Anda di halaman 1dari 9

1

Kelompok 3 Pemikiran Hadis Kontemporer:


Raihan Al Ghifari (2131030046)
Ricky Afriyan (2131030020)

PEMIKIRAN HADIS AHMAD AMIN

A. Pendahuluan
Hadits atau sunnah merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, di
dalamnya memuat pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan segala hal ihwal tentang
Nabi Muhammad SAW. Kajian hadis di dunia Islam secara umum dapat dikatakan
masih sangat minim jika dibandingkan dengan kajian Islam dalam bidang pemikiran
tafsir al-Qur‟an, fikih maupun filsafat.
Hadis pada satu sisi menempati ruang pemikiran umat Islam yang demikian
penting, sebagaimana hadis merupakan sumber ajaran Islam sesudah al-Qur'an yang
menjadi pedoman bagi umat Islam. Namun, disisi lain, hadis memiliki banyak problem
yang perlu dikaji. Sebagai suatu disiplin ilmu, hadis mempunyai objek sentral dalam
pengkajiannya yaitu otentisitas suatu hadis. Yang membutuhkan penelusuran sanad dan
matan, untuk mengetahui status hadis tersebut. Apalagi ilmu ini sangat penting,
dengannya seorang faqih dapat memberikan fatwa, seorang mufassir dapat menjelaskan
maksud dari kandungan ayat-ayat al-Qur'an, begitu juga seorang muhaddits dapat
menjelaskan apa yang terkandung dalam ajaran-ajaran yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW. 1
Dalam Proses pembukuan hadits yang berlangsung lama dan jauh setelah
wafatnya Nabi juga menjadi salah satu sebab menjadi rentan untuk dikritik. Salah
satunya dari segi sanad, hadis berpeluang untuk dikritik dengan cara mengetahui
apakah perawi hadis itu termasuk orang yang adil, atau sesuai dengan kriteria yang
dibuat oleh para ahli hadis. Apakah hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung

1
Candra Helmi (dkk). Kritik Mustafa Al-Siba’i terhadap Ahmad Amin Tentang Keabsahan Hadis.
Bertuah : Journal of Shariah and Islamic Economics. Vol. 2 No. 2, Oktober 2021. hlm 44

1
2

sampai kepada Nabi SAW atau tidak. Dari segi matan hadis tersebut sesuai atau
sebaliknya bertentangan dengan hukum al-Qur’an. 2
Namun demikian, begitu banyak bukti sejarah tentang upaya menjaga
kemurnian sunnah, tetapi ada saja yang mempertanyakan otentisitasnya. Dalam tulisan
ini, Penulis akan memaparkan pemikiran dari seorang tokoh asal Mesir yaitu Ahmad
Amin, terkait pemikiran kritisnya terhadap keabsahan dan eksistensi hadis sebagai
salah satu sumber penting dalam pembentukan hukum Islam.

B. Biografi Ahmad Amin


Ahmad Amin adalah seorang cendikiawan modern, pemikir, sejarawan dan
penulis dari Mesir. 3 Nama lengkapnya adalah Ahmad Amin bin Ibrahim at-Thabbakh.
Beliau Lahir di Kairo, Mesir pada tanggal 2 Muharram 1304 H. atau bertepatan dengan
1 Oktober 1886 M. dan wafat pada tanggal 30 Ramadhan 1373 H. bertepatan dengan
30 Mei 1954.4 Ia terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara dalam lingkungan
keluarga terdidik dengan disiplin yang kuat. Sejak kecil ahmad amin belajar dan
memperoleh ilmu pengetahuan dirumah dari Ayah nya, Rumah kediaman keluarga
Ahmad Amin dijadikan seperti perpustakaan yang dilengkapi dengan kitab-kitab dalam
banyak ilmu, Selain mendapatkan ilmu pendidikan dilingkungan keluarga, ia juga
belajar diluar untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Ahmad Amin menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas al-Azhar
Kairo fakultas Syariah jurusan al-qadha’ al-syar’i (Peradilan Agama), dan langsung
mengajar di Universitas Al-Azhar sampai dengan tahun 1921. Setelah mengabdi di
almamaternya, ia pindah ke kota kelahirannya Kairo dan mengajar di Universitas Kairo,
Karena keuletan beliau dalam mengajar dan berpartisipasi dalam hal apapun di fakultas
akhirnya beliau diangkat menjadi dekan, Ahmad Amin mendapat gelar doktor Honoris
Causa di Universitas Al-Azhar Kairo. 5
Ahmad Amin termasuk penulis yang produktif, bahkan ia dinobatkan sebagai ketua
Komite Pengarang, Penerjemah dan Penerbitan. 6 Ahmad Amin menghasilkan beberapa

2
Nurmahni, “Ahmad Amin: Kritik Dan Pemikirannya Tentang Hadis,” Jurnal Khatulistiwa – Journal Of
Islamic Studies 1 (Maret 2011): 79.
3
Atho’illah Umar, Ahmad Amin Perspective of As-Sunnah, Dinamika Vol.3, No.2,Desember 2018. 157
4
Nurmahni, Ahmad Amin: Kritik Dan Pemikirannya Tentang Hadis, Jurnal Khatulistiwa Journal of
Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, 1 Maret 2011. Hlm. 80
5
Atho’illah Umar, Ahmad Amin Perspective of As-Sunnah, Dinamika Vol. 3, No.2,Desember 2018.159
6
Candra Helmi (dkk). Kritik Mustafa Al-Siba’i terhadap Ahmad Amin Tentang Keabsahan Hadis.
Bertuah : Journal of Shariah and Islamic Economics. Vol. 2 No. 2, Oktober 2021. hlm 48

2
3

karya di bidang pemikiran, sastra, sejarah dan kebudayaan Islam. Diantara karya
Ahmad Amin yaitu: Fajr al-Islam , Dhuha al-Islam, Zuhr al-Islam, Yaum al-Islam
Mabadi’ al-Falsafah, al-Akhlaq dan masih banyak lagi karya lainnya. 7

C. Pemikiran Hadis Ahmad Amin


Menurut Ahmad Amin, Sunnah atau Hadits adalah segala sesuatu yang datang
dari Rasul Saw. berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan (Rasul) . Ini juga meliputi
segala sesuatu yang disandarkan dari para Sahabat. Amin menyimpulkan apapun yang
diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya disebut Hadis. 8 Dari
pernyataan ini, Ahmad Amin tidak membedakan antara Hadis dan Sunnah.
Hadis memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam, selama masa Nabi Saw.
Ahmad Amīn memaparkan pendapatnya sebagai berikut “Di dalam ajaran agama, hadis
itu mempunyai nilai tinggi sesudah Al-Qur'an”9 Pernyataan Amīn ini menunjukkan
perhatiannya terhadap hadis. Bahkan dia menempatkan hadis pada posisi yang tinggi
dalam ajaran agama. Menurut Amin, Hadis mempunyai dua peranan terpenting. Yang
pertama, Hadis mempunyai peran strategis sebagai penjelas dari al-Qur’an. kedua,
adalah posisinya sebagai sumber syariat kedua setelah al-Qur’an.10
Menurut Ahmad Amin, “Pada masa Nabi Saw. hadis belum dibukukan
sebagaimana al-Qur’an, dan Nabi Saw. Hanya mengangkat beberapa penulis wahyu
untuk mencatat ayat-ayat al-Qur’an pada waktu turunnya, beliau tidak menentukan
seseorang untuk mencatat apa-apa yang beliau katakan selain al-Qur’an.” Dari
pernyataan ini Amīn menyebutkan alasannya, bahwa Rasulullah Saw. tidak
mengangkat penulis yang menulis apa-apa yang diucapkan (hadis) selain al-Qur’an.
Menurutnya, pembukuan hadis pada masa itu belum populer, dan belum ada aturan-
aturan tertentu seperti pada pembukuan al-Qur’an. Oleh karena itu, setelah Nabi Saw.
wafat hanya ada satu kitab yang telah dibukukan, yaitu al-Qur’an, sedang hadis masih
belum dibukukan, kebanyakan ia diriwayatkan dari ingatan dan tidak dari buku atau
catatan.11

7
Ilham Ramadan (dkk.), Kritik Sejarah Terhadap Hadis Menurut Ahmad Amin Analisis Terhadap Kitab
Fajr al-Islam, Journal of Hadith Studies, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2017, hlm. 52.
8
Amin, ahmad. Fajr al-Islām, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1975. h.208
9
Amin, ahmad. Fajr al-Islām, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1975. h.208
10
Bustamin. Kritik Hadis: Pemikiran Kritis Aḥmad Amīn , Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat
Vol. VI, No. 2, 2004. h.146
11
Bustamin. Kritik Hadis: Pemikiran Kritis Aḥmad Amīn , Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat
Vol. VI, No. 2, 2004. h.147

3
4

Ahmad Amin Berpendapat “Bahwa karena tidak adanya kegiatan tulis-menulis


hadis pada masa awal Islam, maka hal tersebut adalah merupakan suatu kelemahan
tersendiri bagi hadis, karena pada dasarnya periwayatan hadis hanya dilakukan dengan
cara verbal, dan ingatan merupakan faktor kunci dari sebuah penjagaan periwayatan.
Lebih lanjut Ahmad Amin juga berpendapat bahwa sangatlah sulit untuk merekam
semua yang dilakukan dan diucapkan Nabi selama 23 tahun di dalam ingatan, serta
tidak adanya catatan resmi mengenai hadis yang kepadanya dapat dijadikan rujukan
verifikasi terhadap informasi yang disandarkan kepada Nabi, maka sangatlah
memungkinkan bagi sebagian orang untuk meriwayatkan hadis dengan jalan dusta.” 12
Pernyataan ini merupakan pemikiran kritik Amīn. Isinya menegaskan bahwa
pembukuan hadis belum populer pada masa Rasulullah Saw, juga belum ada aturan
yang dijadikan patokan seperti yang berlaku pada pembukuan al-Qur’an. Bahkan,
periwayatan hadis kebanyakan menggunakan metode ingatan dan tidak dengan
pencatatan. Dengan demikian, Amīn mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa
pada masa Nabi Saw., hadis sudah ada yang ditulis dan bahkan sebagian sahabat
mempunyai catatan hadis. Menurut Amīn, pendapat tersebut tidak berdasar.

a. Periwayatan Hadits
Menurut Ahmad Amin tidak ada satupun hadist yang dikodifikasi pada masa
Rasulullah Saw Sebab, menurut sejarah, pada masa Rasulullah SAW itu hanya
konsentrasi mengumpulkan Al-Qur'an dan melarang para sahabatnya menuliskan hadis
karena takut tertukar dengan Al-Qur'an , yang sedang dalam proses pengumpulan
walaupun tidak secara massif.
Amin mengakui, pada masa Rasulullah terdapat banyak sahifah (kumpulan atau
catatan hadis) milik beberapa sahabat Namun bukan berarti Hadis dikodifikasi pada
saat itu13, sebaliknya proses Tadwin terhadap Hadis belum direncanakan sama sekali.
Bahkan setelah Rasulullah SAW wafat, periwayatan hadis tersebut masih bersifat lisan
dan hanya berdasarkan hafalan para perawi hadis. malahan beberapa sahabat ada yang
tidak suka dengan banyaknya periwayatan hadis (seperti Abu bakar, Umar,dan Ali)

12
Ilham Ramadan (dkk.), Kritik Sejarah Terhadap Hadis Menurut Ahmad Amin Analisis Terhadap Kitab
Fajr al-Islam, Journal of Hadith Studies, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2017, h. 56
13
Dalam yaum al-Islam, Ahmad Amin lebih dekat dengan pendapat mayoritas ulama hadis. Ia
mengatakan’ (sungguh hadis pada masa Rasulullah sudah mulai terkodifikasi – meski sedikit – dan
pada masa-masa setelah beliau wafat, kodifikasi hadis sudah dilakukan secara massif. Lihat : Ahmad
Amin, Yaum al-Islam, (Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, t.t), hal. 13

4
5

karena mereka khawatir akan dimanfaatkan oleh upaya pemalsuan atau mengganggu
konsentrasi mereka dalam gerakan pengumpulan al-Qur’an14
Namun permasalahan umat Islam semakin hari semakin kompleks dan
jumlahnya semakin bertambah. Dari sini, mereka menganggap perlunya hadis sebagai
sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Penulisan hadis dilakukan secara individual dan
kolektif oleh umat Islam untuk memenuhi kebutuhan akan sumber syariah kedua
setelah Al-Quran, karena hanya mengandalkan hafalan saja tidak cukup, bagi umat
Islam pada saat itu, membutuhkan mass storage selain otak manusia yang memberikan
space lebih banyak untuk menyimpan hadis Nabi Saw. Sebenarnya para khalifah awal
Islam sering berunding melakukan negosiasi kodifikasi Sunnah, namun kodifikasi Al-
Qur'an diutamakan pada saat itu, sehingga niat tidak pernah tercapai. Niat mereka
baru bisa direalisasikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah satu khalifah Dinasti
Bani Umayyah yang terkenal dengan kesalehan dan religiusitasnya.
Kodifikasi hadis yang dimulai pada akhir abad ke-1, berlanjut dari tahun ke
tahun dan abad ke abad, dan pada abad ke-3 kodifikasi hadis, khususnya kitab-kitab
hadis primer sudah terkumpul secara sempurna dan mulai dilakukan penggandaan
naskah. Konsentrasi ulama hadis saat itu adalah Sanad. Tidak ada satupun kitab hadis
yang tidak menyebutkan Sanad secara lengkap. Prinsip sahihnya hadis pada masa itu
ditentukan oleh shahihnya Sanad. Umumnya jika sanadnya shahih, maka hadisnya juga
harus shahih.
Penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kelemahan para ahli hadis klasik
adalah mereka tidak menaruh perhatian pada kritik Matan. Hal ini dikarenakan mereka
menghabiskan tenaganya untuk melakukan penelitian Sanad yang memakan banyak
waktu. Pada saat itu, pertanyaan-pertanyaan mengenai Matan tidak pernah muncul,
seperti apa jadinya jika Hadits Matan bertentangan dengan fakta sejarah yang
diketahui atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an atau adanya matan
hadis yang mengandung ancaman hukuman yang super berat terhadap pelanggaran
yang sepele15
Secara historis, pada abad ke-1, tidak ditemukan satupun kitab berisi kumpulan
hadits. Justru, kitab hadis pertama yang ditulis adalah kitab berjudul al-Muwatta karya
Imam Malik, murid al-Zuri, pada awal abad ke-2. Imam Malik menulis al-Muwatta

14
Ahmad Amin, Fajr al- Islam, 208-210
15
Ahmad Amin, Yaum al-Islam 14-15

5
6

atas saran Abu Ja'far al-Mansur, khalifah yang mengikuti gagasan Umar bin Abdul
Aziz. Khalifah Harun al-Rashid juga pernah meminta Malik pada tahun untuk
menyetujui niatnya untuk menggantung al-Muwatta di dinding Ka'bah sebagai
pedoman amalan seluruh umat Islam.Imam Malik menolak dengan alasan akan
mencederai kebebasan mereka dalam bermazhab16

b. Pemalsuan Hadits
Ahmad Amin menganggap tidak adanya proses pengumpulan hadis pada masa
Rasulullah atau awal masa khilafah menjadi penyebab banyaknya tindakan pemalsuan
hadis. Bahkan menurutnya pemalsuan hadis mulai ada sejak zaman Rasulullah SAW,
kehadiran hadis mengancam neraka bagi para pemalsu hadis 17,merupakan indikasi kuat
adanya upaya pemalsuan hadis pada masa Nabi, dan setelah wafatnya, upaya pemalsuan
menjadi mudah dan sering terjadi18
Pandangan ini telah menuai banyak kritik dari ulama. Salah satunya adalah yang
dikemukakan oleh Dr. Mustafa al-Siba’I bahwa pendapat ini justru melupakan fakta
sejarah dan sedikitpun tidak menoleh kepada asbabul wurud hadis ancaman pemalsuan
hadis ini. Tidak satupun riwayat yang menjadi asbabul wurud hadis ini menyebutkan
adanya peristiwa pemalsuan perkataan Nabi yang dilakukan oleh sahabat, sebab
sahabat adalah sebuah komunitas yang telah dijamin ke-’adalah-an nya oleh Allah dan
Rasul-Nya menurut pendapat maoritas ulama’. Terkait banyaknya hadist ancaman bagi
pendusta itu al-Sibai berpendapat, perlu dipahami bahwa Nabi SAW mengucapkan hal
tersebut karena beliau terbuka dibukakan ilmu Allah sehingga dapat meramalkan
kondisi umat Islam setelah kematiannya. Rasulullah mengetahui bahwa setelah
kematiannya, umatnya akan menyebar ke belahan dunia dan pasti akan banyak orang
dari berbagai suku dan ras yang akan masuk Islam.
Hal ini akan berdampak pada perlindungan sunnah itu sendiri, karena
permasalahan menjadi rumit, masyarakat terpecah belah, tidak bisa menghindari hidup
dalam suasana politik dan masing-masing kelompok saling bersaing untuk saling
menguntungkan. Situasi ini telah dibaca sejak lama oleh Rasulullah SAW. Dengan
begitu bahwa hadits ancaman bagi pendusta tidak menunjukkan ada atau banyak nya
pendusta di masa Rasulullah Saw. Dengan logika sederhana Rasulullah SAW adalah

16
Ahmad Amin, Fajr al- Islam, 221-222
17
Fu’ad Abd al-Baqi (tahq.) dalam Sunan Ibnu Majah, jil.1 (Kairo: Isa al-baby al-halabi, t.t), 13
18
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 211.

6
7

sosok yang dicintai, sangat dijunjung tinggi, sangat disegani oleh banyak sahabatnya,
mereka rela berkorban untuknya, hidup mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan
kehormatan dan kemuliaan saudara.
Hal ini sungguh tidak bisa diterima oleh logika siapapun jika salah satu (atau
bahkan beberapa) diantara para sahabat berani mengarang (memalsukan) perkataan
Rasulullah. Para sahabat adalah orang-orang pilihan yang kecintaannya kepada
Rasulullah tidak terbantahkan, mereka melindungi Rasulullah dengan sepenuh hati,
tidak hanya melindunginya dari serangan orang-orang kafir, mereka juga menjaga
perasaannya agar tidak menerima jika ada orang menghina mereka, namun
kenyataannya Nabi SAW selalu berpesan kepada para sahabatnya untuk selalu
bersabar, mereka siap rela mengorbankan segalanya, harta benda dan nyawanya demi
cintanya kepada Nabi SAW, bahkan mereka sudah siap untuk pergi dari halaman desa
mereka, orang-orang yang mereka cintai dan mata pencaharian mereka. 19 Menjaga
sunnah juga merupakan wujud rasa cinta padanya dan ketaatan yang tiada tara. Jika
apa yang dikatakan Ahmad Amin benar maka sahabat pembohong bukan lagi sahabat,
karena sahabat Nabi SAW tidak pernah berdusta.20
Imam Muhammad bin Shihab al-Zuhri adalah contoh yang menjadi
pendukung utama hadis Nabi. Beliau adalah gudang hadis. mengumpulkan sekitar
2000 hadits yang diperoleh dari ratusan ulama seperti Salim bin Abdullah bin Umar,
Ali bin al-Husain bin Ali, Said bin al-Musayyib dan lainnya. Salah satu muridnya,
Imam Malik, berkata: Imam al-Zuhri tidak ada tandingannya di dunia ini, jika berada
di Madinah, maka ulama tidak akan berani membacakan hadis sebelum beliau
meninggalkan Madinah21

D. Kesimpulan
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegelisahan Ahmad Amin terhadap
Sunnah membuktikan bahwa ia adalah seorang sejarawan kontemporer yang
memandang otentitas Sunnah dari aspek sejarah. Beberapa pandangannya terhadap
Sunnah ternyata bermacam-macam, ada yang sejalan dengan prinsip-prinsip ulum al-
hadith seperti tentang kehujjahan Sunnah, aspek kewahyuan Sunnah, atau kritik sanad.

19
M. Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabla al-tadwin, cet-3 (Beirut : Dar al-fikr, 1980), 190-191
20
Ibnu Katsir berkata : Sahabat semuanya adil menurut Ahlussunnah wal jamaah. Lihat : Al-Hafiz Ismail
Ibnu Kathir, Ikhtisar Ulum al-hadith, tahq: A.Shakir (Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyah, t.t), 182
21
M. Hasan Syurrab, al-Imam al-Zuhri Alim al-Hijaz, (Damaskus : Dar al-qalam, 1993), hal. 5

7
8

Namun ada pula yang tidak sejalan dengan para ahli hadis seperti pandangan miringnya
terhadap Sahabat, mengkategorikan kaum munafiq dan pendusta dalam komunitas
Sahabat.

8
9

DAFTAR PUSTAKA

Atho’illah Umar, Ahmad Amin Perspective of As-Sunnah, Dinamika Vol.3, No.2 ,Desember
2018.

Bustamin. Kritik Hadis: Pemikiran Kritis Aḥmad Amīn , Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan
Filsafat Vol. VI, No. 2, 2004

Candra Helmi (dkk). Kritik Mustafa Al-Siba’i terhadap Ahmad Amin Tentang Keabsahan
Hadis. Bertuah : Journal of Shariah and Islamic Economics. Vol. 2 No. 2, Oktober 2021.

Fu’ad Abd al-Baqi (tahq.) dalam Sunan Ibnu Majah, jil.1 (Kairo: Isa al-baby al-halabi, t.t),

Ilham Ramadan (dkk.), Kritik Sejarah Terhadap Hadis Menurut Ahmad Amin Analisis
Terhadap Kitab Fajr al-Islam, Journal of Hadith Studies, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2017

M. Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabla al-tadwin, cet-3 (Beirut : Dar al-fikr, 1980),

M. Hasan Syurrab, al-Imam al-Zuhri Alim al-Hijaz, (Damaskus : Dar al-qalam, 1993),

Nurmahni, Ahmad Amin: Kritik Dan Pemikirannya Tentang Hadis, Jurnal Khatulistiwa
Journal of Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, 1 Maret 2011.

Anda mungkin juga menyukai