Anda di halaman 1dari 3

RESUME BUSINESS RESEARCH

Marissa Saud
A1012231078

Mengapa Sistem Manajemen Kinerja Organisasi Anda Tidak Efektif?

Beberapa Perusahaan telah banyak menerapkan system manajemen kinerja mulai dari MBNQA
(Malcolm Baldgrige Quality Program), Balance Scorecard, dan Six Sigma, akan tetapi belum
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini diduga karena kemungkinan kebanyakan
manajemen Perusahaan melakukan program peningkatan kinerja secara acak , parsial, dan tidak
terintegrasi dengan kebutuhan bisnis dan industry yang dirumuskan secara sistematik dalam
suatu Master Improvement. Memang benar bahwa dalam Perusahaan di Indonesia terdapat
puluhan program peningkatan kinerja (performance improvement programs), demikian pula
mungkin ada puluhan tim peningkatan kualitas. Tetapi mungkin dari puluhan program dan tim
itu tidak ada satupun yang benar-benar berfokus pada peningkatan kinerja yang sesungguhnya
bagi Perusahaan, yaitu: bottom line performance improvement, sepert peningkatan ROIC
(Return On Invested Capital) atau ROCE (Return On Capital Employed), eliminasi
pemborosan (waste) dan reduksi biaya terus-terusan, eliminasi atau reduksi cacat atau
kesalahan terus-menerus, peningkatan pelayanan (service level) dan inovasi nilai kepada
pelanggan secara terus menerus, peningkatan semangat karyawan dan manajemen dalam
meningkatkan kinerja Perusahaan agar menjadi Perusahaan kelas dunia, dan lain-lain. Program
-program peningkatan kinerja dari Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum berorientasi
pada business results-oriented programs, tetapi hanya berdasarkan activity-based program.

Beberapa contoh Upaya peningkatan acak yang dilakukan itu telah meningkatkan
frustasi di antara manajemen dan karyawan, dimana tingkat beban kerja menjadi meningkat
namun tidak memberikan dampak positif pada bottom line dari bisnis dan industry. Jika
manajemen Perusahaan melakukan peningkatan kinerja secara acak maka dapat dipastikan
bahwa Perusahaan itu tidak dapat menjawab pertanyaan berikut:

1. Sejak bulan januari (awal tahun) sampai saat ini, misalnya maret 2007, berapa
pencapaian Return On Invested Capital (ROIC) atau Return on capital Employed
(ROCE) (dalam persen) dari Perusahaan ini dan berapa target ROIC atau ROCE untuk
tahun 2007 ini?
2. Berapa Process Cycle Efficiency dari Perusahaan ini?
3. Berapa lead time dari produk A atau B?
4. Berapa overall Equipment Effectiveness (OEE) dari peralatan dalam Perusahaan ini?
5. Berapa service level terhadap pelanggan dari Perusahaan ini?
6. Berapa biaya per unit dari produk A, B atau C?

Semua pertanyaan penting seperti itu tidak dapat dijawab dengan segera oleh pihak
manajemen Perusahaan di Indonesia, karena mungkin mereka tidak mempunyai ukuran-
ukuran kinerja kunci (key performance measures) seperti itu. Ada banyak ukuran kinerja
yang dapat digunakan, tetapi ukuran kinerja itu tidak berkaitan satu sama lain untuk
meningkatkan bottom line. Dalam banyak Perusahaan di Indonesia, penetapan ukuran
kinerja lebih berfokus pada aktivitas departemen fungsional dan setiap departemen atau
fungsi menetapkan secara bebas ukuran kinerjanya tanpa mengaitkan atau diturunkan
secara langsung dari Master Improvement Story Perusahaan.

Jika penerapan ukuran kinerja departemen atau fungsi tidak diturunkan secara langsung
atau merupakan penjabaran dari Master Improvement Story Perusahaan, maka dapat
dipastikan bahwa pengukuran kinerja yang dilakukan tidak berkaitan dengan kinerja
bottom line dari Perusahaan. Jika manajemen dalam organisasi bisnis dan industry hanya
berfokus pada departemen atau fungsinya sendiri secara terpisah, maka meskipun ada
banyak proyek peningkatan dalam Perusahaan itu, dapat dipastikan semua itu merupakan
peningkatan acak (random Improvement) yang dilakukan secara parsial (partial activity
based program) dan tidak terintgrasi dengan kebutuhan bisnis dan industry. Hal ini
memberikan konsekuensi tidak akan meningkatkan kinerja bottom line yang tercantum
dalam Master Improvement, banyak Perusahaan di Indonesia belum memiliki atau tidak
berfokus pada Master Improvement Story.

Perusahaan di Indonesia yang sesungguhnya bukan menerapkan system manajemen


kualitas secara terintegrasi yang dikoordinasikan secara langsung oleh manajemen puncak
(top management), tetapi mereka hanya menerapkan alat-alat atau Teknik-teknik
peningkatan kualitas (quality improvement tools) secara acak, parsial dan tidak terintegtrasi
dengan Master Improvement Story.

Masih banyak manajemen puncak Perusahaan bisnis dan industry di Indonesia yang
menganggap bahwa system manajemen kualitas yang diterapkan dalam Perusahaan bukan
tanggung jawab mereka untuk merencanakan, mengeksekusi, mengendalikan, dan
meningkatkan kinerjanya. Mereka menganggap hal itu merupakan tanggung jawab
pembantu (assisten manajer dan supervisor) yang sesungguhnya tidak mengetahui secara
tepat tujuan jangka Panjang dari Perusahaan itu. Karena beroperasi tanpa 0, dan tidak
semua orang mulai dari presiden direktur sampai karyawan, bekerja mengacu kepada
master improvement story. Akibatnya, meski telah menerapkan system manajemen kualitas
sejak berpuluh tahun yang lalu, namun manajemen Perusahaan tidak mampu meningkatkan
kinerja bottom line dan pada akhirnya bangkrut.

Jika Perusahaan bangkrut atau mengalami permasalahan finansial, bukan berarti system
kualitas yang salah. Tetapi, manajemen Perusahaan itulah yang belum mengelola system
kinerja secara benar, karena tim tgidak merencanakan, mengeksekusi dan mengendalikan
dan meningkatkan kinerja system manajemen menurut kerangka kerja dari Master
Improvement Story. Beberapa teknik-teknik manejemen kelas dunia berorientasi CASH,
yatitu:

1. Customer Loyalty
2. Always Improving value innovation, dengan cara
3. Strategically Managed, berdasarkan
4. Hard Knowledge-Based Perfomance Management System

Anda mungkin juga menyukai