Qawaid Kel 10
Qawaid Kel 10
MASLAHAH
MAKALAH
disusun untuk memeneuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah Fis Siyasah
jurusan Hukum Tata Negara
Dosen Pembina:
Oleh:
UIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada
dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya
diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal
antara setiap individu dengan Allah. Kedua, 9kaidah fiqih yang memang sengaja
dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang
bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-
nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam
yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Beberapa kaidah yang “bersifat individu” diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru
biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Dalam kesempatan ini, kaidah
yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu
pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak,
karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh siyasah. Seperti yang
diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai
kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut.
PEMBAHASAN
Adapun perbedaan antara kaidah fiqih dengan dhobith fiqih ialah hanya pada cakupan
atau ruang lingkupnya saja, pada dasarnya keduanya sama. Hanya saja cakupan kaidah fiqih
lebih luas dibanding dhobith fiqih. Kaidah fiqih mencakup banyak bab-bab fiqih, sedangkan
dhobith fiqih hanya mencakup satu bab fiqih tertentu saja.
Adapun apabila kaidah fiqih itu disimpulkan dari selain nash syari’at yang telah
disebutkan atau di simpulkan dari furu’, maka kaidah fiqih yang demikian tidak dapat
dijadikan dalil dalam mengistinbatkan suatu hukum. Kaidah ini memiliki redaksi yang
beragam yang tercantum dalam literatur-literatur klasik, akan tetapi keberagaman redaksi
yang ada ini tetap menunjukkan kesamaan substansi serta makna atau dapat dikatakan
redaksinya berbeda namun substansi serta maknanya sama. Redaksi yang beragam yang
sering disebutkan antara lain:
الَّتَص ُّر ُف َع َلى الَّر ِع َّيِة َم ُنْو ٌط ِباْلَم ْص َلَحِةَم ْنِزَلُة اِإْل َم اِم ِم َن الَّر ِع َّيِة َم ْنِزَلُة
اْلَو ِلي ِم َن اْلَيِتيِم َتَص ُّر ُف اِإل َم اِم َع َلى الَّر ِع َّيِة َم ُنْو ٌط ِباْلَم ْص َلَحِة
Dhabit ini merupakan salah satu kaidah fiqih yang populer disebutkan dalam literatur-
literatur klasik. Kalimat تصرفsecara tatanan bahasa arab merupakan mashdar dari asal kata
تصرف يتصرفyang bermakna bertindak atau beraksi. Kalimat تصرفitu sendiri memiliki
beberapa makna yaitu melakukan daya upaya, kebijakan ataupun tindakan. Dalam konteks
kaidah ini, kalimat تصرفini memiliki orientasi kepada makna kebijakan.
Kemudian dalam kaidah ini kalimat ةيعرالsecara bahasa bermakna masyarakat (secara)
umum yang berada di bawah kekuasaan wali atau pemimpin. Sedangkan kalimat طونم
merupakan isim maf’ul atau objek dari asal kata ينوط- ناطyang berarti menggantungkan yang
kemudian asal kata tersebut dijadikan bina majhul maka jadi bermakna digantungkan atau
dikaitkan.
Maslahah terbagi dua, yang pertama mu’tadarah artinya yang diakui atau sejalan
dengan agama dan pemikiran yang lurus. Yang kedua ada mulghah artinya tidak diakui, tidak
sejalan dengan agama atau pemikiran yang lurus.
Al-Ghazali mengemukakan pengertian ةحلصمالsebagai: الَّش رع الُمَح اَفَظُة َع َلى َم قُصوِد
Artinya:“Pemeliharaan terhadap tujuan syari’at (dalam menetapkan suatu hukum)”.
Tujuan syari’at dalam menetapkan hukum yang dimaksud yaitu terpeliharanya agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Lebih dari itu, Al-Ghazali juga menyatakan bahwa maslahah
adalah sesuatu yang dapat mendatangkan kemanfaatan serta dapat menjauhkan dari
kerusakan.
Kaidah ini secara bahasa dapat diartikan dengan kebijakan imam atas rakyatnya harus
berdasarkan kemaslahatan. Sedangkan arti kaidah tersebut secara luas yaitu bahwa kebijakan
yang dilakukan oleh seorang imam dalam konteks ini pemimpin atau pemerintah harus
memiliki nilai-nilai kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kepentingan seluruh rakyatnya.
Posisi imam atau pemimpin atas rakyatnya seperti posisi wali atas anak yatim.
َو اَل َت ْق َر ُبْو ا َم اَل اْلَي ِتْي ِم ِااَّل ِباَّلِتْي ِه َي َاْح َس ُن َح ّٰت ى َي ْب ُلَغ َاُشَّد ٗه
َۚو َاْو ُفوا اْلَك ْي َل َو اْلِم ْي َز اَن ِباْلِقْس ِۚط اَل ُنَك ِّلُف َن ْف ًسا ِااَّل ُو ْس َعَه ۚا َو ِاَذ ا ُقْلُتْم
َفاْع ِد ُلْو ا َو َلْو َك اَن َذ ا ُقْر ٰب ۚى َو ِبَع ْه ِد ِهّٰللا َاْو ُفْو ۗا ٰذ ِلُك ْم َو ّٰص ىُك ْم ِبٖه َلَع َّلُك ْم
َت َذ َّك ُرْو َۙن
Artinya: “Dan janganlah engkau mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun ia kerabat (mu) dan penuhilah janji
Allah. Demikianlah dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat”.
Mengapa digunakan surah al-an’am : 152 sebagai sumber atau dasar hukum dalam
dhabit ini? Karena seperti yang saya jelaskan di awal bahwa posisi pemimpin terhadap rakyat
nya sama seperti posisi wali terhadap anak yatim yang berarti wajib membimbing,
mengayomi dan menjadi sandaran atau pedoman. Dan menggunakan metode qiyas aulawi
(prioritas).
َم ا ِم ْن َع ْبٍد َيْسَتْر ِع ْيِه ُهَّللا َرِع َّيًة َيُم وُت َيْو َم َيُم وُت َو ُهَو َعاُش ِلَرِع َّيِتِه ِإاَّل َح َّر َم
ُهَّللا َع َلْيِه اْلَج َّنَة
Artinya: “Tidaklah seorang hamba yang diamanati oleh Allah SWT memimpin rakyat
kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya,melainkan Allah SWT mengharamkan
baginya surga”.
Kaidah ini merupakan kaidah yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, beliau berkata:
Pendapat Imam Syafi’i yang dijadikan dasar kaidah ini bersumber dari Sa’id bin
Manshur yang menukil atsar Umar bin Khattab yang berbunyi:
ِإَّن اْخ َتْح ُت َأَخ ْذ ُت،ِإي َأْنَز ْلُت َنْفِس ي ِم ْن َم اِل ِهَّللا ِبَم ْنِزَلِة والي اليتيم
َفِإْن اْسَتْغ َنْيُت اْسَتْغ َفْفُت، َفِإَذ ا َأْبَس ْر ُت َر َد ْد ُتُه،ِم ْنُه
Artinya: “Sesungguhnya diriku aku tempatkan terhadap harta Allah SWT sebagaimana
kedudukan seorang wali bagi anak yatim, aku akan mengambil darinya apabila aku butuhkan,
aku kembalikan padanya apabila aku memiliki sisa dan aku akan menahan diri (dari padanya)
apabila aku tidak membutuhkan”.
Sebagai contoh lain dari dhabit ini adalah mengenai PERGUB DKI Jakarta tentang
larangan menggunakan atau menggali sumur bor di jakarta. Seharusnya tidak ada larangan
mengenai sumur bor, namun karena Jakarta mengalami penurunan atau pengikisan lapisan
tanah sehingga terancam tenggelam maka pemerintah dki yang dalam hal ini adalah
pemimpin mengeluarkan peraturan atau kebijakan tersebut untuk menghindari maslahah yang
lebih besar bagi rakyat nya yaitu tenggelamnya jakarta.
Dhabit ini secara langsung memiliki orientasi terhadap pembahasan fiqh siyasah.
Maka dari itu, kaidah ini ditempatkan sebagai salah satu dari kaidah yang ada dalam ruang
lingkup fiqh siyasah. Hal itu karena kaidah ini sangat sinkron dengan objek pembahasan fiqh
siyasah yaitu tentang hubungan antara negara dalam hal ini pemimpin negara atau pemerintah
dengan rakyatnya dalam segala aspek kehidupan.
Maqashid syari’ah menurut As-Syatibi adalah suatu nilai-nilai yang dijadikan patokan serta
tujuan (maksud) dan ingin dimanifestasikan oleh Allah SWT selaku pembuat syari’at dibalik
pembuatan serta penetapan hukum-hukum. Maslahat tersebut berorientasi kepada lima hal,
Kelima hal tersebut menentukan segala sesuatu dapat diklasifikasikan sebagai sesuatu yang
maslahah atau bukan, yakni:
Pada dasarnya, dalam hal apapun kita dituntut untuk menggapai keseluruhan maslahah
yang ada. Akan tetapi apabila keseluruhan maslahah tidak dapat digapai, maka maslahah yang
digapai tidak boleh bertabrakan dengan maslahah yang lebih penting. Oleh karena itu, Syaikh
Ramadhan Al-Buthi mengemukakan pendapatnya perihal menentukan maslahah mana yang
harus digapai terlebih dahulu dan maslahah mana yang harus ditinggalkan terlebih dahulu,
yaitu dengan tiga cara:
Maksudnya ialah apabila saling bertentangan antara dua kemaslahatan, maka harus
diperhatikan terlebih dahulu urgensi dari maslahah yang saling bertentangan tersebut.
Kemaslahatan perihal perlindungan agama harus diambil lebih dulu dibanding
kemaslahatan perihal perlindungan jiwa, kemaslahatan perihal perlindungan jiwa harus
diambil lebih dulu dibanding kemaslahatan perihal perlindungan akal, dan begitupun
selanjutnya. Kemudian dalam hal menggapai setiap kemaslahatan dari lima kemaslahatan
tersebut, harus dilihat terlebih dahulu dari urutan urgensitasnya yaitu dengan cara
mendahulukan kebutuhan primer dibanding kebutuhan sekunder dan tersier serta
mendahulukan kebutuhan sekunder dibanding kebutuhan tersier.
Dalam peninjauan aspek kemungkinan kemaslahatan itu terjadi yaitu dengan cara
mendahulukan kemaslahatan yang berada dalam tingkat yakin atau nyata dibanding
kemaslahatan yang berada dalam dugaan yang kuat. Begitupun juga, kemaslahatan yang
berada dalam dugaan yang kuat harus didahulukan dibanding kemaslahatan yang masih
berada dalam dugaan yang lemah.
Beberapa rukun atau unsur yang tercakup dalam kaidah ini yaitu:
Dalam konteks pembahasan ini, pemimpin yang berdaulat serta diakui secara sah di
negara Indonesia adalah pemerintah Indonesia lebih tepatnya Menteri Agama, karena
Menteri Agama merupakan salah satu badan pemerintahan Indonesia yang memiliki
kewenangan dalam pelaksaan ibadah. Hal itu merupakan manifestasi dari apa yang
tertuang di dalam pasal 2 Peraturan Presiden No 83 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa
tugas dari kementrian bidang agama ialah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
bersangkutan dengan bidang agama.
d. Terdapat kemaslahatan
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaidah Tasharruf Al-Imam 'Ala Al-Ra’iyyah Manuthun Bi Al-Maslahah merupakan
kaidah fiqih, bukan dhobith fiqih. Karena kaidah ini merepresentasikan perihal kebijakan,
yang mana suatu kebijakan dapat berkaitan dengan hal ibadah mu’amalah, hukuman (ta’dzir)
dan lain sebagainya. Kaidah ini secara bahasa dapat diartikan dengan kebijakan imam atas
rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan. Sedangkan arti kaidah tersebut secara luas yaitu
bahwa kebijakan yang dilakukan oleh seorang imam dalam konteks ini pemimpin atau
pemerintah harus memiliki nilai-nilai kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kepentingan
seluruh rakyatnya. Bersumber dari al-quran dan hadis.
Kaidah ini secara langsung memiliki orientasi terhadap pembahasan fiqh siyasah.
Maka dari itu, kaidah ini ditempatkan sebagai salah satu dari kaidah yang ada dalam ruang
lingkup fiqh siyasah. Hal itu karena kaidah ini sangat sinkron dengan objek pembahasan fiqh
siyasah yaitu tentang hubungan antara negara dalam hal ini pemimpin negara atau pemerintah
dengan rakyatnya dalam segala aspek kehidupan.