Anda di halaman 1dari 5

AYUS

Penulis: Taruna Wiajaya


`

Disebuah desa hiduplah sepasang suami istri, hidup dengan penuh kesederhanaan. Setiap

hari pekerjaan mereka hanya mengambil kayu bakar dihutan lalu kayu bakar tersebut dijualkan kepasar

guna memenuhi kebutuhan hudup sehari-hari mereka. Namun, sekian tahun menikah sepasang suami

istri ini belum juga dikarunia seorang anak, meskipun segala usaha berobat kesana kemari agar biasa

memperoleh anak belum juga terkabulkan, mungkin sudah merupakan suratan takdir bahwa meraka

tidak diberikan keturunan..

Sore itu, ketika sepasang suami istri mengumpulkan kayu-kayu bakar dihutan mereka bertemu

dengan sepasang burung.

“Alangkah bahagianya ya pak seanadainya kita seperti burung itu?“

“benar bu, tentu hidup kita lebih terasa bahagia lagi. Sahut sang suami”

Ternyata sepasang suami istri itu sedang memperhatikan sepasang burung merpati yang

sedang memberikan makan kepada anaknya. Tanpa terasa matahari mulai terbenam dengan

memancarkan cahaya mega merahnya yang menandakan haripun mulai senja, itu tandanya sang

suami istri harus segera pulang sebelum gelap menyelimuti mereka di dalam hutan.

Setibanya dirumah sang suami istri merenungkan kembali kejadian yang mereka lihat ketika

berada di hutan tadi, ternyata hal itu membuat mereka mengingatkan kembali keinginan mereka

memperoleh sorang anak.

“Sudahlah bu tidak dipikirkan lagi mungkin belum saatnya kita diberikan anak. Kejut sang

suami kepada istrinya sambil memegang pundak sang istri.

“Ya pak, saya kedapur dulu siapkan makan malam untuk bapak ya. Gegas sang istri pergi

kedapur menyiapkan makan malam.


***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan membuat sang suami istri

lupa akan niatnya memperoleh seorang anak.

Suatu malam ketika sang suamu istri tidur terlelap karena kelelahan mengambil kayu dihutan,

datanglah seorang kakek tua berpakaian serba putih menhampiri sang istri, lalu kakek tua tadi berkata

“pergilah kehutan carilah rebung bambu yang yang dililiti seekor ular sawah, kemudian rebuslah rebung

itu niscaya kamu akan diberikan anak sesuai yang kamu dambakan selama pernikan kamu”.

Setelah menyampaikan pesan tersebut si kakek tua itu pergi, lalu sang ibu berkata hai kakek

tua siapakah geranganmu? Namun si kakek hilang seketika dari penglihatannya, namun sang ibu terus

memanggil-manggil si kakek tua tersebut.

“ Ibu…ibu…bangun ibu, sang suami berusaha membangunkan istrinya”

“ suamiku, kata sang istri terbangun dari tidurnya”

“Ibu mimipi ya, Tanya sang suami kepada istrinya?”

“ya pak, sang istri menceritakan alkisah mimpinya kepada sang suami”

Keesokan harinya ketika ayam berkokok mereka segera berangkat kehutan mengikuti pesan

yang disampaikan oleh si kakek tua dalam mimpi sang istri untuk mencari rebung yang dililiti oleh

seekor ular sawah. Mereka terus berjalan dan terus berjalan masuk hutan, bukit-bukin mereka lalui dan

sungai-sungai mereka seberangi tak terasa haripun mulai senja namun rebung yang dimaksudkan si

kakek tua tersubut tidak juga mereka temukan.

“Pak saya lelah, kata sang istri dengan suara yang penuh kelelahan seharian berjalan”

“Ya bu, kita istirahat dulu disini. Sahut sang suami sambil memapah sang istri duduk dibawah

pohon rindang untuk beristrihat”

“Pak, apakah mimpiku semalam hanya sekedar bunga tidur atau petunjuk untuk kita, mengapa

seharian berjalan rebung yang kita cari belum juga ketemu”


“Ibu yang sabar ya, mungkin mimpi ibu semalam hanyalah bunga tidur apa mungkin bambu

tumbuh di tengah hutan belantara seperti ini. Sahut sang suami yang telah berputus asa mencari

rebung tersebu”

“Pak mari kita pulang karena hari sudah senja, takut kemalaman di jalan. Ajak sang istri

kepada suaminya”.

Merekapun bangkit dan bergegas pulang karena hari semakin sore. Di dalam dikejauhan

meraka melihat serumpun pohon bambu yang tumbuh dipinggir sungai, merekapun bergegas

mendekati bambu tersebut, ternyata dalam rumpun bambu tersebut ada rebung bambu yang dilingkari

seekor ular sawah sama persis yang dikisahkan dalam mimpi sang istri terbut. Merekapun mengambil

rebung tersebut dan segera membawanya pulang kerumah untuk dimasak sesuai pesan oleh si kakek

tua. Selang beberapa lama kemudian sang istri telah hamil dan melahir seorang bayi laki-laki, dan bayi

tersebut mereka beri nama Ayus.

***

Kebahagian sang suami istripun terwujut dengan lahirnya anak mereka , keluarga mereka telah

sempurna. Namun ada sesuatu yang aneh dengan anak mereka lahirkan, ia tumbuh tidak seperti

layaknya anak-anak yang lain, ia tumbuh begitu cepat dan diluar akal pikiran manusia si Ayus tumbuh

besar tidak seperti manusia biasa, konon katanya tingginya setara dengan tingginya pohon kelapa,

makannya banyak sama porsi makan lima kepala keluarga. Hal ini membuat sang suami kawatir akan

pertumbuhan anaknya. Kebahagian yang dulu terwujud akhirnya berubah menjadi penderitaan, Ayus

menjadi beban dalam keluarga mereka, karena orang tuanya tidak mampu lagi menghidupkan si Ayus.

timbul dibenak sang ayah ingin mengusir anaknya dari rumahnya, namun sang ibu sangat menyayangi

si Ayus. Sehingga suatu hari sang ayah mengajak si Ayus mencari kayu di hutan, mereka terus

berjalan ke dalam hutan sampai pada hutan yang semula belum pernah dijamah oleh manusia,

kemudian perlahan-lahan sang ayah menjauh dan meninggalkan sang anak kedalam hutan. Sang ayah

pulang dan mealaporkan kepada sang istri bahwa anak telah jatuh dijurang yang curam.
Kesedihan selalu menyelimuti sang ibu karena anak yang sangat dia sayangi sudah 2 hari tak

dilihatnya. Seketika dikejauhan sang ibu terlihat sosok tubuh pemuda yang gagah besar, diamatinya

pemuda itu ternyata anaknya telah kembali. Sang ibupun menangis bahagia memeluk anaknya.

“Pak…pak…Ayus telah pulang” teriak ibu memanggil sang suami.

Sang ayah terkejut melihat si Ayus pulang dengan selamat, padahal ia telah meninggalkan

sang anak jauh di dalam hutan, sang ayah benar-benar kehilangan pikiran memikirkan kejadian itu.

***

Suatu malam sebelum tidur sang ayah berpikir mencari cara bagaimana menyingkirkan si Ayus

tanpa membuat sang istri sedih kehilangan anaknya, karena sang ayah benar-benar sudah tidak

mampu lagi menghidupkan si Ayus. Lama berpikir sampai membuat ia mengantuk belum juga

mendapatkan cara untuk menyingkirkan anaknya.

Keesokan harinya ayahnya mengajak si Ayus pergi kelaut untuk melihat kelong (alat atangkap

ikan yang terbuat dari bambu dan dipasang dipinggir pantai) yang dipasang, karena sudah beberapa

hari ini mereka tidak pernah melihat kelong yang mereka pasang, namun tujuan utama sang ayah

mengajak sang anak kelaut melainkan untuk menenggelamkan sang anak kedalam laut. Lama

mengayuh akhirnya mereka sampai ketempat tujuan, ternyata kelong mereka banyak dimasuki ikan

kegembiraanpun terlihat jelas di raut wajah sang ayah sehingga lupa akan niatnya untuk

menenggelamkan sang anak.

“anakku tangguk ikan-ikan itu”, suruh sang ayah dengan semangatnya kepada si Ayus.

Ayuspun menangguk ikan dengan semangtnya, setelah beberapa kali menangguk ia

tertangguk sebuah rotan yang dibuat berbentuk seperti gelang sang anakpun bertanya kepada sang

ayah.

“apakah ini pak?” sang ayah terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban apa yang harus

dijawabnya kepada sang anak.

“pak ini apa sih kok bentuknnya seperti gelang?” Tanya sang anak untuk kedua kalinya.
“itu adalah gelang manusia” jawab sang ayah.

Padahal sang ayah sadar bahwa jawabannya itu salah, itu bukan gelang melainkan perangkap

kepiting yang jaringnya telah tiada biasa deikenal dengan sebutan ambau (alat tangkap kepiting yang

kerangkanya terbuat dari rotan)

Sang anak terkejut dengan jawaban sang ayah, ia berpikir ternyata masih ada lagi orang yang

paling besar selain dirinya, gelangnya saja bisa melingkari tubuhnya. Si Ayus adalah orang yang tidak

ingin besar tubuh disaingi oleh orang lain, iapun berpikir untuk berusaha membesarkan tubuhnya agar

tidak ada lagi orang yang bias menyaingi dirinya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh sang ayah untuk

menyingkirkan sang anak jauh dari keluarga mereka.

“anakku jika engkau ingin membesarkan dirimu, pergilah engkau bertapa di hutan belantara

yang terletak didaerah lenuang kayam bertapalah selama 50 Tahun niscaya engkau akan menjadi

besar dan tidak ada lagi satu orang manusiapun yang dapat menyaingi dirimu.” Ucap sang ayah

kepada si Ayus.

Keesokan harinya iapun pamitan kepada sang ayah dan ibunya untuk pergi pergi bertapa,

meskipun dengan berat hati sang ibu tetap merelakan kepergian sang anak. Setelah pamitan si

Ayuspun pergi menjalankan misinya untuk bertapa ke dalam hutan.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun cerita tentang si Ayus sudah tidak terdengar lagii

hingga sekarang masyarakat Tanah Merah mengenangnya sebagai lagenda yang menjadi cerita suku

Tidung Tanah Merah yang selalu dikenang hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai