learning Centre pada tanggal 27-28 November 2021. Anak-anak Duta
Baca ini sudah melalui 5 tahapan untuk menjadi duta baca sbb:
1. Tahap pertama anak-anak dibekali kemampuan untuk menganalisis dan
mengobservasi permasalahan lingkungan sekitar yang menjadi keresahannya untuk
mereka cari solusinya.
2. Anak-anak di bekali dengan materi Kang Pisman oleh Bu Riri dari DLHK dan Buruan
Sae oleh Pak Willy dari DKPP, serta bagaimana cara mengimplementasikan
keduanya di lapangan oleh ibu Tini Martini Tapran dari Ketapang-kita.id.
3. Setelah anak-anak mendapat materi dan menganalisis dari hasil observasinya.
Karena di tahapan selanjutnya anak-anak diminta mencari solusi dan akan
dipresentasikan di tahap 4, maka di tahap tiga ini anak-anak boleh mengajukan
pertanyaan sebanyak-banyaknya pada pemateri sehingga nanti dalam memaparkan
hasil observasinya bisa lebih optimal.
4. Tahap 4 anak-anak mengirimkan hasil observasinya dan terpilihlah 23 finalis yang
berhak untuk memaparkan idenya di hadapan 5 juri.
5. Tahap terakhir terpilih 6 anak yang menjadi pemenangnya

Gambar 5. Suasana Bootcamp Pemuda Penjaga Bumi

7
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Karena beberapa finalis duta baca tidak diizinkan oleh orang tuanya maka kami
menambahkan anak-anak dari komunitas literasi lingkungan lainnya. Kegiatan bootcamp
penjaga bumi berlangsung selama 2 hari satu malam dengan materi hasil racikan Ecocamp
dan Ketapang-kita.id. Materi yang diberikan adalah materi dasar bagaimana interaksi
manusia dengan alam yang sesungguhnya. Diakhiri dengan prosesi pengukuhan pemuda
penjaga bumi, pengambilan komitmen dan diakhiri dengan pembagian tanaman rumput
mutiara sebagai simbol dari komitmen mereka untuk menjaga bumi ini dengan menjaga
tanaman yang diberikan. Harapannya mereka dapat membagikan semangatnya pada
teman-temannya karena mereka adalah agen-agen perubahan untuk bumi yang lebih baik
dimasa yang akan datang. Tak lupa mereka diberi PR untuk menuangkan ide-ide mereka
dalam sebuah proposal sederhana agar kami bisa melihat potensi kolaborasi, baik diantara
mereka maupun dengan berbagai pihak. Dari acara bootcamp ini terbentuk komunitas
Pemuda Penjaga Bumi, meskipun mereka punya projek masing-masing, namun akan saling
mendukung dan akan sharing baik online maupun offline di awali dengan sharing dari Fidelia
tentang Eco Enzyme melalui aplikasi Zoom (https://youtu.be/GfmdxZjV7jg) dan salah satu
project yang cukup membanggakan ada siswi SMPN 45 yaitu Thara dan Myeisya yang
ikutan lomba bergengsi dengan mendapat penghargaan medali emas di ajang internasional.
(https://www.instagram.com/pemudapenjagabumi.id).

Gambar 6. Instagram Pemuda Penjaga Bumi

Penyusunan Buku

Ketika bicara makanan di Indonesia, sampah makanan sangat erat terhubung. Di satu sisi
Indonesia adalah penghasil sampah makanan nomor dua terbesar di dunia. Di sisi lain
tingkat kelaparan di Indonesia termasuk dalam taraf berat, dengan 19.4 juta penduduk
mengalami gizi buruk. Ini sama saja dengan membiarkan saudara kita kelaparan sementara
kita membuang-buang makanan.
Sampah makanan terdiri dari dua bagian, yaitu Food Loss (makanan hilang) dan Food
Waste (makanan terbuang). Food loss adalah semua bahan pangan yang hilang sebelum
mencapai konsumen, biasanya pada tahap produksi, penyimpanan, dan distribusi.
Sedangkan food waste adalah makanan yang berada dalam kondisi baik dan siap makan,
tetapi tidak dikonsumsi. Food waste umumnya terjadi pada tahap penjualan dan konsumsi
(contoh nya di pasar, restoran, atau di rumah).

8
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tiwi dan Kunci Kulina adalah paket modul edukasi untuk pendidikan isu sampah
makanan pada anak-anak usia Sekolah Dasar (8-12 tahun). Mengedukasi isu persampahan
kepada anak-anak tentulah membutuhkan strategi secara fokus dan khusus. Penyusunan
buku Tiwi dan Kunci Kulina dimaksudkan untuk membuat sebuah modul yang berfokus pada
dua strategi yaitu: Memperkenalkan isu sampah makanan yang dekat dengan dunia anak
dalam kehidupan sehari-hari dan membekali anak dengan wawasan, pengalaman dan
keterampilan yang berguna untuk memecahkan masalah sampah makanan dalam skala
lokal atau sederhana. Dengan tujuan untuk menyadartahukan isu sampah makanan pada
anak-anak SD dengan cara yang menyenangkan serta mendorong penerapan solusi
sampah makanan ditingkat sekolah melalui peran serta pendidik dan anak didik.

Gambar 7. Layout Buku Modul dan Story book Tiwi & Kunci Kulina

Paket modul Tiwi dan Kunci Kulina terdiri dari, Panduan pelaksanaan edukasi untuk
pendidik, buku cerita anak, alat peraga dan pendukung edukasi. Setelah mengikuti
rangkaian kegiatan modul Tiwi dan Kunci Kulina, diharapkan anak:
1. Paham definisi sampah makanan
2. Tahu asal-usul serta dampak sampah makanan
3. Mengenali sumber-sumber sampah makanan di lingkungan sekitar (rumah/sekolah)
4. Dapat menemukan solusi sederhana dan efektif untuk mengurangi sampah makanan
di sekitarnya
5. Dapat mempraktekkan solusi tersebut dalam kehidupan sehari-hari

Paket modul Tiwi dan Kunci Kulina dapat digunakan baik secara offline maupun online di
sekolah kegiatan sanggar, rumah baca, PKBM, komunitas belajar lainnya bahkan kegiatan
bersama keluarga di rumah
Modul ini menggunakan metode:
1. Child-centered (berpusat pada anak)
2. Experiential learning (belajar melalui pengalaman indra dan refleksi)
3. Facilitation (orang dewasa mendampingi dan belajar bersama anak)

9
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Gambar 8. Empat tahapan pembelajaran Modul Tiwi & Kunci Kulina

Gambar 9. Salah satu alat pendukung edukasi berupa stiker reward

Workshop Pengomposan dan Pembuatan MOL & Eco Enzyme

Penyelesaian masalah persampahan di kota Bandung memerlukan partisipasi masyarakat,


dari hasil pengamatan ternyata pengurangan sampah dan jumlah rumah tangga yang
memisahkan sampah belum signifikan sehingga masih perlu dicarikan cara bagaimana
mengedukasi masyarakat untuk memisahkan sampah sejak dari sumber (rumah tangga).
Di sisi lain pun ada kesulitan dari masyarakat yang sudah mulai memisahkan
sampahnya namun di lingkungan rumahnya belum tersedia layanan pengambilan sampah
secara terpisah sehingga membuat masyarakat enggan untuk memisahkan sampahnya
karena belum punya keterampilan pengolahan sampahnya terutama sampah organik.
Dari pengalaman Ibu Tini mendampingi KBS RW 07 Cibunut Kelurahan Kebon
Pisang, bahwa untuk mengedukasi masyarakat dibutuhkan kader lingkungan setempat
yang bisa mengedukasi masyarakat secara terus menerus dan juga butuh role model, juga
dari hasil obrolan (FGD) dengan masyarakat dan pengurus RW dibuatlah sekolah
kehidupan yang dimulai di RW 06 pada bulan September 2020 dengan 24 ibu sebagai siswa
nya. Selayaknya sekolah maka di sekolah kehidupanpun di pilih kepala sekolah, ketua
kelas dan tentunya ada guru/tutor. Juga disusun kurikulum lengkap dengan tugas rumah
(PR) dan ujian. Sekolah kehidupan RW 06 Cikutra juga bermitra dengan SITH ITB. Rentang
waktu kegiatan sekolah Kehidupan.

10
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Kompetensi yang diharapkan dari siswa sekolah kehidupan adalah


1. Memahami permasalahan sampah secara holistic sehingga dapat
memahami permasalahan lingkungan secara global.
2. Dapat memisahkan sampah minimal 2 jenis, sampah organik tidak boleh
bercampur dengan sampah lainnya karena sampah organik lah yang
menyebabkan sampah bau, jijik, dan jorok
3. Dapat mengolah sampah organik dengan Teknik pengomposan sederhana
sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan lahan
4. Dapat membuat Eco Enzyme dan MOL
5. Menanam sayuran dengan memanfaatkan kompos sebagai media tanam
6. Dapat menyampaikan Kembali materi yang didapat di sekolah kehidupan
pada masyarakat baik lisan maupun tulisan sederhana

Sekolah kehidupan sudah dilakukan sepanjang 2020-2021 di:


● RW 06 kelurahan Cikutra gelombang 1 (20 orang) offline
● RW 06 kelurahan Cikutra gelombang 2 (17 orang) offline
● RW 01 dan 02 Jamaras gelombang 1 (20 orang) offline
● Kelurahan Kebon Pisang 1 gelombang (20 orang) offline
● TP-PKK kota Bandung dan RKI Jawa Barat (60 orang) online
● KOMED ( komunitas media pembelajaran) (40 orang) online

Seperti biasa kegiatan tanam menanam di perkotaan (Urban Farming) sering kali
menghadapi kendala yaitu kesulitan mendapatkan media tanam. Salah satu solusinya
adalah dengan mulai dari pengelolaan sampah organik dari rumah melalui sistem
pengomposan, sehingga masyarakat mendapat dua nilai tambah yaitu bisa menyelesaikan
masalah sampah organik dan bonusnya bisa mendapatkan media tanam sendiri. Kegiatan
pengomposan dilakukan sebagai upaya pemanfaatan sampah organik menjadi media
tanam menanam dan mengurangi sampah masuk ke TPA. Ketapang-kita.id mengadakan
kegiatan pengomposan melalui workshop pengelolaan sampah organik baik secara rumah
tangga maupun komunal baik secara online maupun offline.
Salah satu kebutuhan dalam pengomposan adalah bagaimana mempercepat proses
pengomposan dan mengurangi bau yang timbul. Eco Enzyme dan MOL adalah salah satu
cara mengolah sampah makanan sebelum dikompos, juga diperlukan dalam proses
pengomposan serta menyelesaikan masalah pengomposan terutama mengurangi bau dan
mempercepat proses pengomposan.

11
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Urban Farming Ketapang-kita.id telah melaksanakan kegiatan workshop


pengomposan dan pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) & Eco Enzyme berkerja sama
dengan
1. Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) kota Bandung
2. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Bandung,
3. TP PKK Kota Bandung,
4. Komunitas Media Pembelajaran (KOMED) Kota Bandung,
5. Hijaber's Mom Community Kota Bandung
6. Rumah Keluarga Indonesia (RKI) Jawa Barat.
7. Pemuda Penjaga Bumi
8. Masyarakat peserta sekolah Kehidupan

Gambar 11. Pelatihan pengomposan

Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui ruang Zoom meeting dan offline
langsung di tempat. Tujuan diadakannya kegiatan ini sebagai upaya untuk memanfaatkan
bahan organik yang berpotensi menjadi sampah agar tidak terbuang sampai ke TPA.
Setelah workshop Ketapang-kita.id melakukan pendampingan melaui WA Grup selama tiga
bulan sejak pelaksanaan. Pelatihan diadakan dari bulan Agustus hingga November,
komunitas yang mendapatkan pendampingan selama tiga bulan yaitu TP PKK Kota
Bandung, RKI Jawa Barat, dan Komunitas Media Pembelajaran KOMED Bandung. Jumlah
partisipan yang terlibat dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:

JUMLAH PARTISIPAN JUMLAH KEGIATAN STAKEHOLDER


6 umum
8% 6 umum
6 umum
20% 1 PKK & RKI 1 PKK & RKI
5 HMC 23%
8% 20% 29%

1 PKK & RKI


45% 5 HMC
4 IWAPI
9% 10% 5 HMC
9%
4 IWAPI 2 KOmed/Guru
5% 25% 2 KOmed/Guru
3 Pelajar 4 IWAPI
14%
15% 11%
3 Pelajar 3 Pelajar
2 KOmed/Guru
20% 14%
11%

Gambar 10. Grafik jumlah partisipan, kegiatan dan stakeholder yang terlibat

12
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tabel 2. Jumlah partisipan workshop (daring maupun offline)


No Mitra Jumlah Partisipan Jumlah Kegiatan Stakeholder
1. PKK & RKI 434 4 10
2. KOmed/Guru 110 5 5
3. Pelajar 148 4 5
4. IWAPI 84 1 4
5. HMC 121 2 3
6. umum 78 4 8
TOTAL 975 20 35

Tabel 3. Banyaknya organik yang terolah


liter kg
1. Ecoenzyme 535 160,5
2. MOL 50 25
3. Kompos 3.244,779

Karena salah satu kompetensi dari sekolah kehidupan adalah tanam menanam
khususnya sayur dan buah maka kami juga mendata jumlah hasil panen setiap bulan setiap
kawasan dapatlah hasil 526,396 kg

Pembelajaran

Lulusan sekolah kehidupan memunculkan agen-agen perubahan di setiap kawasan, walau


tidak semua lulusannya namun cukup untuk membuat semangat perubahan di masyarakat.
Hal ini diperkuat oleh semangat kebersamaan dan program Kota Bandung yaitu Kang
Pisman dan Buruan Sae. Materi yang didapat di sekolah kehidupan adalah materi yang
sangat mudah di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan sangat dekat dengan
kehidupan mereka, sehingga masyarakat mulai bergerak dan membuat perubahan di
wilayahnya. Standar kompetensi yang diminta adalah mampu memisahkan dan mengolah
sampah yang akan dimanfaatkan untuk media tanam menanam sehingga masyarakat
dapat langsung praktekkan di rumah masing-masing, baik secara mandiri ataupun secara
komunal dan beberapa kami fasilitasi alat dan bahan untuk prakteknya.
Harapannya lebih banyak ibu yang teredukasi sehingga lebih banyak sampah organik
yang terolah dan lebih banyak tanaman yang tertanam sehingga mendorong ketahanan
pangan kota. Agar bisa di duplikasi ke berbagai tempat maka hal yang perlu dibuat adalah
membuat modul dan kurikulum yang dapat diaplikasikan oleh komunitas lain.
Karena ternyata dari alumni sekolah kehidupan ini muncul agen-agen perubahan dan
sebagian bisa menjadi narasumber baru di gelombang selanjutnya. Pembiasaan dan
pendampingan yang intens dapat membuat para ibu semangat dan membuat perubahan

13
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

nyata di lingkungannya sehingga apa yang menjadi tujuan pengurangan sampah dan
ketahanan pangan dapat tercapai secara perlahan tapi pasti.
Ketapang-kita.id mencoba menambah bahan ajar buku modul sebagai sarana
edukasi dalam serial Tiwi agar bisa menjadi sarana belajar bagi ibu-ibu untuk menjadi
pendidik di lingkungannya dengan target anak-anak. Mengenal siklus organik merupakan
salah satu langkah awal agar anak mengenal sekitarnya dan mengetahui bagaimana dan
kenapa harus menjaga kelestarian lingkungan. Namun, bagaimana proses belajar tersebut
perlu dilakukan? Apa yang perlu dilakukan oleh orang dewasa untuk mendampingi anak
mempelajari gagasan ini tanpa membuat anak merasa terbebani. Sebaliknya anak merasa
senang sekaligus terlibat dalam proses belajar. Buku "Tiwi & Pusaran Kehidupan" ini bisa
menjadi jawabannya. Cerita tentang Tiwi dan kawan-kawannya yang "menyelamatkan
pusaran kehidupan yang macet karena ulah manusia" buku ini menyajikan panduan yang
memudahkan fasilitator untuk mengedukasi anak tentang siklus organik baik secara offline
maupun online. Serial Tiwi saat ini sudah ada 3:
1. Tiwi dan Pusaran Kehidupan (modul dan booklet edukasi siklus organik untuk anak-
anak)
2. Tiwi dan Ular Tangga (board game edukasi lingkungan)
3. Tiwi dan Kunci Kulina (modul dan storybook edukasi pengurangan sampah makanan)

Dari berbagai usia dan mitra peserta workshop secara daring, yang langsung bisa
mengaplikasikan modul ini adalah guru-guru, hal ini karena mungkin guru sangat dekat
dengan kegiatan belajar mengajar terbukti langsung ada beberapa orang yang terinspirasi
dari buku ini saat mengajar di kelas. Kelompok ibu-ibu PKK dan RKI belum bisa optimal
menggunakan buku ini meskipun sebelum workshop buku modul ini sudah di kirim dan
diminta di baca terlebih dahulu. Untuk kelompok ini perlu workshop tatap muka sambil
praktek langsung bagaimana membawakan modul ini. Tetapi untuk praktek langsung
mengurangi, memisahkan, dan mengolah sampah terutama limbah minyak jelantah yang
semangat memposting kegiatan dan hasil nya adalah ibu-ibu PKK dan RKI. Kelompok ini
bisa mentransfer ilmu dan praktek langsung pada kelompok ibu-ibu lainnya dan bisa
menambah nilai ekonomi dan sosialnya dengan memamerkan dan menjualnya di berbagai
kesempatan. Untuk kelompok guru hanya sedikit sekali yang memposting praktek
pengurangan, pemisahan, dan pemanfaatan sampahnya secara langsung di rumahnya
masing-masing.
Kehidupan sekolah secara tatap muka lebih mudah mentransfer pengetahuan dan
memonitoring hasilnya. Hal ini terungkap dari 4 kelas yang telah menjalankan sebelumnya
bahwa semakin lokal peserta maka semakin mudah untuk melihat perubahannya. Dengan
lokalisasi satu RT/RW maka perubahan akan lebih terlihat baik secara pengurangan
sampah maupun secara perubahan lingkungan. Seperti terlihat di RW 02 Jamaras
kelurahan Jatihandap. Secara mandiri ibu-ibu yang tergabung di KSM Gelis Iini mulai
mengedukasi dan mengangkut sampah organiknya secara teratur dan memanfaatkannya
untuk media tanam sehingga jumlah tanaman akan bertambah seiring pertambahan

14
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

sampah yang mereka angkut dan olah, sebagai contoh dalam rentang 22 November – 20
Desember 2021 sampah yang terangkut dan terolah sebanyak 769,7 Kg. Semua sampah
organik ini terolah di kawasan dan akan dijadikan media tanam. Gerakan ibu-ibu ini
memunculkan empati dari para bapak sehingga akhirnya bapak-bapak pun tergerak untuk
membantu.

pengangkutan organik KSM Gelis Ih


120
100
80
60
40
20
0 KG
22-Nov

24-Nov

27-Nov

26-Nov

28-Nov

29-Nov

1-Dec

4-Dec

6-Dec

8-Dec

11-Dec

15-Dec

18-Dec

18-Dec
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 13. Grafik berat pengangkutan organik (kg)

Perlu effort lebih untuk menciptakan public space/ruang riung sebagai tempat
masyarakat berinteraksi lebih sehingga dapat mencairkan suasana dan terbangunnya
saling percaya. Public space atau ruang riung ini dapat menjadi wadah terpantiknya ide,
membangun kerja sama, gotong royong, dan ikatan kuat diantara mereka. Jadi hal pertama
yang perlu dibangun adalah public space, tempatnya tak perlu bagus tetapi nyaman untuk
tempat warga berkumpul.
Urban farming di site Ketapang (Ciskul) harapannya dapat membuat ibu-ibu di
Cisaranten Kulon punya tempat untuk berkegiatan secara komunal dan juga bisa menjadi
tempat edukasi yang asik. Tetapi ternyata masyarakat Cisaranten lebih suka
menyelesaikan masalah sampahnya dahulu dibanding dengan tanam menanamnya. Kami
melakukan FGD berkali-kali dengan masyarakat dan pengurus K3 sehingga kami bisa
menyepakati sistem pengelolaan sampahnya. Namun ternyata hal ini berdampak kurang
terurusnya Taman Ketapang sehingga terkadang kebun kami telat panen karena ibu-ibu
hanya datang untuk menyiram.
Keadaan masyarakat menengah ke atas dalam komplek membuat kurang nya
interaksi antar masyarakat dan diperparah dengan pandemi sehingga kegiatan yang
biasanya melibatkan masyarakat banyak terhenti seperti posyandu, posbindu, dan senam
bersama. Kurang baiknya komunikasi antara RW, pengurus RT, dan masyarakat juga dapat
menghambat kemajuan suatu gerakan di lingkungan, satu hal yang kami pelajari tampaknya
masyarakat Cisaranten Kulon bergantung pada seorang pemimpin, sehingga
masyarakatnya kurang berinisiatif. Sulitnya mencari penanggung jawab taman urban
farming juga menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya hasil kebun sehingga
kedepannya kita perlu memilih penanggung jawab kebun ini agar terawat dan hasil

15
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

kebunnya bisa optimal dan dapat terjual. Pembelajaran pentingnya adalah untuk tanam
menanam diperlukan orang yang punya minat dalam bercocok tanam.
Yang pasti pembelajaran yang paling berharga yang didapat dari interaksi bersama
masyarakat dalam mengembangkan dan mewujudkan ide-ide kreatif bagi masyarakat dan
pelajar adalah bahwa kita adalah potongan puzzle yang akan membentuk gambar yang
indah bersama-sama

16
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

17
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

18
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

ANALISIS KAMPANYE SOSIAL MEDIA & PUBLIKASI


BANDUNG FOOD SMART CITY TAHUN 2021
Beby Nurtesha Putri*
(*Universitas Katolik Parahyangan)

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini media merupakan salah satu alat yang
banyak digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan informasi (Kompas.com,
2021). Media memiliki karakteristik yang beragam sehingga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan. Menurut Nasrullah (Nasrullah, 2015) sosial media adalah medium di internet
yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja
sama, berbagi, dan berkomunikasi dengan pengguna lain membentuk ikatan sosial secara
virtual. Selain itu, sosial media juga memiliki makna sebagai media pengenalan (cognition),
media komunikasi (communicate), serta sebagai media kerja sama (cooperation). Sosial
media adalah media daring yang digunakan untuk kebutuhan komunikasi jarak jauh, proses
interaksi antara user satu dengan user lain, serta mendapatkan sebuah informasi melalui
perangkat aplikasi khusus menggunakan jaringan internet (Adani, 2020). Banyak hal yang
dapat dilakukan melalui sosial media, Bandung Food Smart City memanfaatkan sosial
media sebagai alat penyebaran informasi. Bertujuan untuk membangun kesadaran
masyarakat terhadap bahayanya food waste serta bagaimana memanfaatkan kembali
bahan-bahan yang dianggap waste agar dapat berguna dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan isu food waste, lingkungan serta publikasi yang dibagikan oleh akun sosial media
Bandung Food Smart City.
Food waste adalah setiap makanan dengan kualitas baik yang dapat dikonsumsi
manusia tetapi karena alasan tertentu tidak dikonsumsi dan tidak dimanfaatkan (Lipinski, et
al., 2013). Penyadaran dilakukan tidak saja melalui konten-konten yang dibuat di akun sosial
media Bandung Food Smart City tetapi juga berkaitan event-event yang dilakukan di media
online lainnya salah satu yang dilakukan pada tahun 2021 ini adalah lomba blogger yang
bertema “Gaya Hidup Minim Sampah Makanan” yang diikuti lebih dari 100 peserta yang
datang dari berbagai latar belakang dan wilayah di Indonesia. Tujuan diadakan lomba blog
ini untuk lebih memperluas lagi gerakan penyadaran terhadap bahayanya food waste dan
bagaimana menanggulanginya berdasarkan perspektif dari berbagai latar belakang yang
dimiliki oleh blogger.
Berdasarkan tujuan-tujuan yang sudah dijabarkan maka sosial media sebagai media
penyampai informasi dan publikasi merupakan sarana yang efektif dalam
mengkomunikasikan hal-hal tersebut. Hampir semua kalangan saat ini menggunakan sosial
media untuk mencari informasi sehingga pemanfaatan sosial media ini dianggap sebagai
media yang bisa menjangkau semua kalangan di cangkupan wilayah yang luas.
Pemanfaatan sosial media ini diharapkan dapat lebih menyadarkan masyarakat tentang
bahayanya food waste dan bagaimana cara menanggulanginya.

19
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Program dan Kegiatan

Terdapat dua kegiatan yang dilakukan pada divisi Media Online dan Publikasi sepanjang
tahun 2021. Kegiatan rutin yang pasti dilakukan adalah penyadaran melalui konten-konten
di sosial media yang rutin dilakukan dan Lomba blog yang juga diadakan secara virtual.

1. Sosial Media
Bandung Food Smart City memiliki beberapa akun-akun sosial media yang sangat aktif
dan memiliki kampanye #ambilmakanhabiskan yang terus disebarluaskan dan juga rutin
memposting konten-konten guna memberikan penyadaran kepada masyarakat dan juga
sebagai media publikasi dari kegiatan-kegiatan lain yang diadakan oleh Bandung Food
Smart City. Setiap sosial media memiliki karakteristik dan segmen serta target yang
berbeda juga sehingga perlu adanya pemanfaatan di berbagai jenis sosial media.Selain
itu pencapaian di sosial media tidak dapat di sama ratakan setiap bulan atau di komparasi
dengan sosial media lainnya dikarenakan sistem algoritma dari sosial media juga yang
selalu berubah-ubah sehingga tidak bisa selalu disama ratakan. Berikut merupakan
beberapa sosial media dari Bandung Food Smart City.

a. Instagram
Akun Instagram dari Bandung Food Smart City adalah @bandungfoodsmartcity
dengan jumlah pengikut 752. Setiap bulan @bandungfoodsmartcity rutin
membagikan 20-25 konten di sosial media Instagram dengan memanfaatkan semua
fitur yang ada di Instagram dari mulai memposting foto, video, instastory, dan reels.
Jenis-jenis konten yang di bagikan di akun sosial media Instagram beragam setiap
bulannya sesuai dengan isu yang sedang berkembang dan materi yang disesuaikan.
Jenis-jenis konten dari akun sosial media Instagram @bandungfoodsmartcity adalah
konten informatif, edutainment (edukasi dan entertainment, announcement,
greetings, dan quotes. Jenis-jenis konten tersebut dikemas dalam bentuk foto dan
video yang di post di akun Instagram @bandungfoodsmartcity di berbagai fitur yang
sudah di sediakan oleh Instagram. Berikut merupakan 3 konten terbaik di akun
Instagram @bandungfoodsmartcity sepanjang tahun 2021 yang di bagi atas 2 jenis
fitur di Instagram yaitu postingan feed dan reels. Berikut ini merupakan 3 konten
terbaik dari postingan akun Instagram @bandungfoodsmartcity di feed.

20
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Jumlah Likes : 64
Comment : 5
Share : 5
Saved : 2
Reach : 1162
Impressions : 1310

Jenis Konten Announcement


Jumlah Likes : 25
Comment : 0
Share : 0
Saved : 0
Reach : 1046
Impressions : 1096

Jenis Konten Quotes


Jumlah Likes : 37
Comment : 0
Share : 0
Saved : 1
Reach : 945
Impressions : 1040

Jenis Konten Informasional


Sumber: (@bandungfoodsmartcity, 2021)

21
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Berikut merupakan 3 jenis konten yang memiliki jumlah likes, reach dan
impression tertinggi dari berbagai jenis konten. Terlihat walaupun hanya sekedar
menginformasikan/announcement kegiatan ternyata antusias masyarakat juga
cukup besar. Lalu diikuti oleh quotes-quotes yang juga memotivasi audiens agar
selalu menerapkan hidup minim sampah makanan. Selain itu konten berupa
informasi-informasi mengenai food waste, food loss, tips and trik dan lain sebagainya
juga menarik minat audiens untuk melihat dan mengetahui mengenai informasi
tersebut. Sehingga keberagaman jenis konten yang disesuaikan dengan jadwal dan
isu yang beredar menjadi fokus utama dari akun instagram @bandungfoodsmartcity.
Fitur terbaru yang juga di hadirkan Instagram yaitu Reels dan
@bandungfoodsmartcity juga memposting informasi di reels dengan mengemasnya
dalam bentuk motion atau video dengan jenis-jenis konten yang juga berbeda.
Jangkauan dari konten reels lebih luas karena yang akan terjangkau tidak saja
followers dari akun Instagram @bandungfoodsmartcity tetapi juga audiens lain yang
juga memiliki ketertarikan/minat yang sama atau berpotensi muncul di eksplore dari
followers-followers akun Instagram @bandungfoodsmartcity. Berikut ini merupakan 3
terbaik dari postingan reels @bandungfoodsmartcity.

Jumlah Likes : 60
Comment : 0
Share : 18
Saved : 45
Reach : 5411
Play : 5391

Jenis Konten Edutainment

22
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Jumlah Likes : 69
Comment : 9
Share : 8
Saved : 25
Reach : 4251
Play : 4172

Jenis Konten Edutainment

Jumlah Likes : 26
Comment : 0
Share : 2
Saved : 2
Reach : 1661
Play : 1647

Jenis Konten Edutainment


(@bandungfoodsmartcity, 2021)

23
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Berikut merupakan 3 jenis konten reels dari akun Instagram


@bandungfoodsmartcity yang memiliki jumlah likes, reach dan impression tertinggi
dari jenis konten edutainment. Jenis konten edutainment adalah jenis konten yang
diminati jika dikemas dalam bentuk video atau motion. Dengan sistem algoritma dari
reels yang sedikit berbeda dari feed Instagram, reels dianggap cukup efektif untuk
meningkatkan kesadaran audiens tidak saja berkaitan dengan konten yang sedang di
posting tetapi juga terhadap akun Instagram dari @bandungfoodsmartcity. Terbukti
dari jumlah reach yang juga besar bahkan melebihi dari jumlah followers
@bandungfoodsmartcity.
Postingan instastory hanya sebagai media pendukung dan media interaksi
dengan audiens dari sosial media Instagram @bandungfoodsmartcity agar
engagement dari akun Instagram juga tetap baik.
Kombinasi dari postingan feed dan reels dapat menjadi media komunikasi
sebagai bentuk penyadaran atas food waste, food loss, dan konten-konten
entertainment lainnya.

b. Facebook
Facebook merupakan salah satu jenis sosial media yang sudah cukup lama eksis
namun walaupun tergolong sosial media yang sudah lama eksis Facebook
merupakan situs jaringan sosial media yang paling banyak digunakan di seluruh
penjuru dunia. Pada tahun 2017 jumlah dari Facebook telah mencapai 2.047.000.000
atau dua milyar empat puluh tujuh juta lebih pengguna (Adani, 2020).
Di Facebook terdapat fitur bernama Fanpage. Fanpage adalah akun bisnis
yang merepresentasikan sebuah organisasi atau seseorang dengan fitur-fitur unik di
dalamnya (Perdana, 2021). Salah satu fitur yang banyak digunakan organisasi baik
itu organisasi profit dan non profit karena banyak sekali fitur-fitur yang bisa
dimanfaatkan dari fanpage ini salah satunya adalah fitur ads, dengan menggunakan
facebook manager yang merupakan salah satu fitur yang dimiliki oleh fanpage.
Facebook fanpage ini ditujukan agar dapat lebih baik mengelola akun facebook
dengan berbagai fitur yang digunakan yang tidak terdapat di akun facebook pada
umumnya (Perdana, 2021).
Bandung Food Smart City memiliki akun fanpage dengan nama akun
@bandungfoodsmartcity dengan jumlah like fanpage sebanyak 368. Di akun fanpage
ini @bandungfoodsmartcity rutin memposting konten setiap bulannya sebanyak 20-
25 konten dengan tujuan yaitu menyadarkan audiens facebook melalui konten-
konten tersebut agar sadar tentang bahayanya food waste, food loss, dan bagaimana
cara menanggulanginya.
Dengan jumlah pengguna facebook yang cukup banyak dan dari berbagai
kalangan usia membuat @bandungfoodsmartcity rutin menyebarkan konten-konten
guna menyebarkan penyadaran terhadap pengguna facebook. Konten-konten di
facebook memiliki hasil algoritma yang beragam setiap bulannya tidak konsisten

24
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

karena tergantung dari sistem algoritma dari facebook yang juga sering berubah-
ubah. Sehingga hasil jumlah likes, komen, impression, interaction selalu berbeda-
beda dan tidak bisa dikomparasikan setiap bulannya. Format dan jenis konten yang di
posting di fanpage @bandungfoodsmartcity juga beragam. Berikut merupakan 3
konten terbaik sepanjang 2021 yang di posting di fanpage @bandungfoodsmartcity.

Total Interaction : 119


Reach : 8645
Klik Postingan : 1211

Jenis Konten Edutainment-interaksi

Total Interaction : 34
Reach : 958
Klik Postingan : 32

Jenis Konten Edutainment

Total Interaction : 23
Reach : 441
Klik Postingan : 10

Jenis Konten Edutainment


Sumber :
(@bandungfoodsmartcity, 2021)

25
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Berdasarkan ketiga konten yang memiliki total interaction, reach, dan klik
postingan tertinggi di akun fanpage @bandungfoodsmartcity terlihat bahwa audiens
di facebook lebih menyukai konten-konten edutainment yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari audiens dan dapat diterapkan juga di kehidupan sehari-hari
dari audiens. Namun setiap bulannya postingan di fanpage tetap akan di selingi
dengan jenis-jenis konten yang juga informasional, announcement event,
edutainment, dan quotes. Guna adanya penyegaran dalam postingan agar tidak
terkesan monoton dan membahas mengenai isu-isu yang juga sedang menarik.
Pengemasan konten di akun Facebook fanpage @bandungfoodsmartcity
berupa foto, e-poster, video, dan motion agar postingan meragam dan tidak monoton,
serta tujuan dari facebook fanpage @bandungfoodsmartcity sebagai media
penyadaran dapat tersampaikan dengan baik.

c. Tiktok
Tiktok menawarkan layanan untuk dapat berbagi video dengan durasi penayangan
yang terbilang cukup pendek. Video tersebut akan menampilkan musik sebagai
background yang dapat diedit dengan menggunakan filter khusus. Tiktok juga tidak
hanya digunakan untuk membuat video yang sifatnya personal, namun juga dapat
berkolaborasi dengan teman untuk membuat konten yang menarik dan menghibur
(Adani, 2020).
Akun tiktok yang dimiliki bernama @bandungfoodsmartcity dengan jumlah
pengikut 1141. Akun tiktok ini bertujuan untuk mengkomunikasikan dan
menginformasikan ke audiens mengenai bahayanya food waste dan bagaimana cara
menanganinya. Di akun tiktok ini @bandungfoodsmartcity rutin memposting konten
sebanyak 3-5 konten setiap bulannya. Jenis konten yang diposting bervariasi dari
informasional, edutainment, tips, dan quotes. Akun tiktok @bandungfoodsmartcity
terhitung baru aktif pada tahun 2021 ini, konten dikemas dengan video dan motion
guna menarik minat audiens untuk melihat konten dan menyampaikan kampanye
yang dilakukan di akun tiktok @bandungfoodsmartcity. Berikut merupakan 3 konten
terbaik yang di posting sepanjang tahun 2021 di akun tiktok @bandungfoodsmartcity.

26
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Jumlah Likes : 7492


Comment : 90
Share : 1806
Play : 214600

Jenis Konten Edutainment

Jumlah Likes : 163


Comment : 1
Share : 11
Play : 4583

Jenis Konten Edutainment

27
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Jumlah Likes : 114


Comment : 10
Share : 10
Play : 3667

Jenis Konten Edutainment


Sumber :
(@bandungfoodsmartcity, 2021)

Berdasarkan 3 konten terbaik tiktok sepanjang 2021 dapat terlihat bahwa


konten edutainment tips sangat diminati oleh audiens di tiktok karena audiens dapat
menerapkan langsung di kehidupan sehari-hari. Walaupun konten 3 terbaik ini di
duduki oleh konten edutainment tips konten-konten di tiktok tetap di selingi dengan
jenis konten lain guna menyeimbangkan informasi yang dibagikan dan agar konten
tidak monoton.
Ketiga konten tiktok mendapat jumlah views/play yang berbeda bahkan jumlah
likes yang berbeda juga sehingga tidak dapat disama ratakan setiap bulan untuk
insight dari setiap konten serta tidak bisa di komparasi karena berkaitan dengan
algoritma tiktok. Algoritma tiktok terkadang bisa menghantarkan konten memiliki
views yang banyak atau hanya views standar saja. Sehingga berdasarkan hal
tersebut semua insight konten tidak dapat di sama ratakan. Pengemasan konten di
tiktok berupa motion dan video dengan jenis konten yang berbeda-beda agar tidak
monoton.

28
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

2. Lomba Blog
Bandung Food Smart City mengadakan salah satu lomba dengan memanfaatkan media
online yaitu Lomba blog yang ditujukan untuk para blogger di seluruh Indonesia dengan
berbagai latar belakang. Blog adalah aplikasi/platform yang dapat membuat pengguna
bebas untuk mengekspresikan segala hal dalam sebuah blog yang berisi curahan hati
maupun sebuah kritikan, review berdasarkan perspektif dari blogger (Adani, 2020).
Tujuan diadakannya lomba blog ini adalah tidak lain karena bentuk keprihatinan terhadap
lingkungan dan sampah makanan. Lingkungan merupakan salah satu isu yang sedang
banyak dibicarakan saat ini, termasuk persoalan sampah sisa makanan (Food waste).
Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat kedua setelah Arab Saudi dalam hal
membuang-buang makanan. Setiap tahunnya terdapat 13 juta ton sisa makanan yang
terbuang di Indonesia atau setara dengan 500 kali berat monas dan jika di rata-ratakan
setiap orang di Indonesia membuang 300 kg sampah makanan setiap tahunnya. Padahal
masih banyak masyarakat ekonomi lemah yang justru sedang dilanda kelaparan dan
mengalami kekurangan makanan. Maka, dalam rangka meningkatkan kesadaran
masyarakat atas bahayanya sampah sisa makanan serta bagaimana cara
menanggulanginya dibuatlah lomba blog ini guna meningkatkan kesadaran masyarakat
lebih luas lagi karena latar belakang peserta dari seluruh Indonesia yang memiliki
berbagai perspektif karena datang dari latar belakang yang berbeda juga sehingga
memperkaya perspektif terhadap food waste dan penanggulanganya. Selain itu dengan
kekuatan media online konten mengenai food waste ini dapat muncul di search engine
dan memudahkan masyarakat luas juga jika ingin mengetahui lebih jauh tentang food
waste mendapatkan masukan dari berbagai pandangan karena dapat mencari informasi
mengenai food waste akan lebih banyak.
Dengan tema lomba blog “Gaya Hidup Minim Sampah Makanan” dengan
menggunakan beberapa kata kunci yaitu :
● Bebas sampah makanan
● Sampah makanan
● Gaya hidup minim sampah makanan
● Food waste
● Bandung Food Smart City

Harapan dari lomba ini agar dapat lebih menyebarluaskan lagi mengenai hal-hal
tersebut mengingat pemanfaatan blog memiliki masa eksis di media online lebih panjang
dari sosial media. Setiap postingan di blog dan dicari di search engine akan lebih mudah
ditemukan daripada di sosial media.
Target awal peserta yang mengikuti lomba blog adalah 100 peserta namun
ternyata total peserta yang masuk ada 151 peserta melebihi dari target peserta yang di
targetkan. Hal ini menandakan semakin banyak orang-orang yang sudah mulai sadar
tentang food waste dan bersiap menjadi agen untuk terus membantu menyebarkan
tentang bahayanya food waste.

29
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Dari total 151 peserta diambil beberapa kategori pemenang yaitu Juara 1,2,3,
Juara favorit, Juara Sosial Media dan 10 Pemenang Hiburan. Berikut merupakan daftar
pemenang dari lomba blog “Gaya Hidup Minim Sampah Makanan”.

No Nama Juara
1. Ika Riyanti Putri Juara 1
2. Thayyibah Nazlatul Ain Juara 2
3. Harsono Juara 3
4. Teguh Nugroho Juara Favorit
5. Myra Anastasia Kania Dewi Juara Sosmed
6. Jihan Mawaddah Pemenang Hiburan
7. Ulma Lisa Nur Hasana Pemenang Hiburan
8. Nurul Mutiara Risqi Amalia Pemenang Hiburan
9. Annasa Rivada Engkesari Pemenang Hiburan
10. Nur Laela Fitriyani Pemenang Hiburan
11. Yohanes Wele Hayon Pemenang Hiburan
12. Siti Mustiani Pemenang Hiburan
13. Aditya Nirwana Pemenang Hiburan
14. Rizky Kurnia Rahman, S.I.P Pemenang Hiburan
15. Rizky Chairani Pemenang Hiburan

Sampai detik terakhir penutupan lomba antusias peserta lomba blog masih tinggi
namun karena keterbatasan waktu harus kita tutup pendaftarannya. Hasil dari 151
peserta lomba blog ini Bandung Food Smart City mendapatkan banyak wawasan dan
dukungan serta memperkaya perspektif berdasarkan dari pengalaman serta latar
belakang dari pada blogger. Harapan dari lomba blog ini dengan lebih banyak orang yang
menyebarkan mengenai isu food waste ini semakin banyak juga orang yang sadar akan
bahayanya efek yang ditimbulkan dari food waste sehingga kasus food waste khususnya
di Indonesia dapat semakin berkurang.

Penutup

Sosial media adalah media daring (online) yang digunakan untuk proses interaksi,
komunikasi, kolaborasi, menyampaikan informasi tanpa Batasan ruang dan waktu yang
dapat menjangkau audiens di semua kalangan. Bandung Food Smart City memiliki tujuan
melalui sosial media yang dimiliki saat ini dan harapannya akan melebar ke platform-
platform lainnya nanti dapat terus melakukan gerakan penyadaran mengenal food waste,
food loss, bahayanya makanan berlebih serta gaya hidup minim sampah makanan dan
konten-konten lain yang tentunya memunculkan motivasi untuk bergabung bersama dalam
hal pengurangan limbah sisa makanan.
Dengan jangkauan media online yang luas harapannya dapat menjangkau audiens

30
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

yang luas dan dari berbagai kalangan. Serta harapan kedepannya Bandung Food Smart
City dapat terus menjalin kerja sama atau kolaborasi dengan berbagai pihak guna terus
menyebarkan gerakan anti food waste. Melalui kampanye #ambilmakanhabiskan juga
harapannya semakin meluas dan menjadi satu gerakan bersama agar bersama-sama bisa
menerapkan pola #ambilmakanhabiskan. Ambil makananmu secukupnya, Makan makanan
dihadapanmu dengan nikmat dan penuh rasa syukur, lalu Habiskan jangan tersisa. Because
we don't have planet B.

Daftar Pustaka

Nasrullah, R. (2015). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Kompas.com. (2021, 01 08). Pengertian dan Perkembangan Teknologi. Retrieved from


Kompas.com: www.kompas.com

Adani, M. R. (2020, 11 19). Pengaruh Penggunaan Media Sosial dan Manfaat Untuk Bisnis.
Retrieved from Sekawanmedia.co.id: www.sekawanmedia.co.id

@bandungfoodsmartcity. (2021, 12 23). @bandungfoodsmartcity. Retrieved from


instagram: www.instagram.com

Perdana, A. (2021, 03 15). Tingkatkan Performas Bisnismu dengan Facebook Fanpage.


Retrieved from glins: www.glints.com

Lipinski, B., Hanson, C., Lomax, J., Kitinoja, L., Waite, R., & Tim Searchinger. (2013).
Reducing Food Loss and Food Waste. World Resources Institute.

31
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

32
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PENGETAHUAN MAKANAN DAN KANTIN SEHAT


DI LIMA SEKOLAH MENENGAH ATAS
DI KOTA BANDUNG
Vrameswari Omega Wati*, Renaldi Stevanus, Shofaa Fairuuz Salsabila Respati,
Jessica Anqeligue, M. Gulam Faridz, Ruben Hisar Eriyono Manik,
Febriani Yusnikana, Lely Ayukusuma Bakti, Ruth Latreia Theo Saphira,
Zulaekha Amalia, Salsabila Dwi Putri Perbatas
(*Universitas Katolik Parahyangan)

Pentingnya Makanan Sehat untuk Perkembangan dan Pertumbuhan Remaja

Masa remaja adalah masa pertumbuhan yang krusial bagi setiap orang. Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014, penduduk yang dikategorikan sebagai remaja
berada di rentang usia 10 hingga 18 tahun. Masa remaja juga bisa diartikan sebagai masa
peralihan individu dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, penting bagi kita
untuk memperhatikan kondisi perkembangan dan pertumbuhannya. Setiap remaja
membutuhkan gizi dan nutrisi yang sesuai agar dapat menjadi remaja yang aktif dan sehat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, diketahui bahwa remaja Indonesia masih mengalami
kondisi obesitas, kurus atau sangat kurus, gizi rendah, dan anemia (Kementerian Kesehatan
RI, 2019). Masalah-masalah kesehatan tersebut bisa dikategorikan sebagai masalah
kesehatan yang muncul akibat kurangnya perhatian pada pola makan.
Maka dari itu, kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh
pada pertumbuhan dan perkembangan remaja. Makanan sehat dan gizi yang seimbang
diperlukan untuk mendukung pertumbuhan remaja agar optimal. Gizi seimbang dapat
didefinisikan sebagai susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis
dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin, dan mineral merupakan asupan zat gizi yang
perlu dikonsumsi oleh remaja untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Bagi remaja, gizi yang seimbang juga tentunya sangat penting untuk mendukung
pertumbuhan tulang, perubahan hormon, perkembangan organ tubuh, dan juga
perkembangan kognitif. Selain itu, dengan mengkonsumsi makanan sehat dapat
bermanfaat untuk mencegah masalah kesehatan yang disebabkan oleh makanan seperti
penyakit kardiovaskular, diabetes, osteoporosis, dan lain-lain (Widiarti, 2021).

Kantin Sehat sebagai Program yang Mendukung Pemenuhan Gizi bagi Pertumbuhan
Remaja

Daya pikir seseorang dan pertumbuhannya tidak bisa dilepaskan dari konsumsi nutrisi yang
dimilikinya. Kualitas makanan yang dikonsumsi turut berpengaruh terhadap kesehatan
seorang siswa. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan

33
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

siswa maka kantin di sekolah memegang peranan penting karena menjadi salah satu
sarana untuk mendapatkan kebutuhan nutrisi yang memadai. Kualitas dan kebersihan
makanan di kantin juga turut punya kontribusi terhadap kesehatan siswa- siswa di sekolah
(Direktorat Sekolah Menengah Atas, 2020). Hal ini membuat kantin harus dijaga kualitas
makanan dan kebersihannya agar mampu menjadi sarana dari penyediaan kebutuhan
konsumsi nutrisi siswa.
Lebih lanjut, kantin bukan hanya menjadi tempat jual beli makanan melainkan juga
turut menjadi bagian dari sarana pendidikan seorang siswa dalam masa sekolahnya.
Budaya-budaya seperti antri, kejujuran dalam melakukan pembayaran dan interaksi yang
tercipta antara pedagang kantin dengan siswa sebagai pembeli turut memberikan pengaruh
terhadap perkembangan kepribadian seorang siswa. Hal tersebut membuat kantin harus
menjadi tempat yang layak dan harus mendapatkan pengawasan dari sekolah untuk
mampu berkontribusi terhadap pengembangan kepribadian seorang siswa. Sekolah harus
mampu untuk menggandeng kantin dan menjaga suasana kantin yang bermartabat agar
juga mampu memegang peranan yang layak sebagai tempat perkembangan pribadi
seorang siswa.
Peranan kantin dalam pertumbuhan seorang siswa tidak bisa hanya dilandaskan
sebagai penyedia konsumsi yang berkualitas melainkan juga harus ditekankan bahwa
peranannya krusial untuk mampu menjadi contoh yang baik terhadap perkembangan etika
seorang siswa (Direktorat Sekolah Menengah Atas, 2020). Kolaborasi sekolah dengan
kantin perlu terus menjadi perhatian agar kantin dapat menjadi bagian dari pembelajaran
dan pendidikan seorang siswa.

Penelitian Sebagai Dasar Pelaksanaan Program Kantin Sehat

Didasarkan pada perhatian terhadap isu gizi yang baik bagi perkembangan dan
pertumbuhan usia remaja SMA serta peran penting kantin sekolah bagi siswa, Rikolto
Indonesia, sebuah organisasi non-pemerintah yang memiliki fokus terhadap isu pertanian
dan pangan yang berkelanjutan bekerja sama dengan tim dosen dan mahasiswa Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan dalam penelitian pentingnya
makanan sehat bagi pertumbuhan remaja dan peran kantin sehat yang dirangkum dalam
program Good Food for School. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi secara
umum kantin-kantin di sekolah pada waktu sebelum pandemi COVID-19 maupun nanti saat
dilaksanakannya kebiasaan baru dan upaya untuk memberikan kontribusi bagi
pengimplementasian kantin sehat dan pemenuhan gizi yang baik bagi peserta didik SMA.
Penelitian ini memiliki rangkaian kegiatan yang ditargetkan kepada lima SMA di Kota
Bandung yang memiliki berbagai karakteristik berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Lima SMA yang menjadi target penelitian dan penerima manfaat ini, diantaranya, SMAN 1
Bandung, SMA Cahaya Bangsa, SMA Santo Aloysius 1, SMAN 22 Bandung, dan SMAN 4
Bandung.

34
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Untuk memetakan kondisi umum peran kantin sekolah terhadap pemenuhan gizi bagi
peserta didik SMA, tim peneliti melakukan wawancara, kelompok diskusi terarah, dan
menyebarkan kuesioner sebagai data pendukung. Penyebaran kuesioner ini dilakukan
untuk mengukur pemahaman siswa-siswi SMA, orang tua, pihak sekolah, serta pihak kantin
terkait dengan makanan sehat, bergizi, dan bernutrisi yang disediakan oleh kantin sekolah
kepada peserta didik pada saat sebelum pandemi COVID-19 dan setelahnya. Pentingnya
mengetahui pemahaman ini adalah untuk melengkapi analisis penelitian yang didapatkan
dari diskusi kelompok terarah dan wawancara sebelumnya. Hasil analisis yang dimiliki akan
dijadikan dasar untuk memformulasikan kegiatan workshop tentang gizi sehat remaja usia
SMA, pentingnya peran kantin sehat, dan juga cara pengelolaan limbah makanan
sederhana untuk menyempurnakan rangkaian penelitian Good Food for School sebagai
upaya berkontribusi terhadap peningkatan mutu pangan serta gizi yang dikonsumsi oleh
para siswa dan siswi SMA Kota Bandung dan sekitarnya.

Workshop

Kegiatan workshop Good Food for School merupakan langkah lanjutan untuk berkontribusi
dalam mengedukasi terkait pengetahuan tentang pemenuhan gizi yang baik, pelaksanaan
kantin sehat, dan pengelolaan limbah makanan sederhana bagi peserta didik SMA, orang
tua, pihak sekolah, dan juga pihak kantin bagi lima SMA di Kota Bandung yang menjadi
target penelitian. Kegiatan workshop akan dibagi menjadi dua sesi yang berbeda agar setiap
kegiatan dapat menyesuaikan materi penyuluhan dan edukasi terhadap dua kelompok
sasaran partisipan yang berbeda, yaitu peserta didik SMA dengan orang tua dan pihak
sekolah bersama pihak kantin.
Sesi workshop yang pertama mengundang pembicara yang menguasai bidang gizi
pada remaja usia SMA serta ahli dalam bidang pengelolaan limbah makanan. Selanjutnya,
workshop kedua mengundang narasumber dari Dinas Kesehatan Kota Bandung dan
Perwakilan dari Yayasan Gita Pertiwi Solo untuk memberikan penyuluhan pelaksanaan
kantin sehat sesuai protokol dan aturan yang telah dianjurkan pada saat kebiasaan baru
nanti dan pembelajaran dari praktik terbaik pelaksanaan kantin sehat yang sudah terjadi di
Solo.

Metode Penelitian

Metode kualitatif dipilih untuk digunakan dalam melakukan penelitian ini. Metode ini
digunakan untuk mendapatkan pemahaman mengenai suatu fenomena yang terjadi.
Setelah itu, pemahaman tersebut dituangkan dalam analisis. Dalam hal ini, metode kualitatif
digunakan untuk mendapatkan pemahaman mengenai praktik kantin di lima Sekolah
Menengah Atas (SMA). Selain itu, penelitian ini berusaha menganalisis pemahaman
narasumber/responden mengenai makanan sehat. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan proses FGD, wawancara, dan

35
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

studi literatur. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang
didapatkan langsung oleh peneliti. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang
berusaha untuk menjelaskan mengenai fenomena yang ada dalam hal ini memberikan
gambaran pengetahuan tentang makanan sehat dan kondisi umum kantin-kantin di lima
SMA yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya.

Tujuan Kegiatan Penelitian


1. Memperoleh gambaran tentang kantin-kantin di lima SMA Kota Bandung, Jawa Barat
dan sekitarnya.
2. Memperoleh informasi tentang praktik di lapangan maupun hambatan penyediaan
dan pemanfaatan kantin sehat.
3. Membangun jejaring kerja sama dengan pihak sekolah sebagai bentuk pengabdian
kepada masyarakat dalam upaya peningkatan mutu gizi di tingkat SMA.
4. Menjadikan informasi penelitian yang didapatkan dari FGD, wawancara, dan
kuesioner daring sebagai dasar pembuatan workshop tentang gizi yang baik bagi usia
remaja SMA, pelaksanaan kantin sehat, serta pengelolaan limbah sederhana
sebagai bentuk lanjut dari kontribusi pengabdian institusi dalam hal ini UNPAR
kepada masyarakat.
5. Menggali informasi tentang pengetahuan siswa, guru, orang tua, dan pemilik kantin
tentang makanan sehat bergizi yang dikonsumsi peserta didik dan kondisi umum
serta peran kantin sehat di sekolah baik dalam membantu pemenuhan gizi remaja.

Tujuan Kegiatan Workshop


1. Memberikan edukasi mengenai kebutuhan gizi siswa yang benar dan baik serta
peranan kantin dalam menyokong pertumbuhan dan perkembangan siswa-siswi
SMA.
2. Memberikan edukasi mengenai pengelolaan limbah makanan sederhana yang
dihasilkan di rumah.
3. Memberikan penyuluhan terhadap kantin dan pihak sekolah mengenai penerapan
kantin sehat sesuai dengan protokol yang telah dibuat.
4. Memberikan penyuluhan terhadap kantin dan sekolah dalam penyelenggaraan
kantin sehat untuk menyongsong persiapan menghadapi realitas kebiasaan baru.
5. Memperoleh feedback terkait isu pemenuhan gizi usia remaja SMA, pelaksanaan
kantin sehat di sekolah, dan pengelolaan limbah makanan sederhana dari hambatan
yang dialami hingga kritik dan saran.

36
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Empat Pilar Kantin Sehat

Sebelum membahas standar dan kriteria mengenai kantin sehat, penelitian ini akan
membahas pengertian dari kantin sehat dan empat pilar yang melandasinya. Sebuah Pusat
Regional Pangan dan Gizi yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (SEAMEO RECFON) menyatakan bahwa kantin sehat merupakan
suatu unit kegiatan di sekolah yang memberi manfaat bagi kesehatan (Direktorat Menengah
Atas, 2020). Karena itu, kantin sehat harus dapat menyediakan makanan utama atau ringan
yang menyehatkan, yaitu bergizi, higienis, dan aman dikonsumsi untuk masyarakat sekolah.
Akan tetapi, untuk membentuk kantin sehat sekolah, diperlukan adanya kerja sama institusi
selain di bidang pendidikan, terutama bidang kesehatan dan pengawasan makanan, yaitu
Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurut SEAMEO RECFON, dalam pelaksanaan kantin sehat, terdapat empat pilar
yang harus dijadikan fondasi yang kokoh di setiap institusi terkait. Keempat pilar tersebut
merupakan komitmen dan manajemen, sarana dan prasarana, sumber daya manusia
(SDM), serta mutu pangan. Pilar komitmen dan manajemen menjadi pengikat dari ketiga
pilar lainnya dalam menciptakan kewenangan pihak sekolah yang kuat dalam mewujudkan
terbentuknya kantin sehat. Pilar kedua dan ketiga merupakan komponen penting yang
saling berkaitan, yaitu bagaimana sarana dan prasarana yang memadai dapat
dimanfaatkan oleh SDM yang mumpuni dan bertanggung jawab. Pilar terakhir, yaitu mutu
pangan merupakan luaran yang dihasilkan melalui pendirian pilar-pilar lainnya dengan
memproduksi makanan kantin yang bermutu, bergizi, higienis, dan aman dikonsumsi.

Kriteria Kantin Sehat menurut BPOM dan Kementerian Kesehatan

Berdasarkan pedoman pelaksanaan kantin sehat pada kebiasaan baru yang diterbitkan
oleh Direktorat Sekolah Menengah Atas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun
2020, kriteria dan standar pelaksanaan kantin sehat ditetapkan oleh dua institusi, yaitu
BPOM dan Kementerian Kesehatan. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan lebih berfokus
kepada aspek fisik yang harus dimiliki oleh kantin sehat, sedangkan BPOM lebih
menekankan kepada aspek non-fisik yang harus diperhatikan dalam kantin sehat. Dari
adanya dua standar aspek ini, diharapkan pelaksanaan kantin sehat menjadi lebih lengkap
dan memadai bagi pemenuhan gizi dan kesehatan tidak hanya siswa-siswi SMA, tetapi
seluruh warga sekolah.

37
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tabel 1.1 Standar dan Kriteria Kantin Sehat Sekolah


BPOM Kementerian Kesehatan
Menyediakan makanan yang aman dan bersih Tersedia tempat mencuci peralatan
makan dan minum dengan
Mengajarkan cara mencuci tangan dengan baik air yang mengalir
Produk makanan yang dijual memiliki label yang jelas Tersedianya tempat cuci tangan dengan
Melatih anak untuk membaca label informasi nilai gizi air bersih yang mengalir

Menyediakan berbagai minuman sehat Tersedia tempat penyimpanan


bahan-bahan makanan
Tidak menjual makanan dan minuman berwarna mencolok
Tidak menjual makanan dengan rasa tertentu Tersedia tempat penyimpanan makanan
(misalnya terlalu manis) siap saji yang tertutup
Membatasi persediaan makanan cepat saji Tersedia tempat penyimpanan
Membatasi persediaan makanan ringan peralatan makan dan minum

Jarak kantin dengan lokasi pembuangan


Memperbanyak persediaan makanan berserat. sampah sementara (TPS) minimal
20 meter.
Sumber: Direktorat Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
“Kantin Sehat SMA di Masa Kebiasaan Baru”

Program Kantin Sehat di Kota Bandung: Aturan dan Implementasi

Implementasi kantin sehat di lima sekolah yang menjadi target penelitian masih sangat
beragam. Terdapat sekolah yang melakukan penerapan kantin sehat dengan sangat baik
sementara terdapat juga sekolah yang masih melaksanakan praktik kantin sehat dengan
kurang baik. Misalnya implementasi kantin sehat di SMA Cahaya Bangsa Bandung sudah
sangat baik dan dilengkapi dengan praktisi kesehatan, kegiatan monitoring dan evaluasi
yang baik, serta fasilitas kantin yang memadai. Namun, beberapa sekolah lainnya masih
mengalami kekurangan dalam hal fasilitas dan penerapan prinsip-prinsip kebersihan.
Salah satu masalah yang masih sering muncul di berbagai kantin sekolah adalah
keberadaan makanan maupun minuman tidak sehat. Beberapa kantin sekolah di Kota
Bandung masih menyediakan gorengan berminyak dan minuman berkarbonasi yang
sebenarnya tidak dianjurkan dikonsumsi oleh anak sekolah. Maka dari itu, diperlukan
kegiatan pengawasan yang lebih ketat secara berkala terhadap berbagai makanan maupun
minuman yang dijajakan di kantin-kantin sekolah.
Kemudian, salah satu hal yang patut dicontoh dari implementasi program kantin sehat
di Kota Bandung adalah eratnya komunikasi, koordinasi, dan kerja sama antar pihak
sekolah, pengelola kantin, dan pihak-pihak lain yang turut berperan dalam kegiatan kantin
sehat. Hubungan dua arah yang baik ini diperlukan untuk terus melakukan pengembangan
dan juga perbaikan terhadap kantin sehat di SMA masing-masing, baik secara fisik maupun
secara praktik. Keterlibatan orang tua murid dalam pelaksanaan kantin sehat juga bisa
meningkatkan kualitas implementasi kantin sehat di Kota Bandung.

38
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Gambaran Umum Pengetahuan Makanan Sehat dan Kondisi Kantin di 5 SMA di


Bandung

Pengetahuan Tentang Makanan Sehat


1. Orang tua dan Murid
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat dinyatakan bahwa pengetahuan
siswa-siswi SMA di Bandung sudah cukup memadai. Namun, perlu untuk ditingkatkan
lagi karena masih berkisar pada pengetahuan dasar terkait 4 sehat 5 sempurna dan
belum memahami lebih lanjut terkait kualitas makanan yang menunjang kesehatan.

2. Pihak Sekolah
Berdasarkan hasil wawancara, dapat dinyatakan bahwa pemahaman sekolah terkait
makanan sehat masih belum merata. Hal ini dikarenakan ada beberapa sekolah yang
sudah memahami terkait makanan sehat dan sudah memiliki standar operasional
untuk menjaga kualitas makanan, sedangkan masih ada sekolah yang belum
mengimplementasikan kepedulian tinggi terkait makanan sehat di kantinnya dan
belum mengatur operasional kantin dengan maksimal.

3. Pedagang Kantin
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, dapat dinyatakan bahwa mayoritas
pedagang kantin belum memiliki pemahaman kuat terkait makanan sehat karena
masih cenderung mengutamakan penjualan yang disukai oleh para siswa tanpa
mengutamakan kualitas kandungan makanan yang sehat.

Kondisi Umum Kantin

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan 5 sekolah, dapat dinyatakan bahwa
gambaran umum tentang kantin sekolah sudah cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi para siswa. Walaupun masih ada beberapa makanan yang dijual belum memenuhi
standar kantin sehat. Hal tersebut dapat dilihat dengan variasi makanan yang dijual di
sekolah-sekolah tersebut. Makanan yang dijual bervariasi mulai dari makanan yang cukup
sehat, mengandung sayur dan gizi seimbang hingga berbagai makanan cemilan dan
minuman soda yang masih rendah nutrisi.
Sementara itu, terkait dengan sarana dan prasarana kantin di sekolah sudah cukup
baik dengan bangunan yang memadai untuk berjualan, tempat untuk menyediakan
makanan serta tempat pembuangan sampah. Namun penjagaan dan kebersihan fasilitas
bangunan kantin perlu menjadi perhatian. Fasilitas sanitasi untuk cuci tangan bagi para
siswa yang melakukan konsumsi di kantin juga sudah disediakan dan memadai hampir di
semua sekolah.
Dalam hal pengelolaan kantin, mayoritas sekolah melakukan penyewaan terhadap
pedagang luar di kantin sekolah. Namun, belum semua sekolah melakukan seleksi sebagai

39
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

uji kelayakan pedagang dan makanan apa saja yang bisa dijual di sekolah. Sekolah lebih
memastikan variasi makanan yang dijual oleh para pedagang tetapi ada juga sekolah yang
mengatur sendiri pengelolaan kantinnya dengan menyiapkan program menu makanan
sehat berkualitas oleh tim dokter sekolah, mulai dari penggunaan bahan baku hingga
penyajian makanan yang dikonsumsi oleh para siswa.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan monitoring, peran sekolah dalam memantau kantin
sudah cukup baik. Adapun beberapa cara yang dilakukan dalam melakukan evaluasi,
diantaranya, memberikan kuesioner terhadap kantin untuk mendata makanan apa saja
yang dijual kantin, memiliki program makan siang yang menunya diatur oleh dokter nutrisi
sekolah, dan memberikan arahan kualitas makanan yang patut ditawarkan kepada siswa.
Untuk mendukung data yang didapatkan dari hasil wawancara dan diskusi kelompok
terarah, tim peneliti menyebarkan kuesioner secara daring ke lima sekolah di Bandung yang
menjadi subyek penelitian dengan total 145 responden. Penyebaran kuesioner dilakukan
kepada narasumber dari wawancara mendalam maupun FGD (Focus Group Discussion)
untuk kemudian disebarkan lagi kepada warga sekolah. Dari hasil kuesioner yang ada, tim
peneliti mendapat gambaran tentang bagaimana kelima SMA yang ada di Kota Bandung
memahami tentang peran kantin di sekolah sebagai penunjang gizi sehat serta seimbang
dalam kegiatan sehari-hari.
Adapun kuesioner dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) Biodata Responden
Kuesioner; (2) Perilaku Konsumsi Masyarakat yang bertujuan untuk memahami pola
konsumsi masyarakat secara umum sebelum pandemi serta pemahaman masyarakat
mengenai kantin sehat; (3) Peranan Pemerintah dan Sekolah dalam Penerapan Kantin
Sehat yang ditujukan untuk menganalisis pandangan masyarakat sekolah terhadap peran
sekolah dalam penerapan kantin sehat; dan (4) Penerapan Kebiasaan Baru Pasca Pandemi
di Kantin Sehat untuk menganalisis daya tarik kantin selepas pandemi serta solusi yang bisa
ditempuh oleh kantin dalam beradaptasi dengan kebiasaan baru.
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan dapat dinyatakan bahwa mayoritas para
responden yang mencakup siswa, orang tua, pedagang dan pihak sekolah sudah cukup
memahami pentingnya nutrisi yang baik bagi pertumbuhan siswa, bagaimana kantin sehat
yang seharusnya, konsumsi yang mendukung terciptanya kesehatan serta pengelolaan
kantin sehat. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dapat dinyatakan bahwa
gambaran umum kantin sehat yang ada di SMA Kota Bandung belum secara merata dan
secara baik telah menerapkan arahan Operasional Kantin Sehat yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Khususnya apabila menganalisis secara mendalam, ada sekolah yang bahkan
sudah memiliki tim gizi sekolahnya sendiri, namun di satu sisi masih ada sekolah yang
bahkan masih belum mampu mengolah fasilitas kantin yang ada di sekolahnya. Tentunya
ada beberapa faktor utama seperti kurangnya pengawasan pemerintah dalam penerapan
operasional kantin sehat, kesenjangan sumber daya baik infrastruktur maupun manusia
dalam terciptanya kantin sehat serta kesadaran segenap pihak sekolah untuk
mengkonsumsi makanan sehat dan gizi seimbang yang didukung oleh penyelenggaraan
kantin sehat.

40
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Adapun hasil kuesioner sebagai pendukung wawancara dan diskusi kelompok


terarah menunjukan beberapa informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai
pengetahuan dan persepsi responden dari lima SMA di Kota Bandung mengenai kantin
sehat. Responden sendiri dibagi menjadi dua kategori, yaitu usia lebih dari 35 tahun dan
kurang dari 35 tahun. Terdapat 71% dari total responden merupakan usia kurang dari 35
tahun dan 29% sisa dari total responden berusia lebih dari 35 tahun. Sebanyak 145
responden berasal dari kalangan siswa, guru, orang tua siswa, pemilik kantin, pihak sekolah,
dan lain-lain.
Bagian kedua kuesioner mencoba menggali mengenai pengetahuan warga sekolah
terhadap kantin sehat. Responden diminta untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana
mereka memandang kantin sehat, kebiasaan berkunjung, dan daya tarik kantin sebelum
pandemi. Sebelum pandemi, lebih dari 50% responden sering berkunjung ke kantin sekolah
terutama untuk membeli makanan ringan, makanan berat, dan minuman. Hasil yang
menarik dari bagian kedua kuesioner adalah 75.2% responden setuju menyatakan bahwa
faktor yang mendorong mereka untuk membeli makan di kantin adalah karena cita rasa
makanan dibandingkan kebersihan makanan yang mereka beli (40%) dan hampir 80%
responden setuju bahwa fasilitas sanitasi dan penyajian makanan menjadi komponen yang
penting dalam penyelenggaraan kantin sehat (lihat Diagram 1.1, 1.2, 1.3, 1.4).
Selain itu, dalam hal pengetahuan mengenai kantin sehat sekitar 35% dari total
responden kurang mengetahui tentang peran kantin sehat. Hal ini menunjukan bahwa
diseminasi mengenai fungsi dan manfaat kantin sehat masih belum menyeluruh. Berbicara
mengenai fasilitas kantin sehat lebih dari 90% responden menyetujui bahwa kebersihan
tempat berdagang dan alat masak serta kualitas makanan menjadi penting dalam
mendukung penyelenggaraan kantin (lihat Diagram 1.5). Sementara itu, mayoritas
responden juga menyetujui bahwa dalam monitoring mutu dan kualitas makanan kantin
menjadi tanggung jawab pihak sekolah dan pedagang kantin. Temuan lainnya dalam hal
mencapai standar kantin sehat, lebih dari 70% responden setuju bahwa kualitas makanan
dan protokol kesehatan serta sarana prasarana dapat menjadi patokan dalam menilai kantin
sehat.
Dalam kondisi adaptasi kebiasaan baru, hasil kuesioner menunjukan bahwa hampir
70% responden akan tetap mengkonsumsi makanan di kantin dengan syarat ada fasilitas
pendukung seperti kualitas dan kebersihan makanan, protokol kesehatan, dan sarana dan
prasarana fisik yang mendukung kantin sehat. Selain itu, dalam situasi pandemi, mengingat
pentingnya peranan dari penjual makanan, lebih dari 75% responden berpendapat bahwa
diperlukan juga untuk melakukan sosialisasi dan penyuluhan mengenai protokol kesehatan
kepada para pemilik kantin/pedagang, penetapan aturan mengenai kualitas makanan, dan
pengawasan serta evaluasi terhadap kantin sehat secara berkala (lihat Diagram 1.6)

Tantangan dalam Penelitian

Dalam upaya melakukan penelitian terdapat berbagai tantangan khususnya dalam berbagai

41
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

situasi akibat keterbatasan kondisi pandemi sehingga perlu diakui bahwa ada keterbatasan
dalam penelitian ini. Tantangan-tantangan yang dihadapi diantaranya:

1. Keterbatasan mobilitas
Hal ini menjadi salah satu tantangan utama dalam melakukan penelitian. Penelitian
yang berbasis pada observasi lapangan harus bertransformasi dengan
menggunakan metode daring secara virtual. Hal tersebut mengakibatkan akses
informasi yang didapatkan tidak menyeluruh baik dari narasumber maupun dari
kondisi fisik kantin sehat yang menjadi objek penelitian. Selain itu, dengan kondisi
virtual, tidak semua narasumber sudah piawai dalam menggunakan dan
mengakses platform daring yang digunakan sehingga menjadi salah satu
penyebab keterbatasan informasi yang didapat.

2. Keterbatasan narasumber dan institusi


Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk
membangun pemahaman bersama terkait kondisi umum kantin sehat yang ada di
Bandung. Dalam penelitian, tim peneliti melakukan pendekatan secara bottom-up
dengan membangun relasi dengan beberapa sekolah. Akan tetapi, ternyata
pendekatan tersebut kurang efektif dan hanya beberapa sekolah yang bersedia
menjadi narasumber dari penelitian. Hal ini juga tidak terlepas bahwa di kondisi
pandemi sekarang terhambatnya operasional kantin sehat yang kurang
memungkinkan untuk diteliti lebih mendalam.

3. Analisis pemangku kepentingan


Dalam melakukan penelitian, terutama dengan memposisikan bahwa SMA di Kota
Bandung menjadi obyek penelitian, dibutuhkan kerja sama secara sinergis antara
berbagai pihak baik dari tim peneliti, sekolah, dan pemerintah. Salah satu
keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dilakukannya pemetaan aktor-aktor
yang terlibat dalam pelaksanaan kantin sehat dan analisis pemangku kepentingan
terkait, terutama dari aktor pemerintah. Sehingga dukungan yang bersifat top-down
dapat diperoleh apabila kegiatan ini berlanjut.

4. Waktu dan Jejaring


Keterbatasan waktu dan belum kuatnya jejaring yang dilakukan antara tim peneliti
dan pihak sekolah membuat komitmen untuk mengikuti kegiatan workshop menjadi
salah satu hambatan. Belajar dari hal ini, maka ke depannya, apabila program kantin
sehat ini berlanjut, maka perlu mengambil langkah yang lebih intensif untuk
membangun jejaring yang kuat dengan pihak sekolah dengan diawali dengan
membuat sekolah percobaan terlebih dahulu.

42
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Rekomendasi

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran umum awal terkait kondisi kantin sehat yang ada pada SMA Kota Bandung
sehingga perlu diadakan penelitian dan berbagai upaya lanjutan dalam rangka membangun
dan meningkatkan kondisi kantin sehat di SMA Kota Bandung. Berikut adalah berbagai
rekomendasi yang dapat menjadi saran untuk lanjutan penelitian kedepannya:

1. Kolaborasi dengan Pemerintah


Kantin Sehat merupakan program yang dicanangkan oleh pemerintah. Betul adanya
dan dari apa yang telah menjadi gambaran umum penelitian, bahwa hal tersebut
belum berjalan secara maksimal. Penelitian ini menemukan bahwa masalah
pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya kantin sehat, sistem monitoring,
dan evaluasi serta beberapa hal teknis lainnya yang membuat kantin sehat di
sekolah-sekolah belum dapat direalisasikan dengan baik. Ditambah, dengan adanya
pandemi COVID-19 dan pembelajaran jarak jauh membuat kantin-kantin di sekolah
harus tutup dan otoritas sekolah sendiri masih berfokus pada pengembangan
pembelajaran secara daring. Pendekatan bottom-up yang digunakan dalam
penelitian ini dalam praktiknya belum mencukupi untuk merealisasikan kantin sehat
yang sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, inisiatif
baik ini harus diikuti dengan bersama menggandeng pemerintah daerah sebagai
mitra utama penelitian. Berbagai manfaat yang akan didapatkan seperti pemetaan
sekolah-sekolah subyek penelitian, penentuan sekolah percontohan untuk kantin
sehat, sumberdaya untuk membuat berbagai kegiatan pelatihan, serta dampak yang
lebih besar dan berkelanjutan yang dapat dilakukan.

2. Riset Lanjutan untuk Pemetaan Pemangku Kepentingan Program Kantin Sehat


Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada beberapa hal perlu dioptimalkan, seperti
pemetaan sekolah mana saja yang tepat menjadi sasaran program kantin sehat,
mengidentifikasi dan melibatkan aktor pemerintah yang memiliki tugas pokok dan
fungsi terkait program kantin sehat di level Kota Bandung, dan mengikutsertakan
aktor non-pemerintah seperti organisasi kemasyarakatan yang memang
bergerak dalam bidang kesehatan dan gizi remaja. Untuk itu, dalam upaya
mengidentifikasi dan memetakan aktor baik pemerintah dan nonpemerintah lebih
dalam maka diperlukan penelitian lebih lanjut.

3. Membuat Pilot Project


Merealisasikan program kantin sehat di tingkat SMA di Kota Bandung merupakan hal
yang membutuhkan waktu cukup panjang. Selain masalah birokrasi dan kesiapan
sekolah, keterlibatan aktif sekolah untuk benar-benar ingin merealisasikan kantin
sehat juga menjadi hal yang utama. Rasa kepemilikan (sense of ownership) terhadap

43
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

program ini perlu dirasakan juga oleh otoritas sekolah untuk menjamin sisi
keberlanjutan dari program kantin sehat dan berjalan secara mandiri setelah program
dari tim berakhir. Untuk itu, dalam memasuki momentum adaptasi kebiasan baru dan
kelas kombinasi daring dan pembelajaran tatap muka, apabila rekomendasi pertama
dan kedua sudah terlaksana, maka selanjutnya dapat dilakukan pilot project untuk
membuat rencana aksi program kantin sehat yang didesain sesuai kebutuhan. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengambil salah satu sekolah untuk menjadi model
percontohan kantin sehat di Kota Bandung dan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan mulai dari pemerintah, pihak sekolah, dan pedagang kantin.

Daftar Pustaka

Direktorat Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. “Kantin Sehat SMA Di Masa Kebiasaan Baru,” Jakarta, 2020.

Kementerian Kesehatan RI. “Laporan Nasional RISEKDAS 2018.” Lembaga Penerbit


Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 2019.

———. “Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Gizi Seimbang,” Jakarta, 2014.

Widiarti, Yayuk. “Waspadai Dampak Kurang Gizi Saat Remaja.” Tempo. TEMPO.CO, April
30, 2021. https://gaya.tempo.co/read/1457836/waspadai-dampak-kurang-gizi-saat-
remaja.

44
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Lampiran
Seberapa sering anda berkunjung ke kantin sekolah sebelum pandemi?
145 responses

Sering
22.1% Kadang-kadang
11.7% Jarang
Tidak pernah
7.6%

58.6%

Diagram 1.1 Intensitas Responden Mengunjungi Kantin

Jenis makanan seperti apa yang paling anda sering beli di kantin?
145 responses

Makanan Utama 74 (51%)

Camilan/Snack 117 (80.7%)

Minuman 75 (51.7%)

Jajanan Buah 6 (4.1%)

Belum ada 1 (0.7%)

0 25 50 75 100 125

Diagram 1.2 Jenis Makanan Favorit di Kantin

Apa yang mendorong Anda membeli makanan di sebuah kantin?


145 responses

Rasa Makanan 109 (75.2%)


Kebersihan Makanan 60 (41.4%)
Lokasi Kantin 57 (39.3%)
Tampilan Makanan 30 (20.7%)
Harga Barang 40 (27.6%)
Lapar 3 (2.1%)
Tidak ada pilihan lain selain 1 (0.7%)
Pengen ngemil wkwkwkwk 1 (0.7%)
Tidak membawa bekal 1 (0.7%)
Laper, tidak bawa makanan 1 (0.7%)
Iseng ingin ngemil 1 (0.7%)
Tidak dibekali dari rumah :) 1 (0.7%)
Males bekel 1 (0.7%)
Ga bawa makanan dari rumah 1 (0.7%)
Kondisi badan yang butuh a... 1 (0.7%)
Sedang lapar 1 (0.7%)
0 25 50 75 100 125

Diagram 1.3 Faktor Pendorong Pembelian Makanan di Kantin

45
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Komponen apa saja yang menurut Anda paling penting harus ada di sebuah kantin?
(Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)
145 responses

Fasilitas Sanitasi 115 (79.3%)


Alat Makan 81 (55.9%)
Ruang Tempat 63 (43.4%)
Penyajian Makanan 114 (78.6%)
Ruang Tempat Makan 78 (53.8%)
Rasa dan kualitas makanan 1 (0.7%)
Ngga bawa makanan dari rumah 1 (0.7%)
Kebersihan makanan dan minuman 1 (0.7%)
Packaging dar makanan 1 (0.7%)
Kualitas makanan 1 (0.7%)
Kebersihan makanan 1 (0.7%)
Makanan yg masih fresh 1 (0.7%)
Harga 1 (0.7%)

0 25 50 75 100 125

Diagram 1.4 Hasil Opini Fasilitas Terpenting di Kantin

Menurut Anda fasilitas apa saja yang diperlukan dalam mendukung kantin sehat?
145 responses

Kebersihan Tempat Berdagang 136 (93.8%)


Kebersihan Alat Makan 130 (89.7%)
Kebersihan Alat Masak 132 (91%)
Kebersihan Tempat Makan 130 (89.7%)
Kualitas makanan yang sehat 131 (90.3%)
Tempat Cuci Tangan 124 (85.5%)
Sarana dan Prasarana 91 (62.8%)
Bahan yg digunakan, pengolahan 1 (0.7%)
Rasa yang enak dan sehat 1 (0.7%)
Kebersihan penjual sendiri 1 (0.7%)
Self Hygiene dari yg memas... 1 (0.7%)
Pemahaman penjual akan k... 1 (0.7%)
Penampilan pedagang yg m... 1 (0.7%)
Pelayanan yang efektif dan e... 1 (0.7%)
0 50 100 150
Diagram 1.5 Hasil Opini Fasilitas Terpenting Pendukung Kantin Sehat

Menurut Anda bagaimana sekolah agar para pedagang kantin dapat berjualan dan tetap
melakukan penerapan protokoler kesehatan pasca pandemi?
149 responses

Penyuluhan Protokoler
128 (85.9%)
Kesehatan

Bantuan Sarana dan Prasarana 92 (61.7%)


Penerapan Peraturan Mengenai
Kualitas Makanan yang Dijual
113 (75.8%)
Pengawasan Berkala Terkait
Operasional Kantin
118 (79.2%)

Responden Konsumen Terhadap


67 (45%)
Kualitas Kantin
Memastikan Pihak Sekolah
Mengecek Kesehatan dari yang...
1 (0.7%)

0 50 100 150

Diagram 1.6 Hasil Opini Penerapan Kantin dalam Adaptasi Kebiasaan Baru

46
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

47
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

48
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

ANALISIS RANTAI PASOK PANGAN SEGAR


DI KOTA BANDUNG BERDASARKAN POLA
KONSUMSI RUMAH TANGGA
Yosefa*, Hansen William, Nadya Alyssa
(*Universitas Katolik Parahyangan)

Pendahuluan

Data dari Badan Pusat Statistik Kota Bandung (2021) menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Kota Bandung pada tahun 2020 sudah mencapai 2.510.103 jiwa. Jumlah
penduduk Kota Bandung tersebut mengindikasikan kebutuhan akan bahan pangan yang
sangat banyak. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim peneliti, ternyata kebutuhan
akan pasokan bahan pangan di Kota Bandung belum dapat diikuti dengan kemampuan dari
Kota Bandung untuk memasok sendiri bahan pangan tersebut. Dikutip dari siaran pers yang
dikeluarkan oleh Humas Kota Bandung pada 9 September 2021, Kepala Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, Bapak Gin Gin Ginanjar mengungkapkan
bahwa hampir 96 persen kebutuhan pangan di Kota Bandung berasal dari luar daerah Kota
Bandung sehingga ketergantungan pasokan pangan dari luar Kota Bandung perlu
diperhatikan. Berdasarkan paparan tersebut, tim peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terkait alur rantai pasok pangan yang terjadi di Kota Bandung. Hal ini
dimaksudkan agar Pemerintah Kota Bandung, dalam hal ini diwakili oleh Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian, dapat membuat kebijakan yang sesuai kondisi nyata yang terjadi di
Kota Bandung berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh tim peneliti.
Stanton (2021) menyebutkan bahwa dalam melakukan manajemen rantai pasok, hal
utama yang perlu dilakukan adalah dengan memahami siapa pelanggan yang dituju dan
alasan pelanggan tersebut membeli produk atau layanan yang ada. Hal tersebut juga perlu
diterapkan dalam pendalaman terkait alur rantai pasok pangan yang terjadi di Kota
Bandung. Agar dapat memahami pola rantai pasok bahan pangan di Kota Bandung,
penelitian ini dimulai dengan tahap pemetaan perilaku masyarakat Kota Bandung dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Tahap pemetaan ini dilakukan dengan cara
menyebar kuesioner di 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung.
Berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian, pemenuhan konsumsi rumah tangga atau pengeluaran rumah
tangga dibagi menjadi dua kategori yaitu pengeluaran untuk produk konsumsi dan
pengeluaran untuk produk non konsumsi. Produk konsumsi terdiri dari produk makanan dan
non makanan. Produk makanan terbagi lagi menjadi 2 kategori yaitu produk makanan yang
berasal dari pihak lain dan produk makanan yang berasal dari hasil produksi sendiri.

49
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Sumber Perolehan Makanan Siap Saji

Diolah di rumah 1061


Beli di Warung Tegal / Warung Nasi /
Pedagang Kaki Lima 766

Beli di Restoran / Kafe 488

Beli di Pasar Modern 312

Beli di Pasar Tradisional 240

Beli di Jasa Katering 116

0 200 400 600 800 1000 1200


Jumlah

Gambar 1. Sumber Perolehan Makanan Siap Saji Masyarakat Kota Bandung


Berdasarkan Hasil Kuesioner

Hasil kuesioner pada Gambar 1 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Kota


Bandung mengkonsumsi makanan siap saji yang diolah sendiri dari rumah masing-masing.
Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada sumber pangan rumah tangga masyarakat
Kota Bandung. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah produk makanan yang berupa
pangan segar berdasarkan kelompok komoditas yang telah ditetapkan Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian Indonesia.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Indonesia telah menetapkan 9
kelompok komoditas dalam Pola Pangan Harapan yang mendukung terlaksananya
peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan yang diproyeksikan
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Kelompok komoditas tersebut dibagi berdasarkan
jenisnya yaitu: padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji
berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Pada penelitian ini, untuk
mendapatkan gambaran yang lebih detail maka setiap kelompok pangan dibagi menjadi
beberapa komoditas berdasarkan penjabaran dari Panduan Perhitungan Pola Pangan
Harapan (PPH) yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian. Pembagian
jenis komoditas yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut (Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Indonesia, 2015).

50
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tabel 1. Pembagian Jenis Komoditas dalam Penelitian

Kelompok Jenis Komoditas Keterangan


Kelompok 1 Padi-padian Beras putih, Beras merah, dsb
Kelompok 2 Umbi-umbian Kentang, Talas Ubi jalar, dsb
Daging Hewan Darat Ayam, Bebek, Sapi, Domba, dsb
Daging Air Tawar Ikan bawal, Ikan lele, dsb
Kelompok 3
Daging Hewan Air Laut Kepiting, Cumi-cumi, Lobster, dsb
Jenis Pangan Hewani Lain Ati, Ampela, Babat, Kikil, dsb

Minyak kelapa, Minyak jagung,


Kelompok 4 Minyak
Minyak sawit, Minyak wijen, dsb

Kelompok 5 Buah/Biji Berminyak Kelapa, Coklat, Kemiri, dsb

Kacang hijau, Kacang kedelai,


Kelompok 6 Kacang-Kacangan
Kacang merah, Kacang mete, dsb

Kelompok 7 Gula Gula aren, Gula palem, dsb


Sayur Brokoli, Caisim, Bayam, dsb
Kelompok 8
Buah Alpukat, Anggur, Apel, dsb
Bumbu Masak (Rempah) Adas, Andaliman, Cengkeh, dsb
Kelompok 9 Teh Teh hijau, Teh hitam, dsb
Kopi Kopi ciwidey, Kopi palasari, dsb

Rancangan Penelitian

Hasil dari penelitian ini adalah pemetaan karakteristik perilaku konsumsi pangan segar
rumah tangga di Kota Bandung dengan berdasarkan pada Zona PPDB (Penerimaan
Peserta Didik Baru). Zona PPDB yang digunakan berdasarkan zona PPDB yang membagi
Bandung menjadi 4 Zona yaitu Zona A (Utara) yang terdiri dari 8 kecamatan, Zona B (Timur)
yang terdiri dari 10 kecamatan, Zona C (Selatan) yang terdiri dari 5 kecamatan, dan terakhir
Zona D (Barat) yang terdiri dari 7 kecamatan. Pembagian zona ini dilakukan agar dapat
dilakukan analisis yang lebih mendalam dan detail sehingga hasilnya dapat menjadi lebih
akurat. Hal ini dikarenakan dalam penelitian berikutnya akan dilakukan analisis untuk tingkat
zona sehingga dengan 1 kali penelitian, data yang dimiliki dapat langsung digunakan
sebagai data awal untuk penelitian berikutnya. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas
hasil pemetaan gabungan dari semua zona PPDB di Kota Bandung. Hasil pemetaan dari
masing masing zona ini akan dipaparkan dalam buku terpisah.

51
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PENENTUAN ZONA PPDB

UTARA
A
TIMUR

D B
C
SELATAN

BARAT

ZONA A ZONA B ZONA C ZONA D


Kec. Sukasari Kec. Mandalajati Kec. Kiaracondong Kec. Cicendo
Kec. Cidadap Kec. Antapani Kec. Batununggal Kec. Andir
Kec. Coblong Kec. Arcamanik Kec. Lengkong Kec. Bandung Kulon
Kec. Cibeunying Kaler Kec. Cinambo Kec. Regol Kec. Babakan Ciparay
Kec. Bandung Wetan Kec. Panyileukan Kec. Bandung Kidul Kec. Bojong Loa Kaler
Kec. Sumur Bandung Kec. Cibiru Kec. Bojong Loa Kidul
Kec. Cibeunying Kidul Kec. Gedebage Kec. Astanaanyar
Kec. Sukajadi Kec. Rancasari
Kec. Ujungberung
Kec. Buahbatu

Gambar 2. Zona PPDB Kota Bandung


Sumber: Dinas Pendidikan Kota Bandung, 2019

Hasil daripada pemetaan ini akan digunakan sebagai acuan untuk jenis pangan yang
akan dibudidayakan oleh Urban Farming, Buruan Sae atau Ketapang-kita.id. Implementasi
lainnya yaitu menjadi acuan dalam menetapkan kebijakan pemerintah terkait Pola Pangan
Harapan (PPH) di Kota Bandung serta sebagai informasi dalam perencanaan menu Kantin
Sehat di sekolah-sekolah yang ada di Kota Bandung. Selain pemetaan karakteristik perilaku
konsumsi pangan segar rumah tangga di Kota Bandung, hasil lain dari penelitian ini adalah
pemetaan alur rantai pasok dan hasil analisis rantai pasok pangan segar berdasarkan
perilaku konsumsi rumah tangga di Kota Bandung. Kedua hasil ini diharapkan dapat menjadi
acuan dalam menetapkan kebijakan pemerintah terkait rantai pasok konsumsi pangan
rumah tangga di Kota Bandung, terutama kebijakan mengenai kerja sama dengan pihak
pemasok dan distributor.
Pemetaan karakteristik perilaku konsumsi pangan segar rumah tangga di Kota
Bandung disusun dari hasil kuesioner pola konsumsi pangan masyarakat di Kota Bandung.
Sedangkan untuk alur dan hasil analisis alur pasokan konsumsi pangan segar rumah tangga

52
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

di Kota Bandung disusun berdasarkan hasil kuesioner pola konsumsi pangan masyarakat di
Kota Bandung, hasil wawancara dengan pedagang pasar konvensional (pasar tradisional,
pedagang keliling, toko kelontong) dan hasil wawancara dengan pedagang pasar modern
dan online.
Pembahasan pada buku ini berfokus pada pemetaan karakteristik perilaku dan
analisis alur pasokan konsumsi pangan segar rumah tangga di Kota Bandung secara
keseluruhan. Hasil penelitian lainnya akan dibahas secara detail pada buku tersendiri.

Profil Responden Kuesioner Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Kota Bandung

Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2021 dengan cara menyebarkan
kuesioner kepada masyarakat Kota Bandung yang berada di 30 kecamatan melalui media
sosial (WhatsApp dan Instagram). Secara umum ada 3 aspek utama yang menjadi
pertanyaan dalam kuesioner, yaitu: profil responden, perilaku masyarakat dalam berbelanja
bahan makanan (lokasi, frekuensi dan jenis komoditas yang dibeli atau diproduksi sendiri
jika melakukan Urban Farming di rumah) dan perilaku konsumsi (frekuensi dan jenis
komoditas yang dikonsumsi). Untuk melengkapi aspek utama tersebut, dalam kuesioner
telah disiapkan banyak pilihan jawaban yang didasarkan pada ketetapan dari pemerintah
untuk mempermudah responden dalam pengisian kuesioner tersebut. Namun, dalam
kuesioner tersebut tetap disediakan pilihan lain lain yang dapat diisi oleh responden.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 1.464 responden. Dari jumlah
tersebut, 376 responden berjenis kelamin pria, dan 1088 responden berjenis kelamin
wanita. Menimbang dari pertanyaan mengenai perilaku konsumsi termasuk perilaku
pembelian bahan pangan maka dapat dimaklumi ketika jumlah responden wanita lebih
banyak dibanding jumlah responden pria. Hal ini dikarenakan pada umumnya yang
mengurusi segala hal terkait makanan dan pembelanjaan di rumah tangga adalah wanita.

Jenis Kelamin

Wanita 1088

Pria 376

0 200 400 600 800 1000 1200


Jumlah

Gambar 3. Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Hasil Kuesioner

53
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyatakan bahwa usia produktif masyarakat
Indonesia berkisar antara 15 sampai 64 tahun. Rentang usia tersebut menjadi acuan bagi
penelitian ini dengan mempersempit rentang tersebut menjadi antara 20 sampai 60 tahun.
Mayoritas masyarakat yang mengisi kuesioner ini berada pada rentang usia 20-29 tahun
yaitu sebesar 654 orang.

Rentang Usia
< 20 Tahun 78
20 - 29 Tahun 654
30 - 39 Tahun 414
40 - 49 Tahun 238
50 - 59 Tahun 68
> 60 Tahun 12
0 100 200 300 400 500 600 700
Jumlah

Gambar 4. Rentang Usia Responden Berdasarkan Hasil Kuesioner

Berdasarkan status perkawinan, mayoritas responden berstatus kawin (862 orang).


Hal ini selaras dengan mayoritas jenis pekerjaan responden adalah mengurus rumah
tangga (531 orang). Mayoritas tingkat penghasilan responden (952 orang) yang mengisi
kuesioner merupakan masyarakat yang berpenghasilan dibawah Upah Minimum Regional
(UMR) Kota Bandung, dimana UMR Kota Bandung per tanggal 1 Januari 2021 adalah
sebesar Rp 3.7742.276,48 (Abraham, 2021).

Status Perkawinan

Kawin 862

Belum Kawin 524

Cerai Hidup 58

Cerai Mati 20

0 200 400 600 800 1000


Jumlah

Gambar 5. Status Perkawinan Responden Berdasarkan Hasil Kuesioner

54
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Jenis Pekerjaan
Mengurus Rumah Tangga 531
Karyawan Swasta 327
Pelajar / Mahasiswa 245
Wiraswasta 146
Belum / Tidak Bekerja 117
Guru / Dosen 44
PNS 32
Tenaga Medis 7
Karyawan BUMN / BUMD 6
Pensiunan 6
Lainnya 2
TNI / Polri 1
0 100 200 300 400 500 600
Jumlah
Gambar 6. Jenis Pekerjaan Responden Berdasarkan Hasil Kuesioner

Berdasarkan Gambar 6, jenis pekerjaan yang paling banyak diisi masyarakat dalam
kuesioner adalah yang berprofesi sebagai pengurus rumah tangga, baik itu asisten rumah
tangga ataupun pemilik rumah tangga. Diikuti oleh karyawan swasta, pelajar/mahasiswa,
wiraswasta, belum/tidak bekerja, guru/dosen, dan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Secara tidak
langsung dari Gambar 6 dapat disimpulkan bahwa responden daripada kuesioner ini sudah
sesuai karena mengarah pada pola konsumsi pangan segar di rumah tangga dan bukan
mengarah kepada pola konsumsi pangan segar untuk kegiatan usaha atau bisnis.

Tingkat Penghasilan

Dibawah UMR Kota Bandung 952

Setara dengan UMR Kota Bandung 310

Diatas UMR Kota Bandung 202

0 200 400 600 800 1000


Jumlah

Gambar 7. Tingkat Penghasilan Responden Berdasarkan Hasil Kuesioner

Dari hasil pengumpulan kuesioner, secara domisili atau tempat tinggal responden,
dapat disimpulkan kuesioner ini tersebar secara merata di semua Zona PPDB dengan
persentase jumlah responden sebesar 28,42% (416 orang) berdomisili di Zona A (Utara);
28,42% (416 orang) berdomisili di Zona B (Timur); 18,03% (264 orang) berdomisili di Zona C
(Selatan); dan 25,14% (368 orang) berdomisili di Zona D.

55
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

UTARA
A 28,42%

TIMUR
28,42%
D B
C
SELATAN
18,03%

BARAT
25,14%

Gambar 8. Sebaran Domisili Responden Berdasarkan Hasil Kuesioner

Karakteristik Konsumsi Pangan di Kota Bandung

Dari keseluruhan responden, 603 responden mengeluarkan 25-49% dari penghasilan


bulanan untuk bahan makanan setiap bulannya. Disusul dengan 444 responden yang
mengeluarkan 50-74% dari penghasilan bulanan untuk pembelian bahan makanan.

Pengeluaran untuk Bahan Makanan Setiap Bulan

0-24% dari Penghasilan 265

25-49% dari Penghasilan 603

50-74% dari Penghasilan 444

75-100% dari Penghasilan 152

0 100 200 300 400 500 600 700


Jumlah
Gambar 9. Pengeluaran untuk Bahan Makanan Setiap Bulan Berdasarkan Hasil Kuesioner

56
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa mayoritas sumber perolehan makanan siap


saji di Kota Bandung berasal dari pengolahan sendiri bahan pangan di rumah, dengan
sumber perolehan bahan makanan untuk diolah sendiri berasal dari pasar tradisional,
pedagang keliling, toko kelontong, pasar modern, pasar online, bercocok tanam, hasil
ternak, dan lainnya.
Tabel 2. Sumber Perolehan Bahan Makanan Masyarakat di Kota Bandung
Berdasarkan Hasil Kuesioner

Sumber Perolehan Bahan Makanan

Lokasi Membeli Bahan Persentase Pemenuhan Secara Rata-rata


Makanan (Iya/Tidak) Kebutuhan (Skala Likert)
Pasar Tradisional Pasar Tradisional Pasar Tradisional
Pasar Modern Pedagang Keliling Pedagang Keliling
Toko Kelontong Toko Kelontong Toko Kelontong
Pedagang Keliling Pasar Modern Pasar Modern
Toko Online Toko Online Toko Online
Bercocok Tanam Lainnya Bercocok Tanam
Lainnya Bercocok Tanam Lainnya
Hasil Ternak Hasil Ternak Hasil Ternak

Berdasarkan Tabel 2, sumber perolehan bahan makanan dapat dikategorikan


menjadi 3 yaitu berdasarkan lokasi pembelian, persentase pemenuhan kebutuhan, dan
rata-rata persentase pemenuhan kebutuhan (skala likert). Berdasarkan lokasi pembelian
artinya lokasi tersebut menjadi tempat masyarakat Kota Bandung membeli bahan makanan.
Dalam hal ini, seperti tampak pada Tabel 3, pasar tradisional menempati peringkat pertama,
disusul dengan pasar modern, toko kelontong, pedagang keliling, toko online, bercocok
tanam, lainnya, dan hasil ternak. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kota Bandung
sangat menyadari kehadiran dari pasar tradisional tetapi berbanding terbalik dengan toko
online, bercocok tanam, dan sumber lainnya.
Berdasarkan persentase pemenuhan kebutuhan (Tabel 4), pasar tradisional tetap
konsisten menjadi lokasi utama yang dipilih, dilanjutkan dengan pedagang keliling, toko
kelontong, pasar modern, toko online, lainnya, bercocok tanam, dan hasil ternak. Hal ini
mengindikasikan masyarakat Kota Bandung lebih sering ataupun senang berbelanja bahan
makanan di pasar tradisional, pedagang keliling, dan toko kelontong dibandingkan pasar
modern, toko online, dan lainnya.
Berdasarkan rata-rata persentase pemenuhan kebutuhan menggunakan skala likert
(1 = Tidak Pernah, 2 = 1-25%, 3 = 26-50%, 4 = 51-75%, 5 = 76-100%) pada Gambar 10,
pasar tradisional menjadi lokasi favorit dari masyarakat Kota Bandung untuk membeli bahan
makanan, disusul dengan pedagang keliling, toko kelontong, pasar modern, toko online,
bercocok tanam, lainnya, dan hasil ternak. Tampak adanya perubahan urutan antara
bercocok tanam dan lainnya jika dibandingkan dengan urutan dari persentase pemenuhan
kebutuhan.

57
58
Tabel 3. Lokasi Masyarakat Kota Bandung Berbelanja Bahan Makanan Berdasarkan Hasil Kuesioner

Tanggapan Pasar Pedagang Toko Pasar Toko Bercocok Tanam Beternak Lainnya
Responden Tradisional Keliling Kelontong Modern Online di Rumah di Rumah
yang Berkelanjutan

Iya 94,81% 83,74% 85,79% 86,2% 66,12% 34,63% 12,91% 22,34%


Tidak 5,19% 16,26% 14,21% 13,8% 33,88% 65,37% 87,09% 77,66%
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN

Total 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Tabel 4. Persentase Pemenuhan Kebutuhan Berdasarkan Hasil Kuesioner

Persentase
Pasar Pedagang Toko Pasar Toko Bercocok Tanam Beternak Lainnya
Pemenuhan
Tradisional Keliling Kelontong Modern Online di Rumah di Rumah
Kebutuhan
Tidak Pernah 5,19% 16,26% 14,21% 13,8% 33,88% 65,37% 87,09% 77,66%
1 - 25% 24,8% 34,22% 37,77% 38,32% 37,64% 25% 7,79% 13,39%
26 - 50% 25,89% 25,82% 26,98% 29,85% 17,08% 5,87% 3,55% 5,46%
51 - 75% 27,19% 14,86% 14,75% 14,21% 8,33% 2,73% 1,09% 1,71%
76 - 100% 16,94% 8,74% 6,28% 3,83% 3,07% 1,02% 0,48% 1,78%
Total 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Rata-rata Persentase Pemenuhan Kebutuhan


Pasar Tradisional 3,26
Pedagang Keliling 2,66
Toko Kelontong 2,61
Pasar Modern 2,56
Toko Online 2,09
Bercocok Tanam di Rumah 1,49
Lainnya 1,37
Beternak di Rumah 1,2

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5


Gambar 10. Rata-rata Persentase Pemenuhan Kebutuhan Menggunakan Skala Likert
Berdasarkan Hasil Kuesioner

Berdasarkan hasil dari kuesioner, diketahui bahwa pasar tradisional menjadi pilihan
utama dari masyarakat Kota Bandung untuk berbelanja bahan makanan. Hasil kuesioner
menunjukkan ada 93 lokasi pasar tradisional yang biasa dikunjungi oleh masyarakat Kota
Bandung dan berikut daftar 10 pasar tradisional yang paling banyak dikunjungi (Tabel 5).

Tabel 5. Pasar Tradisional yang Biasa Dikunjungi Masyarakat di Kota Bandung


Berdasarkan Hasil Kuesioner

No. Nama Pasar Jumlah Persentase

1 Pasar Andir 301 10,13%

2 Pasar Cicadas 198 6,66%

3 Pasar Astana Anyar 189 6,36%

4 Pasar Kiaracondong 171 5,75%

5 Pasar Ciroyom Bermartabat 164 5,52%

6 Pasar Ujungberung 162 5,45%

7 Pasar Kosambi 136 4,58%

8 Pasar Sederhana 122 4,1%

9 Pasar Cicaheum 96 3,23%

10 Pasar Kordon 95 3,2%

59
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tabel 5 menunjukkan bahwa pasar yang paling banyak dikunjungi masyarakat di Kota
Bandung adalah Pasar Andir di posisi pertama, Pasar Cicadas pada posisi kedua, Pasar
Astana Anyar pada posisi ketiga, Pasar Kiara Condong pada posisi keempat, dan Pasar
Ciroyom Bermartabat pada posisi kelima. Apabila dilihat berdasarkan pembagian wilayah
Zona PPDB, maka sepuluh pasar teratas yang paling sering dikunjungi tersebar secara
menyeluruh di semua zona.
Hasil kuesioner menunjukkan ada 28 lokasi pasar modern yang biasa dikunjungi oleh
masyarakat Kota Bandung dan 5 pasar modern yang paling banyak dikunjungi adalah
Borma, Indomaret, Superindo, Yogya Group, dan Carrefour (Transmart). Lima pasar
modern tersebut kemudian dikunjungi dan perwakilannya diwawancarai agar didapatkan
informasi yang lebih spesifik terkait alur rantai pasokannya.
Masyarakat Kota Bandung juga mendapatkan sumber bahan makanan segar untuk
diolah dari toko online. Hasil kuesioner menunjukkan ada 35 jenis toko online yang dituju
oleh masyarakat Kota Bandung untuk membeli bahan makanan dan ada 3 (tiga) jenis toko
online yang menduduki peringkat teratas, yaitu Shopee, Lazada, dan Media Sosial
(Instagram, WhatsApp, Facebook). Penelitian lebih lanjut dilakukan dengan mencari toko
yang berjualan pada ketiga platform tersebut, lalu diwawancarai agar mendapatkan
informasi spesifik terkait alur rantai pasoknya.
Selain tujuh sumber bahan makanan yang ditentukan dalam penelitian, beberapa
masyarakat juga memperoleh bahan makanan segar dari sumber lainnya (tampak pada
Gambar 11).

Sumber Lain yang Biasa Digunakan untuk Perolehan Makanan

Pemberian Teman / Saudara / Keluarga / Tetangga 98


Produsen Langsung (Petani, Peternak, Buruan SAE) 25
Hasil Cocok Tanam / Peternakan Keluarga 18
Bantuan Sosial dari RT / RW / Pemerintah 12
Penjual Dadakan 9
Cari Sendiri 3
Agen / Distributor 1

0 20 40 60 80 100 120
Jumlah
Gambar 11. Sumber Lain yang Biasa Digunakan untuk Perolehan Bahan Makanan
oleh Masyarakat di Kota Bandung Berdasarkan Hasil Kuesioner

60
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Gambar 11 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Kota Bandung mendapatkan


bahan makanan dari hasil pemberian, baik itu merupakan pemberian dari teman, saudara,
keluarga, ataupun tetangga. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Bandung masih
memiliki kebiasaan saling memberi kepada sesama. Kondisi ini dapat terjadi karena
masyarakat Kota Bandung merupakan orang Sunda yang masih mempertahankan kearifan
lokal yang dimilikinya. Rahmah (2020) menyebutkan bahwa kearifan lokal yang menjadi
pandangan hidup orang Sunda adalah silih asah (saling mencerdaskan, saling memperluas
wawasan dan pengalaman lahir batin), silih asih (saling mengasihi dengan memberikan
kasih sayang yang tulus), silih asuh (saling membimbing, mengayomi, membina, menjaga,
mengarahkan dengan seksama agar selamat lahir batin), dan silih wawangi (saling
menghubungkan hal positif terhadap sesama).
Selain dari pemberian, ternyata masyarakat Kota Bandung ada yang langsung
membeli ke produsen pangan langsung yaitu petani, peternak dan pihak Buruan Sae yang
ada di Kota Bandung. Dikutip dari website resmi Buruan Sae yang dibuat oleh Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung (2020), disebutkan bahwa Buruan Sae
adalah program Urban Farming terintegrasi yang dirancang oleh Dinas Ketahanan Pangan
dan Pertanian Kota Bandung untuk mengatasi ketimpangan permasalahan pangan yang
ada di Kota Bandung dengan cara berkebun menggunakan pekarangan atau lahan yang
ada agar dapat memenuhi kebutuhan pangan. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa
dampak positif Buruan Sae sudah diterima oleh masyarakat Kota Bandung yaitu dengan
adanya penyediaan kebutuhan pangan yang dibutuhkan dalam tingkat rumah tangga.

Rantai Pasok Pangan di Kota Bandung

Secara umum, pola rantai pasok pangan menurut Iakovou, Bochtis, Vlachos, & Aidonis
(2016) tampak pada Gambar 12, dimana konsumen pada umumnya membeli pangan
melalui retailer, tetapi ternyata berdasarkan hasil kuesioner didapatkan bahwa masyarakat
Kota Bandung ada yang langsung memutus rantai dengan cara membeli langsung ke pihak
yang memproduksi pangan (petani, peternak, Buruan Sae) atau bahkan menanam atau
berternak sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan retailer adalah pihak pihak yang langsung berhubungan dengan konsumen akhir
tapi bukan merupakan produsen. Retailer dapat berupa pasar tradisional, pasar modern,
toko online, toko kelontong, dan pedagang keliling.

61
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Industrial Research Logistics and Import/export


partners institutes 3PL partners traders

Producers/ Agricultural Manufacturers/ Wholesalers Retailers Consumers


farmers cooperatives processors
Transportation Transportation Transportation Transportation
Farming Production
warehousing Warehousing warehousing Warehousing Warehousing
(Packaging) (Packaging) (Packaging) Distribution

Product flows

Governance Process flows Energy and


mechanism
natural
and
resources
sustainability
KPIs
Information flows flows

Financial flows

Gambar 12. Rantai Pasok Pangan Pada Umumnya (Iakovou, 2016)

Oleh karena itu berdasarkan hasil survei yang didapatkan dari hasil kuesioner dan
wawancara dengan pihak retail (pasar tradisional, pedagang keliling, toko kelontong, pasar
modern, dan pasar online) pada penelitian ini dihasilkan gambaran umum kondisi rantai
pasok pangan di Kota Bandung dari sisi konsumen dan dapat dilihat pada alur proses yang
ada pada Gambar 13.

Pasar
Tradisional

Pedagang Pasar
Keliling Konvensional

Toko Kelontong

Petani /
Distributor Pasar Modern Konsumen
Peternak

Pasar Online

Urban Farming

Lainnya

Gambar 13. Rantai Pasok Pangan di Kota Bandung Berdasarkan Hasil Survei

62
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Konsumen rumah tangga memiliki beberapa pilihan penyedia kebutuhan pangan


segarnya. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, pemasok kebutuhan pangan
segar rumah tangga (dalam hal ini rumah tangga disebut sebagai konsumen) terdiri dari
pasar konvensional, pasar modern, pasar online, Urban Farming, dan lainnya. Pasar
konvensional sendiri terbagi menjadi 3 yaitu pasar tradisional, pedagang keliling dan toko
kelontong.
Pasar tradisional mendapatkan suplai pangan segar dari distributor dan juga petani
atau peternak. Pedagang keliling mendapatkan suplai pangan segar dari pasar tradisional,
distributor, dan petani atau peternak. Toko kelontong mendapatkan suplai pangan segar dari
pasar tradisional dan distributor. Pasar modern mendapatkan suplai pangan segar dari
pasar tradisional, distributor, dan petani atau peternak. Pasar online mendapatkan suplai
pangan segar dari pasar tradisional, distributor, dan petani atau peternak. Sedangkan Urban
Farming bertindak sebagai produsen dengan menanam pangan segar ataupun beternak.
Urban Farming dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai konsumen yang menanam sendiri
atau kegiatan bercocok tanam bersama yang dilakukan pada tingkat RT atau RW. Selain
sumber yang telah dipaparkan, ada sumber lain yang didapatkan dari hasil survei yaitu
pemberian dari orang lain (keluarga, sanak saudara, teman, dan tetangga), hasil
mengumpulkan secara mandiri di hutan atau danau, dan bantuan sosial baik dari
pemerintah maupun swasta.

Kesimpulan

Pihak yang mengatur pola konsumsi pangan segar masyarakat di Kota Bandung pada
tingkat rumah tangga didominasi oleh wanita yang berada dalam usia produktif. Oleh karena
itu pendekatan terkait kebijakan pangan sangat tepat jika diarahkan pada kelompok
tersebut, terutama dengan menggunakan pendekatan yang selaras dengan kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat Kota Bandung. Praktek baik dalam penyederhanaan rantai
pasok pangan di Kota Bandung sudah tampak dari adanya kegiatan Buruan Sae yang
dilakukan oleh masyarakat di Kota Bandung. Hal yang perlu ditingkatkan adalah
memperbanyak jenis pangan yang dapat diproduksi sendiri serta menambah jumlah rumah
tangga yang terlibat dalam kegiatan Buruan Sae agar ketergantungan terhadap pangan dari
luar Kota Bandung dapat diminimalkan. Tentunya jenis pangan tersebut harus diselaraskan
dengan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat Kota Bandung. Pemerintah juga perlu
memberikan perhatian secara khusus kepada para pihak yang terlibat dalam rantai pasok
pangan di Kota Bandung agar terjalin hubungan yang baik antar setiap pihak tersebut guna
menjadikan Kota Bandung sebagai Kota Cerdas Pangan.

63
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Referensi

Abraham, S. (2021, Oktober 7). UMR Kota Bandung 2021 Mengalami Kenaikan 3,27%
Bersama Dengan UMK 16 Kota Kabupaten di Jawa Barat Lainnya. Retrieved from
DeskJabar.com: https://deskjabar.pikiran-rakyat.com/jabar/pr-1132748187/umr-
kota-bandung-2021-mengalami-kenaikan-327-bersama-dengan-um k-16-kota-
kabupaten-di-jawa-barat-lainnya
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Indonesia. (2015). Panduan Perhitungan
Pola Pangan Harapan (PPH).
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. (2021). Direktori Perkembangan
Konsumsi Pangan. Indonesia.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (n.d.). Istilah. Sumber dari Badan Pusat Statistik:
https://www.bps.go.id/istilah/index.html?Istilah_page=4
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2021). Jumlah Penduduk (Jiwa), 2018 - 2020.
Sumber dari Badan Pusat Statistik Kota Bandung: https://bandungkota.bps.go.id/
indicator/12/32/1/jumlah-penduduk.html
Dinas Pangan dan Pertanian. (2020). Apakah itu Buruan Sae? . Sumber dari Buruan Sae -
Integrated Urban Farming: https://buruansae.bandung.go.id/index.php/tentang/
Dinas Pendidikan Kota Bandung. (2019). Penentuan Zona PPDB. Humas Kota Bandung.
(2021, September 9). Giatkan Konsep Ketahanan Pangan, Ratusan Buruan SAE
Hadir Secara Sukarela. Sumber dari HUMAS KOTA BANDUNG, Siaran Pers:
https://humas.bandung.go.id/layanan/giatkan-konsep-ketahanan-pangan-ratusan-
buruan-sae-hadir-secara-sukarela
Iakovou, E., Bochtis, D., Vlachos, D., & Aidonis, D. (2016). Supply Chain Management for
Sustainable Food Network. United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd.
Perpres Nomor 18 tahun 2020 . (2020). Perpres Nomor 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2020
- 2024.
Rahmah, S. A. (2020). Implementasi Kearifan Lokal Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Silih
Wawangi dalam Membentuk Karakter Peserta Didik. Sosietas Jurnal Pendidikan
Sosiologi, 1, 791-800.
Stanton, D. (2021). Supply Chain Management for Dummies 2nd ed. New Jersey: John
Wiley & Sons, Inc.

64
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

65
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

66
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

EFEKTIVITAS PRAKTIK “BURUAN SAE”


DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
DI KOTA BANDUNG
Pius Sugeng Prasetyo*, Jeremia G.P. Simanjuntak*, Yuliana Maria Mediatrix*
(*Universitas Katolik Parahyangan)

Visi Pangan Dunia Dan Situasi Global

Jumlah penduduk di dunia selalu meningkat setiap tahunnya. Saat ini jumlah penduduk
dunia telah mencapai 7.1 miliar jiwa. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga
mencapai 9 miliar jiwa pada tahun 2050. Proyeksi penduduk yang bertambah ini juga
meningkatkan kebutuhan dasar manusia terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia dan hak mendasar. Dalam Sustainable
Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), isu pangan berada dalam tajuk
tujuan ke-2 yakni “Tanpa Kelaparan”. Visi dari tujuan ke-2 ini adalah; “Menghilangkan
kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian
berkelanjutan”, yang ingin diwujudkan bersama oleh negara pada tahun 2030 (SDGs, 2015).
Adapun beberapa target kerja tujuan ini, antara lain;

● Target 2.1 Menghilangkan kelaparan dan menjamin akses terhadap semua orang,
termasuk orang miskin, rentan, balita agar mampu mendapat makanan aman yang
bergizi dan cukup sepanjang tahun;
● Target 2.3 menggandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen skala
kecil, khususnya kaum rentan: perempuan, masyarakat penduduk asli, keluarga
petani, penggembala dan nelayanan, termasuk memberikan akses yang sama pada
lahan, sumber daya produktif, dan input lainnya, supporting pengetahuan jasa,
keuangan, pasar, peluang nilai tambah, pekerjaan non-pertanian;
● Target 2.4 menjamin sistem produksi pangan agar berkelanjutan dan menerapkan
praktek pertanian tangguh yang meningkatkan produksi dan produktivitas, menjaga
ekosistem, memperkuat kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca
ekstrim dan bencana lainnya, dan mampu memperbaiki kualitas tanah dan lahan.

Kendati demikian, dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki akses yang
sama terhadap pangan. Dalam bukunya Poverty and Famines tahun 1981, Amartya Sen
menekankan pentingnya dimensi akses. Dalam situasi meskipun pangan tersedia di seluruh
dunia, kelaparan tetap muncul (Clapp et. al, 2021), misalnya di wilayah-wilayah konflik. Di
wilayah yang tidak berkonflik, perbedaan tingkat pendapatan menentukan kualitas gizi yang
didapatkan setiap anggota rumah tangga.

67
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terpadat di dunia.


Implikasinya, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pun tinggi. Dengan tingkat
kesejahteraan seperti saat ini, persentase pengeluaran penduduk Indonesia untuk membeli
bahan pangan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bahan lain, kendati tren ini
berkurang dari tahun ke tahun (Grafik 1). Sementara itu, dengan tingkat konsumsi
masyarakat yang tinggi, pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia tidak semuanya berasal
dari dalam negeri. Beberapa bahan seperti gandum dan kedelai, didapatkan dengan angka
impor yang tinggi (grafik 2). Hal ini berimplikasi pada tingkat ketergantungan pangan
Indonesia terhadap ketersediaan dari luar negeri. Dampaknya, harga bahan pangan tidak
stabil. Misalnya setiap menjelang libur hari raya, harga bahan pangan tertentu selalu naik.
Hal ini juga mengubah aspek ketersediaan gizi kaum rentan; semakin rendah tingkat
pendapatan suatu rumah tangga, rumah tangga tersebut semakin tidak punya pilihan
keragaman gizi.

(%)
60.000

50.000

40.000

30.000

20.000

10.000

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Makanan Non Makanan

Grafik 1: Persentasi pengeluaran penduduk untuk makan dan non-makanan


Sumber: Nurhemi et. al, 2014

Penyediaan pangan juga menghadapi beberapa hal signifikan akibat perubahan


struktur demografis masyarakat. Sektor pertanian termasuk sektor mayor yang
berkontribusi terhadap PDB Indonesia, tetapi sebanyak 50,84% profesi petani didominasi
oleh rumah tangga miskin (BPS, 2020). Perubahan lanskap geografis dengan semakin
meluasnya perkotaan dan menyempitnya desa juga mendukung peralihan pekerjaan
masyarakat dari bidang pertanian menjadi non-pertanian. Di skala yang lebih kecil, peran
perempuan dalam produksi pangan rumah tangga semakin marginal, karena kaum
perempuan tidak memiliki kemampuan membuat keputusan di sistem kemasyarakatan.

68
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

100%
Impor 5,98% Impor 10,49%
90%

80%
Impor 54,79%
70%
Impor 68,46%
60%

50% Impor 100%


Produksi 94,02% Produksi 89,51%
40%

30%
Produksi 45,21%
20%
Produksi 31,54%
10%

0%
Beras Kedelai Gula Gandum Jagung

Grafik 2: Proporsi Impor dan Produksi Bahan Pangan Indonesia


Sumber: Nurhemi et. al, 2014

Merespon situasi global yang ada, muncul juga beberapa gerakan di


masyarakat terkait fenomena ini. Urban farming sedang menjadi tren terbaru bagi
masyarakat Kota Bandung. Jargon 'Ketahanan Pangan' sedang sering digencarkan
di berbagai komunitas, baik di kalangan umum maupun penggiat lingkungan hidup.
Namun tidak hanya sekadar tren, karena alasan 'krisis' yang disebutkan di bagian
awal juga mendorong munculnya gerakan ini.
Fenomena ini juga yang ditangkap oleh Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian Kota Bandung (DKPP). Berdasarkan pengamatan dari tim kedinasan,
situasi pangan Kota Bandung saat ini dapat dikatakan rawan. Hal ini karena 90%
pangan Kota Bandung berasal dari luar Kota Bandung, yakni kawasan kabupaten
seperti Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Bandung Barat (DKPP, 2021).
Lahan pertanian dan peternakan semakin menyempit atau berpindah ke luar Kota
Bandung, karena mulai berkembangnya pemukiman. Akibatnya ketersediaan
pangan dalam kota Bandung rawan inflasi; yakni, jika terdapat perubahan harga,
sangat rawan terjadi kelangkaan pangan (DKPP, 2021).
DKPP Kota Bandung menggalakan program urban farming bernama Buruan
Sae, Buruan artinya halaman, Sae yang berarti indah, asri, cantik, adalah gerakan
yang dilakukan oleh keluarga, komunitas, atau institusi untuk membuat pertanian
urban di lahan-lahan yang kosong yang ada di sekitar wilayah komunitas atau
lembaga tersebut berada (DKPP, 2021). Metode ini dilakukan dengan menanam
berbagai macam sayuran dan buah, serta 6 sektor kegiatan lainnya termasuk
tanaman obat, peternakan, perikanan, dan pengomposan. Saat ini terdapat 234 titik
Buruan Sae di 151 kelurahan di Kota Bandung.
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan komunitas
masyarakat Kota Bandung terhadap kerawanan pangan, Menurut DKPP, tujuan
dari program ini adalah; 1) Kemandirian pangan; 2) Rantai pangan; 3) Center of

69
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

excellent, pangan aman dan sehat. Program ini merupakan inovasi kebijakan berupa
kebijakan integratif yang mengombinasikan pendekatan komunikatif, finansial, dan legal
untuk mencapai ketahanan pangan komunitas masyarakat Kota Bandung (DKPP, 2021).
Penelitian ini berusaha mendeskripsikan manfaat pelaksanaan program Buruan Sae
terhadap komunitas masyarakat pelakunya yang berada di Kota Bandung. Penelitian ini
menjawab pertanyaan penelitian: “Bagaimana efektivitas program “Buruan Sae” (urban
farming) terhadap ketahanan pangan komunitas masyarakat Kota Bandung?”

Kerangka Konseptual

Food security pertama kali diperkenalkan dalam World Summit on Food Security tahun
1996. Menurut FAO, Food security adalah keadaan ketika setiap manusia memiliki akses
baik secara fisik, sosial, dan ekonomi pada bahan pangan yang aman, cukup, dan bernutrisi
yang dibutuhkan untuk beraktivitas (FAO, 1996).
Bersama dengan konsep food security muncul juga juga konsep self-sufficiency dan
food sovereignty. Self-sufficiency mengacu kepada kemampuan memenuhi kebutuhan
pangan pribadi. Sementara itu, Food sovereignty diartikan sebagai kemampuan suatu
negara untuk memenuhi kebutuhan domestik pangannya sendiri tanpa bergantung pada
negara lain. Pendekatan ini seringkali dikaitkan dengan kebijakan proteksi impor dan tidak
liberal (Pinstrup-Andersen, 2009). Ketiga pengertian ini juga diadaptasi ulang oleh
Pemerintah Indonesia dalam UU no. 18 tahun 2018 tentang Pangan. Setidaknya ada 4
(empat) pengertian menurut undang-undang, (Tabel 1).
Salah satu metode produksi pangan yang muncul baru-baru ini adalah pertanian
dilakukan oleh komunitas. Dalam beberapa literatur, pertanian komunitas menjadi tren
produksi pangan urban. Meskipun demikian, gerakan ini muncul sebagai suplemen
terhadap produksi pangan konvensional. Urban Farming atau Urban Agriculture cukup
banyak dibahas dalam literatur yang studi objeknya daerah Sub-Sahara Afrika dan Asia (De
Bon et. al, 2009) Aktivitas ini masih terkait dengan penghasilan tambahan bagi sebagian
masyarakat, terutama di daerah Asia dan Sub-Sahara Afrika. Sementara itu, di daerah
belahan bumi utara, kegiatan ini lebih bersifat leisure. Istilah lain untuk Urban agriculture di
Amerika Serikat disebut community gardening.

70
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tabel 1: Konsep ‘ketahanan pangan’ menurut UU no. 12 tahun 2018


UU no. 12 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pangan

Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk
menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal

Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang
beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup
sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Ketahanan Pangan kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Keamanan Pangan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan,dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakatsehingga aman untuk dikonsumsi.

Sumber: UU No. 12 Tahun 2018

Kegiatan dalam Urban agriculture antara lain membudidayakan tumbuhan dan


hewan ternak bagi kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya di dalam kota (Van
Veenhuizen, 2006). Dorongan global saat ini dengan disrupsi di berbagai bidang, perubahan
iklim, dan pandemi COVID-19 membuat urban agriculture mendorong ketahanan pangan di
kota jadi perhatian, dan apakah self-sufficiency sejauh mana bisa dicapai dengan urban
agriculture (Langemeyer et. al., 2021).
Dari pengalaman di lapangan, sumbangsih urban agriculture kepada rumah tangga
beragam, baik dari derajat konsumsi sendiri, maupun menjadi sumber pendapatan (De Bon,
2009). Sumbangsih ini juga beragam di setiap daerah, misalnya pemanfaatan Urban
agriculture di Amerika Serikat dan di Afrika. Di negara-negara berkembang, Urban
agriculture berperan untuk menunjang kebutuhan konsumsi rumah tangga dan pemenuhan
nutrisi.
Terdapat kaitan antara Urban agriculture dengan kota berkelanjutan (sustainable
cities) (Deelstra dan Girardet, 2000; Smit et. al, 1996). Kota rentan terhadap ancaman
perubahan iklim dan masalah sosial, sementara perencanaan kota yang tidak berdasarkan
pada wawasan sosial dan ekologis mendorong tingginya ketimpangan sosial, kekurangan
makanan, dan terdampak COVID-19 dan perubahan iklim (Langemeyer et. al., 2021). Dari
sisi kemampuan menyediakan pangan, kota modern saat ini tidak punya kemampuan untuk
mengolah potensi nutrisinya/unsur hayati, sehingga aktivitas kota merusak siklus ekologis
(Langemeyer et. al., 2021). Menarik untuk melihat peran kota terhadap kemampuan
memperbaharuinya. Peran kota terutama adalah menyediakan pangan kepada
masyarakatnya.
Menjadi penting bagi pemerintah kota untuk mendorong kebijakan-kebijakan maupun
aktivitas yang mendukung penyediaan pangan bagi masyarakat. Misalnya saja, beberapa
halangan dalam menjalankan aktivitas urban agriculture, antara lain; kurangnya

71
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

tempat/penyediaan lahan sulit, keterbatasan waktu, keterbatasan sumber daya, dan


permasalahan hak kepemilikan atau hak guna (Davies et. al, 2021). Ranah-ranah ini
memerlukan intervensi pemerintah untuk mengharmonisasi agar aktivitas Urban agriculture
dapat berlangsung. Terlebih lagi, karena ada alasan besar seperti perubahan struktural
dengan COVID-19 dan perubahan iklim (Kingsley et. al, 2021; Langemeyer et. al., 2021)
dalam melaksanakan Urban agriculture, dan juga untuk preservasi lahan dan manfaat
inklusi sosial (Langenmeyer et. al, 2021, Tapia et. al, 2021).
Untuk itu, dukungan pemerintah dalam mendorong peningkatan pangan, pemenuhan
kecukupan penduduk, serta disaat yang sama restorasi lingkungan dapat berupa; a)
integrasi di perencanaan urban; b) dukungan finansial; c) agribisnis yang berkelanjutan dan
komersial; d) marketing dan labeling (De Bon, et. al, 2009). Peran pemerintah kota menjadi
penting karena kota adalah mesin pertumbuhan, perannya dalam era globalisasi ekonomi
kekinian. Kota saling berjejaring, dan dapat lebih adaptif terhadap perubahan. Kota juga
berperan mendorong keberlanjutan ketahanan pangan dan dalam menganalisis tantangan
ketahanan pangan modern. Jaraknya juga dekat dengan pemerintah pusat. Secara
kesiapan infrastruktur, kota memiliki tempat infrastruktur fisik dan sosial yang respon paling
tanggap pada krisis (Moragues-Faus dan Ana, 2019). Hal ini juga mendukung municipalism;
yakni, kota sebagai tempat strategis kebijakan yang transformatif (Russel 2019), dengan
memperluas wawasan kebijakan dengan wawasan ekologi dan sosial yang berkeadilan
(Langemeyer et. al., 2021).

Efektivitas Buruan Sae Berdasarkan Hasil Survey

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap efektivitas
Buruan Sae (Urban farming) khususnya terkait dengan efektivitasnya yang dilihat dari aspek
: Ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan, sosial. Dari kelima aspek tersebut kita
akan mendapatkan informasi sampai sejauh mana efektivitas praktik Buruan Sae dapat
memberikan kontribusi bagi upaya untuk menopang sistem ketahanan pangan kota
Bandung.
Eksplorasi ini dilakukan melalui survey terhadap 15 sampel Buruan Sae yang ada di
kota Bandung. Survey dilakukan kepada 15 belas orang responden yang merupakan
perwakilan dari 15 Kelompok Buruan Sae. Adapun 15 Kelompok Buruan Sae yang dijadikan
sampel pada survey ini adalah sebagai berikut: 1. Buruan Sae Pajajaran; 2. Buruan Sae
Sabilulungan; 3. Buruan Sae Ratu; 4. Buruan Sae Promoter BaCip; 5. Buruan Sae Family
Dungus Cariang; 6. Buruan Sae Serasa Dama; 7. Buruan Sae Sauyunan 09; 8. Buruan Sae
Sauyunan 10; 9. Buruan Sae 04 Pacing; 10. Buruan Sae Sapujagat; 11. Buruan Sae Bestari;
12. Buruan Sae Ngorejat 03; 13. Buruan Sae Hegar; 14. Buruan Sae RJ; 15. Buruan Sae
Kurdi Asri.

72
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Profil dan Pengelolaan Buruan Sae

Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan bahwa responden laki-laki


adalah 40% dan responden perempuan 60%. Dari data ini menunjukkan bahwa gerakan
Buruan Sae lebih banyak melibatkan perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki. Dari
hasil pengamatan memang menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan lebih banyak
berasal dari komunitas ibu-ibu PKK baik di tingkat RT/RW/Kelurahan. Dengan demikian
gerakan ini telah berhasil memberikan penegasan perspektif gender khususnya yang
melibatkan perempuan. Komposisi usia mereka yaitu, yang berusia >35 Tahun berjumlah
73.3% dan yang berusia ≤35 Tahun berjumlah 26.7%.

Pengelolaan Buruan Sae

Berdasarkan hasil survey, diperoleh informasi terkait jangka waktu pengelolaan Buruan
Sae. Dari 15 sampel Buruan Sae, yang telah dikelola selama 1 Tahun berjumlah 5 kelompok
(33.3%), yang telah dikelola selama 1.5 Tahun berjumlah 5 kelompok (33.3%), yang telah
dikelola selama >2 Tahun berjumlah 4 kelompok (26.7%), dan yang telah dikelola selama 6
Bulan berjumlah 1 kelompok (6.7%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa buruan sae ini
tergolong relatif masih muda, namun sudah memberi dampak yang sangat positif dari sisi
kemanfaatan sebagaimana yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
Sementara itu, terkait luas lahan yang dikelola, berdasarkan hasil survey diketahui
ada sejumlah 3 kelompok (20%) mengelola lahan seluas <10 meter persegi, 7 kelompok
(46.7%) mengelola lahan seluas 10-50 meter persegi, 5 kelompok (33.3%) mengelola lahan
seluas 50-100 meter persegi. Dari hasil pengamatan dan informasi yang diperoleh informasi
bahwa kebanyakan buruan sae dikelola dalam lahan-lahan yang relatif sempit mengingat
lahan-lahan di wilayah perkotaan memang sangat terbatas. Lahan-lahan tersebut sebagian
besar dimiliki oleh pemerintah sedangkan lainnya merupakan lahan milik pribadi maupun
komunitas.
Dari hasil survey menunjukkan bahwa buruan sae yang dilakukan oleh warga
masyarakat sebagian besar didanai oleh pemerintah , namun ada juga yang didanai secara
pribadi atau dana komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Bandung
mempunyai komitmen yang sangat besar dalam mendukung dan memajukan program
Buruan Sae. Metode penanaman yang dilakukan, menggunakan metode Tabulampot
(Tanam Buah Dalam Pot), Hidroponik dan menggunakan metode Vertikultur. Mereka pada
umumnya menanam sayuran, tanaman herbal, serta umbi-umbian. Selain melakukan
penanaman mereka ada juga yang memelihara ternak dan juga perikanan. Buruan Sae ini
pada dasarnya juga melakukan aktivitas mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan,
peternakan/perikanan, serta ada juga yg melakukan pengelolaan sampah.

73
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Manfaat Buruan Sae

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil survey terkait manfaat Buruan Sae yang didapatkan
kelompok Buruan Sae dalam pengelolaan Buruan Sae. Adapun manfaat-manfaat yang
ditanyakan terbagi menjadi lima aspek, yaitu antara lain: 1. Manfaat Ekonomi; 2. Manfaat
Lingkungan; 3. Manfaat Kesehatan; 4. Manfaat Sosial; 5. Manfaat Pendidikan

Manfaat Ekonomi

Terkait dengan manfaat ekonomi, hasil pengelolaan Buruan Sae dapat bermanfaat secara
ekonomi dan meningkatkan pendapatan kelompok Buruan Sae melalui penjualan hasil
panennya.

1. Hasil panen Buruan Sae digunakan untuk...


15 responses

Konsumsi Pribadi 11 (73,3%)

Dijual 12 (80%)

0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5

Diagram 1. Hasil Panen

Berdasarkan hasil survey terlihat bahwa sejumlah 12 kelompok (80%) menjual hasil
pengelolaan Buruan Sae-nya dan sejumlah 11 kelompok (73.3%) menggunakan hasil
Buruan Sae untuk konsumsi pribadi. Terlihat bahwa mayoritas kelompok walaupun
perbedaanya sedikit, telah menjual hasil pengelolaan Buruan Saenya, dan tidak hanya
untuk konsumsi pribadi. Hal ini menunjukkan hal yang baik sebab buruan sae memberikan
manfaat secara ekonomi bagi kelompok pengelola Buruan Sae.
Kelompok Buruan Sae yang tidak menjual hasil panennya, mengemukakan beberapa
hal terkait mengapa hasil panen tersebut tidak dijual dan alasan yang paling banyak dipilih
adalah 'Produk Cukup Dikonsumsi Sendiri' (53.3%), 'Kualifikasi Produk Belum Sesuai
Dengan Tuntutan Pasar' (46.7%), 'Tidak Punya Pasar' (13.3%), dan 'Tidak Tahu
Memasarkan' (6.7%). Hal ini tentunya menjadi perhatian bersama dalam pengelolaan
Buruan Sae di Kota Bandung kedepannya agar bagaimana hasil panen dapat
diperjualbelikan dan mengatasi segala kesulitan yang muncul agar kemudian pengelolaan
Buruan Sae memberikan dampak/manfaat ekonomi bagi kelompok-kelompok Buruan Sae.

2. Alasan untuk tidak menjual hasil panen:


15 responses
Produk Cukup 8 (53,3%)
Dikonsumsi Sendiri
Tidak Tahu Bagaimana
1 (6,7%)
Memasarkan
Kualifikasi Produk Belum Sesuai
7 (46,7%)
Dengan Tuntutan Pasar
Tidak Punya Pasar 2 (13,3%)

0 2 4 6 8

Diagram 2. Alasan Tidak Menjual Hasil Panen


74
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Sementara itu, kelompok-kelompok yang memperjualbelikan hasil panennya, seperti


terlihat pada Diagram 3, mayoritas masih memperjualbelikan hasil panennya dalam skala
yang kecil yaitu memperjualbelikan hasil panen kepada tetangga (100%).

3. Jika dijual, pada siapa hasil panen Buruan Sae dijual?


15 responses

Pedagang Pasar 0 (0%)

Perusahaan 0 (0%)

Tetangga 15 (100%)

Pengepul 0 (0%)

0 5 10 15

Diagram 3. Pemasaran Hasil Panen

Untuk pemasaran hasil panen, mayoritas kelompok Buruan Sae memasarkannya


dengan memberitahu/menawarkan secara langsung kepada calon pembeli (100%) dan
teknik pemasaran lain yang dilakukan adalah dengan memasarkan hasil panen
menggunakan media sosial (13.3%). Terlihat bahwa dalam hal pemasaran masih
menggunakan teknik pemasaran “tradisional” dengan menawarkan secara langsung.
Kedepannya perlu dilakukan teknik pemasaran lain yang dapat lebih menjangkau pembeli
hasil panen Buruan Sae agar dapat memberikan dampak/manfaat ekonomi yang lebih
besar.

5. Berapa penghasilan dari hasil panen Buruan Sae per bulan?


15 responses

Rp 0 - 500.000
Rp 500.000 - 1.000.000
Rp 1.000.000 - 1.500.000
Rp 1.5000.000
86,7%

Diagram 4. Penghasilan Hasil Panen

Jika ditinjau dari penghasilan yang didapatkan dari hasil penjualan hasil panen
Buruan Sae, dapat terlihat dalam Diagram 4 bahwa penghasilan yang didapatkan belum
cukup besar. Mayoritas kelompok Buruan Sae (13 kelompok) mendapatkan 0-500.000
(86.7%) dari hasil menjual hasil panennya. Sejumlah 1 kelompok mendapatkan penghasilan
500.000 - 1.000.000 (6.7%) dan 1 kelompok lain mendapatkan penghasilan 1.500.000
(6.7%) dari menjual hasil panennya.

75
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Buruan Sae sendiri saat ini bukanlah menjadi sumber penghasilan utama dari
kelompok-kelompok pengelola Buruan Sae yang menjadi responden. Sejumlah 12
kelompok (80%) mengemukakan bahwa Buruan Sae bukan merupakan sumber
penghasilan utama dan sejumlah 3 kelompok (20%) mengemukakan Buruan Sae
merupakan sumber penghasilan utama. Berdasarkan hasil survey, didapatkan informasi jika
memang Buruan Sae merupakan sumber penghasilan tambahan. Sejumlah 12 kelompok
(80%) mengemukakan bahwa Buruan Sae merupakan penghasilan tambahan dan
sejumlah 3 kelompok (20%) mengemukakan bahwa Buruan Sae merupakan penghasilan
utama. Tentu saja Buruan Sae juga membutuhkan biaya pengelolaan yang tidak sedikit
untuk menjamin keberlanjutannya.

Manfaat Lingkungan

Manfaat lingkungan yang dihasilkan melalui pengelolaan urban farming adalah dapat
mengurangi polusi lingkungan baik di tanah, air maupun udara (Lasat, 2000).

1. Apakah terdapat perubahan yang nampak pada media tanam/tanah dengan kegiatan Buruan Sae?
(misal: tanah menjadi lebih subur, dsb.)
15 responses

Ya
Tidak

93,3%

Diagram 5. Perubahan Media Tanam/Tanah

Selain perubahan pada media tanam/tanah, kegiatan Buruan Sae juga memberikan
perubahan pada kondisi udara. Berdasarkan hasil survey, mayoritas kelompok (100%)
mengemukakan bahwa adanya perubahan kondisi udara dampak dari kegiatan Buruan Sae
yang mereka lakukan.
Berdasarkan hasil survey, terkait dengan lingkungan khususnya media tanam/tanah
diperoleh informasi bahwa terdapat perubahan yang nampak dari media tanam/tanah
(tanah menjadi lebih subur) dengan kegiatan Buruan Sae. Sebanyak 14 kelompok (93.3%)
mengemukakan bahwa terjadi perubahan tersebut dan sejumlah 1 kelompok (6.7%)
mengemukakan bahwa tidak terjadi perubahan pada media tanam.
Selain perubahan media tanam/tanah dan perubahan kondisi udara, dalam tinjauan
manfaat lingkungan juga terkait dengan pemanfaatan bahan-bahan alami sebagai pupuk
alami dalam mengelola Buruan Sae. Berdasarkan hasil survey, 14 kelompok Buruan Sae
(93.3%) mengemukakan bahwa kelompok mereka memanfaatkan/mengolah sampah
rumah tangga menjadi pupuk kompos/eco-enzyme untuk tanaman Buruan Sae dan 1

76
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

kelompok (6.7%) yang memanfaatkan/mengolah sampah rumah tangga menjadi pupuk


kompos/eco-enzyme untuk tanaman Buruan Sae.

3. Apakah Anda memanfaatkan/mengolah sampah rumah tangga menjadi pupuk


kompos/eco-enzyme untuk tanaman Buruan Sae?
15 responses

Ya
Tidak

93,3%

Diagram 6. Pemanfaatan Sampah Rumah Tangga Menjadi Pupuk

Dalam hal pengolahan/pemanfaatan bahan alami lain seperti kotoran ternak menjadi
pupuk kandang, 10 kelompok (66.7%) mengemukakan bahwa kelompok mereka
memanfaatkan/mengolah kotoran ternak menjadi pupuk kandang untuk tanaman Buruan
Sae dan 5 kelompok (33.3%) mengemukakan bahwa mereka tidak
memanfaatkan/mengolah kotoran ternak menjadi pupuk kandang untuk tanaman Buruan
Sae. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas kelompok Buruan Sae sudah
mengolah/memanfaatkan bahan-bahan alami dalam pengelolaan Buruan Sae-nya dan
tentunya hal ini memberikan dampak yang baik bagi lingkungan.
Selain pemanfaatan bahan-bahan alami sebagai pupuk, terkait manfaat lingkungan
juga ditinjau terkait pemanfaatan barang-barang bekas rumah tangga dalam pengelolaan
Buruan Sae. Berdasarkan hasil survey, 14 kelompok (93.3%) mengemukakan bahwa
kelompok mereka memanfaatkan barang-barang bekas rumah tangga dalam pengelolaan
Buruan Sae-nya dan sejumlah 1 kelompok (6.7%) mengemukakan bahwa mereka tidak
memanfaatkan barang-barang bekas rumah tangga yang masih bisa terpakai dalam
pengelolaan Buruan Sae-nya. Mayoritas kelompok Buruan Sae sudah memanfaatkan
barang-barang bekas rumah tangga yang masih bisa terpakai dalam pengelolaan Buruan
Sae-nya dalam pengelolaan Buruan Sae-nya dan tentunya hal ini memberikan dampak
yang baik bagi lingkungan, sebab barang-barang bekas yang masih bisa terpakai tersebut
tidak menjadi sampah dan dapat dimanfaatkan kembali.

Manfaat Kesehatan

Pengelolaan Buruan Sae dan hasilnya diharapkan dapat memberikan manfaat kesehatan
bagi kelompok-kelompok pengelola Buruan Sae. Hasil panen Buruan Sae diharapkan dapat
memberikan sumber makanan sehat bagi kelompok pengelolanya.

77
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

1. Apakah hasil Buruan Sae dapat memperbaiki menu makanan sehat


15 responses

Ya
Tidak
100%

Diagram 7. Hasil Buruan Sae Memperbaiki Menu Makanan Sehat

Berdasarkan hasil survey, mayoritas kelompok (100%) mengemukakan bahwa hasil


panen dari pengelolaan Buruan Sae dapat memperbaiki menu makanan sehat. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil panen dari Buruan Sae memberikan dampak positif dalam hal
kesehatan, karena dikelola dengan memanfaatkan bahan-bahan alami. Hal ini diharapkan
dapat membuat hasil panen Buruan Sae bisa menjadi sumber makanan yang lebih sehat
karena tidak menggunakan pupuk kimia.
Selain memperbaiki menu makanan sehat, dalam hal manfaat kesehatan juga ditinjau
terkait penanaman dan pengolahan tanaman-tanaman obat yang diharapkan dapat
memberikan obat-obat alami/alternatif bagi pengelola Buruan Sae. Berdasarkan hasil
survey, mayoritas kelompok Buruan Sae menanam jenis tanaman obat, yaitu antara lain:
jahe, kunyit, kemangi, cikur, sereh, binahong, lengkuas, daun mint, rosela, jinten, daun
telang, kunyit, pegagan, kencur. Selanjutnya diantara mereka ada sejumlah 8 kelompok
(53.3%) menanam dan mengolah jenis tanaman obat menjadi obat herbal dan sejumlah 7
kelompok (46.7%) tidak mengolah tanaman obat menjadi obat herbal. Hal ini tentu saja
menjadi kreativitas dan inovasi hasil tanaman dari Buruan Sae.

Manfaat Sosial

Manfaat Sosial berkaitan dengan apakah dalam pengelolaan Buruan Sae, kelompok Buruan
Sae mendapatkan dampak/manfaat sosial dalam mengelola Buruan Sae-nya.

1. Apakah terbentuk komunitas/perkumpulan baru melalui pengelolaan Buruan Sae?


15 responses

Ya
20%
Tidak

80%

Diagram 8. Komunitas/Perkumpulan Baru Melalui Buruan Sae

78
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Berdasarkan hasil survey, diperoleh informasi bahwa sejumlah 12 kelompok (80%)


mengemukakan bahwa terbentuk komunitas/perkumpulan melalui pengelolaan Buruan
Sae, terlihat bahwa adanya interaksi-interaksi sosial baru dalam pengelolaan Buruan Sae
yang kemudian mengarah pada terbentuknya komunitas/perkumpulan baru melalui Buruan
Sae. Sementara itu sejumlah 3 kelompok (20%) mengemukakan bahwa tidak ada terbentuk
komunitas/perkumpulan baru melalui pengelolaan Buruan Sae.
Secara sosial, kegiatan pengelolaan Buruan Sae mendorong relasi sosial antar
warga. Semua mengemukakan bahwa kegiatan pengelolaan Buruan Sae mengakrabkan
relasi sosial antar warga. Hal ini tentu saja menunjukkan hal yang baik sebab relasi sosial
yang baik antar warga melalui kegiatan Buruan Sae dapat memberikan dampak positif dan
memperkecil kemungkinan adanya konflik-konflik sosial yang memang kerap terjadi di
dalam lingkungan sosial masyarakat.
Kegiatan pengelolaan Buruan Sae juga dapat meningkatkan kepedulian sosial antar
warga. Semua responden mengemukakan bahwa kegiatan Buruan Sae meningkatkan
kepedulian sosial antar warga. Berdasarkan survey, selain relasi sosial yang semakin baik,
kegiatan Buruan Sae memberikan dampak positif dengan semakin meningkatkan
kepedulian sosial antar warga. Hal ini tentunya menunjukkan hal yang sangat baik, sebab di
masa pandemi seperti saat ini, melalui kegiatan Buruan Sae masyarakat dapat tetap saling
peduli antar satu dengan yang lain.
Hal lain yang ditinjau dalam konteks sosial adalah keterlibatan kaum perempuan,
sebab hal ini merupakan hal yang sangat penting saat ini dimana keterlibatan kaum
perempuan sangat penting dalam berbagai aspek. Berdasarkan hasil survey, keterlibatan
kaum perempuan dalam pengelolaan Buruan Sae telah cukup baik. Sejumlah 6 kelompok
(40%) mengemukakan bahwa pengelolaan Buruan Sae-nya telah melibatkan perempuan
dalam kisaran 75-100%, sejumlah 4 kelompok (26.7%) mengemukakan bahwa keterlibatan
kaum perempuan dalam pengelolaan Buruan Sae-nya dalam kisaran 50-75%, 3 kelompok
(20%) mengemukakan bahwa keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan Buruan
Sae-nya dalam kisaran 0-25% dan sejumlah 2 kelompok (13.3%) mengemukakan bahwa
keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan Buruan Sae-nya dalam kisaran 25-50%.
Data ini menegaskan bahwa gerakan Buruan Sae telah banyak melibatkan kelompok
perempuan yang dalam banyak hal didukung oleh ibu-ibu PKK.

Manfaat Pendidikan

Manfaat Pendidikan berkaitan dengan apakah dalam pengelolaan Buruan Sae, kelompok
Buruan Sae mendapatkan dampak/manfaat pendidikan dalam mengelola Buruan Sae-nya.
Berdasarkan hasil survey, mayoritas kelompok Buruan Sae (60%) atau sejumlah 9
kelompok mengemukakan bahwa sebelum memulai bercocok tanam, mereka telah
mengetahui teknik bertani di lahan sempit dan sejumlah 6 kelompok (40%) mengemukakan
bahwa sebelum bercocok tanam mereka tidak mengetahui teknik bertani di lahan sempit.
Hal ini menunjukkan bahwa sebelum memulai aktivitas Buruan Sae-nya, beberapa

79
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

kelompok telah terlebih dahulu memiliki pengetahuan terkait teknik-teknik bertani di lahan
sempit, yang merupakan pengetahuan yang sangat baik untuk dipraktekkan dalam
pengelolaan Buruan Sae yang merupakan jenis pertanian yang dilakukan di lahan
terbatas/sempit.

2. Dari manakah Anda mempelajari teknik bertani di lahan sempit (Buruan Sae)?
15 responses

Youtube
80% Buku
Blog
20%
Sumber lainnya

Diagram 9. Media Belajar

Terkait dengan media belajar yang digunakan, sejumlah 12 kelompok (80%)


mengemukakan bahwa mereka menggunakan media belajar lainnya/sumber lainnya dalam
belajar terkait teknik-teknik bertani atau pengelolaan Buruan Sae, sementara itu sejumlah 3
kelompok (20%) menggunakan media Youtube dalam belajar terkait teknik-teknik bertani
atau pengelolaan Buruan Sae. Dalam hal ini pemerintah juga memberikan berbagai
pelatihan dalam rangka meningkatkan produktivitas melalui pelatihan budidaya Buruan
Sae.

Catatan Penutup : Tantangan Keberlanjutan

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan Buruan Sae adalah aspek keberlanjutan
(sustainability). Urban Farming (Buruan Sae) sendiri dapat menjadi solusi alternatif dalam
sistem pangan perkotaan. Aspek keberlanjutan pada survey ini berfokus kepada 3 hal, yaitu
Kelembagaan Pengelolaan Buruan Sae, Dukungan Finansial, dan Jejaring/Kerja sama
Berdasarkan hasil survey, terkait dengan kelembagaan pengelolaan Buruan Sae,
menunjukkan bahwa sebagian besar (73.3%) mengemukakan bahwa ada
lembaga/kelompok yang mengelola Buruan Sae, sedangkan sisanya (26.7%)
mengemukakan tidak ada lembaga yang mengelolanya. Hal ini tentu saja menjadi catatan
penting ketika Buruan Sae ingin dikembangkan dan dijaga keberlanjutannya yang menuntut
keberadaan dan fungsi lembaga/organisasi pengelolanya. Kepengurusan
lembaga/organisasi pengelola Buruan Sae biasanya dilakukan antara 5 - 8 orang pengurus.
Kepengurusan ini dilakukan secara sukarela. Dalam arti bahwa mereka sewaktu-waktu
dapat berhenti atau mengundurkan diri. Hal ini tentu saja perlu dijadikan catatan bahwa
komitmen yang kuat sangat dibutuhkan untuk menjamin kemajuan dan keberlanjutan
Buruan Sae.
Selanjutnya, dalam hal dukungan finansial, diketahui bahwa mayoritas kelompok
(60%) Buruan Sae tidak mendapatkan dukungan finansial/bantuan keuangan dari suatu

80
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

lembaga tertentu sedangkan (40%) mengemukakan bahwa mereka menerima dukungan


finansial/bantuan keuangan dari suatu lembaga tertentu. Informasi juga didapatkan bahwa
pemerintah Kota Bandung melalui DKPP banyak memberikan dukungan untuk
pengembangan Buruan Sae. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek finansial/keuangan
merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung pengelolaan Buruan Sae
kedepannya. Tanpa kondisi keuangan yang sehat dan kuat maka akan sangat sulit untuk
mengelola Buruan Sae secara berkelanjutan. Maka tantangan kedepannya adalah
bagaimana membentuk suatu sistem keuangan yang baik dalam pengelolaan Buruan Sae,
artinya pengelolaan Buruan Sae dapat memanfaatkan berbagai sumber pemasukan, baik
itu berupa bantuan dari suatu lembaga tertentu ataupun pemasukan berasal dari
pengelolaan Buruan Sae itu sendiri.
Sementara itu, dalam hal jejaring/kerja sama, berdasarkan hasil survey diperoleh
informasi bahwa saat ini mayoritas kelompok Buruan Sae menjalin kerja sama dengan
Pemerintah (86.7%). Selain dengan Pemerintah, kelompok-kelompok Buruan Sae juga
menjalin kerja sama dengan Perusahaan (20%), menjalin kerja sama dengan Perguruan
Tinggi (13.3%), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (13.3%). Kerja sama dengan pihak lain
dalam pengelolaan Buruan Sae juga merupakan hal yang penting karena dukungan-
dukungan dari pihak eksternal ini dapat membentuk sistem pengelolaan yang
berkelanjutan, apakah dalam hal pengembangan,pemasaran dan penjualan Buruan Sae,
jejaring, dan kerja sama yang luas dapat memungkinkan hal tersebut. Jejaring ini telah
dimiliki oleh semua Buruan Sae yang menjadi responden. Hal ini tentu saja menjadi modal
yang sangat baik untuk menopang keberlanjutan Buruan Sae.

81
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

DOKUMENTASI

Tampak lokasi salah satu kelompok Selain tanah, lahan yang dimanfaatkan
Buruan Sae di Kec. Astana Anyar juga bisa berbentuk vertikal berupa
(Sumber: BS Kurdi Asri) hidroponik seperti di Kec. Bandung Kidul
(Sumber: BS Ngorejad)

Secara umum, pelaku kegiatan Buruan Sae didominasi oleh kaum perempuan.
(Sumber: BS Sabilulungan dan BS Family)

Kegiatan Buruan Sae Aktivitas Buruan Sae juga


memberi manfaat edukasi. memberi manfaat lingkungan;
(Sumber: BS Bestari) pengolahan sampah untuk
dijadikan media tanam
(Sumber: BS Riyadhul Jannah)

82
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Sumber

Badan Pusat Statistik. (2018). Hasil Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) 2018 (05230.
1901; p. 206). Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/publication/2019/10/31/
9567dfb39bd984aa45124b40/hasil-survei-pertanian-antar-sensus--sutas--2018-
seri-a2.html.

Davies, J., Hannah, C., Guido, Z., Zimmer, A., McCann, L., Battersby, J., & Evans, T. (2021).
Barriers to urban agriculture in Sub-Saharan Africa. Food Policy, 103, 101999.
https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101999

De Bon, H., Parrot, L., & Moustier, P. (2010). Sustainable urban agriculture in developing
countries. A review. Agronomy for Sustainable Development, 30(1), 21–32.
https://doi.org/10.1051/agro:2008062

Deelstra, T., Girardet, H., Bakker, N., Dubbeling, M., Gündel, S., Sabel-Koschella, U., &
Zeeuw, H. D. (2000). Urban agriculture and sustainable cities. Undefined.
https://www.semanticscholar.org/paper/Urban-agriculture-and-sustainable-cities.-
Deelstra-Girardet/58d24a07b0fe867ce720e5e5271ad5bb55ff81c2

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. (2020). Buruan Sae [Flyer].

FAO. (1996). Rome Declaration on World Food Security. Food and Agriculture Organization.
https://www.fao.org/3/w3613e/w3613e00.htm

Langemeyer, J., Madrid-Lopez, C., Mendoza Beltran, A., & Villalba Mendez, G. (2021).
Urban agriculture—A necessary pathway towards urban resilience and global
sustainability? Landscape and Urban Planning, 210, 104055.
https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2021.104055

Moragues-Faus, A., & Battersby, J. (2021). Urban food policies for a sustainable and just
future: Concepts and tools for a renewed agenda. Food Policy, 103, 102124.
https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2021.102124

Nurhemi, Shinta R.I. Soekro, & Guruh Suryani R. (2014, Desember). Kajian Pemetaan
Ketahanan Pangan di Indonesia: Pendekatan TFP dan Indeks Ketahanan Pangan.

Pinstrup-Andersen, P. (2009). Food security: Definition and measurement. Food Security,


1(1), 5–7. https://doi.org/10.1007/s12571-008-0002-y

83
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Russell, B. (2019). Beyond the Local Trap: New Municipalism and the Rise of the Fearless
Cities. Antipode, 51(3), 989–1010. https://doi.org/10.1111/anti.12520

Smit, J., Nasr, J., & Ratta, A. (2001). Urban Agriculture Food, Jobs and Sustainable Cities.
https://doi.org/10.5860/choice.34-6355

Sri. (2021, September 10). Wawancara UNPAR dengan Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian [Personal communication].

Tapia, C., Randall, L., Wang, S., & Aguiar Borges, L. (2021). Monitoring the contribution of
urban agriculture to urban sustainability: An indicator-based framework. Sustainable
Cities and Society, 74, 103130. https://doi.org/10.1016/j.scs.2021.103130

UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, no. 12 tahun 2012 (2012).


https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39100

Veenhuizen, R. van (Ed.). (2006). Cities Farming for the Future. International Institute of
Rural Reconstruction and ETC Urban Agriculture. https://www.idrc.ca/sites/default/
files/openebooks/216-3/index.html#page_1

84
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

85
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

86
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP EKOLABEL,


MINAT BELI DAN KAMPANYE EKOLABEL DI INDONESIA
Theresia Gunawan*, Fransiska Anita Subari* Jeany Nataly Giaviany
(*Universitas Katolik Parahyangan)

Ekolabel dalam Ranah Global dan Indonesia

Definisi Green Product, Produk Organik dan Ekolabel

Istilah green product, produk organik, dan ekolabel adalah istilah yang sering digunakan
pada hal-hal yang terkait dengan lingkungan hidup. Ketiga istilah ini memiliki kaitan yang
erat namun memiliki makna yang berbeda. Green Produk atau yang seringkali disebut
sebagai produk ramah lingkungan adalah produk-produk yang tidak menggunakan bahan-
bahan yang mengandung bahan kimia yang berbahaya, dan pada umumnya dapat didaur
ulang kembali dan serta tidak mencemari tanah, air dan ekosistem. Menurut Gupta, M. and
Syed, A.A. (2021), green product didefinisikan sebagai produk yang dapat didaur ulang,
membutuhkan lebih sedikit sumber daya alam, dan tidak menghasilkan polusi bagi bumi
serta memiliki kemasan yang ramah lingkungan.
Sedangkan Product organik adalah produk yang sudah dapat dipastikan bahwa
produk tersebut diproduksi secara konvensional tanpa pestisida, bahan kimia buatan,
hormon, antibiotik, atau organisme hasil rekayasa genetika (Kemenkes, 2018) Maka dapat
dikatakan bahwa green product belum tentu merupakan produk organik, namun produk
organik termasuk dalam kategori green product. Produk organik biasanya digunakan
mengacu kepada produk yang berkaitan dengan makanan dan kosmetika.
Sedangkan ekolabel adalah sebuah pernyataan, lambang/simbol, atau grafis pada
suatu produk, kemasan atau dalam iklan publikasi yang berkaitan dengan isu lingkungan
dalam upaya untuk terjaminnya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) (Komite
Akreditasi Nasional, 2004). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menerbitkan Peraturan
Menteri No 2 Tahun 2014 tentang Logo ekolabel sebagai berikut: “ekolabel adalah sarana
penyampaian informasi yang akurat, verifiabel, dan tidak menyesatkan kepada konsumen
mengenai aspek lingkungan dari suatu produk atau jasa,”
Dengan adanya ekolabel dalam sebuah produk, maka hal ini dapat memberikan
informasi, perlindungan/konservasi maupun jaminan bahwa produk yang dihasilkan sudah
sesuai dengan standar pelestarian lingkungan. ekolabel sering digunakan dalam produk-
produk yang berbentuk berbahan baku organik dan pengolahannya yang ramah lingkungan.

Indikator dan penerapan green product (Produk Ramah Lingkungan)

Menurut Elkington et al dalam Rath (2013), indikator green product dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Produk yang tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
2. Kemasan produk yang tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar

87
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

3. Material bahan baku yang tidak berbahaya untuk manusia dan lingkungan.
4. Memiliki Sertifikat ekolabel/sertifikat ramah lingkungan.

Sejarah dan Perkembangan ekolabel

Global warming merupakan sebuah issue wicked problem yang menjadi permasalah yang
dihadapi negara maju maupun negara berkembang. Global Warming memberikan dampak
penurunan kualitas bumi yang mengakibatkan terjadinya penipisan lapisan ozon,
pencemaran udara, air, dan tanah. Isu tentang lingkungan hidup menjadi perhatian
masyarakat dunia karena banyaknya kerusakan alam yang secara nyata mempengaruhi
kehidupan masyarakat dunia, antara lain isu limbah buangan dari pabrik, sampah dari
kemasan produk konsumen yang sulit didaur ulang serta eksploitasi sumber daya alam
karena kebutuhan energi dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu inisiatif lahirnya produk-
produk yang ramah lingkungan merupakan respon terhadap kerusakan lingkungan yang
semakin parah. Untuk memberikan daya pembeda antara produk-produk yang menerapkan
konsep yang ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan, maka lahirnya konsep
ekolabel. ekolabel diwujudkan dengan pemberian sertifikasi produk yang akan menjadi
jaminan bahwa produk tersebut sudah sesuai dengan standar pelestarian lingkungan.
Penerapan ekolabel diharapkan dapat menjadi salah satu upaya secara tidak
langsung untuk dapat mengurangi permasalahan global warming dengan mengajak pelaku
usaha dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam memproduksi maupun menggunakan
produk yang ramah lingkungan.

Korelasi ekolabel dan green product

Ekolabel semakin sering digunakan oleh pemasar dalam mengidentifikasikan green product
(D'Souza et al., 2006). Rex dan Baumann (2007) mendefinisikan ekolabel sebagai tools
yang dapat membantu konsumen dalam mengambil keputusan untuk memilih green product
serta menginformasikan mereka bagaimana produk tersebut dibuat. ekolabel juga dapat
memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memasuki pasar dan memperoleh market
share.

Fenomena ekolabel di Dunia dan Indonesia

Green product tentunya mempunyai segmen pasar khusus yaitu dikenal dengan istilah
green consumer. Pembelian sebuah green product salah satunya dipengaruhi oleh
pengetahuan dan wawasan konsumen. Dari segi pengetahuan dan wawasan terkait
ekolabel, pengetahuan konsumen akan ekolabel di negara maju sangat tinggi. Penelitian
Dinu, Schileru dan Atanase (2012: 22) mengatakan bahwa konsumen Roma memiliki
pendidikan, pengetahuan serta kepedulian sosial yang tinggi terkait dengan ekolabel. Di
negara maju lainnya seperti Swedia, konsumen umumnya memiliki kepedulian tentang

88
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

masalah kesehatan dan lingkungan dan hal tersebut adalah alasan utama seseorang
memilih produk yang memiliki ekolabel. Pengetahuan tentang lingkungan dan green product
disebutkan dapat membuat niat beli konsumen meningkat dan semakin memiliki sikap
positif terhadap lingkungan.
Dalam penelitian Adil (2015) mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang
lingkungan berpengaruh signifikan terhadap niat pembelian green product di Indonesia.
Dengan bertambahnya pengetahuan konsumen di Indonesia terhadap green product maka
diprediksikan niat beli konsumen akan green product juga akan bertambah. Walaupun saat
ini jumlah green consumer di Indonesia masih rendah jumlahnya namun trendnya akan
meningkat karena diperkirakan tingkat pendidikan dan penghasilan masyarakat Indonesia
akan terus bertambah (Gunawan & Ferdhian, 2020).
Di Indonesia, munculnya berbagai permasalahan lingkungan dalam hal sampah,
kerusakan hutan, rusaknya biota laut menjadi suatu fenomena yang mendorong
meningkatnya kesadaran akan pentingnya green product dan penerapan ekolabel.
Di Indonesia menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menyebutkan bahwa jumlah sampah mencapai 17,2 juta ton pertahun (Pikiran rakyat,
2018). Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat ketika sampah sulit untuk didaur
ulang. Jika dilihat dari perspektif konsumen, terdapat konsumen yang pintar dalam
menentukan pilihan pembeliannya yaitu dengan pertimbangan jangka panjang, dan lebih
sadar kesehatan serta sadar lingkungan. Hal ini dapat dijadikan peluang bagi produsen
untuk dapat memenuhi keinginan konsumen serta menghasilkan produk yang ramah
lingkungan atau green product.
Program ekolabel di Indonesia lebih difokuskan sebagai salah satu upaya pemerintah
dalam penanggulangan kerusakan lingkungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup,
dengan menerapkan standar di bidang lingkungan. Penerapan program ekolabel sebagai
persyaratan dalam perdagangan, sebetulnya bukanlah sebagai hambatan, tetapi dapat
merupakan tantangan dan sekaligus menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk
meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Dalam program ekolabel terdapat 3 (tiga)
pendekatan ekolabel yaitu ekolabel Tipe I, Tipe II, dan Tipe III. Masing-masing tipe ekolabel
mempunyai kekurangan dan kelebihan. Negara-negara anggota GEN pada umumnya
menerapkan program ekolabel Tipe I yaitu pemberian sertifikat ekolabel oleh pihak ketiga
kepada produk yang memenuhi seperangkat persyaratan yang telah ditentukan pada
kategori produk tertentu.

Gambar 1. Logo ekolabel di Indonesia Tipe I (kiri) dan Tipe II (kanan)

89
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Pembelian produk organik di dunia vs Indonesia

Keputusan pembelian oleh konsumen akan produk organik (green product dikaitkan dengan
ekolabel) berbeda pada tiap negara. Bram (2013: 131) menyatakan bahwa ekolabel hanya
dapat berjalan sukses di negara maju, belahan Eropa. Konsumen yang telah memiliki
pengetahuan dan kesadaran tentang produk ramah lingkungan akan cenderung
mempertimbangkan aspek tersebut dalam suatu produk sebelum memutuskan untuk
membeli.
Dalam penelitian Sumarsono dan Giyatno (2012) yang dilakukan di Indonesia,
ditemukan bahwa tidak terdapat pengaruh positif dari informasi lingkungan yang terdapat
pada kemasan produk terhadap keputusan pembelian. Untuk itu diperlukan peningkatan
upaya pemerintah dalam hal program sosialisasi dan pembinaan terkait penerapan
ekolabel, perumusan standar kriteria ekolabel, serta perbaikan skema akreditasi dan
sertifikasi ekolabel.

Tabel 1. perbedaan perkembangan ekolabel di negara maju vs Indonesia


Indikator/Penekanan Negara Maju Indonesia
Wawasan dan pengetahuan Terbuka Cenderung konservatif

Wajib (terhadap produk tertentu


Sifat di kawasan Eropa) Sukarela

Mekanisme prosedur
dan kebijakan dikaitkan Cenderung lebih mudah Rumit
dengan produk
Dukungan pemerintah Optimal Masih kurang
Pengaruh ekolabel
terhadap daya beli dan Tinggi Rendah
keputusan pembelian
Sumber : referensi beberapa sumber jurnal

Penelitian terdahulu tentang ekolabel

Kotler (2016) mengutip beberapa hasil penelitian besar di banyak negara yang melibatkan
perusahaan-perusahaan besar, dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya
ketertarikan konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan dari perusahaan
terpercaya dan bersedia membayar lebih untuk produk tersebut. Sejumlah ahli
menyebutkan bahwa generasi muda tertarik dengan konsep produk ramah lingkungan,
sementara ahli lainnya berpendapat bahwa orang tua mengambil bagian lebih serius dalam
tanggung jawab lingkungan. Para ahli juga memperingatkan akan fenomena
“greenwashing” dimana perusahaan tidak murni mengadopsi konsep ramah lingkungan
seperti yang diinformasikan dan “green marketing myopia” dimana konsumen tidak
mengetahui apa manfaat yang diperoleh dengan membeli produk ekolabel.

90
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Penelitian yang dilakukan oleh Nguyen & Le (2020) membahas mengenai efek
pengetahuan akan ekolabel, kepercayaan konsumen, persepsi nilai, kepedulian lingkungan
terhadap minat pembelian menemukan bahwa supplier dari produk pertanian harus
memberikan perhatian lebih untuk memperkuat citra dan meningkatkan manfaat produk
agar dapat meningkatkan persepsi nilai dan serta perlunya peningkatan penggunaan
“pesan” terkait lingkungan ke dalam strategi pemasaran.

Menggali Pengetahuan Awal Tentang Sertifikasi Organik

Dari perbincangan awal dengan pihak DKPP Kota Bandung diketahui bahwa sertifikasi
organik adalah suatu hal yang benar-benar baru, sehingga pada tanggal 2 September 2021
dilaksanakan sebuah mini webinar untuk memperoleh wawasan awal dengan mengangkat
tema Sertifikasi Organik: Penyadaran dan Apresiasi Pangan Sehat. Pada mini webinar ini
hadir sebagai pembicara Bapak Sukmi Alkautsar yang merupakan Koordinator Program
Aliansi Organis Indonesia, Ibu Ermariah yang merupakan Kepala Bidang Keamanan
Pangan DKPP Kota Bandung dan Ibu Elsje Mansula, seorang praktisi sertifikasi produk
organik yang telah berhasil menjual produk organik sampai ke mancanegara. Dari webinar
ini diperoleh beberapa wawasan umum mengenai produk organik sebagai berikut:

1. Istilah kata organik mengacu kepada bagaimana proses yang dilalui oleh suatu
produk termasuk salah satunya adalah syarat keadaan tanah pada saat penanaman.
Produk organik harus menggunakan media tanam berupa tanah (soil based) baik itu
langsung atau menggunakan polybag. Sehingga tanaman hidroponik tidak bisa
disertifikasi organik.

2. Produk tidak boleh menggunakan label organik jika tidak ada penjaminan mutu dari
lembaga yang berwenang. Untuk proses penerbitan sertifikasi organik, petani kecil
terkendala di masalah biaya. Untuk itu disarankan menggunakan jaminan kualitas
dari lembaga PAMOR (Penjaminan Mutu Organik) yang sudah diakui dalam skala
nasional dan biaya yang lebih terjangkau. Penjaminan mutu dengan PAMOR dapat
dilakukan dalam satu kelompok petani kecil yang terorganisir. Jika pasar sudah besar
maka dapat dilakukan proses penjaminan mutu dari Lembaga Sertifikasi Organik
(LSO). Hal ini juga didukung oleh penjelasan dari Ibu Elsje selaku praktisi produk
organik, beliau mengatakan bahwa penyediaan produk organik di pasar perlu kerja
sama mulai dari petani, pengemasan hingga distribusi.

3. Ibu Ermariah dari DKPP mengatakan bahwa konsep produk organik memang hal
yang sangat baru, terutama bagi petani di kota Bandung. Tetapi jika memang
tanggapan pasar akan produk positif dan memang ada peluang yang bagus, maka
akan dipertimbangkan untuk melakukan proses penjaminan mutu organik bagi
komunitas petani kecil atau Buruan Sae dengan menggunakan PAMOR.

91
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Dari mini webinar tersebut dapat mengindikasikan adanya minat dari pihak DKPP
Kota Bandung untuk menjajaki kemungkinan menggunakan label organik untuk produk
yang dihasilkan oleh urban farming dan komunitas petani kecil Kota Bandung. Hal ini
tentunya merupakan respon yang positif sehingga langkah selanjutnya adalah mengetahui
bagaimana persepsi masyarakat Kota Bandung mengenai Ekolabel, minat beli dan
kampanye terkait produk ekolabel.

Bagaimana Kesadaran Masyarakat Kota Bandung Terhadap Produk Ekolabel?

Beberapa perusahaan besar di Indonesia mulai mengadopsi tema ramah lingkungan atau
dikenal sebagai green marketing, menjadi bagian dari strategi pemasaran untuk mengambil
hati dari segmentasi pasar yang mulai peduli dengan kelestarian lingkungan dan makanan
sehat. Untuk mengetahui seberapa jauh suatu produk diterima di sebuah pasar adalah
dengan mengukur kesadaran masyarakat akan produk tersebut, karena proses pembelian
dimulai dari menyadari akan adanya masalah dan menyadari ketersediaan produk di pasar.
Bagaimana dengan kesadaran masyarakat di Kota Bandung terhadap produk
ekolabel? Apakah masyarakat Kota Bandung telah siap menerima produk ekolabel sebagai
bagian dari gaya hidup sehari-hari? Tim Bandung Food Smart City telah mengumpulkan
data dari 109 responden melalui kuesioner yang disebarkan. Responden berasal dari
berbagai kelas sosial dan usia untuk mengetahui tentang kesadaran masyarakat Indonesia
khususnya di Kota Bandung terhadap produk ekolabel. Kuesioner disebarkan dengan
menggunakan media sosial Instagram dan Whatsapp kemudian diolah secara kuantitatif
untuk memperoleh gambaran tentang kondisi kesadaran masyarakat Kota Bandung akan
produk ekolabel.
Untuk mengukur kesadaran masyarakat Bandung, penelitian ini mengacu kepada 5
tingkatan kondisi kesadaran konsumen oleh Eugene Schwartz yang membagi kesadaran
konsumen ke dalam 5 tingkatan yaitu:
1. Tidak memiliki kesadaran. Pada tingkatan ini orang tidak peduli dengan proses
produksi produk yang dikonsumsi dapat merusak lingkungan dan tubuh atau tidak
tahu/menyadari adanya pilihan produk dengan konsep ekolabel yang lebih
bersahabat bagi lingkungan dan lebih baik bagi kesehatan tubuh.
2. Menyadari permasalahan. Pada tahapan ini orang yang sudah mengetahui terdapat
masalah dalam proses produksi terhadap lingkungan dan kesehatan, tetapi tidak
merasakan langsung keadaan tersebut dan tidak mengetahui bahwa ada pilihan
produk atau solusi yang lebih baik.
3. Menyadari solusi. Pada tahapan ini orang yang sudah mengetahui solusi dari
masalah yang terjadi, tetapi belum mengetahui keberadaan ekolabel, yang dimaksud
ekolabel, dan di mana membeli produk ekolabel.
4. Produk aware. Pada tahapan ini orang yang mengetahui, dapat mengenali
keberadaan produk ekolabel di tempat bisa berbelanja, tetapi belum pernah
membelinya.

92
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

5. Most aware. Pada tingkatan ini orang antusias terhadap produk ekolabel. Pada
tahapan ini orang peduli akan permasalahan dirinya dan lingkungan, serta merasa
bahwa produk ekolabel adalah pilihan terbaik untuk mengatasi permasalahan
tersebut.

Dalam kaitannya dengan kesadaran produk ekolabel di kota Bandung, maka kelima kondisi
kesadaran konsumen akan mencakup aspek-aspek yang mungkin dapat menjadi
pendorong seseorang untuk memiliki keinginan membeli sebuah produk, yaitu:

1. Awareness

a. Kesadaran akan Keberadaan Produk Ekolabel


■ Apakah familiar dengan produk ekolabel
■ Apakah dapat dengan mudah menemukan informasi tentang ekolabel dari
berbagai media (TV, Koran, dan Internet)
■ Dapat membedakan produk-produk mana saja yang memiliki ekolabel dengan
yang tidak
■ Dapat dengan mudah menemukan produk ekolabel di tempat biasa berbelanja
kebutuhan sehari-hari
■ Sadar bahwa produk ekolabel dijual dengan harga yang lebih mahal, karena
proses produksinya harus memenuhi standar khusus

b. Kesadaran akan Masalah Kesehatan


■ Produk ekolabel adalah produk yang lebih menyehatkan
■ Produk ekolabel lebih aman untuk dikonsumsi
■ Ketika membeli produk, saya mempertimbangkan dampak dari produk tersebut
bagi kesehatan badan
■ Anda tahu bahwa produk dengan sertifikasi ekolabel tertentu (misal: organik) telah
melalui proses khusus sehingga terjamin kualitasnya
■ Produk ekolabel adalah pilihan terbaik bagi saya dan keluarga

c. Kesadaran akan Masalah Lingkungan


■ Saat membeli produk, saya mempertimbangkan dampak produk terhadap
lingkungan
■ Produk ekolabel adalah produk yang ramah lingkungan
■ Mengetahui bahwa produk pangan dengan sertifikasi ekolabel memiliki tujuan
mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan unsur lingkungan
■ Produk ekolabel adalah pilihan terbaik untuk lingkungan kita

93
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

d. Kesadaran akan Kesejahteraan Petani


■ Produk ekolabel adalah produk yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
petani
■ Ketika membeli produk saya mempertimbangkan dampak produk tersebut bagi
kesejahteraan petani

2. Minat Beli

Mengacu kepada Kotler (2016), minat pembelian muncul karena ada dorongan baik dari
dalam diri seseorang maupun dari luar, dimana secara umum dorongan tersebut bersifat
rasional maupun emosional. Minat beli muncul ketika seseorang memiliki dorongan,
kemampuan, dan kesempatan untuk membeli. Jadi seseorang akan mengevaluasi detail
produk untuk memperoleh pengetahuan akan produk tersebut. Evaluasi mengenai produk
dapat diperoleh dari pengalaman mengkonsumsi produk tersebut baik pengalaman pribadi
maupun pengalaman orang lain. Informasi mengenai suatu produk bisa didapatkan melalui
iklan dan artikel.
Kotler (2016) juga mengatakan bahwa salah satu perilaku konsumen adalah
perhatian selektif, yaitu kecenderungan seseorang untuk mencari informasi atau
memperhatikan informasi tentang produk yang sedang dibutuhkan atau diinginkan. Jadi
minat mencari informasi dapat menunjukkan suatu perilaku tertentu ketika seseorang ingin
membeli suatu produk.
Produk yang ada di pasaran dengan karakteristik yang hampir sama dapat
menyulitkan konsumen untuk mengevaluasi satu merek dengan yang lain, sehingga
seringkali yang dilakukan adalah membeli berdasarkan kebiasaan. Untuk itu, para pelaku
pasar memberikan nilai tambah sebagai pembeda dari merek yang lain, misalnya, produk
jus yang mengandung kalsium dan vitamin, atau produk sereal yang menginformasikan
manfaat mengkonsumsi sereal untuk kesehatan jantung. Dalam pandangan konsumen,
merek adalah janji yang menunjukkan identitas sebagai merek yang dapat dipercaya. Oleh
karena itu, penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah konsumen merasa perlu adanya
sertifikasi sebagai jaminan kualitas dari produk ekolabel.
Sebagai produk bersertifikasi, produk ekolabel harus melalui serangkaian proses dan
pengujian secara berkala. Hal ini tentunya akan berdampak kepada harga produk tersebut.
Oleh karena itu, kesediaan untuk membayar lebih akan produk ekolabel juga akan menjadi
salah satu indikator minat beli pada penelitian ini.
Ketika konsumen memiliki kesadaran akan suatu produk ekolabel baik, maka menarik
untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana minat beli konsumen. Dalam penelitian, ini
minat seseorang akan produk tersebut akan diukur dengan perilaku sebagai berikut:
a. Minat memperoleh informasi tentang produk ekolabel
b. Tertarik dengan produk ekolabel yang ada di tempat biasa berbelanja
c. Merasa perlu adanya jaminan produk ekolabel dengan sertifikasi
d. Bersedia membayar lebih mahal untuk produk ekolabel

94
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

e. Berminat membeli produk ekolabel saat belanja selanjutnya


f. Menganjurkan kepada orang lain untuk membeli produk ekolabel

3. Kampanye ekolabel

Karena keinginan membeli muncul setelah seseorang melakukan evaluasi akan suatu
merek tertentu, maka konsumen perlu memiliki detail informasi agar dapat melakukan
evaluasi secara benar. Di sisi konsumen, perlu digali dari segi kelengkapan, kejelasan, daya
tarik, dan frekuensi pesan dengan pertanyaan seperti berikut:
a. Bagaimana frekuensi iklan/informasi terkait dengan ekolabel saat ini di Indonesia?
b. Bagaimana daya tarik dari campaign/informasi terkait ekolabel di Indonesia?
c. Bagaimana kejelasan informasi dari campaign ekolabel di Indonesia?
d. Bagaimana kelengkapan informasi (apa itu ekolabel, manfaatnya, dan dampaknya)
dari campaign ekolabel di Indonesia?

Teknik Sampling

Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner berisi pertanyaan untuk


memperoleh gambaran mengenai:
1. Profil responden
2. Bagaimana kesadaran masyarakat Kota Bandung akan produk eco-labelling
3. Bagaimana minat beli masyarakat Kota Bandung
4. Bagaimana informasi yang diperoleh masyarakat Kota Bandung mengenai produk
eco-labelling, dari sisi konsumen

Karena jumlah populasi yang tidak diketahui, dan keinginan untuk memperoleh
konsumen dengan profil yang beragam, maka sampling dilakukan dengan metode
convenience sampling dengan memanfaatkan media sosial Instagram dan Whatsapp.

Profil Responden

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa domisili responden telah mewakili 27 kecamatan di kota
bandung. Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa 34 orang responden adalah pria, dan 76
responden adalah wanita, gambar 4 menunjukkan status perkawinan, 52 responden belum
menikah, 56 responden telah menikah, dan 2 responden cerai mati.

95
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Gambar 2. Domisili Gambar 3. Jenis Kelamin


Kec. Ujung Berung 6
Kec. Regol 4 Pria
Kec. Mandalajati 4 34
Kec. Lengkong 10
76 Wanita
Kec. Kiara Condong 5
Kec. Coblong 6
Kec. Cidadap 4
Kec. Cibeunying Kidul 9
Kec. Buahbatu 7 Gambar 4. Status Perkawinan
Kec. Bandung Wetan 3
Kec. Bandung Kidul 8 Belum Kawin
Kec. Astanaanyar 4 Cerai Mati
Kec. Arcamanik 9 Kawin
Kec. Antapani 5 56 52
Kec. Andir 8
dan lain-lain 18
0 5 10 15 20
2

Gambar 5. Usia Gambar 6. Pekerjaan

< 20 tahun Wiraswasta


6 8 10 15
20 - 29 tahun Guru / Dosen
20 30 - 39 tahun 10 Karyawan Swasta
31
41 40 - 49 tahun Mengurus Rumah Tangga
19
50 - 59 tahun 28 Pelajar / Mahasiswa
16 16
> 60 tahun dan lain-lain

Dapat dilihat gambar 5 menunjukan usia, sebanyak 41 responden berusia 20-29


tahun, 20 responden berusia 50-59 tahun, 19 responden berusia 40-49 tahun, 16 responden
berusia 30-39 tahun, 8 responden berusia kurang dari 20 tahun, dan sisanya 6 responden
berusia dari 60 tahun. Gambar 6 dapat dilihat berdasarkan pekerjaan, 31 responden adalah
pelajar/ mahasiswa, 28 responden adalah karyawan swasta, 16 responden mengurus
rumah tangga, 15 responden adalah wiraswasta, 10 responden adalah guru atau dosen,
sisanya memiliki profesi lainnya.

Gambar 7. Penghasilan Dalam Sebulan Gambar 8. Pengeluaran Untuk


Bahan Makanan Setiap Bulan

< Rp 4.499.999 8 0 - 24% dari penghasilan


30 15
> Rp 30.000.000 44 25% - 49% dari penghasilan
50
Rp 10.000.000 - Rp. 19.999.999 50% - 74% dari penghasilan
7
Rp 20.000.000 - Rp. 29.999.999 42 75% - 100% dari penghasilan
21
Rp 4.500.000 - Rp. 9.999.999
2

96
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Berdasarkan penghasilan (gambar 7), sebanyak 50 responden berpenghasilan di


bawah Rp 4.499.999, 30 responden berpenghasilan antara Rp 4.500.000 sampai Rp
9.999.999, 21 responden berpenghasilan antara Rp 10.000.000 sampai 19.999.999, 7
responden berpenghasilan antara Rp 20.000.000 sampai Rp 29.999.999, dan sisanya 2
responden berpenghasilan lebih dari Rp 30.000.000. Sementara gambar dari persentase
pengeluaran untuk makanan setiap bulan (gambar 8), 43 responden berada pada rentang 0
- 24% dari penghasilan, 44 responden pada 25 - 49% dari penghasilan, 15 responden 50 -
74% dari penghasilan, dan sisanya 8 responden 75 - 100% dari penghasilan.

Gambar 9. Tempat Biasa Membeli Gambar 10. Produk dengan Konsep Eco-Labelling
Bahan Makanan / Makan Yang Pernah Dibeli
3 Supermarket 5
Sayuran
15 Tukang Sayur 20
15 Buah
25
Toko Online (Grab Mart, 76 Daging
80 Telur
33 Shopee, Tokopedia, dll) 27
Beras
Pre-Order (WA group)
27 Produk perkebunan (madu, kopi, vanila, dll)
Pasar Tradisional / Warung 51 Susu
75
35 30
Tidak pernah membeli sama sekali
Lain-lain Lain-lain

Gambar 9 dapat dilihat bahwa mayoritas responden biasa berbelanja makanan dan
bahan makanan di Supermarket (80 orang), Tukang sayur (75) dan Toko Online (15 orang).
Produk ekolabel sangat mungkin ditemukan di supermarket dibandingkan di tukang sayur.
Sedangkan di toko online masih mungkin ditemukan di beberapa toko khusus. Gambar 10
menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengalaman membeli produk
ekolabel. Dapat dilihat jenis produk ekolabel yang pernah dibeli sebagian besar adalah
sayuran (75 orang) dan buah (51 orang), selanjutnya telur (35 orang), daging (30 orang)
produk perkebunan (27 orang), beras (27 orang) dan susu (25 orang).
Dalam mengisi kuesioner, responden diminta untuk memberikan pendapat dalam
skala 1 sampai dengan 5. Hasil total skor kemudian dihitung dan dirata-rata yang kemudian
akan dianalisa dalam rentang sebagai berikut: 1 - 1,8 = sangat rendah; 1,8 - 2,6 = rendah; 2,6
- 3,4 = sedang; 3,4 - 4,2 = baik; 4,2 - 5,00 = sangat baik

97
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Tabel 2. Kesadaran akan keberadaan produk ekolabel

No Pernyataan Rata-rata

1 Seberapa familiar anda dengan produk ekolabel 3.018


Anda dapat dengan mudah menemukan informasi tentang
2 3.327
ekolabel dari berbagai media (TV, Koran, dan Internet)

Anda dapat dengan mudah menemukan produk ekolabel


3 3.19
di tempat Anda biasa berbelanja kebutuhan sehari-hari

Anda dapat membedakan produk-produk mana saja


4 yang memiliki ekolabel dengan yang tidak 3.136

Saya sadar bahwa produk ekolabel dijual dengan harga


5 yang lebih mahal, karena proses produksinya harus 4.1
memenuhi standar khusus.

Jumlah 3.354

Kesadaran akan keberadaan produk ekolabel diukur dari kesadaran akan


keberadaan produk dan informasi mengenai produk ekolabel. Dari hasil survey
menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah mengenai kesadaran akan harga produk ekolabel
yang lebih mahal karena proses produksinya harus memenuhi syarat tertentu. Sementara
untuk indikator lain mengenai apakah mengenal produk ekolabel, kemudahan menemukan
informasi di berbagai media mengenai produk ekolabel, kemudahan menemukan produk
ekolabel, dan kemampuan membedakan produk ekolabel diantara produk lainnya berada
dalam rentang sedang. Secara keseluruhan, kesadaran akan keberadaan produk ekolabel
berada dalam rentang sedang.

Tabel 3. Kesadaran akan masalah kesehatan

No Pernyataan Rata-rata

1 Produk ekolabel adalah produk yang lebih menyehatkan 4.027

2 Produk ekolabel lebih aman untuk dikonsumsi 4.026


Ketika membeli produk, saya mempertimbangkan
3 4.254
dampak dari produk tersebut bagi kesehatan badan

Anda tahu bahwa produk dengan sertifikasi ekolabel


4 tertentu (misal: organik) telah melalui proses khusus 4.254
sehingga terjamin kualitasnya

Produk ekolabel adalah pilihan terbaik bagi saya dan


5 keluarga 3.763

Jumlah 4.065

98
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Hasil survey mengenai kesadaran akan masalah kesehatan secara keseluruhan


berada pada rentang tinggi. Untuk aspek mempertimbangkan dampak produk yang dibeli
bagi kesehatan tubuh dan jaminan kualitas produk dengan sertifikasi ekolabel berada pada
rentang sangat baik, dan kesadaran bahwa produk ekolabel lebih sehat, aman merupakan
pilihan terbaik berada dalam rentang baik. Pada dimensi ini, aspek terendah adalah
kesadaran bahwa produk ekolabel adalah pilihan terbaik bagi responden dan keluarga.

Tabel 4. Kesadaran akan masalah lingkungan

No Pernyataan Rata-rata
Ketika membeli produk, saya mempertimbangkan dampak
1 3.618
dari produk tersebut bagi lingkungan

2 Produk ekolabel adalah produk yang ramah lingkungan 4.27

3 Anda tahu bahwa produk makanan dengan sertifikasi


ekolabel memiliki tujuan yang mengandung kepedulian
akan aspek-aspek yang berkaitan dengan unsur 4.145
lingkungan hidup

Produk dengan ekolabel adalah produk yang terbaik untuk


4 3.99
lingkungan kita

Jumlah 4.006

Untuk dimensi kesadaran akan masalah lingkungan, secara keseluruhan berada


dalam rentang baik. Hasil survei menunjukkan bahwa konsumen mempertimbangkan
dampak produk tersebut bagi lingkungan, dan kesadaran bahwa produk ekolabel adalah
produk yang ramah lingkungan, memiliki tujuan yang mengandung kepedulian akan aspek-
aspek yang berkaitan dengan unsur lingkungan hidup dan kesadaran bahwa produk
ekolabel adalah produk yang terbaik bagi lingkungan berada dalam rentang baik. Pada
dimensi ini, aspek terendah adalah mempertimbangkan dampak produk yang dibeli bagi
lingkungan.

Tabel 5. Kesadaran akan kesejahteraan petani

No Pernyataan Rata-rata
Produk ekolabel adalah produk yang dapat
1 3.954
meningkatkan kesejahteraan hidup petani

Ketika membeli produk saya mempertimbangkan dampak


2 3.63
produk tersebut bagi kesejahteraan petani

Jumlah 3.795

99
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Pada dimensi kesadaran akan kesejahteraan petani, hasil survei menunjukkan


berada pada tingkat baik. Dapat dilihat bahwa kesadaran bahwa produk ekolabel dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup petani dan mempertimbangkan dampak dari produk
yang dibeli terhadap kesejahteraan petani berada dalam rentang baik.

Tabel 6. Minat beli

No Pernyataan Rata-rata
Saya tertarik untuk memperoleh informasi mengenai
1 4.054
produk dengan ekolabel

Produk ekolabel sering menarik perhatian anda


2 3.745
saat berbelanja

Menurut Anda, sertifikasi dibutuhkan untuk semua produk


3 makanan dan bahan makanan yang menggunakan konsep 4.09
ekolabel (misal: organik) ?

Saya bersedia membeli produk dengan ekolabel,


4 meskipun harganya lebih mahal dibandingkan 3.527
produk biasa

Pada belanja selanjutnya, saya akan membeli produk


5 dengan ekolabel 3.518

Saya akan menganjurkan orang yang saya kenal untuk


6 membeli produk ekolabel 3.736

Jumlah 3.778

Hasil survei menunjukkan bahwa secara keseluruhan minat beli berada dalam
rentang baik. Aspek tertinggi adalah ketertarikan untuk memperoleh informasi mengenai
produk ekolabel dan sertifikasi produk ekolabel, sedangkan terendah ada pada aspek
kesediaan membeli produk ekolabel dengan harga yang lebih mahal.

Tabel 7. Kampanye Produk Ekolabel


No. Pernyataan Rata-rata
Bagaimana frekuensi iklan/informasi terkait dengan ekolabel
1 2.8
saat ini di Indonesia?

Bagaimana daya tarik dari campaign/informasi terkait ekolabel


2 3.81
di Indonesia?

Bagaimana kejelasan informasi dari campaign ekolabel


3 2.972
di Indonesia?

Bagaimana kelengkapan informasi (apa itu ekolabel, manfaatnya,


4 2.981
dan dampaknya) dari campaign ekolabel di Indonesia?

Jumlah 2.959

100
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Mengenai hal-hal terkait kampanye produk ekolabel secara keseluruhan berada pada
pada rentang sedang. Aspek tertinggi adalah penyajian kampanye yang menarik yang
berada pada rentang baik, sedangkan aspek frekuensi informasi, kejelasan informasi dan
kelengkapan informasi berada pada rentang sedang.

Kesimpulan

1. Hasil survei menunjukkan bahwa secara umum kesadaran akan produk ekolabel
belum sampai pada tahapan most aware. Hal menarik yang dapat dilihat adalah skor
tinggi pada kesadaran dari segi kesehatan dan keberlangsungan lingkungan
sedangkan permasalahan tentang kesejahteraan petani lokal memiliki skor yang
lebih rendah dan skor terendah adalah kesadaran akan produk ekolabel itu sendiri.
Survei juga menunjukkan persepsi mengenai harga yang mahal untuk produk
ekolabel dan ada keengganan untuk membayar lebih mahal untuk produk tersebut.
Survei juga menunjukkan skor tinggi untuk kebutuhan sertifikasi produk ekolabel dan
skor rendah untuk frekuensi kampanye.
2. Hasil tersebut mengindikasikan adanya green myopia, dimana masyarakat tidak
memiliki informasi yang cukup untuk menilai manfaat yang sebenarnya dari produk
ekolabel, dan membutuhkan sertifikasi untuk menjamin kualitas produk agar tidak
terjadi kerugian akan harga yang lebih mahal untuk produk tersebut.

Rekomendasi

1. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa masih ada ruang yang luas untuk
mengedukasi masyarakat mengenai produk ekolabel dengan mengedepankan
manfaat yang lebih populer dalam hal ini adalah masalah kesehatan dan lingkungan,
juga mengedukasi aspek lain yaitu masalah kesejahteraan petani lokal yang
sebenarnya dapat menjadi motivasi untuk melakukan pembelian.
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan penelitian kepada
restaurant/catering/kantin yang menyediakan menu makanan sehat, untuk
memperoleh gambaran apakah pelaku bisnis sudah memiliki wawasan yang baik
mengenai produk ekolabel. Jika belum, maka dapat melakukan edukasi kepada
restaurant/catering/kantin sehat sekaligus menggandeng para pelaku bisnis untuk
ikut mengedukasi para pelanggannya. Dengan melakukan hal ini akan ada 2 hal yang
diharapkan dapat dilakukan yaitu : menimbulkan kesadaran bahwa produk ekolabel
dapat menciptakan nilai tambah untuk memenangkan persaingan bisnis, sekaligus
mempersiapkan pasar untuk menyerap produk organik dari komunitas petani kecil di
kota Bandung.

101
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Daftar Pustaka

Adil, A. (2015). Pengaruh Pengetahuan Tentang Lingkungan, Sikap pada Lingkungan, dan
Norma Subjektif Terhadap Niat Pembelian Green Product. Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan,103, hal. 122-128
Bram D. (2013). Produk Ekolabel Sebagai Informasi Perlindungan Konsumen dan
Lingkungan dalam Rezim Perdagangan Internasional. Law Review, 15(2), hal. 119-
133.
D'Souza, C., Taghian, M. & Lamb, P. (2006). An empirical study on the influence of
environmental labels on consumers. Corporate Communications: An International
Journal, 11(2), 162-73.
D'Souza, C., Taghian, M., Lamb, P. &Peretiatkos, R. (2006). Green products and corporate
strategy: an empirical investigation. Society and Business Review, 1 (2), 144-57.
Dinu, V., Schileru, I., & Atanase, A. (2012). Attitude of Romanian Consumers Related to
Products' Ecological Labelling. Amfiteatru Economics, 14(31), hal. 8-24.
Gunawan, T & Ferdhian, A. (2020). Green Strategy Perusahaan Plastik Dalam Menghadapi
Tantangan Lingkungan Dan Pemerintah. Jurnal Administrasi Bisnis, 16 (1), 57-69.
Gupta, M. and Syed, A.A. (2021), "Impact of online social media activities on marketing of
green products", International Journal of Organizational Analysis, Vol. ahead-of-print
No. ahead-of-print
Ha Thu Nguyen and Hieu Trung Lea (2020). The effect of agricultural product eco-labelling
on green purchase intention, Management Science Letters 10, 2813–2820
ISO. (2010). Focus. International Organization for Standardization. vol.1 no.5 (may).
Strategies on consumer purchasing patterns in Mauritius. World Journal of
Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, 8 (1), 36-59.
Kemenkes (2018). Menelisik Makna Makanan Berlabel Organik dan Natural. Diakses pada
bulan Januari 2022 dari https://promkes.kemkes.go.id/content/?p=8438
Leire, C. & Thidell, Å. (2005). Product-related environmental information to guide purchases
- a review and analysis of research on perceptions, understanding and use among
Nordic consumers. Journal of Cleaner Production, 13, 1061-1070.
Kotler, P and K.K. Keller. Marketing Management Pearson Education 2016
Rashid, N. R. N. A. (2009). Awareness of ecolabel in Malaysia's Green Marketing Initiative.
International Journal of Business and Management, 4( 8), 132-141.
Rath, Ramesh dan Chandra. (2013). An impact of Green marketing on practices of supply
chain management in Asia Emerging Economic opportunities and challenges.
International journal of supply chain management, Vol : 2.
Rex, E. & Baumman, H. (2007). Beyond ecolabels: what green marketing can learn from
conventional marketing.Journal of Cleaner Production, 15, 567-576 .
Sumarsono & Giyatno, Y. (2012). Analisis Sikap dan Pengetahuan Konsumen terhadap
Ecolabelling serta Pengaruhnya pada Keputusan Pembelian Produk Ramah
Lingkungan, Performance, 15(1),hal. 70–85.

102
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

Schwartz, Eugene (2016). Breakthrough Advertising, Midwest Journal Press

103
BANDUNG KOTA CERDAS PANGAN
Membangun Sistem Ketahanan Pangan Kota
yang Berkelanjutan

104
Bandung Food Smart City
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Author :
Theresia Gunawan, Pius Sugeng Prasetyo, Tini Martini Tapran,
Siti Fatimatul Wafiroh, Beby Nurtesha Putri, Vrameswari Omega Wati,
Renaldi Stevanus, Shofaa Fairuuz Salsabila Respati, Jessica Anqeligue,
M. Gulam Faridz, Ruben Hisar Eriyono Manik, Febriani Yusnikana,
Lely Ayukusuma Bakti, Ruth Latreia Theo Saphira, Zulaekha Amalia,
Salsabila Dwi Putri Perbatas, Yosefa, Hansen William, Nadya Alyssa,
Jeremia G.P. Simanjuntak, Yuliana Maria Mediatrix,
Fransiska Anita Subari, Jeany Nataly Giaviany
Editor :
Hansen William, Harris Kristanto
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

TABLE OF CONTENTS

FOREWORD PARAHYANGAN CATHOLIC UNIVERSITY ii

FOREWORD RIKOLTO INDONESIA iv

FOREWORD MILAN URBAN FOOD POLICY vi

FOREWORD DKPP KOTA BANDUNG vii

THE ACTIVITY OF URBAN FARMING KETAPANG-KITA.ID 1

ANALYSIS OF SOCIAL MEDIA CAMPAIGN & PUBLICATION OF

BANDUNG FOOD SMART CITY IN 2021 17

THE KNOWLEDGE OF FOOD AND HEALTHY CANTEEN AT FIVE

HIGH SCHOOLS IN BANDUNG CITY 31

ANALYSIS OF FRESH FOOD SUPPLY CHAIN IN BANDUNG CITY

BASED ON HOUSEHOLDS CONSUMPTION PATTERNS 45

THE EFFECTIVENESS OF “BURUAN SAE” PRACTICES IN

SUPPORTING FOOD SECURITY IN BANDUNG CITY 63

CONSUMER PERCEPTION OF ECOLABEL PRODUCTS, BUYING

INTENTION, AND ECOLABEL CAMPAIGN IN INDONESIA 81

i
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

FOREWORD
PARAHYANGAN CATHOLIC UNIVERSITY

The step to build Bandung as a Food Smart City shows that the government and society have
a very strong commitment to making it happen. The programs and movements carried out by
the government and the people of Bandung City support the global agreement contained in
the Sustainable Development Goals – SDGs, especially number (2) Zero Hunger, and (12)
Responsible consumption and production. Meanwhile, nationally, this step is to support
policies in the food sector which are also contained in the 2020-2024 National Mid-Term
Development Plan. The Central Government has also stepped forward by building national
food centers or food estates located in several locations such as in Central Kalimantan
(Central Kalimantan), South Sumatra (Sumsel), North Sumatra (North Sumatra), and East
Nusa Tenggara (NTT). This step should be supported by various parties, including local
governments, non-governmental organizations, the business sector, community groups,
and the world of education.
Bandung City, which still has a very high food dependence, where approximately 95%
comes from the area around Bandung, is continuously taking part in efforts to realize the
city's food security. Various programs and activities are carried out in a sustainable manner
such as "Buruan Sae" (Urban Farming), training on organic waste management including
food waste, various awareness steps through various media such as websites, Facebook,
Instagram, bloggers, etc. Likewise, the introduction of healthy canteens in schools, as well as
the development of a food sharing application that aims to build solidarity among citizens in
terms of facilitating food access. Studies or research related to food issues is also carried out
such as the Effectiveness of Urban Farming, Food Value Chain, and Eco Labeling. All of
these activities are placed in an integrated manner in the context of actualizing Bandung as a
Food Smart City.
This sustainable program is carried out in a collaborative format that involves various
stakeholders, both from the Bandung City government, especially with the Food and
Agriculture Security Service (DKPP), the Bandung City Cooperation Section, as well as non-
government parties such as Rikolto – Belgium, Indonesia representatives, Gerakan Selalu
Semangat Ikhlas - GSSI Bandung, Parahyangan Catholic University Bandung, hotel and
restaurant circles, as well as communities in society, as well as mass media, especially
digital media.
This book of Bandung Food Smart City, which takes the sub-theme of Building a
Sustainable City Food Security System, is a compilation of reports on activities carried out by
the study team conducted during 2021 which are integrated into a single unit to support the
city's food security system. The sustainability of this program is also supported institutionally
with the formation of the Bandung Food Smart City Team which was confirmed through the
Decree of the Mayor of Bandung City No. 521/Kep. 888-DKP 2021. Membership and active
involvement of Bandung City in the Milan Urban Food Policy Pact, as well as its membership

ii
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

as the MUFPP Steering Committee for the Asia Pacific region also strengthens Bandung
City towards the realization of being a Food Smart City.
This program, which focuses on urban food issues, will support the city's food security.
Even on a certain scale, the practice of Buruan Sae (urban farming) in Bandung City, which is
increasing in number from time to time, can become a city food estate. Currently, there are
303 locations of Buruan Sae scattered throughout the urban villages in Bandung City. Based
on the data obtained, shows that the various activities carried out by the Bandung Food
Smart City Team have involved many women. It can even be said that most of the participants
involved are women, for example, the women who are members of the Family Welfare
Program community from urban villages in the city of Bandung. In addition, this activity also
tries to reach young people, such as the “guardian of the earth” group. This step becomes
very important when internalizing and raising awareness of the importance of smart behavior
in consuming food and also paying attention to environmental sustainability.
I take this opportunity to thank you all those who keep on collaborating. In particular,
this book is dedicated to the former mayor of Bandung, the late Mr. H. Oded M Danial, who
became a pioneer and gave a lot of support and gave real inspiration through the practices of
Buruan Sae in Bandung City and even practiced it at his official residence so that it could be a
place of learning for many parties. I also thank you the Head of the Food Security and
Agriculture Service – DKPP Mr. Gin Gin Ginanjar and colleagues at DKPP, Mrs. Nonie Kaban
from Rikolto Indonesia, as well as colleagues from the Bandung Food Smart City Team
Theresia Gunawan, Tini Martini Tapran, Yosefa, Beby Nurtesha Putri, Vrameswari Omega
Wati, Jeremia Gom Gom PS, Yuliana M. Mediatrix, Hansen William, Fransiska Anita Subari,
Jeany Natali Giaviany, Nadya Alyssa, and college students who helped in the activities during
2021.
Hopefully, this book will become a useful source of inspiration for anyone who reads it
so that it can encourage various parties to take part in increasing awareness of food issues
and realizing a food smart city through a variety of sustainable activities. May God always
bless our steps together. Thank you. Stay Healthy.

Dr. Pius Sugeng Prasetyo

Coordinator of Bandung Food Smart City Team

iii
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

FOREWORD RIKOLTO INDONESIA

The COVID-19 pandemic, which has caused massive social and economic dislocation, has
raised little doubt about the fragility of food systems around the world. In recent years,
development experts have driven global consensus on the need for fundamental changes in
our food systems to promote sustainability and equity. In recent years, Rikolto Indonesia in
collaboration with partners has moved rapidly from a focus on agricultural value chains to a
broader food systems approach. We want to inspire various parties to work together to
overcome the interrelated challenges of food insecurity, climate change, and economic
inequality.
The Food Smart City Program in Bandung is an example of the multi-stakeholder
collaboration that we have built with UNPAR and Bandung City to support food security,
reduce the impact of climate change, and address economic inequality.
This third edition of the book Bandung Food Smart City presents various activities that
have been carried out in the city of Bandung to support the activities above. For example, 1)
urban farming activities for children, women's groups, and the creation of the "Tiwi and Kunci
Kulina" module aimed at children, 2) the results of various forms of awareness campaigns on
food issues through social media that have been used and implemented by the team, 3)
research results on healthy canteens in schools that explain the important role of canteens
as an educational facility, 4) analysis of the fresh food supply chain in Bandung City which
states that traditional markets are still a favorite destination for the people in Bandung to buy
food ingredients, 5) the results of the team's research on the effectiveness of the practice of
Buruan Sae in supporting food security in the city of Bandung, 6) as well as research under
the theme of Eco-Labelling which gives inspiration for the production movement that still
concern about environmental sustainability.
Various activities carried out in Bandung have also been distributed to various
international events, for example at the MUFPP global forum in 2021, as well as the
involvement as a resource person and as a participant in the COP-26 forum, as well as the
role as a member of the MUFPP Steering Committee for the Asia-Pacific region.
Rikolto Indonesia appreciates the cooperation and efforts that have been made by UNPAR
so that the Food Smart City program in Bandung City is implemented. We also thank the late
mayor of Bandung, Mr. Oded M Danial and the Head of the Bandung City Food and
Agriculture Security Service, Mr. Gin Gin Ginanjar who has supported the Food Smart City
program until the formation of the Food Smart City Team for the period 2021-2023.

iv
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

We hope that through this book, various parties can use information, lessons, and
examples of implementing food security activities in Bandung City, therefore, the wider
community can access healthy, nutritious, and nutritious food.

Denpasar, 8 February 2022

Nonie Kaban

Head of Programme Rikolto in Indonesia

v
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

FOREWORD
MILAN URBAN FOOD POLICY

This book is the opportunity to discover and deepen the journey of the city of Bandung in the
definition of its food policy developed in strong cooperation with Parahyangan Catholic
University and Rikolto.
In Indonesia and throughout the entire Asia Pacific region, Bandung is increasingly
emerging as a city able to act at the local level to develop an integrated set of actions to fix its
food system through urban farming, food waste prevention, promotion of healthy good food
in schools and, at the same time, sharing this knowledge at the international level, thus
contributing to improving the global food system.
In 2020, Bandung joined the Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP), the first and
foremost network of over 220 cities active in the exchange, co-creation, and advocacy
toward more inclusive and sustainable food systems. Within this network, Bandung sits on
the MUFPP Steering Committee - together with 12 other global cities - and has been
enhancing the Pact's objectives in Indonesia and the rest of the region.
A pioneer for Indonesian cities, Bandung spurred other mayors to sign the MUFPP
and develop urban food policies. Semarang, Surakarta, and Pekanbaru City are now part of
the community that is being enriched by the contribution of the Indonesian cities, their
challenges, and priorities.
This leading role in promoting sustainable food policies by making Bandung's
expertise available to other cities has been consolidating in the wider Asia Pacific region
through the participation in the MUFPP Global Forum, international webinars, and the
MUFPP Asia Pacific Food Policy Training.
For Bandung, the Milan Pact represents a platform to support the scale-up of its local
and international initiatives, while for the Milan Pact it represents a key ally in achieving its
objectives in the Asia Pacific. The next steps? To build together funded cooperation projects
between cities and regional stakeholders such as the ASEAN, to organize regional events
aimed at advancing together towards sustainable food systems, taking advantage of the
spotlight of the Indonesia G20 Presidency.
In just/barely two years the roots of this cooperation have been laid and we have just
started to reap the benefits. “Bandung Food Smart City: Developing a Sustainable Urban
Food Security System” will inspire other cities to do their best to improve food systems for the
future of our people and Planet. We have no choice but to succeed.

Dr. Filippo Gavazzeni

Head of the Milan Urban Food Policy Pact Secretariat

www.milanurbanfoodpolicypact.org

vi
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

FOREWORD DKPP KOTA BANDUNG

Congratulations to the Parahyangan Catholic University (UNPAR) team for the publication of
this important book. It is important not only that the information is very rich but also able to
describe what should be done in the future regarding the Bandung consensus towards a food
smart city (Food Smart City). The benefits are certainly not only for UNPAR itself but also for
the Bandung City Government , the Urban Farming community, and the people especially in
Bandung City as the main food consumers.
The Government to University (G to U) collaboration between the Bandung City
Government and UNPAR has been carried out since 2018. The collaboration continues by
expanding technical cooperation with the Regional Apparatus Organization of the Food and
Agriculture Security Service (OPD DKPP). One of the collaborative actions that have been
fostered to date is in guarding Bandung City as a member and Steering Committee of the
Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP) that is also known as the Milan Pact/Milan Pact.
Bandung City, which has been incorporated as one of the 215 cities in the world that
signed the Milan Pact since August 6, 2020, was elected to the MUFPP Steering Committee
for the period of 2021-2023 along with 12 cities from several other continents. MUFPP is an
international agreement between cities that is committed to developing sustainable,
inclusive, resilient, safe, and climate-friendly urban food systems, which provide healthy and
affordable food for all.
By cooperating with Rikolto Internasional, the UNPAR-OPD DKPP collaboration is
embracing wider. This includes research work for several types of research in the food and
agricultural sectors. The book you are reading now is the result of several studies conducted
recently. This book contains six important topics, including the publication of food smart
cities, healthy canteens, food supply chains, and the effectiveness of Buruan SAE up to
ecolabelling.
The food we consume produces waste that is often called food waste. More or less,
the City of Bandung has become a supporting entity on an Indonesian scale that produces
the second largest food waste in the world. With the characteristics of a densely populated
city, educating city residents to reduce food waste is very important. Therefore providing the
correct information about food loss, especially on the storage and distribution process and
reducing food waste when consumed (in markets, restaurants, or homes) in Bandung City
area, is necessary to continue to strive consistently.
Dissemination of information to educate the urban people today needs to consider
advances in information technology. The utilization of various types of media, as a result of
advances in information technology, is certainly intended not only to be able to reach a broad
audience but also to target various groups without exception. Educating to be good at
identifying leftover materials that are (always) considered as waste and used for other more
useful things is one example of content that deserves to be shared on various forms of social
media.

vii
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The matter of food that is served at school canteens in cities is an equally interesting
discussion in this book. Moreover, the school-age is an important human resource input for
the future of the city. It is very important to pay attention to the healthy foods that city residents
will consume at school age which are sold in canteens at schools. Collaborative steps are
required to promote a healthy canteen program starting with pilots in schools that are
relatively ready in terms of infrastructure and social engineering.
As the Head of DKPP, I was very helpful with the findings of the UNPAR team's
research on the food and agriculture sector above. These findings can not only add
complexion to the authority of DKPP as assigned by regional heads but also illustrate further
that food affairs in Bandung City have a very broad spectrum. Therefore, giving more
attention to the agricultural sector as a food producer in urban areas is increasingly important
and should be realized by all parties.
In carrying out the authority to administer food, agriculture, and fishery affairs, we
developed the Buruan SAE as an integrated urban farming program. I truly believe in the
benefits of the program that brings together eight agricultural and fisheries sector activities
that are integrated with each other in one location of activities. And in its journey, where the
practice of Buruan SAE is organized to be adapted by many urban communities, I am often
excited to show that the benefits of this program can be quantified. As the founder of Buruan
SAE, therefore, I'm not too surprised if researchers can find a series of numbers that describe
the various tangible and intangible benefits. Other important research findings contained in
this book can at least reduce my disgruntle because in it readers can find answers to the
immensity and magnitude of the benefits of Buruan SAE in the view of the researchers who
study it. In this book, readers can observe the benefits of Buruan SAE from five aspects,
namely: 1. Economic Benefits; 2. Environmental Benefits; 3. Health Benefits; 4. Social
Benefits; and 5. Educational Benefits.
Finally, as mentioned previously, I once again express my highest appreciation to
UNPAR for the completion of this comprehensive book. Of course, this book can contribute
both to the development of Bandung into a food-smart city, as well as an alternative for
readers who are thirsty for information on food management in urban areas. Thank you.

Ir. H. Gin Gin Ginanjar, M.Eng

Head of Bandung City Food and Agriculture Security Service

viii
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

ix
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

x
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

THE ACTIVITY OF URBAN FARMING KETAPANG-KITA.ID


Tini Martini Tapran, Siti Fatimatul Wafiroh

Background

The coronavirus (COVID-19) pandemic is having an unprecedented impact around the


world, both in terms of health and socioeconomics. In April 2020, WHO reported 1.6 million
cases and almost 100,000 deaths had occurred globally. COVID-19 does not discriminate
between the countries it enters (FSIN, 2020), whether those countries have food insecurity or
not. Even countries with good food security can be threatened as well. Food insecurity will be
a consequence because the pandemic makes movement limited.
The World Food Program (WFP) has previously warned that 2020 will be a difficult
year for many countries hit by poverty or war. 135 million people are at risk of facing a hunger
crisis or worse. This number, coupled with the 821 million people who are currently suffering
from chronic hunger, could push more than 1 billion people into a dire situation (Rizal, 2020).
The world is currently facing a food crisis and increasing food prices as a result of a lack of
agricultural productivity (Maye, 2019)
The characteristics of the food crisis are very different from the monetary crisis. The
food crisis has an impact on creating long-term poverty. The food crisis has a direct impact on
the poor and has become a source of various conflicts, either between the people and the
state or among the society themselves, and the food crisis will eliminate the "golden
generation" in a few decades. As has been recognized by the World Bank that the spike in
world food prices is the main cause of many people in the world falling below the poverty line
(Carebesth, 2012).
From the side of challenges, the Covid-19 virus has paralyzed a part of the economy
and has had a very broad impact on changing society by adopting new habits. The
adaptation of new habits also forces people to limit social interaction by staying at home, so
that the goods distribution is hampered. While food consumption expenditure is increasing
every day, the declining purchasing power of the people due to loss of income is also a
challenge. Limited support from the government, as well as logistical limitations, are
challenges for the community to survive during the Covid-19 pandemic.
On the potential side, the use of available lands, whether unused land, green open
space or use of house yards such as using pots or other methods that can be applied in
limited lands is worth doing. In addition, the 'Kang Pisman' program (reduce, separate,
utilize) which was initiated by the Bandung City Government can be used as an urban
farming approach. Considering the location is close to where people live, flexible time in
managing urban farming can be done well. Furthermore, collaboration with the community
and the high number of social media users have made the penetration of urban farming
programs well-honed.

1
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The concept of urban farming on Ketapang-kita.id is in line with the 2030 SDGs,
especially on (1) No Poverty, (2) No Hunger, (3) Healthy and Prosperous Life, (8) Decent
Work and Economic Growth, (9) Industry, Innovation and Infrastructure, (10) Reducing
Inequality, (11) Sustainable Cities and Settlements, (12) Responsible Consumption and
Production, (13) Addressing Climate Change, and (15) Land Ecosystems. While the
emphasis of this program lies on the circular economy, which is in line with SDGs point 12
namely responsible consumption and production, is also in line with the Bandung city
program, namely Buruan Sae.
FAO (Food and Agriculture Organization) noted that Indonesia is a country with the
second largest food loss and food waste in the world. Referring to the Food Security Agency
of the Ministry of Agriculture, the total waste and food loss of Indonesians in one year is up to
1.3 million tons. So on average, one person generates waste and loses 300 kilograms of food
per year (www.mediaindonesia.com, 2020). Food loss and food waste occur from
agricultural production, supply management systems, and logistics to household kitchens
and dining tables, restaurants, and hotels as well as retail (FAO, 2011).
The people of Bandung City have contributed a large amount of waste during their
daily lives. On average, the people of Bandung City produce about 1,500 tons of waste in one
day, which is equivalent to a football field (Muhaemin, 2018). For this reason, ketapang-
kita.id integrates urban farming with organic waste management as additional material for
planting media and prevents organic material from reaching the landfill.

Activities

Ketapang-kita.id Urban Farming has also participated in achieving the goals of SDGs 2030 at
point 12 related to responsible consumption and production by performing various activities
as follows:

TOT Urban Farming for School Children

Bandung City has declared itself as a Food Smart City, which later became a member of the
Milan Pact (Milan Pact). As a follow-up, the community and the government of Bandung City
continue to carry out various programs/activities aimed at growing awareness of all citizens
of Bandung City on issues related to food problems, as well as to increase mutual awareness
in reducing food waste. The movement also aimed to foster a sense of solidarity among
residents in meeting food needs among residents (food sharing), as well as a movement to
encourage residents to build urban agriculture (urban farming) so that it can support urban
food security on Ketapang-kita.id.
Coupled with the never-ending problem of waste, almost 1,500 tons of waste in
Bandung City is collected every day and most of the waste comes from households. At
present, the Sari Mukti Landfill, where the residents of Bandung pile up their waste, has
already been full, even overloaded. This means that it can no longer accommodate garbage.

2
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

With this condition of the landfill, a massive movement is needed to prevent Bandung City
from being a sea of garbage again, as happened in 2005.
To solve this problem, the Government of Bandung City has introduced the Kang
"Pisman" (Reduce, Separate, Utilize) program. Starting from reducing, sorting, and utilizing
household-scale waste, it will be a massive and inexpensive solution that involves all parties
from family members of all ages. Thus, the education of Kang Pisman becomes important to
be delivered to the whole community, starting from PAUD (education for children at an early
age), elementary, junior high, to adults and the elderly. It is also a character building for early
childhood. The role of educators is very necessary for building the character of caring for the
environment among children.
However, the reality of school activities, teachers, and students has not been entirely
directed to such a goal. Many obstacles are encountered so this competency is rarely
achieved. Among the obstacles are a lack of understanding how to do it and the limitations of
tools and facilities. For this reason, Ketapang-kita.id cooperates with KOMED. The Learning
Media Community (KOMED) is a forum for teachers throughout Indonesia to develop their
professional competence through workshops, seminars, and training. The learning media
community tries to facilitate teachers who are always eager to learn and progress as well as
to take part in a dynamic civilization, by producing work as a proof of understanding and
seriousness in learning. One of the missions of KOMED is to meet the needs for knowledge
of the community members, in this case, the teachers. Therefore, KOMED seeks to provide
training materials that are in line with the needs of today's educators.
Ketapang-kita.id in collaboration with KOMED held an organic cycle educational
webinar to support the TOT Urban Farming Activity for school children. Due to the high level
of complexity in educating children about the issue of food waste, it requires a special
strategy to introduce to the children about the long process of getting food to their plate/table
which causes a lot of food to be wasted during the process. The purpose of this activity is to
introduce children to food waste issues such as problems and their impact on the earth, to
invite children to play an active role in managing food waste through daily activities so that
children can see the results of their efforts and get appreciation. In addition to reducing and
managing food waste, the children are invited to start simply growing their food.
The workshop on organic cycle education for children was carried out through
workshops for teachers in Bandung City which were held on 14, 28, August 2021, and 11, 25
September 2021 through a Zoom meeting from 09.00 a.m. – 12.00 p.m. (Jakarta time) with a
target of 40 teachers involved. As a follow-up to the workshop, the participants were asked to
create learning media for children using the organic cycle education module. From this
workshop, 20 learning media were collected, one of which was Learning Organic Cycles
Through Stories (https://youtu.be/fyx0jwZ9xu4 and https://youtu.be/lG-aZm3DEdo).

3
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Figure 1. Learning media from KOMED collaborating with Ketapang-kita.id

Table1. Learning media collected after the workshop


NAME SCHOOL LEARNING MEDIA
Neng Wina Apriliana SD Gemilang Kartu Lingkungan
Hasna SD Gemilang Kartu Lingkungan
Ammy Kudo Eco Cerah School Game siklus organik
Ammy Kudo Eco Cerah School Dongeng siklus organik
Suhendar SDN 098 Ciroyom Video Edukasi “Memilah Jenis-jenis Sampah”
Citra Amalia SD Gemilang Board game rantai makanan
Citra Amalia SD Gemilang Congklak jenis makanan hewan
Milda Sekolah Alam Bandung Pembelajaran Alam
Neng Wina SD Gemilang Game alam
Citra Amalia SD Gemilang Word wall dan quiz lingkungan
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Cerita "Bana Si Pisang Berjalan-jalan”
Ii Wartini, S.Pd. SDN Arcamanik 04 Word wall Hidup Bersih dan Sehat
Sukmawanti, S.Pd. SDIT AL MUMTAZ Membuat karya 3 dimensi berupa hiasan pensil dari bulu ayam
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Cerita Edukasi “Tiwi dan Pusaran Kehidupan” (Seri 2 Gempita)
Sukmawanti, S.Pd. SDIT AL MUMTAZ Media Pembelajaran Interactive Board
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Edukasi Membuat Ecobrick
Liestianti Pratiwi, S.Pd. SDN 063 Kebon Gedang Video Edukasi Membuat Pupuk Kompos
Citra Amalia hsg gemilang Food chain chess
IRA SDIT Mutiara Islam Warick (Wayang Ecobrick)
Elis Suciati, S.Pd.I, M.M. MIN Bandung Tabla perkalian
PURWANTO, S.Pd KB IT ALMAWADDAH WAKUTIK (WAYANG KULIT TEMATIK)

In addition to the teachers, TOT Urban Farming also directly approaches the children.
An activity was held in RW 02 Jamaras, Jatihandap Village, the participants involved in this
activity were 18 children from RW 02 Jamaras. The Children who are members of
BACILUNG (Children love the environment) carried out planting activities. In this activity, the
children got an explanation about the respiratory system in plants and humans therefore they
understand that humans also depend on plants for their life. There is a mutual symbiosis
between plants and humans, so we must be able to take care of the existence of plants
around us. Children are invited to start planting, starting from processing organic waste as
one of the planting media.

4
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Figure 2. TOT Urban Farming for children RW 02 Jamaras

In transferring the spirit of protecting the environment to children, innovation is


needed. One of which is by making snakes and ladders games about environmental topics
therefore educating children can be done while playing, because we believe through fun
games children can absorb more information. Thus Ketapang-kita.id in collaboration with
STTB made a snake and ladder board game as part of the Tiwi educational series. The
process of making this board game involves DKV STTB lecturers and students with initial
ideas and materials from Mrs. Tini (ketapang-kita.id)

Figure 3. A Brochure of Tiwi Snakes and Ladders board game

Tiwi snakes and ladders is a kind of snakes and ladders board game, but with several
differences. This snake and ladder board game has a much larger size than the usual board
of snakes and ladders game. There are no pawns here because the pawns are the players
themselves who will later be on the game board. This game is played by 3-4 people and
guided by one person, this guide is in charge of overseeing the course of the game and giving
the cards needed by each player. The player who can reach the finish first is the winner. The
segmentation of the Tiwi Snakes and Ladders Board Game is 9-11 years old or equivalent to

5
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

3-5 grades of elementary school. The purpose of this game is to educate children about the
environment. With this game, it is expected that the environmental education process for
children will be more effective and more fun.
This game was launched by the Mayor of Bandung, Mrs. Siti Mumtamah S.AP on the
Cibunut Waste Free Area which was fostered by Mrs. Tini (2015-2020), at the same time
there was a trial on the children of BOCIL (name of a community of children who love the
environment) Cibunut. The whole event can be seen at https://youtu.be/5RJOW35KnA

Figure 4. Launching the board game Tiwi Snakes and Ladders in Cibunut

“Penjaga Bumi” (Earth Guardian) Boot camp

Being concerned about the climate crisis that is getting worse day by day, and
considering that humans are the cause of the destruction of nature but on the other hand,
humans can also be the healing factor, an effective way to heal the earth is to change the
human system to be in harmony with nature from a liner to a cyclical form. This activity is
aimed to increase children's awareness of the natural destruction due to human activities,
understand which system is harmonious with nature and which one is not incompatible with
nature, as well as to invite their contribution to the sustainability of nature in the future. The
Earth Guard Boot camp was attended by 24 children, most of them were finalists for the
Reading Ambassador competition. The 8th Reading Ambassador Competition was
organized by the Bandung City Library and Archives Service collaborated with Rikolto,
ketapang-kita.id, and the Bandung City Literacy Working Group. The earth guard youth boot
camp activity was carried out offline by conducting strict health protocols, at the Eco Camp
Learning Center on 27-28 November 2021. These Children Reading Ambassadors have
gone through 5 stages to become reading ambassadors as follows:
1. In the first stage, the children were equipped with the ability to observe and analyze
environmental problems that become their focus of concern to find the solutions.
2. The children were provided with Kang Pisman knowledge by Mrs. Riri from DLHK and

6
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Buruan Sae topics by Mr. Willy from DKPP, as well as how to implement both in the
real life by Mrs. Tini Martini Tapran from Ketapang-kita.id.
3. Because at the next stage the children would be asked to find solutions that must be
presented, thus after the children got the material and analyze the results of their
observations, at this stage (stage 3), the children had an opportunity to ask as many
questions as possible to the presenters to be more optimal in presenting the results
of their observations later.
4. At stage 4, the children submitted their observations and 23 finalists were selected to
be entitled to present their ideas in front of 5 judges.
5. At the last stage, 6 children were selected as winners

Figure 5. The Situation on Earth Guard Youth Boot camp

Because some of the finalists for reading ambassadors were not permitted by their
parents to attend the event, some children from other environmental literacy communities
joined. The earth guard boot camp activity lasted for 2 days one night with materials provided
by Ecocamp and Ketapang-kita.id. The material provided was the basic material of how
humans interact with real nature. This event was ended with a procession of the inauguration
of the youth earth guardians, taking commitments, and at last the distribution of pearl grass
plants as a symbol of their commitment to protecting the earth by taking care of the plants
given. It is expected that they can share their enthusiasm with their friends because they are
agents of change for better earth in the future. They were also given homework to put their
ideas into a simple proposal so that we could see the potential for collaboration, both
between themselves as well as with various parties. From this boot camp event the Youth
Earth Guardian Community was established, even though they have their projects, they will

7
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

support each other and will share both online and offline starting with a sharing by Fidelia
about Eco Enzyme via Zoom (https://youtu.be/GfmdxZjV7jg) and one of the projects that are
quite proud of was made by SMPN 45 students, namely Thara and Myeisya who took part in a
prestigious competition at an international event and won a gold medal.
(https://www.instagram.com/pemudapenjagabumi.id).

Figure 6 . The Instagram of The Youth Earth Guardian

Book Composition

When it comes to food in Indonesia, food waste is closely related. On the one hand,
Indonesia is the second largest producer of food waste in the world. On the other hand, the
level of hunger in Indonesia is classified as severe, with 19.4 million people experiencing
malnutrition. This is tantamount to letting our fellow citizens starve while we are wasting food.
There are 2 parts to Food waste, namely Food Loss and Food Waste. Food loss is all
food that is lost before it reaches the consumer - usually at the stages of production, storage
and distribution. Meanwhile, food waste is food that is in good condition and ready to eat but
is not consumed. Food waste generally occurs at the sales and consumption stages (e.g. in
markets, restaurants, or at home).
Tiwi and Kunci Kulina is an educational module package for educating children about
food waste at elementary school age (8-12 years old). Educating children on the issue of
waste certainly requires a focused and special strategy. The preparation of the book Tiwi and
Kunci Kulina is intended to create a module that focuses on two strategies, namely:
Introducing the issue of food waste that is close to the world of children in their daily life and
equipping children with useful insights, experiences, and skills to solve food waste problems
on a local or simple scale. With the aim of raising awareness on the issue of food waste to
elementary school children in a fun way and encouraging the implementation of food waste
solutions at the school level through the participation of educators and students.

8
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Figure 7. The Layout of Module Book and Storybook of Tiwi & Kunci Kulina

Tiwi and Kunci Kulina module package consist of an educational implementation


guide for educators, children's storybooks, teaching aids, and educational support. After
participating in the series of Tiwi and Kunci Kulina module activities, it is expected that
children:
1. Understand the definition of food waste
2. Know the origin and impact of food waste
3. Identify sources of food waste in the surrounding environment (home/school)
4. Find simple and effective solutions to reduce food waste in the vicinity
5. Can practice these solutions in daily life

The Tiwi and Kunci Kulina module package can be used both offline and online at schools,
activity studios, reading houses, PKBM, other learning communities and even can be carried
out as a family activity at home.
This module uses the method:
1. Child-centered (put the children as the center of activity)
2. Experiential learning (learn through sensory experience and reflection)
3. Facilitation (adults accompany and learn with children)

Figure 8. Four stages of learning using Tiwi & Kunci Kulina Module

9
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Figure 9. One of the educational support tools is reward stickers

Workshop on Composting and Making MOL & Eco Enzyme

Solving the waste problem in the city of Bandung requires community participation. From
the observations, it turns out that the reduction in waste and the number of households
that separate waste is not significant thus it is still necessary to find ways to educate the
public to separate waste from the source (household).
On the other hand, there are difficulties for people who have started to separate
their waste but in their home environment, there is no separate garbage collection service
available, making people reluctant to separate their waste because they do not have the
skills to process waste, especially organic waste.
Mrs. Tini's experience in fostering KBS RW 07 Cibunut Kebon Pisang Village
revealed that educating the community requires local environmental cadres who can
educate the community continuously and it also needs role models. As the result of
discussions (FGD) with the community in a hamlet (RW) and its administrators, a school
of life was established which began in RW 06 in September 2020 with 24 mothers as its
students. Like a usual school, the school of life also chose its principal, class leader and
there are certainly teachers/tutors. Complete curriculums were also compiled with
homework and exams. School of Life RW 06 Cikutra also partnered with SITH ITB. The
competencies expected of life school students are:
1. Understand waste problems holistically so that they can understand environmental
problems globally.
2. Can separate at least 2 types of waste. Organic waste should not be mixed with
other waste because it is organic waste that causes smelly, disgusting, and dirty
garbage
3. Be able to process organic waste with simple composting techniques according to
the ability and availability of space
4. Obtain skills to make Eco Enzyme and MOL
5. Plant vegetables using compost as a medium
6. Be able to deliver the material obtained at the school of life to the community both
spoken and in simple writing

10
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

During 2020-2021 the School of Life has been delivered at the following places:
● RW (Hamlet) 06 Cikutra Village group 1 (20 people) - offline
● RW (Hamlet) 06 Cikutra Village group 2 (17 people) - offline
● RW (Hamlet) 01 and 02 Jamaras group 1 (20 people) - offline
● Kebon Pisang village 1 group (20 people) - offline
● TP-PKK of Bandung City and RKI of West Java (60 people) - online
● KOMED ( Learning Media Community) (40 people) - online

The common obstacle of urban farming is the difficulty of obtaining planting media.
This problem can be solved by managing organic waste from home through a composting
system. From this activity the community gets two added values; they can solve the problem
of organic waste and get their planting media at the same time. Composting activities are
carried out as an effort to use organic waste as a planting medium and to reduce waste sent
to landfills. Ketapang-kita.id held composting activities through organic waste management
workshops, both household and communal, online as well as offline.
One of the needs in composting is how to speed up the composting process and
reduce odors. Eco Enzyme and MOL are among the ways to process food waste before
composting. They are also needed in the composting process and solve composting
problems, especially by reducing odors and speeding up the composting process.
Urban Farming Ketapang-kita.id has conducted workshops on composting and
making Local Micro Organisms (MOL) & Eco Enzymes in collaboration with:
1. The Indonesian Women Entrepreneurs Association (IWAPI) Bandung,
2. Bandung City Chamber of Commerce and Industry (KADIN),
3. TP PKK Bandung City,
4. The Learning Media Community (KOMED) Bandung City,
5. Hijaber's mom (women wearing a veil) Community in Bandung
6. Indonesian Family House (RKI) West Java.
7. The Youth Earth Guardian
8. School of life community participants

Figure 11. Training on composting

11
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

This activity is carried out online through the zoom meeting and offline directly on the
spot. The purpose of holding this activity is an effort to utilize organic materials that are the
potential to become waste so that they are not wasted out in the landfill. After the workshop,
ketapang-kita.id assisted the WA Group for three months after the workshop. The training
was held from August to November, the communities that received assistance for three
months were TP PKK Bandung City, RKI West Java, and the KOMED Learning Media
Community in Bandung City. The participants involved in this activity were as follows:

NUMBER OF PARTICIPANTS NUMBER OF ACTIVITIES STAKEHOLDER


6 Public
8% 6 Public
6 Public
20% 1 PKK & RKI 1 PKK & RKI
5 HMC 23%
8% 20% 29%

1 PKK & RKI


45% 5 HMC
4 IWAPI
9% 10% 5 HMC
9%
4 IWAPI 2 KOmed/Teachers
5% 25% 2 KOmed/Teachers
3 Students 4 IWAPI
14%
15% 11%
3 Students 3 Students
2 KOmed/Teachers
20% 14%
11%

Figure 10. Graph of the number of participants, activities, and stakeholders involved

Table 2. Number of workshop participants (online and offline)


No Partners Participants Activities Stakeholder
1. PKK & RKI 434 4 10
2. KOMED/Teachers 110 5 5
3. Students 148 4 5
4. IWAPI 84 1 4
5. HMC 121 2 3
6. Public 78 4 8
TOTAL 975 20 35

Table 3. The amount of processed organic


liter kg
1. Ecoenzyme 535 160,5
2. MOL 50 25
3. Kompos 3.244,779

Because one of the competencies at the school of life is planting, especially


vegetables and fruit, we have also recorded the number of harvests every month in each
area at 526,396 kg

12
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Lesson learn

The graduates from the school of life have created agents of change in every region,
although not all graduates are sufficient to create a spirit of change in society. This is
reinforced by the spirit of togetherness and the Bandung city program, namely Kang Pisman
and Buruan Sae. The material that can be obtained in the school of life is material that is very
easy to apply in everyday life and is very close to their lives so that people begin to move and
make changes in their territory. The required competency standards are being able to
separate and process waste that will be used for planting media so that people can directly
practice it at their respective houses, either independently or communally. We have also
facilitated some tools and materials for practice.
It is expected that more mothers will be educated so that more organic waste is
processed and more plants are planted to encourage urban food security. To be duplicated in
a wider range of communities, It is required to provide modules and curricula that can be
applied by other communities because apparently from the alumni of this school of life
emerged agents of change and some of them could become new resource persons in the
next groups. Intense habituation and mentoring can make mothers enthusiastic and make
real changes in their environment therefore the goals of reducing waste and food security
can be achieved slowly but surely.
Ketapang-kita.id is trying to provide more teaching materials to the module book as an
educational tool in the Tiwi series so that it can be a learning tool for mothers to become
educators in their environment targeting children. Knowing the organic cycle is one of the first
steps so that children get to know their surroundings and know-how and why to preserve the
environment. However, how should this learning process be carried out? What adults need to
do to help children learn these ideas without overburdening children but feeling happy and
being involved in the learning process. The book "Tiwi & the vortex of life" can be the answer.
The story is about Tiwi and her friends who "saved the vortex of life that was crowded by
humans" This book provides a guide that makes it easier for facilitators to educate children
about organic cycles, both offline and online. There are currently 3 Tiwi series:
1. Tiwi and the Vortex of Life (Organic Cycle Educational Modules and Booklets for
Children)
2. Tiwi Snakes and Ladders (environmental educational board game)
3. Tiwi and Kunci Kulina (educational modules and storybooks for reducing food waste)

From various ages and partners participating in the online workshops, Teachers could
directly apply this module, perhaps because teachers get very used to teaching and learning
activities, and it was proven that several people were inspired by this book when teaching in
class. The groups of PKK and RKI women have not been able to optimally use this book,
even though before the workshop this module book had been sent and asked to be read first.
For this group, face-to-face workshops are needed as well as hands-on practice on how to
deliver this module. But for the direct practice of reducing, separating, and processing waste,

13
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

especially cooking oil waste, those who were enthusiastic to post activities and the results
were PKK and RKI women. This group could transfer knowledge and practice directly to
other groups of mothers and can add economic and social value by showing and selling it
on various occasions. Of the group of teachers, only very few post the practice of
reducing, separating, and utilizing their waste directly in their respective houses.
The face-to-face school of life makes it easier to transfer knowledge and monitor
the results. It was revealed from the 4 classes that had been run previously that the more
localized the participants were, the easier it was to see the changes. By being localized in
one RT (neighborhood association) /RW (hamlet), the changes will be more visible, both
in terms of reducing waste and changing the environment. As seen in RW 02 Jamaras,
Jatihandap sub-district. Independently, the women who are members of the Gelis KSM
have started educating and transporting their organic waste regularly and using it for
planting media so that the number of plants has been increasing as the waste they
transport and process increases, for example in the November 22 – December 20, 2021,
the waste transported and processed was at 769.7 Kg. All organic waste is processed in
the area and will be used as planting media. This movement of mothers has raised
empathy from the fathers and finally, the fathers are moved to help

Transported Organic at KSM Gelis Ih


120
100
80
60
40
20
0 KG
22-Nov

24-Nov

27-Nov

26-Nov

28-Nov

29-Nov

1-Dec

4-Dec

6-Dec

8-Dec

11-Dec

15-Dec

18-Dec

18-Dec

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Figure 13. Graph of the transported organic weight (kg)

More effort is required to create a public space as a place for people to interact
more so that they can create a positive atmosphere and build mutual trust. This public
space can be a place for sparking ideas, building collaboration, mutual cooperation, and
strong bonds between them. So the first thing that needs to be developed is a public
space, the place doesn't need to be good but it must be a comfortable place for people to
gather.
The existence of urban farming at the Ketapang (Ciskul) site was expected to be a
place where women in Cisaranten Kulon could do communal activities and education. But
it turned out that the people of Cisaranten preferred solving their waste problem first
rather than planting. We had done several FGDs with the community and K3
management to reach an agreement on the waste management system. However, it

14
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

turned out that this resulted in the lack of maintenance of the Ketapang garden, thus
sometimes our gardens were late for harvesting because the mothers only came to water the
plants.
The condition of the upper middle class community in the residential area showed less
interaction between neighbors and it was worsening by the pandemic therefore activities that
usually involved the community were stopped, such as posyandu (Integrated Healthcare
Center), posbindu (Integrated Developing Center), and joint gymnastics. Lack of good
communication between RW, RT management, and the community also hindered the
progress of a movement in the environment. It seemed that the Cisaranten Kulon community
depended on a figurehead, thus the community lacked initiative. The problem of finding a
person in charge of our urban farming garden was also one of the challenges to obtaining
optimal garden production thus in the future we need to choose a person in charge of this
garden so that our garden is well maintained and the garden produce can be optimal and can
be sold. The important lesson is that we need people who have a passion for planting.
What is certain is that the most valuable lesson learned from interacting with the
community in developing and realizing creative ideas for the community and students “We
are puzzle pieces that will form a beautiful picture together.”

15
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

16
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

ANALYSIS OF SOCIAL MEDIA CAMPAIGN &


PUBLICATION OF BANDUNG FOOD SMART CITY IN 2021
Beby Nurtesha Putri*
(*Parahyangan Catholic University)

Introduction

Along with current technological developments, the media are among the tools that are
widely used as communication tools to convey information (Kompas.com, 2021). Media has
various characteristics therefore it is adaptable to the needs. Media have various
characteristics so that they can be adapted to their needs. According to Nasrullah (Nasrullah,
2015), social media is a medium on the internet that allows users to represent themselves as
well as interact, cooperate, share and communicate with other users to build virtual social
bonds. In addition, social media is also meant as a medium of recognition (cognition),
communication media (communicate), and as a medium of cooperation (cooperation).
Social media is an online media that is used for long-distance communication needs, the
process of interaction between users with one another, as well as getting information through
special application devices using the internet network (Adani, 2020). In addition, social
media is also meant as a medium of recognition (cognition), communication media
(communicate), and as a medium of cooperation (cooperation). Social media is an online
media that is used for long-distance communication needs, the process of interaction
between users with one another, as well as getting information through special application
devices using the internet network (Adani, 2020). Many things can be done through social
media, Bandung Food Smart City utilizes social media as a tool for disseminating
information. This activity aims to build public awareness of the dangers of food waste and
how to reuse materials that are considered waste so that they can be useful and other
matters related to food waste, environmental issues, and publications shared by the
Bandung Food Smart City social media account.
Food waste is any food of a good quality that can be consumed by humans but for
some reason is not consumed and is not utilized (Lipinski, et al., 2013). Community
awareness is built not only through content created on the Bandung Food Smart City social
media account but also related to events carried out in other online media, one of which was a
blogger contest with the theme “Lifestyle with a minimum food waste" that was held in 2021.
This event was attended by more than 100 participants who came from various backgrounds
and regions in Indonesia.
Based on the objectives that have been explained, social media as a medium for
conveying information and publications are effective tools for communicating these things.
Almost all circles currently use social media to find information so the use of social media is
considered as media that can reach all people in a wide area. The use of social media is
expected to be able to raise public awareness about the dangers of food waste and how to
overcome it.

17
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Programs and Activities

There were 2 activities carried out in the Online Media and Publication division throughout
2021. Routine activities that always be carried out were building awareness through content
on social media which is routinely carried out and a blog competition which was also held
virtually.

1. Social Media
Bandung Food Smart City has several very active social media accounts and has a
#ambilmakanhabiskan campaign that continues to be disseminated. And also regularly
post content to raise awareness to the public and also as a publication media for other
activities held by Bandung Food Smart City. Each social media has different
characteristics, segments, and targets, so it is necessary to use various types of social
media. In addition, achievements on social media cannot be identical every month or
compared with other social media because the algorithm system of social media is also
always changing thus it cannot always be equalized. Here are some social media owned
by Bandung Food Smart City.

a. Instagram
The Instagram account of Bandung Food Smart City is @bandungfoodsmartcity with
752 followers. Every month @bandungfoodsmartcity regularly shares 20-25 content
on Instagram social media by utilizing all the features on Instagram from posting
photos, videos, instastory, and reels. The types of content shared on Instagram social
media accounts vary every month according to developing issues and adapted
materials. The types of content from the Instagram @bandungfoodsmartcity social
media account are informative content, edutainment (education and entertainment,
announcements, greetings, and quotes). These types of content are delivered in the
form of photos and videos that are posted on the @bandungfoodsmartcity Instagram
account in various features that have been provided by Instagram. The following are
the 3 best contents that have been posted on @bandungfoodsmartcity Instagram
account throughout 2021. These contents are divided into 2 types of features on
Instagram, namely feed posts and reels.

18
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Likes : 64
Comments : 5
Shares : 5
Saved : 2
Reach: 1162
Impressions : 1310

Announcement Type Content


Likes : 25
Comments : 0
Shares : 0
Saved : 0
Reach : 1046
Impressions : 1096

Quotes type content


Likes : 37
Comments : 0
Shares : 0
Saved : 1
Reach : 945
Impressions : 1040

Informational Content-Type
Source: (@bandungfoodsmartcity, 2021)

19
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

From the 3 types of content that obtained the highest number of likes, reach and
impressions, we can see that even though it is just an announcement of the activity,
the enthusiasm of the community is also quite large. Then followed by quotes that also
motivate the audience to always live a minimal food waste life. In addition, the
informational content on food waste and food loss information, tips and tricks, and so
on also attracts the interest of the audience to see and explore the information.
Thus the diversity of content types that is adjusted to the schedule and circulating
i ssues becomes the main focus of the @bandungfoodsmartcity Instagram account.
The latest feature that has also been presented by Instagram is Reels and
@bandungfoodsmartcity also posts information on reels by delivering it in motion or
video with different types of content. The reach of reel contents is wider because it
reaches not only the followers from the @bandungfoodsmartcity Instagram account
but also other audiences who also have the same interests/passions It is also potential
to appear in exploration from followers of the @bandungfoodsmartcity Instagram
account. The following are the 3 best from @bandungfoodsmartcity's reel posts.

Likes : 60
Comments : 0
Shares : 18
Saved : 45
Reach : 5411
Plays : 5391

Edutainment Content type

20
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Likes : 69
Comments : 9
Shares : 8
Saved : 25
Reach : 4251
Plays : 4172

Edutainment Content Type

Likes : 26
Comments : 0
Shares : 2
Saved : 2
Reach : 1661
Plays: 1647

Edutainment Content Type


(@bandungfoodsmartcity, 2021)

21
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

As we can see that the 3 reel contents on the @bandungfoodsmartcity


Instagram account which have the highest number of likes, reach and impressions are
types of edutainment content. The Edutainment content is interesting if it is delivered
in the form of video or motion. With the algorithm system of reels that is slightly
different from the Instagram feed, reels are considered quite effective to increase
audience awareness not only regarding the content being posted but also the whole
Instagram account of @bandungfoodsmartcity. It is proven by the number of reach
which is large and even exceeds the number of followers of @bandungfoodsmartcity.
Instastory posts are only a supporting media and interaction media with the audience
from Instagram social media @bandungfoodsmartcity therefore the engagement from
Instagram accounts also remains good.
The combination of posting feeds and reels can be communication media as an
entity of awareness on food waste, food loss, and other entertainment content.

b. Facebook
Facebook is one type of social media that has existed for quite a long time. Although it
is classified as a social media that has existed for a long time, Facebook is the most
widely used social media network site in all corners of the world. In 2017 the number of
Facebook users reached 2,047,000,000 or more than two billion forty-seven million
users (Adani, 2020).
On Facebook, there is a feature called Fanpage. Fanpage is a business
account that represents an organization or person with unique features in it (Perdana,
2021). One feature is widely used by organizations both profit and non-profit
organizations because there are so many features that can be utilized from this
fanpage, one of which is the advertising feature using the Facebook manager which is
one of the features found on fan pages. This Facebook fanpage is intended to make
users be able to manage Facebook accounts better with various features that are not
found on Facebook accounts in general (Perdana, 2021).
The fanpage account of Bandung Food Smart City is @bandungfoodsmartcity
with a total of 368 fanpage likes. This fanpage account @bandungfoodsmartcity
regularly posts 20-25 content each month aimed to raise Facebook audience
awareness through these contents about the dangers of food waste, food loss, and
how to overcome them.
With this large number of Facebook users at various age groups,
@bandungfoodsmartcity regularly distributes content to spread awareness among
Facebook users. The content on Facebook has various algorithm results that are
inconsistent every month because it depends on the algorithm system from Facebook
which also changes frequently. The format and types of content posted on the
@bandungfoodsmartcity fanpage also vary. Here are the 3 best contents throughout
2021 posted on the @bandungfoodsmartcity fanpage.

22
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Total of Interaction : 119


Reach : 8645
Post clicks : 1211

Edutainment-interaction
Type Content

Total of Interaction : 34
Reach : 958
Post Clicks : 32

Edutainment Type Content

Total of Interaction : 23
Reach : 441
Post clicks : 10

Edutainment Type Content


Source:
(@bandungfoodsmartcity, 2021)

Based on the three contents that have the highest total interaction, reach, and
clicks on posts on the @bandungfoodsmartcity fanpage account, it can be seen that
the audience on Facebook prefers edutainment content that is close to the audience's
daily life and is applicable in the audience's daily life. However, every month posts on
the fanpage will still be interspersed with other types of content that are also
informational, event announcements, edutainment, and quotes. To the post fresh and
not monotonous, this fanpage account also discusses issues following current
interests.

23
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The Contents on the @bandungfoodsmartcity Facebook fanpage account are


delivered in the form of photos, e-posters, videos, and motions therefore the posts are
diverse and not monotonous, thus the purpose of the @bandungfoodsmartcity
facebook fanpage as a medium to raise community awareness can be conveyed
properly.

c. Tiktok
Tiktok offers a service where people can share videos with a fairly short viewing
duration. The video will display music as a background which can be edited using
special filters. Tiktok is also not only used to make videos that are personal but also
can collaborate with friends to create interesting and entertaining content (Adani,
2020).
The Tiktok account is @bandungfoodsmartcity with 1141 followers. This Tiktok
account aims to communicate and inform the audience about the dangers of food
waste and how to handle it. On this Tiktok account, @bandungfoodsmartcity regularly
posts 3-5 content every month. The type of content posted varies from informational,
edutainment, tips, and quotes. The Tiktok account @bandungfoodsmartcity has been
activated since in 2021, contents are packaged in the form of videos and motions to
attract audience interest to view the contents and deliver campaigns on the
@bandungfoodsmartcity Tiktok account. Here are the 3 best contents posted
throughout 2021 on the @bandungfoodsmartcity Tiktok account.

Likes : 7492
Comments : 90
Shares : 1806
Plays : 214600

Edutainment Content Type

24
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Likes : 163
Comment : 1
Share : 11
Play: 4583

Edutainment Content Type

Likes : 114
Comment : 10
Share : 10
Play: 3667

Edutainment Content Type


Source :
(@bandungfoodsmartcity, 2021)

25
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Based on the 3 best Tiktok content throughout 2021, it can be seen that
edutainment tips content is in great demand by the audience on Tiktok
because the audience can apply it directly in their daily lives. Even though the
3 best content is occupied by edutainment and tips content, other types of
Tiktok content are still interspersed to balance the information shared and
therefore the content is not monotonous.
The three Tiktok contents have got different numbers of views/plays and
even different likes, so they cannot be averaged every month for insight from
each content and cannot be compared because it is related to the Tiktok
algorithm. The Tiktok algorithm can sometimes deliver content that has a lot of
views or only standard views. So based on this, all content insights cannot be
averaged. The contents on Tiktok are delivered in the form of motion and videos with
different types of content to avoid being monotonous.

2. Blog Competition
Bandung Food Smart City held a competition by utilizing online media, namely a
blog competition. This competition targeted bloggers throughout Indonesia with various
backgrounds. A blog is an application/platform that provides a medium for users free to
express everything in a blog such as an outpouring of their heart as well as a critique, a
review based on the perspective of the blogger (Adani, 2020). This blog competition is
held as a form of concern for the environment and food waste. The environment is one of
the issues that is currently being discussed by many people, including the issue of food
waste. Indonesia is a country that ranks second after Saudi Arabia in terms of wasting
food. Every year there are 13 million tons of food waste in Indonesia. It is equivalent to 500
times the weight of the Monas Monument and on average every person in Indonesia
throws away 300 kg of food waste every year. On the other hand, there are still many
people who are poor economically and even being hit by hunger and experiencing food
shortages. Thus to increase public awareness of the dangers of food waste and how to
deal with it, this blog competition was made to increase public awareness more broadly.
With the different backgrounds of participants from all over Indonesia, it was expected
that they would deliver various perspectives because they come from different
backgrounds, thus enriching the perspective on food waste and its management. In
addition, with the power of online media, content about food waste can appear on search
engines, therefore it can be easier for the wider community if they want to know more
about food waste to get input from various views because they can find more information
about food waste.

26
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

With the theme of the blog competition "Lifestyle of Minimal Food Waste", the
information about this competition can be searched using several keywords, namely:
● Food waste Free
● Food waste
● A Lifestyle of minimal food waste
● Food waste
● Bandung Food Smart City

This competition is expected to disseminate wider about the focused matters


considering that the use of blogs has existed in online media for longer than social media.
Every post on a blog and searched on search engines will be easier to find than on social
media.
The initial target of participants who took part in the blog competition was 100
participants, but it turned out that the total number of participants who joined was 151,
which is more than the targeted participants. It indicates that more people are becoming
aware of food waste and are ready to become agents to continuously spread the word
about the dangers of food waste.
Of a total of 151 participants, several winning categories were chosen, namely
1,2,3 winner, Favorite Category, Social Media Winner, and 10 Encouragement Winners.
The following is a list of winners from the “A Lifestyle of Minimal Waste” blog competition.

No Name Winner
1. Ika Riyanti Putri First
2. Thayyibah Nazlatul Ain Second
3. Harsono Third
4. Teguh Nugroho Favorite
5. Myra Anastasia Kania Dewi Social Media Category
6. Jihan Mawaddah Encouragement Prize
7. Ulma Lisa Nur Hasana Encouragement Prize
8. Nurul Mutiara Risqi Amalia Encouragement Prize
9. Annasa Rivada Engkesari Encouragement Prize
10. Nur Laela Fitriyani Encouragement Prize
11. Yohanes Wele Hayon Encouragement Prize
12. Siti Mustiani Encouragement Prize
13. Aditya Nirwana Encouragement Prize
14. Rizky Kurnia Rahman, S.I.P Encouragement Prize
15. Rizky Chairani Encouragement Prize

27
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Until the last second of the closing of the contest, the enthusiasm of the blog
contest participants was still high, but due to time constraints, we had to close the
registration. The 151 participants in this blog competition have resulted in a lot of insight
and support to Bandung Food Smart CIty as well as enriched perspectives based on the
experience and background of the blogger.
It is expected that this blog competition can make more people spread the word
about the issue of food waste, more people are getting aware of the dangerous effects of
food waste, thus the food waste cases, especially in Indonesia, can be reduced.

Closing

Social media is an online media that is used for the process of interaction, communication,
collaboration, and conveying information without limitations of space and time that can reach
audiences in all circles. Bandung Food Smart City has particular purposes through social
media that it currently has and it is expected that it will expand to other platforms in the future
to be able to continuously carry out awareness movements regarding food waste, food loss,
the dangers of excess food and a lifestyle that is minimal in food waste and other contents.
This movement will certainly raise the motivation to reduce food waste together.
With the wide reach of online media, it is expected that it can reach a wide audience
from various circles. It is also expected that in the future Bandung Food Smart City can
continue to cooperate or collaborate with various parties to continuously spread the anti food
waste movement. Through the campaign of #ambilmakanhabiskan (take, eat and finish your
meal), it is also hoped that it will expand and become a joint movement so that together we
can apply the #ambilmakanhabiskan habits. Take your food as you need, eat the food on
your plate with pleasure and gratitude, then finish it, don't waste it. Because we don't have
planet B.

28
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Bibliography

Nasrullah, R. (2015). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Kompas.com. (2021, 01 08). Pengertian dan Perkembangan Teknologi. Retrieved from


Kompas.com: www.kompas.com

Adani, M. R. (2020, 11 19). Pengaruh Penggunaan Media Sosial dan Manfaat Untuk Bisnis.
Retrieved from Sekawanmedia.co.id: www.sekawanmedia.co.id

@bandungfoodsmartcity. (2021, 12 23). @bandungfoodsmartcity. Retrieved from


instagram: www.instagram.com

Perdana, A. (2021, 03 15). Tingkatkan Performas Bisnismu dengan Facebook Fanpage.


Retrieved from glins: www.glints.com

Lipinski, B., Hanson, C., Lomax, J., Kitinoja, L., Waite, R., & Tim Searchinger. (2013).
Reducing Food Loss and Food Waste. World Resources Institute.

29
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

30
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

THE KNOWLEDGE OF FOOD AND HEALTHY


CANTEEN AT FIVE HIGH SCHOOLS
IN BANDUNG CITY
Vrameswari Omega Wati*, Renaldi Stevanus, Shofaa Fairuuz Salsabila Respati,
Jessica Anqeligue, M. Gulam Faridz, Ruben Hisar Eriyono Manik,
Febriani Yusnikana, Lely Ayukusuma Bakti, Ruth Latreia Theo Saphira,
Zulaekha Amalia, Salsabila Dwi Putri Perbatas
(*Parahyangan Catholic University)

The Importance of Healthy Food for Adolescent Development and Growth

Adolescence is a crucial period of growth for everyone. According to the Regulation of the
Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 25 of 2014, the population
categorized as teenagers is within the range of 10 to 18 years old. Adolescence can also be
interpreted as a period of individual transition from childhood to adulthood. We need to pay
attention to the conditions of teenagers' development and growth. Every teenager needs
proper nutrition to be active and healthy. Based on Basic Health Research, it is known that
the common problems of Indonesian adolescents are obesity, thin or very thin, low nutrition,
and anemia (Ministry of Health, 2019). These health issues can be categorized as health
problems that arise due to a lack of attention to diet.
Therefore, the quantity and quality of food consumed are very influential on the growth
and development of adolescents. Healthy food and balanced nutrition are needed to support
adolescent growth to be optimal. Balanced nutrition can be defined as the composition of
daily food containing nutrients in the type and amount according to the body's needs
(Ministry of Health, 2014). Carbohydrates, fats, proteins, fiber, vitamins, and minerals are
nutritional intakes that are required by adolescents to support their growth and development.
For teenagers, balanced nutrition is certainly very important to support bone growth,
hormonal changes, organ development, and also cognitive development. In addition,
consuming healthy foods can be useful for preventing health problems caused by food such
as cardiovascular disease, diabetes, osteoporosis, and others (Widiarti, 2021).

Healthy Canteen as a Program that Supports the Fulfillment of Nutrition for


Adolescent Growth

The growth and development of a person's thinking power cannot be separated from the
consumption of nutrients. The quality of the food consumed also affects the health of a
student. To meet the growth and development needs of students, the school canteens play
an important role because they can also facilitate the student to obtain adequate nutritional
needs. The quality and hygiene of food at the canteen also contribute to the health of
students at schools (Directorate of High Schools, 2020). Thus, the school canteens must

31
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

maintain food quality and hygiene to be able to become a means of providing the nutritional
consumption needs of students.
Furthermore, a school canteen is not only a place to buy and sell food but also a part of
students' educational facilities during their school time. Cultures such as queuing, honesty in
payments, and interactions created between sellers at a canteen and students as buyers
also influence the personality development of the students. Thus the canteen must be a
proper place and receive supervision from the school thus the canteen can contribute to the
development of a student's personality. Schools must be able to cooperate with canteens
and maintain a dignified canteen atmosphere so that they are also able to play a proper role
as a place for a student's personal development.

Research as the basis for implementing the Healthy Canteen Program

Starting from a concern on the proper nutrition issues for the development and growth of high
school youth and the important role of school canteens for students, Rikolto Indonesia, a
non-governmental organization that focuses on sustainable agriculture and food issues,
collaborates with a team of lecturers and students of the Faculty of Social and Political
Sciences Parahyangan Catholic University researched the importance of healthy food for
adolescent growth and the role of a healthy canteen which is summarized in the Good Food
for School program.
This study was conducted to determine the general condition of the school canteens
before the COVID-19 pandemic and later when new habits were implemented as well as
efforts to contribute to the implementation of healthy canteens and the fulfillment of good
nutrition for high school students. This study has a series of activities targeted at five high
schools in Bandung City which have different characteristics from one another. The five high
schools that were involved in this research and also the beneficiaries are: SMAN 1 Bandung,
SMA Cahaya Bangsa, SMA Santo Aloysius 1, SMAN 22 Bandung, and SMAN 4 Bandung.
To map the general condition of the school canteen's role in fulfilling the nutritional
needs of high school students, the research team conducted interviews, focus groups, and
distributed questionnaires as supporting data. The distribution of this questionnaire was
carried out to measure the understanding of high school students, parents, the school, and
the canteen regarding healthy and nutritious food provided by the school canteen for
students before and after the COVID-19 pandemic. Knowing this understanding is important
to complement the research analysis obtained from the focus group discussions and
previous interviews. The results of the analysis will be used as the basis for formulating
workshop activities on healthy nutrition for high school age adolescents, the important role of
a healthy canteen, as well as simple ways of managing food waste to improve the series of
Good Food for School research as an effort to contribute to improving the quality of food and
nutrition consumed by adolescence either high school students in Bandung City and its
surroundings.

32
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Workshop

The workshop about Good Food for School is a further step that contributes to educating and
improving knowledge about the fulfillment of good nutrition, implementation of a healthy
canteen, and simple food waste management for high school students, parents, school
authorities, and also the canteen at the five high schools in Bandung city which became the
research target. The workshop was divided into two different sessions therefore the activity
of each session can be adjusted to the counseling and educational materials for two different
target groups of participants, namely high school students with their parents and the school
with the canteen.
The first workshop session invited speakers who have excellent knowledge for
nutrition for high school age teenagers as well as experts in the field of food waste
management. The second workshop invited speakers from the Health Office of Bandung
City and representatives of the Gita Pertiwi Solo Foundation to provide counseling on the
implementation of a healthy canteen according to the protocols and rules that have been
recommended during the new habits period and lessons learned from the best practices for
implementing healthy canteens that have been conducted in Solo.

Research Method

Qualitative methods were chosen in this research. This method is used to obtain an
understanding of a phenomenon that occurs. Then, this understanding is included in the
analysis. In this case, a qualitative method was used to gain an understanding of canteen
practices in the five senior high schools (SMA) in Bandung City. In addition, this study
attempts to analyze the understanding of the informants/respondents regarding healthy
food. The data collection technique used in this research is by conducting focus group
discussions (FGD), interviews, and literature studies. The data collected in this study are
primary data obtained directly by the researcher. This research is a type of descriptive
research that seeks to explain the phenomena that exist, in this case providing an overview
of knowledge about healthy food and the general condition of the canteens in the five high
schools in Bandung City and its surroundings.

The Purpose of Research Activity


1. To obtain an overview of the canteens in the five high schools in Bandung, West Java,
and its surroundings.
2. To gain information about practices in the real condition as well as challenges to the
provision and utilization of healthy canteens.
3. To build a cooperation network with the school as a manifestation of community
service and an effort to improve the quality of nutrition at the high school level.
4. Provide the research information obtained from FGDs, interviews, and online
questionnaires as the basis for making workshops on good nutrition for high school

33
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

teenagers, implementing healthy canteens, and simple waste management as a


further form of institutional service contribution, in this case, UNPAR to the community.
5. Exploring information about the knowledge of students, teachers, parents, and
canteen owners about healthy nutritious food consumed by students and general
conditions as well as the role of a healthy canteen at schools as a means to meet the
needs of adolescent nutrition.

The Purpose of the Workshop


1. Provide education regarding the correct information about the proper nutritional needs
of students and the role of the canteen in supporting the growth and development of
high school students.
2. Provide education on the simple management of food waste generated from
household activities.
3. Provide counseling to the canteen and the school regarding the implementation of a
healthy canteen in accordance with the protocol that has been set.
4. Provide counseling to canteens and schools in the implementation of healthy
canteens to prepare themselves in dealing with the new normal adaptation.
5. Obtaining feedback related to the issue of fulfilling nutrition for high school youth,
implementing healthy canteens at schools, and simple management of food waste
from obstacles experienced to criticism and suggestions.

The Four Pillars of a Healthy Canteen

Before discussing the standards and criteria regarding a healthy canteen, this study will
discuss the definition of a healthy canteen and the four pillars that underlie it. A Regional
Center for Food and Nutrition under the Ministry of Education and Culture of the Republic of
Indonesia (SEAMEO RECFON) states that a healthy canteen is an activity unit at schools
that provides health benefits (Directorate of Senior High School, 2020). Therefore, a healthy
canteen must be able to provide healthy main or light meals, which are nutritious, hygienic,
and safe for being consumed by the school community. However, to establish a healthy
school canteen, it is necessary to collaborate with other institutions in addition to the
educational institutions, especially parties related to the field of health and food supervision,
such as the Ministry of Health as well as the Food and Drug Supervisory Agency (BPOM).
According to SEAMEO RECFON (South East Asian Ministers of Education
Organization), there are four pillars in implementing a healthy canteen that must be used as a
solid foundation in every related institution. The four pillars are commitment and
management, facilities and infrastructure, human resources (HR), and food quality. The
pillars of commitment and management become the binder of the other three pillars in
creating a powerful school authority in realizing the formation of a healthy canteen. The
second and third pillars are important interrelated components, especially on how adequate
facilities and infrastructure can be utilized by qualified and responsible human resources.

34
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The last pillar, namely food quality is the output produced through the establishment of other
pillars by producing quality, nutritious, hygienic, and safe canteen food for consumption.

Healthy Canteen Criteria according to the Food and Drug Supervisory Agency (Badan
Pengawas Obat dan Makanan/BPOM) and the Ministry of Health

Based on the guidelines for operating healthy canteens in the new normal adaptation issued
by the Directorate of High Schools of the Ministry of Education and Culture in 2020, the
criteria and standards for operating healthy canteens are set by two institutions, namely
BPOM and the Ministry of Health. In this case, the Ministry of Health focuses more on the
physical aspects that must be provided by a healthy canteen, while BPOM places more
emphasis on non-physical aspects that must be noticed in a healthy canteen. From these two
aspects of the standard, it is expected that the implementation of a healthy canteen will be
more complete and adequate for meeting the needs of nutrition and health not only for high
school students but for all school residents.

Table 1.1 Standards and Criteria of A School Healthy Canteen


Food and Drug Supervisory Agency (BPOM) The Ministry of Health
Providing safe and hygienic food Availability of places to wash cutlery
Educating how to wash hands properly utensils with running water;

The product sold must have a label that provides clear information Availability of handwashing facilities
Educating children to read the nutritional information on product labels with clean running water;

Providing various healthy drinks Providing a storage place for food


ingredients
Do not sell flashy colored food and drinks
Closed storage of ready-to-eat food
Do not sell food with a certain taste (eg too sweet) is available
Limiting fast food supplies A storage place for cutlery utensils
Limiting snack supplies is available

The distance between the canteen and


Providing more supply of fibrous food the temporary waste disposal site (TPS)
is at least 20 meters.
Source: Directorate of Senior High Schools, Directorate General of Early Childhood Education,
Basic Education, and Secondary Education, Ministry of Education and Culture,
“High School Healthy Canteen in the New Habit Period”

Healthy Canteen Program in Bandung City: Rules and Implementation

The implementation of healthy canteens in the five schools that participated in this research
is still very diverse. Some schools implement healthy canteens very well while there are also
schools that implement healthy canteen practices not so well. For example, the
implementation of a healthy canteen at Cahaya Bangsa Bandung High School has been very
good and is equipped with health practitioners, good monitoring and evaluation activities,
and adequate canteen facilities. However, several other schools are still lacking in terms of
facilities and implementation of hygiene principles.

35
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

One of the problems that still often appears in various school canteens is the presence
of unhealthy food and drinks. Some school canteens in Bandung City still provide oily deep
fried foods and carbonated drinks which are not recommended for consumption by school
students. Therefore, it is necessary to carry out more stringent monitoring activities regularly
on the various foods and beverages sold in the school canteens.
Then, one thing that should be exemplified from the implementation of the healthy
canteen program in Bandung City is the close communication, coordination, and
cooperation between schools, canteen managers, and other parties who play a role in
healthy canteen activities. This good two-way relationship is needed to continue the
development and also improve the healthy canteen in each high school, both physically and
practically. The involvement of parents in the implementation of a healthy canteen can also
improve the quality of a healthy canteen in Bandung City.

General Description of Healthy Food Knowledge and Canteen Conditions at the Five
High Schools in Bandung

Knowledge of Health Food


1. Parents and Students
The research that has been carried out reveals that the knowledge of high school
students in Bandung can be classified as sufficient. However, it needs to be improved
because it is still around basic knowledge related to 4 healthy 5 perfect diets and they
have not yet understood more about the quality of food that supports health.

2. The Schools
The interviews with the school authorities reveal that schools' insight on healthy food
is still not evenly distributed. Several schools already have good insight about healthy
food and already have operational standards to maintain food quality, while there are
still schools that have not implemented high awareness regarding healthy food at their
canteens and have not optimally managed the canteen operations.

3. Canteen Sellers
The interviews that have been conducted with the canteen sellers reveal that most of
them have not had a deep insight into healthy food because they still tend to prioritize
sales that are preferred by students without prioritizing the quality of healthy food
content.

General Conditions of the Canteen

The research that has been conducted with the 5 high schools, found that the general
description of the school canteen is sufficient to meet the nutritional needs of students.
Although there are still some foods sold that do not meet the standards of a healthy canteen.

36
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

It can be seen from the variety of food sold in these schools. The food sold varies from food
that is quite healthy, containing vegetables and balanced nutrition to various snacks and
carbonated drinks that are still low in nutrients.
Meanwhile, the canteen facilities and infrastructure at the schools, are quite good with
adequate buildings for selling, a place to provide food and a place for garbage disposal.
However, the maintenance and hygiene of the canteen building facilities need to be a
concern. Sanitation facilities for handwashing for students who consume their meals at the
canteen have also been provided and are adequate in almost all schools.
In terms of canteen management, most of the schools rent the canteen space to
sellers from outside the schools. However, not all schools have conducted a selection as a
feasibility test for the sellers and what foods can be sold in schools. Those schools only
ensure the variety of food sold by tenants, but some schools manage their canteen by
preparing a qualified healthy food menu program by a team of school doctors, starting from
the use of raw materials to serving the food consumed by students.
Furthermore, in the implementation of monitoring, the school's role in monitoring the
canteen is quite good. There are several ways to do the evaluation, including giving a
questionnaire to the canteen to record the kinds of food the canteen sells, having a lunch
program where the school nutrition doctor is involved in arranging the menu, and providing
guidance on the quality of food that should be offered to students.
To support the data obtained from the interviews and focus group discussions, the
research team distributed online questionnaires to the five schools in Bandung which were
the research subjects with a total of 145 respondents. Questionnaires were distributed to
respondents who participated in in-depth interviews and FGDs and then distributed to school
communitiess. From the results of the questionnaires, the research team could figure out
how the five high schools in the city of Bandung understood the role of the school canteen as
supporting healthy and balanced nutrition in daily activities.
The questionnaire is divided into four parts, namely: (1) the respondent biodata; (2)
Community Consumption Behavior which aims to understand the general consumption
pattern of the community before the pandemic and the public's insight on healthy canteens;
(3) The Role of Government and Schools in the Implementation of Healthy Canteens aimed
at analyzing the opinion of the school community on the role of schools in implementing
healthy canteens; and (4) Implementing New Post-Pandemic Habits at Healthy Canteens to
analyze the attractiveness of the canteen after the pandemic and the solutions that canteens
can take in adapting to new habits.
Based on the research that has been conducted, It can generally describe that healthy
canteens in Bandung City High School have not been evenly distributed and have properly
implemented the Healthy Canteen Operational directions that have been set by the
government. Especially when going into in depth analysis, some schools even have their
school nutrition team but on the other hand, there are still schools that have not even been
able to manage well the canteen facilities at their schools. Of course, there are several main
factors such as the lack of government supervision in the implementation of healthy canteen

37
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

operations, the gap in both infrastructure and human resources in providing healthy
canteens, and the awareness of all school communities to consume healthy food and
balanced nutrition supported by the implementation of a healthy canteen.
The results of the questionnaire to support the interviews and focus group discussions
showed some information that could provide an overview of the knowledge and perceptions
of respondents from the five high schools in Bandung about healthy canteens. Respondents
themselves are divided into two categories, namely the age of more than 35 years and less
than 35 years. There are 71% of the total respondents are less than 35 years old and the
remaining 29% of the total respondents are more than 35 years old. A total of 145
respondents are students, teachers, parents, canteen owners, schools, and others.
The second part of the questionnaire attempts to explore the insights of the school
communities about healthy canteens. The respondents were asked to answer questions
about their opinion on a healthy canteen, visiting habits, and the attractiveness of the
canteen before the pandemic. Before the pandemic, more than 50% of respondents often
visited the school canteen, especially to buy snacks, heavy meals, and drinks. The
interesting findings from the second part of the questionnaire are that 75.2% of respondents
agreed that the factors that encourage them to buy food in the canteen are because of the
taste of the food compared to the hygiene of the food (40%) and almost 80% of the
respondents agreed that sanitation facilities and food serving become an important
component in the implementation of a healthy canteen (see Diagram 1.1, 1.2, 1.3, 1.4).
In addition, in terms of knowledge about healthy canteens, about 35% of the total
respondents did not know about the role of healthy canteens. It shows that the dissemination
of the functions and benefits of a healthy canteen is still not comprehensive. Talking about
healthy canteen facilities, more than 90% of the respondents agreed that the hygiene of the
place and cooking utensils, as well as the quality of food, are important in supporting the
operation of the canteen (see Diagram 1.5). Meanwhile, most of the respondents also
agreed that monitoring the quality and quality of canteen food is the responsibility of schools
and canteen sellers. Another finding in terms of achieving healthy canteen standards, more
than 70% of respondents agreed that the quality of food and health protocols and
infrastructure can be the indicators in assessing a healthy canteen.
Under the conditions of adaptation to new habits, the result of the questionnaire
showed that almost 70% of respondents would continue to consume food at the canteen
provided that there are supporting facilities such as food quality and hygiene, health
protocols, and physical facilities and infrastructure that support a healthy canteen.
In addition, in a pandemic situation, considering the important role of food sellers,
more than 75% of respondents think that it is also necessary to carry out socialization and
counseling regarding health protocols for canteen owners/traders, establishing rules
regarding food quality, as well as monitoring and evaluating healthy canteen regularly (see
Diagram 1.6)

38
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Challenges in Research

During conducting the research, there were various challenges, especially in various
situations due to the limitations of the pandemic condition, so it must be acknowledged that
there are limitations in this research. The challenges faced include:

1. Mobility limitations
This is one of the main challenges in conducting research. Research that should be
based on direct observation must be transformed using virtual or online methods. This
resulted in access to information obtained was not comprehensive, both from the
source and from the physical condition of the healthy canteen which was the object of
research. In addition, with virtual conditions, not all resource persons are fluent in
using and accessing the online platforms used, which is one of the causes of the
limited information obtained.

2. Limited Institutions and Source Person


As previously explained, this research aims to build a common understanding
regarding the general condition of healthy canteens in Bandung. In the study, the
research team took a bottom-up approach by building relationships with several
schools. However, this approach turned out to be ineffective and only a few schools
were willing to become resource persons for the research. This is also due to the
current pandemic conditions that were hampering the operation of healthy canteens
thus it was less likely to be investigated in more depth.

3. Stakeholders Analysis
In conducting research, especially by positioning that SMA in Bandung is the object of
research, synergistic cooperation is needed between various parties, whether from
the research team, schools, or the government. One of the limitations of this research
is that there was no mapping of the actors involved in the implementation of healthy
canteens and the analysis of relevant stakeholders, especially government actors. So
top-down support can be obtained if this activity continues.

4. Time and Network


Time constraints and the lack of strong networks between the research team and the
schools committed to participate in workshops to be one of the obstacles. Learning
from this, then in the future, if the healthy canteen program continues, it is necessary to
take more intensive steps to build a strong network with the school, starting with
making a pilot school first.

39
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Recommendations

As previously described, this study aims to provide an initial general description of the
condition of healthy canteens at High Schools in Bandung City, so it is necessary to conduct
further research and various efforts to build and improve healthy canteen conditions at
Senior High Schools in Bandung City. The following are various recommendations for further
research in the future:

1. Collaboration with the Government


Healthy Canteen is a program launched by the government. It is true, but from the
research findings regarding the general description of the school canteen in Bandung
City, it seemed that it has not been running optimally. This study found that there is a
problem of knowledge and awareness regarding the importance of healthy canteens,
monitoring and evaluation systems as well as the existence of several other technical
matters that made healthy canteens in schools could not be operated properly. In
addition, with the COVID-19 pandemic and distance learning, school canteens have
to be closed and school authorities themselves are still focusing on developing
online learning. The bottom-up approach used in this study in practice is not sufficient
to realize a healthy canteen according to the standards set by the government.
Therefore, this good initiative must be followed by cooperating with the local
government as the main research partner. Therefore, this good initiative must be
followed by cooperating with the local government as the main research partner.
Various benefits will be obtained such as mapping the research subject schools,
determining pilot schools for healthy canteens, resources to make various training
activities, and having a bigger and more sustainable impact that can be carried out.

2. Further Research on Stakeholder Mapping for Healthy Canteen Program


The results of this study indicate that several things need to be optimized, such as
mapping which schools are the right targets for the healthy canteen program,
identifying and involving government actors whose main tasks and functions are
related to the healthy canteen program at Bandung City level, and involving non-
government actors. Such as community organizations engaged in youth health and
nutrition. For this reason, in an effort to identify and map actors both government and
non-government more deeply, further research is required.

3. Designing a Pilot Project


Providing a healthy canteen program at the high school level in Bandung is something
that takes a long time. In addition to the bureaucratic problems and school readiness,
the active involvement and high intention of schools to provide a healthy canteen is
also the main thing. School authorities also need to have a sense of ownership of this
program to ensure the sustainability of the healthy canteen program and run

40
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

independently after the team's program ends. Therefore, in entering the momentum
for adopting new habits and combining online classes and face-to-face learning, if the
first and second recommendations have been implemented, then a pilot project can
then be carried out to create an action plan for the healthy canteen program that is
designed as needed. This can be done by taking one of the schools to be a pilot for a
healthy canteen in Bandung City and involving various stakeholders from the
government, schools, and canteen sellers.

Bibliography

Direktorat Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. “Kantin Sehat SMA Di Masa Kebiasaan Baru,” Jakarta, 2020.

Kementerian Kesehatan RI. “Laporan Nasional RISEKDAS 2018.” Lembaga Penerbit


Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 2019.

———. “Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Gizi Seimbang,” Jakarta, 2014.

Widiarti, Yayuk. “Waspadai Dampak Kurang Gizi Saat Remaja.” Tempo. TEMPO.CO, April
30, 2021. https://gaya.tempo.co/read/1457836/waspadai-dampak-kurang-gizi-saat-
remaja.

41
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Appendix

How often do you visit the school’s canteen before the pandemic happened?
145 responses

Often
22.1% Sometimes
11.7% Rarely
Never
7.6%

58.6%

Diagram 1.1 Intensity the Respondents to Visit Canteen

What kind of foodstuffs do you ofter buy in the school’s canteen?


145 responses

Main meal 74 (51%)

Snacks 117 (80.7%)

Beverages 75 (51.7%)

Fruits 6 (4.1%)

Nothing 1 (0.7%)

0 25 50 75 100 125
Diagram 1.2 The Most Favorite Type of Food at Canteen

What drives you to buy a meal in a school’s canteen?


145 responses

The meal’s taste 109 (75.2%)


The cleanliness 60 (41.4%)
Canteen’s Location 57 (39.3%)
The food’s display 30 (20.7%)
The Price 40 (27.6%)
Appetite 3 (2.1%)
No other option 1 (0.7%)
Didn’t bring from home 1 (0.7%)
Hungry and didn’t bring any 1 (0.7%)
food from home 1 (0.7%)
Want to snack 1 (0.7%)
No food from home 1 (0.7%)
Lazy 1 (0.7%)
No food from home 1 (0.7%)
Hungry 1 (0.7%)
Hungry 1 (0.7%)
0 25 50 75 100 125
Diagram 1.3 Driven Factors Food Purchases in Canteen

42
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

What components do you think are important and should be provided in a canteen?
(Multiple answers are allowed)
145 responses

Sanitary facilities 115 (79.3%)


Cutlery 81 (55.9%)
The place 63 (43.4%)
Food serving 114 (78.6%)
The food’s place 78 (53.8%)
The taste and the quality of the food 1 (0.7%)
Didn’t bring any food from home 1 (0.7%)
The cleanliness 1 (0.7%)
The food’s packaging 1 (0.7%)
The quality of the food 1 (0.7%)
The food’s cleanliness 1 (0.7%)
The food’s freshness 1 (0.7%)
The price 1 (0.7%)

0 25 50 75 100 125
Diagram 1.4 Opinion The Most Facilities in Canteen

According to you, what kind of facilities would help the implementation of a


Health School Canteen?
145 responses

The cleanliness of the food stall 136 (93.8%)


The cleanliness of the cutlery 130 (89.7%)
The cleanliness of the cooking utensils 132 (91%)
The cleanliness of the place to eat 130 (89.7%)
The quality of healthy food 131 (90.3%)
Hand washing facilities 124 (85.5%)
Facilities and infrastructure 91 (62.8%)
Food ingredient used 1 (0.7%)
Delicious yet healthy 1 (0.7%)
The sanitary of the seller 1 (0.7%)
Self Hygiene of the seller 1 (0.7%)
The knowledge of seller about healthy food 1 (0.7%)
The seller’s appearance 1 (0.7%)
Effective service 1 (0.7%)
0 50 100 150

Diagram 1.5 Opinion Regarding the Most Important Facilities


to Support A Healthy School Canteen

According to you, what is the role of school to make the food seller remain to sell
regularly and to carry out the health protocols in the new normal?
149 responses

Health protocols socialization 128 (85.9%)

Facilities and infrastructure assistance 92 (61.7%)


The application of regulation about
the food quality
113 (75.8%)
Periodic monitoring for
the canteen operational
118 (79.2%)

The consumer’s respondent toward


67 (45%)
the canteen quality
Making sure that the school will check
the sellers’s health regularly
1 (0.7%)

0 50 100 150

Diagram 1.6 Opinion Regarding the Implementation the New Normal Era

43
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

44
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

ANALYSIS OF FRESH FOOD SUPPLY CHAIN


IN BANDUNG CITY BASED ON HOUSEHOLDS
CONSUMPTION PATTERNS
Yosefa*, Hansen William, Nadya Alyssa
(*Parahyangan Catholic University)

Introduction

Data from the Central Statistics Agency for the City of Bandung (2021) shows that the
population of Bandung City in 2020 was 2,510,103 people. The population of the city of
Bandung indicates the need for a bulk amount of food. Based on the information gathered by
the research team, it turns out that the need for food supplies in Bandung City cannot be kept
up with the ability of Bandung City to supply the food by itself. Quoted from a press release
issued by Bandung City Public Relations on September 9, 2021, the Head of Bandung City
Food and Agriculture Security Service (DKPP), Mr. Gin Gin Ginanjar revealed that almost 96
percent of food needs in Bandung City are supplied from outside the Bandung City area, so
that the dependence on food supplies from outside the city of Bandung needs to be
considered. Based on this explanation, the research team felt the need to conduct further
research related to the flow of the food supply chain that occurred in the Bandung City. It is
intended that the Bandung City Government, in this case, represented by the Food Security
and Agriculture Service, can make policies that are in accordance with the real conditions
that occur in the City of Bandung based on the results of research that has been carried out
by the research team.
Stanton (2021) states that in carrying out supply chain management, the main thing
that needs to be done is to understand who the targeted customers are and the reasons for
these customers buying existing products or services. This also needs to be applied in
gaining a deep understanding of the food supply chain flow that occurs in the city of Bandung.
To understand the pattern of the food supply chain in Bandung City, this research begins with
the stage of mapping the behavior of the people in Bandung City in meeting their household
consumption needs. This mapping stage was carried out by distributing questionnaires in 30
sub-districts in Bandung City.
Based on the grouping carried out by the Food Security Agency of the Ministry of
Agriculture, the fulfillment of household consumption or household expenditure is divided
into two categories, namely expenditure on consumption products and expenditure on non-
consumption products. Consumption products consist of food and non-food products. Food
products are further divided into 2 categories, namely food products originating from other
parties and food products originating from their production.

45
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Food Sources

Home Made 1061

Buy from roadside stall 766

Buy from Restoran / Kafe 488

Buy From Modern Market 312

Buy From Traditional Market 240

Buy from Catering 116

0 200 400 600 800 1000 1200


Amount

Figure 1. The Sources of Ready to Eat Food Sources of People in Bandung City
Based on Questionnaire result

The results of the questionnaire in Figure 1 show that the majority of the people in
Bandung City consume ready-to-eat food which is prepared by themselves from their
respective homes. Therefore, this research is focused on household food sources in
Bandung City. In this case, the discussion focuses on fresh food based on commodity groups
that have been determined by the Food Security Agency of the Indonesian Ministry of
Agriculture.
The Food Security Agency of the Indonesian Ministry of Agriculture has determined 9
commodity groups in the Expected Food Pattern that support the implementation of supply
increases in the availability, access, and quality of food consumption projected based on
Presidential Regulation Number 18 of 2020 concerning the 2020-2024 National Medium-
Term Development Plan. The commodity groups are divided by type, namely: grains, tubers,
Animals Protein, oils and fats, oily fruit/seeds, nuts, sugar, vegetables and fruit, and others.
In this study, to get a more detailed picture, each food group is divided into several
commodities based on the elaboration of the Calculation Guide of Expected Food Patterns
(PPH) compiled by the Ministry of Food Security Agency. The distribution of the types of
commodities used in this study can be seen in the following table (Food Security Agency of
the Indonesian Ministry of Agriculture, 2015).

46
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Table 1. Division of Commodity Types in This Research

Group Commodity Type Description


Group 1 Grains Rice, Brown Rice, etc
Group 2 Tubers Potatoes, Taro, Sweet Potatoes, etc
Land Animal Meat Chicken, Duck, Beef, Lamb, etc
Freshwater meat Pomfret, Catfish, etc
Group 3
Seafood Crab, Squid, Lobster, etc
Other Food types from Animal Liver, gizzard, tripe, trotters, etc

Coconut oil, Corn oil, Palm oil,


Group 4 Oil
Sesame oil, etc

Group 5 Oily Fruit/seed Coconut, Cacao, Candlenut, etc

Mung beans, soybeans,


Group 6 Nuts
kidney beans, cashews, etc

Group 7 Sugar Palm sugar, Brown sugar, etc


Vegetables Broccoli, Choy sum, Spinach, dsb
Group 8
Fruits Avocado, Grapes, Apples, etc

Fennel, Andaliman (Typical herbs for


Herbs and Spices
Bataknese food), Clove, etc
Group 9
Tea Green Tea, Black Tea, etc
Coffee Ciwidey Coffee, Palasari Coffee, etc

Research Design

The result of this research is the mapping of the behavioral characteristics of fresh food
consumption at households in Bandung City based on the PPDB (Penerimaan Peserta Didik
Baru) Zone - a system of school students acceptance based on their domicile. According to
the PPDB zone, Bandung is divided into 4 zones, namely Zone A (North) which consists of 8
sub-districts, Zone B (East) which consists of 10 sub-districts, Zone C (South) which consists
of 5 sub-districts, and the last is Zone D (West) which consists of 7 districts. This zone
division is carried out so that more in-depth and detailed analysis can be carried out therefore
the results can be more accurate. This is because in the next study analysis will be carried out
for the zone level thus the data owned in this research can be directly used as initial data for
subsequent research. In this discussion, we will discuss the combined mapping results of all
PPDB zones in Bandung City. The results the mapping of each zone will be presented in a
separate book.

47
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

DETERMINATION OF PPDB ZONE

NORTH
A
EAST

D B
C
SOUTH

WEST

ZONE A ZONE B ZONE C ZONE D


Sukasari Dist. Mandalajati Dist. Kiaracondong Dist. Cicendo Dist.
Cidadap Dist. Antapani Dist. Batununggal Dist. Andir Dist.
Coblong Dist. Arcamanik Dist. Lengkong Dist. Bandung Kulon Dist.
Cibeunying Kaler Dist. Cinambo Dist. Regol Dist. Babakan Ciparay Dist.
Bandung Wetan Dist. Panyileukan Dist. Bandung Kidul Dist. Bojong Loa Kaler Dist.
Sumur Bandung Dist. Cibiru Dist. Bojong Loa Kidul Dist.
Cibeunying Kidul Dist. Gedebage Dist. Astanaanyar Dist.
Sukajadi Dist. Rancasari Dist.
Ujungberung Dist.
Buahbatu Dist.

Figure 2. PPDB Zone of Bandung City


Source: Education Office of Bandung City 2019 (Translated)

The results of this mapping will be used as a reference for the types of food to be
cultivated by Urban Farming, Buruan Sae, or Ketapang-kita.id. Another implementation is to
become a reference in setting government policies related to the Expected Food Pattern
(Pola Pangan Harapan/PPH) in the city of Bandung and as information in planning the
healthy canteen menu in schools in the city of Bandung. In addition to mapping, the
characteristics of household fresh food consumption behavior in Bandung City, another
result of this research is supply chain flow mapping and fresh food supply chain analysis
results based on household consumption behavior in Bandung City. These two results are
expected to be a reference in setting government policies related to the household food
consumption supply chain in Bandung City, especially policies regarding cooperation with
suppliers and distributors.
The mapping of the behavioral characteristics of household fresh food consumption in
Bandung City was compiled from the results of the questionnaire on the food consumption
pattern of the people in Bandung City. As for the flow and results of the analysis of the supply

48
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

flow of household fresh food consumption in Bandung City, it was compiled based on the
results of the questionnaire on the food consumption pattern of the people in Bandung City,
the interviews with conventional market traders (traditional markets, street hawkers, grocery
stores) and the interviews with market traders. modern and online.
The discussion in this book focuses on mapping the behavioral characteristics and
analyzing the supply flow of household fresh food consumption in Bandung in general. The
other results related to this research will be discussed in detail in a separate book.

Respondent's Profiles of the Questionnaire of Community Food Consumption


Patterns in Bandung City

Data collection was carried out from June to August 2021 by distributing questionnaires to
the people of Bandung City in 30 sub-districts through social media (WhatsApp and
Instagram). In general, 3 main aspects become questions in the questionnaire, namely:
respondent profile, people's behavior in shopping for groceries (location, frequency, and type
of commodity purchased or produced by themselves if they do Urban Farming at home), and
consumption behavior (frequency and type of commodity consumed). To complete the main
aspects, the questionnaire has provided many answer choices based on the provisions of
the government to make it easier for respondents to fill out the questionnaire. However, the
questionnaire also provides another option that can be filled out by the respondent.
The sample used in this study was 1,464 respondents. Of these, 376 respondents were
male, and 1088 respondents were female. Considering the question regarding consumption
behavior, including the behavior of buying food, it is understandable that the number of
female respondents was greater than the number of male respondents. It is because women
commonly handle all things related to household spending on food.

Gender

Female 1088

Male 376

0 200 400 600 800 1000 1200


Amount

Figure 3. Gender of Respondents Based on Questionnaire Results

49
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The Indonesia Central Statistics Agency (BPS) states that the productive age
of Indonesian people ranges from 15 to 64 years. This range became a reference for
this study by narrowing the range to between 20 and 60 years old. The majority of
people who filled out this questionnaire were in the age range of 20-29 years at 654
people.

Age Range
< 20 Year 78
20 - 29 Year 654
30 - 39 Year 414
40 - 49 Year 238
50 - 59 Year 68
> 60 Year 12
0 100 200 300 400 500 600 700
Amount
Figure 4. Respondents' Age Range Based on Questionnaire Results

Based on marital status, most of the respondents were married (862 people).
This is in line with the majority of the respondents' occupations that are taking care of
the household (531 people). Most of the respondents' income level (952 people)
was below the UMR (Regional Minimum Wages) of Bandung City, whereas for
Bandung City as of January 1, 2021, was Rp. 3,7742,276.48 (Abraham, 2021).

Marital Status

Married 862

Unmarried 524

Divorced 58

Death Divorced 20

0 200 400 600 800 1000


Amount
Figure 5. Respondents' Marital Status Based on Questionnaire Results

50
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Occupation
Taking Care of Household 531
Employee 327
Student 245
Self Employee 146
Unemployed 117
Teacher / Lecturer 44
PNS 32
Medical Staff 7
Government Employee 6
Retired 6
Other 2
Army / Police 1
0 100 200 300 400 500 600
Amount
Figure 6. Respondent's Occupation Based on The Questionnaire results

Based on Figure 6, most of the respondents' occupations were taking care of


households either as house assistants or household owners. Followed by private
employees, students, self-employed, unemployed, teachers/lecturers, and civil servants
(PNS). Indirectly from Figure 6, it can be concluded that the respondents from this
questionnaire are appropriate because they lead to the consumption pattern of fresh food in
households instead of for business or business activities.

Income

Under Regional Salary 952

Same as Regional Salary 310

Above Regional Salary 202

0 200 400 600 800 1000


Amount
Figure 7. Respondents' Income Level Based on the Questionnaire Results

51
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

From the questionnaire result, by domicile or residence of the respondents, it can be


concluded that this questionnaire is evenly distributed in all Zones based on the school
students Acceptance with a percentage of 28.42% (416 people) domiciled in Zone A (North);
28.42% (416 people) live in Zone B (East); 18.03% (264 people) live in Zone C (South), and
25.14% (368 people) live in Zone.

NORTH
A 28,42%

EAST
28,42%
D B
C
SOUTH
18,03%

NORTH
25,14%
Figure 8. Distribution of Respondents' Domicile Based on Questionnaire Results

Characteristics of Food Consumption in Bandung

Of the total respondents, 603 respondents spend 25-49% of their monthly income on
groceries every month. Followed by 444 respondents who spend 50-74% of their monthly
income on the purchase of groceries.

Expense for Food Each Month

0-24% From Income 265

25-49% From Income 603

50-74% From Income 444

75-100% From Income 152

0 100 200 300 400 500 600 700


Amount
Figure 9. Monthly Expenditure on Food Stuff Based on Questionnaire Results

52
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Based on Figure 1, it can be seen that the majority of sources of obtaining ready-to-eat
food in Bandung City come from the self-processing of food ingredients at home, with
sources of obtaining food for self-processing coming from traditional markets, vegetables
hawker, grocery stores, modern markets, online markets, own garden, own livestock, and
others.

Table 2. Food Ingredients Sources of people in Bandung City


Based on Questionnaire Results

Sources of Food Ingredients

Location to Buy Percentage of Needs Average


Food Ingredients (Yes/No) Fulfillment (Likert Scale)

Traditional Market Traditional Market Traditional Market


Modern Market Hawkers Hawkers
Grocery Store Grocery Store Grocery Store
Hawkers Modern Market Modern Market
Online Store Online Store Online Store
Own Garden Others Own Garden
Others Own Garden Others
Own Livestock Own Livestock Own Livestock

Referring to Table 2, sources of food supply can be categorized into 3, namely based
on the location of purchase, the percentage of needs fulfillment, and the average percentage
of needs fulfillment (Likert scale). Based on the location of purchase, it means that the
location is where the people of Bandung City buy their foodstuff. In this case, as shown in
Table 3, traditional markets are ranked first, followed by modern markets, grocery stores,
hawkers, online shops, own gardens, others, and own livestock. It indicates that the people
of Bandung City are very aware of the presence of traditional markets but are inverse to
online shops, farming, and other sources.
Based on the percentage of needs fulfillment (Table 4), traditional markets remained
consistent as the main location chosen, followed by traveling traders, grocery stores,
modern markets, online shops, others, farming and livestock products. It indicates that the
people of Bandung City are more likely to shop for groceries at traditional markets, hawkers,
and grocery stores compared to modern markets, online stores, and others.
Based on the average percentage of needs fulfillment in a Likert scale (1 = Never, 2 =
1-25%, 3 = 26-50%, 4= 51-75%, 5 = 76-100%) in Figure 10, the traditional market is a favorite
location for the people of Bandung City to buy foodstuff, followed by hawkers, grocery stores,
modern markets, online shops, own garden, others, own livestock. It appears that there is a
change in the order between farming and others when compared to the order of percentage
of needs fulfillment.

53
54
Table 3. Location of People in Bandung City to Shop for Food Ingredients Based on Questionnaire Result

Respondents' Traditional Grocery Modern Online Own


Hawker Own Garden Others
Answer Market Stores Market Shop Livestock
Yes 94,81% 83,74% 85,79% 86,2% 66,12% 34,63% 12,91% 22,34%
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

No 5,19% 16,26% 14,21% 13,8% 33,88% 65,37% 87,09% 77,66%


BANDUNG FOOD SMART CITY

Total 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Table 4. The Percentage of Needs Fulfillment Based on the Questionnaire Result

Percentage
Traditional Grocery Modern Online Own Own Others
of Needs Hawkers
Market Stores Market Shop Garden Livestock
Fulfillment
Tidak Pernah 5,19% 16,26% 14,21% 13,8% 33,88% 65,37% 87,09% 77,66%
1 - 25% 24,8% 34,22% 37,77% 38,32% 37,64% 25% 7,79% 13,39%
26 - 50% 25,89% 25,82% 26,98% 29,85% 17,08% 5,87% 3,55% 5,46%
51 - 75% 27,19% 14,86% 14,75% 14,21% 8,33% 2,73% 1,09% 1,71%
76 - 100% 16,94% 8,74% 6,28% 3,83% 3,07% 1,02% 0,48% 1,78%
Total 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Average Persentage of Fulfilling Needs


Traditional Market 3,26
Peddler 2,66
Convenience Store 2,61
Modern Market 2,56
Online Store 2,09
Farming at Home 1,49
Other 1,37
Breeding at Home 1,2

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5


Figure 10. Average Percentage of Needs Fulfillment in Likert Scale
Based on Questionnaire Results

The questionnaire result has revealed that traditional markets are the main choice for
the people in Bandung City to shop for groceries. The questionnaire result shows that 93
traditional market locations are commonly visited by the people in Bandung City and the
following is a list of the 10 most visited traditional markets (Table 5).

Table 5. Traditional Market that is Commonly Visited by People of Bandung City


Based on Questionnaire Results

No. Name of Market Amount Percentage

1 Andir Market 301 10,13%

2 Cicadas Market 198 6,66%

3 Astana Anyar Market 189 6,36%

4 Kiaracondong Market 171 5,75%

5 Ciroyom Bermartabat Market 164 5,52%

6 Ujungberung Market 162 5,45%

7 Kosambi Market 136 4,58%

8 Sederhana Market 122 4,1%

9 Cicaheum Market 96 3,23%

10 Kordon Market 95 3,2%

Table 5 shows that the markets most visited by people in Bandung City are Andir
Market in the first position, Cicadas Market in the second position, Astana Anyar Market in
the third position, Kiara Condong Market in the fourth position, and Ciroyom Bermartabat
Market in the fifth position. Based on the regional distribution of PPDB Zones, it can be seen
that the top ten most frequently visited markets are spread throughout all zones in Bandung
City.

55
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The results of the questionnaire show that 28 modern market locations are commonly
visited by the people of Bandung City and the 5 most visited modern markets are Borma,
Indomaret, Superindo, Yogya Group, and Carrefour (Transmart). The five modern markets
were then visited to make interviews with their representatives to obtain more specific
information regarding the supply chain flow.
The people in Bandung City also get sources of fresh food ingredients to cook from
online stores. The results of the questionnaire show that there are 35 types of online stores
where the people of Bandung City usually buy groceries. The top 3 (three) types are Shopee,
Lazada, and Social Media (Instagram, WhatsApp, Facebook). Further research was
conducted by looking for shops selling on the three platforms, then being interviewed to get
specific information related to the supply chain flow.
In addition to the 7 (seven) food sources specified in the study, some communities also
obtain fresh food ingredients from other sources (shown in Figure 11).

Others Source for Buying Food Ingredients

Given by relatives, neighbors, friends 98


Direct Farmer (Farmers, Breeder, Buruan Sae) 25
Family Farm or Stock Yield 18
Social Assistance from Government 12
Improptu Seller 9
Looking by yourself 3
Agent / Distributor 1

0 20 40 60 80 100 120
Amount
Figure 11. Other Sources Where The People in Bandung City
Usually Obtain Food Ingredients Based on Questionnaire Result

Figure 11 shows that most of the people in Bandung City also get food from gifts,
whether it is a gift from friends, relatives, family, or neighbors. It indicates that people in
Bandung still have the habit of giving to each other. This condition can occur because the
people of Bandung City are Sundanese who still maintain their local wisdom. Rahmah (2020)
mentions that local wisdom which is the way of life of the Sundanese people is silih asah
(educating each other, broadening each other's insights, inner and outer experiences), silih
asih (loving each other by giving sincere affection), silih asuh (guiding each other, nurturing
each other, fostering, maintaining, directing carefully to be safe and sound) and silih
wawangi (connecting positive things to each other).
Besides getting from others giving, it turns out that there are people in Bandung City
who buy directly from farmers, and ranchers including Buruan Sae farmers in Bandung.
Quoted from the official website of Buruan Sae created by the Department of Food Security
and Agriculture of the City of Bandung (2020), it is stated that Buruan Sae is an integrated
Urban Farming program designed by the Department of Food Security and Agriculture of

56
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Bandung City to overcome the inequality food problems in the City of Bandung by making
their garden using the available yard or land to meet food needs. The questionnaire result
shows that the positive impact of Buruan Sae has been accepted by the people of Bandung
City, which is providing the food needed at the household level.

Food Supply Chain in Bandung

In general, the pattern of the food supply chain according to Iakovou, Bochtis, Vlachos, &
Aidonis (2016) is shown in Figure 12, where consumers generally buy food through retailers,
but it turns out that based on the results of the questionnaire it was found that there are
people in Bandung who directly break the chain by buying directly from food producers
(farmers, ranchers, Buruan Sae) or even grow or raise their livestock to meet their food
needs. In this case, a retailer is a party that is directly related to the final consumer but is not a
producer. Retailers can be in the form of traditional markets, modern markets, online stores,
grocery stores, and hawkers.

Industrial Research Logistics and Import/export


partners institutes 3PL partners traders

Producers/ Agricultural Manufacturers/ Wholesalers Retailers Consumers


farmers cooperatives processors
Transportation Transportation Transportation Transportation
Farming Production
warehousing Warehousing warehousing Warehousing Warehousing
(Packaging) (Packaging) (Packaging) Distribution

Product flows

Governance Process flows Energy and


mechanism
natural
and
resources
sustainability
KPIs
Information flows flows

Financial flows

Figure 12. Food Supply Chain in General (Iakovou, 2016)

Therefore, based on the survey results obtained from questionnaires and interviews
with retailers (traditional markets, hawkers, grocery stores, modern markets, and online
markets) in this study, a general description of the condition of the food supply chain in
Bandung City from the consumer and can be seen in the process flow on Figure 13.

57
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Traditional
Market

Conventional
Peddler
Market

Convenience
Store

Farmer/
Distributor Modern Market Customer
Breeder

Online Shop

Urban Farming

Others

Figure 13. Food Supply Chain in Bandung City Based on Survey Results

Household consumers have several choices in providing their fresh food needs.
Based on the survey results that have been conducted, suppliers of household fresh food
needs (in this case the household is referred to as consumers) consist of conventional
markets, modern markets, online markets, Urban Farming, and others. The conventional
market itself is divided into 3, namely traditional markets, hawkers, and grocery stores.
Traditional markets obtain fresh food supplies from distributors and also farmers or
ranchers. Hawkers get fresh food supplies from traditional markets, distributors, and farmers
or ranchers. Grocery stores get fresh food supplies from traditional markets and distributors.
Modern markets get fresh food supplies from traditional markets, distributors, and farmers or
ranchers. The online market obtains fresh food supplies from traditional markets,
distributors, and farmers or breeders. Meanwhile, Urban Farming acts as a producer by
growing fresh food or raising livestock. Urban Farming in this case can be categorized as
consumers who grow their crops or do joint farming activities at the neighborhood
association or hamlets level. In addition to the sources that have been explained, the survey
shows that there are other sources, namely gifts from other people (family, relatives, friends,
and neighbors), the results of collecting independently in the forest or lake, and social
assistance from the government and the private party.

Conclusion

In Bandung City, women at productive ages dominate the role of regulating matters relating
to the consumption pattern of fresh food in the city of Bandung at the household level.
Therefore, an approach related to food policy is very appropriate if it is directed at this group,

58
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

especially because it is in line with the local wisdom of the people of Bandung City. Good
practice in simplifying the food supply chain in the city of Bandung has been seen in the
Buruan Sae activities carried out by the people in Bandung City. Things that need to be
improved are increasing the types of food that can be produced by themselves and
increasing the number of households involved in Buruan Sae activities so that dependence
on food from outside Bandung City can be minimized. This type of food certainly must be in
line with the food consumption needs of the people of Bandung City. The government also
needs to pay special attention to the parties involved in the food supply chain in Bandung City
to establish a good relationship between each of these parties to make Bandung a food
smart city.

59
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

References

Abraham, S. (2021, Oktober 7). UMR Kota Bandung 2021 Mengalami Kenaikan 3,27%
Bersama Dengan UMK 16 Kota Kabupaten di Jawa Barat Lainnya. Retrieved from
DeskJabar.com: https://deskjabar.pikiran-rakyat.com/jabar/pr-1132748187/umr-
kota-bandung-2021-mengalami-kenaikan-327-bersama-dengan-um k-16-kota-
kabupaten-di-jawa-barat-lainnya
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Indonesia. (2015). Panduan Perhitungan
Pola Pangan Harapan (PPH).
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. (2021). Direktori Perkembangan
Konsumsi Pangan. Indonesia.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (n.d.). Istilah. Sumber dari Badan Pusat Statistik:
https://www.bps.go.id/istilah/index.html?Istilah_page=4
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2021). Jumlah Penduduk (Jiwa), 2018 - 2020.
Sumber dari Badan Pusat Statistik Kota Bandung: https://bandungkota.
bps.go.id/indicator/12/32/1/jumlah-penduduk.html
Dinas Pangan dan Pertanian. (2020). Apakah itu Buruan Sae? . Sumber dari Buruan Sae -
Integrated Urban Farming: https://buruansae.bandung.go.id/index.php/tentang/
Dinas Pendidikan Kota Bandung. (2019). Penentuan Zona PPDB. Humas Kota Bandung.
(2021, September 9). Giatkan Konsep Ketahanan Pangan, Ratusan Buruan Sae
Hadir Secara Sukarela. Sumber dari HUMAS KOTA BANDUNG, Siaran Pers: https://
humas.bandung.go.id/layanan/giatkan-konsep-ketahanan-pangan-ratusan-buruan-
sae-hadir-secara-sukarela
Iakovou, E., Bochtis, D., Vlachos, D., & Aidonis, D. (2016). Supply Chain Management for
Sustainable Food Network. United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd.
Perpres Nomor 18 tahun 2020 . (2020). Perpres Nomor 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2020
- 2024.
Rahmah, S. A. (2020). Implementasi Kearifan Lokal Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Silih
Wawangi dalam Membentuk Karakter Peserta Didik. Sosietas Jurnal Pendidikan
Sosiologi, 1, 791-800.
Stanton, D. (2021). Supply Chain Management for Dummies 2nd ed. New Jersey: John
Wiley & Sons, Inc.

60
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

61
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

62
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

THE EFFECTIVENESS OF “BURUAN SAE”


PRACTICES IN SUPPORTING FOOD SECURITY
IN BANDUNG CITY
Pius Sugeng Prasetyo*, Jeremia G.P. Simanjuntak*, Yuliana Maria Mediatrix*
(*Parahyangan Catholic University)

The World Food Vision And Global Situation

The world's population is increasing every year. Currently, the world's population has
reached 7.1 billion people. This number is estimated to be continuously increased up to 9
billion people in 2050. This projected population increase also raises basic human needs,
especially in meeting food needs.
Food is a basic human need and a fundamental right. In the Sustainable Development
Goals (Sustainable Development Goals), the issue of food is in the header of the 2nd goal,
namely "No Hunger". The vision of this 2nd goal is; “Eliminating hunger, achieving food
security and good nutrition, and promoting sustainable agriculture”, which countries want to
jointly actualize by 2030 (SDGs, 2015). There are several work targets for this goal, among
others are;
● Target 2.1 Eliminate hunger and ensure access for all people, including the poor,
vulnerable, under-five children to be able to obtain safe and nutritious food all year
round;
● Target 2.3 double agricultural productivity and incomes of small-scale producers,
especially the vulnerable: women, indigenous peoples, farming families, ranchers,
and fishermen, including providing equal access to land, productive resources and
other inputs, supporting knowledge, services, finance, markets, value added
opportunities, non-farm employment;
● Target 2.4 ensures sustainable food production systems and adopts resilient
agricultural practices that increase production and productivity, protect ecosystems,
strengthen the ability to adapt to climate change, extreme weather, and other
disasters, and improve soil and land quality.

However, in reality, not everyone has the same access to food. In his 1981 book
Poverty and Famines, Amartya Sen emphasized the importance of the access dimension.
Even in situations where food is available worldwide, hunger persists (Clapp et. al, 2021), for
example in conflict areas. In non-conflict areas, differences in income levels determine the
nutritional quality of each household member.
Indonesia is one of the most densely populated countries in the world. The implication
is that the consumption level of the Indonesian people is also high. With the current level of
welfare, the percentage of Indonesian people's spending on food items tends to be higher
than other needs, although this trend is decreasing from year to year (Graph 1). Meanwhile,

63
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

with a high level of public consumption, not all of Indonesia's food needs are met
domestically. Some materials, such as wheat and soybeans, are obtained with high import
rates (graph 2). This has implications at the level of Indonesian food dependence on
availability from abroad. As a result, food prices are unstable. For example, every time before
the holiday, the price of certain foodstuffs always rises. It also changes aspects of the
nutritional availability of the vulnerable; the lower the income level of a household, the less
the household has a choice of nutritional diversity.

(%)
60.000

50.000

40.000

30.000

20.000

10.000

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Makanan Non Makanan

Graph 1: Percentage of Population Spending on Food and Non-food


Source: Nurhemi et. al, 2014

Food supply also faces several significant issues due to changes in the demographic
structure of society. The agricultural sector is a major sector that contributes to Indonesia's
GDP, but 50.84% of the farming profession is dominated by poor households (BPS, 2020).
Changes in the geographical landscape with the expansion of urban areas and the
narrowing of villages also support the shift of people's work from agriculture to non-
agriculture. On a smaller scale, the role of women in household food production is
increasingly marginal, because women cannot make decisions in the social system.

100%
Impor 5,98% Impor 10,49%
90%

80%
Impor 54,79%
70%
Impor 68,46%
60%

50% Impor 100%


Produksi 94,02% Produksi 89,51%
40%

30%
Produksi 45,21%
20%
Produksi 31,54%
10%

0%
Beras Kedelai Gula Gandum Jagung

Graph 2: Proportion of Imports and Production of Indonesian Food Ingredients


Source: Nurhemi et. al, 2014

64
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Responding to the existing global situation, several movements have emerged in


society regarding this phenomenon. Urban farming is becoming the latest trend for the
people of Bandung City. The jargon 'Food Security' is being intensified in various
communities, both among the general public and environmental activists. But it's not just a
trend, because the reasons for the 'crisis' mentioned at the beginning also encouraged the
emergence of this movement.
This phenomenon was also captured by the Food and Agriculture Security Service
(DKPP) of Bandung City. Based on observations from the official team, the current food
situation in Bandung can be said to be vulnerable. It is because 90% of Bandung City's food
comes from outside Bandung City, that is from the regency areas such as Bandung Regency
and West Bandung Regency (DKPP, 2021). Agricultural land and livestock are getting
narrower or moved outside Bandung City area, due to the development of residentials. As a
result, food availability in the city of Bandung is prone to inflation; that is, if there is a change in
prices, it is very vulnerable to food shortages (DKPP, 2021).
The DKPP of Bandung City encourages an urban farming program called Buruan Sae,
Buruan means a yard, Sae means beautiful, green, and picturesque. Buruan Sae is a
movement carried out by families, communities, or institutions to create urban agriculture on
vacant lands around the area where the community or institution is located (DKPP, 2021).
This method is carried out by planting various kinds of vegetables and fruit, as well as 6 other
activity sectors including medicinal plants, animal husbandry, fisheries, and composting.
Currently, there are 234 Buruan Sae points in 151 urban villages in the city of Bandung.
This movement aims to improve the food security of the Bandung City community
against food insecurity. According to DKPP, the objectives of this program are; 1) food
independence; 2) Food chain; 3) Center of excellence, safe and healthy food. This program
is a policy innovation in the form of an integrative policy that combines a communicative,
financial, and legal approach to achieve food security for the people of Bandung City (DKPP,
2021).
This study seeks to describe the benefits of implementing the Buruan Sae program on
the community of perpetrators in Bandung City. This study answers the research question:
"How is the effectiveness of the "Buruan Sae" (urban farming) program on the food security
of the people in Bandung City?"

Conceptual Framework

Food security was first introduced at the World Summit on Food Security in 1996. According
to FAO, food security is a condition when every human being has physical, social, and
economic access to safe, sufficient, and nutritious food that is needed for activities
(FAO,1996). Along with the concept of food security, the concepts of self-sufficiency and food
sovereignty also emerged. Self-sufficiency refers to the ability to meet personal food needs.
Meanwhile, food sovereignty is defined as the ability of a country to meet its own domestic
food needs without depending on other countries. This approach is often associated with

65
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

import protection policies and is not liberal (Pinstrup-Andersen, 2009). These three
definitions were also re-adapted by the Government of Indonesia in Law no. 18 of 2018
concerning Food. There are at least 4 (four) definitions according to the law (Table 1).
One method of food production that has emerged recently is community farming. In
some literature, community farming has become a trend of urban food production.
Nonetheless, this movement emerged as a supplement to conventional food production.
Urban Farming or Urban Agriculture has been widely discussed in the literature whose object
studies are Sub-Saharan Africa and Asia (De Bon et. al, 2009). This activity is still associated
with additional income for some people, especially in Asia and Sub-Saharan Africa.
Meanwhile, in the northern hemisphere, this activity is more of a leisure nature. Another term
for urban agriculture in the United States is called community gardening.

Table 1: The Concept of 'Food Security' according to the Law no. 12 year 2018
Law no. 12 year 2018 on Food Management

Food Sovereignty is the right of the state and nation to independently determine food policies that
guarantee the right to food for the people and which give the community the right to determine a food
system that is in accordance with the potential of local resources.

Food independence is the ability of the state and nation to produce diverse food from within the country
which can ensure the fulfillment of sufficient food needs at the individual level by utilizing the potential of
natural, human, social, economic, and local wisdom resources with dignity.

Food Security is the condition of fulfilling Food for the state to individuals, which is reflected in the
availability of sufficient food, both in quantity and quality, safe, diverse, nutritious, evenly distributed, and
affordable, and does not conflict with the religion, belief, and culture of the community to live a healthy
life, active, and productive in a sustainable manner

Food safety is a condition and effort needed to prevent food from being contaminated by biological,
chemical, and other objects that can interfere, harm, and endanger human health and do not conflict with
religion, belief, and community culture so that it is safe for consumption.
Source: Law No. 12 Year 2018

Activities in urban agriculture include cultivating plants and livestock for food and other
needs in the city (Van Veenhuizen, 2006). The current global push with disruption in various
fields, climate change, and the COVID-19 pandemic has made urban agriculture a concern
for food security in cities, and whether self-sufficiency can be achieved with urban agriculture
(Langemeyer et. al., 2021).
From previous experiences in the field, the contribution of urban agriculture to
households varies, both in terms of the degree of self-consumption and as a source of
income (De Bon, 2009). This contribution also varies in each region, for example, the use of
urban agriculture in the United States and Africa. In developing countries, urban agriculture
plays a role in supporting household consumption needs and fulfilling nutrition.
There is a link between urban agriculture and sustainable cities (Deelstra and
Girardet, 2000; Smit et. al, 1996). Cities are vulnerable to climate change threats and social
problems, while urban planning that is not based on social and ecological insights leads to
high social inequality, food shortages, and is impacted by COVID-19 and climate change
(Langemeyer et. al., 2021).

66
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

In terms of the ability to provide food, modern cities currently cannot process their
nutritional potential/biological elements, so city activities damage the ecological cycle
(Langemeyer et. al., 2021). It is interesting to see the role the city plays in its renewability. The
main role of the city is to provide food to its people.
The city government needs to encourage policies and activities that support the
provision of food for the community. For example, there are several obstacles in carrying out
urban agriculture activities, including; lack of space/difficulties with land provision, time
constraints, limited resources, and problems with ownership rights or use rights (Davies et.
al, 2021).
These areas require government intervention to harmonize so that urban agriculture
activities can take place. Moreover, there are major reasons such as structural changes with
COVID-19 and climate change (Kingsley et. al, 2021; Langemeyer et al., 2021) in
implementing Urban agriculture, as well as for land preservation and benefits of social
inclusion (Langenmeyer et al. al, 2021, Tapia et al, 2021).
For this reason, government support in encouraging food improvement, fulfilling
population adequacy, and at the same time restoring the environment can take the form of; a)
integration in urban planning; b) financial support; c) sustainable and commercial
agribusiness; d) marketing and labeling (De Bon, et. al, 2009). The role of the city
government is important because the city is an engine of growth, its role in the current era of
economic globalization. Cities are interconnected and can be more adaptive to change.
Cities also play a role in encouraging sustainable food security and in analyzing the
challenges of modern food security. It is also close to the central government. In terms of
infrastructure readiness, cities have physical and social infrastructure that is the most
responsive to crises (Moragues-Faus and Ana, 2019). It also supports municipalism; namely,
the city as a strategic place for transformative policies (Russel 2019), by broadening policy
horizons with equitable ecological and social insights (Langemeyer et. al., 2021).

The Effectiveness of Buruan Sae Based on Survey Results

This research aims to explore the effectiveness of Buruan Sae (Urban farming), especially in
terms of its effectiveness in aspects of Economy, health, environment, education, and
societyl. From these five aspects, we will get information to what extent the effectiveness of
the practice of Buruan Sae can contribute to efforts in supporting the food security system of
the city of Bandung.
This exploration was carried out through a survey of 15 samples of Buruan Sae in the
city of Bandung. The survey was conducted on 15 respondents who were representatives of
15 Buruan Sae Groups. The 15 Buruan Sae Groups sampled in this survey are as follows:1.
Buruan Sae Pajajaran; 2. Buruan Sae Sabilulungan; 3. Buruan Sae Ratu; 4. Buruan Sae
Promoter BaCip; 5. Buruan Sae Family Dungus Cariang; 6. Buruan Sae Serasa Dama; 7.
Buruan Sae Sauyunan 09; 8. Buruan Sae Sauyunan 10; 9. Buruan Sae 04 Pacing; 10.
Buruan Sae Sapujagat; 11. Buruan Sae Bestari; 12. Buruan Sae Ngorejat 03; 13. Buruan

67
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Sae Hegar; 14. Buruan Sae RJ; 15. Buruan Sae Kurdi Asri.

The Profile and Management of Buruan Sae

The number of respondents by gender shows that male respondents are 40% and female
respondents are 60%. This data shows that the Buruan Sae movement involves more
women than men. The observations showed that the involvement of women comes from the
community of mothers from the Family Welfare Program at the levels of Neighborhood
Association/Hamlet/Village. Thus this movement has succeeded in providing an affirmation
of a gender perspective, especially involving women. The composition of their age is >35
years at 73.3% and ≤35 years at 26.7%.

Management of Buruan Sae

Based on the survey results, information regarding the management period of Buruan Sae
was obtained. Of 15 samples of Buruan Sae, 5 groups (33.3%) have been managed for 1.5
years, 5 groups (33.3%) have been managed for >2 years, 4 groups (26.7%) have been
managed for >2 years and 1 group (6.7%) has been managed for 6 months. The data shows
that this Buruan sae is relatively young, but has had a very positive impact in terms of
benefits, as will be explained in the next section.
Meanwhile, regarding the area of land managed, based on the survey results, it is
known that there are 3 groups (20%) managing <10 square meters of land, 7 groups (46.7%)
managing 10-50 square meters of land, 5 groups (33.3%) manage a land area of 50-100
square meters. The results of observations and information obtained reveal that most of the
Buruan sae is managed in relatively narrow lands considering that land in urban areas is
indeed very limited. Most of these lands are owned by the government while others are
private or community owned lands.
The survey results show that most of the Buruan Sae done by community members
are funded by the government, but some are funded privately or by the communities. It
shows that the Bandung city government has a very big commitment to supporting and
advancing the Buruan Sae program. The planting method used is the Tabulampot method
(Planting Fruits in Pots), Hydroponics, and Verticulture method. They generally grow
vegetables, herbs, and tubers. In addition to growing plants, some raise livestock and
fisheries. Buruan Sae also carries out activities ranging from nurseries, planting, fertilization,
animal husbandry/fishing, and some are doing waste management.

The Benefits of Buruan Sae

In this section, the results of the survey related to the benefits of Buruan Sae obtained by the
Buruan Sae group will be presented in the management of Buruan Sae. The benefits in
question are divided into five aspects, namely: 1. Economic Benefits; 2. Environmental

68
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Benefits; 3. Health Benefits; 4. Social Benefits; 5. Educational Benefits

Economic Benefit

In terms of economic benefits, the results of managing the Buruan Sae can be economically
beneficial and increase the income of the Buruan Sae group through the sale of their harvest.
Results of the survey show that 12 groups (80%) sold their produce from managing
their Buruan Sae and 11 groups (73.3%) used the harvest of their Buruan Sae for personal
consumption. It can be seen that the majority of the groups, although the differences are
slight, have sold the harvest of managing their Buruan Sae, and not only for personal
consumption. It shows a good thing because the Buruan Sae group provides economic
benefits for the groups that manage the Buruan Sae.

1. Hasil panen Buruan Sae digunakan untuk...


15 responses

Konsumsi Pribadi 11 (73,3%)

Dijual 12 (80%)

0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5

Diagram 1. The Harvest

The Groups of Buruan Sae, which did not sell their harvests, stated several reasons
why the crops were not sold and the most chosen reason was 'Products are Enough for Self
Consumption' (53.3%), 'Products Qualifications Are Not In Accordance With Market
Demands' (46.7%), 'No Market' (13.3%) and 'Don't Know How to Market' (6.7%). It is
certainly a common concern in the management of Buruan Sae in Bandung in the future thus
the harvest can be traded and overcome any difficulties that arise therefore the management
of Buruan Sae will then have an economic impact/benefit for the Buruan Sae groups.

2. Alasan untuk tidak menjual hasil panen:


15 responses
Produk Cukup 8 (53,3%)
Dikonsumsi Sendiri
Tidak Tahu Bagaimana
1 (6,7%)
Memasarkan
Kualifikasi Produk Belum Sesuai
7 (46,7%)
Dengan Tuntutan Pasar
Tidak Punya Pasar 2 (13,3%)

0 2 4 6 8

Diagram 2. The Reasons for Not Selling the Harvests

69
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Meanwhile, the groups that trade their harvests, as shown in Diagram 3, mostly still
trade their harvests on a small scale, by selling their harvests to neighbors (100%). Most of
the Buruan Sae group market them by informing/offering directly to potential buyers (100%)
and another marketing technique used is to market their harvests using social media
(13.3%).
3. Jika dijual, pada siapa hasil panen Buruan Sae dijual?
15 responses

Pedagang Pasar 0 (0%)

Perusahaan 0 (0%)

Tetangga 15 (100%)

Pengepul 0 (0%)

0 5 10 15

Diagram 3. Marketing the Harvest

It can be seen that in terms of marketing, they still use “traditional” marketing
techniques by offering directly. In the future, it is necessary to implement other marketing
techniques that can reach more buyers of Buruan Sae's harvest to provide greater economic
impact/benefit.

5. Berapa penghasilan dari hasil panen Buruan Sae per bulan?


15 responses

Rp 0 - 500.000
Rp 500.000 - 1.000.000
Rp 1.000.000 - 1.500.000
Rp 1.5000.000
86,7%

Diagram 4. Income from the Harvest

It can be seen in Diagram 4 that the income earned is not large enough. The majority of
the Buruan Sae group (13 groups) earn 0-500,000 (86.7%) from selling their harvests. 1
group earns 500,000 - 1,000,000 (6.7%) and another group earns 1,500,000 (6.7%) from
selling their harvests.
Currently, Buruan Sae itself is not the main source of income, especially for groups
that manage Buruan Sae that became the respondents. A total of 12 groups (80%) stated
that Buruan Sae was not the main source of income and a number of 3 groups (20%) stated
that Buruan Sae was the main source of income. Based on the survey results, information
was obtained if Buruan Sae was indeed a source of additional income. Managing Buruan
Sae certainly requires a lot of costs to ensure its sustainability.

70
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The Environmental Benefits

The environmental benefits generated through the management of urban farming are that it
can reduce environmental pollution in soil, water, and air (Lasat, 2000).

1. Apakah terdapat perubahan yang nampak pada media tanam/tanah dengan kegiatan Buruan Sae?
(misal: tanah menjadi lebih subur, dsb.)
15 responses

Ya
Tidak

93,3%

Diagram 5. Changes in Planting Media/Soil

In addition to changes in planting media/soil, Buruan Sae's activities also change air
conditions. Based on the survey results, the majority of the groups (100%) stated that there
was a change in air conditions as a result of their Buruan Sae activities.
The information obtained from the survey results related to the environment,
especially about the planting media/soil, shows that there were visible changes in the
planting media/soil that was used for the activities of Buruan Sae (the soil became more
fertile). 14 groups (93.3%) stated that there was a change and 1 group (6.7%) stated that
there was no change in the growing media.
In addition to changes in planting media/soil and changes in air conditions, the
environmental benefit review is also related to the use of natural materials as fertilizers in
managing Buruan Sae. Based on the survey results, 14 Buruan Sae groups (93.3%) stated
that their group used/processed household waste into compost/eco-enzyme for the Buruan
Sae plant and 1 group (6.7%) did not use/process household waste into compost/eco-
enzyme for Hunting Sae.

3. Apakah Anda memanfaatkan/mengolah sampah rumah tangga menjadi pupuk


kompos/eco-enzyme untuk tanaman Buruan Sae?
15 responses

Ya
Tidak

93,3%

Diagram 6. The Utilization of Household Waste

71
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

In terms of processing/utilizing other natural materials such as animal manure into


fertilizer, 10 groups (66.7%) stated that their group used/processed livestock manure into
fertilizer for the Buruan Sae plants and 5 groups (33.3%) stated that they did not use/process
animal manure into fertilizer. processing livestock manure into fertilizer for the Buruan Sae
plant. This data shows that most of the Buruan Sae group has processed/utilized natural
materials in the management of their Buruan Sae and this certainly has a good impact on the
environment.
In addition to the use of natural materials as fertilizer, environmental benefits are also
reviewed regarding the utilization of used household items in the management of Buruan
Sae. Based on the survey results, 14 groups (93.3%) stated that their group utilized used
household items in the management of their Buruan Sae and 1 group (6.7%) stated that they
did not utilize used household items. in the management of their Buruan Sae. It shows that
the groups of Buruan Sae have utilized used household items in the management of their
Buruan Sae, and this certainly gives a positive impact on the environment, because the used
household items can be reused instead of being wasted.

Health Benefits

The management of Buruan Sae and its harvests are expected to contribute health benefits
to the groups of Buruan Sae themselves. The harvest of Buruan Sae is expected to be a
healthy food resource for the group members

1. Apakah hasil Buruan Sae dapat memperbaiki menu makanan sehat


15 responses

Ya
Tidak
100%

Diagram 7. The Harvests of Buruan Sae Improves the Healthy Food Menu

Based on the survey results, all of the respondents (100%) stated that the harvest from
the management of Buruan Sae can improve the healthy diet. This shows that the harvest
from Buruan Sae has a positive impact on health because it is managed by utilizing natural
ingredients. This is expected to make Buruan Sae's harvest a healthier food source because
it does not use chemical fertilizers.
In addition to improving the healthy food menu, in terms of health benefits, it is also
reviewed related to the cultivation and processing of medicinal plants which are expected to
provide alternative home remedies for the members of Buruan Sae Group. Based on the

72
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

survey results, most of the Buruan Sae groups plant medicinal plants such as ginger,
turmeric, basil, lemongrass, binahong (heartleaf maderavine madevine), galangal, mint
leaves, roselle, cumin, butterfly pea, turmeric, gotu kola, Sand Ginger (aromatic ginger).
Furthermore, among them, there were 8 groups (53.3%) growing and processing medicinal
plants into herbal medicines and a total of 7 groups (46.7%) not processing medicinal plants
into herbal medicines. This of course becomes the creativity and innovation of the crops from
Buruan Sae.

Social Benefit

Social Benefits to be discussed are related to whether there are impacts/benefits in


managing Buruan Sae, especially for the groups

1. Apakah terbentuk komunitas/perkumpulan baru melalui pengelolaan Buruan Sae?


15 responses

Ya
20%
Tidak

80%

Diagram 8. New Community Through Buruan Sae

Based on the survey, it is known that 12 groups (80%) stated that communities/groups
have been formed by managing the Buruan Sae. It can be seen that there are new social
interactions in managing Buruan Sae which later on became the formation of new
communities/groups. Meanwhile, 3 groups (20%) stated that the activity of Buruan Sae did
not lead to the formation of new communities/groups.
Socially, the management of Buruan Sae encourages social relations between
residents. All stated that the management of Buruan Sae made social relations between
residents closer. It certainly shows a good thing because good social relations between
residents through Buruan Sae activities can have a positive impact and minimize the
possibility of social conflicts that often occur in the social environment of the community.
Buruan Sae management activities can also increase social awareness among
residents. All respondents stated that Buruan Sae's activities increase social awareness
among residents. Based on the survey, in addition to improving social relations, Buruan
Sae's activities have a positive impact by increasing social awareness among residents. This
certainly shows a very good thing, because during the current pandemic, through Buruan
Sae activities, people can still care for one another.
Another thing that is reviewed in the social context is women's engagement because

73
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

this is a very notable issue at this time when women's engagement is important in various
aspects. Based on the survey results, the women's engagement in the management of
Buruan Sae has been quite good. 6 groups (40%) stated that their Buruan Sae management
had involved women in the range of 75-100%, 4 groups (26.7%) stated that their Buruan Sae
Management has involved women in the range of 50-75%, 3 groups (20%) stated that the
involvement of women in their Buruan Sae management was in the range of 0-25% and 2
groups (13.3%) stated that the involvement of women in the management of their Buruan
Sae was in the range of 25-50%. This data confirms that the Buruan Sae movement has
engaged many women's groups which in many ways are supported by women of the Family
Wealth Program.

Educational Benefits

Educational Benefits relate to whether in the management of Buruan Sae, the Buruan Sae
group gets educational impact/benefits in managing their Buruan Sae. Based on the survey
results, the majority of the Buruan Sae group (60%) or 9 groups stated that before starting
farming, they had already known farming techniques on a narrow land and 6 groups (40%)
stated that before planting they did not know farming techniques in narrow fields. This shows
that before starting their Buruan Sae activity, some groups had already gained knowledge
related to farming techniques on narrow land, which is very good knowledge to be practiced
in the management of Buruan Sae which is a type of agriculture activities carried out on
limited/narrow land.

2. Dari manakah Anda mempelajari teknik bertani di lahan sempit (Buruan Sae)?
15 responses

Youtube
80% Buku
Blog
20%
Sumber lainnya

Diagram 9. Learning Media

Regarding the learning media used, a total of 12 groups (80%) stated that they used
other learning media/other sources in learning related to farming techniques or the
management of Buruan Sae, while 3 groups (20%) used Youtube media in their studies.
related to farming techniques or the management of Buruan Sae. In this case, the
government also provides various training to increase productivity through training on the
cultivation of Buruan Sae.

74
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Closing Notes: Challenges of Sustainability

One of the important aspects of the management of Buruan Sae is the aspect of
sustainability. Urban Farming (Buruan Sae) itself can be an alternative solution to the urban
food system. The sustainability aspect of this survey focuses on 3 things, namely Institutional
Management of Buruan Sae, Financial Support, and Networks/Cooperation
Based on the results of the survey, related to the institutional management of Buruan
Sae showed that most (73.3%) stated that there was an institution/group that managed
Buruan Sae, while the rest (26.7%) stated that there was no institution that managed it. This
is certainly an important note when Buruan Sae wants to be developed and maintained for its
sustainability which requires the existence and function of the institution/organization that
manages it. The management of the institution/organization that manages Buruan Sae is
usually carried out by about 5 - 8 administrators. This management is done voluntarily. In the
sense that they can quit or resign at any time. Of course, it should be noted that a strong
commitment is needed to ensure the progress and sustainability of Buruan Sae.
Furthermore, in terms of financial support, it was found that the majority of the Buruan
Sae Groups (60%) did not receive financial support/financial assistance from a particular
institution while (40%) stated that they received financial support/financial assistance from a
particular institution. From the information obtained, it is known that the Bandung City
government through DKPP provided a lot of support for the development of Buruan Sae. It is
undeniable that the financial/financial aspect is very important in supporting the future
management of Buruan Sae. Without a healthy and strong financial condition, it will be very
difficult to manage Buruan Sae sustainably. So the challenge in the future is how to form a
good financial system in the management of Buruan Sae, it means that the management of
Buruan Sae can take advantage of various sources of income, whether receiving financial
assistance from a particular institution as well as from income from the management of
Buruan Sae itself.
Meanwhile, in terms of networking/cooperation, based on the survey results, It is
known that currently, the majority of the Buruan Sae group are cooperating with the
Government (86.7%). In addition to the Government, the Buruan Sae groups also
collaborate with companies (20%), collaborate with universities (13.3%), and Non-
Governmental Organizations (13.3%). Cooperation with other parties in the management of
Buruan Sae is also important because these external supports can form a sustainable
management system, whether in terms of developing, marketing, and selling the harvests of
Buruan Sae. Extensive networking and collaboration can make this possible.
Meanwhile, in terms of networking/cooperation, based on the survey results, it is
understood that currently, the majority of the Buruan Sae group are cooperating with the
Government (86.7%). In addition to the Government, the Buruan Sae groups also
collaborate with companies (20%), universities (13.3%), and Non-Governmental
Organizations (13.3%). Cooperation with other parties in the management of Buruan Sae is
also important because these external supports can form a sustainable management

75
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

system, whether, in terms of developing, marketing, and selling Buruan Sae, extensive
networking and collaboration can make it possible. This network is owned by all of Buruan
Sae groups who were involved as the respondents. This is certainly a very good capital to
support the sustainability of Buruan Sae.

76
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

DOCUMENTATION

The appearance of location of one of In addition to horizontal land,


Sae's Buruan groups in the vertical land can also be used
Astana Anyar Sub-District in the form of hydroponics
(Source: BS Kurdi Asri) as seen in Bandung Kidul Sub-District
(Source: BS Ngorejad)

In general, the actor of Buruan Sae are dominated by women


(Source: BS Sabilulungan and BS Family)

Buruan Sae's activities provide Buruan Sae activities also provide


educational benefits. environmental benefits;
(Source: BS Bestari) waste processing to be used as planting media
(Sources: BS Riyadhul Jannah)

77
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Bibliography

Badan Pusat Statistik. (2018). Hasil Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) 2018
(05230.1901; p. 206). Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/publication/
2019/10/31/9567dfb39bd984aa45124b40/hasil-survei-pertanian-antar-sensus--
sutas--2018-seri-a2.html.

Davies, J., Hannah, C., Guido, Z., Zimmer, A., McCann, L., Battersby, J., & Evans, T. (2021).
Barriers to urban agriculture in Sub-Saharan Africa. Food Policy, 103, 101999.
https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101999

De Bon, H., Parrot, L., & Moustier, P. (2010). Sustainable urban agriculture in developing
countries. A review. Agronomy for Sustainable Development, 30(1), 21–32.
https://doi.org/10.1051/agro:2008062

Deelstra, T., Girardet, H., Bakker, N., Dubbeling, M., Gündel, S., Sabel-Koschella, U., &
Zeeuw, H. D. (2000). Urban agriculture and sustainable cities. Undefined.
https://www.semanticscholar.org/paper/Urban-agriculture-and-sustainable-cities.-
Deelstra-Girardet/58d24a07b0fe867ce720e5e5271ad5bb55ff81c2

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. (2020). Buruan Sae [Flyer].

FAO. (1996). Rome Declaration on World Food Security. Food and Agriculture Organization.
https://www.fao.org/3/w3613e/w3613e00.htm

Langemeyer, J., Madrid-Lopez, C., Mendoza Beltran, A., & Villalba Mendez, G. (2021).
Urban agriculture—A necessary pathway towards urban resilience and global
sustainability? Landscape and Urban Planning, 210, 104055. https://doi.org/
10.1016/j.landurbplan.2021.104055

Moragues-Faus, A., & Battersby, J. (2021). Urban food policies for a sustainable and just
future: Concepts and tools for a renewed agenda. Food Policy, 103, 102124.
https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2021.102124

Nurhemi, Shinta R.I. Soekro, & Guruh Suryani R. (2014, Desember). Kajian Pemetaan
Ketahanan Pangan di Indonesia: Pendekatan TFP dan Indeks Ketahanan Pangan.

Pinstrup-Andersen, P. (2009). Food security: Definition and measurement. Food Security,


1(1), 5–7. https://doi.org/10.1007/s12571-008-0002-y

78
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Russell, B. (2019). Beyond the Local Trap: New Municipalism and the Rise of the Fearless
Cities. Antipode, 51(3), 989–1010. https://doi.org/10.1111/anti.12520

Smit, J., Nasr, J., & Ratta, A. (2001). Urban Agriculture Food, Jobs and Sustainable Cities.
https://doi.org/10.5860/choice.34-6355

Sri. (2021, September 10). Wawancara UNPAR dengan Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian [Personal communication].

Tapia, C., Randall, L., Wang, S., & Aguiar Borges, L. (2021). Monitoring the contribution of
urban agriculture to urban sustainability: An indicator-based framework. Sustainable
Cities and Society, 74, 103130. https://doi.org/10.1016/j.scs.2021.103130

UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, no. 12 tahun 2012 (2012).


https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39100

Veenhuizen, R. van (Ed.). (2006). Cities Farming for the Future. International Institute of
Rural Reconstruction and ETC Urban Agriculture. https://www.idrc.ca/sites/
default/files/openebooks/216-3/index.html#page_1

79
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

80
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

CONSUMER PERCEPTION OF
ECOLABEL PRODUCTS, BUYING INTENTION,
AND ECOLABEL CAMPAIGN IN INDONESIA
Theresia Gunawan*, Fransiska Anita Subari* Jeany Nataly Giaviany
(*Parahyangan Catholic University)

Ecolabels in the Global and Indonesian Realms

Definition of Green Product, Organic Product, and Ecolabel

The terms of green products, organic products, and ecolabel products are often used in
matters related to the environment. These three terms are closely related but have different
meanings. Green Products or what is often referred to as environmentally friendly products
are products that do not use materials that contain hazardous chemicals, and in general can
be recycled and do not pollute the soil, water, and ecosystems. According to Gupta, M. and
Syed, A.A. (2021), green products are defined as products that can be recycled, require
fewer natural resources, do not pollute the earth, and have environmentally friendly
packaging.
Meanwhile, organic products are products that have been confirmed that the product
is produced conventionally without pesticides, artificial chemicals, hormones, antibiotics, or
genetically modified organisms (Indonesia Ministry of Health, 2018). Therefore, green
products are not always organic, but organic is included in the green product category.
Organic products are usually used to refer to products related to food and cosmetics.
Meanwhile, ecolabel is a statement, symbol/symbol, or graphic on a product,
packaging, or in an advertisement publication related to environmental issues to ensure
sustainable development (National Accreditation Committee, 2004). The Ministry of
Environment (KLH) issued Ministerial Regulation No. 2 of 2014 concerning the Ecolabel
Logo as follows: "Ecolabelling is a means of delivering accurate, verifiable and not
misleading information to consumers regarding the environmental aspects of a product or
service".
By attaching ecolabel to a product, this can provide information,
protection/conservation, and guarantee that the product produced is in accordance with
environmental conservation standards. Ecolabels are often used in products made from
organic raw materials and their processing is environmentally friendly.

Indicators and Application of Green Product (Environmentally Friendly Product)

According to Elkington et al in Rath (2013), green product indicators are divided into 4,
namely:
1. Products are harmless to humans and the environment.
2. Product packaging that is harmless to the surrounding environment

81
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

3. The raw materials are harmless to humans and the environment.


4. Have an ecolabel certificate / environmentally friendly certificate.

History and Development of Ecolabelling

Global warming is a wicked issue that is faced by both developed and developing countries.
Global Warming has the impact of decreasing the quality of the earth which results in the
depletion of the ozone layer, air, water, and soil pollution. The issue of the environment is of
concern to the world community because of the large number of natural damages that
significantly affect the lives of the people in the whole world, including the issue of waste from
factories, from the packaging of consumer products that are difficult to recycle and
exploitation of natural resources due to a large amount of energy needed. Therefore, the
initiative to produce environmentally friendly products is a response to the increasingly
severe environmental damage. To provide a differentiating power between products that
apply environmentally friendly and non-environmentally friendly concepts, the ecolabelling
concept was born. Ecolabeling is manifested by providing product certification which will
guarantee that the product is in accordance with environmental conservation standards.
The application of ecolabelling is expected to be an indirect effort to reduce global
warming problems by inviting business actors and the public to participate in producing and
using environmentally friendly products.

The Correlation of Ecolabelling and Green Product

Ecolabels are increasingly being used by marketers in identifying green products (D'Souza
et al., 2006). Rex and Baumann (2007) define ecolabel as a tool that can assist consumers in
making decisions to choose green products and inform them how the product is made.
Ecolabels can also provide opportunities for companies to enter the market and gain market
share.

Ecolabel Phenomena in the World and Indonesia

Green products certainly have a special market segment which is known as green
consumers. Purchasing green products is influenced by consumer knowledge and insight. In
terms of knowledge and insight related to ecolabels, consumer knowledge of ecolabels in
developed countries is very high. Research by Dinu, Schileru and Atanase (2012: 22) says
that consumers in Rome have high education, knowledge, and social awareness related to
ecolabels. In other developed countries such as Sweden, consumers generally have
concerns about health and environmental issues and these are the main reasons someone
chooses ecolabel products. Knowledge of the environment and green products is said to
increase consumers' purchase intentions and have a more positive attitude toward the
environment.

82
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Adil (2015) in his research revealed that knowledge about the environment had a
significant effect on purchase intentions of green products in Indonesia. With the increase in
Indonesian consumer knowledge about green products, it is predicted that consumer buying
intentions for green products will also increase. Although currently there are still a small
number of green consumers in Indonesia, the trend will increase because it is estimated that
the level of education and income of the Indonesian people is increasing (Gunawan &
Ferdhian, 2020).
In Indonesia, the emergence of various environmental problems in terms of waste,
forest damage, and damage to marine life has become a phenomenon that encourages
increased awareness of the importance of green products and the application of
ecolabelling.
In Indonesia, according to data from the Ministry of Environment and Forestry, the
amount of waste reaches 17.2 million tons per year (Pikiran Rakyat, 2018). This raises
concern for the community when waste is difficult to recycle. From the consumer's
perspective, some consumers are smart in determining their purchase choices, those who
decide with long-term considerations and have more health and environmental awareness.
This can be used as an opportunity for producers to be able to fulfill consumer desires and
produce environmentally friendly products or green products.
The ecolabelling program in Indonesia is more focused on one of the government's
efforts in overcoming environmental damage and preserving environmental functions, by
applying environmental standards. The application of the ecolabelling program as a
requirement in trade is not an obstacle but can be a challenge as well as an opportunity for
business actors to increase the competitiveness of the products they produce. In the
ecolabelling program there are 3 (three) ecolabel guarantees, namely Type I, Type II, and
Type III ecolabelling. Each type of ecolabelling has its advantages and disadvantages. GEN
member countries generally carry out a Type I ecolabelling program, where the ecolabel
certificate is issued by a third party to products that meet a set of requirements that have
been determined in a particular product category.

Gambar 1. Ecolabel Logo in Indonesia Type I (left) and Type II (right)

83
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Organic Products Purchasing Worldwide vs in Indonesia

Consumer purchasing decisions for organic products (green products associated with
ecolabel products) differ in each country. Bram (2013: 131) states that ecolabelling can only
be successful in developed countries, parts of Europe. Consumers who already have
knowledge and awareness about environmentally friendly products will tend to consider
these aspects in a product before deciding to buy.
From the research conducted by Sumarsono and Giyatno (2012) conducted, it was
found that there is no positive influence of environmental information on product packaging
towards purchasing decisions of Indonesian consumers. Therefore, it is necessary to
increase the government's efforts in terms of socialization and guidance programs related to
the application of ecolabelling, formulation of ecolabelling criteria standards, as well as
improvement of accreditation and ecolabel certification schemes.

Table 1. The Differences in the Ecolabelling Development in developed countries vs Indonesia


Indicator/Emphasis Developed Countries Indonesia
Insights and Knowledge Open minded Tend to be conservative

Mandatory
Nature (for certain products in Europe) Voluntary

Procedures and policy


mechanisms associated Tend to be easier Complicated
with products
Government Support Optimum Less
The effect of ecolabelling
on purchasing power and High Low
purchasing decisions
Source: References from Several Journals

Previous Research on Ecolabelling

Kotler (2016) cites several major research results in many countries involving large
companies, where the results of these studies indicate that consumers are interested in
buying environmentally friendly products from trusted companies and are willing to pay more
for these products. Some experts say that the younger generation is attracted to the concept
of environmentally friendly products, while other experts argue that older people take a more
serious part in environmental responsibility. Experts also warn of the phenomenon of
"greenwashing" where companies do not purely adopt environmentally friendly concepts as
informed and "green marketing myopia" where consumers do not know what benefits are
obtained by buying ecolabel products.
Research conducted by Nguyen & Le (2020) discussing the effects of knowledge on
ecolabels, consumer trust, perceived value, and environmental concern on purchase
intention found that suppliers of agricultural products should pay more attention to
strengthening the image and increasing product benefits in order to increase perceived

84
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

value. and the need to increase the use of environmental messages into marketing
strategies.

Exploring Initial Knowledge About Organic Certification

From the initial discussion with the Food and Agriculture Security Service of Bandung City, it
was known that organic certification was something completely new so on September 2,
2021, a mini webinar was held to gain initial insight with the theme Organic Certification:
Awareness and Appreciation of Healthy Food. In this mini webinar attended as speakers, Mr.
Sukmi Alkautsar, who is the Program Coordinator of the Indonesian Organic Alliance, Ms.
Ermariah, who is the Head of the Food Safety Division of the Bandung City Agricultural Food
Security Service, and Ms. Elsje Mansula, an organic product certification practitioner who
has successfully sold organic products abroad. From this webinar, some general insights
about organic products were obtained as follows:

1. The term organic refers to the process of which a product goes through, including the
condition of the soil at the time of planting. Organic products must use soil as planting
media (soil based), either directly or using poly bags. So that hydroponic plants cannot
be certified organic.

2. Products may not use organic labels if there is no quality assurance from the
competent authority. For the process of issuing organic certification, small farmers are
constrained by the cost problem. For this reason, it is recommended to use quality
assurance from the PAMOR (Penjaminan Mutu Organik/Organic Quality Assurance)
institution which has been recognized on a national scale and at a more affordable
cost. Quality assurance with PAMOR can be carried out in an organized group of small
farmers. If the market is large, then the quality assurance process from the Organic
Certification Institute (Lembaga Sertifikasi Organik/LSO) can be carried out. This is
also supported by an explanation from Mrs. Elsje as an organic product practitioner,
she said that the supply of organic products in the market needs cooperation from
farmers, packaging to distribution.

3. Mrs. Ermariah from the Food and Agriculture Security Service of Bandung City said
that the concept of organic products is indeed a very new thing, especially for farmers
in Bandung City. However, if the market response to the product is positive and there is
a good opportunity, then it will be considered to carry out an organic quality assurance
process for small farming communities or Buruan Sae using PAMOR.

85
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

The mini webinar results indicate an interest from the Food and Agriculture Security
Service of Bandung City to explore the possibility of using organic labels for products
produced by urban farming and small farmer communities in Bandung. This is certainly a
positive response, so the next step is to find out how the awareness of people in Bandung
City on ecolabels, buying interest, and campaigns related to ecolabel products.

How is the Awareness of People in Bandung City about Ecolabel Products?

Several large companies in Indonesia have begun to adopt an environmentally friendly


theme, also known as green marketing, as part of their marketing strategy to draw attention
and desire from market segments that are starting to care about environmental sustainability
and healthy food. To find out how far a product is accepted in a market is to measure public
awareness of the product because the buying process starts from being aware of a problem
and realizing the availability of the product in the market.
Several big companies in Indonesia have begun to adopt an environmentally friendly
concept, also known as green marketing, as part of their marketing strategy to ingratiate
market segments that are starting to care about environmental sustainability and healthy
food. To find out how far a product is accepted in a market is to measure public awareness of
the product because the buying process starts from being aware of a problem and realizing
the availability of the product in the market.
What about public awareness in the city of Bandung towards ecolabel products? Are
the people of Bandung City ready to accept ecolabel products as part of their daily lifestyle?
The Bandung Food Smart City team has collected data from 109 respondents through
questionnaires distributed. The respondents were from various social classes and ages to
find out about the awareness of the Indonesian people, especially in the City of Bandung
towards ecolabel products. Questionnaires were distributed using social media Instagram
and WhatsApp and processed quantitatively to obtain an overview of the condition of public
awareness of the City of Bandung on ecolabel products.
To measure the awareness of the people of Bandung, this study refers to 5 levels of
consumer awareness by Eugene Schwartz (2016) who divides consumer awareness into 5
levels, namely:
1. Unaware. At this level, people do not care about the production process of products
that are consumed which can damage the environment and the body or do not
know/are aware of the choice of products with ecolabelling concepts that are more
friendly to the environment and better for the health of the body.
2. Problem aware. At this stage, people already know that there are problems in the
production process for the environment and health, but do not experience the situation
directly and do not know that there are better product options or solutions.
3. Solution aware. At this stage, people have already known the solution to the problems
that occur, but do not know the existence of ecolabelling, what is meant by
ecolabelling, and where to buy ecolabel products.

86
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

4. Product aware. At this stage, people can recognize the existence of ecolabel products
at places where they usually shop but have never bought them.
5. Most aware. At this level, people are enthusiastic about ecolabel products. At this
stage, people care about their problems and the environment and feel that ecolabel
products are the best choice to solve these problems.

In relation to the awareness of ecolabel products in Bandung City, the five conditions
of consumer awareness will include aspects that might be a driving force for someone to
have a desire to buy a product, namely:

1. Awareness

a. Awareness of the Existence of Ecolabel Products


■ Ecolabel products familiarity
■ Easy to find information about ecolabels from various media (TV, Newspaper, and
Internet)
■ Can distinguish which products have ecolabels from others
■ Can easily find ecolabel products in places the respondents usually shop for daily
necessities
■ Aware that ecolabel products are sold at a higher price because the production
process must meet special standards

b. Awareness of Health Issues


■ Ecolabel products are healthier
■ Ecolabel products are safer for consumption
■ When buying a product, I consider the impact of the product on my health
■ You know that products with certain ecolabel certifications (eg. organic) have gone
through a special process so that their quality is guaranteed
■ Ecolabel products are the best choice for me and my family

c. Awareness of Environmental Issues


■ When buying a product, I consider the impact of the product on the environment
■ Ecolabel products are environmentally friendly
■ Knowing that food products with ecolabel certification have goals concerning
about aspects relating to environmental elements
■ Ecolabel products are the best choice for our environment

d. Awareness of The Farmers Welfare


■ Ecolabel products are products that can improve the farmers welfare
■ When buying a product I consider the impact of the product on the farmers welfare

87
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

2. Buying Intention

Referring to Kotler (2016), buying interest arises because there is encouragement both from
within a person and from outside, where in general the drive is either rational or emotional.
Buying interest arises when someone has the drive, ability, and opportunity to buy. So
someone will evaluate product details to gain knowledge of the product. Evaluation of the
product can be obtained from the experience of consuming the product, either personal
experience or the experience of others. Information about a product can be obtained through
advertisements and articles.
Kotler (2016) also said that one of the consumer behaviors is selective attention,
namely the tendency of a person to seek information or pay attention to information about the
product that is being needed or desired. So the interest in seeking information can indicate a
particular behavior when someone wants to buy a product.
Products on the market with almost the same characteristics can make it difficult for
consumers to evaluate one brand over another, thus consumers often buy based on habits.
For this reason, market players provide added value to differentiate their brand from the
others, for example, juice products containing calcium and vitamins, or cereal products that
inform the benefits of consuming cereal for heart health. From the consumer's point of view, a
brand is a promise that shows identity as a trustworthy brand. Therefore, this study also
intended to find out whether consumers feel the need for certification as a guarantee of the
quality of ecolabel products.
As certified products, ecolabel products must go through a series of processes and
periodic tests. This of course will have an impact on the price of the product. Therefore, the
willingness to pay more for ecolabel products will also be an indicator of buying interest in this
study.
When consumers have a good awareness of ecolabel products, it is interesting to find
out more about how the consumers buying interest is. In this study, a person's interest in the
ecolabel product will be measured by the following behavior:
a. Interest in finding information about ecolabel products
b. Interested in ecolabel products at places to shop
c. Feeling the need for a guarantee of ecolabel products with certification
d. Willing to pay more for ecolabel products
e. Interested in buying ecolabel products on the next shopping
f. Recommend others to buy ecolabel products

3. Ecolabel Campaign

Because the desire to buy arises after someone evaluates a particular brand, consumers
need to have detailed information to evaluate appropriately. On the consumer side, it is
necessary to explore terms of completeness, clarity, attractiveness, and frequency of
messages with questions such as the following:

88
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

a. Is the frequency of advertisements/information enough?


b. Is the campaign/information interesting?
c. Is the information clear?
d. Does the campaign provide enough information (what is an ecolabel, its benefits, and
its impact)?

Distributing Questionnaires

This research was conducted by distributing questionnaires containing questions to obtain


an overview of:
1. Respondent's Profile
2. How aware are people in Bandung City of ecolabel products
3. Are people in Bandung interested in buying ecolabel products?
4. What do people in Bandung City think about the campaign for ecolabel products?

Due to the unknown population size, and the desire to obtain consumers with diverse
profiles and the questionnaires were distributed by utilizing social media Instagram and
WhatsApp.

Respondents' Profile

From Figure 2 it can be seen that the respondent's domicile has represented 27 sub-districts
in the city of Bandung. In Figure 3 it can be seen that 34 respondents are male, and 76
respondents are female. Figure 4 shows marital status, where 52 respondents are single, 56
respondents are married, and 2 respondents are divorced by death.

Figure 1. Domicile Figure 4. Gender


Kec. Ujung Berung 6
Kec. Regol 4 Male
Kec. Mandalajati 4 34
Kec. Lengkong 10
76 Female
Kec. Kiara Condong 5
Kec. Coblong 6
Kec. Cidadap 4
Kec. Cibeunying Kidul 9
Kec. Buahbatu 7 Figure 5. Marital Status
Kec. Bandung Wetan 3
Kec. Bandung Kidul 8 Single
Kec. Astanaanyar 4 Death Divorce
Kec. Arcamanik 9 Married
Kec. Antapani 5 56 52
Kec. Andir 8
dan lain-lain 18
0 5 10 15 20
2

89
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Figure 5. Age Fifgure 6. Occupation

< 20 y.o Enterpreneur


6 8 10 15
20 - 29 y.o Teacher / Lecturer
20 30 - 39 y.o 10 Private Sector Employee
31
41 40 - 49 y.o House Wife
19
50 - 59 y.o 28 Student
16 16
> 60 y.o Etc.

Figure 5 shows the respondents' age, where 41 respondents are 20-29 years old, 20
respondents are 50-59 years old, 19 respondents are 40-49 years old, 16 respondents are
30-39 years old, 8 respondents are less than 20 years old, and the rest 6 respondents are
over 60 years old. Figure 6 shows the respondents by occupation, where 31 respondents are
students, 28 respondents are private employees, 16 respondents take care of the
household, 15 respondents are entrepreneurs, 10 respondents are teachers or lecturers,
and the rest have other professions.

Figure 7. Monthly Income Figure 8. Monthly Expenditure on Food

< Rp 4.499.999 8 0 - 24% of Income


30 15
> Rp 30.000.000 44 25% - 49% of Income
50
Rp 10.000.000 - Rp. 19.999.999 50% - 74% of Income
7
Rp 20.000.000 - Rp. 29.999.999 42 75% - 100% of Income
21
Rp 4.500.000 - Rp. 9.999.999
2

Based on income (figure 7), 50 respondents earn below IDR 4,499,999, 30


respondents earn between IDR 4,500,000 to IDR 9,999,999, 21 respondents earn between
IDR 10,000,000 to IDR 19,999,999, 7 respondents earn between IDR 20,000,000 to IDR
29,999,999, and the remaining 2 respondents earn more than IDR 30,000,000. While figure
8 shows the percentage of expenditure on food each month, where 43 respondents are
within the range of 0 - 24% of income, 44 respondents are within 25 - 49% of income, 15
respondents are within 50 - 74% of income, and the remaining 8 respondents are within 75 -
100% of earnings.
Figure 9 shows that the majority of respondents usually shop for food and groceries at
Supermarkets (80 respondents), Vegetable vendors (75 respondents), and Online Stores
(15 respondents). Ecolabel products are much more likely to be found in supermarkets than
in greengrocers. While in online stores it is still possible to find it in some specialty stores.
Figure 10 shows that most of the respondents have experience buying ecolabel
products. It can be seen that the types of ecolabel products that have been purchased are
mostly vegetables (75 respondents) and fruit (51 respondents), followed by eggs (35
respondents), meat (30 respondents) plantation products (27 respondents), rice (27
respondents) and milk (25 respondents).

90
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Figure 9. Place Where Respondents Figure 10. Ecolabelled Products that had been Bought
Usually Buy Food / Groceries

3 Supermarket 5 Vegetables
Fruits
15 Green Groceries 20
15 Meat
25
Online Shop (Grab Mart, 76 Egg
80 Rice
33 Shopee, Tokopedia, etc) 27
Plantation Product
Pre-Order (WA group)
27 (Honey, Coffee, Vanilla, etc)
Traditional Market/ 51 Milk
75
Roadside Stall 35 30
Never Bought
etc Etc

In filling out the questionnaire, respondents were asked to give opinions on a scale of 1 to 5.
The total score was then calculated and averaged which would then be analyzed in the
following ranges: 1 - 1.8 = very low; 1.8 - 2.6 = low; 2,6 - 3,4 = moderate; 3,4 - 4.2 = good; 4.2 -
5.00 = very good

Table 2. Awareness on Ecolabel Products

No. Statements Average

1 Familiar with ecolabel products 3.018


Can easily find information about ecolabels from several
2 3.327
media (TV, newspaper, and internet)

Can easily find ecolabel products at places where


3 3.19
usually buy daily needs/groceries

4 Can distinguish ecolabel products among others 3.136

Being Aware that ecolabel products are sold at higher


5 prices because the production process must meet 4.1
the special standard

Total Average 3.354

Awareness of the existence of ecolabel products is measured by awareness of the


existence of products and information about ecolabel products. The survey results (table 2)
show that the highest score is regarding awareness of the more expensive price of ecolabel
products because the production process must meet particular requirements. Meanwhile,
for other indicators regarding whether they know ecolabel products, the ease of finding
information in various media regarding ecolabel products, the ease of finding ecolabel
products, and the ability to distinguish ecolabel products among other products are within the
moderate range. Overall, awareness of the existence of ecolabel products is within the
moderate range.

91
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Table 3. Awareness of Health Problems

No. Statements Average

1 Ecolabel products are healthier 4.027

2 Ecolabel products are safer for consumption 4.026


When buying a product, I consider the impact of
3 4.254
the product on my health

Being aware that products with certain ecolabel


4 certifications (eg organic) have gone through a 4.254
special process so that their quality is guaranteed

Ecolabel products are the best choice for me


5 and my family 3.763

Total Average 4.065

The survey results regarding awareness of health problems (table 3) as a whole are in
the high range. The aspects of considering the impact of the purchased product on the health
of the body and that ecolabel certification guarantee the product quality is in the very good
range, while the awareness aspect that ecolabel products are healthier, safer, and is the best
choice are in the good range. In this dimension, the lowest aspect is the awareness that
ecolabel products are the best choice for respondents and their families.

Table 4. Awareness of Environmental Issues

No. Statements Average


When buying a product, I consider the impact
1 3.618
of the product on the environment

2 Ecolabel products are environmentally friendly 4.27

3 Knowing that food products with ecolabel certification


have goals concerning aspects relating 4.145
to environmental elements

Ecolabel products are the best choice


4 3.99
for our environment

Total Average 4.006

For the dimension of awareness of environmental problems (table 4), the overall result
is in a good range. The survey results show that three indicators of this dimension are within
good range, those indicators are: respondents have considered the impact of these products
on the environment, awareness that ecolabel products are environmentally friendly
products, have goals concerning aspects related to environmental elements and awareness
that ecolabel products are the best products for the environment. In this dimension, the
lowest aspect is considering the impact of the purchased product on the environment.

92
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Table 5. Awareness of Farmer Welfare

No. Statements Average

1 Ecolabel products can improve the farmers welfare 3.954


When buying products I consider the impact
2 3.63
of the products on the farmers welfare

Total Average 3.795

On aspects relating to awareness of farmers' welfare (table 5), the survey results show
that they are at a good level. It indicates that the respondents have good awareness that
ecolabel products can improve the welfare of farmers' lives and they have also considered
the impact of purchased products on the farmers' welfare.

Table 6. Buying Intention

No. Statements Average

1 Interested in getting information about ecolabel products 4.054

2 Ecolabel products often draw attention when doing shopping 3.745

Certification is needed for all food products and food


3 ingredients that use the ecolabel concept (eg organic)? 4.09

Willingness to buy ecolabel products, even though


4 they are more expensive than regular products 3.527

5 Willingness buy ecolabel products in the next shopping 3.518

6 Willingness to recommend ecolabel products to other people 3.736

Total Average 3.778

The survey results (table 6) show that overall buying interest indicators are in a good
range. The highest aspect is interesting in obtaining information about ecolabel products and
certification of ecolabel products, while the lowest is in the aspect of willingness to buy
ecolabel products at a higher price.

93
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Table 7. Ecolabelled Product Campaign

No. Statements Average


The frequency of advertisements/information related to
1 2.8
ecolabelling in Indonesia

The appeal of the campaign/information related to


2 3.81
ecolabelling in Indonesia

The clarity of information on the ecolabelling campaign


3 2.972
in Indonesia

The information comprehensiveness (ecolabelling insights,


4 the benefits, and their impacts) of ecolabelling campaigns 2.981
in Indonesia?

Total Average 2.959

Regarding matters related to ecolabelled product campaigns (table 7), the overall
average is within the moderate range. The highest aspect is the presentation of an attractive
campaign that is within the good range, while the aspects of frequency of information, clarity
of information, and information comprehensiveness are in the moderate range.

Conclusion

1. The survey results show that in general awareness of ecolabel products has not yet
reached the most aware stage. It is interesting to note that the high score on
awareness in terms of health and environmental sustainability, while the issue of local
farmers' welfare has a lower score and the lowest in the awareness of the ecolabel
products itself. The survey also shows perceptions of high prices for ecolabel
products and a reluctance to pay more for these products. The survey also shows a
high score for the need for ecolabelled product certification and a low score for
campaign frequency.
2. These results indicate the existence of green myopia, where the public does not have
sufficient information to assess the true benefits of ecolabel products and requires
certification to ensure product quality therefore the higher prices are worth it.

Recommendation

1. From the results of the study, it can be seen that there is still room for educating the
public about ecolabel products by emphasizing the benefits that are more popular in
this case are health and environmental issues, as well as educating another aspect
namely the issue of local farmers' welfare which can be a motivation for making a
purchase.
2. For further research, it is recommended to conduct research on
restaurants/catering/canteens that provide healthy food menus, to get an idea of

94
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

whether business people already have good insights about ecolabel products. If not,
then the next step is to educate healthy restaurants/catering/canteens as well as
cooperate with business people to participate in educating their customers. By doing
this there will be 2 things that are expected to be done, namely: raising awareness that
ecolabel products can create added value to win the business competition, as well as
preparing the market to absorb organic products from small farmer communities in the
city of Bandung.

Bibliography

Adil, A. (2015). Pengaruh Pengetahuan Tentang Lingkungan, Sikap pada Lingkungan, dan
Norma Subjektif Terhadap Niat Pembelian Green Product. Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan,103, p. 122-128
Bram D. (2013). Produk Ekolabel Sebagai Informasi Perlindungan Konsumen dan
Lingkungan dalam Rezim Perdagangan Internasional. Law Review, 15(2), p. 119-
133.
D'Souza, C., Taghian, M. & Lamb, P. (2006). An empirical study on the influence of
environmental labels on consumers. Corporate Communications: An International
Journal, 11(2), 162-73.
D'Souza, C., Taghian, M., Lamb, P. &Peretiatkos, R. (2006). Green products and corporate
strategy: an empirical investigation. Society and Business Review, 1 (2), 144-57.
Dinu, V., Schileru, I., & Atanase, A. (2012). Attitude of Romanian Consumers Related to
Products' Ecological Labelling. Amfiteatru Economics, 14(31), p. 8-24.
Gunawan, T & Ferdhian, A. (2020). Green Strategy Perusahaan Plastik Dalam Menghadapi
Tantangan Lingkungan Dan Pemerintah. Jurnal Administrasi Bisnis, 16 (1), 57-69.
Gupta, M. and Syed, A.A. (2021), "Impact of online social media activities on marketing of
green products", International Journal of Organizational Analysis, Vol. ahead-of-print
No. ahead-of-print
Ha Thu Nguyen and Hieu Trung Lea (2020). The effect of agricultural product eco-labelling
on green purchase intention, Management Science Letters 10, 2813–2820
ISO. (2010). Focus. International Organization for Standardization. vol.1 no.5 (may).
Strategies on consumer purchasing patterns in Mauritius. World Journal of
Entrepreneurship, Management, and Sustainable Development, 8 (1), 36-59.
Kemenkes (2018). Menelisik Makna Makanan Berlabel Organik dan Natural. Retreieved
from https://promkes.kemkes.go.id/content/?p=8438 in January 2022
Leire, C. & Thidell, Å. (2005). Product-related environmental information to guide purchases
- a review and analysis of research on perceptions, understanding, and use among
Nordic consumers. Journal of Cleaner Production, 13, 1061-1070.
Kotler, P and K.K. Keller. Marketing Management Pearson Education 2016
Rashid, N. R. N. A. (2009). Awareness of ecolabel in Malaysia's Green Marketing Initiative.
International Journal of Business and Management, 4( 8), 132-141.

95
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

Rath, Ramesh dan Chandra. (2013). An impact of Green marketing on practices of supply
chain management in Asia Emerging Economic opportunities and challenges.
International journal of supply chain management, Vol: 2.
Rex, E. & Baumman, H. (2007). Beyond ecolabels: what green marketing can learn from
conventional marketing.Journal of Cleaner Production, 15, 567-576.
Sumarsono & Giyatno, Y. (2012). Analisis Sikap dan Pengetahuan Konsumen terhadap
Ecolabelling serta Pengaruhnya pada Keputusan Pembelian Produk Ramah
Lingkungan, Performance, 15(1),p. 70–85.
Schwartz, Eugene (2016). Breakthrough Advertising, Midwest Journal Press

96
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

97
BANDUNG FOOD SMART CITY
Developing a Sustainable
Urban Food Security System

98

Anda mungkin juga menyukai