Anda di halaman 1dari 3

Nama : Cindy Putri Ghinaya

NPM/Kelas : 180110220005 (A)


Mata Kuliah : Pengantar Leksikografi
Dosen Pengampu : Dr. H. Agus Nero Sofyan, M. Hum.

Mbah Bungkus, Tokoh Pemersatu Budaya Jawa dan Sunda di Pangandaran

Sosok Mbah Bungkus sang penyebar agama Islam di Pangandaran bukan hanya
dikenal dengan kesaktiannya. Dia pun dikenal sebagai pemersatu budaya Jawa dan Sunda.
Budayawan Pangandaran Erik Krisna Yudha menceritakan tentang sosok Mbah Bungkus
yang lekat sebagai pemersatu dua kebudayaan berbeda di Pangandaran. "Sampai saat ini
makamnya masih kokoh dan dibangun rumah di atasnya," kata Erik belum lama ini.

Menurutnya, sampai tahun ini peziarah tetap ramai mendatangi makam Mbah
Bungkus di Desa Wonoharjo, Kecamatan Pangandaran, apalagi pada Selasa Kliwon dan
Jumat Kliwon setiap minggunya. "Di balik terkenal sebagai penyebar agama Islam, dia juga
pemersatu akulturasi budaya Jawa dan Sunda di Pangandaran," kata Erik.

Sebagaimana diketahui, warga Pangandaran memiliki 2 bahasa yang digunakan untuk


komunikasi sehari-hari, ada yang campur Sunda dan Jaw, adapun yang masih lekat memakai
bahasa Jawa. "Namun pembagian daerah yang memakai bahasa Jawa dapat dicirikan dari
wilayahnya di antaranya, Kecamatan Mangunjaya, Padaherang, Kalipucang dan
Pangandaran, kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan Jateng. Tak menutup
kemungkinan daerah lain pun ada pengguna bahasa Jawa," katanya.

Menurutnya Mbah Bungkus memiliki nama Wonodiwiryo yang merupakan keturunan


Mbah Wonodiksomo III, yaitu cucu dari Tumenggung Wonoyudo, seorang abdi dalem
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Mbah Bungkus atau Wonodiwiryo berasal dari Desa
Tlogodepok, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Kedatangan Mbah Bungkus ke Pangandaran bukan sebuah kesengajaan, namun tugas


besar yang diperintahkan Bupati Cilacap dan Bupati Sukapura. Erik mengatakan Mbah
Bungkus ke Pangandaran berawal dari kisah persahabatan Kanjeng Bupati Sukapura dengan
Kanjeng Bupati Cilacap. "Saat itu Bupati Sukapura mengeluh kepada Kanjeng Bupati
Cilacap bahwa daerah barat Sungai Citanduy yang dekat dengan pantai bisa dimanfaatkan.

1
Namun lokasi yang saat ini Pangandaran sangat angker," kata Erik. Sehingga saat itu Bupati
Cilacap menyarankan orang pintar yang dapat membuka wilayah angker Pangandaran.
"Bupati Cilacap kemudian memohon bantuan kepada Bupati Kebumen untuk mengirimkan
utusan yang sakti buat membuka lahan hutan tersebut," katanya.

Akhirnya, Bupati Kebumen mengutus putra dari Mbah Wonodiksomo III dari Desa
Tlogodepok, yang akrab disebut Mbah Bungkus. Bupati Kebumen meminta langsung
Wonodiwiryo kepada ayahnya, Mbah Wonodiksomo III, untuk dikirim ke daerah yang
disebut angker oleh Bupati Sukapura. Setelah mendapat restu ayahnya, Wonodiwiryo
berangkat ke seberang Sungai Citanduy yang berdekatan dengan Pantai Pangandaran.

"Wonodiwiryo atau Mbah Bungkus mulai membuka hutan belantara dengan alat
seadanya dan berhasil merobohkan salah satu pohon yang dianggap angker hanya dengan
cara digigit," ucapnya. Ia mengatakan ranting pohon yang berada di sekelilingnya langsung
kering dan dijadikan bahan kayu bakar. Setelah itu, hutan yang telah dibuka dimanfaatkan
oleh penduduk serta didatangi para pendatang dari barat dan timur, dari suku Sunda dan Jawa
yang kemudian hidup berdampingan di lokasi tersebut.

Setelah hutan belantara tersebut menjadi perkampungan, Mbah Bungkus akhirnya


menyiarkan ajaran agama Islam kepada warga yang ada di perkampungan tersebut hingga
akhirnya menjadi ramai. "Pertama kali beliau memasuki Pangandaran pada 1920-an dan
beliau wafatnya tahun 1927," ucapnya. Sebagai penghormatan kepada sang penyebar agama
Islam, Mbah Bungkus dibuatkan makam di daerah Wonoharjo yang sekarang di samping
jalan raya Pangandaran-Cijulang.

Akulturasi Budaya Melalui Seni

Erik mengatakan ada peran Mbah Bungkus menyatukan warga Pangandaran yang
memiliki dua kebudayaan berbeda dengan hidup rukun dan damai. "Tidak semuanya satu
kecamatan memakai bahasa Jawa, tapi bahasa Sunda pun banyak," kata dia.

Bahkan, menurut Erik, kesenian daerah yang populer di Pangandaran sampai saat ini
sering pentas di acara hajatan atau pemerintahan masih ada yang berasal dari Jawa Tengah.
"Salah satu contohnya, kesenian kuda lumping, kentongan, wayang golek, wayang kulit dan
sintren masih tetap eksis," ucapnya. Selain itu, Erik menyebutkan di acara kesenian daerah
atau pentas seni daerah kesenian kuda lumping (Ebeg) yang berasal dari Ponorogo dan

2
berkembang di Jawa Tengah dikolaborasikan di Pangandaran. "Sampai saat ini
penggemarnya tetap banyak," kata dia.

Kata dia, di Pangandaran kesenian yang menampilkan atraksi magis ini sangat
digemari dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, di Pangandaran ada akulturasi budaya
dengan tarian kuda lumping. "Aksi yang paling disukai seperti kesurupan dan kekebalan,"
katanya.

Referensi
Fadilah, A. N. (2024). Mbah Bungkus, Tokoh Pemersatu Budaya Jawa dan Sunda di

Pangandaran. Detik.com. Diakses pada 18 Maret 2024, dari

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7239022/mbah-bungkus-tokoh-pemersatu-

budaya-jawa-dan-sunda-di-pangandaran

Anda mungkin juga menyukai