Diantara kata yang memiliki keterkaitan erat dengan mitos adalah kata
khurafat. Menurut wikipedia khurafat/khu·ra·fat/ adalah : Dongeng (ajaran dan
sebagainya) yang tidak masuk akal; takhayul.
Sedangkan definisi lain yang disebutkan dalam beberapa literatur arab tentang
khurofat dinyatakan :
الخرافة هي االعتقاد أو الفكرة القائمة على مجرد تخيالت دون وجود سبب عقلي أو منطقي
مبني على العلم والمعرفة
“Khurofat adalah ideologi atau cara berfikir yang dibangun di atas takhayul
semata, tanpa disertai adanya sebab yang masuk di akal, atau penalaran yang
bertumpu pada ilmu dan pengetahuan.”
(Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Lil I’jazil Ilmi : 303)
Cerita khurafat ini menyebar luas di tengah kaum muslimin sejak dahulu hingga
kini. Bahkan tidak ada satu komunitas pun melainkan beredar di sana cerita-
cerita khurafat, cerita tersebut sebagiannya benar dari satu sisi, namun
mayoritasnya hanya cerita bohong, dusta dan tidak bisa dipertanggung
jawabkan kebenarannya.
َو اَل َتْقُف َم ا َلْيَس َلَك ِبِه ِع ْلٌم ۚ ِإَّن الَّس ْمَع َو اْلَبَص َر َو اْلُفَؤاَد ُك ُّل ُأوَٰل ِئَك َك اَن َع ْنُه َم ْس ُئواًل
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isra’ : 36).
Demikian pula komunitas pendaki gunung, terdapat banyak sekali cerita
khurafat yang muncul dan berkembang di tengah-tengah mereka. Kita pun
harus selektif tidak asal mempercayai cerita yang berkembang karena masing-
masing kita akan dimintai pertanggung jawaban kelak akan aqidah, ideologi
dan keyakinan kita.
Sebagai seorang muslim kita haruslah beraqidahkan yang benar. Jika tidak
maka kita terancam oleh ayat tersebut di atas. Pula aqidah yang benar itulah
satu-satunya yang bermanfaat kelak di akhirat, Allah berfirman :
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(QS Asy-Syu’ara : 88-89)
Keyakinan ini adalah keyakinan sesat, keliru sekaligus tidak memberi manfaat
apa-apa kecuali hanya mencetak generasi penakut. Ruh dari orang yang telah
meninggal dunia tidak akan bisa kembali ke dunia sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an :
َح َّتى ِإَذ ا َج اَء َأَح َد ُهُم اْلَم ْو ُت َقاَل َر ِّب اْر ِج ُعوِن َلَع ِّلي َأْع َم ُل َص اِلًحا ِفيَم ا َتَر ْك ُت َك ال ِإَّنَها َك ِلَم ٌة ُهَو
َقاِئُلَها َو ِم ْن َو َر اِئِهْم َبْر َز ٌخ ِإَلى َيْو ِم ُيْبَع ُثوَن
“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata,
“Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku beramal shalih terhadap
yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan
yang diucapkan saja. Dan dihadapan mereka ada barzakh (pembatas) sampai
hari mereka dibangkitkan.”
(QS Al-Mukminun : 99-100)
2) Merasa Sial Jika Jumlah Ganjil atau Pakai Warna Merah
Anggapan sial terhadap angka ganjil, tatkala rombongan pendaki berjumlah
ganjil maka diyakini hal tersebut akan membawa sial. Merasa sial dengan
dengan warna tertentu, merasa sial dengan angka 13 atau kejadian tertentu.
Padahal secara nalar dan syariat hal-hal tersebut tidak berkaitan dengan
kejadian ataupun kesialan. Ia murni kesimpulan jahil dari orang-orang yang
jauh dari aqidah Islam yang lurus.
Fenomena ini disebut oleh para ulama sebagai Tathayyur atau merasa sial
karena melihat, mendengar atau menyaksikan hal tertentu. Imam Ibnu
Utsaimin menyatakan :
زمانًا، أو مسموعًا، التشاؤم بمعلوم مرئّيًا كان: وقيل، أو مسموع، وهي التشاؤم بمرئي
وال ُيسمع ؛ كالتطير بالزمان، وهذا أشمل ؛ فيشمل ما ال ُيرى، كان أو مكانًا.
“Tathayyur adalah merasa sial dengan suatu hal yang dilihat atau yang
didengar. Dikatakan pula (dalam definisi lain) merasa sial dengan sesuatu
informasi baik yang bisa dilihat atau yang didengar, berupa waktu ataupun
tempat. Definisi ini lebih lengkap karena mencakup segala hal yang dilihat, atau
didengar seperti merasa sial dengan waktu tertentu.”
(Al-Qaulul Mufid Ala Kitabit Tauhid : 2/39).
Tathayyur ini merupakan sesuatu yang terlarang dalam agama Islam bahkan ia
merupakan bagian dari kesyirikan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َو َلِكَّن َهللا ُيْذ ِهُبُه ِبالَّتَو ُّك ِل، َو َم ا ِم َّنا ِإَّال، َالِّطَيَر ُة ِش ْر ٌك، َالِّطَيَر ُة ِش ْر ٌك، َالِّطَيَر ُة ِش ْر ٌك
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti
(pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah
menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”
(HR Bukhari dalam Adabul Mufrad : 909).
أن كل من اعتمد على سبب لم يجعله الشارع سببا ال بوحيه وال بقدره فإنه مشرك
“Setiap orang yang bersandar kepada sebab, padahal syariat tidak
menjadikannya sebagai sebuah sebab, tidak dengan wahyu maupun qadari
maka orang tadi telah berbuat syirik.”
(Al-Qaulul Mufid Ala Kitabit Tauhid : 2/93).
والطيرة هي الفعل المرتب على الظن السيء, التطير هو الظن السيء الذي في القلب
“Tathayyur adalah perasaan sial yang ada di dalam hati, sedangkan Thiyarah
adalah perbuatan yang menjadi efek langsung dari keberadaan perasaan sial.”
(Aunul Ma’bud 10/406).
َأْن: َيا َر ُسْو َل ِهللا َم ا َك َّفاَر ُة َذ ِلَك ؟ َقاَل: َقاُلْو ا، َم ْن َر َّد ْتُه الِّطَيَر ُة ِم ْن َح اَج ٍة َفَقْد َأْش َر َك
َالَّلُهَّم َال َخ ْيَر ِإَّال َخ ْيُرَك َو َال َطْيَر ِإَّال َطْيُرَك َو َال ِإَلَه َغْيُرَك: َيُقْو َل َأَح ُدُهْم
Tapi ada satu kondisi dimana kita dituntut untuk berhati-hati, sebisa mungkin
tidak mengganggu hewan di malam hari karena ada kemungkinan hewan
tersebut merupakan jelmaan dari bangsa jin. Sehingga kita bisa mendapatkan
gangguan balik dari mereka sebagai bentuk balas dendam.
Pemuda ini lantas menendang anjing tadi sembari memakinya. Lalu terjadilah
apa yang telah terjadi.
Ia mendapatkan gangguan jin dari jelmaan anjing yang ia tendang secara zalim.
Sampai kemudian diruqyah oleh Syaikh Muhammad Ash-Shayyim.
(Lihat kisah selengkapnya pada kitab Hiwar Ma’as Syatahin versi Indonesia
Dialog dengan jin Kafir : 141-142 oleh Syaikh Muhammad Ash-Shayyim).
Kejadian yang mirip dengan itu disebutkan pula oleh Syaikh Wahid Abdussalam
Bali di dalam kitab Wiqayatul Insan Minal Jin Was Syayathin : 96-99.
Tentu hal ini merusak lingkungan dan yang lebih parah adalah merusak aqidah
kita sebagai seorang muslim. Padahal selama buang air dilakukan dengan baik,
selaras dengan syariat Islam dan tidak melanggar aturan di dalam agama.
Maka tidak mengapa buang air kecil di tanah gunung sebagaimana di tanah
biasa. Berikut beberapa larangan agama berkaitan dengan buang air kecil :
-صلى هللا عليه وسلم- ِفى َس َفٍر َو َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا-صلى هللا عليه وسلم- َخ َر ْج َنا َم َع َر ُسوِل ِهَّللا
َال َيْأِتى اْلَبَر اَز َح َّتى َيَتَغَّيَب َفَال ُيَر ى.
َس ْتُر َم ا َبْيَن َأْع ُيِن اْلِج ِّن َو َع ْو َر اِت َبِنى آَد َم ِإَذ ا َد َخ َل َأَح ُدُهُم اْلَخ َالَء َأْن َيُقوَل ِبْس ِم ِهَّللا
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang
di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.
(HR. Tirmidzi : 606 dan dishahihkan Al-Albani)
َو َال َتْس َتْد ِبُروَها َو َلِكْن َش ِّر ُقوا َأْو َغ ِّر ُبوا،ِإَذ ا َأَتْيُتُم الَغ اِئَط َفَال َتْسَتْقِبُلوا الِقْبَلَة
َو َك اَن اآلَخ ُر َيْم ِش ي ِبالَّنِم يَم ِة، َك اَن َأَح ُدُهَم ا َال َيْس َتِتُر ِم ْن َبْو ِلِه، َبَلى، َو َم ا ُيَعَّذ َباِن ِفي َك ِبيٍر، ُيَعَّذ َباِن
“Mereka berdua disiksa. Mereka tidak disiksa untuk perkara yang berat
ditinggalkan, namun itu perkara besar.
Yang pertama disiksa karena tidak hati-hati ketika kencing, yang kedua disiksa
karena suka menyebarkan adu domba.”
(HR. Bukhari : 216).
Apabila adab-adab ini kita amalkan maka kita bisa melakukan aktifitas buang
air kecil/besar dengan aman, damai, sentausa tak kurang suatu apa dan tidak
ada hal yang perlu untuk kita risaukan insya’Allah.
6) Injak bumi tiga kali atau nuwun sewu Mbah
Ketika melewati tempat angker atau masuk gunung, sebagian orang ada yang
mengatakan, “Mbah aku wedi, tolong lindungi aku (mbah yang dimaksud
adalah penjaga tempat angker-, aku takut, tolong lindungi aku)”. Ketika itu
karena saking ketakutan apalagi melihat cerita-cerita orang akan seramnya
tempat tersebut, akhirnya keluar kata-kata semacam tadi. Hati pun bukan
bergantung pada Allah lagi, namun berpaling pada selain Allah, makhluk yang
dijadikan tempat berlindung. Padahal Islam mengajarkan bahwa meminta
perlindungan disertai dengan bergantungnya hati hanya boleh ditujukan
kepada Allah semata, tidak boleh pada selain-Nya. Jika hati berpaling pada
selain-Nya, maka seseorang terjatuh dalam perbuatan syirik. Wal ‘iyadzu billah.
Yang diajarkan dalam Islam adalah ketika kita mampir di suatu tempat,
mintalah perlindungan pada Allah. Kholwah binti Hakim As Sulamiyyah berkata
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َلْم َيُضُّر ُه. َم ْن َنَز َل َم ْنِز ًال ُثَّم َقاَل َأُع وُذ ِبَك ِلَم اِت ِهَّللا الَّتاَّم اِت ِم ْن َش ِّر َم ا َخ َلَق
َش ْى ٌء َح َّتى َيْر َتِح َل ِم ْن َم ْنِزِلِه َذ ِلَك
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat lantas ia mengucapkan “a’udzu bi
kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq” (Aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang
diciptakanNya)”, maka tidak ada sama sekali yang dapat memudhorotkannya
sampai ia berpindah dari tempat tersebut” (HR. Muslim no. 2708).
ِإْذ َع َر ْض ُت َنْفِس ي َع َلى اْبِن، َو َك اَن َأَشَّد َم ا َلِقيُت ِم ْنُهْم َيْو َم الَع َقَبِة، َلَقْد َلِقيُت ِم ْن َقْو ِمِك َم ا َلِقيُت
َفَلْم َأْسَتِفْق، َفاْنَطَلْقُت َو َأَنا َم ْهُم وٌم َع َلى َو ْج ِهي، َفَلْم ُيِج ْبِني ِإَلى َم ا َأَر ْد ُت، َع ْبِد َياِليَل ْبِن َع ْبِد ُك َالٍل
، َفَنَظْر ُت َفِإَذ ا ِفيَها ِج ْبِر يُل، َفِإَذ ا َأَنا ِبَسَح اَبٍة َقْد َأَظَّلْتِني،ِإاَّل َو َأَنا ِبَقْر ِن الَّثَع اِلِب َفَر َفْع ُت َر ْأِس ي
َو َقْد َبَع َث ِإَلْيَك َم َلَك الِج َباِل ِلَتْأُمَرُه، َو َم ا َر ُّد وا َع َلْيَك، ِإَّن َهَّللا َقْد َسِمَع َقْو َل َقْو ِم َك َلَك: َفَناَداِني َفَقاَل
ِإْن ِش ْئَت، َذ ِلَك ِفيَم ا ِش ْئَت، َفَقاَل، َيا ُمَحَّم ُد: ُثَّم َقاَل، َفَناَداِني َم َلُك الِج َباِل َفَس َّلَم َع َلَّي، ِبَم ا ِش ْئَت ِفيِهْم
َبْل َأْر ُجو َأْن ُيْخ ِر َج ُهَّللا ِم ْن: َأْن ُأْطِبَق َع َلْيِهُم اَألْخ َش َبْيِن ؟ َفَقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم
َال ُيْش ِر ُك ِبِه َشْيًئا،َأْص َالِبِهْم َم ْن َيْعُبُد َهَّللا َو ْح َد ُه
Beliau ﷺmenjawab :
“Aku telah mengalami gangguan dari kaum-mu. Peristiwa yang paling berat
kulalui adalah pada hari ‘Aqabah. Aku mendatangi Ibnu ‘Abdi Yaalail bin Abdi
Kulal (untuk mendakwahinya), namun ia tidak menyambutku kepada apa yang
aku kehendaki.
Akupun pergi dalam keadaan sangat sedih yang nampak di wajahku. Aku dalam
kondisi tidak sadar hingga aku baru sadar ketika telah sampai di Qarn Ats-
Tsa’âlib. Aku mengangkat kepalaku, dan tiba-tiba terlihat awan yang
menaungiku.
Aku amati, dan muncullah Jibril di awan tersebut, lalu iapun berseru:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan penolakan kaummu
kepadamu. Dan sungguh Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung
kepadamu untuk siap engkau perintah’ dengan apa yang engkau kehendaki
berkaitan dengan kaummu”.
Maka Nabi berkata, “Bahkan aku berharap agar Allah mengeluarkan dari
keturunan mereka orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak
berbuat kesyirikan kepadaNya sama sekali”
(HR Muslim no. 4629)
8) Tanjakan cinta
Barangsiapa mendaki satu lokasi tanjakan yang terletak setelah melewati
danau Ranu Kumbolo di lereng Gunung Semeru. Ia mendakinya sampai ke
puncak tanpa menoleh ke belakang maka akan didekatkan jodohnya. Ini adalah
termasuk cerita khurafat, mengada-ada dan meruntuhkan daya nalar para
pemilik akal jika sampai mempercayai cerita khurafat seperti ini.
9) Pasar setan
Klaim bahwa seseorang mampu mengetahui perkara ghaib, mengetahui pasar
setan, istana mereka atau tempat-tempat mereka beraktifitas adalah klaim
dusta. Karena Alla ta’ala menyatakan di dalam Al-Qur’an :
ُقْل ال َيْع َلُم َم ْن ِفي الَّس َم اَو اِت َو اَألْر ِض اْلَغْيَب ِإَّال ُهللا
“Katakan hai Muhammad! : tidak ada penduduk langit dan penduduk bumi
yang mampu mengetahui perkara ghaib kecuali hanya Allah semata.”
(QS An-Naml : 65).
“Allah telah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian.” (QS. An-Nahl:
72).
َو ِم ْن آَياِتِه َأْن َخ َلَق َلُك م ِّم ْن َأنُفِس ُك ْم َأْز َو اًجا ِّلَتْس ُكُنوا ِإَلْيَها َو َجَعَل َبْيَنُك م َّم َو َّد ًة َو َر ْح َم ًة
Di samping itu, andaikan terjadi pernikahan antara jin dan manusia, maka akan
sulit untuk mewujudkan rasa cinta antar-mereka, untuk bersatu mewujudkan
rumah tangga yang bahagia, karena beda jenis makhluk. Terlebih manusia tidak
bisa melihat jin, sehingga hikmah adanya pernikahan seperti yang disebutkan
dalam ayat, berupa menciptakan ketenangan, rasa kasih, dan sayang akan sulit
bisa terwujud.
Hal yang terpenting, tidak selayaknya ada manusia yang berharap untuk
menikah dengan jin, atau memiliki pasangan dari golongan jin. seindah-
indahnya jin, manusia lebih indah. Sebagaimana yang Allah tegaskan di surat
At-Tin:
Allahu a’lam