Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah : Manajemen Krisis

MODUL PRAKTIK
SEKSUAL GENDER BASED VIOLENCE ( SGBV )
PADA SITUASI KRISIS BENCANA

DOSEN PENGAMPU :
Mardiani Mangun, SSiT.,MPH

Oleh :
KEMENTERIAN KESEHATAN RI Kelompok 10
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU
PRODI STR KEBIDANAN III B Ni Putu Yuni Widiasih
TAHUN 2023 Salsabila
Qoriah Santri
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

Menurut UU N0 24 Tahun 2007 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian


peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, hilangnya harta
benda dan dampak psikologis.
Krisis adalah suatu kejadian, dugaan atau keadaan yang mengancam
keutuhan, reputasi, atau keberlangsungan individu atau organisasi. Hal tersebut
mengancam rasa aman, kelayakan dan nilai-nilai sosial publik, bersifat merusak
baik secara aktual maupun potensial pada organisasi, dimana organisasi itu
sendiri tidak dapat segera menyelesaikannya Menurut Machfud (1998).
Pada saat situasi krisis bencana banyak terjadi Tindak kekerasan seksual
yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia masih menunjukan angka yang
tinggi. Angka tersebut hanya segelintir dari banyaknya kasus kekerasan seksual
sebab pada kenyataannya masih banyak perempuan korban kekerasan seksual
yang tidak melapor kepada pihak kepolisian atau lembaga layanan seperti
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Makalah ini membahas
tentang faktor- faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada perempuan,
alasan perempuan korban kekerasan seksual tidak melaporkan kejadian yang
dialaminya, serta penerapan pelatihan asertif untuk perempuan dan korban
kekerasan seksual.
Penyebab utama alasan perempuan korban kekerasan seksual tidak
melapor yaitu stigma buruk masyarakat akan korban kekerasan seksual.
Pelatihan asertif dapat membantu perempuan dan korban kekerasan seksual
untuk berani untuk menolak dan menyampaikan apa yang dirasakannya dengan
cara yang benar.
Sehingga pada topik ini kami akan membahas bagaimana
mengidentifikasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual berbasis
gender pada situasi krisis/darurat bencana.
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan :


1. Menjelaskan mengenai akar masalah, faktor resiko dan konsekuensi dari
SGBV
2. Mampu mengidentifikasi klien yang beresiko mengalami SGBV
3. Mampu mengidentifikasi pelaku pada SGBV
4. Mampu mengidentifikasi waktu terjadinya situasi dan kondisi yang beresiko
SGBV
5. Mampu mengidentifikasi alasan tidak dilaporkannya SGBV
6. Mampu mengidentifikasi pemantauan yang dilakukan pada SGBV
7. Mampu mengidentifikasi tindakan pencegahan dan respon pada SGBV
8. Mengetahui contoh dari kejadian SGBV
9. Mengetahui apa saja KIT Hygiene Kesehatan Reproduksi
10. Mengetahui Pra krisis dan Krisis SGBV
11. Mengetahui Mitigasi dari SGBV
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

1. Akar Masalah, Faktor Resiko dan Konsekuensi Dari SGBV


a. Akar Masalah
Pembicaraan mengenai ciri-ciri golongan perempuan dan laki-
laki tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang gender. Konsep
perbedaan biologis golongan perempuan dan laki-laki mudah
dimengerti karena perbedaan tersebut kasat mata. Akan tetapi,
pembahasan ciri-ciri golongan perempuan dan laki-laki tidak dapat
hanya dikaitkan dengan perbedaan biologis
Dalam tataran antar pribadi (interpersonal), gender dimengerti
sebagai sebuah petunjuk atau isyarat tentang stereotipe atau ciri-ciri
golongan, misalnya: isyarat gender feminin bagi perempuan dan
maskulin bagi laki-laki, digunakan untuk memberitahukan kepada
seorang perempuan atau laki-laki bagaimana harus bersikap ketika
menghadapi lawan hubungannya. Akibatnya, karena perempuan laki-
laki selalu diharapkan menunjukkan isyarat berbeda dalam hubungan
sehari-hari, lama-kelamaan mereka akan menghayati dan
menganggap wajar tingkah laku berbeda tersebut. Padahal, apabila
secara terus-menerus perempuan bertingkah laku feminin, akhirnya ia
tidak mampu dan canggung mengadaptasi kinerja yang maskulin.
Demikian pula sebaliknya, laki-laki yang selalu dituntut untuk
menunjukkan isyarat dan ciri maskulin, tidak mudah mengerti
pentingnya bersikap feminin dalam melaksanakan tugas yang bersifat
pelayanan.
Dalam tataran struktur sosial, gender dapat dilihat sebagai
sistem hubungan kekuatan (power relationship). Di banyak
masyarakat, karena pengaruh gender, golongan laki-laki mempunyai
kekuatan publik lebih besar, mengontrol pemerintahan dan seluruh
diskursus publik, artinya: gender dapat dilihat sebagai sistem
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

klasifikasi sosial yang pengaruhnya meluas multidimensional ke akses


kepada kekuatan dan sumber daya (Fransiska Novita Eleanora, 2021)
b. Faktor Resiko
Masyarakat patriarkal menggunakan keadaan fisiologi laki-laki
dan perempuan (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk
membangun/membentuk seperangkat tingkah laku dan identitas
“maskulin” dan “feminin”. Masyarakat patriarkal menggunakan peran
gender secara lugas untuk membuat perempuan pasif (menarik,
patuh, tanggap terhadap simpati, selalu setuju, baik hati dan ramah)
atau feminin dan laki-laki aktif (tekun, agresif, ingin tahu, ambisius,
perencana, bertanggung jawab, original, dan kompetitif) atau maskulin
Perbedaan gender (gender differences) antara manusia
golongan laki-laki dan perempuan terjadi sepanjang sejarah manusia,
melalui proses yang sangat panjang. ”Perbedaan itu dibentuk,
disosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan
kebudayaan melalui berbagai jalur dan cara” . Dalam masyarakat
konstruksi itu umumnya mendukung perkuatan laki-laki dan
perlemahan perempuan. Masyarakat berhasil meyakinkan dirinya
bahwa kebudayaan patriarkal yang dikonstruksinya adalah alamiah.
Dengan demikian “normalitas” seorang perempuan, misalnya,
bergantung kepada kemampuannya memperagakan tingkah laku dan
identitas gendernya. Seks (laki-laki atau perempuan) selalu
dihubungkan dengan gender seseorang (feminin atau maskulin),
padahal gender berbeda dan terpisah dari keadaan biologis seks
(Fransiska Novita Eleanora, 2021).
c. Konsekuensi
Beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih
banyak dibandingkan jenis kelamin tertentu. Di satu sisi perempuan
direndahkan dan dianggap kurang penting, di sisi lain, sesungguhnya
dalam realita hidup perempuan memiliki banyak peran dan pekerjaan.
Perempuan memiliki peran domestik dan fungsi reproduksi (mengurus
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

rumah tangga, memastikan suami dan anak dalam keadaan baik,


hamil, melahirkan, menyusui), kerja produktif (mencari nafkah, kadang
menjadi pencari nafkah utama) dan juga kerja sosial (misalnya:
menjadi kader kesehatan di kampung). Perempuan memiliki beban
kerja majemuk, tetapi sering pekerjaannya tidak disadari, tidak
dihargai, atau tidak dianggap sebagai bentuk pekerjaan (Fransiska
Novita Eleanora, 2021)
2. Mengidentifikasi klien yang beresiko mengalami SGBV
Kekerasan sangat sering terjadi di kehidupan sehari-hari baik di
lingkungan keluarga, masyarakat maupun teman sebaya. Kekerasan
umumnya sering menimpa orang- orang yang tidak berdaya. Maraknya isu
kekerasan yang terjadi terhadap perempuan menjadi suatu momok yang
menakutkan bagi seluruh perempuan khususnya perempuan yang memiliki
kesibukan diluar mengurus pekerjaan rumah meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan perempuan yang mengurus pekerjaan
3. Mengidentifikasi pelaku pada SGBV
Kekerasan yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem
tata nilai yang mendudukan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Masih banyak masyarakat yang
memandang perempuan sebagai kaum yang marginal, dikuasai, dieksploitasi
dan diperbudak oleh kaum laki-laki. Dalam beberapa kasus laki laki adalah
pelaku tunggal (NOVIANI P et al., 2018)
4. Mengidentifikasi waktu terjadinya situasi dan kondisi yang beresiko
SGBV
Kekerasan pada dasarnya merupakan sebuah realita yang ada dalam
masyarakat saat ini, yang menyatakan kekerasan terhadap perempuan
masih terbilang cukup banyak dan sering kali terjadi kapan pun dan dimana
pun (NOVIANI P et al., 2018).
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

5. Mengidentifikasi alasan tidak dilaporkannya SGBV


Korban kekerasan seksual yang tidak berani melaporkan permasalahan
atau perlakuan negatif yang mereka terima seharusnya diberi perhatian
lebih. Perhatian yang diberikan dapat dilakukan oleh pekerja sosial sebagai
pertolongan kemanusiaan yang memiliki akses dan peran dalam
memberikan pelayanan sosial kepada para korban kekerasan seksual.
Pelayanan sosial yang harus dilakukan serta diterapkan kepada para korban
kekerasan seksual yang tidak berani melaporkan kejadian buruk yang
menimpanya kepada pihak yang berwajib (NOVIANI P et al., 2018).
6. Mengidentifikasi pemantauan yang dilakukan pada SGBV
Selama masa darurat, banyak penilaian dilakukan oleh organisasi
kemanusiaan, para penyumbang dan badan-badan pemerintahan. Penilaian-
penilaian tersebut harus memasukkan informasi mengenai kekerasan
seksual, terlepas dari kepentingan sektor atau organisasi dan harus dibagi
dengan kelompok-kelompok kerja kekerasan berbasis gender. Ini bisa
mencegah duplikasi penilaian dan wawancara berulang dengan komunitas.
Selama tahap awal dari keadaan darurat, bahkan ketika masyarakat sedang
bergerak dan daerah tersebut sedang tidak aman, informasi dasar tentang
sifat dasar dan tingkat kekerasan informasi dapat dikumpulkan.
7. Mengidentifikasi tindakan pencegahan dan respon pada SGBV
Pencegahan dan penanganan efektif terhadap kekerasan seksual
mensyarakatkan tindakan terkoordinasi multisektoral di antara, setidaknya,
pekerja kesehatan dan pelayanan sosial, hukum, hak asasi manusia dan
sektor keamanan dan komunitas.
Perlindungan pemerintah terhadap perempuan dan anak dilakukan oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta
kementerian dan lembaga terkait. Salah satu mandat yang harus dijalankan
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPPA) adalah melindungi anak, perempuan, dan kelompok marjinal.
Perlindungan terhadap perempuan dan anak dirumuskan dalam beberapa
isu strategis KPPPA yang mencakup antara lain:
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

a. Peningkatan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan,


termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO),
b. Peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan kelembagaan
perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan,
c. Peningkatan perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi,
penelantaran, dan perlakuan salah lainnya; dan
d. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemenuhan hak dan
perlindungan anak. Perlindungan terhadap perempuan dan anak
menjadi salah satu prioritas program KPPPA yang dikenal dengan
“Three Ends”.(UNFPA, 2005)
8. Contoh Kasus SGBV Pada Saat Krisis Bencana
Setiap harinya, anak dan perempuan penyintas gempa dan
tsunami Palu di Sulawesi Tengah, harus berhadapan dengan kekerasan
dan pelecehan seksual, mulai dari percobaan perkosaan, hingga yang
paling kecil, pengintipan di kamar mandi.
Ini membuat anak dan perempuan penyintas gempa dan tsunami
menjadi kelompok yang paling rentan di pengungsian. Salah satu
alasannya, kondisi kamar mandi di pengungsian yang tidak ramah
perempuan. Salah satu anak, Intan (bukan nama sebenarnya)
menuturkan pengalaman yang dia alami di kamar mandi di kamp
pengungsian. "Kejadiannya pagi hari pas saya mau berangkat sekolah,
kan saya mengantri mandi. Orang itu sudah lama di dalam WC, sudah
hampir satu jam, tapi tak keluar-keluar. Sudah mau empat orang selesai
dia belum ada keluar-keluar," tutur Intan mengawali kisahnya.
"Pas saya masuk, saya menghadap ke sebelah kiri, saya lihat
tangannya itu orang di bawah, masuk dengan cermin pas saya buka
celana. Pas itu saya pakai ulang celanaku, pergi ke luar ulang saya,"
lanjutnya kemudian.
Perasaannya campur aduk kala itu, antara marah, panik dan
jengkel. Begitu keluar dari kamar mandi, sambil gemetar menahan
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

amarah, dia langsung meminta orang yang dia sebut baintip (mengintip)
itu keluar dari kamar mandi. Namun, orang itu urung keluar.
"Saya tendang-tendang itu pintu orang yang di sebelah, tapi dia tak
mau juga keluar-keluar. Saya berteriak-teriak sampai ada kata-kata kotor
saya keluarkan di mulutku," ungkap Indri menggambarkan kejengkelannya
kala itu.
9. KIT Hygiene (Kespro)
No Jenis Barang Jumlah Per Kit Keterangan
1. Sarung 1 -
Bahan menyerap
2. Handuk besar 1
air
Minimal expired 2
3. Sabun mandi 2 buah (85 gr)
tahun

4. Pasta gigi 3 buah (75 gr) Minimal expired 2


tahun
5. Sampo 3 botol (80 ml) Minimal expired 2
tahun
3 pak (minimal
6. Pembalut wanita Minimal expired 2
10 buah) tahun
Ukuran 34-38
Cup B Lingkar
7. Bra 3 buah
bawah payudara
73-90 cm
All size, minimal
8. Celana dalam 3 buah lingkar pinggang
70-90 cm
Ukuran kaki 38-
9. Sandal jepit 1 pasang
40
10. Selimut 1 buah Ukuran dewasa
11. Sikat gigi 1 buah Ukuran dewasa
12. Sisir 1 buah
13. Senter + baterai 1 Ukuran 10-20 cm
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

14. Peluit 1
15. Jerigen air 1 Dapat lipat
Tas warna biru dengan
16. 1 -
tulisan Kit Higiene
Katalog didalam dan diluar
17. 2 -
tas

10. Pra Krisis dan Krisis Pada SGBV


NO Pra Krisis Krisis
1. Melakukan edukasi mengenai SGBV Banyak terjadi pengintipan
karena kamar mandi
kurang memadai serta
kamar mandi laki - laiki dan
perempuan menjadi satu
2. Memberikan pemahaman terkait Banyak pengungsi laki -
bagian tubuh yang bersifat pribadi laki dan perempuan tidur
bersama di tenda
pengungsian
3. Edukasi orang - orang sekitar Kurangnya pelayanan
termasuk keluarga tentang pentingnya kesehatan reproduksi pada
mencegah terjadinya kekerasan tenda pengungsian
seksual
4. Menganjurkan Remaja putri untuk Kekerasan seksual dapat
tidak menggunakan pakaian terbuka berdampak pada upaya
bunuh diri serta terinfeksi
HIV/AIDS
5. Menjelaskan dampak yang bisa terjadi Banyak remaja putri yang
kekerasan seksual salah satunya keluar dimalam hari tanpa
dampak psikologis. di temani
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

A. Mitigasi SGBV
1. Menempatkan MCK laki - laki dan perempuan secara terpisah dan aman
2. Memisahkan tenda laki - laki dan perempuan
3. Melakukan kordinasi bersama tenaga kesehatan untuk di adakannya
pelayanan kesehatan reproduksi
4. Menyediakan layanan psikososial pada saat situasi darurat
5. Melakukan trauma healing pada pengungsi kususnya pada remaja
6. Menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan seksual bagi
pasangan seksual bagi pasangan suami istri yang sah.
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

Masayarakat masih menempatkan pria sebagai pemenang kekuasaan


dan menganggap wanita itu lemah. Sehingga timbul stigma di masyarakat
bahwa perempuan itu lemah dan harus patuh terhadap laki-laki sehingga
berakibat perempuan sering dan menjadi korban atas kekuasasan laki-laki,
dalam beberapa kasus yang terjadi laki-laki selalu menjadi pelaku tungal atas
kekerasan yang di terima oleh kaum perempuan, kekerasaan yang di terima
perempuan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja sebeb perempua selalu di
anggap lemah oleh kaum laki laki.
Para korban biasanya enggan melapor kepada pihak berwajib karna
berbagai alasan seperti takut, malu serta adanya ancaman dari pelaku, sehingga
perlunya peran berbagai pihak untuk melakukan pemantauan resiko terjadinya
kekerasan pemerintah sebenarnya motede pencegahan seperti peningkatan
perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan serta Perlindungan
terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu prioritas program KPPPA
yang dikenal dengan “Three Ends.
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

Daftar Singkatan Sebagai berikut :


NO Singkatan Ket
1. SGBV Seksual Gender Based Violence
2. Gender Jenis kelamin (perempuan dan laiki-laki)
3. Maskulin Untuk laki-laki gagah, kuat, maco
4. Power Relationsip Sistem hubungan kekuasaan
5. Multidimensional Permasalahan lebih dari satu
6. Patriarkal Laki-laki sebagai pemegang kekuasaan
utama.
7. Pasif Tidak aktif
8. Gender Differences Setiap perbedaan yang biasa
9. Dikonstruksi Metode pembacaan teks
10. Dieksploitasi Tindakan dengan atau tanpa persetujuan
korban
11. KPPPA Kementrian Pemerdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak
12. TPPO Tindak Pidana Perdagangan Orang
13. PUG Pengarusutamaan Gender : strategi yang
dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan gender
Mata Kuliah : Manajemen Krisis

(Anak, 2017)Anak, K. P. P. dan P. (2017). Mengakhiri Perempuan, Terhadap Anak, dan


Di Indonesia,. In Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Fransiska Novita Eleanora, D. (2021). Hukum Perlimdungan Anak dan Perempuan.
NOVIANI P, U. Z., Arifah, R., CECEP, C., & Humaedi, S. (2018). Mengatasi Dan
Mencegah Tindak Kekerasan Seksual Pada Perempuan Dengan Pelatihan Asertif.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(1), 48.
https://doi.org/10.24198/jppm.v5i1.16035
UNFPA. (2005). Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Masa Darurat
Kemanusiaan (Issue September).

Anda mungkin juga menyukai