Andai ini Sebuah Perpisahan, Apa yang Harus Saya Katakan?
oleh wwrthlss
Bagian I: Mengapa Semua Ini Terjadi?
Kematian adalah hal menakutkan yang manusia selalu waspadai sepanjang
hidupnya, kendatipun begitu toh tak ada yang bisa mengelak darinya. Sekalipun barang sedetik. Tiap orang tentunya memiliki pengalaman personalnya sendiri dalam memandang kematian. Ada orang yang menghayati kematian dengan kehilangan ayahnya tercinta, melalui tangis tatkala sang ibu mesti beristirahat di liang lahat, melihat kucing kesayangan tak lagi bernafas, atau mungkin ... mungkin ..saat tahu bahwa waktu yang kita miliki tak lagi lama. Tak lagi tersisa, barang untuk menyapa rasa sesal dan meminta maaf.
Sejak tuberculosis menyerang saya di bulan Januari lalu, pikiran mengenai
kematian terus melekat dalam benak dari waktu ke waktu. Kadang pikiran tentang kematian muncul dibarengi dengan pandangan mata saya yang mulai mengabur, efek obat keras penenang mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut telah lama bersemayam dalam tubuh yang rentan ini, namun saya masih saja mengelak untuk mengatakan diri sakit hingga kenyataan mesti menampar saya dengan keras—batuk darah tak lagi terelakkan, tubuh saya sudah kalah. Ia nyatanya telah menyerah.
Bukan bermaksud berpanjang lebar untuk bercerita, namun Januari memang
datang dengan rentetan tragedi yang tidak kenal ampun. Batuk darah tadi membuat saya mesti menjalani rawat inap di RSP Rotinsulu, itu pun setelah melalui proses panjang loncat-loncat dari satu faskes ke faskes lain. Seminggu berlalu dengan mengistirahatkan diri yang lemah di rumah pesakitan, akhirnya saya diberi izin pulang oleh dokter karena kondisi sudah mulai membaik. Nahasnya, baru dua hari tidur nyenyak di kamar rumah ... kabar buruk tiba mendadak di telinga: Ayahanda tercinta mesti pergi pamit undur diri dari hingar bingar kehidupan. Lagi-lagi kematian. Lagi-lagi kematian.