Anda di halaman 1dari 2

Perjalanan Semarang Menuju Kota Atlantis : Krisis Kebijakan Sosial Ekologi

Latar Belakang
Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah yang termasuk kedalam kota besar
di Indonesia. Segala Aspek pengembangan Kota Semarang mulai dari, tata ruang kota hingga
pengembangan sosial, ekonomi dan budaya harus berjalan seimbang satu sama lain. Bencana
Banjir merupakan sebuah momok rutinan yang menghantui dan menyengsarakan masyarakat
Kota Semarang ketika ditilik lebih jauh, banjir kota Semarang sepertinya bukan bencana alam
yang hanya disebabkan oleh faktor cuaca. Banyak Aspek dalam sebuah fenomena rutinan
tersebut, seperti halnya bagaimana penyusunan tata Kelola kota, regulasi, serta pola dan
tingkah laku masyarakat pun menjadi faktor banjir yang melanda Kota Semarang.
KARAKTERISTIK RTRW KOTA SEMARANG
Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang memuat berbagai aspek
pertimbangan Karakteristik tata Kelola Kota. Keseimbangan antara lingkungan hidup dan
Masyarakat Kota Semarang Pun merupakan sesuatu yang vital dan perlu perhatian khusus
dalam penyelarasannya menjadi sebuah regulasi. Misal dalam sebuah rancangan Kelola
Lingkungan Hidup yang mencakup daerah resapan mulai dari hulu ke hilir dan penyikapan
Kawasan Industri di sekitarnya.
MINIM PENGAWASAN REGULASI
Dalam Perda Kota Semarang No. 14 Tahun 2011 pasal 34 yang menyatakan bahwa beberapa
daerah di Semarang Memiliki Resapan air tersendiri. Namun Pada kenyataannya
Karakteristik Kebijakan Publik yang mencakup RTRW hanya mementingkan Langkah
penanganan pasca terjadinya banjir darpada Langkah Preventif dalam mencegah ritual banjir
rutinan tersebut. Dalam perda tersebut juga mengatur pembatasan penggunaan Lahan di
Kawasan rawan bencana yang mulanya difungsikan sebagai Kawasan lindung. Sehingga
mendirikan sebuah bangunan di Kawasan rawan bencana merupakan bentuk ketidaksesuaian
realisasi kebijakan RTRW Pemkot Semarang. Dampak ketidaksesuaian lainnya ada pada
buruknya system drainase Kota Semarang yang dibuktikan dengan adanya beberapa daerah
yang bukan merupakan Kawasan rawan banjir akan tetapi tetap terdampak banjir.
PEMKOT SEMARANG BERCANDA DALAM KINERJA
Menurut data rekapan BPBD Kota Semarang Tahun 2019, hanya ada 48 dari 177 kelurahan
yang menjadi daerah rawan bencana banjir. Namun menurut BPBD Kota Semarang tahun
2023, terdapat peningkatan signifikan yaitu 54 kelurahan. Hal ini semakin membuktikan
ketidakseriusan dan gagalnya Pemkot Semarang dalam Langkah upaya preventif pencegahan
Bencana banjir di Kota Semarang.
POLA TINGKAH LAKU MASYARAKAT
Selama ini masyarakat dan Pemkot Semarang saling tuduh dan lempar Tanggung jawab
pelaku penyebab banjir. Aspek Pola Tingkah Laku Masyarakat pun juga menjadi salah satu
faktor dalam penyusunan kebijakan RTRW Masyarakat Kota Semarang yang cenderung
memiliki karakteristik masyarakat Industrial dan Pesisir, nyatanya juga menyumbang faktor
penyebab terjadinya banjir di Kota Semarang yang salah satunya ialah massifnya penggunaan
air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah. Selain itu, pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh limbah sampah dari masyarakat kota semarang yang tidak terkendali.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022 menobatkan Provinsi Jawa Tengah sebagai
penghasil Sampah terbesar di Indonesia, dan Kota Semarang menjadi penyumbang sampah
terbesar di Jawa Tengah sebesar 1200 ton/hari.
DAMPAK SOSIAL BANJIR SEMARANG
Manusia umumnya mengadopsi sikap yang konsisten dengan isu-isu yang muncul di
lingkungannya ketika berhadapan dengan perubahan kondisi lingkungan. Bencana yang
diakibatkan oleh perubahan iklim dapat mengubah perilaku masyarakat, komunitas, dan
pemerintah daerah. Adaptasi adalah perubahan perilaku dalam menanggapi kekeringan atau
banjir yang disebabkan oleh perubahan iklim. Smit dkk. (1999) mendefinisikan adaptasi
sebagai proses merespon perubahan yang terjadi. Smit dan Wandel (2006) mendefinisikan
adaptasi sebagai reaksi terhadap risiko bencana lingkungan dan kerentanan manusia. Proses
bergerak menuju keadaan yang lebih baik dalam keadaan yang selalu berubah adalah inti dari
adaptasi. Agar masyarakat dan pemerintah daerah dapat menyesuaikan diri dengan
melakukan langkah-langkah adaptasi, perubahan iklim harus terjadi.
Begitulah yang terjadi pada perubahan tingkah laku sosial masyarakat Semarang. Mereka
mulai membangun tanggul, meninggikan lantai, dan berpindah sementara ke tempat yang
tidak banjir atau mengungsi ke sanak saudara sebagai cara adaptasi.

Anda mungkin juga menyukai