Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KASUS CONGENITAL TALIPES

EQUINOVARUS (CTEV) DAN DEVELOPMENTAL DISCOLACTION OF THE HIP (DDH)

NAMA KELOMPOK :

1. Siti aisyah nur rohman 1130021019


2. Fendi khoirul amilin 1130021026
3. Lutfia nur anindhita 1130021035

Dosen Fasilitator :
Firdaus,S.Kep.,M.Kes.

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... 2


BAB I ........................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN...................................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................................... 6
1.4 Manfaat............................................................................................................................. 6
BAB II.......................................................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................................ 7
2.1 Pengertian CTEV & DDH................................................................................................ 7
2.2 Etiologi CTEV & DDH .................................................................................................... 8
2.3 Manifestasi klinis CTEV & DDH .................................................................................. 10
2.4 Patofisiologi CTEV & DDH ...........................................................................................11
2.5 Pathway CTEV & DDH ................................................................................................ 13
2.6 Pemeriksaan diagnostic CTEV & DDH ......................................................................... 15
2.7 Penatalaksanaan CTEV & DDH .................................................................................... 17
2.8 Askep teori CTEV .......................................................................................................... 20
BAB III ...................................................................................................................................................... 31
PENUTUP ................................................................................................................................................. 31
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 31
3.2 Saran ............................................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................... 32

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Talipes equinovarus (clubfoot) berasal dari kata Latin yaitu talus berarti
pergelangan kaki (ankle), pes berarti kaki, equinus berarti fleksi plantaris (horse-like),
dan varus berarti terbalik dan adduksi. Literatur medis untuk talipes equinovarus
diperkenalkan pertama kali oleh Hippocrates pada 400 SM, yang menyadari bahwa
clubfoot dapat terjadi kongenital dan bermanifestasi defek yang terisolasi saat lahir
tanpa adanya malformasi pada organ lain (80% kasus) sehingga mencetuskan konsep
istilah congenital talipes equino-varus (CTEV) idiopatik. Developmental displasia of
the Hip (DDH) adalah pertumbuhan abnormal dari panggul yang meliputi subluksasi
kaput femur, displasia asetabulum dan dislokasi kaput femur dari asetabulum. Pada
neonatus dengan DDH, kaput femur dapat mengalami dislokasi dan tereduksi secara
spontan kedalam asetabulum. Pada anak yang lebih dewasa, kaput femur akan
mengalami dislokasi menetap akibat perkembangan kaput femur dan asetabulum.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti apakah ketidakstabilan panggul pada DDH
muncul akibat dislokasi dan subluksasi kaput femur sehingga mempengaruhi
perkembangan asetabulum, atau akibat displasia asetabulum primer. Insiden dari
CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insiden CTEV sebesar 2 kasus
setiap 1000 kelahiran hidup. Lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki dengan
perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Lima puluh persen bersifat
bilateral. Insiden DDH diperkirakan sekitar 1 tiap 1000 kelahiran hidup. Secara
epidemiologi panggul kiri lebih sering mengalami DDH dibanding panggul kanan, dan
unilateral DDH lebih sering terjadi daripada bilateral. Bayi perempuan lebih sering
terkena dibandingkan bayi laki-laki, dengan rasio sekitar 7:1. Manfaat dari deteksi dini
DDH pada pasien CTEV dengan penggunaan USG adalah dapat mendeteksi terjadinya
DDH secara dini secara non invasif dan USG dapat dilakukan dengan cepat, dipercaya
hasilnya dan pemeriksaannya dapat diterima oleh pasien dan keluarganya. Dengan
deteksi dini DDH dapat diketahui dengan cepat dan diterapi. (Mhaskar & Maheshwari,
2015)

3
Congenital talipes equinovasrus (CTEV) umumnya berupa idiopatik namun dapat
dihubungkan dengan kondisi lain pada sekitar 20% kasus. Kondisi-kondisi yang paling
sering dihubungkan dengan CTEV ialah spina bifida (4,4% pada anak dengan CTEV),
palsi serebral (1,9%), dan artrogriposis (0,9%). Berdasarkan jenis kelamin CTEV lebih
sering dialami oleh laki-laki dibandingkan perempuan dan pada 50 kejadian merupakan
kasus yang terjadi bilateral. Insidensi CTEV ialah 1,2% per 1000 kelahiran hidup per
tahunnya. Terdapat keterlibatan genetik pada penderita CTEV, yaitu jika salah satu
orang tua memiliki CTEV maka risiko untuk memiliki keturunan yang memiliki CTEV
ialah 3-4%, dan jika kedua orang tua memiliki CTEV maka risiko pada keturunan
selanjutnya meningkat sebesar 30%. Jika satu anak memiliki CTEV, maka risiko
terjadinya CTEV pada keturunan selanjutnya meningkat sampai 20 kali. Suatu studi
prospektif selama 6 tahun, melaporkan hasil terapi DDH pada 1000 kelahiran. Tiga
ratus tujuh puluh panggul diketahui abnormal dari USG dan kemudian diterapi dengan
Pavlik harness, panggul (95,7%) diantaranya berhasil direduksi, 16 panggul
membutuhkan operasi. Dari semua panggul yang diterapi dengan Pavlik harness, hanya
satu (0,3%) yang timbul tanda osteonekrosis ringan. Persentase keberhasilan anak yang
diterapi dengan Pavlik harness selama awal bulan pertama kehidupan adalah 85-95%.
Studi yang dilakukan oleh Grill, dkk untuk European Paediatric Orthopaedic Society
mengevaluasi terapi Pavlik harness pada panggul dari pasien. Terdapat reduksi pada
92% dari 95% displasia panggul. Deformitas kaki pada neonatus dan developmental
displasia of hip (DDH) adalah dua buah kelainan ortopaedi pediatri yang cukup sering
ditemukan. Hingga saat ini, etiologi kedua kelainan tersebut masih belum diketahui
secara pasti. Namun, dalam kepustakaan dikatakan ada kemungkinan hubungan antara
deformitas tungkai bawah dengan risiko DDH. oot idiopatik. Hasilnya, insiden DDH
pada populasi
Namun terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi yang lahir kurang
sempurna karena mengalami kelainan bentuk anggota tubuh.Salah satu kelainan adalah
kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi yaitu kaki bengkok atau
CTEV(Congeintal Talipes Equino Varus). CTEV adalah deformitas yang meliputi
fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi
medial dari tibia (Schwartz, 2002). CTEV atau biasa disebut Clubfoot merupakan

4
istilah umum untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok
dari keadaan atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas
ankle disebut dengan talipes yang berasal dari kata talus (yang artinya ankle) dan pes
(yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankledipilah tergantung dari posisi a) Talipes
Varus :inversi atau membengkok ke dalam. b) Talipes Valgus: eversi atau membengkok
ke luar. c) Talipes Equinus: plantar fleksi dimana jari-jari lebih rendah daripada tumit.
d) Talipes Calcaneus: dorsofleksi dimana jari-jari lebih tinggi dari pada tumit. (Deriano,
2019)
Tatalaksana pasien CTEV bervariasi mulai dari non-operatif maupun operatif, yang
meliputi manipulasi ringan dan strapping, koreksi serial menggunakan casting,
manipulasi dengan alat-alat mekanik sampai koreksi secara operatif. Dewasa ini
umumnya bedah ortopedi sepakat bahwa terapi inisial untuk CTEV harus dimulai
dengan metode non-operatif sejak hari pertama kehidupan agar deformitas dapat
dengan mudah dikoreksi re-alignment, mendapatkan hasil fungsional yang baik, dan
mencegah terjadinya relaps. Mengingat bahwa defek ini memiliki keterlibatan genetik
dan memerlukan penanganan sedini mungkin maka penulis tertarik untuk menelusuri
lebih lanjut baik dari aspek pencegahan yang dapat dikaitkan pada marriage counseling,
maupun persiapan orang tua sejak masa prenatal, penanganan dini, dan rekonstruksi
operatif lanjut agar dapat menjamin quality of life (QoL) yang layak. Kegunaan teoritis
Dari keluaran studi ini maka bisa diketahui hubungan antara kejadian CTEV dengan
timbulnya DDH di kemudian hari, dan apakah skrining DDH diperlukan pada pasien
CTEV Kegunaan praktis Pelayanan terhadap pasien akan menjadi lebih baik, karena
dengan mengetahui keluaran studi ini akan dapat memberikan referensi yang
bermanfaat mengenai perlunya tindakan preventif pada pasien CTEV, sehingga dapat
mencegah timbulnya DDH di kemudian hari dan mengurangi beban yang harus
ditanggung pasien untuk tindakan kuratif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari CTEV dan DDH ?


2. Apa etiologi dari CTEV dan DDH ?
3. Bagaimana manifestasi klinis pada CTEV dan DDH ?

5
4. Apa patofisiologi dari CTEV dan DDH ?
5. Bagaimana Pathway dari CTEV dan DDH ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostic pada CTEV dan DDH ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan dari CTEV dan DDH ?
8. Jelaskan tentang bagaimana Askep teori pada CTEV dan DDH ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Apa pengertian dari CTEV dan DDH ?


2. Mengetahui Apa etiologi dari CTEV dan DDH ?
3. Menjelaskan Bagaimana manifestasi klinis pada CTEV dan DDH ?
4. Mengetahui Apa patofisiologi dari CTEV dan DDH ?
5. Menjelaskan Bagaimana Pathway dari CTEV dan DDH ?
6. Mengetahui Apa saja pemeriksaan diagnostic pada CTEV dan DDH ?
7. Menjelaskan Bagaimana Penatalaksanaan dari CTEV dan DDH ?
8. Jelaskan tentang bagaimana Askep teori pada CTEV dan DDH ?

1.4 Manfaat

1. Manfaat Toritis
Agar mahasiswa bisa mengetahui bagaimana cara penanganan kasus CTEV dan
DDH
2. Manfaat praktis
Sebagai pembelajaran di laboratorium diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat
dijadikan sebagai pedoman praktisi dalam melakukan pemeriksaan CTEV dan
DDH.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian CTEV & DDH

Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) adalah merupakan kelainan yang


dibawa sejak lahir (kongenital). CTEV adalah kelainan yang sering pula
disebut Club Foot. Kelainan ini meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari
tungkai, adduksi kaki depan dan rotasi media dari tibia. Talipes berasal dari
kata talus (Latin : Ankle) dan pes (Latin : Kaki) sedangkan Equino berarti seperti
kuda, Varus adalah bengkok ke dalam. CTEV merupakan suatu kombinasi
deformitas yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel
varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial
terhadap lutut . Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus dan sebagian
internal tibial torsion. Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana
talus (ankle), pes (foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda,
dan varus berarti inversidan adduksi (inverted and adducted. Deformitas CTEV
meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar, adduksi pada sendi
talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang diamati dari clubfoot
adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot varus.(Laloan &
Lengkong, 2020)
Displasia pinggul atau developmental dysplasia of the hip atau DDH adalah
kondisi ketika perkembangan tulang yang abnormal pada bayi menyebabkan ujung
tulang paha keluar atau bergeser dari posisi normalnya, sehingga tidak selaras
dengan tulang pinggul.Pada struktur sendi pinggul, tulang pinggul yang berbentuk
seperti rongga akan berhubungan dengan ujung tulang paha yang menyerupai bola.
Normalnya, ujung tulang paha tersambung secara sempurna di tulang
pinggul.Penderita DDH biasanya terlahir dengan ukuran rongga tulang pinggul
yang sempit, sehingga tidak cukup untuk mencakup seluruh ujung tulang paha.
Oleh karena rongga tulang pinggul yang terlalu longgar, maka tulang paha pun
menjadi mudah terlepas.Displasia pinggul bisa memengaruhi salah satu atau kedua
sisi pinggul, namun sebagian besar kasus terjadi pada pinggul kiri. Kondisi ini dapat

7
menyebabkan kerusakan pada tulang rawan yang berperan sebagai bantalan antara
tulang pinggul dan ujung tulang paha.(Belakang, 2002)

2.2 Etiologi CTEV & DDH

a. CTEV
Terdapat beberapa faktor yang telah disepakati sebagai penyebab terjadinya
CTEV, yaitu faktor mekanik intrauterin, defek neuromuskular, defek plasma
primer, perkembangan fetus yang terhambat, dan pola pewarisan poligenik.
Berdasarkan teori Hippocrates, CTEV disebabkan oleh adanya kompresi dalam
uterus (faktor mekanik) sehingga posisi kaki menjadi equinovarus. Parker dan
Browne menjelaskan bahwa adanya kondisi lain dalam uterus seperti
oligohidramnion dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan fetus. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa CTEV merupakan hasil defek neuromuskular,
namun penelitian lain menunjukkan tidak adanya gambaran abnormalitas pada
penemuan histologik neuromuskular. Irani dan Sherman melakukan diseksi 11
kaki pasien equinovarus dan 14 kaki normal dan menyatakan tidak terdapat
abnormalitas primer pada saraf, pembuluh darah, tendon, dan tempat insersi
otot-otot namun secara konstan abnormalitas ditemukan pada bagian anterior
talus. Talus yang undersized dan bagian anteriornya berotasi ke arah medial.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa deformitas mungkin berasal dari
defek germ plasma primer.
Terdapat dua dasar pengaruh perkembangan fetus yaitu lingkungan
intrauterin dan pengatuh lingkungan. Pada tahun 1863, Heuter dan Von
Volkman mengusulkan teori bahwa kehidupan embrionik awal yang terhambat
ialah penyebab abnormalitas perkembangan fetus dan menyebabkan CTEV.
Pengaruh lingkungan dalam hal ini pengaruh buruk akibat agen-agen
teratogenik pada lingkungan fetus dan selama perkembangan fetus telah
dijelaskan memiliki efek yang buruk seperti rubela dan thalidomide. Banyak
peneliti percaya bahwa CTEV dan keterhambatan perkembangan terjadi akibat
berbagai faktor-faktor lingkungan. Honein et al melaporkan bahwa paparan

8
rokok berhubungan dengan faktor kausa penyebab CTEV terlebih khusus pada
periode antenatal. Pada pola pewarisan poligenik, CTEV cenderung bersifat
familial. Penelitian oleh Davis mendukung teori poligenik ini dan menunjukkan
adanya pola pewarisan dari satu keturunan ke keturunan selanjutnya. Sekitar
2,9% saudara kandung per 1-2 juta penduduk memiliki deformitas yang sama,
dan memiliki risiko 25 kali untuk dialami oleh saudara kandung selanjutnya
juga.(Belakang, 2002)
b. DDH
Penyebab pasti pada kasus DDH belum dapat diketahui secara pasti namun
secara luas kasusDDH ini diyakini sebagai gangguan perkembangan pada
seorang anak. Hal ini karena DDHdapat terjadi pada saat kehamilan setelah
lahir bahkan selama masa kanak- kanak.Adapun faktor risiko sebagai berikut :
 Genetik  kelemahan ligament
 Lingkungan
o Intrauterin
Desakan : kembar,oligohidramnion
Desakan dapat mengakibatkan caput femur janin yang masih
belum terfiksasi dengan baik lepas dari acetabulum.
o Hormon : Relaksin
Relaksin merupakan hormon yang muncul saat partus untuk
melemaskan tulang panggul
o Partus :
Kesalahan dalam penolongan partus
Bayi dengan interpretasi bokong
o Pasca partus

9
- Kebiasaan membedung
Pembendungan dengan sangat erat sampai memebuat kaki
anak yang seharusnya fleksi menjadi ekstensi,membuat
timbulnya insiden DDH semakin tinggi.

2.3 Manifestasi klinis CTEV & DDH

a. CTEV
Deformitas biasanya terlihat jelas saat lahir; kedua kaki terputar ke dalam,
sehingga dalam kasus terburuk telapak kaki menghadap posteromedial.
Gambaran klinis telah diklasifikasikan oleh Pirani, sehingga tingkat
keparahannya dapat dinilai saat lahir dan kemajuan pengobatan dapat dipantau.
Ada 6 tanda klinis untuk mengukur keparahan dari tiap komponen deformitas.
Tiap komponen deformitas diukur 0 (normal), 0,5 (abnormal ringan), atau 1
(abnormal berat). pengkor, manuver ini ditemukan dengan berbagai tingkat

10
resistensi dan dalam kasus yang parah tampak deformitas. Bayi harus selalu
diperiksa untuk kelainan terkait seperti dislokasi pinggul bawaan dan spina
bifida. Tidak adanya lipatan mungkin menunjukkan adanya arthrogryposis;
perhatikan apakah sendi lain terpengaruh.
b. DDH
 Kaki bayi panjang sebelah
 Terdapat lipatan bokong dan paha yang asimetris&ipatan bokong dan
paha yang asimetris dapat menggambarkan kemungkinan terjadi DDH
pada bayi tetapi pemeriksaan penunjang seperti USG dan foto rontgen
tetap diperlukan untuk memastikan pinggul normal atau tidak.

 Kalau sudah berjalan jalannya tidak seimbang.


 Nyeri biasanya tidak terdapat pada bayi dan anak'anak dengan
displasia pinggul. Tapi rasa sakit adalah gejala yang paling umum dari
displasia pinggul selama masa remajaatau sebagai dewasa muda.

2.4 Patofisiologi CTEV & DDH

a. CTEV
Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
1. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibularb.
2. kurangnya jaringan kartilagenosa talus.
3. faktor neurogenic  telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia
pada kelompok otot peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan
karena adanya perubahan inervasi intrauterine karenpenyakit neurologis,

11
seperti stroke. Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada
35% bayi dengan spina bifida.
4. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligamen.Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan
kolagen yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan
struktur tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari
jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny
dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan
mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah
yang menyebaban kontraktur medial.
5. Anomali pada insersi tendonInclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV
dikarenakan adanya anomali pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak
didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikarenakan adanya distorsi pada
posisi anatomis CTEV yang membuat tampak terlihat adanya kelainan pada
insersi tendon.
6. Variasi iklimRobertson mencatat adanya hubungan antara perubahan
iklim dengan insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan
dengan adanya variasi yang serupa pada insiden kasus poliomielitis di
komunitas. CTEV dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal
poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor
neuron pada spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.
b. DDH
Kelainan skeletal pada DDH terdiri dari kelainan acetabulum, kepala femur,
leher femur, dan panggul. Morfologi acetabulum berbentuk khas seperti soket
dan bola pada embrio berubah menjadi dangkal saat lahir. Pada kebanyakan
kasus, acetabulum menjadi lebih dalam seiring bertambahnya usia dan
menutupi kepala femur. Namun demikian beberapa acetabula menjadi dangkal
dan bahkan mencembung. Selain itu, penebalan abnormal acetabulum,
anteversi acetabula membuat acetabulum tidak dapat menutupi kepala femur.
Acetabular index (AI) secara rutin digunakan untuk mengevaluasi cakupan
acetabulum terhadap kepala femur.Setelah dislokasi, epifisis kepala femur

12
dapat tumbuh perlahan dan menghasilkan kelainan anatomi seiring waktu.
Nekrosis aseptik kepala femur karena DDH tidak jarang terjadi.6Leher femur
menjadi tebal dan pendek pada anak dengan DDH. Hal ini mengakibatkan sudut
anteversi dan sudut leher femur mengalami perubahan, yang mengganggu
ruang spasial dan transmisi gaya antara acetabulum dan kepala femur. Oleh
karena itu, stimulus tekanan oleh tekanan kepala femur pada acetabulum
berkurang dan perkembangan panggul tertunda.Pada DDH unilateral, panggul
menjadi miring dan tulang belakang membentuk kurva kompensasi jika DDH
menyerang kedua sisi, pasien dapat menunjukkan gaya berjalan seperti
bergoyang (waddling gait), peningkatan lordosis lumbal, dan kifosis panggul.
Perubahan jaringan lunak juga dapat terjadi meliputi labrum glenoid, kapsul
artikular, ligamen, dan lemak. Jika terjadi dislokasi panggul, kapsul artikular
meregang dan menjadi longgar. Jika iliopsoas melewati bagian depan kapsul,
inversi labrum glenoid dan kapsul dapat menghalangi reduksi dislokasi.
Ligamentum teres menjadi memanjang dan hipertrofi pada sebagian besar
kasus, yang juga merupakan penghambat reduksi.(DEVELOPMENTAL
DISPLACEMENT OF THE HIP Ida Ayu Ratna Dewi Arrisna Artha, n.d.)

2.5 Pathway CTEV & DDH

a. Pathway CTEV

13
b. Pathway DDH

14
2.6 Pemeriksaan diagnostic CTEV & DDH

a. CTEV
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
ultrasonografi, xray, dan MRI. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan
pemeriksaan penunjang yang terbaik karena memiliki akurasi yang sebanding
dengan MRI dan dapat digunakan saat kehamilan mencapai umur 28 minggu.
Pemeriksaan ultrasonografi tidak dapat digunakan sebagai penentu derajat
keparahan CTEV tetapi dapat digunakan untuk melihat dan mengkonfirmasi
permukaan plantar pedis, tibia, dan fibula satu sisi pada pasien prenatal.
Pemeriksaan radiografi yang dilakukan secara tersimulasi pada daerah

15
weightbearing anteroposterior dan lateral dorsofleksi maksimum (Turco’s
view) dapat bermanfaat dalam menentukan waktu untuk dilakukannya operasi
pada anak . Pemeriksaan MRI dapat berguna dalam melihat adanya kelainan
CTEV pada fetus. Jika pasien dicurigai memiliki kelainan kompleks, MRI dapat
mendeteksi adanya anomali tambahan, seperti kelainan pada sistem neurologi.
Metode Pirani scoring dapat digunakan untuk menilai keparahan dan
menentukan penatalaksanaan selanjutnya pada kasus CTEV. Pirani scoring
biasanya digunakan untuk menentukan jumlah gips yang digunakan dalam
metode Ponseti. Jika skor lebih dari 4, jumlah gips yang diperlukan adalah 4.
Jika skor kurang dari 4, jumlah gips yang diperlukan kurang dari atau sama
dengan 3.(Artha, n.d.)

b. DDH
 USG  teknik pencitraan diagnostik yang menggunakan gelombang
suara frekuensitinggi dan komputer untuk membuat gambar pembuluh
darah jaringan dan organ.Digunakan untuk usia 9 bulan karena
penulangan belum sempurna (tulang masihdalam bentuk tulang rawan
jadi kalau diperiksa dengan rontgen hasilnya akanradioluscent.
 Rontgen (X-ray)  sebuah tes diagnostik yang menggunakan terlihat
balok energi elektromagnetik untuk menghasilkan gambar dari jaringan
internal tulang dan organke film. Digunakan untuk usia 6 bulan.
Digunakan untuk mendiagnosis dislokasidan selanjutnya untuk
pemantauan pengobatan.
 Computed Tomography Scan  sebuah prosedur pencitraan
diagnostik yang menggunakan kombinasi dari x-ray dan teknologi
komputer untuk menghasilkan gambar penampang (sering disebut iris)
secara horisontal dan vertikal dari tubuh. CT scan menunjukkan gambar
rinci dari setiap bagian tubuh termasuk tulang otot lemak dan organ. CT
scan lebih rinci dari pada umum X-ray.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)  sebuah prosedur diagnostik
yang menggunakan kombinasi magnet besar radio frequencies dan

16
komputer untuk menghasilkan gambar detil dari organ dan struktur
dalam tubuh.

2.7 Penatalaksanaan CTEV & DDH

a. CTEV
Metode Ponseti merupakan pilihan yang digunakan untuk bayi dengan CTEV
pada banyak senter di seluruh dunia karena metode ini merupakan terapi non
invasif. CTEV yang diterapi dengan metode Ponseti memiliki keluaran
mobilitas dan fungsional yang baik. Metode terapi ini diutamakan pada bayi
sampai usia 2 tahun koreksi masih dapat dicapai dengan modifikasi minor
menggunakan teknik terapi ini. Walaupun koreksi komplit tidak tercapai namun
setidaknya dapat membantu dalam mengurangi luas area operasi kelak dan
menurunkan komplikasi infeksi atau luka sesudah operasi. Sampai saat ini tidak
diketahui batasan usia maksimal untuk melakukan terapi ini.Keparahan
deformitas dievaluasi menggunakan klasifikasi Dimeglio pada presentasi klinis
awal. Sebelumnya diperlukan foto radiologik posisi anteroposterior (AP) kaki
dalam posisi abduksi dan posisi lateral kaki dalam posisi dorsifleksi maksimal
dan fleksi plantar. Terapi deformitas terdiri dari manipulasi ringan pada kaki
dan serial casting dengan maksimal 10 kali menggunakan long-leg cast setiap
minggunya. Selama masa ini, akan didapatkan hasil jelas jika tatalaksana non-
operatif akan berhasil atau tidak dan membutuhkan tatalaksana secara operatif.
Setelah selesai serial cast, dibutuhkan follow-up dengan pemeriksaan
radiologik kaki untuk melihat hasil koreksi. Jika koreksi telah dicapai, maka
dilakukan pemasangan tipe ortosis abduksi Dennis-Brown. Namun, jika pada
follow-up belum terlihat perubahan bermakna, maka perlu dilakukan tenotomi
tendon Achilles pada usia 6 sampai 12 bulan setelah lahir.

b. DDH
 Metode Pengobatan Tanpa Bedah
1. Penggunaan Pavlik Harness

17
Dirancang khusus untuk lembut posisi pinggul bayi sehingga pinggul
dapatsejajar dalam sendi dan untuk menjaga sendi panggul tetap aman
aman. Halini biasanya digunakan untuk mengobati bayi dari lahir
sampai usia enam bulan. ,arena hampir tidak mungkin untuk
mengamankan satu pinggul saja maka kedua pinggul perlu diposisikan
dengan menggunakan Palvik Harness,bahkan jika ada masalah dengan
hanya satu pinggul. Dengan memposisikan pinggul bayi sedemikian
rupa sehingga sendi pinggul sejajar dan stabil sehingga akan membantu
pertumbuhan dan pengembangan sendi panggul.Setelah pengobatan
menggunakan Pavlik Harness telah tepat dan berhasil belum ada laporan
mengenai kasus re'dislokasi. Namunada risiko perkembangan yang
lambat atau tidak lengkap dari acetabulum.inilah sebabnya mengapa x-
ray biasanya direkomendasikan untuk tindak lanjut bahkan ketika
Palvik Harness telah berhasil. Setelah x-ray normal makamungkin ada
kesempatan bahwa pinggul akan terus tumbuh normal.,ambuhnya
displasia sangat jarang setelah sukses penatalaksanaanmemanfaatkan
Pavlik Harness dan hasil x-ray yang normal pada usia > 1 bulan tetapi
kebanyakan dokter tetap menyarankan x-ray pada usia yang lebihtua
untuk mengetahui setiap acetabulum yang dangkal dan mungkin perlu
pengobatan untuk mencegah arthritis dini.

2. Hip Abduction Brace


Sebuah penyangga dapat digunakan pada bayi dengan DDH untuk
menahan panggul dalam posisi sejajar supaya sendi panggul dapat
tumbuh dengan normal. juga dapat disebut sebagai fixed-abduction
braces alat ini menahankaki tetap terpisah tetapi tidak fleksibel
seperti Palvik Harness. Pemilihan alat penahan untuk tatalaksana
DDH tergantung pada kebutuhan keluarga dan pengalaman dokter.
kebanyakan dokter menyarankan untuk pemakaian secara penuh
selama 6-12 minggu untuk semua alat. Namun beberapa dokter
membolehkan membuka alat penahan pada saat mandi dan

18
mengganti popok selama kaki bayi dapat dipertahankan dalam
posisi fleksi dan terpisah untuk menjaga caput femur dan
acetabulum dalam posisi yang sejajar. Setelah pinggul dalam
keadaan stabil penahan dikenakan paruh waktu biasanya dikenakan
pada saat malam hari selama 4-6minggu.
3. Traksi
Traksi lebih sering digunakan di Eropa dan Asia dari pada di
Amerika Serikat dan alasan untuk traksi dan manfaat traksi tetap
kontroversial. ,Kadang-kadang traksi digunakan dalam beberapa
minggu untuk meregangkan ligamen sebelummen coba operasi
seperti closed reduction. (Artha, n.d.)

19
2.8 Askep teori CTEV

A. PENGKAJIAN
 Pengkajian Awal
a. Pengumpulan Data
Identitas : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, Tgl. MRS,
diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling mengganggu ketidaknyamanan dalam
aktivitas atau yang mengganggu saat ini.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Px tidak bisa berlajan dengan sempurna karena terdapat kelainan pada
kaki depan (forefoot).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Px dengan penyakit C.T.E.V merupakan penyakit yang dibawa sejakl lahir.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Mengenai gambaran kesehatan keluarga adanya riwayat keturunan dari
orang tua.
f. Riwayat Psikososial
Siapa yang mengasuh Kx, bagaimana hubungan dengan keluarga, teman
sebaya.
g. Riwayat Kehamilan
Meliputi prenatal, natal dan post natal.
h. Riwayat Imunisasi
Meliputi imunisasi : BCG, DPT, Hepatitis dan Polio.
i. Riwayat Tumbuh Kembang
Pada klien C.T.E.V biasanya mengalami keterlambatan dalam berjalan.

 Pola-pola Fungsi Kesehatan


1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

20
Pola hidup orang atau klien yang menderita C.T.E.V dalam menjaga
kebersihan diri, perawatan dan tatalaksana hidup sehat sedikit mengalami
gangguan karena kondisi fisiknya.
2. Pola nutrisi dan metabolism
Tidak ada gangguan pada pola ini.
3. Pola eliminasi
Pola BAB dan BAK pada klien dengan C.T.E.V tidak mengalami
gangguan.
4. Pola istirahat dan tidur
Klien dengan CTEV pada pola ini tidak mengalami gangguan.
5. Pola aktifitas dan latihan
Klien biasanya mengalami keterbatasan aktivitas karena kelainan fisik
pada kaki depan (forefoot).
6. Pola persepsi dan konsep diri
Bagaimana persepsi Kx terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan
serta biasanya Kx menarik diri karena malu dengan penyakitnya.
7. Pola sensori dan kognitif
Mengenai pengtahuan Kx dan keluarga terhadap penyakit yang diderita
Px.
8. Pola reproduksi seksual
Apakah selama sakit terdapat gangguan / tidak yang berhubungan dengan
reproduksi sosial.
9. Pola hubungan dan peran
Biasanya klien dengan CTEV menarik diri karena keadaan penyakitnya
yang diderita.
10. Pola penanggulangan stress
Keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat hidup bagi klien.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Keluaga dan Kx selalu optimis dan berdoa agar penyakitnya dapat
sembuh.

21
 Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan
Tidak mengalami gangguan
2. Sistem kadiovaskuler
Tidak ditemukan adanya kelainan
3. Sistem neurologis
Tidak mengalami gangguan
4. Sistem gastrointestinal
Tidak mengalami gangguan
5. Sistem uronenital
Tidak mengalami kelainan / gangguan
6. Sistem musculoskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas karena bentuk kaki yang abnormal, adanya
keterlambayan berjalan.
 Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan DL
- Foto AP dan lateral femur sampai kaki

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut (Tim Pojka SLKI DPP PPNI, 2018a) Diagnosa keperawatan pada px
anak dengan CTEV adalah :
Pre Op
1. Disorganisasi Perilkau Bayi b.d Kelainan Genetik
2. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan struktur tulang, kekauan sendi
3. Ansietas b,d kekhawatira mengalami kegagalan dalam tindakan
pembedahan (operasi)
Post Op
1. Disorganisasi Perilaku Bayi b.d prosedur invasif
2. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (prosedur operasi)
3. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (luka operasi)
4. Gangguan intgritas kulit b.d penurunan mobilitas (pemasangan gips)

22
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut (Tim Pojka SLKI DPP PPNI, 2018b) dan (Tim Pojka SLKI DPP
PPNI, 2018b) Intervensi keperawatan yang didapatkan pasien anak pada
CTEV sebagai berikut:

No Diagnosa Tujuan & kriteria Intervensi


hasil
1. Disorganisasi Perilaku Bayi Organisasi Perilaku Perawatan Bayi
Kategori: Fisiologis Bayi Kode: I.10338
Subkategori: Aktivitas/istirahat Kode: L.05043 Definisi:
Kode: D.0053 Setelah dilakukan Mengidentifikasi dan
Definisi: asuhan keperawatan merawat kesehatan bayi.
Disintegrasi respon fisiologis 3x24 jam organisasi Tindakan:
dan neurobehaviour bayi perilaku bayi membaik Observasi:
terhadap lingkungan. dengan 1. Monitor tanda-tanda
Penyebab: Kriteria hasil: vital bayi (terutama
1. Keterbatasan lingkungan fisik 1. Gerakan pada suhu 36,5°C-
2 Ketidaktepatan sensori ekstermitas (5) 37,5°C)
3. Kelebihan stimulasi sensorik 2. Kemampuan jari-
4. Imaturitas sistem sensoris T jari menggenggam Terapeutik:
5. Prematuritas (5) 1. Mandikan bayi
6. Prosedur invasif 3. Gerakan dengan suhu ruangan
7. Malnutrisi terkoordinasi (5) 21-24 °C Mandikan
8. Gangguan motorik 4. Respon normal bayi dalam waktu 5-
9. Kelainan kongenital terhadap stimulus 10 menit dan 2 kali
10. Kelainan genetik sensorik (5) dalam sehari
11. Terpapar teratogenik 5. Menangis (5) 2. Rawat tali pusat
Gejala dan tanda mayor: 6. Mampu berespon secara terbuka (tali
Subjektif: kejang (5) pusat tidak
(tidak tersedia) 7. Iritabilitas (5) dibungkus apapun)
Objektif: 8. Refleks Tonus 3. Bersihkan pangkal
1. Hiperekstensi ekstermitas motorik (5) tali pusat lidi kapas
2. Jari-jari meregang atau tangan 9. Saturasi (5) yang telah diberi air
menggenggam 10. Gelisah (5) matang
3. Respon abnormal terhadap 11. Tremor (5) 4. Kenakan popok bayi
stimulus sensorik 12. Tersentak (5) di bawah umbilikus
4. Gerakan tidak terkoordinasi 13. Aritmia (5) jika tali pusat belum
Gejala dan tanda minor: 14. Bradikardi (5) terlepas
Subjektif: 15. Takikardi (5) 5. Lakukan pemijatan
(tidak tersedia) 16. Kemampuan bayi Ganti popok
Objektif: menyusu (5) bayi jika basah
1. Menangis 17. Warna kulit (5) 6. Kenakan pakaian
2. Tidak mampu menghambat Ket: bayi dari bahan katun
respon terkejut 1= memburuk Edukasi:
3. Iritabilitas

23
4. Gangguan refleks 2= cukup 1. Anjurkan ibu
5. Tonus motorik berubah memburuk menyusui sesuai
6. Tangan di wajah 3= sedang kebutuhan bayi -
7. Gelisah 4= cukup Ajarkan ibu cara
8. Tremor membaik merawat bayi di
9. Tersentak 5= membaik rumah
10. Aritmia 2. Ajarkan cara
11. Bradikardia atau takikardia pemberian makanan
12. Saturasi menurun pendamping ASI
13. Tidak mau menyusu pada bayi >6 bulan
14. Warna kulit berubah
2. Ansietas Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas
Kode: L.09093
Kategori: psikologis Kode: I.09314
Setelah dilakukan
Subkategori: Integritas Ego Tindakan:
asuhan keperawatan
Kode: D.0080
3x24 jam tingkat Observasi
Definisi:
ansietas menurun
Kondisi emosi dan pengalaman
dengan
subyektif terhadap objek yang 1. Identifikasi saat
Kriteria hasil:
tidak jelas dan spesifik akibat
antisipasi bahaya yang tingkat ansietas
1. Verbalisasi
memungkinkan individu berubah (mis.
melakukan tindakan untuk kebingungan
menghadapi ancaman. kondisi, waktu,
2. Verbalisasi
Penyebab: stresor)
1. Krisis situasional. khawatir akibat
2. Identifikasi
2. Kebutuhan tidak terpenuhi. kondisi yang
kemampuan
3. Krisis maturasional. dihadapi
mengambil
4. Ancaman terhadap konsep 3. Perilaku gelisah
keputusan
diri. 4. Perilaku tegang
3. Monitor tanda-tanda
5. Ancaman terhadap kematian. 5. Keluhan pusing
ansietas (verbal dan
6. Kekhawatiran mengalami 6. Anoreksia
nonverbal)
kegagalan. 7. Palpitasi
7. Disfungsi sistem keluarga. 8. Frekuensi Terapeutik
8. Hubungan orang tua-anak pemapasan
1. Ciptakan suasana
tidak memuaskan. 9. Frekuensi nadi
terapeutik untuk
9. Faktor keturunan 10. Tekanan darah
menumbuhkan
(temperamen mudah 11. Diaforesis
kepercayaan.
teragitasi sejak lahir) 12. Tremor

24
10. Penyalahgunaan zat. 13. Pucat 2. Temani pasien untuk
11. Terpapar bahaya lingkungan mengurangi
Keterangan :
(mis. toksin, polutan, dan kecemasan, jika
1 = Meningkat
lain-lain). memungkinkan
2 = Cukup Meningkat
12. Kurang terpapar informasi. Pahami situasi yang
3 = Sedang
membuat ansietas
4 = Cukup Menurun
Gejala dan Tanda Mayor. 3. Dengarkan dengan
5 = Menurun
Subjektif. penuh perhatian
1. Merasa bingung. 4. Gunakan pendekatan
14. Konsentrasi
2. Merasa khawatir dengan yang tenang dan
15. Pola tidur
akibat. meyakinkan
16. Perasaan
3. Sulit berkonsenstrasi. 5. Tempatkan barang
keberdayaan
pribadi yang
17. Kontak mata
Objektif. memberikan
18. Pola berkemih
1. Tampak gelisah. kenyamanan
Orientasi
2. Tampak tegang. 6. Motivasi
Keterangan :
3. Sulit tidur 1 = Memburuk mengidentifikasi
2 = Cukup Memburuk
situasi yang memicu
3 = Sedang
Gejala dan Tanda Minor. 4 = Cukup Membaik kecemasan
5 = Membaik
Subjektif. 7. Diskusikan
1. Mengeluh pusing. perencanaan realistis
2. Anoreksia. tentang peristiwa
3. Palpitasi. yang akan datang
4. Merasa tidak berdaya.
Edukasi

Objektif. 1. Jelaskan prosedur,


1. Frekuensi napas meningkat. termasuk sensasi
2. Frekuensi nadi meningkat. yang mungkin
3. Tekanan darah meningkat. dialami
4. Diaforesis. 2. Informasikan secara
5. Tremos. faktual mengenal

25
6. Muka tampak pucat. diagnosis,
7. Suara bergetar. pengobatan, dan
8. Kontak mata buruk. prognosis
9. Sering berkemih. 3. Anjurkan keluarga
Berorientasi pada masa lalu. untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
4. Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi
ketegangan
7. Latih penggunaan
mekanisme
pertahanan diri yang
tepat
8. Latih teknik relaksasi

Kolaborasi

1. Pemberian obat
antiansietas, jika
perlu
3. Nyeri akut Tingkat nyeri Manajemen nyeri
Kategori: psikologis Kode: L.08066 Kode: I.08238
Subkategori: nyeri dan Setelah dilakukan Definisi:
kenyamanan asuhan keperawatan Mengidentifikasi dan
Kode: D.0077 3x24 jam tingkat nyeri mengelola pengalaman
Definisi: menurun dengan sensorik atau emosional

26
Pengalaman sensorik atau Kriteria hasil: yang berkaitan dengan
emosional yang berkaitan dengan 1. Kemampuan kerusakan jaringan atau
kerusakan jaringan aktual atau menuntaskan fungsional dengan onset
fungsional, dengan onset aktivitas (5) endadak atau terlambat
mendadak atau lamat dan Ket: berntensts ringan hnga
berintensitas ringan hingga berat 1= menurun berat dan konstan
yang berlangsung kurang 3 2= cukup menurun Tindakan:
bulan. 3= sedang Observasi:
Penyebab: 4= cukup 1. Identifikasi lokasi,
1. Agen pencedera fisiologis meningkat karakteristik, durasi,
(mis. infarmasi, lakemia, 5= meningkat frekuensi, kualitas,
neoplasma) 2. Keluhan nyeri (5) intensitas nyeri.
2. Agen pencedera kimiawi 3. Meringis (5) 2. Identifikasi skala
(mis. terbakar, bahan kimia 4. Sikap protektif (5) nyeri.
iritan) 5. Gelisah (5) 3. Identifikasi respon
3. Agen pencedera fisik 6. Kesulitan tidur (5) nyeri non verbal
(mis.abses, amputasi, 7. Menarik diri (5) 4. Identifikasi faktor
terbakar, terpotong, 8. Berfokus pada diri yang memperberat
mengangkat berat, prosedur sendiri (5) dan meringankan
operasi, trauma, latihan fisik 9. Diaforesis (5) nyeri.
berlebihan) 10. Perasaan depresi 5. Identifikasi
Gejala dan tanda mayor: (tertekan) (5) pengetahuan dan
Subjektif: 11. Perasaan takut keyakinan tentang
1. Mengeluh nyeri mengalami cedera nyeri.
Objektif: berulang (5) 6. Identifikasi pengaruh
1. Tampak meringis 12. Anoreksia (5) budaya terhadap
2. Bersikap protektif (mis. 13. Perineum terasa respon nyeri.
waspada, posisi menghindari tertekan (5) 7. Identifikasi
nyeri) 14. Uterus terasa pengaruh nyeri
3. Gelisah membulat (5) pada kualitas hidup.
4. Frekuensi nadi meningkat 15. Ketegangan otot 8. Monitor keberhasilan
5. Sulit tidur (5) terapi
Gejala dan tanda minor: 16. Pupil dilatasi (5) komplementer yang
Subjektif: 17. Muntah (5) sudah diberikan.
(tidak tersedia) 18. Mual(5) 9. Monitor efek
Objektif: Ket: samping penggunaan
1. Tekanan darah meningkat 1= meningkat analgetik
2. Pola napas berubah 2= cukup Terapeutik:
3. Nafsu makan berubah meningkat 1. Berikan teknik
4. Proses berpikir terganggu 3= sedang nonfarmakologis
5. Menarik diri 4= cukup menurun untuk mengurangi
6. Berfokus pada diri sendiri 5= menurun rasa nyeri (mis.
7. Diaforesis 19. Frekuensi nadi (5) TENS, hipnosis,
Kondisi klinis terkait: 20. Pola napas (5) akupresur, dll)
1. Kondisi pembedahan 21. Tekanan darah (5) 2. Kontrol lingkungan
2. Cedera traumatis 22. Proses berpikir (5) yang memperberat

27
3. Infeksi 23. Fokus (5) rasa nyeri (mis. Suhu
4. Sindrom koroner akut 24. Fungsi berkemih ruangan,
5. Glaukoma (5) pencahayaan,
25. Perilaku (5) kebisingan)
26. Nafsu makan (5) 3. Fasilitasi istirahat
27. Pola tidur (5) dan tidur
Ket: 4. Pertimbangkan jenis
1= memburuk dan sumber nyeri
2= cukup dalam pemilihan
memburuk strategi meredakan
3= sedang nyeri
4= cukup membaik Edukasi:
5= membaik 1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secar mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborsi pemberian
analgetik, jika perlu
4. Gangguan integritas Integritas kulit dan Perawatan integritas
kulit/jaringan jaringan kulit
Kategori: Lingkungan Kode: L.14125 Kode: I.11353
Subkategori: Keamanan dan Setelah dilakukan Definisi:
Proteksi asuhan keperawatan Mengidentifikasi dan
Kode: D.0129 3x24 jam integritas merawat kulit pasien
Definisi: kulit dan jaringan untuk menjaga
Kerusakan kulit (dermis dan/atau meningkat dengan keutuhan, kelembaban,
epidermis) atau jaringan Kriteria hasil: dan mencegah
(membrane mukosa, kornea, 1. Elastisitas (5) perkembangan
fasia, otot, tendon, tulang, 2. Hidrasi (5) mikroorganisme.
kartilago, kapsul sendi dan /atau 3. Perfusi jaringan Tindakan:
ligamen (5) Observasi:
Penyebab: Ket: 1. Identifikasi
1. Perubahan sirkulasi 1= menurun penyebab gangguan
integritas kulit

28
2. Perubahan status nutrisi 2= cukup (mis: perubahan
(kelebihan atau kekurangan) menurun sirkulasi, perubahan
3. Kelebihan/kekurangan 3= sedang status nutrisi,
volume cairan 4= cukup penurunan
4. Penuruna mobilitas meningkat kelembaban, suhu
5. Bahan kimia iritatif 5= meningkat lingkungan ekstrim,
6. Suhu lingkungan yang 4. Kerusakan penurunan
ekstrem jaringan (5) mobilitas)
7. Faktor mekanis (mis. 5. Kerusakan lapisan Terapeutik:
penekanan pada tonjolan kulit (5) 1. Ubah posisi setiap 2
tulang, gesekan) 6. Nyeri (5) jam jika tirah baring
8. Efek samping terapi radiasi 7. Perdarahan (5) 2. Lakukan pemijatan
9. Kelembaban 8. Kemerahan (5) pada area
10. Proses penuaan 9. Hematoma (5) penonjolan tulang,
11. Neuropati perifer 10. Pigmentasi jika perlu
12. Perubahan pigmentasi abnormal (5) 3. Bersihkan perineal
13. Perubahan hormonal 11. Jaringan parut (5) dengan air hangat,
14. Kurang terpapar informasi 12. Nekrosis (5) terutama selama
tentang upaya 13. Abrasi kornea (5) periode diare
mempertahankan/melindungi Ket: 4. Gunakan produk
integritas jaringan 1= meningkat berbahan petroleum
Gejala dan tanda mayor: 2= cukup atau minyak pada
Subjektif: meningkat kulit kering
(tidak tersedia) 3= sedang 5. Gunakan produk
Objektif: 4= cukup berbahan
1. Kerusakan jaringan dan/atau menurun ringan/alami dan
lapisan 5= menurun hipoalergik pada
kulit 14. Suhu kulit (5) kulit sensitive
Gejala dan tanda minor: 15. Sensasi (5) 6. Hindari produk
Subjektif: 16. Tekstur (5) berbahan dasar
(tidak tersedia) 17. Pertumbuhan alkohol pada kulit
Objektif: rambut (5) kering
1. Nyeri Ket: Edukasi:
2. Perdarahan 1= memburuk 1. Anjurkan
3. Kemerahan 2= cukup menggunakan
4. Hermatoma memburuk pelembab (mis:
Kondisi klinis terkait: 3= sedang lotion, serum)
1. mobilisasi 4= cukup 2. Anjurkan minum
2. Gagal jantung kongestif membaik air yang cukup
3. Gagal ginjal 5= membaik 3. Anjurkan
4. Diabetes mellitus meningkatkan
5. Imunodefisiensi (mis.AIDS) asupan nutrisi
4. Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur

29
5. Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrim
6. Anjurkan
menggunakan tabir
surya SPF minimal
30 saat berada
diluar rumah
7. Anjurkan mandi
dan menggunakan
sabun secukupnya

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Dalam Implementasi keperawatan hal yang dilakukan adalah mengolah dan
mewujudkan dari rencana tindakan keperawatan, meliputi tindakan yang telah
direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter edngan ketentuan
rumah sakit. (Nasrul Effendy, 1995)

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi Keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan dilakuan dengan cara melibatkan
pasien dan sesama tenaga kesehatan. (Nasrul Effendy, 1995)

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot


merupakanistilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum
dimana kaki berubahdari posisi normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV
adalah deformitas yangmeliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai,
adduksi dari kaki depan, dan rotasimedia dari tibia (Priciples of Surgery, Schwartz).
Displasia pinggul atau developmental dysplasia of the hip atau DDH adalah
kondisi ketika perkembangan tulang yang abnormal pada bayi menyebabkan ujung
tulang paha keluar atau bergeser dari posisi normalnya, sehingga tidak selaras
dengan tulang pinggul.Pada struktur sendi pinggul, tulang pinggul yang berbentuk
seperti rongga akan berhubungan dengan ujung tulang paha yang menyerupai bola.

3.2 Saran

Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan kepada para pembaca khususnya


padaorang tua, jika mempunyai bayi baru lahir, sebaiknya memperhatikan kondisii
bayinya, bilaorang tua malihat ketidaksesuain bentuk dari kedua kaki bayi segeralah
meminta konfirmasipada petugas medis tentang keadaan kaki bayi. Bila ternyata
ada kelainan sebaiknya segeraberobat ke dokter spesialis orthopedic untuk
mendapatkan pengobatan sedini mungkin karenapengobatan CTEV ini secara
bertahap dan berkelanjutan sehingga harus sabar dan rutinkontrol serta mematuhi
anjuran dokter agar tercapai hasil yang optimal.

31
DAFTAR PUSTAKA

Artha, D. D. O. T. H. I. A. R. D. A. (n.d.). Congenital Talipes Equinovarus ( CTEV ) : Sebuah


Tinjauan Pustaka. 3, 1–8.

Belakang, A. L. (2002). No Title. 1–4.

Deriano, B. (2019). Diagnosis Dini Displasia Panggul. Cermin Dunia Kedokteran, 46(11), 647–
651.

DEVELOPMENTAL DISPLACEMENT OF THE HIP Ida Ayu Ratna Dewi Arrisna Artha. (n.d.).

Laloan, R. J., & Lengkong, A. C. (2020). Congenital Talipes Equinovarus ( CTEV ). 8(28), 211–
221.

Mhaskar, V., & Maheshwari, J. (2015). Congenital Talipes Equino Varus (CTEV). Essential
Orthopaedics (Including Clinical Methods), 210–210.
https://doi.org/10.5005/jp/books/12526_26

Tim Pojka SLKI DPP PPNI. (2018a). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) (Edisi
1).

Tim Pojka SLKI DPP PPNI. (2018b). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) (Edisi
1).

Marlyn. E. Doenges. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC. Jakarta, 2000.
MC. Kay. D.W : Neor Concept and Approach To Club Foot Treatment Section I,
Prinaples And Morbid Anatomy. J. Red Orthapedic 3 : 3447, 1982

Pedoman Diagnosis dan Terapi, LAB / UPF Ilmu Bedah, RSUD. Dr. Soetomo,
1994.
Artha, D. D. O. T. H. I. A. R. D. A. (n.d.). Congenital Talipes Equinovarus ( CTEV ) : Sebuah
Tinjauan Pustaka. 3, 1–8.

Belakang, A. L. (2002). No Title. 1–4.

Deriano, B. (2019). Diagnosis Dini Displasia Panggul. Cermin Dunia Kedokteran, 46(11), 647–
651.

DEVELOPMENTAL DISPLACEMENT OF THE HIP Ida Ayu Ratna

32
Dewi Arrisna Artha. (n.d.).

Laloan, R. J., & Lengkong, A. C. (2020). Congenital Talipes


Equinovarus ( CTEV ). 8(28), 211–221.

Mhaskar, V., & Maheshwari, J. (2015). Congenital Talipes Equino


Varus (CTEV). Essential Orthopaedics (Including Clinical
Methods), 210–210. https://doi.org/10.5005/jp/books/12526_26

Tim Pojka SLKI DPP PPNI. (2018a). Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia (SDKI) (Edisi 1).

Tim Pojka SLKI DPP PPNI. (2018b). Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia (SIKI) (Edisi 1).

33

Anda mungkin juga menyukai