Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ETNOGRAFI PAPUA SEJARA & KEBUDAYAAN


SUKU KOKODA

Dosen Pengampu :
Bapak Dr. Ir. Rudi A Masturbongs, M. Si

DI
SUSUN
OLEH :

 NAMA : YOHANIS WINDESI


 NIM : 202355042
 KELAS : B
 PRODI S1 KEHUTANAN

PROGRAM STUDI FAKULITAS KEHUTANAN


UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2024

1
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmal- Nya, sehingga
penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna. memenuhi tugas mata kuliah etnoografi
Papua. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi,
namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan dan bimbingan dari kakak beserta teman-teman sehingga makalah ini bisa
terselesaikan

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada para pembaca mahasiswa Universitas Papua Pernalis sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sompuma linnik ini, kepada dosen pengampu, pemulis
meminta masukannya. demi perbaikan pembuatan makalah penulis di masa yang akan datang
dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Manokwari, 9 maret 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover.................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................1
BAB
1...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar
belakang...........................................................................................................................1
1.2 Rumusan
masalah.....................................................................................................................1
BAB II..............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Lokasi, lingkungan alam dan
demografi.................................................................................3
2.2 Asal mula dan sejarah suku
Kokoda.......................................................................................5
DAFTAR GAMBAR
2.3 bahasa suku Kokoda...............................................................................................................6
2.4 Sistem teknologi yang digunakan oleh suka kokoda:.............................................................7
2.5 Sistem mata pencaharian suku
kokoda....................................................................................7
2.6 Organisasi sosial dari suku Kokoda........................................................................................8
2.7 Sistem pengetahuan suka kokoda...........................................................................................8
2.8 Kesenian dari suku
Kokoda...................................................................................................11 2.9 Sistem reigi suku
kokoda......................................................................................................14
2.10 Perubahan kebudayaan (Akulasi) yang di alami oleh suku Kokoda.....................................16
BAB III..........................................................................................................................................
20
PENUTUP..................................................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Budaya Merupakan Sebuah Sistem Yang Mencakup Bahasa, Benda, Musik Kepercayaan
Serta Aktivitas Masyarakat Yang Mengandung Makna Kebersamaan Dan Mempunyai Hubungan
Antara Satu Dengan Yang Lainnya (Yunus, 2014). Budaya Selalu Melekat Dan Menjadi
Kebiasaan Suatu Masyarakat Sehingga Secara Sengaja Atau Tidak Akan Selalu Diterapkan Dari
Generasi Ke Generasi. Oleh Karena Itu, Setiap Kelompok Masyarakat Akan Memiliki
Budayanya Masing-Masing. Budaya Ini Akan Terus Diterapkan Dan Dipegang Teguh Oleh
Individu Dari Suatu Kelompok Masyarakat.

Papua Merupakan Daerah Kawasan Timur Indonesia Yang Belum Cukup Berkembang
Dilihat Dari Berbagai Aspek. Suku-Suku Asli Papua Barat Sendiri Terdiri Dari Suku Doreri,
Suku Kokoda, Suku Kuri, Suku Simuri, Suku Irarutu, Suku Sebyar, Suku Moscona, Suku
Mairasi, Suku Kambouw, Suku Onim, Suku Sekar, Suku Maibrat, Suku Tehit, Suku Imeko, Suku
Moi, Suku Tipin, Suku Maya, Suku Bintuni, Suku Demta, Suku Genyem, Suku Guai, Suku
Hattam, Suku Jakui, Suku Kapauku, Suku Kiman, Suku Mairasi, Suku Manikion, Suku Mapia,
Suku Marindeanim, Suku Mimika, Suku Moni, Dan Masih Banyak Suku Lainnya. Meskipun

4
Jaman Dahulu Suku-Suku Yang Ada Di Papua Berasal Dari Kawasan Tertentu Di Papua, Saat
Ini Suku-Suku Yang Ada Dapat Ditemukan Di Semua Kawasan Yang Ada Di Papua.
Tiap Suku Yang Ada Di Papua Barat Memiliki Budayanya Masing-Masing
Sehingga Papua Barat Dikenal Dengan Kawasan Yang Memiliki Budayanya Masing-Masing
Sehingga Papua Barat Dikenal Dengan Kawasan Yang Memiliki Budaya Yang Beragam. Tiap
Suku Yang Ada Di Papua Barat Memiliki Budayanya Masing-Masing Sehingga Papua Barat
Dikenal Dengan Kawasan Yang Memiliki Budaya Yang Beragam.
1.2 Rumusan Masalah

1. Dimanakah Lokasi, Keadaan Lingkungan Alam Dan Demografi Dari Suku Kokoda?
2. Bagaimana asal mula dan sejarah suku kokoda?
3. Bahasa apakah yang dipakai oleh suka kokuda?

4. Hagaimanakah sistem teknologi yang dipakai olch suku kokoda?

5. Sistem mata pencaharian apakah yang digunakan oleh masyarakat suku kokoda?

6. Organisasi sosial apakah yang dilakukan oleh suku kokoda?

7. Bagaimana sistem pengetahuan yang dialami oleh suku kokoda?

8. Apa kesenian-kesenian yang tentapat pada suku kokoda?

9. Sistem religi apakah yang dianut oleh suka kukoda?

10. Perubahan-perubahan kebudayaan apa saja yang terjadi pada suku kokoda?

1.3 Tujuaan

1. Untuk mengetahui letak lokasi, keadaan lingkungan alam dan demografi darı suka kokoda.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan asal mula, dan sejarah dari suku kokoda.

3. Untuk mengetahui hahasa apakah yang dipakai oleh suku kokoda

4. Untuk mengetahui sistem teknologi yang dipakai oleh suku kokoda.

5. Untuk mengetahui Sistem mata pencaharian yang digunakan oleh masyarakat suka kokoda.

5
6. Untuk mengetahui dan menjelaskan organisasi sosial yang di lakukan oleh suka kokoda

7. Untuk mengetahui sistem pengetahuan yang dialami oleh suku kokoda.

8. Untuk mengetahui kesenian-kesenian yang terdapat pada suku kokoda.

9. Untuk mengetahui sistem religi apakah yang dianut oleh suku kokoda

10. Untuk mengetahui Perubahan-perubahan kebudayaan apa saja yang terjadi pada suku kokoda

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 1.okası, lingkungan alam dan demografi


Suku Kokoda adalah suku lokal yang bermukim di wilayah Provinsi Papua Barat.
Pemukiman Suku Kokoda tersebar di dua lokasi besar, yaitu di Kelurahan Klasabi, Distrik
ManKota Sorong dan daerah IMEKO (Inanuatan, Matemani, Kais, dan Kokoda) Suku Kokoda
yang tinggal di Kota Sorong umumnya sudah mulai mengenal penggunaan teknologi, mengingat
lokasi perkampungan mereka juga bersebelahan dengan lapangan terbang DEO, Kota Sorung.
Sementara itu, Suku Kokoda yang tinggal di daerah IMEKO masih hidup dengan cara
tradisional, seperti menokok sagu dan mencari ikan di dalam sungai atau kali dengan
menggunakan alat herupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah sagu.
Komunitas ini terschar di empat lokasi tenton Kota Sorong dan satu lokasi di Kabupaten
Sorong, yaitu di Km. 7 dekat Bandura Domine Edward Osok, Km. 8 yang menjadi pusat alau
induk dari suku Kokoda yang berada di wilayah Sorong, Rufei Km 3, Viktori Km. 10, dan
Makbusun SP 3 yang menempati wilayah di luar keramaian kota. Dari kehma lokasi yang telah
disebutkan, semua basis kehidupannya tidak jauh dari laut. Maksudnya, sektor kelautan adalah
modal utama bagi suku Kokoda untuk meningkatkan produktifitas kehidupan mereka.

6
Suku ini terdiri dari 9 kampung yakni Nebes (Marctinaniya), Udagaga, Kambur (Benawa).
Kasueri (Gator), Migori (Towagau). Tarul (Pupiyagau), Tambani, Kali Kamundan, dan Siwatori
(Kokodaya atau Kokoda). Saat ini

masyarakat suku Kokoda mendiami 8 lokuni di kawasan Surung raya. Ke delapan. lokasi
tersebut, yaitu (1). Sekitar bandara Dumine Edward Osok. Sorong di km. 7 (namun saat mi sudah
direlokasi di wilayah Distrik Aamas); (2), Viktori di km. 10; (3) Kompleks "Kokoda di km 8
sebagai pusat permukiman komunitas Kokoda: (4). Rufei di km. 3 ke arah Barat (pedalaman)
Kota Sorong, kampung Warmon Kokoda (Distrik Mayarnuk), Kampung Maibo (Distrik Aiman),
Klalin (Distrik Aumas) dan kampung Inamo (Distrik Aimas)

Suku Kokoda menempati nga wilayah di provinsi Papua yatu di kampung Wamon,
Kokoda dan kampung Ruvei yang berada di Kabupaten Sorong dan pulau Siwatori yang berada
di Kabupaten Sorong Selatan. Kabupaten Sorong sendin telah mengalami pemekaran sejak 2017
lau, yaitu menjadi Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan Suku Kokoda sendin adalah suku yang
memiliki rekam jejak sebagai penduduk yang nomaden, mereka terhiasa berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain ketika sumber daya alam di sekitarnya habes. Namun kini sudah 7
tahun suku Kokoda mulai berbenah dan mempunyai daerah tempat tinggal salah satu tempat
yang haaru dibuka hagi penduduk Kokoda adalah kampung Warmon yang terletak di SP2
kabupaten Sorong Kampung ini dihuni sekitar 150 kepala keluarga, namun karena suku Kokoda
masih mempunyai sifat nomaden maka menjadi sangat susah menebak rata-rata jumlah
penduduk kampung Hal ini mengakibatkan pemerintah daerah kesulitan menentukan penduduk
sipil di tempat tinggal mereka sehingga sampai 2017 lalu rata-rata dari mereka belum

7
mempunyai kartu jaminan, baik jaminan kesehatan, jaminan sekolah dan lain-lain. Tetapi hal itu
sudah berhasil ditangani Pemerintah daerah

sejak akhir 2017 lalu.

2.2 Asal mula dan sejarah suku kokoda


Komunitas Kokoda berasal dari beberapa saka yang menyatu dalam satu wilayah 3,
seperti; Suku Migori, Kaswert, Siwatori, Tarof, Nebes, Udagaga, Benawa, dan Tambani.
Sementara itu, dokumen sejarah yang dimiliki oleh suku Kokoda sangat terbatas dan tidak bisa
diakses oleh sembarang orang sehingga sejarah asal usul suku Kokoda basanya akan sedikit
herheds-heda di masing- masing kampung Kata Kokoda sendiri merujuk pada suatu tempat yang
awalnya berupa rawarawa dengan sungai yung mengalir dari dalam pohon saga yang mempunyai
air berwarna coklat, dan ada telaga besar (Kokodaya). Kokodaya inilah yang kemudian menjadi
nama hagi Suku Kokoda. Sementara menurut riset sebelumnya olch (Wekke & Sari, 2012), kata

8
Kokoda memiliki arti yang berasal dari bahasa Yamueti, yakni air yang berwarna hitam yang
disekelilingnya terdapat tanaman saga yung mengilari kawasan air tersebut.
Jauh sebelum agama Kristen masuk, suku Kokuda telah memeluk agama Islam sejak ahad
ke-17 yang dibawa oleh Sultan Tidore yang berekspansi dari

Raja Ampat menuju di setiap pesisir pantai berlanjut ke Kaimana dan berlabuh di Kokas
kemudian menyeberang ke daerah Tarof.

2.3 Hahasa uku kokoda


Bahasa daerah (bahasa yameti) dipergunakan dalam interaksi sosial sehuri- hari oleh suku
Kokoda, hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk melestarikan bahasa lokal agar tidak
mengalami kegunahan karena bahasa merupakan salah satu unsur identitas masyarakat pengguna
bahasa tersebut Adapun bahasa yang mendominasi adalah bahasa Indonesia dengan viri ke-khas-
an Papua
Ketertarikan warga sulcu Kokoda terhadap hal-hal haru juga masih sangat minim. Sering
kali, beberapa kegiatan pembinaan, somalisasi atau kegiatan yang membangun lainnya tidak
hanyak diminati oleh mereka. Partisipasi warga masih kurang terhadap hal-hal tersebut. Padahal
banyak masyarakat suku pendatang (seperti Jawa) yang ingin berbagi ilmu (cara berkebun dan
bertani) namun tidak banyak warga suku Kokoda yang tertarik. Hanya segelintir orang yang
biasanya turut berpartisipasi dan mau belajar terhadap hal-hal baru yang di herikan di kampung
mereka.

Hal ini berlaku bagi semua kalangan, dari yang muda hingga yang tua
Saku Kokoda lebih suka ludup dan tinggal dengan sesama suku Kokoda dan membentuk desa
atau kampung sendiri. Meskipun demikian, warga suku Kokoda tetap menjalin hubungan baik
dengan warga suku lain. Dikarenakan tingga‫ صل ل‬hidup dengan sesama saku Kokoda dan akses
dari kampung mereka dengan perumahan warga suku lain sedikit berj arak, warga suku Kokoda
jarang berinteraksi dengan warga suku lam.

9
Namun, saat ada kesempatan mereka mencoba berinteraksi dengan warga suku lain, seperti
selalu menyapa terlebih dahulu ketika berpapasan. Akan tetapi, masih saja terdapat tanggapan
miring dan negatif dari masyarakat suku lain terhadap suku Kokuda. Beberapa dari mereka.

beranggapan bahwa suku Kokoda adalah orang yang berwatak keras, kasar, suka seenaknya dan
terkadang ringan tangan dalam mengambil yang huks milik mereka. Meskipun demikian, suku
Kokoda mengganggap siapa saju (orang yang
cukup dikenal sebagai keluarga walaupun tidak terdapat hubungan darah diantaru mereka dan
berbeda agama
24 Sistem teknologi yang digunakan oleh suku kokoda
Suku Kokoda yang tinggal di Kota Sorong umumnya sudah mulai mengenal penggunaan
teknologi, mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan. dengan lapangan terbang
DEO, Kota Sorong Sementara itu, Suku Kokoda yang tinggal di daerah IMEKO masih hidup
dengan cara tradisional, seperti menokok. sagu dan mencari ikan di dalam sungai atau kali
dengan menggunakan alat berupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah saga.
2.5 Sistem mata pencahartan suku kokoda
Secara garis besar, jumlah penduduk Kokoda yang bertempat di Kelurahan Klasabi
berjumlah 6.528 jiwa pada tahun 2010. Mayoritas, Suku Kokoda bekerja di sektor formal dan
informal seperti guru, buruh tani, buruh nelayan, dun buruh bangunan Selain itu, banyak di
antara Suku Kokoda yang memilih untuk menjual kayu dan hatu karang Meskipun sebagian
besar lebih memilih untuk menjadi butuh nelayan, mereka juga mulai mempraktikan kegiatan
pertanian selama menetap. Hal itu mereka lakukan karena banyaknya pendatang dari luar Papua
yang menetap di lingkungan tempat tinggal mereka Mencukupi makanan melalui kegiatan
pertanian secara mandiri perlu untuk mereka lakukan.
Dalam hal ini, bukan hanya faktor pekerjaan fisik yang mampu dilakukan, melainkan
adanya norma budaya leluhur yang sulit dilanggar oleh suku Kokoda karena menganggap
pekerjaan sebagai nelayan merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang wajib untuk
dilestarikan schagaimana budaya yang ada

Keberadaan suku Kokoda di Sorong hingga saat ini tidak terlepas dan sektor kelautan yung
kaya dengan sumber daya alamnya. Hal ini menyebabkan populasi komunitas Kokoda setiap

10
tahunnya meningkat baik karena fertilitas atau kelahiran. maupun faktor migrasi dari Innawatan
yang sewaktu-waktu terjadi terutama ketika hulan Ramadhan tiba serta pada tahun ajaran barı
Kompleks Kokoda Km 8 dihuni 300 kepala keluarga dengan jumlah populasi 2.457 orang 7 Saat
ini jumlah

keseluruhan komunitas Kokoda sudah lebih dari 3.000 jiwa, dan tidak dapat dipastikan secara
akural mengingat faktor kedatangan (migrasi) dari daerah Innawatan tidak dilaporkan kepada
kantor kelurahan setempat

2.6 Organisasi susial dari suku kokoda

Suku Koicoda dalam bentuknya yang asli memiliki struktur pemerintahan dan hukum adat
sendiri yang berbeda dengan suku Papua lamnya Dengan. seorang kepala suku yang menaungi
segala aspek kemasyarakatan, sehingga dapat dikatakan struktur sosial mulai bapak Raja, kepala
suku, tokoh adat, dan tokoh agama memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam
komunitannya. Adapun pusat soku atau komunitas Kokoda di lokan Km8 merupakan sentra
informasi dan koordinasi dari semua lokasi komunitas Kokoda di Kota Sorong dan Kabupaten
Sorong

Kepala suku difungsikan sebagai pemimpin untuk semua pemukiman


komunitas Kokoda Tokah adat sebagai wakil kepala suku, dan tokoh agama
difungsikan kepada hal-hal yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan (ubudiyah)

11
2.7 Sistem pengetahuan suku kokoda
Dalam hal pendidikan, Suku Kokoda terhitung musih sedikit yang bersentuhan dengan
dunia pendidikan. Ranyak di antara mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah
menengah atas. Mereka yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi (S1)
umumnya adalah para pemuka agama dari kalangan mereka sendiri. Namun demikian, beberapa
kalangan dari kelompok mereka juga ada yang telah mengerti akan pentingnya pendidikan

Terutama bagi yang beragama Islam, mereka menibungun yayasan pendidikan berbasis
pesantren sebagai tempat belajar bagi generasi muda di sana. Pemberdayaan masyarakat Suka
Kokoda dilaksanakan pula oleh organisass Muhammadiyah Pengajaran bertam, betemak, dan
menjadi nelayan juga dilaksanakan untuk pemberdayaan masyarakat. Kampung Warmon
Kokoda di Kota Serong bahkan disebut sebagai "Kampung Muhanunadiyah" karena kedatangan
organisasi tersebut membawa kemajuan.

Dalam sejarah pendidikan Suku Kokoda yang beragama Islam, sebelum masuknya sekolah
formal, saku Kokoda pada jaman dahulu hingga sekarang terdapat suatu pendidikan adat yang
sakral yang disebut "Ilmu Tikar" Hanya anak laki-laki (Arotoni) yang berhak untuk mengikuti
pendidikan adat terschut dan telah memasuki umur akil baligh. Dalam pendidikan "Ilmu Tikar
ini, diajarkan tentang kehidupan mencakup bidang-bidang agama yaitu syariat, thuriqat, hakikat
dan ma'rifat. Adapun untuk kaum wanita (Agenu) pendidikan "Ilmu. Tikar" hanya dapat
didengar dan cerita suami atau tetua mereka.

12
Pendidikan ini tidak seperti tamatan sekolah dewasa mi yang mempunyai gelar kelulusan.
Namun, bagi lulusan pendidikan "Ilmu Tikar" dapat kembali mengajar untuk orang lain yang
masih awam. Imam yang di anggap mampuni ilmunya masih diutamakan untuk mengajar dari
pada para lulusan mu sendiri Adapun untuk pendidikan yang sifatnya mencakup tentang tata
kehidupan umum adalah belajar dari alam yang telah diturunkan dari generasi ke genarasi
selanjutnya. Alam mengajarkan banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Gejala- gejala alam
seperti musibah gempa, banjir sudah diketahui oleh suku Kokoda dari.

jaman dulu sebagai akibat dari ulah tangan manusia dan lain-lain dengan mengasah intuisi
mereka dapat mengenal gejala alam yang akan terjadi.

Di dacrah asalnya Innawatan, pendidikan formal hagi suku Kokoda sehelum tahun 1970-an
masih sangat lamban, pada umumnya hanya setingkat Sekolah Dasar yang dahulu
penyebutannya Sekolah Rakyat. Bahkan banyak yang putus sekolah, sehingga menjadi wajar
suku Kokoda tertinggal dari suku-suku lainnya.. Namun hingga akhir tahun 1980-an sampai saat
ini sudah hanyak generasi suku Kokoda yang sadar akan pentingnya pendidikan formal hags
kehidupan mereka yang akan datang. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan sebagian
komunitas Kokoda benmigrasi ke Sorong yang mempunyai jenjang pendidikan formal lebih awal
dan Ichih maju, yaitu untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang ichih tinggi
karena di daerah asal suku Kokoda hingga saat ini helum terdspat perguruan tinggi, sedangkan
sekolah setingkat SITA masih dalam tahap berkembang.

Sekalipun suku Kokoda mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kota
Serong sudah tersedia fasilitas pendidikan yang maju, namun tidak bisa dinafikkan hahwa
tingkat pendapatan ekonomi yang rendah herimhas pula terhadap jenjang pendidikan mereka.
Sebuah prestasi tersendiri bagi komunitas ini jika mampu menamatkan pendidikan wajib 9 tahun,
dan hanya sebagian kecil dari komunitas Kokoda yang mampu meraih jenjang pendidikan formal
sampai tingkat perguruan tinggi

Selain itu, Suku Kokoda juga diberkahi dengan kekayaan alam berupa tanaman obat-
obatan. Terhitung ada 70 spesies tanaman yang mereka ganakan sebagai obat-obatan tradisional
Jumlah tersebut meliputi 67 genus dan 41 familia tumbuhan obat. Familia tumbuhan yang paling
banyak dimanfaatkan sehagai obat tradisional yaitu Fabacese dan Euphorbiaceue.

13
Selama ini, telah terbukti bahwa spesies tanaman obui tersebut terbukti mampu mengobati 73
junis kelahan penyakit Keluhan yang paling hanyak dialami masyarakat suku Kokoda antara
lain: hadan pegal-pegal, luka luar, dan tambah darah Hagian tashuhan yang paling banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat oleh suka Kokoda adalah

Jaun (50%). Cara meramu dengan merebus adalah yang paling sering dilakukan oleh masyarakat
suku Kokoda.

2.8 Kesenian darı suku kokoda


a. Pakaian Adat
Pakaian adat yang menjadi ciri khas suku Fak-fak dan Kokoda adalah cawat (kam merah
atau kain putih) hagi laki-laki sementara bagi kaum wanita Kokoda pakaian adanya berupa kain
kan rumput dan bagi kaum wanita Fak-tak berupa 'dari" atau kain dan baju kurung.

b. Ritual
Suku Kokoda juga memiliki ritual adat saat menyambut tamu atau orang baru yang baru
pertama kali datang ke daerah mereka. Secara khusus (untuk lamu terhormat) mereka akan
membuat serangkaian acara yang biasanya bisa berlangsung dari malam hingga pagi Kegiatan
terschut diisi dengan penabuhan tifa yong (alat musik tradisional saku Kokoda) yang diiringi
dengan tarian "goyang panta". Dalam rangkaian acara tersebut, tamu atau orang bara akan digigit
anggota tubuhnya (biasanya tangan) oleh orang Koknda. Yang hertugas untuk menggigit
biasanya para petinggi atau orang yang dituakan di sana Ritual menggigit ini dilakukan secara
bebas tanpa memandang lawan jenis (perempuan atau laki-laki). Dengan inelakukan ritual ini,
diyakini orang yang digigit akan menjadi pemberani dan pereaya diri
Sementara itu, dalam hal mendirikan hangunan, suku Kokoda memiliki beherapa ritual.
Ketika membangun rumah atau hangunan lam, saku Kokoda

14
melakukan beberapa ritual, yakni ritual batu pertama yang dilakukan oleh para tetua. Dalans
ritual ini akan disediakan pinang dan sirih. Sementara untuk hangunan-bangunan kampung
biasanya mereka akan melakukan ritual pemotongan ayam putih Setelah dipotong, ayam tersebut
akan dikubur Ritual tersebut dilakukan dengan tujuan untuk pele kampung atau melindungi
kampang mereka
Salah satu kebiasaan suku Kokoda adalah ketika ada seseorang yang terkena musibah
(misalkan jatuh), saudara atau orang lain yang pernah dibantu oleh orang tersebut harus
menanamkan sesuatu benda (biasanya tiang). Hal ini diyakini sebagai tolak sial agar orang lain
tidak terjatuh di tempat yang sama. Sesuatu yang ditanam hasanya akan dicabar dan digantikan
dengan tanaman hidup Nantinya. setelah beberapa waktu, orang yang menanam sequatu tersebut
harus mencabutnya kembali kemudian tanaman yang digantikan tadi harus diberikan kepada
pemilik tanah dimana sesuatu tersebut ditanam. Sesaatu yang ditanam tersebut diibaratkan.
sebagai perwujudan diri dari orang yang jatuh.
Heberapa tradisi yang sangat terkenal di kalangan Suku Kokoda adalah tradisi peminangan
Tradisi ini dilakukan kenka seorang laki-laki Saku Kokoda akan meminang (mengajak menikah)
perempuan dari suku yang sama. Mulamala, tua-tua adat sebagai orang yang dipercaya dan
"ditukotkan oleh Suku Kokoda akan meminta ibu-thu untuk berkumpul di titara, yaitu suustu
balas pertemuan yang hiasa mereka gunakan untuk menyelesaikan herbagai persoalan dan
merundingkan berbagai macam hal. Di tempat ini, pihak laki-laki akan bermusyawarah terkait
rencana pernikahannya dengan penduduk yang hadir di sana. Ketika sudah mendapat
persetujuan, keluarga laki-laki akan mendatangi pihak perempuan yang akan dilamar dengan
maksud untuk menyampaikan keseriusannya.
Setelahnya, keharga pihak perempuan akan melakukan musyawarah terkait permintaan
pinangan pihak laki-laki berikut mas kawin atau mahar yang diharapkan. Ibu-ibu dari pihak
keluarga perempuan akan memlatangi rumah lakitaki tersebut untuk menyampaikan hasil
musyawarah mereka, apakah lamarannya diterima atau tidak. Sementara itu, pihak laki-laki harus
bisa.
menerima dengan lapang dada apa pun yang menjadi keputusan dari keluuigu perempuan.

Mas kawin atau mahar yang diharapkan hiasanya dalam hentak 1500-2000 jenis harang
Harang-barang terschut di antaranya adalah 10 bush gacı, 20 buah piring besar, 20 buah
tombsak, 20 buah mancadu, 5 manik-manik tali besar, S manik manik tali kecil, dan sisanya
adalah barang-barang campuran seperti kain dan Inim sebagainya. Traditi peminangan dengan

15
menggunakan 1500-2000 jonis barang tersebut telah berlangsung lama. Meskipun tidak ada
sanksi adat, apalagı sanksi berupa hokum fonnal yang mengikat, tradisi ini sangat mendarah
daging dalam diri mereka. Apabila tidak mampu memenuhinya, si pelamar biasanya akan
sangat malu dan kembali palang ke kampung halamannya sendiri lalam tradisi ini,
ditemukan dua macam istilah, yaitu Rani dan Warotara. Bani dischut sehagai prosesi
musyawarah schelum lamaran dilakukan dengan mengumpulkan keluarga laki-laki dan pemuka-
pemuka adat setempai di suatu tempat yang disebut sebagai Titara atau balai pertemuan.
Sementara Warotara disebut sebagai anak perempuan yang telah dilamar, dinaikan seekor kuda
bersama saudara laki-lakinya memuju ke tempat sang calon suami Anak perempuan tersebut
akan disuapi oleh keluarga sang laki-laki.

Hal itu dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan kepercayaan dari keluarga perempuan untuk
menitipkan anak perempuannya kepada keluarga laki laki tersebut untuk hidup bersama dalam
satu atap
c. Tifa Syawat
Tifa Syawat merupakan alat musik tradisional yang mirip seperti gendang yang cara
memainkannya adalah dengan dipukal. Alat musik ini yang terbuat dari sebatang kayu atau rotan
yang dikosongi bagian isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi dengan menggunakan
kulit hewan yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Formatnya
pun biasanya dibuat dengan ukiran yang memiliki ciri khas masing-masing.
Tifa Syawat sendiri telah berkembang di kalangan Suka Kokoda yang oleh mereka disebut
sebagai orkes musik dengan tetabuhan yang terdiri dari adrat, tifa, suling, dan gong kecil
Keseman im menjadi media da'wah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para da'i di
luar wilayah tempat tinggal Suku Kokoda. Tifa sendiri merupakan alat

musik aali Papua, sedangkan suling dan gong dibawa langsung oleli paru da'i tersebut dari
tempat asal mereka. Kesenian ini biasanya ditampilkan ketika hari besar keagamaan tertentu
seperti maulid nahi dan upacara-upacara seperti pengiring pongantin ke rumah keluarga laki-laki
dan khutanan. Kesenian Tifa Syawat tersebut diyakini sebagai bentuk kebudayaan lokal yang
muncul akibat ekspansi agama Islam ke wilayah Papua, tepatnya di perkampungan Suku
Kokoda.

16
Namun demikian, kesenian Tifa Syawat tersebut sebenarnya tidak murni benisal dari
Suku Kokoda. Sebelumnya, kesenian tersebut pertama kali berkembang di wilayah Kokan,
Fullfak, Papua. Meskipun begitu, Saku Kokoda telah menguasai kesenian tersebut dengan sangat
terampil Hampir di beberapa acara besar keagamaan seperti Maulid Nabi dan kegiatan perayaan
masyarakat seperti pernikahan dan khitanan tidak pemah lepas dari adanya kesenian Tifa
Syawal. Tidak heran jika kemudian mereka juga pernah menjadi juarai peringkat kedua pada
Festival Seni Budaya Islam Se-Papua Barat
2.9 Sistem religi suku kokoda
Pada zaman dahulu, mantramantra sering digunakan terutama saat "baku onge" atau
perang suku Setelah mantra dibacakan barulah mereka melakukan perang antar suku. Meskipun
cara berperang saat 'baku onge sudah tidak lagi dilakukan, mantra tersebut masih ada dan setap
diturunkan dari generasi ke generni. Saat ini, manira-mantra tersebut hanya dibacakan dan
dipakai saat terjadi masalah gereing Seiring berkembangnya zaman dan pengetahuan agama,
konten dalam mantramantra mi mengalami akulturası yakını adanya pencampuran
tradisi dan ilmu agama dimana mantra-mantra yang dibaca berupa bacaan-bacaan mengaji (ayat
suci dalam Al-Qur'an) dan shalawat.

17
Meskipun komunitas ini beragama Islam, bukan berarti tidak ada warganya yang beragama
lain. Setidaknya terdapai lima belas persen jumlah warga yang beragama Kristen. Mereka hidup
rukun bersama warga muslim lainnya, bahkan terdepat kedua penganut agama i hidup dalam satu
atap Namun, jauh sehelum ngama Kristen masuk, suku Kokoda telah memeluk agama Islam
sejak abad ke-17 yang dibawa oleh Sultan Tidore yang berekspansi dari Raja Ampat menuju di
setiap pesisir pantai berlanjut ke Kaimana dan berlabuh di Kokas kemudian menyeberang ke
daerah Tarof.
Masuknya Islam pertama kali di komunitas ini bukan tanpa hamhstan, mengingat suku
Kokoda pada waktu itu masih liar. Budaya honge (suka membunuh orang yang di anggap asing)
sudah mengakar dari anak hingga dewasa, maka menjadi wajar ketika kedatarigan sultan Tidore
disambut dengan provokasi warganya untuk baku Honge dengan pasukan Sultan Tidore. Namun
sebelum peperangan di mulai Sultan Tidore mengangkat sebuah Alquran sambil menyeru kepada
komunitas Kokoda buliwa mereka datang dengan jalan damai dan dengan Alquran tersebut maka
Sultan Tidore berjanji akan ada perubahan. Misi penycharan agama Islam olch Sultan Tidore
tidak hanya dilakukan dengan strategi pembelajaran saja, namun melalui jalur perkawinan juga
dilaksanakan. Sultan Tidore mengamanaikan kepada Imam Palipi dari Fak-Fak untuk
mengkalamkun (mengajarkan) ajaran Islam. Adapun dalam jalur perkawinan,

mengamanatkan Imam Amin Anggelole yang biasa di panggil dengan Imam Basir Kabes untuk
menikah dengan warga Kokuda.4

18
Sejak kedatangan Islam, tradisi bonge semakin meluntur karena dikikis olch ajaran Islam itu
sendiri yang rohmaton fil alanın. Praktis ketika pada tahun 1855 agama Kristen masuk yang
dibawa oleh dua missionaries Jerman bernama C.W. Oto dan GJ. Geissler, agama ini tidak
mengalami penolakan dengan kekerasan. Di Innawatan, Kokoda terhagi menjadi Kokoda Tengah
dan Kokoda Harat dengan penduduk Muslim dan Nasrani serta Kokoda Pantai yang kesemua
warganya Muslim...
2.111 Peruhahan kchudayaan (Akulturası) yang di alami olch sulku kokoda
a. Substitusi
bentuk akulturasi subtitusi meliputi penggunaan pakaian adat dan kebiasaan. Zaman
dahulu, kain tradisional suku Kokoda digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Penggunaan
pakaian adai tersebut telah mengalami proses akulturası tradisi dan norma kesopanan yang
berkembang dalam masyarakat schingga suku Kokoda tidak lagi menggunakan pakaian terschut
dalam keseharian mereka. Pakaian adat hanya akan digunakan untuk kegiatan atau ritual tertentu
serta dalam pemakaiannya pun akan ditambah dengan penggunaan baju dan celana untuk
menutupi anggota tubuh.
Suku Kokoda masih mempercayai hendabenda keramat Beherapa henda sudah dianggap
keramat sejak jaman oyang mereka. Benda-benda kerumat ini akan lebih banyak ditemukan di
kampung-kampung tertentu. Salah satu contoh benda yang diyakini secara mistis adalah kulit bia
(kulit kerang). Pada zaman dahulu, kulit bia digunakan untuk memanggil hujan (yakni dengan
cara dittup) Kulit bia im juga akan membantu warga untuk mencari orang yang hilang di hutan
serta masih banyak lagi kegunaannya. Namun untuk saat ini, kulit bia hanya digunakan sebagai
salah satu alat musik tradisional yang fungsinya sama seperti harmonika
b. Sinkretisme
Sinkretisme merupakan perubahan budaya yang termasuk dalam proses aklturasi yang
mana ansur budaya yang lama bercampur dengan unsur budaya yang haru sehingga membentuk
setem yang baru. Heberapa tradisi suku Kokoda telah mengalami percampuran baik dalam fungsi
dan penerapannya. Hentik percampuran ini dapat ditemukan dalam mantra-mantra yang dimiliki
suku. Kokoda, Mantra-mantra ini dibaca dalam kegiatan tertentu dengan tujuan tertentu. Pada
zaman dahulu, mantra-mantra sering digunakan terutama saat "baku onge atau perang suku.
Setelah mantra dibacakan barulah mereka melakukan perang antar suku. Meskipun cara
berperang saat "buku ouge" sudah tidak lagi dilakukan, mantra lersebut masih ada dan tetap

19
diturunkan dari penensi ke generasi. Saat ini, mantra-mantra tersebut hanya dibacakan dan
dipakai saat terjadi masalah genting Senring berkembangnya zaman dan pengetahuan agama,
konten dalam mantra- mantra ini mengalami skulturası yakm adanya pencampuran tradisi dan
ilmu agama dimana mantra-mantra yang dibaca berupa bacaanbacaan mengaji (ayal suci dalam
Al-Qur'an) dan shalawat.
bentuk sinkretisme lain terjadi pada sistem kekerabatan suku Kokoda Kekerabatan yang
ditandai dengan penggunaan marga menjadi identitas dan penjaga bagi suku Kokoda. Sebugian
warga Kokoda masih menerapkan tradisi dimana orang-orang yang memiliki marga yang sama
dilarang menikah karena. mereka dianggap masih memiliki hubungan darah. Dipercayai bahwa
jika terjadi pernikahan sesama marga maka orang tersebut akan mendapatkan musihah atau
karma. Sementara sebagian warga lain, meskipun masih meyakini hal tersebut, mereka lebih
cenderung untuk menelusuri kesamaan marga. Jika kekerabatan yang terjadicukup jauh atau
tidak ditemukan hubungan darah, pernikahan pasangan dengan marga yang sama bukanlah suatu
masalah selama pasangan terschut masih memiliki kepercayaan (agama) yang sama

c. Adisi
Bentuk akulturasi adisi merujuk pada perubahan proses budaya yang mana unsar budaya
lama yang masih berfungsi ditambah dengan unsur budaya yang haru sehingga akan memberikan
nilai lebih pada kehodayaan tersebut. Meskipun dalam hal pernikahan tidak terdapat ritual
khusus, Suku Kokoda memiliki tahapan

utau ritual sebelum pernikahan yang disebut dengan "karego" atau "lamatan". Dalam acara ini,
apabila keluarga mempelai wanita setuju, calon mempelai harus keluar rumah danmempelai pria
harus mengejar mempelai wanita. Jika mempelai wamta sudah tertangkap mereka akan "haku
polo atau berpelukan Hal mi dilakukan sebagai rasa syukur kedua mempelai. Tradisi ini tidak
selalu dilakukan oleh keluarga calon pengantin terutama keluarga yang sudah memiliki
pendidikan. dan pengetahuan lebih luas tidak lagi menerapkan tradisi tersebut. Reherapa bagian
seperti "baku polo" tidak lagi dilakukan. Sementara unsur yang ditambahkan dalam ritual ini
adalah adanya pelaksanaan jab Kabul Jan walimahan.

d. Dekulturası

20
Akulturasi Dekulturasi terjadi ketika unsur hudaya yang telah lama hilang. karena diganti
dengan unsur bodaya yang baru. Akuitumsi bentuk ini terjadi ketiku suatu budaya atau tradisi
tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan. Jika terdapat masalah atau perselisihan unlar sesama
suku baik Kokoda dan Fak-fak maupun antar suku lokal desgan pendatang, permasalahan
tersebut akan ditangani olch lembaga Masyarakat Adar (IMA) Suku Kokoda dimaungi olch IMA
IMEKKO yang membawahi beberapa suku yang terdiri dari: Innanwatan, Melemani, Kais, dan
Kokoda. Sementara suku-suku Fak-fak dinaungi oleh LMA Hahamata (dewan adat suku Fak-
fak) Salah satu contoh permasalahan yang ditangani IMA adalah jika ada individu dari suku lain
maupun dari suku vang dinaungi LMA memiliki masalah, mereka bisa melapor dan meminta
pihak LMA sebagai mediator.
Contoh lain dari akulturasi dekulturasi adalah penggunaan gong bagi suku. Fak-fak yang
sudah mulai mengalami perubahan Hagi moreka, gong tidak lagı digunakan sebagai penychar
kahar duka karena masyarakat yang tinggal di Fak- fak sudah beragam sehingga masih banyak
dari para pendatang belum paham dengan hal tersebut. Selain itu, seiring dengan perkembangan
teknologi, pengabaran berita duka sudah hisa dilakukan melalui pesan telepon. Oleh karena mi
pemukulan gong tidak lagi dianggap efektif untuk mengabarkan berita duka

Pemukulan gong hanya digunakan sebagai instrumen dalam acara kumpul hurta saat pernikahan,
E. Ongmasi
Bentuk akulturasi originası terjadi ketika masuknya budaya baru yang sebelumnya belum
diketahui oleh masyarakat sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan besar. Bentuk
akulturasi ini akan nampak pada kegiatankegiatan keagamaan yang dilakukan, seperti
menerapkan shalat herjamaah di masjid, mengadakan penganan, mengajarkan mengaji anak-
anak, memperingati hari-hari besar terutama hari besar keagamaan seperti ritual paskah, acara
menyambut tahun baru, acara maulid nabi hingga tradisi tahlilan (memperingati 7 hari kematian
dan seterusnya) yang sebenarnya bukan berasal dari sulu lokal Sebagian besar rinial-ntual
tenschut merupakan ritual yang dibawa oleh penyebar agama yang dating ke Papua. Terdapat
juga ritual yang herkembang seiring dengan berkembangnya jumlah pendatang yang ada.
Semakin banyak jumlah suku pendatang maka semakin berkembang pula ritual kesukuan yang
mereka bawa dari tempat asalnya

21
f. Penolakan
Akulturasi bentuk penolakan terjadi ketika terdapat penolakan dari sebagian anggota
masyarakat yang tidak siap dan tidak menyetujui proses akulturasi. Rentuk akulturasi ini dapat
dilihat dalam hal mendirikan bangunan, dimanasuku Kokoda memiliki heherapa ritual Ketika
membangun rumah atau bangunan lain, suku Kokoda melakukan beberapa ritual, yakni ritual
batu pertama yang dilakukan oleh para tetua dengan mengundang tokoh adai dari suku lain.
Dalam ritual ini akan disediakan pinang dan sirih. Sementara untuk bangunan-bangunan
kampung biasanya mereka akan melakukan ritual pemotongan ayam putih Setelah dipotong,
ayam tersebut akan dikuhur. Ritual tersebut dilakukan dengan tujuan untuk "pele kampung atau
melindarigi kampung mereka. Meskipun mereka tahu secara agama tidak tercantum ajaran
tentang ritual ini, suku Kokoda tetap melakukan ritual tersebut sebagai tradisi yang sudah
dilakukan dan jaman oyang mereka

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Suku Kokoda adalah suku lokal yang bermukim di wilayah Provinsi Papua Barat.
Pemukiman Suku Kokoda tersebar di dua lokasi besar, yaitu di Kelurahan Klasabi, Distrik
ManKota Sorong dan daerah IMEKO (Inanuatan, Matemani, Kais, dan Kokoda) Komunitas
Kokoda berasal dari beberapa suku yang menyatu dalam satu wilayah3, seperti Suku Migori,
Kaswert, Siwatori, Taref, Nebes, Udagaga Benawa, dan Tambani. Sementara itu, dokumen
sejarah yang dimiliki oleh suka Kokoda sangat terbatas dan tidak bisa diakses oleh sembarang
orang sehingga sejarah asal usul suku Kokoda hiasanya akan sedikit berbeda-beda di masing-
masing kampung Suku Kokoda yang tinggal di Kota Sorong umumnya sudah mulai mengenal
penggunaan teknologi, mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan dengan
lapangan terbang DEO, Kota Sorong. Sementara itu, Suku Kokoda yang tinggal di daerah
IMEKO masih hidup dengan cara tradisional, seperti menokok sagu dan mencari ikan di dalam
sungai atau kali dengan menggunakan alat herupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah
sagu.
Mayoritas, Suku Kokoda bekerja di sektor formal dan informal seperti guru, buruh tani,
buruh nelayan, dan buruh bangunan. Selain itu, banyak di antara Suku Kokoda yang memilih
untuk menjual kayu dan batu karang Meskipun schagian besar Ichih memilih untuk menjadi
buruh nelavan, mereka juga mulai mempraktikan kegiatan pertanian selama menetap.

Hal itu mereka lakukan korenu banyaknya pendatang dari luar Papua yang menetap di
lingkungan tempat tinggal mereka. Mencukupi makanem melalui kegiatan pertanian secara
mandiri perlu untuk mereka lakukan. Suku Kokoda dalam bentuknya yang asli mensliki struktur
pemerintahan dan hukum adat sendiri yang berbeda dengan suku Papua lainnya Dengan seorang
kepala suku yang menaungi segala aspek kemasyarakatan, sehingga dapat dikatakan struktur
sosial mulai bapak Raja, kepala suku, tokoh ndat, dan tokoh agama memiliki peran dan tanggung
jawah masing-masing dalam komunitasnya Adapun pusat suku atau komunitas Kokoda di lokasi
Km8 merupakan sentra informasi dan koordinasi dari semua lokasi komunitas Kokoda

23
Di Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Dalam hal pendidikan, Suku Kokoda terhitung masih
sedikit yang bersentuhan dengan dunia pendidikan.

Banyak di antara mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah menengah atas
Mereka yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan noggi (S1) umumnya
adalah para pemuka agama dari kalangan mereka sendiri. Pakaian adat yang menjadi ciri khas
suka Fuk-fak dan Kokodu adalah cawat (kain merah atau kain putih) bagi laki-laki szmentars
hagi kaum warota Kokoda pakaian adatmya berupa kain kain rumput dan hagi kaum wanita Fak-
fak herupa 'dan atau kam dan baju kurung Suku Kokoda juga memiliki ritual adat saat
menyambut tamu atau orang baru yang baru pertama kali datang ke daerah mereka. Tifa Syawat
merupakan alat musik tradisional yang mirip seperti gendang yang cara memainkannya adalah
dengan dipukul Tifa Syxwat sendiri telah berkembang di kalangen Saku Kokoda yang oleh
mereka disebut sebagai orkes musik dengan tetubuhan yang terdiri dari adrat, tifa, suling, dan
gong kecil. Di Innawatan, Kokoda terbagi menjadi Kokoda Tengah dan Kokoda Barat dengan
penduduk Muslim dan Nastanı serta Kokoda Pantai yang kesemua warganya Muslim

Penggunaan pakaian adat terschut telah mengalami proses akulturasi tradisi dan norma
kesopanan yang berkembang dalam masyarakat sehingga suku Kokoda tidak lagi menggunakan
pakaian tersebut dalam keseharian mereka. Pakaian adat hanya akan digunakan untuk kegiatan
atau ritual tertentu serta dalam pemakaiannya pun akan ditambah dengan penggunaan haju dan
celana untuk menutupi anggota tubuh. Beberapa uadisi suku Kokoda telah mengalami
percampuran baik dalam fungsi dan penerapannya. Bentuk percampuran ini dapat ditemukan
dalam mantra-mantra yang dimiliki suku Kokoda. Saat ini, mantra- mantra tersebut hanya
dibacakan dan dipakai saat terjadi masalah genting Seurng berkembangnya zaman dan
pengetahuan agama, konten dalam mantra-mantra mi mengalami akulturasi yakni adanya
pencampuran tradisi dan ilmu agama dimana mantra-mantra yang dibaca berupa bacaanbacuan
mengaji (ayat suci dalam Al- Qur'an) dan shalawat

24
DAFTAR PUSTAKA

Jejak penjelaja alam papua, Alman, Solchum 2021. Akulturasi Masyarakat Lokal
Dan

Pendatang di Papua barat. http://Jurmalantropologi.fisip.unand.se.id/

R. aslan. 2020, BAB IV IIASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN SUKU

KOKODA. www.digilib.uinsby.ac.id

Suku Kokoda Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

www.ld.m.wikipedia.org

25

Anda mungkin juga menyukai