Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MUNCULNYA PERSAINGAN ARAB, TIMUR DAN BARAT


(Arab dan Marxisme dan Nasionalisme)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Kajian Politik Timur Tengah
Dosen Pengampu : H. Amin Farih, M.Ag

Disusun Oleh :
Jelita N Preeslyana (1906016040)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan
rahmat serta hidayat nikmat karunia-Nya. Selawat serta salam tak lupa penulis ucapkan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memperjuangkan umat manusia ke
jalan yang benar dan menjadi pelajaran bagi kita semua sehingga saya bisa menyelesaikan
tugas makalah ini yang berjudul “Arab dan Marxisme dan Nasionalisme” dapat saya
selesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi
tugas di Mata Kuliah Kajian Politik Timur Tengah dengan dosen pengampu Bapak H. Amin
Farih, M.Ag. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan
banyak kesalahan. Oleh karena itu kami mohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. kami juga mengharap
adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Semarang, 10 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................................2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................................................4

• Latar Belakang..............................................................................................................................................4
• Rumusan Masalah.......................................................................................................................................5
• Tujuan...............................................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................................................................6

• Marxisme dan Perkembangan di Timur Tengah (Arab) ..........................................................6


• Nasionalisme dan Perkembangan di Timur Tengah (Arab) ..................................................15

BAB II PENUTUP ........................................................................................................................................................23

• Kesimpulan ....................................................................................................................................................23
• Saran .................................................................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Marxisme Sosialis adalah aliran pemikiran yang menolak budaya sentralisasi


kekuasaan borjuasi (elit) dan menghilangkan unsur-unsur egoistik kelas kapitalis
dalam sistem kapitalisme. Namun, ideologi tersebut mulai meresap ke dunia Arab
melalui gerakan politik sayap kiri (komunis) dan kemudian direkonstruksi sesuai
dengan cetakan dan kebutuhan masyarakat Arab. Masyarakat Arab masih memegang
teguh tradisi dan norma hidupnya karena Islam tidak memusuhi kehidupan beragama.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh sosialis Marxisme
terhadap lanskap politik Timur Tengah. Penelitian kepustakaan digunakan sebagai
metodologi penelitian. Kajian ini menemukan bahwa gagasan Marxisme telah
direkonstruksi dalam empat dimensi, yaitu pertama, semangat kebangsaan
(Nasionalisme) untuk membatasi dominasi kekuasaan kolonial,: kedua, sentralisasi
kekuasaan (Desentralisasi) dalam menjembatani kesenjangan sosial. dan status
ekonomi masyarakat perkotaan dan pedesaan ,: sekularisme dalam membentuk model
politik yang lebih demokratis dan liberal ,: revolusi rakyat (sipil) yang menerapkan
unsur birokrasi militer dan partai.

Pada pertengahan abad ke-19-20 Arab mengalami masa keruntuhan banyak


wilayah Arab dijajah oleh Negara Eropa akibatnya ada berbagai macam paham yang
masuk di Arab seperti paham Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, dan lain
sebagainya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya paham paham tersebut
misalnya karena perkembangan zaman, adanya kolonialisasi, tersebarnya ajaran-ajaran
dari luar Arab, Barat misalnya, adanya kesadaran akan perlunya perubahan dari para
intelektual Arab. Masuknya paham-paham tersebut tentunya membawa pengaruh bagi
Arab baik postif maupun negative. Ideologi Marxisme merupakan ideology yang
berlandaskan pada kesetaraan social dengan goalnya menciptakan masyarakat tanpa
kelas. Ideologi ini masuk ke Arab sekitar tahun 1920 yang menurut Toby Matthiesen

4
dan Kamel al-Khatti masuknya ideology ini dbawa oleh para pekerja migran yang
tingggal dari berbagai kawasan Arab Timur Tengah yang dulu direkrut oleh para
pejabat Aramco, salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia yang berpusat
di Dhahran. Perbedaan antara Marxisme dan Liberalisme berasal dari ide kunci di mana
masing masing konsep ini dibangun.

Nasionalisme sebagai produk modernitas pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19
di Eropa, merupakan salah satu paham yang berpengaruh luas dewasa ini. Hampir
semuakomunitas modern diikat oleh nasionalisme dalam bentuk negara bangsa
(nation-state). Secara konseptual nasionalisme diartikan beragam, dan yang umum
diungkapkan adalah nasionalisme sebagai: 1) kulturnasi, yang berlandaskan pada
formasi kesadaran dan solidaritas nasional danstate nation sebagai ideologi yang
menginginkan pendirian negara; 2) loyalitas (etnis dannasional) dan keinginan
menegakkan negara; 3) identitas budaya dan bahasa, dan sebagainya. Kenyataan ini
juga terjadi pada negera-negara di Timur Tengah, di mana kesatuan ideologi
keagamaan yang sebelumnya menguasai dunia Islam telah tersingkir oleh
kesatuanelemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas
dan solidaritas sosial yang berpengaruh dalam kesatuan politik suatu bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Marxisme dalam Islam dan bagaimana Marxisme
berkembang di Arab?
2. Bagaimana Pengertian Nasionalisme dalam Islam dan bagaimana Nasionalisne
berkembang di Arab?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian Marxisme dalam Islam serta dapat mengetahui bagaimana
perkembangan Marxisme di Arab.
2. pengertian Nasionalisme dalam Islam serta dapat mengetahui bagaimana
perkembangan Nasionalisme di Arab.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Marxisme dan Perkembangannya di Timur Tengah (Arab)

Ideologi Marxisme merupakan ideology yang berlandaskan pada kesetaraan social


dengan goalnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Ideologi ini masuk ke Arab
sekitar tahun 1920 yang menurut Toby Matthiesen dan Kamel al-Khatti masuknya
ideology ini dbawa oleh para pekerja migran yang tingggal dari berbagai kawasan Arab
Timur Tengah yang dulu direkrut oleh para pejabat Aramco, salah satu perusahaan
minyak dan gas terbesar di dunia yang berpusat di Dhahran. Secara garis besar Ideologi
Liberalisme merupakan ideologi yang mengakui adanya kebebasan individu atau
pembebesan dari struktur sosial poitik yang menindas. Paham ini mencoba
menawarkan kebebasan gagasan rasionalitas ajaran Islam yang sangat berlawanan
dengan model pemahaman secara literal. Ideologi Liberalisme masuk ke Arab sekitar
abad ke-20 dimana pada saat itu banyak dunia islam yang sudah berada dibawah
kontrol Negara asing ditambah dengan adanya modernisasi yang membuat adanya
kesadaran dari intelektual Arab untuk melakukan perubahan. Pada masa yang sama
juga muncul ideologi Marxisme. Ideologi Marxisme merupakan ideology yang
berlandaskan pada kesetaraan social dengan goalnya menciptakan masyarakat tanpa
kelas. Ideologi ini masuk ke Arab sekitar tahun 1920 yang menurut Toby Matthiesen
dan Kamel al-Khatti masuknya ideology ini dbawa oleh para pekerja migran yang
tingggal dari berbagai kawasan Arab Timur Tengah yang dulu direkrut oleh para
pejabat Aramco, salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia yang berpusat
di Dhahran.

Marxisme Sosialis adalah aliran pemikiran yang menolak budaya sentralisasi


kekuasaan borjuasi (elit) dan menghilangkan unsur-unsur egoistik kelas kapitalis
dalam sistem kapitalisme. Namun, ideologi tersebut mulai meresap ke dunia Arab
melalui gerakan politik sayap kiri (komunis) dan kemudian direkonstruksi sesuai
dengan cetakan dan kebutuhan masyarakat Arab. Masyarakat Arab masih memegang

6
teguh tradisi dan norma hidupnya karena Islam tidak memusuhi kehidupan beragama.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh sosialis Marxisme
terhadap lanskap politik Timur Tengah. Penelitian kepustakaan digunakan sebagai
metodologi penelitian. Kajian ini menemukan bahwa gagasan Marxisme telah
direkonstruksi dalam empat dimensi, yaitu pertama, semangat kebangsaan
(Nasionalisme) untuk membatasi dominasi kekuasaan kolonial,: kedua, sentralisasi
kekuasaan (Desentralisasi) dalam menjembatani kesenjangan sosial. dan status
ekonomi masyarakat perkotaan dan pedesaan ,: sekularisme dalam membentuk model
politik yang lebih demokratis dan liberal ,: revolusi rakyat (sipil) yang menerapkan
unsur birokrasi militer dan partai.

Ideologi sosialisme mulai disebarkan ke negara-negara Arab di Timur Tengah oleh


seorang fisikawan Suriah, Shibli Shumayyil (1850-1917) yang banyak dipengaruhi oleh
gagasan evolusioner Darwinisme (Hourani 1962: 403). Shibli dikenal sebagai tokoh
sosialis yang berwawasan moderat, efek pengaruh guru-gurunya di dunia Barat.
Langkah Shibli diikuti oleh tokoh sosialis Arab lainnya seperti Rashid Rida (1856-1935)
dan pendiri Partai Sosialis Nasional Suriah; Partai Sosialis Nasional Suriah (SNSP)
(1932) yaitu Antun Sacdan (1856-1935). Empat modus operandi sosialis utama mereka
adalah:

1. Tanggung jawab negara untuk menyediakan kesempatan kerja serta pemberian gaji
yang sesuai dengan nilai dan keterampilannya.

2. Mendesak rakyat untuk melipatgandakan usahanya dalam meningkatkan laju


produksi negara

3. Membebaskan negara dari cengkeraman penjajahan (Prancis).

4. Mempersatukan bangsa Arab dalam membela kepentingan bangsanya


(Nasionalisme).

Ketiga tokoh di atas telah mengilhami proses perkembangan gerakan sosialis di dunia
Arab sekaligus menjadi penangkal gejolak politik, ekonomi dan sosial di seluruh dunia
pasca kemenangan Partai Buruh di Inggris tahun 1945 (Batayneh 1963: 134- 136).

7
Menyusul peristiwa tersebut, gerakan partai sosialis mulai melebarkan sayapnya ke
Mesir, Suriah, Lebanon, Irak dan Yordania dengan memperjuangkan slogan keadilan
sosial. Namun, konsep komunisme Arab yang ekstrem berhasil merasuki gerakan
sosialis Arab dengan mendukung ideologi nasionalisme setelah kematian Joseph Stalin
pada tahun 1953.

Esposito (2004: 97-98) menyatakan bahwa pemahaman sosialisme Arab yang


berorientasi pada nasionalisme Arab adalah sebuah gerakan pembebasan sosial yang
idealis, revolusioner dan berakar dari realitas transisional bahasa Arab berdasarkan
bahasa, sejarah, dan wilayah yang sama. Pemahaman seperti itu telah memicu
terbentuknya tatanan sosial baru berdasarkan kebijakan penguasaan negara
(kolektivisme) atas industri-industri besar, lembaga keuangan, dan fasilitas
infrastruktur. Oleh karena itu, sosialisme Arab dianggap sebagai alternatif ketiga dari
kapitalisme dan komunisme (Marxisme) karena mampu membasmi kejahatan
individualisme dalam sistem kapitalis modern dan ateisme Marxis. Hal ini
menunjukkan bahwa model sosialis Arab tidak mengangkat ideologi Marxisme sebagai
inti pembangunan secara mutlak karena sosial budaya dan sosial politik masyarakat
Arab telah tercampur dengan tradisi keagamaan Islam, sedangkan budaya Marxisme
adalah budaya. memusuhi kehidupan beragama. Pandangan negatif kaum sosialis Arab
terhadap pemahaman Marx bermula dari kegagalan pemerintah komunis Rusia dalam
mengusir budaya kolonialisme, sehingga Marxisme dituding sebagai pendukung
kekuatan imperialis Barat. Namun, ketegasan kaum sosialis Arab dalam menangani
kejahatan kepemilikan pribadi kapitalis-imperialis dipandang sebagai kelanjutan dari
tugas Marx memberantas sentimen egoistik kelas atas yang sewenang-wenang
memeras buruh kelas bawah dengan paksa dan brutal. Hal ini telah dirumuskan oleh
Sivan (1977: 281) ketika menilai kontradiksi pemahaman Marxisme dalam konteks
budaya masyarakat Arab seperti yang terjadi di Rusia.

Wacana Islam kiri merupakan istilah yang tidak asing lagi, istilah ini banyak
digunakan oleh para aktivis pergerakan yang memilki kecenderungan Islamis dan
Marxian dengan menggunakan legitimasi pemikiran karya Ashgar Ali Engineer, Ali
Syariati, dan Hassan Hanafi. Sudah jelas bahwa istilah Islam Kiri atau Kiri Islam yang

8
pertama kali digunakan oleh Hassan Hanafi lewat jurnal Al-Yassar Al-Islam, merupakan
pemikiran yang bersinggungan dengan teori Marx namun apabila dibaca dalam karya
para intelektual tersebut, terlihat kesan malu-malu untuk menunjukan kecenderungan
tersebut. Malah beberapa diantaranya seperti Ali Syariati dan Hassan Hanafi yang
keduanya merupakan lulusan Universitas Sorboone Paris, Perancis -tempat dimana
banyak filusuf barat ternama lahir- berbalik dengan selalu mengkritisi paham-paham
barat, yang selanjutnya Hassan Hanafi membentuk suatu kutub Oksidentalisme, yakni
menjadikan barat sebagai objek studidalam rangka perlawanan terhadapnya.Secara
umum kiri sering diartikan sebagai kubu yang cenderung sosialis, anarkis,reformis,
progresif atau liberal. Dengan kata lain kiri selalu menginginkan sesuatu yangdisebut
kemajuan, yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas sesuatu yang
disebut “takdir social”. Bagi Hassan Hanafi, Kiri adalah mengangkat posisi kaum
yangtertindas, kaum miskin dan yang menderita. Khusus di Indonesia, kiri biasanya
sering diartikan sebagai komunis, sosialis, dan segala bentuk perlawanan terhadap
pemerintah lainnya. Pada hakikatnya kiri dan kanan tidak “ada” dalam Islam itu sendiri,
namun “ada” pada tataran social, politik, ekonomi dan sejarah. Bagi Hassan Hanafi,
mengenalkan terminology kiri dan “orang-orang kiri” adalah penting dalam upaya
menghapus sisa-sisa imperialisme.

Secara sederhana Islam kiri merupakan upaya-upaya perlawanan kepada penguasa


yang dzalim dalam bentuk keberpihakan terhadap kaum tertindas dengan legitimasi
Islam.Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada awal kemunculannya, Nabi
Muhammad lahir ditengah-tengah memburuknya situasi sosial, ekonomi dan politik di
Mekkah. Semangat barbarianisme, serta kesukuan yang menjadi dasar berprilaku
masyarakat arab pada waktu itusenantiasa mempertontonkan hal-hal yang diluar batas
kemanusiaan. Buruh tak dibayar,budak diperjual-belikan, perempuan dapat diperjual
belikan maupun ditukar bila ada yang berkenan, bahkan bayi perempuan dikubur
hidup-hidup karena menjatuhkan martabat keluarga.

Bromley (1994: 32-34) dalam bukunya Rethinking Middle East Politics


menggambarkan analisis Marx melalui konsep Materialisme Historis pada sistem
kapitalisme sebagai landasan utama dalam memahami karakter modernisasi. Konsep

9
modernisasi digambarkan dalam konteks pembentukan struktur masyarakat
berdasarkan bentuk-bentuk baru hubungan sosial. Dua elemen modernisasi telah
diidentifikasi oleh Marx yang memicu revolusi radikal, yaitu elemen uang (ekonomi)
dan birokrasi (negara). Kedua unsur tersebut telah mengubah karakter relasi dan
kekuatan sosial yaitu ketergantungan relasi personal pada relasi impersonal. Namun,
Marx berasumsi bahwa konsep abstraksi negara politik hanya dapat diwujudkan dalam
bentuk komunalisme jika pembentukan model masyarakat sipil modern berorientasi
pada bentuk kepemilikan borjuis. Hal ini karena karakter sosial dari aspek kekuasaan
publik dan individu telah terlibat dalam menghubungkan masyarakat dengan hubungan
impersonal. Hubungan itu menuntut agar unsur-unsur peradilan, manajemen dan wajib
militer dipisahkan dari pribadi kelas yang memiliki, dan selanjutnya memusatkannya
dalam bentuk universal, yaitu kekuasaan rakyat. Oleh karena itu, penerapan teori
Materialisme Historis untuk menganalisis karakter modernisasi merupakan contoh
terbaik bagi dunia Arab dalam mentransformasi lanskap ekonomi di dunia Arab melalui
konstruksi kelompok sosial baru yaitu Nasionalisme Arab.

Halliday (2000: 35-36) mengharapkan isu atau isu tentang nasionalisme akan
menolak persepsi negatif masyarakat tentang relevansi ideologi Marxis di era
globalisasi. Pandangan Marx tentang teori imperialisme begitu progresif pada abad ke-
20 melalui pembentukan pemerintahan komunis di Rusia dan Cina, sehingga teori
tersebut berhasil mempengaruhi negara-negara dunia ketiga, termasuk dunia Arab. Hal
ini disebabkan tiga faktor utama yaitu pertama, ada beberapa tokoh nasionalis lokal
yang mencoba mengadaptasi sikap sayap kiri dalam ajaran Marxisme dengan prinsip
kebangsaan (patriotisme); kedua, keterbukaan rezim komunis untuk bekerja sama
dengan semua masyarakat multi-rasial dan ketiga, pendukung Marxis setuju dengan
pandangan modernis bahwa nasionalisme adalah produk transformasi zaman,
meskipun mereka menolaknya sebagai model masyarakat modern yang bertahan lama.
. Halliday juga mengakui hubungan antara gerakan nasionalis dan kelas sosial setelah
tradisi Marxis berhasil mengartikulasikan hubungan ideologis dengan kelas sosial.

Shamir (1977: 271-272) dalam artikelnya telah mengidentifikasi tiga kelompok


masyarakat Arab yang berperan penting dalam melestarikan ide-ide Marxisme di Timur

10
Tengah. Kelompok pertama adalah kelompok cendekiawan Arab yang tulisan-
tulisannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Marxisme dan menjadi
sumber referensi dan bacaan masyarakat Arab, meskipun kelompok tersebut terdiri
dari para muhajirin yang tidak menetap secara permanen di negara-negara Arab
seperti Sadiq Jalal. al-Azm (h.1934M) dan Mahmoud Hussein (hal.1947). Kelompok
kedua adalah kelompok yang terdiri dari gerakan politik Marxis termasuk gerakan
politik sayap kiri (Partai Komunis) dan gerakan radikal yang berorientasi pada
perjuangan gerilya seperti The Palestine National Front for Habash dan The Front for
the Liberation of the Arab Gulf. Kelompok ketiga adalah kelompok intelektual Marxisme
yang dikenal dengan The Liberated Regime dimana mereka telah berhasil memasuki
sistem politik dunia Arab dan berkesempatan untuk merumuskan program-program
pemerintah berdasarkan cetakan Marxisme. Kelompok ini juga bertanggung jawab
menyebarkan konsep Marxisme di Mesir, Suriah, Irak dan Aljazair.

Salama dan Ahmed (1972:18) menegaskan bahwa negara Arab yang mulai
mempraktikkan model sosialis Arab adalah negara Mesir dengan berdirinya kelompok
intelektual kecil pada tahun 1921 bernama The Eyptian Socialist Party. Namun, partai
tersebut tidak bertahan lama karena ideologi perjuangan mereka tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Mesir saat itu. Misi sosialis Mesir kemudian dilanjutkan oleh
seorang tokoh industri tekstil Mesir, Mahmoud Hosni El-Orabi melalui pembentukan
partai baru (Partai Komunis) dengan biaya dana sendiri untuk menciptakan jaringan
kerjasama yang erat antar serikat industri dalam melindungi kesejahteraan pekerja di
sana. Berkat bantuan Federasi Buruh Mesir, partai tersebut berhasil mendapatkan
dukungan dari 22/30 serikat pekerja. Namun, kerja sama kedua pihak tidak bertahan
lama karena konflik internal partai yang dipicu oleh kaum intelektual. Oleh karena itu,
perjuangan Hosni hanya dapat memperoleh dukungan dari kelas pekerja dan
perwakilan organisasi internasional, yaitu Joseph Rosenthal (1867-1927) yang
memahami Zionisme.

Pinchuk (1973: 66-67) menjelaskan bahawa konsep Marxisme yang didukung oleh
kerajaan Soviet Union telah menjadikan wilayah-wilayah di Timur Tengah antara
sasaran utama mereka untuk mempraktikan ideologi baru mereka iaitu global

11
expansionism. Oleh karena itu, Gamal Abdel Naseer (1918-1970) menjadi titik awal
bagi pemerintah Uni Soviet untuk memajukan ideologi tersebut melalui perjanjian
militer dengan pemerintah Mesir pada bulan September 1955. Sebelumnya,
pemerintahan Nasser telah berhasil memulai revolusi pertamanya pada tahun 1952
setelah kerajaan Raja Farok (1920-1965) berhasil digulingkan dan berusaha
menonjolkan cetakan demokrasi politik serta merintis berdirinya gerakan militer
nasional yang kuat dan kokoh. Dengan demikian, kesepakatan tersebut memberikan
peluang bagi pemerintah Soviet untuk menyebarkan ideologi Marxisme dalam
kebijakan internal dan eksternal Mesir. Faktanya, krisis Suez yang meletus pada tahun
1956 hingga 1957 memberikan jalan mudah bagi pemerintah Uni Soviet untuk
menyingkirkan pengaruh AS dalam model transformasi ekonomi Mesir dan dianggap
sebagai pelindung konsep Nasionalisme Arab.

Selanjutnya, kebijakan politik Nasser mulai berubah ketika ia mendorong masuk


dan partisipasi kelas pekerja dalam manajemen dan administrasi negara dan diizinkan
untuk mendirikan organisasi manajemen mereka sendiri pada tahun 1963. Namun,
partisipasi kaum Marxis dalam rezim Nasser menanamkan keinginan untuk
mempromosikan revolusi radikal. , meskipun keinginan itu sangat bertentangan dengan
posisi Nasser. Oleh karena itu, mereka telah menilai kemampuan untuk berhasil dalam
misi berdasarkan situasi di Mesir saat itu. Di antaranya, lemahnya kepemimpinan kelas
pekerja yang dikuasai Partai Komunis dan keunggulan Nasser dalam memimpin
gerakan revolusioner nasional. Jadi, kaum Marxis mencoba memperluas pengaruh
mereka di Uni Sosialis Arab; Uni Sosialis Arab (ASU) dengan mendatangkan mantan
anggota komunis untuk bergabung dalam hierarki ASU khususnya di bidang penerbitan
dan media massa. Selanjutnya, kaum Marxis, yang sebagian besar adalah profesional
(intelligensia), bertanggung jawab untuk meningkatkan pengaruh mereka di kalangan
mahasiswa, militer, dan serikat pekerja (Shamir 1973: 297-299). Oleh karena itu,
Shamir (1977: 273) mengakui bahwa konflik antara pembubaran Mesir dan ASU pada
tahun 1961 sangat mempengaruhi tindakan Nasser, mendesak penegakan pendekatan
revolusioner yang lebih kondusif di Mesir berdasarkan manifesto The Charter of

12
National Action (1962). ) untuk mengatasi tantangan dan ancaman dari faksi-faksi
borjuasi di Suriah.

Meskipun manifesto ASU banyak bercorak unsur-unsur Marxisme, namun unsur-


unsur tersebut diterjemahkan berdasarkan warisan dan realitas masyarakat Arab.
Shamir (1977: 274) juga melihat keterlibatan tokoh-tokoh Marxis Arab, salah satu
contohnya yaitu Mahmud Amin al-Alim dalam kabinet rez im Nasser juga turut
membantu proses penyebaran gagasan Marxisme di Mesir. Mahmud Amin Al Alim
(1922–2009) adalah seorang kritikus budaya Mesir pemenang penghargaan dan ahli
teori Marxis terkemuka. Dia adalah seorang intelektual publik terkemuka di Mesir pada
zamannya.7 Pekerjaan dan kehidupan El Alem terus menarik hingga hari ini bagi para
sarjana Marxisme Mesir dan sejarah Mesir pasca-kemerdekaan. "Karya maninya",
Tentang Kebudayaan Mesir, disebut sebagai "pendukung kritik sastra Arab akhir abad
kedua puluh". Dia berpartisipasi dalam perseteruan intelektual dengan Taha Husain
dan juga menghadapi raksasa sastra Arab seperti Naguib Mahfouz.[8] [9] Sejarawan
Albert Hourani merangkum sikap intelektual El Alem dalam On Egyptian Culture
sebagai berikut:

“…Kebudayaan harus mencerminkan seluruh sifat dan situasi suatu masyarakat, sastra
harus berusaha menunjukkan hubungan individu dengan pengalaman masyarakatnya.
Sastra yang lari dari pengalaman itu kosong sehingga tulisan yang mencerminkan
nasionalisme borjuis kini tidak ada artinya. Tulisan baru harus dinilai dari apakah ia
cukup mengekspresikan perjuangan dengan 'gurita imperialisme' yang merupakan
fakta fundamental kehidupan Mesir, dan apakah itu mencerminkan kehidupan kelas
pekerja. Dilihat dari sudut ini, pertanyaan tentang bentuk ekspresi menjadi penting.
Kesenjangan antara ekspresi dan konten, (El Alem dan 'Anis) menyarankan, adalah
tanda pelarian dari kenyataan ... "

Namun kehadiran mereka yang menuntut agar proses revolusi sosialis di Mesir
dipercepat telah mengundang ketidakpuasan para elit anti-Marxis di rezim Nasser.
Polemik internal antara tokoh-tokoh politik Marxis dan elit anti-Marxis bermula dari
perbedaan penafsiran terhadap slogan rebutan perbedaan antar kelas yang dimaknai

13
oleh para elit berdasarkan prinsip persatuan nasional yang memupuk kerukunan antar
kelas masyarakat, sedangkan Pendukung Marxis menjadikannya platform menuju
penghapusan kelas sosial secara bertahap. Debat slogan tersebut berhasil diselesaikan
oleh Presiden Anwar Sadat (1918-1981) dan memerintahkan ASU untuk mengekang
perkembangan pengaruh Marxis di Mesir pada tahun 1972.

Ideologi Marxisme juga berkembang di negara-negara Arab lainnya seperti Suriah


dan Irak di bawah satu atap gerakan sosialis, Partai Sosialis Arab Ba'ath. Partai Ba'ath
berhasil menduduki kedua negara secara bersamaan pada tahun 1963 karena partai
tersebut secara efektif didirikan oleh sekelompok perwira militer muda. Akibat
keberhasilan itu, Partai Ba'ath berusaha mencari bantuan militer dari pemerintah Uni
Soviet dan dukungan Partai Komunis Suriah karena khawatir sentimen radikalnya akan
dicap sebagai faksi anti-Nasserisme. Selain itu, pemerintah Uni Soviet juga
mengkhawatirkan munculnya kembali faksi-faksi sayap kanan dan saingan dari
pemerintah Komunis China yang berusaha mengancam kerjasama mereka dengan
pemerintah Suriah. Sebagai imbalannya, Partai Bacath memilih setidaknya satu anggota
Komunis untuk bergabung dengan kabinetnya dan pemimpin Komunis Suriah Khalid
Bakdash (1912-1995) dipanggil kembali ke Suriah setelah menjalani pengasingan
selama delapan tahun. Selanjutnya, hubungan diplomatik antara kedua pemerintah
secara aktif berjalan sepanjang tahun 1966 hingga 1967 melalui kunjungan delegasi
Partai Ba'ath ke Moskow yang bertujuan untuk mendapatkan pengalaman pemerintah
Soviet dalam menjalankan misi sosialis mereka (Levy 1973: 396-399).

Konsep Marxisme di dunia Arab masih dianggap kabur dan sulit disesuaikan dengan
kondisi sosial politik dan sosial budaya masyarakat Arab yang masih menganut model
politik Islam. Aspek moral kehidupan beragama masih dipegang kuat oleh masyarakat
Arab dibandingkan dengan kaum Marxis yang ateis. Kenyataannya, masyarakat Arab
yang sekular, liberal, dan atheis tidak sepenuhnya menerapkan konsep Marxisme,
tetapi hanya mengambil beberapa prinsip yang dirasa sejalan dengan kebutuhan
masyarakat Arab. Posisi Marxisme hanya dijadikan alternatif terbaik bagi masyarakat
Arab untuk menolak sistem monarki dan kekuasaan imperialisme. Sedangkan istilah
sosialisme sendiri hanya merupakan interpretasi dari makna nasionalisme yang

14
mengadvokasi hak atas kebebasan dan dominasi ekonomi dan politik suatu negara.
Oleh karena itu, gagasan Marxisme merupakan rekonstruksi terhadap pembentukan
model masyarakat Arab dalam pemerintahan pusat (Arab World), maka upaya
mempersatukan bangsa Arab merupakan langkah awal menuju penguatan gagasan
sosialisme di Indonesia. Timur Tengah. Signifikansi kebijakan nasionalisasi di Timur
Tengah berhasil menonjolkan proses desentralisasi yang dijalankan sehingga
kesenjangan status ekonomi masyarakat di perkotaan dan pedesaan dapat dihilangkan
dan menjaga kekayaan negara agar tidak jatuh ke tangan asing.

B. Nasionalisme dan Perkembangannya di Arab

Nasionalisme sebagai produk modernitas pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-
19 di Eropa, merupakan salah satu paham yang berpengaruh luas dewasa ini. Hampir
semua komunitas modern diikat oleh nasionalisme dalam bentuk negara bangsa
(nation-state). Secarakonseptual nasionalisme diartikan beragam, dan yang umum
diungkapkan adalah nasionalisme sebagai: 1) kulturnasi, yang berlandaskan pada
formasi kesadaran dan solidaritas nasional danstate nation sebagai ideologi yang
menginginkan pendirian negara; 2) loyalitas (etnis dan nasional) dan keinginan
menegakkan negara; 3) identitas budaya dan bahasa, dan sebagainya. 1

Kenyataan ini juga terjadi pada negera-negara di Timur Tengah, di mana kesatuan
ideologi keagamaan yang sebelumnya menguasai dunia Islam telah tersingkir oleh
kesatuan elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas
dan solidaritas sosial yang berpengaruh dalam kesatuan politik suatu bangsa.
Masalahnya, nasionalisme yang diharapkan dapat memecahkan berbagai problem
sosial-politik di Timur Tengah ternyata tidak membuahkan hasil yang diinginkan.
Timur Tengah tetap merupakan kawasan dengan aktivitas politik yang panas dan
rentan terhadap konflik.

1
Ita Mutiara Dewi, “Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong”, hlm. 2

15
Nasionalisme yang berkembang di Timur Tengah merupakan imbas dari proyek
modernisme yang telah tumbuh pada masyarakat Barat modern,di mana sekularisme
menjadi prinsip hidup dominan yang dicanangkan sebagai prinsip ideologis dalam
menjalankanpemerintahan berdasarkan kekuatan rasional. Selain itu untuk menggantik
an dasar-dasar keagamaan dan otoritas monarki, maka nasionalisme dicanangkan
untuk merekat solidaritas kebangsaan dan teritorial, karena itu nasionalisme di belahan
dunia Arab tidak terpisahkan dari proyek modernisme dan juga sekularisme.
Kenyataan-kenyataan tersebut di atas memperlihatkan betapa nasionalisme tidak
menjadi pemecah terhadap berbagai problem yang dihadapi negara-negara di Timur
Tengah alih-alih justru memunculkan perpecahan dan konflik yang berkepanjangan.
Oleh karena itu penting untuk menyoroti masalah nasionalisme di Timur Tengah
hingga menghasilkan sebuah pemahaman yang mendalam baik dari aspekideologi,
sosial dan politik.

Nasionalisme sendiri dalam konsepsi Islam diistilah sebagai al-waṭaniyah,


merepresentasikan kesatuan berdasarkan teritorial atau geografis yang disertai
sentiment aṣḥabiyyah. Paham ini kemudian menyebar ke dunia Islam yang sedang
berpacu untukmelepaskan diri dari penjajahan. Dengan demikian, penjajahan di Timur
Tengah telahmendorong lahirnya nasionalisme di Timur Tengah, seperti nasionalisme
Mesir, Nasionalisme Arab, dan juga nasionalisme Suriah, Lebanon, Palestina, Hejaz, Iraq,
Kuwait, Bahrain, hinggake Afrika Utara. Semangat nasionalisme ini juga diperkuat oleh
respon terhadap usaha Baratuntuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Maka
munculah beberapa pergerakan dan perlawan melawan imperialisme Barat, seperti
yang terjadi di Maroko, Aljazair, Mesir, danTunisia. Sementara pada abad ke-20 negara-
negara jajahan Inggris seperti Iraq dan negara-negara teluk diberikan kemerdekaan. 2

Pada dasarnya, Nasionalisme Arab adalah untuk menyatukan negara-negara


berbahasa Arab yang memiliki budaya yang sama, dan itu bukan kesatuan dunia Islam.
Gerakan ini bermula dari gagasan bahwa semua negara berbahasa Arab, apapun
agamanya, pada dasarnya adalah sebuah bangsa dan memiliki budaya yang sama.
Hazem Zaki Nusaibah menyatakan bahwa Nasionalisme Arab bertujuan untuk
2
Shabir Ahmed, Akar Nasionalisme di Dunia Islam (Bangil: Tim Al-Izzah, 2002), hlm. 39

16
menyatukan bangsa-bangsa berbahasa Arab di bawah suatu organisasi politik.
Nasionalisme Arab merupakan gerakan sekuler yang ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu faktor bahasa, faktor tradisi sejarah, dan faktor kepentingan bersama

Wilayah Timur Tengah, yang terbentang dari beberapa negara di Afrika Utara dan
Asia Barat, kadang dianggap sebagai dunia yang homogen secara budaya maupun
tampilan fisik,sebagaimana yang diasumsikan oleh Hudson yang menyatakan bahwa
budaya merupakan identitas yang ditentukan oleh aspek persamaan etnisitas dari
persamaan bahasa, warna kulit dan kesamaan sejarah. Namun temuan ini tidak
sepenuhnya benar, karena jika diperhatikan dunia Arab juga memiliki heterogenitas,
Heterogenitas ini bahkan semakin kentara dewasa ini,disebabkan oleh globalisasi yang
semakin menguat, yaitu ketika negara-negara di Timur Tengah terpecah menjadi
negara-negara tersendiri dengan identitasnya sendiri. Kondisi ini menjadikan konflik
dan perpecahan sebagai isu global yang mengemuka di Timur Tengah, bahkan hingga
dewasa ini. Kondisi ini didorong pula oleh beberapa hal: pertama adalah mengenai
persoalan batas- batas dan legitimasi entitas berdaulat yang ada, yang kedua
adalah adanya ketidaksamarataan (inequalities) dalam kehidupan bermasyarakat yang
dipenuhi dengan kepribadian Nasionalisme akan etnoreligius yang kuat, dan yang
terakhir adalah permasalahan-permasalahan yang muncul dari integrasi
kaum minoritas dalam sebuah negara. Artinya bahwa identitas nasional atau national
identity negara-negara Timur Tengah pada dasarnya belum terbentuk sepenuhnya,
masih terdapat gap antar suku, sekte dan juga perbedaan simbol-simbol keagamaan.
Hal ini digambarkan Hudson sebagai tribes, particularsect, dan Islamic Symbols. Ketiga
hal ini memang bukan pondasi utama bagunan negara, namun hingga saat ini ketiganya
merupakan kunci penting untuk memahami wilayah Timur Tengah. Sebagaimana telah
diungkap, bahwa negara-negara Timur Tengah memiliki banyak persamaan
dibandingkan perbedaan. Di seluruh dunia, kawasan yang memiliki homogenitas
penduduk terbesar adalah kawasan Timur Tengah. Hal ini diakibatkan oleh dominasi
Islam di Timur Tengah.

Secara politis pemikiran politik yang menyeruak ke dunia Islam pada abad ke-20
telah membawa perubahan yang signifikan pada sistem pemerintahan di Timur Tengah.

17
Nasionalisme khususnya telah menjadi icon modern yang tidak terpisahkan dari dunia
global dewasa ini. Budi Mulyana mengungkapkan terdapat beberapa isu politik
internasional di Timur Tengah yang masih belum terselesaikan hingga dewasa ini.3

Fase-fase perkembangan nasionalisme Arab diuraikan sebagai berikut, yaitu sejak


kontak pertama bangsa Arab dengan Barat, yaitu masuknya Napoleon pada tahun 1798
ke Mesir dengan gagasan demokrasi, persamaan, dan gagasan nasionalisme. Maka dari
situlah mata bangsa Arab mulai terbuka dari tidur yang sangat panjang dan para raja,
para pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan kekuatan
umat Islam kembali. Sejak bersentuhan dengan dunia Barat, telah terjadi lima fase
perkembangan nasionalisme, yaitu:

• Fase pertama, munculnya reaksi Arab-Islam terhadap ekspansi Eropa, pada fase
ini percikan agama lebih menentukan daripada sentimen kebangsaan;
• Fase kedua, munculnya kecenderungan membentuk kelompok Islam Arab, hal
ini lahir karena ketidakmampuan Turki Usmani mempertahankan wilayah Arab;
• Fase ketiga, munculnya reaksi Arab terhadap gerakan nasionalisme yang lahir di
Turki;
• Fase keempat, perpaduan nasionalisme Arab Islam dan Kristen Arab;
• Fase kelima, gagasan nasionalisme Arab menjadi gerakan rakyat dan kekuatan
hidup dalam hati nurani rakyat.

Nasionalisme atau rasa cinta tanah air adalah salah-satu dari hal yang alami bagi
manusia. Pembawaan manusia adalah mencintai tempat dimana mereka tumbuh di
dalamnya. Biasanya, manusia menginginkan tempatnya lahir dan tumbuh itu menjadi
tempatnya menua dan menghabiskan hidupnya. Makanya, tidak aneh jika manusia
mencintai negaranya setengah mati. Nasionalisme itu memiliki hubungan langsung
dengan agama dan iman. Agama telah menganjurkan manusia mencintai negara
tempatnya tumbuh dan dididik. Kita ingat ketika Nabi SAW hendak berhijrah ke
Madinah karena tindakan repressive kaum musyrikin dan kafir Quraisy (ingat kata-kata
ini ya, ”kafir Quraisy”), Nabi SAW bersabda : “Betapa indahnya engkau wahai Makkah,

3
Budi Mulyana, “Pemikiran Politik di Timur Tengah”

18
betapa cintanya aku kepadamu. Jika bukan karena aku dikeluarkan oleh kaumku darimu,
aku tidak akan meninggalkanmu selamanya, dan aku tidak akan meninggali negara
selainmu.”

Inilah dalil yang menunjukkan betapa cintanya Rasulullah SAW kepada negaranya.
Ini juga dalil bahwa mencintai tanah air itu adalah hal yang penting. Dr. Ahmad Abdul
Ghani Muhammad al-Najuli dalam al-Muwathanah fi al-Islam Wajabatun Wa Huquq
menerjemahkan tanah air secara lebih luas, bahwa di era globalisasi ini sesungguhnya
tanah air itu adalah alam semesta secara keseluruhan. Ini diistilahkannya sebagai al-
muwathanah al-alamiyyah (tanah air alam semesta)

Mafhum mukhalafah-nya (pemahaman terbaliknya) adalah bahwa setiap muslim


harus mencintai dan melestarikan alam semesta. Atas dasar qiyas awlawi, maka setiap
muslim seharusnya lebih mencintai tanah air tempatnya dilahirkan, dibesarkan, dan
hidup, contohnya yaitu kepada alam semesta saja muslim wajib mencintainya, apalagi
kepada tanah air tempatnya lahir dan tumbuh. Lalu, ada yang mengatakan bahwa
nasionalisme itu tidak ada landasan di dalam Islam. Sementara pengertian nasionalisme
menurut berbagai literatur adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa
yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan
tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya
kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri.

Jika nasionalisme itu adalah cinta tanah air, maka sesungguhnya dalilnya di dalam al-
Quran begitu banyak. Allah SWT berfirman di dalam Qs. al-Hasyr 9:

‫ُور ِه إمَ َحا َجةَ مِ َّما أُوتُوا‬ ِ ‫صد‬ َُ ‫ُون فِي‬ ََ ‫ل يَ ِجد‬ َ َ ‫ن هَا َج ََر إِلَ إي ِه إَم َو‬َ‫ن قَ إب ِل ِه إَم يُحِ بُّونََ َم إ‬ َ‫اْلي َمانََ مِ إ‬ ََ ‫َوالَّذِينََ تَبَ َّو ُءوا الد‬
ِ ‫َّار َو إ‬
ََ‫ح نَ إف ِس َِه فَأُولَئِكََ هُ َُم إال ُم إف ِل ُحون‬ َ‫ۚ َو َم إ‬
ََّ ُ‫ن يُوقََ ش‬ َ َ‫صة‬ َ ‫صا‬ َ ‫علَىَ أَ إنفُ ِس ِه إَم َولَ إَو كَانََ بِ ِه إَم َخ‬ َ ََ‫َويُؤإ ث ُِرون‬

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun

19
mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang orang yang beruntung. (Al-Hasyr 9)

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Anshar telah menempati kota Madinah dan telah
beriman sebelum kedatangan kaum Muhajirin, yaitu pada Baiat al-Aqabah pertama dan
kedua. Mereka mencintai kaum Muhajirin dengan cinta kasih yang tulus. Mereka
mengutamakan kaum Muhajirin, sekalipun mereka dalam kesusahan. Ini adalah ayat
yang berisi pujian Allah SWT kepada kaum Anshar yang telah membangun kota
Madinah dengan baik dan mau menerima kaum Anshar dengan cinta kasih.

Lalu pada ayat sebelumnya, yaitu Qs. al-Hasyr 8, Allah SWT berfirman:

َ َّ ََ‫ص ُرون‬
َ‫ّللا‬ ُ ‫ّللا َو ِرض َإوانا َو َي إن‬ ِ ‫اج ِرينََ الَّذِينََ أ ُ إخ ِر ُجوا مِ إنَ ِد َي‬
ََِّ ََ‫ار ِه إمَ َوأَ إم َوا ِل ِه إمَ َي إبتَغُونََ فَضإلَ مِ ن‬ ِ ‫ل إِلفُقَ َراءَِ إال ُم َه‬
َّ ‫ۚ أُو َلئِكََ هُ َُم ال‬
ََ‫صا ِد ُقون‬ َ ُ‫َو َرسُولَ َه‬

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Ayat ini menggambarkan kesulitan yang dihadapi oleh kaum Muhajirin yang harus
meninggalkan harta-benda, rumahnya, anak-anaknya, keluarganya. Maka, jadilah
mereka orang-orang fakir miskin pada saat menjadi orang-orang yang berhijrah. Dan
tahukah Anda bahwa ayat ini menggambarkan bahwa pujian Allah SWT atas kaum
Anshar (yang telah beriman sebelumnya, membangun Madinah dengan baik, dan lebih
mengutamakan kaum Anshar atas harta-harta mereka) itu disamakan dengan orang-
orang Muhajirin yang harus meninggalkan semua yang mereka miliki (baik harta-
benda, keluarga, handai taulan, dan seterusnya) terutama tanah-airnya tercinta.

Diantara ayat yang menerangkan urut-urutan prioritas yang memprioritaskan tanah-air


atas seluruh maqashid (kecuali agama) adalah ayat ini:

َ‫سادَ َها‬ َ ‫ارةَ ت إَخش إَونََ َك‬ َ ‫ِيرتُكُ إَم َوأَ إم َوالَ ا إقت ََر إفت ُ ُموهَا َوتِ َج‬
َ ‫عش‬َ ‫ن كَانََ آبَا ُؤكُ إَم َوأَ إبنَا ُؤكُ إَم َوإِ إخ َوانَُكُ إَم َوأَ إز َوا ُجكُ إَم َو‬ َ‫قُ إ‬
َ‫ل إِ إ‬
َ‫ّللاُ َل‬
ََّ ‫ۚ َو‬ َ ‫ّللاُ ِبأ َ إم ِر َِه‬
ََّ ‫ِي‬ ََ ‫صوا َحتَّىَ يَأإت‬ ُ َّ‫س ِبي ِل َِه فَت ََرب‬ ََِّ ََ‫ض إونَ َها أَ َحبََّ ِإلَ إيكُ إَم مِ ن‬
َ ‫ّللا َو َرسُو ِل َِه َو ِج َهادَ فِي‬ َ ‫ساكِنَُ ت إَر‬َ ‫َو َم‬
ََ‫يَ إهدِي إالقَ إو ََم إالفَا ِسقِين‬

20
Katakanlah jika bapa-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik. (Qs. al-Taubah 24)

Di dalam ayat ini, frasa “tempat tinggal yang kamu sukai” diartikan oleh Dr. Ahmad
Abdul Ghani Muhammad al-Najuli dalam al-Muwathanah fi al-Islam sebagai tanah air.
Maksudnya adalah kepentingan mencintai dan menjaga tanah air itu di atas
kepentingan menjaga keluarga, harta-benda, dan seterusnya. Kewajiban menjaga tanah
air ini hanya kalah dengan kewajiban menjaga hak-hak agama.

Selain ayat-ayat al-Quran, ada bukti hadis-hadis Nabi SAW. yang menceritakan betapa
nasionalisme itu dimiliki oleh Nabi SAW.

َ‫ وإن‬،َ ‫عن أنس أن النبيَ صلىَ هللا عليه وسلم كان إذا قدم من سفر فنظر إلى جدرات المدينة أوضع راحلته‬
‫كان على دابة حركها من حبها‬

Dari Anas, bahwasannya Nabi SAW. jika pulang dari bepergian beliau melihat kea rah
tembok-tembok gedung di Madinah lalu mempercepat jalannya. Jika beliau berada di atas
kendaraan (seperti kuda atau onta), beliau akan mengguncang-guncangkan tali kekang
kendaraannya (agar cepat sampai) karena kecintaannya kepada Madinah. (HR. Bukhari)
Suatu hari, Sahabat Ashil al-Ghiffari pulang dari Makkah (saat itu belum ada syariah
memakai hijab bagi isteri-isteri Rasulullah SAW), Aisyah bertanya kepadanya,
“Bagaimana kamu meninggalkan Mekkah, wahai Ashil?” Ashil menjawab, “Saya
meninggalkannya saat sungai-sungainya memutih, pohon-pohon mulai tumbuh daun-
daunnya, dan bunga-bunganya mulai berkembang dan keluar daun-daunnya.”
Mendengar itu, air mata Rasulullah SAW. menetes. Rasulullah SAW. bersabda, “Jangan
kaubuat kami merindu, wahai Ashil.” Dalam riwayat lain, “Sudahlah wahai Ashil, jangan
membuat kami bersedih.” (Syarh al-Zyarqani ala al-Muwaththa’ al-Imam Malik)

21
Hadis ini mengisyaratkan bahwa Nabi SAW. adalah warga Madinah, sedangkan Mekkah
adalah tanah-airnya tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Cintanya kepada Mekkah
abadi. Jika saja tidak diusir oleh kaumnya, dan tidak diizinkan oleh Allah SWT untuk
berhijrah, Nabi SAW. tidak akan meninggalkan Mekkah. Semua ini menunjukkan bahwa
nasionalisme itu ada dalilnya dalam Islam. Memang tidak mudah menggali hukum-
hukum Islam; diperlukan ketekunan, kejelian, dan keinginan untuk mendapatkan
jawaban-jawaban yang luas, yang tidak menghibur, membohongi, apalagi memanipulasi
bagi masyarakat

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep Marxisme di dunia Arab dianggap masih kabur dan sukar menyesuaikannya
dengan kondisi sosio-politik dan sosio-budaya masyarakat Arab yang masih
menyanjung model siasah Islam. Aspek moral dalam kehidupan beragama masih
dipegang kuat oleh masyarakat Arab berbanding dengan Marxis yang berpahaman
ateisme. Realitinya, masyarakat Arab yang berpendirian sekularis, liberalis maupun
ateis tidak sepenuhnya mengimplementasi konsep Marxisme, tetapi hanya mengambil
beberapa prinsip saja yang dirasakan bersesuaian dengan keperluan masyarakat Arab.
Posisi Marxisme hanya dijadikan alternatif terbaik kepada masyarakat Arab untuk
menolak sistem monarki dan kuasa imperialisme.

Pada dasarnya, Nasionalisme Arab adalah untuk menyatukan negara-negara


berbahasa Arab yang memiliki budaya yang sama, dan itu bukan kesatuan dunia Islam.
Gerakan ini bermula dari gagasan bahwa semua negara berbahasa Arab, apapun
agamanya, pada dasarnya adalah sebuah bangsa dan memiliki budaya yang sama.
Hazem Zaki Nusaibah menyatakan bahwa Nasionalisme Arab bertujuan untuk
menyatukan bangsa-bangsa berbahasa Arab di bawah suatu organisasi politik.
Nasionalisme Arab merupakan gerakan sekuler yang ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu faktor bahasa, faktor tradisi sejarah, dan faktor kepentingan Bersama.

B. Saran

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang konstruktif penulis butuhkan dari rekan-rekan Mahasiswa jurusan Ilmu
Politik yang mengambil mata kuliah Kajian Politik Timur Tengah Bapak H. Amin Farih,
M.Ag selaku dosen pengampu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alwie, K. M. (2017, Mei 19). Resistensia. Retrieved from Dalil Nasionalisme dalam Al Qur'an
dan Sunnah: https://resistensia.org
Bachtiar, H. (1986). Percakapan dengan Sidney Hook tentang 4 Masalah Filsafat, Etika,
Ideologi Nasional, Marxisme, Eksistensialisme,. Jakarta: Djambatan.
Dean, M. (2002). Liberal government and authoritarianism. Economic and Society Journal,
Vol. 51 No.1.
Siva, E. (1977). Marxism in the Arab world. Jerusalem: Martinus Nijhoff.

24

Anda mungkin juga menyukai