Anda di halaman 1dari 18

ULUL AMRI DALAM AL-QUR’AN

(Studi Tafsir Tematik Ayat-Ayat Tentang Ulil Amri)

Siti Luthfiah, Solahudin, Aceng Zakaria


Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah Bogor
lutfiahsiti083@gmail.com
solahudin@staiabogor.ac.id
acengstaia@gmail.com

ABSTRACT
This research explains the meaning of ulil amri, obligations and criteria of ulil amri in the
perspective of the Qur'an. This study uses library research whose sources are literature, books,
documents and historical records in libraries or other places that contain data relevant to the theme
to be studied. The nature of this research is descriptive, namely by collecting data in the form of
words not in the form of numbers and statistics. The research method is thematic, namely by
explaining the verses of the Qur'an about a certain theme by observing the asbāb Al-nuzūl verse and
explaining it from all aspects and then comparing it with other sciences that are in accordance with
the theme to be studied. This thesis concludes that ulil amri is every person who has legitimate power
in accordance with Islamic law, both in large and small, general and special spheres. Ulil amri in
a large and special scope is the ruler and leader. The main source of this research is "Jāmi' Al-
Bayān fi Ta'wīl yi Al-Qur'ān" by Al-Ṭabarī and other data including books of interpretation, hadith,
creed and others that are relevant to the theme being studied.
Keyword: Ulul Amri, Ulul Amri in the Al-Qur'an

ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan makna, kewajiban dan kriteria ulil amri dalam persfektif Al-Qur’an.
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan yang bersumber dari literatur, buku dan
dokumen yang menyangkut hal yang bersifat teoritis, konseptual, gagasan, dan ide. Penelitian ini
bersifat deskriptif, dimana data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka dan statistik.
Metode penelitian ini menggunakan metode tematik yang menjelaskan ayat Al-Qur’an mengenai
tema tertentu dengan memperhatikan sebab turunnya masing-masing ayat yang dijelaskan dengan
berbagai keterangan dari segala seginya, dan diperbandingkan dengan keterangan berbagai ilmu
pengetahuan lain yang benar yang membahas topik yang sama untuk memperjelas masalah. Skripsi
ini berkesimpulan bahwa makna ulil amri menurut bahasa adalah setiap orang yang memerintah dan
mengurus suatu urusan. Adapun menurut istilah, ulil amri adalah setiap orang yang memiliki
kekuasaan yang sah sesuai syariat Islam baik kekuasaan dalam lingkup besar dan kecil, umum dan
khusus. Ulil amri dalam lingkup besar dan khusus adalah penguasa dan pemimpin. Kewajiban inti
ulil amri adalah mencapai tujuan kepemimpinan yaitu menegakkan agama Islam dan mengatur
urusan kaum muslimin dengan syariat Islam. Hak ulil amri adalah ditaati dan dibela selama ia tidak
meninggalkan salat dan selama berhukum dengan hukum Allah. Kriteria ulil amri sebagai pemimpin
tertinggi dalam negara Islam yaitu: muslim, merdeka, baligh, berakal, laki-laki, berilmu, ‘adālah
(keadilan), memiliki kecakapan. Sumber utama penelitian ini adalah “Jāmi’ Al-Bayān fi Ta’wīl Āyi
Al-Qur’ān” karya imam Ibn Jarīr Al-Ṭabarī dan data lainnya dari berbagai rujukan meliputi kitab-
kitab tafsir, hadith, akidah dan lain-lain yang relevan dengan tema yang akan diteliti.
Kata kunci: Ulul Amri, Ulul Amri dalam Al-Qur’an

183
A. PENDAHULUAN
Setiap muslim wajib mengetahui siapakah Al-Ḥamīd Al-Atharī dalam kitabnya Al-Wajīz
yang dimaksud ulil amri, sebab ahl Al-sunnah fī Aqīdah Al-Salaf Al-Ṣālih (Ahl Al-Sunnah
berpandangan bahwa mentaati ulil amri dalam wa Al-Jama’ah). (‘Abdullāh bin ‘Abd Al-
kebaikan adalah kewajiban setiap muslim. Ḥamīd Al-Atharī. 2006).
(‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Ḥamīd Al-Atharī. Salah satu dalilnya adalah hadith ṣaḥīḥ
2006). berikut,
Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang ٌ‫ع ْبدٌ ُم َجدَّع‬ َ ‫ِإ ْن أ ُ ِ ِّم َر‬
َ ‫ع َل ْي ُك ْم‬
menyebutkan kata ulil amri, yaitu surat Al- ‫ت أَس َْودُ َيقُودُ ُك ْم‬ ْ َ‫َح ِس ْبت ُ َها قَال‬
Nisā’ [004] ayat 59 dan 83. Makna ulil amri ُ‫َّللا تَعَالَى فَا ْس َمعُوا لَه‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ِب ِكتَا‬
dalam ayat ini masih banyak diperdebatkan ‫َوأ َ ِطيعُوا‬
oleh kaum muslimin. (Rifqi Ghufron Maula. Jika ada seorang budak yang
buntung kakinya dan kulitnya
2019 M). hitam menjadi pemimpin bagi
Selain dari sisi makna, yang kalian yang memimpin kalian
berdasarkan kitab Allah (Al-
diperdebatkan adalah terkait kewajiban dan Qur’an), maka dengarlah dan
kriteria ulil amri yang dengannya ia wajib taati ia. (Muslim bin Al-Hajjāj Al-
Naisāburī. 2014).
ditaati.
Berdasarkan hadith di atas, difahami
Ada yang berpendapat bahwa ulil amri
bahwa setiap pemimpin yang tidak berhukum
yang wajib ditaati adalah setiap pemimpin
dengan hukum Islam dalam pemerintahannya,
muslim, baik yang berhukum dengan hukum
atau tidak menegakkan kitab Allah Ta’ālā pada
Islam atau tidak berhukum dengan hukum
rakyatnya, maka ia tidak didengar dan tidak
Islam dalam pemerintahannya, selama mereka
ditaati.
masih mendirikan salat.
Melihat kuatnya perdebatan tentang
Pendapat ini dikemukakan Shaikh Ṣāliḥ
makna dan kewajiban ulil amri di tengah-
Al-Fawzān, beliau berpendapat bahwa prinsip
tengah masyarakat, maka setiap muslim wajib
ketaatan kepada ulil amri tidak hanya khusus
memahami siapakah ulil amri yang wajib
untuk pemimpin yang berhukum dengan
ditaati, agar umat tetap bersatu dan tidak
hukum Islam, akan tetapi ketaatan ini
berpecah belah dalam permasalahan ini.
mencakup umum untuk setiap pemimpin
Sebab, masalah ulil amri ini merupakan salah
muslim bahkan yang tidak berhukum dengan
satu sebab utama munculnya perpecahan sejak
hukum Islam dan menggantinya dengan
awal umat Islam di masa para sahabat Nabi
hukum buatan manusia.
yang mulia.
Menurut pendapat lainnya, ulil amri yang
Kesalahan dalam memahami masalah ulil
wajib ditaati adalah setiap pemimpin kaum
amri ini juga yang menjadi salah satu sebab
muslimin yang hanya berhukum dengan
terjadinya berbagai macam bid‘ah, di
hukum Islam, pendapat ini di antaranya
antaranya adalah bid’ah Shī’ah dan Khawārij
dikemukakan oleh Shaikh ‘Abdullāh bin ‘Abd

184
yang muncul sejak generasi awal umat Islam. Secara khusus penlitian ini akan
Kemudian dari situ muncullah berbagai membahas tentang ulil amri di dalam Al-
perpecahan umat hingga saling mengkafirkan Qur’an dan menganalisis ayat-ayat ulil amri
dan saling membunuh di antara sesama kaum yang ada dalam Al-Qur’an, dengan hanya
muslimin. membatasi masalah pada ayat-ayat yang
Penjelasan tema ulil amri saat ini menjadi mengandung konteks ulil amri.
sangat penting dari masa sebelumnya. Sebab
saat ini sering kali muncul berbagai fitnah di
tubuh umat Islam seperti demonstrasi, makar B. TINJAUAN PUSTAKA
kepada pemerintah, kudeta dan fitnah lainnya Ulil amri berasal dari kata ulū dan amr.
yang terjadi karena kesalahan memahami Secara bahasa kata ulū (‫ )أُولُو‬adalah bentuk
permasalahan ulil amri. Selain itu perdebatan
jamak yang tidak memiliki kata tunggal,
tentang tema ulil amri masih terus terjadi, baik
semakna dengan kata dhawu )‫ )ذَ ُوو‬yang
di forum terbuka atau tertutup. Namun
sayangnya, yang menjadi sumber pembicara artinya pemilik, dan kata ulū ini tidak
dalam forum perdebatan ini adalah orang- digunakan kecuali disandarkan kepada kata
orang yang tidak memahami secara untuh lain (iḍafah). Adapun kata Al-amr (‫(األمر‬
tentang permasalahan ulil amri dan tidak
memiliki tiga arti yaitu, perintah,
bersandar pada dalil atau referensi yang
urusan/perkara, dan kepemimpinan.
otentik. (Ibrāhīm bin Amīr Al-Ruhailī. 2019).
Adapun makna ulil amri secara istilah
Kesalahan dalam memahami
ialah orang-orang yang berwenang mengurus
permasalahan ulil amri juga akan berakibat
urusan umat. Mereka memiliki kendali pada
salahnya perlakuan dan sikap terhadap ulil
segala urusan dan memegang kendali penuh
amri. Di antara mereka ada yang mengambil
kepemimpinan umat.
sikap acuh tak acuh. Ada pula yang
Ulil amri terdapat dalam Al-Qur’an surat
mengkritisinya dengan membabi buta, ada pula
Al-Nisā’ [004] ayat 59 dan 83. Ulama tafsir
yang mendemo dengan cara anarkis, dan
berbeda pendapat tentang penafsiran makna
banyak pula yang memuji-muji secara
ulil amri dalam ayat tersebut di atas. Ada lima
berlebih-lebihan tanpa ilmu. (Ibrāhīm bin Amīr
penafsiran yang popular, yaitu:
Al-Ruhailī. 2019).
1. Ulil amri adalah para pemimpin
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
(umarā’). Menurut imam Al-Nawāwī ini
pada peniltian ini, penulis ingin menjelaskan
adalah pendapat jumhūr ulama salaf dan
makna ulil amri yang sebenarnya dalam
khalaf.
persfektif Al-Qur’an serta apa saja kriteria dan
2. Ulil amri adalah para ulama.
kewajiban ulil amri yang dengannya ia wajib
ditaati.

185
3. Ulil amri adalah para sahabat Nabi karya tulis berupa literatur, buku, dokumen dan
Muhammad. (Al-Ḥusain bin Mas'ūd Al- catatan sejarah yang ada di perpustakaan atau
Baghawī. 2002). tempat lainnya yang berisi data yang relevan
4. Ulil amri adalah Abū Bakar dan ‘Umar. dengan tema yang akan diteliti. Sifat penelitian
5. Ulil amri mencakup pemimpin dan ini adalah deskriptif, yaitu mengumpulkan data
ulama. yang berbentuk kata-kata tidak dalam bentuk
Sebagian ulama lainnya berpendapat angka dan statistik. (Ahmad Khoirul Anam,
bahwa ulil amri tidak hanya mencakup ulama Rumba Triana, Aceng Zakaria).
dan pemimpin (umarā’) akan tetapi mencakup Metode penelitian ini adalah tematik,
para pemimpin dan tokoh panutan masyarakat yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang
yang dikenal dengan ahl Al-hal wa Al-‘aqd. berisi tentang suatu tema tertentu dengan
(Abdullāh bin Ibrāhīm Al-Ṭarīqī). mengamati asbāb Al-nuzūl ayat kemudian
Imam Al-Shawkānī menjelaskan bahwa diterangkan dari segala seginya dan
ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dibandingkan dengan ilmu pengetahuan
dan semua orang yang memiliki kekuasaan lainnya yang sesuai dengan tema yang akan
syar’i bukan kekuasaan ṭāghūt. Wajib mentaati diteliti. (Fauzan, Imam Mustofa dan
perintah dan larangan mereka selama bukan Masruchin. 2019).
kemaksiatan, karena tidak boleh taat kepada Sumber data primernya adalah Al-Qur’an
makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Al-Karīm dan kitab-kitab tafsir seperti tafsir
Ta’ālā sebagaimana yang diperintahkan “Jāmi’ Al-Bayān fi Ta’wīl Āyi Al-Qur’ān”
Rasulullah. (Muḥammad bin ‘Ali Al- karya Al-Ṭabarī, tafsīr “Ma’ālim Al-Tanzīl”
Shawkānī. 2010). karya Al-Baghawī, tafsīr “Al-Qur’ān Al-
Dari pendapat tersebut di atas terdapat ‘Aẓīm” karya Ibn Kathīr, tafsir “Fath Al-Qadīr
indikasi bahwa yang dimaksud dengan ulil Jāmi’ Baina Fannī Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat
amri adalah setiap pemimpin muslim yang Min Ilm Al-Tafsir” karya Al-Shawkānī.
memiliki kekuasaan syar’i yang menjalankan Data skunder dalam penelitian ini adalah
syari’at Islam dalam pemerintahannya, mereka sebagai berikut: Buku Al-Ahkām Al-
wajib ditaati hanya dalam ketaatan bukan Sulṭāniyyah, karya Imam Al-Māwardī, buku
kemaksiatan. Konsep Kepemimpinan Dalam Islam (Imamah
‘Uzhma) karya Prof. Dr. ‘Abdullāh Ad-
C. METODE PENELITIAN Dumaijī, kitab-kitab tafsir yang membahas
Dalam penelitian ini penulis tentang ulil amri, dan kitab-akidah yang
menggunakan jenis penelitian kepustakaan membahas tentang ulil amri.
(library research). Yaitu penelitian kualitatif
yang dilakukan tanpa terjun langsung ke D. PEMBAHASAN
lapangan dalam mengumpulkan data, akan 1. Ulil Amri Menurut Ulama Fikih
tetapi hanya diperoleh melalui sumber karya-

186
Dalam kitab Al-Mausū‘ah Al-Fiqhiyyah umum adalah seperti khalīfah dan selainnya.
Al-Kuwaitiyah, disebutkan definisi ulil amri. (Wizārat Al-Awqāf wa Al-Shu’ūn Al-
Menurut bahasa, kata ulū (‫ )أُولُو‬adalah satu kata Islamiyah. 1983).
yang selalu disandarkan kepada kata lain Ulama fikih berbeda pendapat tentang
(iḍāfah) seperti kata ulū Al-ra’yi. Kata ulū siapakah yang dimaksud ulil amri dalam
adalah kata jamak yang semakna dengan kata makna khusus yang memiliki kekuasaan
dhu )‫)ذُو‬, artinya yang memiliki, dan kata ulū umum yang wajib didengar dan ditaati oleh
ini tidak memiliki kata tunggal. Adapun kata kaum muslimin.
amr (‫ (األمر‬menurut bahasa bisa berarti perintah Dalam kitab Al-Mausū‘ah Al-Fiqhiyyah
dengan paksaan, yang kata jamaknya adalah Al-Kuwaitiyah disebutkan dua pendapat ulama
awāmir, dan bisa juga berarti perkara atau fikih yang dianggap paling tepat terkait siapa
urusan, yang kata jamaknya adalah umūr. yang dimaksud ulil amri, yaitu;
(Wizārat Al-Awqāf wa Al-Shu’ūn Al- Pendapat pertama, ulil amri adalah ahli
Islāmiyah. 1983). fikih dan ulama, ini adalah pendapat imam
Menurut istilah, kata ulil amri dapat Mālik, Ibnu Abbās, Al-Ḍahhāk, Mujāhid dan
bermakna umum dan khusus. Makna umum Aṭa, mereka mengatakan bahwa yang
dari ulil amri adalah setiap orang yang dimaksud ulil amri adalah fuqahā dan ulama
menguasai dan mengurus suatu urusan dengan dalam bidang agama, mereka disebut ulil amri
kekuasaan yang benar dan sah, seperti suami karena asal suatu perintah adalah dari ulama
yang berkuasa atas istrinya, orang tua berkuasa dan mereka yang menjelaskan suatu hukum.
atas anaknya dan pemilik budak berkuasa atas Pendapat kedua, ulil amri adalah
budaknya. penguasa dan pemimpin, pendapat ini dipilih
Adapun makna khusus ulil amri adalah imam Al-Ṭabarī. Beliau mengatakan bahwa
setiap orang yang menguasai dan mengurus pendapat yang paling tepat yang dimaksud ulil
urusan muslimin dalam lingkup luas dan amri adalah penguasa dan pemimpin, hal ini
mencakup umum, ia wajib didengar dan berdasarkan hadith saḥīḥ yang memerintahkan
ditaati. (‘Abdullāh bin Aḥmad Al-Qādirī. untuk mentaati pemimpin dan penguasa dalam
1986). ketaatan kepada Allah Ta’ālā dan untuk
Kata ulil amri memiliki keterkaitan kebaikan kaum muslimin. (Wizārat Al-Awqāf
dengan kata awliyā Al-umūr. Kata awliyā Al- wa Al-Shu’ūn Al-Islāmiyah. 1983).
umūr mencakup semua orang yang memiliki Imam Al-Shāfi'ī (W: 204 H) menguatkan
kekuasaan atas pihak lain, baik kekuasaan pendapat yang kedua ini, beliau mengatakan
yang umum ataupun khusus. Awliyā Al-umūr bahwa ulil amri adalah para penguasa dan
yang memiliki kekuasaan yang khusus adalah pemimpin. Alasan beliau adalah karena dahulu
seperti wali anak yatim, pengurus orang gila, orang-orang Arab Quraish tidak mengenal
dan wali nikah wanita dalam pernikahannya. kepemimpinan, satu sama lain dari mereka
Awliā Al-umūr yang memiliki kekuasaan yang tidak suka untuk saling memberikan ketaatan

187
kepada pemimpin. Ketika mereka muncul seputar tema ini. Seperti bid’ah dan
mendapatkan kemuliaan dengan sebab keyakinan menyimpang Shī’ah Rāfiḍah terkait
mentaati Rasulullah, maka mereka imamāh. Menurut mereka, imamāh termasuk
memandang bahwa ketaatan hanya layak salah satu rukun agama. Mereka menyakini
diberikan untuk Rasulullah saja sebagai bahwa imam-imam mereka ma’ṣūm,
pemimpin mereka, oleh karena itu mereka juga reinkarnasi, mengetahui ilmu gaib, dan
diperintahkan untuk mentaati ulil amri selain lainnya. Ada juga bid’ah khawārij yang
mentaati Rasulullah Salallāhu’alaihi berpendapat wajibnya memberontak terhadap
wasallam. (‘Abd Al-Salām bin Barjas Al-‘Abd imam yang fasik dan keyakinan sesat lainnya.
Al-Karīm. 2006). (‘Abdullāh Al-Dumaijī. 2016).
Imam Al-Nawāwī dalam kitab Sharaḥ Dalam akidah ahl Al-sunnah wa Al-
Ṣaḥīḥ Muslim mengatakan bahwa ulil amri jamā’ah, taat kepada para pemimpin dan tidak
yang harus ditaati adalah para penguasa dan memberontak mereka tanpa alasan yang
pemimpin. Ini merupakan pendapat mayoritas dibenarkan adalah ibadah yang berpahala bagi
ulama salaf dan khalaf dari kalangan pelakunya, siapa yang melanggar akan
mufassirīn, fuqahā, dan yang lain. dihukum pada hari kiamat. (‘Abdullāh Al-
(Muhammad Alif. 2019). Dumaijī. 2016).
Selain dua pendapat yang disebutkan di Imam Abī Zamanain (W: 399 H) dalam
atas, ada juga ulama fikih yang berpendapat kitabnya Uṣūl Al-Sunnah mengatakan bahwa
bahwa ulil amri mencakup ulama dan di antara akidah ahl Al-sunnah adalah
penguasa. Ulama dan penguasa disebut ulil meyakini bahwa para pemimpin dan penguasa
amri karena tugas pemimpin adalah mengatur adalah naungan Allah Ta’ālā di muka bumi,
tentara dan memimpin pasukan perang, adapun barang siapa yang tidak memandang wajibnya
ulama bertugas menjaga syariat dan taat kepada para penguasa yang baik atau fasik,
menjelaskan perkara yang boleh dan tidak maka dia telah menyelisihi sunnah, karena
boleh menurut syariat. (Wizārat Al-Awqāf wa Allah Ta’ālā memerintahkannya dalam surat
Al-Shu’ūn Al-Islamiyah. 1983). Al-Nisā’ [004] ayat 59. (‘Abdullāh bin
Imam Aḥmad berpendapat bahwa hadith Muḥammad ‘Abd Al-Rahīm Al-Bukhārī. 1415
yang menyebutkan tentang sebab turunnya H).
surat Al-Nisā’ [004] ayat 59 menjadi dalil Imam Ismā’īl bin Yahyā Al-Muzanī (W:
bahwa yang dimaksud ulil amri adalah 264 H) mengatakan wajib mentaati ulil amri
pemimpin. (Al-Baihaqī. (2003). dalam perkara yang diridai Allah Ta’ālā, tidak
2. Ulil Amri Menurut Mazhab Islam boleh metaati mereka pada perkara yang
Tujuan ulama ahl Al-sunnah dimurkai, dan tidak menentang mereka ketika
menyebutkan pembahasan ulil amri dalam mereka berbuat zalim. Hendaknya rakyat
kitab-kitab akidah mereka adalah untuk taubat kepada Allah Ta’ālā agar ulil amri
membantah penyimpangan dan bid’ah yang

188
sayang terhadap rakyatnya. (Nukhbat min Al- Bai’at adalah janji yang diberikan orang
‘Ulamā. 2013). yang berbaiat untuk mendengar dan taat dalam
Imam Aḥmad bin Ḥanbal (W: 241 H) segala kebaikan, baik dalam keadaan malas
berkata dalam kitabnya Uṣūl Al-Sunnah wajib atau semangat, senang maupun susah, tidak
mendengar dan taat pada para imām dan amīr merebut kekuasaan darinya dan menyerahkan
Al-mukminīn yang baik maupun fasik. Wajib segala urusan kepadanya. Saat membaiat,
taat kepada khalīfah yang manusia bersatu orang yang berbaiat berjabat tangan untuk
padanya dan meridainya, dan juga taat kepada mengukuhkan perjanjian. (‘Abdullāh Al-
orang yang telah mengalahkan manusia Dumaijī. 2016).
dengan pedang hingga ia menjadi khalīfah dan Berikut ini sejarah pembaiatan khalīfah
disebut amīr Al-mu’minīn. (‘Abdullāh bin setelah wafatnya Rasulullah Ṣalallāhu’alaihi
‘Abd Al-Raḥmān Al-Jibrīn. (1420 H). wasallam.
Dikatakan juga oleh imam Al-Maqdisī (W: 620 a. Abū Bakar Al-Ṣiddīq (11-13 H)
H). (Muḥammad bin Sāliḥ Al-‘Uthaimīn. Setelah wafatnya Nabi, sahabat Anṣār
1995). berkumpul di balai pertemuan Banī Sā’idah.
Imam Al-Barbahārī (W: 329 H) dalam Sa’ad bin ‘Ubādah, mengatakan bahwa kaum
kitabnya Sharḥ Al-Sunnaḥ mengatakan bukan Anṣār yang lebih berhak menggantikan Nabi
termasuk sunnah memerangi penguasa, sebab memimpin kaum muslimin.
akan menimbulkan kerusakan agama dan Salah seorang Anṣār, Al-Ḥabbāb bin Al-
dunia. (Abū Muḥammad bin Ḥasan Al- Mundhir mengusulkan untuk membagi-bagi
Barbahārī. 1993). kepemimpinan, dari kaum Muhajirīn ada
Imam Al-Ṭahāwī (W: 321 H) dalam kitab pemimpin dan dari kaum Anṣār ada pemimpin.
Al-‘Aqīdah Al-Ṭaḥāwiyah mengatakan tidak Perkataannya ini dibantah ‘Umar bin Al-
boleh mendo’akan keburukan bagi para Khaṭṭāb, maka terjadilah suara kegaduhan di
pemimpin dan penguasa, tetapi mendo’akan antara mereka.
kebaikan untuk mereka. (‘Alī bin ‘Alī bin Ketika terjadi perdebatan sengit di antara
Muḥammad bin Abī Al-‘Izz. 1990). mereka, ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb meminta Abū
3. Sejarah Pembaiatan Ulil Amri Dalam Bakar Al-Ṣiddīq membentangkan tangannya
Politik Islam
dan membaiatnya menjadi khalīfah dan diikuti
Dalam Islam, cara syar’i yang digunakan
oleh seluruh yang ada di balai pertemuan Banī
dalam pengukuhan seorang pemimpin negara
Sā’idah. (Muḥammad Fatḥī Uthmān. 1984).
adalah melalui pemilihan atau penunjukan oleh
Esok harinya dilakukan bai’at umum di masjid
pemimpin sebelumnya. Kedua cara ini harus
Nabawi.
melalui bai’at dari ahl Al-hal wa Al-‘aqd,
b. ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb (13-23 H)
kemudian bai’at dari kaum muslimin yang
Cara dibai’atnya ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb
hadir.
menjadi khalīfah berbeda dengan cara
dibaiatnya Abū Bakar Al-Ṣiddīq. Yaitu dengan

189
cara wasiat penunjukan khalīfah pengganti tokoh senior kaum muslimin tentang kedua
oleh khalīfah sebelumnya. Cara ini legal calon itu.
berdasarkan dalil-dalil syar’i. Mereka sepakat memilih ‘Uthmān bin
Abū Bakar Al-Ṣiddīq melakukan langkah ‘Affān untuk menjadi khalīfah. Maka
tepat dalam menunjuk khalīfah setelahnya. ‘Abdurrahmān bin ‘Auf membaiat ‘Uthmān
Ketika ia sakit parah dan merasa tidak lama bin ‘Affān menjadi khalīfah lalu disusul oleh
lagi akan wafat, ia takut terjadi fitnah, ia ‘Ali bin Abī Ṭālib kemudian diikuti oleh
bermusyawarah dengan para sahabat untuk seluruh kaum muslimin. (Muḥammad Fatḥī
menunjuk khalīfah setelahnya. Uthmān. 1984).
Setelah bermusyawarah, Abū Bakar Al- d. ‘Ali bin Abī Ṭālib (35-41 H)
Ṣiddīq memutuskan untuk menunjuk ‘Umar ‘Ali bin Abī Ṭālib dibai’at sebagai
sebagai khalīfah setelahnya. Kemudian Abū khalīfah sehari setelah terbunuhnya ‘Uthmān
Bakar Al-Ṣiddīq meminta ‘Uthmān bin ‘Affān bin ‘Affān di Madinah. Pada hari ketika
menulis wasiat tentang hal ini. ‘Uthmān bin ‘Affān terbunuh, para tokoh
c. ‘Uthmān bin ‘Affān (23-35 H) kaum muslimin mencari orang yang layak dan
‘Uthmān bin ‘Affān dibai’at menjadi siap menjadi khalīfah setelahnya.
khalīfah setelah wafatnya ‘Umar bin Al- Orang-orang Mesir mendesak ‘Ali bin
Khaṭṭāb karena ditikam dengan pisau beracun Abī Ṭālib, namun ia menolak. Orang-orang
oleh Abū Lu’lu’ah Al-Majūsī. Ketika ‘Umar Kūfah mendesak Zubair, namun ia juga
bin Al-Khaṭṭāb mengalami sakit parah, menolak. Orang-orang Baṣrah meminta
beberapa sahabat bertanya kepadanya tentang Ṭalhah, namun ia tidak menanggapinya.
orang yang telah ditunjuknya menjadi khalīfah Setelah itu mereka mendatangi Sa’ad bin Abī
setelahnya. Waqāṣ dan Ibnu ‘Umar, namun mereka berdua
Ia mengatakan bahwa yang berhak tidak menerimanya.
menunjuk khalīfah setelahnya adalah enam Kemudian mereka mendesak ‘Ali bin Abī
orang yang telah diridai Rasulullah, yaitu: ‘Ali Ṭālib, awalnya beliau menolak namun karena
bin Abī Ṭālib, ‘Uthmān bin ‘Affān, Sa’ad bin khawatir semakin banyak terjadi fitnah jika
Abī Waqāṣ, Abdurrahmān bin ‘Auf, Zubair bin tidak menerimanya akhirnya beliau
‘Awām dan Ṭalhah bin ‘Ubaidillāh. Keenam menerimanya. Saat itu, Ashtar Al-Nakhā’ī
sahabat ini yang akan memilih salah seorang meraih tangan ‘Ali bin Abī Ṭālib lalu
dari mereka menjadi khalīfah. ‘Umar berwasiat membai’atnya pada hari Kamis tanggal 24
tentang hal ini. Dzulhijjah.
Keenam sahabt ini bermusyawarah, Pada hari Jum’at ‘Ali bin Abī Ṭālib
ketika pilihan mengerucut pada ‘Uthmān bin dibai’at umum oleh kaum muslimin yang
‘Affān dan ‘Ali bin Abī Ṭālib, ‘Abdurrahmān belum membai’atnya pada hari Kamis,
bin ‘Auf berkeliling meminta pendapat para termasuk Ṭalhah dan Zubair membaiatnya.
sahabat Nabi, pemimpin pasukan perang, dan

190
‘Ali bin Abi Ṭālib wafat karena ditikam pada tahun empat puluh sembilan Hijriyah
oleh seorang khawārij Abd Al-Rahmān bin karena diracun oleh istrinya Ja’dah binti Al-
Muljam Al-Murādī pada tanggal tujuh belas Ash’ath bin Qais. (Al-Suyūtī, Jalāl Al-Dīn.
Ramaḍān tahun 40 H. Setelah penikaman itu, 2000).
‘Ali sempat bertahan hidup selama dua hari, g. Marwān Al-Himār Khalifah Terakhir
Daulah Banī Umayyah
Jum’at dan Sabtu dan wafat pada malam Ahad.
Marwān Al-Himār adalah khalīfah
(Al-Suyūtī, Jalāl Al-Dīn. 2000).
terakhir Banī Umayyah. Ketika Marwān
e. Al-Hasan bin ‘Ali (41 H)
mendengar bahwa Al-Walīd bin Yazīd bin Abd
Ketika ‘Ali bin Abī Ṭālib mengalami sakit
Al-Mālik mati dibunuh oleh Yazīd bin Walīd
parah karena ditikam oleh Ibnu Muljam,
bin ‘Abd Al-Mālik dan merebut kursi khilafah,
orang-orang memintanya menunjuk khalīfah
maka ia mengajak orang-orang untuk
setelahnya, namun ia tidak melakukannya
membaiat dirinya sebagai khalīfah. Ketika
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. (Abū
Yazīd bin Walīd wafat dan digantikan Ibrāhīm
Al-Fidā’Ismā’īl Ibn ‘Umar Ibnu Kathīr. 2004).
bin Al-Walīd ia pun melakukan
Setelah ‘Ali bin Abī Ṭālib wafat, orang-
pemberontakan pada Ibrāhīm bin Al-Walīd.
orang Irak membai’at Al-Hasan menjadi
Ibrāhīm bin Al-Walīd dikalahkan oleh
khalīfah lalu beliau tinggal di Kufah selama
Marwān Al-Himār. Ibrāhīm melepaskan
enam bulan.
khilafah secara sukarela dan menyerahkannya
f. Mu’āwiyah bin Abī Sufyān Khalifah
kepada Marwān sehingga Marwān dibai’at
Pertama Daulah Banī Umayyah (41-60
H) menjadi khalīfah. Peristiwa ini terjadi pada
Setelah enam bulan Al-Hasan dibai’at bulan Safar tahun 129 H.
menjadi khalīfah, Mu’āwiyah datang h. Abdullah Al-Saffāh Khalifah Pertama
Daulah Banī Abbāsiyah
menemuinya dan meminta Al-Hasan
Kekuasaan Marwān Al-Himār tidak stabil
menyerahkan kekhilafahan kepadanya. Al-
karena banyaknya pemberontakan yang
Hasan menyerahkan kekhilafahan kepadanya.
dilakukan oleh Banī Abbās yang dipimpin oleh
Setelah itu Mu’āwiyah memasuki Kufah dan
Abdullāh bin ‘Ali paman Al-Saffāh. Ketika
khutbah di hadapan orang Kufah setelah
Marwan mendengar bahwa Al-Saffah akan
dibai’at. Jadilah Mu’āwiyah khalīfah
dibai’at menjadi khalīfah, maka ia berusaha
seutuhnya untuk seluruh kaum muslimin dan
memberantas pemberontakan Al-Saffah, dan
beliau khalīfah pertama dari Daulah Bani
akhirnya mereka berperang di Mawsil. Dalam
Umayyah.
pertempuran ini Marwān Al-Himār kalah dan
Al-Hasan mengundurkan diri dari kursi
melarikan diri ke Mesir lalu dikejar oleh Sālih
khilafah pada bulan Rabi’ul Awal tahun empat
saudara ‘Abdullāh bin ‘Ali. Marwān berhasil
puluh satu Hijriyah. Kemudian ia
dibunuh di desa Bushir pada tahun 132 H.
meninggalkan Kufah menuju Madinah dan
Marwan dibunuh saat Al-Saffāh dibai’at
tinggal di sana. Al-Hasan wafat di Madinah
sebagai khalīfah. Dengan kematian Marwān

191
Al-Himār, berakhirlah kekuasaan Daulah Banī Jaʻfar Muḥammad ibn Jarīr Al-Ṭabarī (W: 310
Umayyah dan digantikan oleh Daulah Banī H).
Abbāsiyah, dengan khalīfah pertamanya Al- Di dalam kitab tafsirnya Jāmi’ Al-Bayān
Saffāh ‘Abdullāh bin Muhammad bin ‘Ali. fi Ta’wīl Āyi Al-Qur’ān, beliau mengatakan
(Al-Suyūtī, Jalāl Al-Dīn. 2000). bahwa ulil amri adalah pemimpin dan
4. Ulil Amri Dalam Persfektif Ulama penguasa, ini berdasarkan hadith sahīh yang
Tafsir
memerintahkan untuk mentaati para pemimpin
Di dalam Al-Qur‘an kata ulil amri hanya
dan penguasa dalam ketaatan kepada Allah
disebutkan dalam dua ayat, yaitu surat Al-Nisā’
Ta’ālā dan untuk kebaikan kaum muslimin.
[004] ayat 59 dan ayat 83.
Menurut beliau, ketaatan hanya wajib
Imam Al-Bukhārī meriwayatkan dari Ibnu
diberikan kepada Allah Ta’ālā, Rasul-Nya,
Abbās raḍiyallāhu ‘anhu, bahwa surat Al-
dan pemimpin yang adil. Sebagaimana yang
Nisā’ [004] ayat 59 turun terkait ʻAbdullāh bin
disebutkan dalam dalam surat Al-Nisā [004]
Hudhāfah bin Qais ketika ia diutus oleh Nabi
ayat 59.
untuk memimpin suatu pasukan perang
Mereka yang diperintahkan untuk ditaati
sariyah. (Muḥammad bin Ismā’īl Al-Bukhārī.
adalah para pemimpin dan penguasa yang
2009).
mengurus urusan kaum muslimin bukan selain
Adapun sebab turunnya surat Al-Nisā’
mereka. Tidak ada ketaatan yang wajib bagi
[004] ayat 83 disebutkan Al-Suyūtī, yaitu
seseorang atas apa yang dilarang dan
riwayat imam Muslim dari ‘Umar bin Al-
diperintahkan tanpa adanya hujah atas
Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu, bahwa ketika Nabi
kewajibannya, kecuali kepada para pemimpin
mengasingkan diri dari para istrinya. Lalu aku
yang Allah Ta’ālā wajibkan untuk mentaati
memasuki masjid dan melihat orang-orang
mereka untuk kemaslahatan secara umum
sedang memainkan kerikil. Mereka berkata;
selama dalam ketaatan kepada Allah Ta’ālā
Rasulullāh telah menceraikan para istrinya,
dan bukan bermaksiat kepada Allah Ta’ālā.
lantas aku berdiri di depan pintu masjid sambil
(Muḥammad bin Jarīr Al-Ṭabarī. 2003).
menyeru dengan suara yang lantang bahwa
Pendapat ini didukung oleh Al-Qurṭubī
Rasulullāh tidak menceraikan para istri beliau.
(W. 671) (Muḥammad bin Aḥmad bin Abī
Kemudian turunlah ayat 83 surat Al-Nisā’
Bakr Al-Qurṭubī. 2006), Al-Shawkānī (W:
(Jalāl Al-Dīn Al-Suyūtī. 2002).
1250 H) (Muḥammad bin ‘Alī Al-Shawkānī.
Ulama tafsir berbeda pendapat dalam
2010), dan Muhammad Al-Rāzī. (Muḥammad
menafsirkan makna ulil amri dalam kedua ayat
Al-Rāzī Fakhr Al-Dīn Ibn Ḍiyā Al-Dīn. 1981
ini. (Jalāl Al-Dīn Al-Suyūṭī. 2003 M).
M).
Di antara mufassir yang berpendapat
Di antara mufassir yang berpendapat
bahwa yang dimaksud ulil amri adalah
bahwa yang dimaksud ulil amri itu ulama
pemimpin dan penguasa adalah Imam Abū
adalah imam Al-Alusi. (Shihāb Al-Dīn Al-
Sayyid Maḥmūd Al-Alūsī).

192
Di antara mufassir yang berpendapat sekretarisnya. (Abū Al-Fidā’ Ismā’īl Ibnu
bahwa yang dimaksud ulil amri adalah ‘Umar Ibnu Kathīr. 2000).
pemimpin dan ulama adalah Ibnu Kathīr Al- Kisah dalam athar ini menunjukkan
Dimashqī (W: 774) (Abū Al-Fidā’ Ismā’īl Ibnu bahwa makna awliyā’ berarti setiap orang yang
‘Umar Ibnu Kathīr. 2000), ibn Al-Qayyim (W. memegang kuasa atau jabatan atas sesuatu.
751), Ibn Taimiyah (Muḥammad Jamāl Al-Din Athar ini menjadi landasan hukum bagi para
Al-Qāsimī. 1957 M), dan Al-Tha’ālabi (W. ulama yang berpendapat bahwa makna kata
875). awliyā dalam surat Al-Māidah [005] ayat 51
Kata ulil amri memiliki keterkaitan adalah pemimpin dan haramnya memilih orang
dengan kata awliyā Al-umūr yang kata kafir sebagai pemimpin kaum muslimin,
tunggalnya adalah waly. Di dalam Al-Qur’an karena pemimpin adalah pemegang kuasa atas
kata waly disebutkan sebanyak 29 kali. rakyatnya.
Adapun kata awliyā disebutkan sebanyak 29 Haramnya memilih orang kafir sebagai
kali. Kata awliyā di dalam Al-Qur’an dimaknai pemimpin kaum muslimin diperkuat oleh
berbeda sesuai konteks ayatnya. Pada Shaikh Al-Sa’dī ketika beliau menyebutkan
umumnya kata waly dan awliyā dimaknai tafsir surat Al-Māidah [005] ayat 51. Shaikh
pembela, teman dekat, pemelihara, pemimpin, Al-Sa’dī mengatakan bahwa ayat ini adalah
pelindung, penolong, dan pengganti. dalil wajibnya menjauhi orang kafir, tidak
Dalam kitab Al-Mausū‘ah Al-Fiqhiyyah bergaul dengan mereka, tidak menjadikan
Al-Kuwaitiyah disebutkan definisi awliyā Al- mereka teman dekat, dan tidak condong kepada
umūr yaitu “man kāna lahū wilāyah ‘āmah alā mereka. Haram menjadikan orang kafir
ghairihī”, artinya: siapa saja yang memiliki sebagai penguasa dan pemimpin kaum
kekuasaan umum atas selainnya. (Wizārat Al- muslimin, serta haram menunjuk orang kafir
Awqāf wa Al-Shu’ūn Al-Islamiyah. 1983). sebagai pengurus urusan kaum muslimin.
Berdasarkan hal ini, kata awliyā dapat (‘Abd Al-Rahmān bin Nāsir Al-Sa’dī. 2002).
diartikan sebagai pemimpin atau pemegang 5. Persamaan Antara Khalifah, Imam
dan Ulil Amri
kekuasaan, baik dalam lingkup kecil atau
Secara bahasa kata ُ‫اإل َما َمة‬
ِ )Al-imāmah(
besar.
berasal dari kata ‫( أ َ َّم‬amma) yang artinya
Dalam surat Al-Māidah [005] ayat 51
menjadikannya pemimpin atau imam, dan arti
berisi larangan menjadikan orang kafir sebagai
kata ‫اإل َما ُم‬
ِ (Al-imām) adalah setiap orang yang
pemimpin dan pengurus yang mengurus
diikuti seperti pemimpin negara dan selainnya.
urusan kaum muslimin, sebagaimana yang
Sedangkan kata ُ‫الخِ ََلفَة‬ )Al-khilāfah(
disebutkan dalam kitab tafsir imam Ibnu
Kathīr. Di dalamnya disebutkan athar dari َ َ‫( َخل‬khalafa) artinya yang
berasal dari kata ‫ف‬
menggantikan sebelumnya, dan arti kata ُ‫ال َخ ِل ْيفَة‬
‘Umar ibn Khattāb yang melarang Abū Mūsā
(Al-khalīfah) adalah pemimpin tertinggi dalam
Al-Asy’arī menjadikan orang Nasrani sebagai
negara Islam.

193
Kata imāmah dan khilāfah memiliki Ulil amri di antara kalian
maknanya adalah para amīr yang
kesamaan makna, hal ini dikatakan oleh
benar dan penguasa yang adil,
banyak ulama, di antaranya imam Al-Nawawī, seperti Al-khulafā Al-rāshidīn dan
yang mengikuti mereka di antara
Ibnu Khaldūn dan yang lainnya.
orang-orang yang mendapatkan
Seorang imām sebagai pemimpin tertinggi petunjuk. (‘Abdullāh bin Aḥmad
Al-Qādirī. 1986).
dalam negara Islam disebut juga khalīfah.
Selain itu, didukung juga oleh fakta
Imam Al-Mawardi mendefinisikan imāmah
sejarah bahwa para ulil amri dipanggil dengan
sebagai berikut,
beberapa panggilan, di antaranya; khalīfah,
ِ‫عةٌ ِل ِخ ََلفَ ِة ال ُّنب َُّوة‬
َ ‫ض ْو‬ ُ ‫اإل َما َمةُ َم ْو‬
ِ amīr Al-mukminīn, dan Al-imām. Ulil amri
ْ‫س ِة الدُّن َيا‬ َ ‫س ِة ال ِدِّي ِْن َو ِس َيا‬
َ ‫فِي ِح َرا‬ yang pertama kali dipanggil khalīfah adalah
‫ِب ِه‬
Tujuan adanya kepemimpinan Abū Bakar Al-Ṣiddīq, beliau dipanggil
adalah untuk menggantikan tugas khalīfah Rasulillāh. Ulil amri yang pertama
kenabian dalam menjaga agama
Islam dan mengatur dunia dengan kali dipanggil amīr Al-mukminīn adalah ‘Umar
syariat agama. (Muhammad bin bin Al-Khaṭṭab. Ulil amri yang pertama kali
Ibrāhīm Al-
Hamd/www.toislam.net.1426 H). dipanggil Al-imām adalah ‘Ali bin Abi bin Abi

Dalam kitab Al-Mausū‘ah Al-Fiqhiyyah Ṭālib. (Sulaimān ibn Qāsim Al-‘Īd. 2002).

Al-Kuwaitiyah disebutkan bahwa ulil amri 6. Legalitas Kekuasan Ulil Amri


mencakup khalīfah dan imām, Berkata Abu Imam Al-Māwardī mengatakan bahwa
Ja’far Al-Ṭabarī: pendapat yang paling tepat legalitas kekuasaan ulil amri dikatakan sah
bahwa ulil amri adalah para pemimpin dan apabila dilakukan dengan dua cara, yaitu;
penguasa, berdasarkan hadis sahīh dari pertama, pemilihan dan pembai’atan oleh ahl
Rasulullāh yang memerintahkan kita untuk Al-hal wa Al-‘aqd. Kedua, ditunjuk oleh ulil
mentaati para pemimpin dan penguasa dalam amri sebelumnya.
ketaatan kepada Allah dan untuk kemaslahatan Ulama berbeda pendapat tentang siapa
kaum muslimin. Mencakup pemimpin di masa yang dimaksud ahl Al-hal wa Al-‘aqd. Imam
Rasulullāh dan setelah beliau, yaitu para Al-Nawawī mengatakan bahwa ahl Al-hal wa
khalīfah, para sultan, para amīr, para hakim Al-‘aqd adalah para ulama dan penguasa.
dan yang lainnya yang memiliki kekuasaan Imam Al-Baghdādī mengatakan bahwa ahl Al-
yang luas. (Wizārat Al-Awqāf wa Al-Shu’ūn hal wa Al-‘aqd adalah ulama yang ahli ijtihād.
Al-Islāmiyah. 1983). Muhammad Abduh mengatakan ahl Al-hal wa
Berkata Qādī Abū Al-Su’ūd bin Al-‘aqd adalah para penguasa, para hakim,
Muhammad Al-Hanafī, para ulama, komandan pasukan tentara, dan

‫ ُه ْم أ ُ َم َرا ُء‬:‫أ ُ ْو ِلى ْاأل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬ para tokoh yang disegani dan menjadi rujukan
‫اء‬ِ َ‫ق َو ُو ََلة ُ ْال َع ْد ِل َك ْال ُخلَف‬ ِ ِّ ‫ْال َح‬ masyarakat dalam menyelesaikan segala
َ‫الرا ِش ِديْنَ َو َم ْن َي ْقتَدِى ِب ِه ْم ِمن‬ َّ masalah yang terkait orang banyak.
َ‫ْال ُم ْهتَ ِديْن‬
194
Imam Al-Māwardī mengatakan bahwa dianggap sah dalam pemilihan ulil amri adalah
anggota ahl Al-hal wa Al-‘aqd harus memiliki satu orang, sebagaimana Abbās bin Abd Al-
tiga kriteria yaitu; pertama adālah (keadilan), Muṭālib yang membaiat Ali bin Abi Ṭālib
yaitu menjauhi perbuatan kefasikan dan tidak seorang diri kemudian diikuti oleh yang
zalim. Kedua, memiliki ilmu yang lainnya.
membuatnya mampu mengetahui siapa yang Ulama sepakat tentang sahnya
berhak menjadi pemimpin yang memenuhi kepemimpinan ulil amri yang ditunjuk oleh ulil
kriteria. Ketiga, memiliki wawasan dan sikap amri sebelumnya, dan ijma’ membolehkannya.
bijaksana yang membuatnya mampu memilih Ia sendiri dibolehkan melakukan pembai’atan
siapa yang paling tepat menjadi pemimpin. dan menyerahkan amanat kepemimpinan
Sebelum memilih, wajib bagi ahl Al-hal kepada orang yang ditunjuk, tanpa harus
wa Al-‘aqd mempelajari data pribadi, sifat dan berkonsultasi dengan dewan ahl Al-hal wa Al-
kriteria ulil amri, kemudian mereka memilih ‘aqd. (‘Alī bin Muḥammad Al-Māwardī.
yang paling baik, paling banyak kelebihannya, (2006).
paling lengkap kriterianya, paling segera 7. Tujuan-tujuan Ulil Amri
ditaati. Tujuan adanya ulil amri tercermin dalam
Para ulama berbeda pendapat tentang dua tujuan besar, yaitu;
jumlah anggota ahl Al-hal wa Al-‘aqd yang a. Menegakkan Agama Islam
dianggap sah dalam pemilihan ulil amri. Maksudnya adalah menjadikan agama
Sebagian ulama berpendapat bahwa pemilihan sebagai syiar nyata dalam kehidupan,
ulil amri dianggap sah jika dihadiri oleh menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah,
seluruh anggota ahl Al-hal wa Al-‘aqd dari menegakkan rukun Islam dan menjaga agama
seluruh wilayah, tujuannya agar diterima oleh dari penyimpangan. (Shihāb Al-Dīn Al-Sayyid
seluruh lapisan masyarakat dan mereka semua Maḥmūd Al-Alūsī).
tunduk kepada kepemimpianannya. Penegakkan agama Islam ini diwujudkan
Sebagian ulama lainnya berpendapat dengan menyuruh berbuat makruf dan
bahwa jumlah minimal ahl Al-hal wa Al-‘aqd melarang dari kemungkaran serta
yang dianggap sah dalam pemilihan ulil amri melaksanakan ajaran agama secara
adalah lima orang, mereka boleh mengangkat menyeluruh. Sebagaimana firman Allah dalam
seseorang dari selain mereka atau memilih surat Al-Hajj ayat 41 dan Al-Shūrā [042] ayat
salah seorang dari mereka sendiri dengan restu 13.
empat anggota lainnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa b. Mengatur dunia dengan syariat Islam
jumlah minimal ahl Al-hal wa Al-‘aqd yang Tujuan ulil amri yang kedua adalah
dianggap sah dalam pemilihan ulil amri adalah mengatur dunia dengan syariat Islam sebagai
tiga orang. Ada juga ulama yang berpendapat satu-satunya agama yang diturunkan Allah
jumlah minimal ahl Al-hal wa Al-‘aqd yang Ta’ālā dan diridai-Nya. Allah Ta’ālā yang

195
berkuasa dan mengatur. Apa pun yang ada di melindungi dan menjaga wilayah negara dan
alam ini berada di bawah kendali dan aturan- tempat suci kaum muslimin agar aman dari
Nya. Kekuasaan mutlak hanya milik Allah gangguan, menegakkan hukum had,
Ta’ālā semata, bukan yang lain. melindungi perbatasan dengan benteng kokoh,
Ulil amri hanyalah lembaga eksekutif memerangi orang yang menentang Islam
yang fungsi utamanya menjalankan hukum- setelah didakwahi hingga masuk Islam, atau
hukum Allah Ta’ālā atas hamba-Nya dan masuk dalam perlindungan Islam, mengambil
menata kehidupan mereka dengan syariat-Nya. harta fai dan memungut sedekah sesuai
Tanpa syariat Allah Ta’ālā, kondisi umat tuntutan syari’at tanpa rasa takut dan paksa,
manusia tidak akan menjadi baik. (‘Abdullāh menentukan gaji pegawai dan pengeluaran kas
Al-Dumaijī. 2016). negara tanpa berlebih-lebihan sesuai aturan
Imam Al-Shāfi'ī (W: 204 H) mengatakan, syariat, memilih dan mengangkat orang-orang

‫ع‬ َّ ‫سةَ ِإ ََّل َما َوافَقَ ال‬


َ ‫ش ْر‬ َ ‫ََل ِس َيا‬ profesional untuk memegang jabatan strategis
Tidak ada kebijakan politik yang dalam rangka menjalankan tugas-tugas negara
layak diterapkan kecuali yang
sesuai syariat Islam. (‘Abd Al- dan memilih orang-orang yang jujur untuk
Salām bin Barjas Al-‘Abd Al- mengurusi keuangan negara, dan terjun
Karīm 2006).
langsung menangani persoalan penting dalam
Tujuan-tujuan ulil amri lainnya sebagai
negara dan mencari tahu segala kondisi rakyat.
cabang dari tujuan kedua ini adalah
Sebagaimana disebutkan dalam surat Ṣād ayat
menegakkan keadilan, memerangi kezaliman,
26. (‘Alī bin Muḥammad Al-Māwardī. 2006).
menyatukan kaum muslimin, menjauhi
Adapun hak-hak ulil amri atas rakyat
perpecahan, menjaga keamanan dan
adalah sebagai berikut;
merealisasikan kemaslahatan bagi manusia
1. Hak ditaati
yang bersifat keagamaan dan keduniaan.
Ketaatan rakyat kepada ulil amri tidak
(Dhiyāb bin Sa’ad Āli Ḥamdān Al-Ghāmidī.
mutlak, namun bersyarat. Yaitu hanya ketaatan
1429 H).
dalam perkara kebaikan bukan dalam perkara
8. Hak dan Kewajiban Ulil Amri
maksiat. (Sulaimān ibn Qāsim Al-‘Īd. 2002).
Imam Al-Māwardī (W. 450 H) dalam Sebagaimana firman Allah Ta’ālā dalam surat
kitabnya Al-Aḥkām Al-Sulṭāniyyah Al-Nisā’ ayat 59.
menghimpun sepuluh kewajiban ulil amri yang Ulil amri ditaati dalam tujuh perkara,
di dalamnya mencakup aspek agama, politik, yaitu; pencetakan uang (dinar/dirham),
keamanan dalam dan luar negeri, administrasi, penentuan timbangan dan takaran, pelaksanaan
ekonomi dan peradilan. (Muḥammad Fatḥī hukum-hukum, pelaksanaan haji, salat Jum’at
Uthmān. 1984). dan penentuan dua hari raya. (Muhammad bin
Kewajiban-kewajiban ulil amri adalah Ahmad bin Abī Bakr Al-Qurṭubī. 2006).
sebagai berikut; Menjaga dan menegakkan 2. Hak ditolong dan dibela
agama Islam, menegakkan hukum dengan adil,

196
Ulil amri berhak ditolong dan dibela Imam ibnu Kathīr mengatakan bahwa
rakyat agar ia mampu menunaikan orang kafir tidak dapat menguasai orang
kewajibannya dan membantunya dari segala beriman dan memusnahkan seluruh orang
bentuk pemberontakan. (Nu’mān ‘Abd Al- beriman. (Abū Al-Fidā’ Ismā’īl Ibnu
Razzāq Al-Sāmarāi. 2000). ‘Umar Ibnu Kathīr. 2000).
Imam Al-Māwardī mengatakan bahwa b. Meninggalkan salat dan menyeru untuk
ketaatan rakyat kepada ulil amri dan meninggalkan salat.
pertolongan kepadanya diberikan selama c. Tidak memutuskan perkara dengan
keadaan diri ulil amri itu tidak berubah, yaitu hukum Allah. Nabi Ṣalallāhu’alaihi
perubahan yang dengannya ia harus mundur wasallam bersabda ketika haji wada’,
dan dimakzulkan dari kepemimpinan karena beliau bersabda,
sebab cacat keadilan alias fasik dan cacat organ ‫ع ْبدٌ َيقُودُ ُك ْم‬َ ‫ع َل ْي ُك ْم‬
َ ‫َو َل ْو ا ْست ُ ْع ِم َل‬
tubuh. ‫َّللا فَا ْس َمعُوا لَهُ َوأ َ ِطيعُوا‬
ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ِب ِكتَا‬
Cacat keadilan alias fasiknya ulil amri Seandainya kalian dipimpin oleh
seorang budak yang memimpin
dapat disebabkan karena ia mengikuti syahwat dengan Al-Qur’an, maka
dan mengerjakan kemungkaran atau mengikuti dengarkan dan taatilah dia.
(Aḥmad bin Muḥammad bin
syubhat dengan menafsirkan suatu perkara Ḥanbal. 2001)
yang tidak sesuai dengan kebenaran. Alī bin Abī Ṭālib berkata,

‫اإل َم ِام أ َ ْن َيحْ ُك َم ِب َما‬


Adapun cacat organ tubuh yang
ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫َح ٌّق‬
‫ِي ْاأل َ َما َنةَ فَإِذَا فَ َع َل‬ َّ ‫أ َ ْنزَ َل‬
menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai
َ ِّ‫َّللاُ َوي َُؤد‬
‫الر ِع َّي ِة أ َ ْن َي ْس َمعُوا‬
َّ ‫علَى‬
ulil amri adalah cacat panca indera seperti
َ ‫ذَلِكَ فَ َح ٌّق‬
hilang akal/ingatan permanen yang tidak bisa
.‫َوي ُِطيعُوا‬
sembuh dan hilang penglihatan, cacat tubuh Wajib atas pemimpin untuk
yang mempengaruhi kerjanya seperti hilang berhukum dengan hukum Allah
dan menunaikan amanah, apabila
kedua tangan atau hilang kedua kaki, dan cacat ia telah melaksanakan keduanya
tindakan seperti ditawan musuh hingga tidak maka wajib bagi rakyat untuk
mendengar dan taat kepadanya.
bisa melepaskan diri darinya dan tidak ada (Al-Ḥusain bin Mas'ūd Al-
harapan untuk dibebaskan. (‘Alī bin Baghawī. 2002).

Muḥammad Al-Māwardī. (2006). d. Fasik, zalim dan berbuat bid’ah. Ulama

Shaikh ‘Abdullāh bin ‘Umar bin Sulaimān sepakat kepemimpinan tidak boleh

Al-Dumaijī dalam kitabnya Al-Imāmah Al- diserahkan kepada orang fasik sejak awal.

‘Uẓmā ‘Inda Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jamā’ah Namun jika kepemimpinan itu sudah

menuturkan enam perkara yang menyebabkan diemban kemudian ia berbuat fasik, dalam

seorang ulil amri tidak sah dan harus dipecat, hal ini ulama berbeda pendapat.

yaitu: Mayoritas ulama ahl Al-sunnah wa Al-

a. Kafir dan murtad dari Islam. Ini jamā’ah berpendapat bahwa imam fasik

disebutkan dalam surat Al-Nisā’ ayat 141. tidak dipecat selama tidak meninggalkan

197
salat dan kefasikannya tidak 1. Makna ulil amri menurut bahasa adalah
menyebabkan kafir. Mayoritas ulama ahl setiap orang yang memerintah dan
Al-sunnah wa Al-jamā’ah berpendapat mengurus urusan. Menurut istilah, kata
tidak boleh keluar dari ketaatan kepada ulil amri dapat bermakna umum dan
ulil amri walaupun mereka fasik. (Fahd khusus. Makna umum dari ulil amri
ibn ‘Abd Al-Raḥmān ibn Sulaimān. adalah setiap orang yang menguasai dan
1997). mengurus suatu urusan dengan kekuasaan
e. Keterbatasan dalam bertindak. yang sah, seperti suami yang berkuasa
f. Tidak cakap disebabkan lemahnya akal atas istrinya dan pemilik budak yang
atau fisik yang berpengaruh terhadap berkuasa atas budaknya. Adapun makna
gagasan dan pekerjaan, sehingga layak khusus dari ulil amri adalah setiap orang
dipecat. Seperti; gila, buta, putus kedua yang menguasai dan mengurus urusan
kaki atau tangannya. (‘Abdullāh Al- kaum muslimin dalam lingkup luas dan
Dumaijī. 2016). mencakup umum, seperti khalīfah dan
9. Kriteria-kriteria Ulil Amri kepala negara. Jumhur ulama salaf dan
Ulil amri adalah pemimpin negara yang khalaf dari kalangan mufassirīn, fuqahā
harus memiliki sejumlah kriteria tertentu yang dan ulama akidah di antaranya Al-Ṭabarī
wajib diperhatikan. Hal ini mengingat berpendapat bahwa ulil amri adalah
besarnya tanggung jawab yang diemban dan pemimpin dan penguasa. Pendapat yang
agar ia mampu memikul amanat besarnya. mengatakan bahwa ulil amri adalah
Kriteria ulil amri yang menjadi pemimpin penguasa dan pemimpin ini adalah
tertinggi dalam negara yaitu: Islam, merdeka, berdasarkan penelitian mendalam pada
baligh, berakal, laki-laki, berilmu, ‘adalah ayat Al-Qur`an, Hadith, athar dan bukti
(keadilan), dan memiliki kecakapan diri dan sejarah, selain itu juga pendapat ini sesuai
fisik. (Wizārat Al-Awqāf wa Al-Shu’ūn Al- dengan makna ulil amri menurut bahasa
Islāmiyah. 1983). dan istilah.
10. Sifat-sifat Ulil Amri 2. Kewajiban utama ulil amri adalah
Dalam Al-Tafsīr Al-Basīṭ disebutkan menegakan agama Islam dan mengatur
empat sifat ulil amri wajib ditaati oleh rakyat, urusan kaum muslimin dengan syariat
yaitu; Ilmu, amanah, kompeten, dan bernasab Islam.
Quraish. (‘Alī ibn Aḥmad ibn Muḥammad Al- 3. Dua hak utama ulil amri adalah ditaati dan
Wāḥidī. 1430 H). dibela.
Kriteria ulil amri yang wajib ditaati yaitu:
E. KESIMPULAN Muslim, merdeka, baligh, berakal, laki-laki,
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab berilmu, ‘adālah (keadilan), dan memiliki
yang telah dikemukakan di atas, maka penulis kecakapan diri.
simpulkan sebagai berikut:

198
DAFTAR PUSTAKA Rāzī Al-Shahīr bi Al-Tafsīr Al-Kabīr wa
Mafātīh Al-Gaib. Beirut: Dār Al-Fikr.
Abī Al-‘Izz, ‘Alī bin ‘Alī bin Muhammad bin.
(1990). Sharah Al-Aqīdah Al- Al-Dumaijī, ‘Abdullāh. (2016). Konsep
Ṭahāwiyah. Cairo: Maktabat Al-Risālah. Kepemimpinan Dalam Islam. Jakarta:
Ummul Qura.
Ahmad Khoirul Anam, Rumba Triana, Aceng
Zakaria. (2019). Debat Dalam Prespektif Al-Ghāmidī, Dhiyāb bin Sa’ad ‘Āli Ḥamdān.
Al-Qu’ran Studi Tematik Ayat-Ayat (1429 H). Ḥaqīqat Kurrat Al-Qadam.
Tentang Debat. Bogor: STAI Al
Alif, Muhammad. (2019). Manhaj Ahl Al-
Hidayah.
Sunnah wa Al-Jama’āh Kepada Ulil
Al-‘Abd Al-Karīm, ‘Abd Al-Salām bin Amri. Pustaka Al-Qibty.
Barjas. Muāmalat Al-Hukkām Fī Ḍau Al-
Al-Jibrin, ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Raḥmān.
Kitāb wa Al-Sunnah. (2006). Riyāḍ:
(1420 H). Sharah Usūl Al-Sunnah li
Maktabat Al-Rushd.
Imām Ahl Al-Sunnah Abī Abdillāh
Al-‘Īd, Sulaimān ibn Qāsim. (2002). Al- Ahmad bin Hanbal. Riyāḍ: Maktabat Dar
Niẓām Al-Siyāsi fī Al-Islām. Riyāḍ: Dār Al-Muyassar.
Al-Watan Li Al-Nashr.
Al-Māwardī, ‘Alī bin Muḥammad Ibn Ḥabīb.
Al-Alūsī, Shihāb Al-Dīn Al-Sayyid Maḥmūd. (2006 M). Al-Aḥkām Al-Sulṭāniyyah.
Rūḥ Al-Ma’ānī. Beirut: Dār Al-Ihyā Al- Cairo: Dār Al-Hadīth.
Turāth Al-‘Arabī.
Al-Naisāburī, Muslim bin Al-Hajjāj. (2014).
Al-Atharī, ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-Ḥamīd. Sahīh Muslim kitāb Al-Jihād Bāb Al-
(2006). Ringkasan Keyakinan Islam Inkār Alā Al-Umarā wa Tarki Qitālihim
(Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah). mā Ṣallū. Cairo. Dar Al-Ta’ṣīl.
Surabaya: Pustaka La Raiba Bima
Al-Qādirī, ‘Abdullāh bin Aḥmad. (1986). Al-
Amanta (eL BA).
Hudūd wa Al-Sulṭān. Jeddah: Dar Al-
Al-Baghawī, Al-Ḥusain bin Mas'ūd. (2002). Mujtama’ li Al-Nashr wa Al-Tauzi.
Tafsīr Ma’ālim Al-Tanzīl. Beirūt: Dār
Al-Qaisī, Abū Muḥammad Makkī bin Abī
Ibn Hazm.
Ṭālib. (2008 M). Tafsir Makkī Al-
Al-Baiḍānī, ‘Abdullāh bin ‘Umar bin Hidāyah Ilā Bulūgh Al-Nihāyah. Al-
Muhammad Al-Syairāzī. (1998 M). Shāriqah Imarot: Jāmi’ah Al-Shāriqah.
Anwār al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl Al-
Al-Qāsimī, Muḥammad Jamāl Al-Dīn. (1957
Ma’ruf bi Tafsīr Al-Baiḍānī. Beirut: Dār
M). Tafsir Al-Qāsimī Al-Musammā
Ihyā’ Turāth Al-Arabī.
Māhasin Al-Ta’wīl. Dār Ihyā Al-Kutub
Al-Baihaqī. (2003). Shu’ab Al-Īmān. Riyāḍ: Al-Arabiyah.
Maktabat Al-Rush li Al-Nashr wa Al-
Al-Qurṭubī, Abu ‘Abdillāh Muḥammad bin
Tauzī.
Aḥmad bin Abī Bakr. (2006 M). Al-Jāmi’
Al-Barbahārī, Abu Muḥammad bin Ḥasan. li Ahkām Al-Qur’ān Al-Mubayyin Limā
(1993). Sharh Al-Sunnah. Madīnah Al- Taḍammanahū min Al-Sunnah wa Āyi
Munawwarah: Maktabat Al-Gurabā Al- Al-Furqān. Beirut: Muassasah Al-
Athariyah. Risālah.
Al-Bukhārī, ‘Abdullāh bin Muḥammad ‘Abd Al-Ruḥailī, Ibrāhīm bin Amīr. (2019 M).
Al-Rahīm. (1415 H). Riyaḍ Al-Jannah bi Bagaimana Ulama Salaf Menyikapi
Takhrīj Usūl Al-Sunnah li Abī Abdillah Penguasa. Jakarta: Pustaka Imām Al-
Muhammad bin Abdillah Al-Andalusī Al- Shafi’i.
Shahīr bi Ibni Abī Zamanain. Madinah:
Al-Sa’dī, Abd Al-Rahmān bin Nāsir. (2002).
Maktabat Al-Gurabā Al-Athariyah.
Tafsīr Al-Karīm Al-Rahmān Fī Tafsīr
Al-Dīn, Muhammad Al-Rāzī Fakhr Al-Dīn Kalām Al-Mannān. Beirūt: Muassasah
Ibn Ḍiyā. (1981 M). Tafsīr Al-Fakhr Al- Al-Risālah

199
Al-Ṣālihī, ‘Alī Al-Ḥamd Al-Muḥammad. Al- Kajian Ayat Ekologi. Lampung: UIN
Ḍau Al-Munīr ‘alā Al-Tafsīr (Tafsīr Ibn Raden Intan Lampung.
Al-Qayyim). Beirut: Muassasah Al-Nūr li
Ibnu Kathīr, Abū Al-Fidā’ Ismā’īl Ibn ‘Umar.
Al-Ṭibāah wa Al-Tajlīd.
(2004). Al-Bidāyah wa Al-Nihāyah.
Al-Sāmarāi, Nu’mān ‘Abd Al-Razzāq. (2000 Libanon: Bait Al-Afkār Al-Dauliyah.
M). Al-Niẓām Al-Siyāsi fī Al-Islām.
Ibnu Kathīr, Abū Al-Fidā’Ismā’īl Ibn ‘Umar.
Riyāḍ: Maktabat Al-Malik Fahd Al-
(2000). Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Azīm.
Waṭaniyah.
Beirūt: Dār Ibn Hazm.
Al-Shawkāni, Muḥammad bin ‘Ali bin
Maula, Rifqi Ghufron. (2019 M). Ulil Amri
Muḥammad bin ‘Abdullāh Al-San’āni.
Dalam Perspektif Al-Qur’an Serta
(2010). Fath Al-Qadīr Jāmi’ Baina
Penafsirannya Menurut Ahmad Musṭafā
Fannī Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat Min
Al-Marāgī Dan Wahbah Zuḥailī. Banten:
Ilmi Al-Tafsir Kuwait: Dār Al-Nawādir.
Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan
Al-Shinqiṭī, Muḥammad al-Amīn. (1426 H). Maulana Hasanuddin.
Aḍwāu Al-Bayān fī Iḍāh Al-Qur’ān bi Al-
Nukhbat Min Al-Ulamā. (2013). Al-Dalīl Al-
Qur’ān. Makkah Al-Mukarramah: Dār
Rashīd ila Mutūn Al-Aqīdah wa Al-
‘Ālam Al-Fāwāid.
Tauhīd. Cairo: Dar Al-Istīqāmah.
Al-Suyūtī, Jalāl Al-Dīn. (2002). Asbāb Al-
Sulaimān, Fahd ibn ‘Abd Al-Raḥmān ibn.
Nuzūl Al-Musammā Lubāb Al-Nuqūl fī
(1997). Ittijāhat Al-Tafsir Fi Al-Qarn Al-
Asbāb Al-Nuzūl. Beirut: Muassasah Al-
Rābi’ ‘Ashar. Beirut: Muassasah Al-
Kutub Al-Thaqāfiyah.
Risālah.
Al-Suyūṭī, Jalāl Al-Dīn. (2003 M). Al-Dūr Al-
Uthmān, Muḥammad Fatḥī. (1984). Min Usul
Manthūr fi Al-Tafsir bi Al-Ma’thūr.
Al-Fikr Al-Islamī. Beirut: Muassasah Al-
Cairo. Markaẓ Hijr li Al-Buhūth wa Al-
Risālah.
Dirāsat Al-Arabiyat wa Al-Islāmiyat.
Al-Ṭabarī, Muhammad bin Jarīr. (2003).
Tafsīr Al-Ṭabari Jāmi’ Al-Bayān fi
Ta’wīl Āyi Al-Qur’ān. Cairo: Maktabat
Ibn Taimiyah.
Al-Ṭarīqī, ‘Abdullāh bin Ibrāhīm. (1995).
Tā’atu Uli Al-Amr Al-Qism Al-Thāni
Mafhūm Al-Tā’at wa Al-‘Iṣyan. Riyād:
Dār Al-Muslim.
Al-Ṭarīqī, ‘Abdullāh bin Ibrāhīm. Min
Qawā’id Al-Niẓām Al-Siyāsi fi Al-Islām
(Ṭā’atu Ulil Amri). www.alukah.net.
Al-Tha’ālabī, ‘Abd Al-Raḥmān bin
Muḥammad bin Makhlūf Abī Zaid.
Tafsīr Al-Tha’ālabi Al-Musammā bi Al-
Jawāhir Al-Ḥisān fī Tafsīr Al-Qur’ān.
Beirūt. Dār Iḥyā Al-Turāth Al-‘Arabī.
Al-Wāḥidī, ‘Alī ibn Aḥmad ibn Muḥammad.
(1430 H). Al-Tafsīr Al-Basīṭ. Riyāḍ:
Silsilah Al-Rasāil Al-Jāmi’ah Al-Imām.
Departemen Agama RI. (2002). Al-Qur’an
dan terjemahnya. Jakarta: CV Darus
Sunnah.
Fauzan, Mustofa dan Masruchin. (2019)
Metode Tafsir Mauḍu’ī (Tematik):

200

Anda mungkin juga menyukai