Anda di halaman 1dari 5

Tugas Makalah Antropologi Perkotaan

KERASUKAN, RASIONAL vs IRASIONAL

Review Artikel “the production of possession: spirits and the multinational corporation in
Malaysia” Karya Aihwa Ong

Disusun oleh:

Kahlila Denali Lawe – 13040220130032 – Antropologi Perkotaan A

ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023
Review artikel

Artikel yang berjudul “the production of possession: spirits and the multinational
corporation in Malaysia” oleh Aihwa Ong (1988) merupakan sebuah karya etnografi yang
mengangkat tentang fenomena kerasukan arwah pada pekerja wanita asal pedesaan Malaysia
di pabrik-pabrik multinasional. Ong mendiskusikan fenomena tersebut dari berbagai sudut
pandang, mulai dari segi antropologi medis (konsep sehat-sakit), modernisasi (irasional vs
rasional), konsep tabu sebagai kontrol sosial, dan gender (feminist rage?). Fenomena ini
menunjukkan bentrokan antara nilai kepercayaan animisme tradisional dengan gagasan
hegemonik dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Ong meneliti masyarakat pedesaan Sungai Jawa (nama disamarkan) di daerah


semenanjung Malaysia, di mana masyarakatnya memegang kepercayaan animisme dari
jaringan kosmologis Jawa, Hindu, dan Islam. Berbeda dengan manusia yang meski sama-sama
mempunyai jiwa (semangat) namun terikat dengan tubuh fisik, hantu adalah makhluk tanpa
tubuh yang mampu menembus batas dunia material dan supranatural; makhluk yang tidak
terikat dengan aturan dan norma kehidupan, representasi dari pelanggaran batas moral yang
ditentukan secara soial dalam ruang-ruang tempat tinggal, desa, dan hutan. Para hantu dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar berdasarkan konsep orang Malaysia mengenai
pembagian spasial/sosial luar (eksterior) – dalam (interior): arwah-arwah yang memiliki ikatan
dengan manusia dan arwah-arwah bebas yang tidak berbentuk (setan). Pada hakikatnya, setan
dan arwah merupakan cerminan dari kecemasan hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari
di desa (1988, hlm. 30–31).

Lapisan masyarakat rural Malaysia itu berdasarkan gender sehingga dengan nilai
patriarki yang tinggi, perempuan sekali lagi ditempatkan pada posisi yang lebih inferior.
Mereka percaya bahwa laki-laki memiliki spiritualitas (dan akal) yang lebih kuat dibandingkan
perempuan sehingga memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap kerasukan, perempuan
dipandang memiliki spiritualitas yang lebih lemah karena hawa nafsu mereka yang jauh lebih
besar. Hawa nafsu tidak selalu gairah seksual; di sini disebutkan wanita cenderung berbicara
latah dan serangan kerasukan arwarh. Selain karena hawa nafsunya yang lebih besar, diri
spiritual, tubuh, dan sosial perempuan dianggap menghina jika mereka terutama melanggar
batas-batas keramat. Pemikiran ini sebenarnya juga bisa ditemukan di Indonesia, seperti darah
menstruasi perempuan adalah najis dan disenangi oleh para makhluk halus sehingga tidak
boleh ‘jorok’ ketika sedang datang bulan.
Umumnya, para wanita yang sudah menikah yang menjadi sasaran empuk para
makhluk halus untuk diserang karena mereka akan melewati ritus-ritus peralihan seperti
melahirkan anak untuk pertama kalinya dan serangan tersebut terjadi ketika para wanita sedang
melalui satu tahap kehidupan ke berikutnya. Dan ini menjadi pertanyaan pertama saya, apakah
para laki-laki tidak melalui ritus-ritus peralihan yang sama? Kelahiran seorang anak juga
semestinya memengaruhi sang suami yang menjadi seorang ayah, bukankah itu juga sebagai
transisi dalam tahap kehidupan?

Norma masyarakat di sana menuntut para perempuannya untuk bersikap patuh, nurut,
harus diam di rumah, dan sebagainya sehingga fenomena kerasukan arwah akhirnya berpindah
ke gadis-gadis perempuan yang bekerja di pabrik. Di sinilah persimpangan antara hegemoni
Barat dengan nilai budaya lokal bertemu; masuknya urbanisasi dan industrialisasi di daerah
rural Malaysia menggeser fenomena kerasukan dari pandangan kultural (jin/setan/arwah yang
marah karena terganggu) menjadi dapat ditelaah secara ilmiah (histeria massa/psikis yang
terguncang/halusinasi), ketika irasional bertemu dengan rasionalitas. Pada ranah kampung,
korban kerasukan kebanyakan adalah wanita yang sudah menikah yang diasosiasikan dengan
kekangan pada kewajiban domestik yang didapat. Sementara itu, pada tatanan modern, korban
kerasukan adalah para gadis muda yang berkecimpung pada kegiatan atau pekerjaan laki-laki.

Para gadis pekerja pabrik dan murid sekolah asrama kemudian menjadi sasaran empuk
terhadap fenomena kerasukan arwah karena mereka dianggap melanggar norma dan batasan
sosial. Ini menjadi hal menarik bagi saya karena mau dimanapun konteksnya, kerasukan setan
tetap menjadi kontrol sosial bagi perempuan dan selayaknya bentuk kebudayaan lainnya, maka
fenomena kerasukan mendapatkan makna baru mengikuti perkembangan masyarakatnya. Jadi,
meski masyarakatnya sudah mulai memasuki dunia modern, mereka tidak terlepas dari nilai-
nilai budaya mereka. Walau para gadis pekerja pabrik bekerja di perusahaan-perusahaan
multinasional dan sudah mencicipi dunia luar, namun sejatinya mereka masih penduduk
kampung yang masih percaya dengan hal-hal ghaib dan kepercayaan mereka tidak pernah
mereka tinggal di rumah setiap kali berangkat bekerja. Norma sosial yang mengatur perempuan
Malaysia itu sangat patriarki sehingga kerasukan arwah, selain sebagai kontrol sosial, menjadi
agensi kepada para perempuan tersebut untuk “melanggar” batas-batas sosial yang ada.

Pabrik-pabrik multinasional yang dibangun di atas kawasan-kawasan perdagangan


bebas menjadi tempat maraknya arwah gentayangan, salah satu faktornya karena
pembangunannya yang tidak mematuhi peraturan setempat sehingga mengganggu para arwah
penunggu situs-situs keramat tersebut. Selain itu, jam kerja yang sangat padat dan ketat
membuat para perempuan tidak bisa menggunakan kamar mandi senyaman mereka sehingga
tidak bisa membersihkan diri dengan baik yang tentu saja mengundang para setan. Jadi,
fenomena kerasukan ini juga menjadi bentuk perlawanan terhadap kapitalisme yang tidak
mempertimbangkan budaya lokal dan hanya mengedepankan produktivitas.

Seorang perempuan yang sedang kerasukan arwah merupakan analogi dari satu koin
yang sama; di satu sisi menggambarkan arwah yang mampu menembus batas dunia manusia
dan roh, di sisi lain menggambarkan para perempuan yang melanggar norma-norma sosial dan
menjadi “ancaman” bagi para perempuan lain apa yang dapat terjadi. Interaksi intens dan
pengawasan terus-menerus dari para manajer pabrik merupakan bentuk pelanggaran besar yang
“dilakukan” oleh para pekerja pabrik sehingga tercipta ketakutan terhadap kerasukan arwah.
Ketakutan ini kemudian mendorong para perempuan pekerja pabrik untuk mengatur dirinya
sendiri dan tidak hanya para perempuan tersebut mengalami alienasi dari produk hasil
pekerjaan mereka namun juga mengalami bentuk alienasi fisik baru: mereka bekerja jauh dari
rumah dipandang sebagai pelanggaran moral, dilambangkan dengan kekotoran dan seksualitas
berbahaya. Mereka terasingkan dari tubuh mereka sendiri, hasil dari pekerjaan mereka, dan
kebudayaan mereka sendiri. Di sini, konsep kekuasaan mikro oleh Foucault dan alienasi oleh
Marx diterapkan.

Para pemilik pabrik memiliki tenaga kerja perempuan dari pedesaan karena murah,
terutama yang belum menikah. Dari awal mereka direkrut pun para pekerja perempuan tersebut
sudah tidak memiliki kuasa atas tubuh mereka; pabrik-pabrik Jepang lebih memilih untuk
mempekerjakan perempuan-perempuan berdasarkan fungsi tubuh mereka, bahwa perempuan-
perempuan Melayu (disebutnya sebenarnya oriental) memiliki “mata yang jeli”, “ketekunan”,
“sabar mengerjakan hal yang mendetail” merupakan wujud komodifikasi tubuh perempuan
sehingga menempatkan mereka pada posisi subordinat dalam pekerjaan karena mereka tidak
pernah direkrut karena kemampuan otak mereka.

Ketika terjadi kerasukan, para manager pabrik memang memanggil Bomoh untuk
melakukan ritual pengusiran setan dan pembersihan area pabrik. Namun itu hanyalah sebatas
formalitas saja, hanya untuk menanamkan false sense of security pada pekerja perempuan
mereka bahwa mereka sudah aman dari gangguan arwah tapi tidak pernah mau menyelesaikan
masalah dari akarnya. Mereka berpandangan bahwa masalah tersebut dapat ditinjau secara
rasional melalui penjelasan medis/psikis: para pekerja perempuan mengalami “histeria massa”
karena tekanan psikologis, arwah gentayangan yang mereka lihat adalah halusinasi akibat dari
kurang istirahat. Mereka menyadari penjelasan rasional di balik fenomena tersebut, namun
tidak ingin mengakui bahwa jam dan beban kerja yang eksploitatif sebagai “akar”
permasalahannya. Di sini, konsep sakit-sehat menurut pemahaman para manager dan
masyarakat lokal bertubrukan. Para manager mencap perempuan yang kerasukan sebagai orang
yang sedang sakit sehingga para korban diperlakukan sebagaimana orang sakit dalam
pemahaman mereka: diberi obat. Sedangkan para perempuan yang kerasukan sejatinya harus
“diobati” menurut konteks lokal mereka, dan hal ini yang tidak dihormati oleh para manager
pabrik. Bertabraknya konsep sakit di sini justru menjadi wujud eksploitasi baru di mana para
perempuan yang kerasukan dituntut untuk “sembuh” karena para manager telah mengikuti tata
cara tradisional dalam menghadapi permasalahan ini sehingga dianggap wajar untuk menuntut
kesembuhan mereka. Mereka yang mengalami kerasukan dianggap sebagai pengganggu moda
produksi dan “izin sakit” lebih dari tiga akan berdampak pada pemberhentian mereka.

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, selain sebagai kontrol sosial, kerasukan
arwah juga menjadi ajang negosiasi antara pekerja dan manager dalam tuntutan lingkungan
kerja yang sesuai dengan aturan adat dan terhadap pelanggaran batas-batas moral di pabrik,
akan tetapi selayaknya kapitalis sejati, para manager tidak peduli dengan budaya. Pada
akhirnya, kerasukan arwah yang merupakan fenomena dengan makna budaya mendalam
terkena hegemoni Barat dengan konsep sakit mereka dan cara penanganannya. Melalui
pemikiran rasional dan pengetahuan medis, mereka mengesampingkan dan bahkan
mengabaikan konteks lokal dari kerasukan. Kedua belah pihak sama-sama memandang
kerasukan sebagai “sakit” tetapi dengan pendekatan yang berbeda.

Daftar pustaka

Ong, A. (1988). the production of possession: Spirits and the multinational corporation in

Malaysia. American Ethnologist, 15(1), 28–42.

https://doi.org/10.1525/ae.1988.15.1.02a00030

Anda mungkin juga menyukai