Anda di halaman 1dari 38

KONSEP ULIL AMRI DALAM AL-QUR’AN

(ANALISIS PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN SYEIKH

NAWAWI AL-BANTANI DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT 59)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Agama (S.Ag.)

Oleh:

Mualif

NIM: 18020023

PROGRAM STUDI TAFSIR WA `ULUMUHU

MA`HAD ALY AL-IMAN BULUS

PURWOREJO

2022

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Al-Quran terdapat sebuah ayat mengenai pemimpin yang

sangat sering dikutip oleh para politisi partai islam terutama di musim

kampanye menjelang Pemilu. Namun yang di sayangkan ialah umumnya

mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja,

karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar umat taat kepada Ulil

Amri Minkum (para pemimpin diantara kalian atau para pemimpin diantara

orang-orang beriman).1

Para politisi partai itu meyakini jika diri mereka terpilih menjadi

wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan

diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum. Hal itu akan

menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para

konstituen. Selain orang-orang yang sibuk menghamba kepada Allah

semata, mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan

ummat, itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye.

Namun, mereka umumnya hanya mengutip sebagian saja.2

Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata

Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip, padahal justru

bagian selanjutnya yang sangat penting. Karena justru bagian itulah yang

menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang


1
Abdul Mu’in Salim, Konsepsi kekuasaan politik dalam Al-Quran, PT . Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994
2
Ibid, h.223

1
menjadikan sebuah pemahaman siapa sebenarnya Ulil Amri Minkum dan

siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah orang-orang

yang berkampanye tersebut layak atau tidak memperoleh ketaatan ummat.3

Kata Ulil Amri merupakan kata yang akrab di dengar. Seringkali

dalam perbincangan sehari-hari kita menggunakan istilah ini. Istilah Ulil

Amri sebenarnya dirujuk dari ayat4


‫هّٰللا‬
ُ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْي ُعوا َ َواَ ِط ْي ُعوا ال َّر‬
‫س ْو َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِنْ تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي ش َْي ٍء فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى‬
‫هّٰلل‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫س ْو ِل اِنْ ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُ ْونَ بِا ِ َوا ْليَ ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِ َك َخ ْي ٌر َّواَ ْح‬
‫سنُ تَْأ ِو ْياًل‬ ُ ‫ِ َوال َّر‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),

dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan

Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya”.

Kata Ulil Amri dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 ini masih

banyak menimbulkan perbedaan dalam memaknai kata tersebut, baik dari

kalangan umum, maupun dari para mufassir yang terkenal. Salah satunya

menurut Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalam Tafsir at-

Thabari, dia mengatakan bahwa para ahli ta'wil berbeda pandangan

mengenai arti Ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan Ulil Amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain,

masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa Ulil Amri itu adalah ahlul ilmi

3
Ibid, h. 261
4
Al-Qur’an, 4:59

2
wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian

ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang

dimaksud dengan Ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat Ulil Amri itu

adalah Abu Bakar dan Umar.5

Imam al-Mawardi dalam sebuah kitab tafsirnya mengatakan bahwa

ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada Al-Qur’an

Surat An-Nisa’ ayat 59. Pertama, Ulil Amri bermakna umara (para

pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini

merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sa’dy, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid.

Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka

mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam

asbab nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun

berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul

mengangkatnya menjadi pemimpin dalam Syariyah (perang yang tidak

diikuti oleh Rasulullah SAW). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat

ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika

keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam Syariyah. Kedua,

Ulil Amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat

Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat

dari Mujahid yang mengatakan bahwa Ulil Amri itu adalah sahabat-sahabat

Rasulullah SAW. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih

Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149
5

3
menyempitkan makna Ulil Amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu

Bakar dan Umar.6

Dari perbedaan pendapat mengenai makna Ulil Amri, penulis dalam

penelitian skripsi ini hanya ingin menjelaskan pada penafsirannya M.

Quraish Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani agar mendapat pandangan

tentang makna Ulil Amri menurut mufassir Nusantara.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kriteria seorang pemimpin atau Ulil Amri itu yang patut

untuk ditaati oleh semua orang?

2. Bagaimana penafsiran para ulama’ mengenai Makna Ulil Amri

yang terdapat pada Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59?

C. Pembatasan masalah

1. Penulis hanya ingin mengulas penafsiran dari Muhammad Quraish

Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani

2. Penulis akan fokus pada QS. An-Nisa’ ayat 59

D. Perumusan Masalah

1. Bagaimana konsep Ulil Amri menurut Penafsiran Muhammad Quraish

Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam surat an-Nisa’ ayat 59?

2. Bagaimana kontekstualisasi Ulil Amri menurut Muhammad Quraish

Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam surat an-Nisa’ ayat 59?

E.Tujuan Penelitian

6
Tafsir al-Mawardi, Jilid 1, h. 499-500

4
1. Dapat mengetahui konsep Ulil Amri menurut Penafsiran Muhammad

Quraish Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam surat an-Nisa’

ayat 59.

2. Dapat mengetahui kontekstualisasi Ulil Amri menurut Muhammad

Quraish Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam surat an-Nisa’

ayat 59.

F.Kajian Pustaka

1. Skripsi “Ulil Amri Dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi Komparatif

Penafsiran Ahmad Musṭafa Al-Maragi dan Wahbah Zuḥaili)” diteliti

oleh Rifqi Ghufron Maula, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas

Ushuluddin dan Adab, Tahun 2019 M/1440 H . Hasil dari penelitian ini

adalah, Ulil Amri ini mempunyai peranan yang sangat penting karena

Ulil Amri adalah seorang atau sekelompok orang yang mengurus

kepentingan-kepentingan umat. Pemikiran Ahmad Musṭafā Al-Marāgī

dan Wahbah Al-Zuḥailī tentang Ulil Amri kedua mufassir ini

menafsirkan bahwa Ulil Amri seluruh pemimpin dan kepala yang

menjadi tempat kembali manusia dalam kebutuhan dan maslahat

umum. Apabila mereka telah menyepakati suatu urusan atau hukum.

Dengan syarat, mereka harus dapat dipercaya, tidak menyalahi perintah

Allah dan sunnah Rasul yang mutawatir. Dalam Tafsir Al-Misbah,

wajib taat kepada Ulil Amri jika perintahnya tidak mengandung atau

mengakibatkan kedurhakaan, mereka wajib ditaati, walaupun perintah

tersebut tidak berkenan di hati yang diperintah.

5
2. skripsi dari Muhammad yang berjudul Kepemimpinan Laki-laki atas

Perempuan Dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang boleh atau

tidaknya perempuan memimpin suatu negara, hal ini dikarenakan ia

melihat bahwa pada zaman yang modren dan kontemporer sekarang ini

siapa saja boleh memimpin baik laki-laki maupun juga perempuan, dia

mengatakan hal tersebut sesuai penelitian yang dilakukan dari berbagai

kitab tafsir yang ada dan kitab-kitab lainnya.

3. Skripsi “Ulil Amri Dalam Perspektif Para Fuqoha dan Peranannya

Dalam Pemerintahan Islam” diteliti oleh Fadillah, STAIN Sultan

Maulana Hasanuddin Banten tahun 2000. Di dalam skripsi ini lebih

membahas tentang kepemimpinan yang baik dan patut diikuti secara

syar’i, kedudukan, asas, dan karakteristik Ulil Amri. Berbeda dengan

skripsi yang menggunakan ayat Al-Qur’an yang secara langsung

menyebutkan kata Ulil Amri begitu pula dengan penafsirannya

sekaligus perbandingannya di antara dua sumber.

4. Skripsi Cepi Cahyadi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta

2015 dalam penelitiannya yang berjudul: Penafsiran Ayat-ayat tentang

Ulil Amri (Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Taimiyah

terhadap ; QS. An-Nisa’ Ayat 58-59 dan 83). Dari skripsi di atas dapat

menyimpulkan bahwasannya penelitian tersebut hanya memfokuskan

situasi pada masa itu dan pemikiran kedua mufassir dalam menafsirkan

ayat Ulil Amri, berdsarkan latar belakang kedua mufassir tersebut,

mengingat Sayyid Qutbh yang aktif berkecimpung di organisasi

6
Ikhwanul Muslimin beliau menafsirkan ayat Ulil ‘Amri tersebut sangat

luas berbeda dengan Ibnu Taimiyah walaupun beliau aktif di dunia

politik akan tetapi dalam menafsirkan ayat Ulil Amri tidak terlalu

melebar dan mudah difahami oleh pembaca.

5. Skripsi yang berjudul “Terminologi Pemimpin Dalam Al-Qur'an (Studi

Analisis Makna Ulil Amri dalam Kajian Tafsir Tematik)”. Ditulis

Kadarusman mahasiswa jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin UIN

Riau Sultan Syarif Kasim Riau Tahun 2014. Metodologi penelitiannya

adalah library research, dengan menggunakan metode maudhu'i

(tematik). Skripsi ini membahas pemimpin secara umum dan

dilanjutkan membahas Ulil Amri menurut pandangan ulama klasik dan

ulama kontemporer. Seperti menurut Baidhawi mengatakan Ulil Amri

itu adalah amir (Komandan) dari pasukan dizaman Rasulullah SAW.

Setelah Rasul wafat, maka Ulil Amri itu pindah kepada para khalifah,

dan kepala pasukan perang.

Perbedaan penelitian yang ingin ditampilkan penulis dengan skripsi

yang sudah dipaparkan diatas adalah dapat mengetahui Ulil Amri menurut

pandangan mufassir nusantara.

G. Metodelogi Penelitian

1. Sumber Data

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen

perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan

sekunder:

7
a. Sumber pimer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu Al-

Quran dan terjemahannya, serta Tafsir M. Quraish Shihab dan

Tafsir Syeikh Nawawi Al-Bantani.

b. Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap atau penunjang data

yang berkaitan dengan topik yang sedang dikaji, seperti buku-buku

yang relevan dengan topik yang sedang dikaji saat ini.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang

menggunakan jenis penelitian dengan metode library research

(penelitian kepustakaan) serta kajiannya disajikan secara deskriptif

analitis, oleh karena itu berbagai sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur

berbahasa Indonesia, Inggris maupun Arab yang dimungkinkan

mempunyai relevansi yang dapat mendukung penelitian ini.

3. Metode Analisis Data

Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder

diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing.

Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas data-data yang memuat

makna Ulil Amri secara umum serta menurut M. Quraish Shihab dan

Syeikh Nawawi Al-Bantani.

Metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bersifat

menggambarkan dan menguraikan sesuatu hal menurut apa adanya atau

karangan yang melukiskan sesuatu.Metode penelitian Muqarin atau

8
Komparatif yaitu metode membandingkan teks ayat Al-Qur’an atau

membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menasirkan Al-

Qur’an. Seorang mufassir mengambil sejumlah ayat Al-Qur’an,

kemudian mengemukakan penasiran para ulama tafsir terhadap ayat-

ayat itu, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber

dari Rasulullah SAW( Tafsir bil Ma’tsur) atau berdasarkan ratio (Tafsir

bir Ra’yi). Dan mengungkapkan pendapat mereka serta

membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang

berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Metode Komparasi ini yang dapat digunakan bagi penulis untuk

memperoleh wacana tentang Makna Ulil Amri dalam Al-Qur’an surat

an-Nisa’ ayat 59 menurut penfsiran M. Quraish Shihab dan Syeikh

Nawawi Al-Bantani.

H. Sistematik Penulisan

Penulisan skripsi ini ditulis secara secara sistematis dan terarah,

skripsi ini memuat beberapa bagian bab yang terdiri dari 5 sub-bab

didalamnya. Uraian bab tersebut sebagai berikut:

Bab I : Terdiri dari pendahuluan, latar belakang masalah, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian

pustaka, metodelogi penelitian serta sistematika penulisan..

Bab II : Terdiri dari kajian teori, Pengertian Ulil Amri, serta syarat dan

ketentuan dalam meggunakan tema permasalahan makna Ulil Amri.

Bab III : Terdiri dari konsep Ulil Amri dan Taat terhadap Ulil Amri.

9
Bab IV : Terdiri dari: kontekstualisasi Ulil Amri dalam surat an-Nisa’ ayat

59.

Bab V : Penutup, Terdiri dari Kesimpulan dan Saran-Saran.

10
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Ulil Amri

Kata Ulil Amri terdiri dari dua kata yaitu ‫ اولي‬dan ‫االمر‬, kata ‫اولي االمر‬

dari segi bahasa yaitu ‫ اولي‬adalah bentuk jama’ dari ‫ ولي‬yang berarti pemilik

atau yang mengurus serta menguasai, dapat dilihat dari bentuk jama’nya

dari kata tersebut mengartikan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata

‫ االمر‬bermakna perintah atau urusan.7 ‫ االمر‬merupakan isim masdar sekaligus

mudhaf ilaih dari kata uli, adapun asal kata dari al-amr adalah amara ( ‫)امر‬

dengan fathah yang berarti pekerjaan, perintah atau urusan. Jika dilihat dari

bentuk masdar dari kata kerja amara ya'muru yang berarti memerintah atau

menuntut agar sesuatu dikerjakan.8

Al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-Maani ini mendata adanya

beberapa pandangan tentang makna Ulil amri. Ada yang mengatakan bahwa

Ulil Amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (Umara al-Muslimin) pada

masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para Khalifah, Sultan, Qadhi

(hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya

adalah pemimpin Sariah. Juga ada yang berpendapat bahwa Ulil Amri itu

adalah Ahlul ilmi.9

7
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 2.....h. 484.
8
Syauqi Dhaif, Al-Mu'jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Shurouq Ad-Dauliyyah, 2011).
h. 25.
9
Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65

11
Penafsiran makna Ulil Amri ini senada dengan buku terkait politik

yang menyebutkan bahwa dalam Islam arti Ulil Amri atau pemerintah itu

banyak tafsirannya10. Di antaranya:

1. Ulil Amri diartikan dengan para ulama yang amilin, ulama yang

kewibawaannya dihormati orang banyak.

2. Ulil Amri yang diartikan dengan ahlul halli wal 'aqdi (semacam

parlemen atau legislative).

3. Ulil Amri yang diartikan dengan orang-orang yang berkuasa dalam

sebuah negera.

4. Ulil Amri yang dimaksudkan dengan pemimpin-pemimpin Jamaah

Islam, dan lain-lain.

Dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

Ulil Amri adalah pihak atau seseorang yang mendapat wewenang atau

kekuasaan untuk menangani urusan-urusan umat yakni pemimpin. Kalau

dalam suatu negara Ulil Amri berarti kepala Negara.11

B.Pengertian Kepemimpinan

Pemimpin dalam suatu Negara adalah pemegang kekuasaan di

Negara tersebut dan umat menempatkan dirinya pada jabatan tertinggi.

Jabatan tersebut agar sesorang yang menjadi pemimpin dapat mengatur

umat manusia dengan hukum Allah dan Syari’atnya serta membimbing ke

jalan kemaslahatan dan kebaikan, mengurus kepentingannya secara jujur

10
www.eramuslim.com diakses pada 28 juli 2022 pukul 01.30 WIB
11
www.eramuslim.comdiakses pada 28 juli 2022 pukul 01.30 WIB

12
dan adil, serta memimpin umat manusia kearah yang lebih mulia dan

terhormat.

Sekalipun demikian, pemimpin tetap merupakan salah satu dari

warga Negaranya sendiri, akan tetapi ia dipercayai untuk mengurus agama

dan mengatur dunia. Oleh karena itu, pemimpin lah yang banyak

menanggung tanggung jawab dan beban. Selain bertanggung jawab pada

umatnya, pemimpin juga bertanggung jawab kepada Allah. Oleh sebab itu,

pemimpin tidak bisa semenamena dalam memimpin dan memerintah orang

lain.12

Sedangkan menurut ibnu khaldun, kepemimpinan adalah sistem

politik yang berlandaskan pandangan syari’at untuk kemaslahatan dunia dan

akhirat.13

C. Syarat-syarat Pemimpin

Syarat-Syarat Pemimpin ada tujuh, diantaranya adalah:14

1. Adil

Yang dimaksud adil dalam pengertian ini adalah orang yang istiqomah

dalam hidupnya. Menghindari pekerjaan dan perbuatan yang mengarah

pada kefasikan dan kemaksiatan. Jadi, orang dholim tidak dapat

dijadikan pemimpin.15

2. Harus ‘Alim sampai pada tingkat ijtihad

12
Abul ‘Ala Al-Maududi, Sistem Politik Islam (Hukum Dan Konstitusi), terj. Asep
Hikmat (Bandung: Mizan. 1995), h. 171.
13
Abdur Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun (Lebanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2005) h. 150-151
14
Al-Iman Al-Mawardi, Al Ahkam Al Shulthoniyah, Tahqiq oleh Ahmad Jaad (Kairo: Dar
Al-Hadits, 2006) h. 19.
15
Ibid., h. 19.

13
3. Memiliki Panca Indera yang sehat

Yang dimaksud yakni tidak cacat salah satu alat indranya. bisa

mendengar, melihat dan berbicara. Hal ini dibutuhkan untuk

mengoreksi berlangsungnya masalah yang di temui dalam

kepemimpinannya.16

4. Tidak cacat

5. Memiliki pendapat yang cerdas sekiranya bisa bersiasat untuk membuat

peraturan undang-undang yang bijak demi kebaikan rakyat dan

kemaslahatan yang lain.

6. Harus memiliki sifat berani, tegas dan berwibawa.

7. Keturunan Quraish.

Yang dimaksud keturunan Quraish adalah keturunan keluarga quraish

yang bersambung pada nasab kakeknya yang pertama, yaitu Nadr bin

Kinanah.17

Apabila tidak ditemui sebagaimana syarat diatas maka, dipilih yang

paling baik dan paling mendekati pada syarat-syarat diatas.

D. Kewajiban Pemimpin

Secara umum kewajiban pemimpin atau kepala Negara tidak lepas

dari tujuan dan fungsi dari Negara itu sendiri, karena seorang kepala Negara

memiliki kewajiban untuk menegakkan dan melaksanakan dari tujuan

Negara itu. Tujuan Negara meliputi:

16
Ibid. h 19.
17
Ibid. h 20.

14
1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan

bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka

Negara harus melaksanakan penertiban, dapat dikatakan bahwa Negara

bertindak sebagai stabilisator.

2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

3. Pertahanan, dalam hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan

serangan dari luar.

4. Menegakkan keadilan, keadilan ini harus ditegakkan pertama

5. kali oleh kepala Negara, serta pejabat-pejabatnya juga harus berbuat adil

mengikuti sikap adil yang dilakukan oleh kepala Negara, dan terutama

penegakan keadilan ini mesti dilakukan oleh badan-badan pengadilan.18

Namun menurut Al Mawardi kewajiban pemimpin atau kepala

Negara meliputi:

a. Melindungi keutuhan Agama sesuai dengan prinsipprinsipnya dan

dengan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah, atau orang

yang sesat, maka pemimpin harus menjelaskan kepadanya kemudian

menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar

agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan umat terlindungi

dari segala penyesatan.

b. Menerapkan hukum terhadap dua pihak yang berperkara dan

menghentikan perseteruan antara orang yang berselisih, sehingga

keadilan menyebar secara merata.

18
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
1998), cet 11, h. 46.

15
c. Melindungi wilayah Negara dan tempat-tempat suci agar umatnya

senantiasa leluasa bepergian dan bekerja dimanapun dengan aman dari

gangguan baik jiwa ataupun hartanya.

d. Menegakkan hukuman dari suatu hukum untuk melindungi larangan

Allah dari upaya pelanggaran.

e. Melindungi dareha perbatasan dengan benteng yang kokoh agar musuh

tidak mudah masuk.

f. Memerangi penentang-penentang islam yang masih membangkan setelah

adanya upaya mengajak untuk masuk islam.

g. Mengambil harta fai (harta yang didapatkan kaum muslimin dari orang

kafir tanpa peperangan) dan sedekah sesuai dengan syari’at atau jihad

tanpa rasa takut dan dipaksa.

h. Menentukan gaji dan sesuatu yang diperlukan dalam baitul mal (kas

Negara) tanpa berlebihan dan mengeluarkannya tepat waktu.

i. Mengangkat orang-orang terlatih dalam menjalankan tugas dan

mengangkat orang yang jujur untuk mengatur keuangan.

j. Terjun langsung dalam menangani segala persoalan.19

E. Hak-hak Pemimpin

1. Ketaatan

Suatu Negara akan sejahtera apabila masyarakatnya mematuhi

undang-undang yang telah ditetapkan di Negaranya. Oleh karena itu,

sangat dibutuhkan untuk bersikap taat terhadap kepala Negaranya

selaku orang yang terlibat dalam pembuatan undang-undang tersebut


19
Al-Imam Al- Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthoniyah…,h 23-24

16
Imam Al-Ghozali dalam kitabnya “Al-Iqthishod fi Al-I’tiqod”

mengatakan: “Aturan agama tidak akan bisa terwujud kecuali melalui

ketertiban dunia. Sementara ketertiban dunia tidak akan bisa diperoleh

kecuali melalui kepemimpinan yang dipatuhi”.20

2. Biaya Hidup

Menurut Muhammad Yusuf, seorang pemimpin harus dicukupi

kebutuhannya oleh umat selama ia sepenuh waktunya mengurus

mengurus kepentingan umat dan mencurahkan seluruh waktu dan

kemampuannya untuk kepentingan umat.21

F. Pengangkatan Pemimpin

Bukan hanya masalah aqidah yang menjadi konflik internal umat

islam sepeninggalan Nabi, namun juga mengarah pada penetuan

kepemimpinan. Dengan demikian ulama mayoritas sepakat dan percaya

bahwa pengankatan pemimpin (Nasb Al-Imamah) merupakan fardhu

kifayah.22 Dengan 2 hal yang menjadi dasar, yaitu:

1. Dasar akal, karena tabiat manusia cenderung menguasai, serakah dan

mengalahkan, sehingga sangat mungkin terjadi konflik yang tidak akan

berakhir. Maka dari itu, peran seorang pemimpin menjadi sangat

penting sebagai penjaga, pelindung, pengatur hak dan kewajiban

masyarakat agar tentram dan hidup ideal.23

20
Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali, Al-Iqtishod Fi Al-
I’tiqod, (Beirut: Daar Ibn Hazm, 2003), h. 169.
21
Muhammad Yusuf Musa, Nizam Al-Hukm fi al-Islam (Kairo: Daar Al-Kitab Al-‘Arabi)
h 154.
22
Mudzakkir Hasyim dkk, Arah Ijtihad Ulama Nusantara, (Bangkalan: Safari Ramadhan
Pondok Pesantren Lirboyo, 2019), h. 9.
23
Ibid,.

17
2. Dasar Syari’at, syari’at telah menetapkan agar umat islam menyelesaikan

urusan agamanya kepada orang yang berwenang (Ulil Amri). Jadi

peran pemimpin bukan hanya menyelesaikan konflik kemasyaratan

melainkan juga menjalankan syari’at dalam tatanan kehidupan. Oleh

karena itu Allah berpesan dalam firmannya dalam surah an-nisa ayat

59.
‫ٰيٓاَيها الَّذيْنَ ٰامنُ ٓوا اَطيعوا هّٰللا واَطيعوا الرسول واُولى ااْل َمر م ْن ُك ۚم فَانْ تَنَا َز ْعتُم في شَيء فَردُّوه الَى هّٰللا‬
ِ ِ ُ ْ ُ ٍ ْ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ ِ َ َ ْ ُ َّ ُِْ َ َ ُِْ ْ َ ِ َ ُّ
‫هّٰلل‬
َ ‫س ْو ِل اِنْ ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُ ْونَ بِا ِ َوا ْليَ ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِ َك َخ ْي ٌر َّواَ ْح‬
‫سنُ تَْأ ِو ْياًل‬ ُ ‫َوال َّر‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),

dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan

Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya”.

Dalam hadits Nabi disabdakan:

“akan menguasai kalian semua setelah para pemimpin, maka orang yang

baik akan memerintah dengan kebaikannya, orang yang menyimpang akan

memerintah dengan kesesatannya, dengarkan dan patuhilah setiap hal yang

tepat dengan kebenaran, shalatlah dibelakagnya, jika mereka berbuat baik

maka akan ermanfaat bagi mereka dan kalian, dan jika mereka berbuat keji

maka tetap akan bermanfaat dan bahaya bagi mereka.” (HR Al-

Daruquthni).

18
Memang tidak dinyatakan dengan tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits

tentang taat dan patuh terhadap pemimpin. Namun, tanpa campur tangan

pemimpin untuk taat dan patuh akan sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan.

Dalam kitab “Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad” imam Al-ghozali mengatakan:

“Aturan agama tidak akan bisa terwujud kecuali melalui ketertiban

dunia. Sementara ketertiban dunia tidak akan bisa diperoleh kecuali melalui

kepemimpinan yang dipatuhi.”24

24
Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad. h. 75

19
BAB III

KONSEP UlLIL AMRI MENURUT M. QURAISH SHIHAB DAN

SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI

A. Konsep Ulil Amri

1. M. Quraish Shihab

Berikut adalah sebuah ayat dan terjemahan dari surat surat an-

Nisa’ ayat 59:


‫هّٰللا‬
ُ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْي ُعوا َ َواَ ِط ْي ُعوا ال َّر‬
ُ‫س ْو َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِنْ تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي ش َْي ٍء فَ ُرد ُّْوه‬
‫هّٰلل‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫س ْو ِل اِنْ ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُ ْونَ بِا ِ َوا ْليَ ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِ َك َخ ْي ٌر َّواَ ْح‬
‫سنُ تَْأ ِو ْياًل‬ ُ ‫اِلَى ِ َوال َّر‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul

(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al

Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman

kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Menurut M. Quraish Shihab dalam kitabnya tafsir Al-Misbah,

surah An-Nisa’ ayat 59 ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat

sebelumnya yaitu ayat 58 yang berisi tetang perintah untuk beribadah

kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, berbakti kepada orang

tua, menganjurkan berinfaq dan lainnya. Perintah itu mendorong agar

menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.25

25
Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab, vol. 2, h 459

20
Dapat diambil kesimpulan bahwa ayat 58 menjelaskan tentang

perintah untuk menetapkan hukum dengan adil. Sedangkan ayat 59

menjelaskan tentang perintah agar kaum mukmin menaati putusan

hukum dari siapapun yang dari siapapun yang berwenang menetapkan

hukum. Secara berurutan yang telah disebutkan dalam ayat 59 ini

bahwa yang wajib ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya, baik perintah

untuk melaksanakan perintahnya atau menjauhi larangannya. Kemudian

taat kepada Ulil Amri.26

Menurut M. Quraish Shihab, dari segi bahasa Ulil Amri terdiri

dari dua kata yaitu Uli yang merupakan bentuk jamak dari Waliy berarti

pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Dari bentuk jama’ ini

menurut M. Quraish Shihab kata Uli memiliki arti banyak tidak hanya

satu orang. Dan Amri yang bermakna perintah atau urusan. Jadi, Ulil

Amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum

muslimin. Mereka adalah orang yang diandalkan untuk menangani

persoalanpersoalan yang terjadi dimasyarakat. Ada yang mengatakan

bahwa yang dimaksud adalah para penguasa/pemerintah, ada yang

mengatakan bahwa mereka adalah Ulama dan ada yang mengatakan

bahwa mereka adalah yang mewakili dari setiap kelompok dan

profesinya.27

Kata al amr yang merupakan bentuk ma’rifat (khusus),

menjadikan banyak ulama’ membatasi pemilik kekuasaan itu hanya

26
Ibid,.h 459
27
Ibid, h 461

21
padapersoalan kemasyarakatan bukan pada persoalan aqidah atau

keagamaan murni.28

Dari pemaparan diatas Quraish Shihab menjabarkan 3 pendapat

ulama bahwa Ulil Amri adalah penguasa atau pemerintah, Ulama’, dan

yang mewakili setiap profesinya. Quraish Shihab tidak membatasi

makna Uliy hanya pada satu orang atau satu golongan saja, menurutnya

semua yang memiliki kekuasaan adalah Uliy. Akan tetapi, pada lafadz

Amri M. Quraish Shihab membatasi pada hal yang berkaitan dengan

persoalan-persoalan masyarakat. Sehingga yang dimaksud Ulil Amri

menurut Quraish Shihab adalah orang-orang yang berwenang atau

memiliki kekuasaan dan bisa diandalkan dalam menangani persoalan-

persoalan kemasyarakatan.29

2. Syeikh Nawawi Al-Bantani

Menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Marah

Labid mentafsirkan surah An-Nisa ayat 59 bahwa ayat tersebut

merupakan ayat membahas tentang cakupan ushul syari’at yang empat,

diantarannya pertama, Al-Kitab yang datangnya dari Allah SWT yang

kita kenal dengan nama Al-Qur’an. kedua, Al-Sunnah yaitu sesuatu

yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang biasa disebut dengan

Hadits. Ketiga, Ijma’ yang kita kenal dengan kesepakatan para Ulama’

dan keempat, penyamaan suatu hukum dengan hukum lain yang

memiliki kesamaan atau disebut dengan Qiyas.30


28
Ibid,.h 461
29
Ibid, h 461
30
Syaikh Nawawi Al-Bantani, Marah labid, jilid 1, h 146

22
Dalam surah An-Nisa’ ayat 59 ini melihat dari historisnya,

menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani berdasarkan riwayat dari Sa’id bin

Jabir turun berkaitan dengan sahabat Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi

yang diperintah menjadi pemimpin pasukan perang. Dan dari riwayat

Ibnu Abbas berkaitan dengan Kholid bin Walid yang diperintah

menjadi pemimpin pasukan perang. Kemudian Ammar bin Yasr

sebagai prajurit berselisih dengan Khalid bin Walid. Lalu turun ayat ini

yang menegaskan bahwa harus mematuhi perintah Ulil Amri.

Maksudnya, ayat tersebut memerintah Ammar Bin Yasir untuk

mengikuti arahan Khalid bin Walid.31

Kemudian dalam penafsirannya Syeikh Nawawi Al-Bantani

memaparkan bahwa yang dimaksud Ulil Amri adalah sebagai berikut:

Pertama, melihat dari asbabun nuzul ayat ini tidak keluar dari

disiplin militer. Dalamasbabun nuzul tentang perang. Jika dipikir logis,

dalam keadaan mendesak akal kita tidak akan mampu melakukan

sesuatu yang butuh pemikiran panjang. Karena kita akan dituntut untuk

menyelesaikan apa yang sedang berada diadapan kita. Sama halnya

dalam perang, tidak mungkin ada ruang untuk melakukan ijtihad,

kemudian berdiskusi dan lainnya. Sehingga dalam konteks ini menurut

Syeikh Nawawi Al-Bantani, presiden, lurah dan pemerintah Negara

bukan termasuk Ulil Amri karena wilayah yang di kuasai bukan hanya

dalam konteks disiplin militer. Karena itu, dalam karyanya Syekh

Nawawi Al-Bantani megatakan bahwa Ulil Amri adalah pemimpin


31
Ibid, h 146

23
perang.32 Ini merupakan pendapat pertama yang ditulis Syeikh Nawawi

Al-Bantani dan biasanya dalam tradisi Ulama pendapat yang

disampaikan pertama adalah pendapat yang paling diyakini.

Kedua, sekalipun Ulil Amri itu adalah Ulama’, penguasa, guru,

pemerintah dan lainnya maka keputusan yang boleh ditaati hanya

terbatas pada hal yang sudah menjadi ijma’ ulama saja. Sedangkan

ijma’ tidak banyak. Seperti permasalahan yang setiap waktu bisa

bertambah.33

Ketiga, jika Ulil Amri itu diartikan penguasa dan Raja maka

hukum menaatinya haram. Karena seringkali memeritah pada

kedzoliman. Akan tetapi, kadang-kadang juga harus ditaati dengan

keyakinan yang dhoif (lemah). Perintah penguasa dan raja bisa

ditangguhkan dengan ijma’ ulama. Dengan demikian dalam hakikatnya

ulama adalah penguasanya penguasa dan merekalah yang dikatakan

Ulil Amri.34

B. Taat Terhadap Ulil Amri

1. M. Quraish Shihab

Dalam menafsirkan QS An-Nisa ayat 59 dapat dikaitkan dengan

QS Ali Imran ayat 32. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang

tertulis dalam QS Ali Imran ayat 3232 jika ditafsirkan akan

memberikan jalan pemikiran tehadap kita dalam memahami QS An-

Nisa ayat 59. Sebagaimana dalam Al-Qur’an QS Ali Imran ayat /32
32
Ibid, h 146
33
Ibid, h 146
34
Ibid. h 146

24
lafadz ‫ اطيعوا‬tertulis sebanyak satu kali kemudian diikuti lafadz Allah dan

Rasul. Dalam ayat ini para pakar tafsir menjelaskan bahwa yang

dimaksud taatilah Allah tersebut bermakna taatilah perintah Allah baik

yang tertulis langsung atau tidak langsung. Yang tertulis langsung

adalah perintah Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an. sedangkan yang

tidak langsung adalah perintah Allah yang disampaikan melalui Rasul-

Nya dalam hadits-haditsnya. Sehingga yang dimaksud taatilah Allah

dan Rasul-Nya dalam QS Ali Imran ayat 32 adalah perintah yang

bersumber dari Allah. Bukan yang Rasul perintah secara langsung.35

Berbeda dengan QS An-Nisa ayat 59 lafadz ‫ اطيع\وا‬diulang dua

kali. Yang pertama lafadz ‫ اطيعوا‬diikuti lafadz Allah, yang kedua lafadz

‫ اطيع\\وا‬diikuti lafadz Rasul. Ayat ini menegaskan bahwa taatilah Rasul

memiliki makna yang sama dengan perintah taatilah Allah sebagaimana

penafsiran QS Ali Imran diatas. Dengan demikian kita tahu bahwa

Rasul juga memiliki wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak

ada dasar dari Al-Qur’an.36

Pada lafadz selanjutnya adalah tentang Ulil Amri. Ketika

menafsirkan lafadz Ulil Amri, bisa kita lihat sebagaimana menafsirkan

lafadz Rasul dalam QS Ali Imran ayat 32 bahwa ketaatan tersebut

terbatas pada perintah yang bersumber dari Allah. Kemudian dalam

lafadz Ulil Amri dalam QS An-Nisa ayat 59 yang tidak didahului lafadz

‫ اطيع\\\وا‬maka menghasilkan penafsiran ketaatan terhadap Ulil Amri


35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Lentera
Hati: Jakarta, 2002. h 460.
36
Ibid. h 460

25
terbatas pada perintah yang tidak bertentangan dengan perintah Allah

dan Rasul-Nya. Dalam hal ini, Ulil Amri tidak memiliki wewenang

sendiri dalam memutuskan suatu hukum.37

Dari pemaparan diatas, M. Quraish Shihab menjelaskan tentang

lafadz ‫ اطيعوا‬yang hanya terdapat pada lafadz Allah dan Rasul. Kemudian

dalam tafsir nya M. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa ayat 58

dan 59 surah An-Nisa dinilai para ulama sebagai ayat-ayat yang

mengandung prinsip-prinsip pokok ajaran islam dalam hal kekuasaan

dan pemerintahan. Ia juga memaparkan pendapat Rasyid Ridha bahwa

kedua ayat tersebutlah yang memadai untuk membahas tentang

kepemerintahan.38

Ayat 58 menjelaskan tentang kewajiban menunaikan amanah,

antara lain menegakkan keadilan kemudian disandingkan dengan ayat

59 tentang kewajiban masyarakat untuk taat kepada Ulil amri. M.

Quraish Shihab menggaris bawahi penegasan Rasul SAW “tidak

dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan”. Akan

tetapi, bila ketaatan kepada Ulil Amri yang tidak mengandung

kedurhakaan kepada Allah maka wajib untuk ditaati walaupun peritah

tersebut tidak dikehendaki oleh yang diperintah. Dalam konteks ini, M.

Quraish Shihab merujuk pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh

Bukhori Muslim dari Ibn ‘Umar. Beliau juga menganalogikan dengan

37
Ibid. h 460
38
Ibid, h 485

26
keadaan masyarakat jika tidak taat terhadap polisi dalam masalah lalu

lintas.39

Melihat penafsiran menurut M. Quraish Shihab dapat kita tarik

kesimpulan bahwa taat yang wajib diterapkan terhadap Ulil Amri

terbatas pada keputusan yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan keputusan yang datangnya dari Ulil Amri sendiri tidak

wajib secara mutlak untuk ditaati. Ada dua pengelompokan dari

perintah yang diperintahkan Ulil Amri kepada masyarakat. Yaitu jika

perintah bukan pada hal kemaksiatan dan taatnya tidak mengarahkan

pada kedurhakaan kepada Allah maka wajib ditaati. Namun jika

sebaliknya, maka tidak wajib untuk ditaati.

2. Syeikh Nawawi Al-Bantani

Dalam surah An-Nisa’ ayat 59 Syeikh Nawawi Al-Bantani

memaparkan bahwa Al-Kitab berisi tentang perintah yang datang dari

Allah. Sehingga apapun yang ada didalamnya wajib untuk kita ikuti

secara mutlak. Al-Sunnah adalah perintah yang datangnya dari

Rasulullah SAW. Dari dua sumber hukum islam ini menunjukkan

bahwa Al-Kitab dan Al-Sunnah merupakan dua pilar utama yang harus

diikuti tanpa menawarnya lagi.

Berdasarkan pendapat yang diyakini Syeikh Nawawi Al-Bantani

bahwa Ulil Amri adalah pemimpin perang maka hukum menaatinya

adalah wajib karena dalam peperangan tidak ada ruang untuk ijtihad

dan diskusi. Namun selain itu, Syeikh Nawawi Al-Bantani mengutip


39
Ibid, h 485

27
dari pendapat sebagian Ulama’ bahwa taat kepada Allah dan Rasul

hukumnya wajib secara mutlak. Taat kepada Ahli Ijma dan

permasalahan yang di tetapkan dalam taraf ijma hukumnya wajib secara

mutlak. Sementara taat terhadap Penguasa dan Raja menurut

kebanyakan pendapat diharamkan. Karena biasanya kebanyakan dari

mereka memerintah pada ke dzoliman. Oleh karena itu, perintah yang

datang dari Penguasa dan Raja dapat ditangguhkan dengan Ijma’

Ulama’. Ulama’ yang dimaksud disini adalah penguasanya penguasa

dan mereka itulah Ulil Amri yang haqiqi.40

Dalam kitabnya dapat kita simpulkan bahwa hukum taat ada 3

macam menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani yaitu Pertama, wajib

ditaati berdasarkan pendapat Syeikh Nawawi Al-Bantani yang

mengartikan bahwa Ulil Amri adalah pemimpin perang. Kedua, wajib

ditaati terhadap permasalahan yang memiliki taraf ijma’ ulama’ dalam

pendapat beliau yang mengartikan bahwa Ulil Amri adalah Ulama’,

Pemimpin, Guru ataupun Orang tua. Ketiga, haram menaati perintah

selain taraf ijma’ jika memahami bahwa Ulil Amri adalah Penguasa dan

Raja. Karena menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani rata-rata penguasa

dan Raja sering kali memerintah pada hal kemaksiatan.

Jadi melihat dari penafsiran Syeikh Nawawi Al-Bantani ini,

dapat disimpulkan bahwa taat terhadap Ulil Amri hukumnya wajib

dengan catatan perintah yang ditetapkan bertaraf ijma’ ulama. Peraturan

selain dari ijma ulama maka tidak wajib untuk ditaati.


40
Syeikh Nawawi Al-Bantani, Marah labid, jilid 1, h 146

28
Dalam Tafsirnya Syeikh Nawawi Al-Bantani tidak banyak

berpendapat tentang kepemimpinan global maupun lokal. Tafsirnya

murni berpendapat sebagaimana garis yang ditunjukkan al-Qur’an,

Sunnah dan pendapat-pendapat klasik tidak dipengaruhi oleh politik

ketika masanya. Namun sekalipun demikian, Syeikh Nawawi Al-

Bantani tidak menafikan adanya pemimpin setelah Nabi dan sahabat-

sahabatnya wafat. Hanya saja membatasi pada kewajiban taat kepada

pemimpin.

29
BAB IV

KONTEKSTUALISASI ULIL AMRI

Kontekstualisasi Ulil Amri dalam surat an-Nisa’ ayat 59

1. M. Quraish Shihab

Dari penafsiran M. Quraish Shihab yang telah dipaparkan diatas,

menghasilkan kesimpilan bahwa Ulil Amri tidak terbatas pada pemerintah

Negara atau Ulama’ saja. Akan tetapi Ulil Amri adalah para penguasa

atau pemerintah, Ulama’ dan wakil-wakil rakyat lainnya. M. Quraish

Shihab mengutip beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Ulil Amri

adalah Ulama dan ada yang mengatakan bahwa Ulil Amri adalah yang

mewakili dari setiap kelompok dan profesinya.41

Jika kita mencermati konsep Ulil Amri menurut M. Quraish

Shihab adalah yang mewakili setiap kelompoknya maka ketua kelompok

tani juga bisa dikatakan Ulil Amri, ketua OSIS juga dikatakan Ulil Amri

dan lain sebagainya. Dalam artian M. Quraish Shihab memberi kebebasan

kita dalam menentukan siapa yang bisa dikatakan sebagai Ulil Amri.

Selama dia memiliki kelompok dan menjadi wakil dari setiap

kelompoknya dalam hal apapun itu, maka dialah Ulil Amri menurut M.

Quraish Shihab.

Abdullah Saeed mengatakan bahwa Ulil Amri ini adalah

pemimpin organisasi tidak menjadi persoalan tetapi dengan catatan

mereka mengacu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Ketika

juga mengatakan bahwa Ulil Amri adalah pemerintah juga tidak menjadi
41
Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab, vol. 2, h 461

30
persoalan, karena dalam pemerintahan Indonesia ada lembaga Majlis

Ulama Indonesia, yang notabene-nya perwakilan dari para ahli dalam

bidang-bidang agama, tetapi tidak cukup sampai di sini saja, mereka juga

harus mengikuti dan mengacu terhadap Al-Qur’an dan Hadis dalam

menjalankan tugas, juga dalam menyeleseikan persoalan perbedaan

pendapat dan lain-lain. Nah, jika di antara mereka berselisih pendapat

maka yang harus didahulukan adalah analisis terhadap “apa”

persoalannya, memperhatikan dampak postif-negatifnya, dan “siapa”

yang bertanggungjawab untuk menyelesaikannya. Sesuai dengan makna

historis Ulil Amri yakni mereka yang memiliki kuasa dan kapasitas ilmu

yang mumpuni.42

Jadi tidak heran ketika berbicara konsep taat terhadap Ulil Amri

M. Quraish Shihab mengatakan yang wajib ditaati secara mutlaq adalah

pendapat Ulil Amri yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Selebihnya boleh memilih untuk ditaati atau tidak. Namun, selama tidak

menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah maka sebaiknya ditaati demi

kebaikan bersama. Karena sejatinya setiap kelompok tidak akan mencapai

tujuan bersama jika tidak bisa mengikuti salah satu komando.

2. Syeikh Nawawi Al-Bantani

Dari pemaparan diatas pendapat yang bisa diambil kesimpulan

menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani tentang kosep Ulil Amri. Jika

dikompromkan dengan keadaan Indonesia mengikuti pendapat yang

Miftahur Rahman. Ulil Amri dalam Alquran: Sebuah Aplikasi Teori Kontekstual
42

Abdullah Saeed. Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur an dan Hadis · July 2017

31
pertama dan kedua yang menjelaska bahwa Ulil Amri adalah pemimpin

pasukan perang dan orang yang pintar dan bijaksana yaitu Khulafa’ur

Rasyidin, maka di Indonesia tidak ada Ulil Amri. Namun jika mengkuti

pendapat ketiga dari syeikh Nawawi Banten maka konsep Ulil Amri

menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani adalah semua yang ahli memutuskan

perkara dan memecah permasalahan, pembela kebenaran dan penegak

keadilan baik dari pemerintah, Ulama’, guru dan orang tua.43

Sedangkan sesuatu yang wajib ditaati secara mutlak dari Ulil

Amri adalah aturan atau keputusan yang datang dari Al-Qur’an, hadits

yang menjelaskan tentang syari’at (bukan karena strategi atau yang

berkaitan dengan nalar Nabi secara pribadi) dan keputusan yang memiliki

taraf ijma’ ulama’. Sesuatu yang mengandung ikhtilaf yang ditetapkan

oleh Ulil Amri maka tidak wajib ditaati secara mutlak dalam artian kita

boleh memilih dengan pendapat lain.44

Contoh dalam masalah ini adalah dalam sholat, ijma’ ulama dalam

sholat adalah tentang bilangan rakaat sholat. Sedangkan dari segi pakaian

tidak ada ijma’ yang menegaskan menentukan pakaian tertentu,

melainkan Nabi memerintah memakai redaksi umum yaitu pakailah

pakaian terbaik. Sehingga, untuk memahami pakaian terbaik ini

dikembalikan pada diri manusia masing-masing. Sehingga apabila di

Indonesia pakaian terbaik berbeda dengan pakaian Arab ketika sholat,

maka hal ini tidak menjadi masalah. Seandainya suatu Negara


43
Syaikh Nawawi Al-Bantani, Marah labid, jilid 1, h 146
44
Ibid, h 146

32
memerintah memakai pakaian tertentu, maka tidak wajib diikuti secara

mutlak.

Dari sini penulis menyimpulkan bahwa segala aturan dari

penguasa, ‘Ulama’, Guru dan orang tua, jika aturan tersebut merupakan

bagian dari ijma’ Ulama’ maka wajib ditaati. Selebihnya, jika aturan itu

bukan aturan yang merupakan ijma’ Ulama’, maka kita boleh memilih

menaati atau tidak. Akan tetapi, yang dirasa lebih baik untuk kehidupan

kita baik secara pribadi maupun secara umum sebaiknya ditaati.

33
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas mengenai makna Ulil Amri berdasarkan

penafsiran M. Quraish Shihab dan Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam

sebuah kitab Tafsir al-Misbah dan Marah Labid dan juga mengaju kepada

jawaban dalam rumusan masalah di atas, maka disini penulis bisa

menyimpukan bahwa:

1. Konsep Ulil Amri

Menurut M. Quraish Shihab Ulil Amri adalah orang-orang yang

mengurus hal kemasyarakatan, bukan dalam ranah aqidah atau agama

murni. Dan Ulil Amri tidak terbatas pada satu orang atau satu kelompok

saja. Sedangkan menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani makna Ulil Amri.

ada tiga. Pertama, pemimpin perang. Kedua, orang yang pandai dan

bijaksana yaitu Khulafa’ur Rasyidin. Dan ketiga, yaitu Ulama, Guru

dan Pemerintah.

2. Taat terhadap Ulil Amri

Menurut M. Quraish Shihab perintah yang wajib untuk ditaati

adalah perintah yang datangnya dari Al-Qur’an dan Hadits saja. Jika

tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits maka tidak wajib untuk

ditaati akan tetapi jika perintah tersebut merupakan kemaslahatan bagi

masyarakat maka lebih baik ditaati. Sedangkan menurut Syeikh

Nawawi Al-Bantani dari pendapat pertama yang mengatakan bahwa

34
Ulil Amri adalah pemimpin perang maka perintahnya wajib untuk

ditaati. Dari pendapat kedua dan ketiga, maka yang wajib ditaati adalah

pendapat yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama.

Selain itu maka tidak wajib untuk ditaati.

3. Kontekstualisasi Ulil Amri

Jika melihat pandangan M. Quraish Shihab, maka pemerintah

Negara, Kabupaten, Desa, Kepala sekolah, ketua OSIS, ketua kelompok

tani dan semua ketua yang memimpin setiap kelompoknya merupakan

Ulil Amri. Perintah yang datang dari Ulil Amri jika tidak bersumber

dari Al-Qur’an dan Hadits maka tidak wajib untuk ditaati, namun jika

perintah tersebut dirasa lebih baik untuk kemaslahatan maka M.

Quraish Shihab menyarankan lebih baik untuk ditaati.

Jika mengkompromikan dengan keadaan Indonesia, maka

pendapat Syeikh Nawawi Al-Bantani yang mengatakan Ulil Amri

adalah pemimpin perang dan khulafa’ur Rasyidin maka di Negara

Indonesia tidak ada Ulil Amri. Akan tetapi jika mengikuti pendapat

yang ketiga, maka pemerintah Negara dikatakan Ulil Amri hanya saja

pendapat yang wajib ditaati adalah pendapat yang bersumber dari Al-

Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama seperti bilangan rokaat sholat. Dan

ijma ulama tidak hanya meliputi Indonesia saja, melainkan harus antar

Negara. Seperti contoh penentuan awal puasa dan penentuan hari raya

yang dilakukan beberapa golongan di Indonesia maka tidak wajib untuk

diaati. Jika ada yang mendahlukan atau mengakhirkan dari yang

35
diputuskan Negara, maka golongan tersebut tidak dianggap melanggar

perintah.

B. Saran

Dalam Skripsi ini di bahas tentang Makna Ulil Amri, bahwa sikap

untuk menaati Ulil Amri itu, harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-

Sunnah yang telah di tetapkan oleh Allah dan RasulNya. Serta dalam surat

an-Nisa’ ayat 59 ini terdapat sebuah makna yang tersirat mengenai Ulil

amri, yakni seseorang yang mempunyai wewenang untuk mengatur, dan di

taati oleh masyarakat atau perorangan, selama perintahnya itu pada hal yang

positif dan tidak menyimpang dari ajaran Islam dan pedoman hidup yakni

Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini, perlu disadari bahwa penulisan skripsi ini masih

banyak kekurangan, untuk itu maka tidak menutup kemungkinan dari

semua pihak untuk memberi saran dan kritik yang bersifat kontruktif,

sebagai motivasi menuju perbaiakan dan kreatifitas ilmiyah paada masa-

masa yang akan datang.

Akhirnya kepada segenap pembaca dan para pengkritik, diucapkan

banyak terima kasih semoga skripsi ini bermanfaat bagi diri sendiri

khususnya, dan para pembaca pada umumnya, dan diharapkan pula bisa

menambah ilmu pengetahuan yang bersifat informasi khususnya dalam

bidang tafsir.

36
37

Anda mungkin juga menyukai