Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Fadel Firisa

NPM : 2308010339
Kelas : 1D (Fak.Hukum)
Mata Kuliah : Hukum Adat
Dosen : Muthia Septarina, S.H., M.H

1. Karena sifatnya yang dinamis, proses perkembangan hukum adat dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti iklim lingkungan serta sifat atau watak bangsa, kepercayaan magis
dan animisme, terutama agama, dan kekuasaan pemerintahan atau karena pergaulan dengan
orang luar.
2. 4 corak hukum adat yang membedakannya dengan hukum barat yakni
1. Corak pertama hukum adat adalah pandangannya adalah segala bentuk rumusan adat
yang berupa kata-kata adalah suatu kias saja. Dari itu menjadi tugas bagi kalangan yang
menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan berbagai
kemungkinan arti kiasan yang dimaksud. Dalam hubungannya dengan ini maka hokum
adat pada masa silam lebih menyukai bretuk tidak tertulis. Karena apa yang tertulis,
sebagai bentuk suatu rumusan, dapat mudah menimbulkan salah sangka. Namun begitu
hukum adat tidak menolak segala bentuk symbol untuk menyatakan ajaran adat baik
bentuk tertulis maupun bentuk tidak tertulis.
2. Corak kedua dari hukum adat ialah bahwa masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi
pokok perhatiannya. Artinya bahwa dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat
dalam wujud kelompok sebagai suatu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang
lainnya tidak mungkin hidup menyendiri tanpa terkait dalam persenyawaan citarasa akal
budinya dan keadaan. Disitu hukum adat memperhatikan primair kepentingan masyarakat
secara keseluruhan yang meliputi : kelanjutan hidup dan eksistensinya yang bersifat lahir
dan batin seperti cinta, benci, puji, dendam, dan sebagainya yang terdapat hidup bersama
antara para individu yang menjadi warganya.Bagi hukum adat yang dipandang secara
pokok bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya, tetapi eksistensi yang
sejahtera yang meliputi keseluruhan. Karena keseluruhan yang sejahtera membawa
individu yang menjadi warganya juga sejahtera.
3. Corak ketiga ialah hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja.
Lembaga-lembaga hokum adat diisi menurut tuntutan waktu, tempat dan keadaan di mana
segalanya diukur dengan asas pokok yaitu kerukunan, kepatutan dan kelarasan dalam
hidup bersama.
4. Corak keempat ialah pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas
hukum adat untuk melaksanakan hukum adat. Hal ini dapat dikatakan sebagai
konsekuensi watak ketiga, yang hanya mencukupkan diri dengan asas-asas pokok dan
kerangka kelembagaannya saja. Dari itu perinciaannya menuntut keahlian, kejujuran dan
wawasan kebijaksanaan yang memadai untuk menjadi petugas hukum adat.
Perbedaan utama antara sistem hukum adat dan hukum barat terletak pada sumber, bentuk,
dan proses pengembangan norma hukum, yang tercermin dalam penggunaan corak-corak
tersebut.
3. Hukum adat masih hidup dan memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat. Tanda-
tanda keberlanjutan hukum adat dapat mencakup:
1. Pelaksanaan Upacara Adat: Adanya upacara-upacara adat, seperti perkawinan adat, ritual
keagamaan, atau upacara-upacara lain yang masih dijalankan sesuai dengan tradisi hukum
adat.
2. Penyelesaian Sengketa: Penggunaan mekanisme tradisional untuk menyelesaikan
sengketa, di mana masyarakat lebih memilih menyelesaikan konflik melalui lembaga adat
daripada melalui sistem hukum formal.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tingkat keberlanjutan hukum adat dapat bervariasi antar
daerah dan masyarakat. Globalisasi, modernisasi, dan perubahan sosial dapat memengaruhi
sejauh mana hukum adat tetap relevan dan dijalankan dalam masyarakat.
4. Di Indonesia, kedudukan hukum adat diakui dan diatur dalam kerangka hukum positif.
Beberapa dasar hukum yang mengakui keberadaan hukum adat antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945: Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara
menghormati dan mengakui adanya hukum adat beserta lembaga-lembaga adat.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Pasal 18 UU ini
menegaskan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat
hukum adat sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip hak asasi manusia.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria: Meskipun lebih terkait
dengan aspek agraria, undang-undang ini mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat
adat terkait dengan tanah adat.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 18 UU ini
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengakomodasi dan
mengembangkan hukum adat sesuai dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat
setempat.
5. UUD 1945, dinyatakan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang tidak ada satu pasal pun
memuat dasar berlakunya hukum adat. Sementara itu dalam aturan peralihan Pasal II UUD
berbunyi, segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD lain.
6. UU No. 28 Tahun 2004 tentang Kekusasaan Kehakiman:
A. Ayat (1) berbunyi, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
B.Ayat (2) berbunyi, dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
7. Deklarasi PBB Tentang Hak Asasi Manusia Adat Pasal 5 berbunyi, masyarakat adat berhak
untuk mempertahankan dan memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial,
dan budaya mereka.Sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian
sepenuhnya kalau mereka juga memilih dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial,
dan budaya dari negara.
Sementara itu, banyak regulasi daerah yang lebih spesifik juga mengatur tentang pengakuan dan
perlindungan hukum adat. Ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengintegrasikan hukum
adat dalam kerangka hukum nasional demi menjaga keragaman budaya dan hak-hak masyarakat
adat.

Anda mungkin juga menyukai