Anda di halaman 1dari 43

JERITAN RUH KEPADA RABBNYA

‫َو هللا َي ْد ُعْو ا ِاَلى َد اِر الَّس َالِم َو َيْه ِدى َم ْن َّي َش آُء ِاَلى ِص َر اٍط ُمْس َت ِقْي ٍم‬
“Allah menyeru (manusia) ke Darus Salam (surga), dan
menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus (Islam).” (QS. 10 : 25)

‫َو ُقْل َر ِّب َأْد ِخْلِنى ُم ْد َخ َل ِص ْد ٍق َو َأْخ ِر ْج ِنى ُم ْخ َر َج‬


‫ِص ْد ٍق َو اْج َع ْل ِّلى ِمْن َّلُد ْن َك ُس ْلَط اًن ا َن ِص ْيًر ا‬
Dan katakanlah : “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara
masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar
yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau
kekuasaan yang menolong.” (QS. 17 : 80)

Allah S.W.T. telah menyeru manusia untuk memasuki surga,


yakni suasana hidup dan kehidupan yang penuh kesejukan
kesegaran ketentraman saling kasih sayang tanpa ada
penekanan satu dengan yang lain. Untuk bisa menuju ke sana
(ke surga), maka Allah dengan rahmat dan kasih sayangnya
menurunkan kitab yang tidak ada keraguan dan kebengkokan
dan dikirim Rasul S.A.W. untuk menjelaskan kitab serta
teladan dalam hidup dan kehidupan. Namun, sungguh manusia
itu dzalim lagi kufur terhadap Rabbnya.

Kedzaliman dan kekufuran bukan terletak pada ucapan tetapi


dalam sikap dan perbuatannya. Lisannya berucap bahwa Allah-
lah sembahannya, tetapi sikap perbuatannya meng-Ilahkan
dunia. Lisannya berucap bahwa Qur’an sebagai petunjuk hidup,
tetapi kitab-kitab Yahudi menjadi bacaan dan pegangannya.
Lisannya berucap bahwa Rasulullah Muhammad S.A.W. teladan
hidup dan kehidupannya, tetapi perilaku Yahudi-Nasrani, adat-
istiadat nenek moyang panutan sikap dan perbuatannya dalam
hidup dan kehidupan.

Demikian itu karena manusia terlalu sombong dan melampaui


batas. Dikaruniai modal dasar ruh, rasa, hati, aqal dan nafsu
agar masing-masing tumbuh kembang bebas menuju Robbnya,
malah nafsu dan logika yang ditumbuh suburkan dengan
menekan ruh, sehingga ruh merintih merasa kesakitan tidak
bisa berkomunikasi dengan Robbnya, akibat ulah nafsu dan
logika yang tidak mau kompromi untuk memenuhi kepuasan
tuntutan hidup duniawi.
Jeritan Ruh mengadu kepada Robbnya

Melihat ruh selaku tetesan kesucian-Nya … (Maka apabila Aku


telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud. (QS. Al Hijr (15) : 29) … sedang terinjak-
injak oleh nafsu dan logika, maka sang Ar Rahman dan Ar
Rahiim menyeru kepada ruh agar bermohon kepada-Nya,
dengan susunan bahasa kata sebagaimana firman-Nya pada
QS. 17 : 80 berikut ini.

‫وُقْل َر ِّب َأْد ِخْلِنى ُم ْد َخ َل ِص ْد ٍق َو َأْخ ِر ْج ِنى ُم ْخ َر َج ِص ْد ٍق‬


‫َو اْج َع ْل ِّلى ِم ْن َّلُد ْن َك ُس ْلَط اًن ا َن ِص ْيًر ا‬
Dan katakanlah : “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara
masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar
yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau
kekuasaan yang menolong.” (QS. Al Israa (17) : 80)

Atas jeritan permohonan ruh, akibat terinjak-injak nafsu dan


logika, maka Allah memberikan pertolongan-Nya sebagaimana
firman Allah pada QS. Al Anfaal (8) : 17 berikut:

‫َف َلْم َت ْقُتُلْو ُه ْم َو لِكَّن َهللا َقَت َلُهْم َو َم اَر َم ْي َت ِإْذ َر َم ْي َت َو لِكَّن َهللا َر َم ى‬
‫َو ِلُيْب ِلَى اْلُمْؤ ِم ِنْي َن ِم ْن ُه َب َآلًء َح َس ًن ا ِإَّن َهللا َس ِم ْيٌع َع ِلْي ٌم‬
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan
mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mu’min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal (8) :
17)

Demikianlah Allah, begitu mudah Dia Allah sang Ar Rahman


melimpahkan rahmat karunianya kepada hamba yang
bersungguh-sungguh memohon kepada-Nya. Suatu pertanda
bahwa Allah itu dekat dan sangat dekat dan mudah dihubungi.
Sebagaimana firman-Nya.: “Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah (2) : 186). Namun,
sungguh rahmat Allah mendahului murka Allah, artinya apabila
rahmat pertolongan Allah telah diturunkan tetapi tidak
didayaguna-manfaatkan selaras dengan kehendak-Nya, maka
rahmat itu akan berubah menjadi laknat atau azab.
Sebagaimana firman-Nya pada QS. 17 : 8 berikut ini.

…‫َح ِص ْيًر ا‬ ‫َعَس ى َر ُّب ُك ْم َأْن َي ْر َح َم ُك ْم َو ِإْن ُع ْد ُّت ْم ُع ْد َن ا َو َج َع ْلَن ا َج َه َّن َم ِلْلَك اِفِر ْي َن‬
“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya)
kepadamu, dan sekiranya kamu kembali kepada
(kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami
jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak
beriman”. (QS. Al Israa’ (17) :
Rahmat Terbesar dari Allah S.W.T.

Rahmat terbesar yang Allah turunkan kepada hambanya yang


menjerit merintih meminta pertolongan untuk dikeluarkan dari
tekanan nafsu dan logika adalah berupa kitab petunjuk jalan
lurus untuk jumpa kembali kepada Robb, yakni Al Qu’an. Agar
rahmat tetap menjadi rahmat, maka serba-serbi dalam
berbuat, harus membuka Qur’an untuk menjangkau terbuka
lurus pandangan terbuka pada satu titik (.) yakni Aku Allah.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-


Nya Al-Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan
kebengkokan didalamnya; (QS. Al Kahfi (18) : 1) … Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang
yang berserah diri. (QS. An Nahl (16) : 89). Bagaimana bisa
berpandangan lurus terbuka pada satu titik Allah agar rahmat
tetap menjadi rahmat? Allah hanya bisa dihubungi dengan hati
bersih murni. Hati bersih murni akan terjadi apabila apa yang
dilihat mata dan didengar telinga sama sekali tidak
berpengaruh (putus tali) dalam hati.
Secara rinci ciri-ciri hati bersih murni adalah :

Lapang dada karena tidak terpengaruh oleh apa dan siapa,


kecuali Allah. Laksana sebutir buah kelapa yang terlempar di
tengah laut. Walaupun berada di tengah-tengah gelombang ia
tidak terpengaruh oleh besarnya gelombang lautan kehidupan.
Suasana hati terasa sejuk segar, sejuk karena terlepas dari
panasnya masalah kehidupan di lingkunagn terbuka, dan segar
karena bangkit kembali dari kelayuan setelah memperoleh
siraman air segar dari langit berupa siraman ruhani kalam
Ilaahi.

Walaupun mata kepala melihat fenomena dan telinga


mendengar suara/informasi, namun apa-apa yang dilihat dan
didengar tidak berpengaruh (putus tali hubungan) ke dalam
hati atau tidak dicerna hati tidak menggetarkan hati. Hal ini
didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai omongan yang
tidak selaras dengan Qur’an dan Sunnah Rasul hanya akan
membikin hati menjadi kotor dan busuk. Keyakinannya adalah
bahwa hati hanya untuk Allah, sedangkan Aqal untuk
memikirkan ciptaan Allah dalam rangka ketundukan hati
kepada-Nya.

Berkondisi cukup setimbang sempurna, tampil dengan lemah


lembut. Kondisi demikian merupakan buah hasil dari lepasnya
hati dengan segala yang dilihat mata dan didengar telinga.
Dengan kelemah-lembutan inilah maka akan bersambung
dengan Aku Allah. Tersambungnya hati dengan Allah, maka
akan dirasakan ketenangan. (yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram (tenang) dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tenteram (tenang). (QS. Ar Ra’d (13) : 28).
       
    
Wujud tersambungnya hati dengan Allah, maka segala yang
tidak dari Allah dan Rasul-Nya akan ditolak.

Sifat terpuji tali sambung dengan Allah S.W.T

Tali sambung dengan Allah S.W.T adalah sifat terpuji, artinya


hanya dengan sikap ucap dan perbuatan terpujilah manusia
selaku hamba Allah dapat berhubungan langsung dengan Allah
S.W.T apa yang dimaksud dengan sifat terpuji? Yakni wujud
tampilan ketaatan kepada Allah yaitu segala sikap ucap dan
perilakunya senantiasa selaras dengan kehendak Allah.
Manusia yang demikianlah yang akan menjadi hamba
kecintaan Allah.

Ciri manusia hamba Allah taat atas dasar cinta, maka rahmat
terbesar Allah akan dikaruniakan kepadanya, berupa
pertolongan dalam segala hal, mata dan THTnya adalah mata
dan THTnya Allah. Sebagaimana firman-Nya pada QS. Al Israa’
(17) : 8
          
  

yang telah dikutip di atas, dan Hadits qudsi berikut:

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan


melakukan hal-hal yang sunnat, sehingga ia kusenangi dan Ku-
cintai. Karenanya Aku-lah yang menjadi pendengarannya yang
dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia
melihat, lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan aqal
yang dengannya ia berfikir . apabila ia berdo’a kepada-Ku, Aku
perkenankan do’anya. Apabila ia meiminta sesuatu kepada-Ku
niscaya Aku mengaruniainya, dan apabila ia meminta
pertolongan kepada-Ku, niscaya Aku menolongnya. Ibadah
yang dilakukannya kepada-Ku yang paling Aku senangi ialah
menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya untuk-Ku.”
(HQR. At-Thabrani, dalam Kitab Al-Kabir yang bersumber dari
Abu Umamah)

Memperhatikan ayat Qur’an pada Surah Al Anfaal (8) :17

          
           
 

dan Hadits Qudsi di atas betapa besar rahmat pertolongan


Allah yang diberikan kepada hamba yang taat atas dasar cinta
dengan tampilan akhlaq terpuji. Hamba ini akan mampu
mengetahui segala sesuatu dan berilmu sehat setimbang
pelestari kesetimbangan semesta. Karena mata, THT, aqal
dijadikan sebagai tampilan kehendak Allah. Inilah yang
dinamakan jumpa Allah dalam Asma-Nya. Yang harus
diperhatikan bahwa rahmat bisa jadi berubah menjadi laknat.
Siapa yang terlaknat? Mereka yang pernah menikmati rahmat
tali hubung dengan Allah, namun masih juga menyambungkan
tali hubung dengan apa yang dilihat mata dan apa yang
didengar telinga. Itulah orang yang tidak taat, sebagaimana
Iblis yang terlaknat, karena tidak mau sujud kepada Adam A.S,
akibat terpengaruh oleh penglihatan mata kepala melihat Adam
sebagai garis.

Garis penghalang ruh jumpa Robb

Tantangan yang harus dihadapi ruh untuk dapat kembali


berjumpa robbnya semenjak di dunia ini adalah adanya
kehidupan yang berbentuk dua garis. Kehidupan yang
berbentuk garis pertama adalah kehidupan yang tampaknya
manis dan lezat. Sedangkan kehidupan garis kedua adalah
kehidupan yang tampaknya pedih dan sakit. Kedua kehidupan
yang berbentuk garis ini senantiasa akan menggetarkan hati,
jika hidup mengandalkan THT kepala. Apa yang dilihat mata
dan didengar telinga senantiasa dicerna oleh otak demi
kepentingan isi perut, akibatnya akan menimbulkan gangguan-
gangguan dalam hati. Kehidupan demikan merupakan ujian
bagi manusia, apa tetap kuat-tegar atau semakin melemah-tak
berdaya.
Agar hati terbebas dari gangguan-gangguan kehidupan dua
garis, hingga ruh dapat terlepas bebas terbang mengembara
menjumpai Robbnya, maka harus senantiasa beraktivitas yang
diawali dengan membuka Qur’an dalam rangka
mempertahankan tali hubung dengan Aku Allah. Dengan
aktivitas yang didahului membuka Qur’an membaca sesuatu
dengan Aku Allah maka akan memperoleh tambahan karunia.
Sebab membuka Qur’an dan membaca dengan Aku Allah
berarti membuka memulai menggali hikmah-hikmah yang ada
dibalik garis.

Terbacanya segala hikmah dibalik kehidupan garis berarti


melepaskan ruh untuk bebas terbang mengembara
menjangkau masuk ruang kosong bersama-sama dengan para
malaikat untuk menjemput berita-berita besar dari Ar-Rohman.
Barangsiapa yang hidupnya hanya memandang titik Allah.,
maka ruhnya akan terlepas dari belenggu kehidupan garis, dan
dia senantiasa akan mengembara bebas didampingi seribu
Malaikat. Sebagamiana firman-Nya: “(ingatlah), ketika kamu
memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu deperkenankan-
Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala
bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang
berturut-turut”. (QS. Al Anfaal (8): 9). Berita-berita besar yang
telah diperoleh itu kemudian didayaguna-manfaatkan untuk
merombak kehidupan di lingkungan terbuka.

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya


bergiliran, dimuka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah S.W.T. Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia. (QS. Ar Ra’d (13) :11) Dari hidup berpandangan
garis semata, menuju hidup yang berpandangan titik. Sebab
esensi kehidupan bukan merupakan hamparan garis tebal,
melainkan berpandangan titik. Sebab esensi kehidupan bukan
merupakan hamparan garis tebal, melainkan hamparan titik
yang membentuk garis.
Hanya hidup dengan pandangan titiklah yang akan melahirkan
keilmuan yang mampu menjaga melestarikan kesetimbangan
semesta ini. Ciri hidupnya berpandangan titik adalah aqal dan
konsep keilmuannya senantiasa berdasarkan wahyu atau ilham
yang dijemput oleh ruh yang telah bebas lepas mengembara
menjumpai Rabbnya.

Begitulah ruh selaku titisan kesucian Allah yang telah merasa


ditekan oleh nafsu dan logika maka dia akan menjerit
memohon pertolongan atas ijin-Nya kepada Rabbnya agar
dilepaskan dari belenggu nafsu dan logika. Dan Allah sang Ar-
Rahman sungguh Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, lagi
Maha Mengabulkan do’a hambanya yang sungguh-sungguh
memohon kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

‫َو ِإَذ ا َس َأَلَك ِع َب اِد ى َع ِّن ى َفِإِّن ى َقِر ْيٌب ُأِجْيُب َد ْع َو َة الَّد اِع ِإَذ ا‬
‫َد َع اِن َفْلَي ْس َت ِجْيُبْو ا ِلي َو ْلُيْؤ ِم ُنْو ا ِبي َلَع َّلُهْم َي ْر ُشُد ْو َن‬
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia
berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-
Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. 2 :
186)

‫َو اَّلِذ ْي َن َج اَه ُد ْو ا ِفْي َن ا َلَن ْه ِد َي َّن ُهْم ُسُبَلَن ا َو ِإَّن َهللا َلَمَع اْلُمْح ِس ِنْي َن‬
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-
jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. 29 : 69)

Apakah Orang Yang Meninggal Dunia Mengetahui Ziarah


Orang Yang Hidup?

Orang yang meninggal dunia dapat mengetahui ziarah orang


yang sudah meninggal dunia berdasarkan dalil:
‫الَّس َالُم َع َلْيُك ْم َأْهَل الِّد َياِر ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن َو اْلُم ْس ِلِم يَن َو ِإَّنا ِإْن َش اَء‬
)‫(رواه مسلم‬. ‫ُهَّللا َلَالِح ُقوَن َأْس َأُل َهَّللا َلَنا َو َلُك ُم اْلَع اِفَيَة‬
“Salam sejahtera atas kalian wahai para penghuni kubur dari
orang-orang mukmin dan muslim, sesungguhnya atas
kehendak Allah kami akan bersua dengan kalian. Kami
memohon afiat kepada Allah bagi kami dan bagi kalian.” (HR.
Muslim).

Al-Hafizh Abu Muhammad Abdul-Haqq Al-Asybaily berkata:


“Disebutkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa
menannyakan orang-orang yang masih hidup, bisa mengetahui
perkataan dan perbuatan mereka.” Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫أبو عمر بن عبد البر من حديث ابن عباس عن النبي ما من‬


‫رجل يمر بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه فيسلم عليه إال عرفه‬
‫ورد عليه السالم‬.

Abu Umar bin Abdul-Barr menyebutkan dari hadits Ibnu Abbas,


dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidaklah seseorang
melewati kuburan saudaranya sesame Mukmin yang
dikenalnya, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, melainkan
dia mengenalnya dan membalas salamnya.” (Hadits ini
terdapat di dalam kitab Ibnul Qayyim).

· Apakah Roh Orang Yang Meninggal Dunia Bisa Saling


Bertemu, Berkunjung dan Mengingat?

Roh itu ada dua macam; Roh yang mendapatkan siksaan dan
roh yang mendapat kenikmatan. Roh yang mendapat siksaan
disibukkan oleh siksaan yang menimpanya, sehingga ia tidak
bisa saling berkunjung dan bertemu. Sedangkan roh-roh yang
mendapat kenikmatan mendapat kebebasan dan tidak
dibelenggu, sehingga mereka saling berkunjung dan bertemu
serta mengingatkan apa yang pernah terjadi di dunia dan apa
yang akan dialami para penghuni dunia lainnya. Dan setiap roh
bersama pendampingnya, yang menyerupai amalnya. Allah
berfirman:

‫َو َم ْن ُيِط ِع َهَّللا َو الَّرُسوَل َفُأوَلِئَك َم َع اَّلِذ يَن َأْنَع َم ُهَّللا‬


‫َع َلْيِهْم ِم َن الَّنِبِّييَن َو الِّص ِّد يِقيَن َو الُّش َهَد اِء َو الَّصاِلِح يَن‬
)69 :‫(سورة النساء‬.‫َو َح ُس َن ُأوَلِئَك َرِفيًقا‬.
“Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi oleh
Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-
orang yang shalih, dan mereka itulah teman yang sebaik-
baiknya.” (QS. An-Nisa’: 69).

Kebersamaan ini berlaku di dunia, di alam barzakh dan di hari


pembalasan. Di tiga ala mini seseorang bersama orang lain
yang dicintainya.

Adapun sebab diturunkannya ayat di atas adalah, sebagaimana


diceritakan oleh Jarir, beliau meriwayatkan dari Manshur, dari
Abudh-Dhuha, dari Masruq, dia berkata; “Para shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada beliau,
“Tidak seharusnya kita berpisah dengan engkau di dunia ini.
Jika engkau meninggal, maka engkau akan ditinggikan di atas
kami, sehingga kami tidak bisa melihat engkau.” Maka Allah
menurunkan ayat di atas.

Apakah Roh Orang Yang Hidup Bisa Bertemu Dengan


Roh Orang Yang Sudah Meninggal?

Bukti dan penguat bahwasanya roh orang yang masih hidup


dapat bertemu dengan orang yang sudah meninggal, atau roh
orang yang masih hidup dapat bertemu dengan orang yang
masih hidup adalah firman Allah:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan


(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya,
maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berpikir.” (QS. Az-Zumar: 42).

Dan di antara buktinya, Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata:


“Aku benar-benar ingin bertemu Umar dalam mimpi. Sebab
terakhir aku bertemu dengannya hampir setahun yang lalu.
Maka ketika aku benar-benar bermimpi bertemu dengannya,
dan dia sedang mengusap keringat di dahinya, dia berkata;
“Inilah waktu kosongku. Hampir saja tempat semayamku
berguncang, kalau tidak karena aku bertemu orang yang
penuh belas kasih.”

Perlu diketahui, mimpi itu ada tiga macam:

1. Mimpi yang datangnya dari Allah.


2. Mimpi yang datangnya dari syetan.
3. Mimpi yang datangnya dari bisikan sanubari.

Mimpi yang benar ada beberapa macam, seperti:

1. Semacam ilham yang disusupkan Allah ke dalam hati


hamba. Hal ini berupa bisikan Allah terhadap hamba-Nya
ketika dia tidur, seperti yang dikatakan Ubadah bin Ash-
Shamit, dll.
2. Mimpi yang disusupkan malaikat yang memang sudah
ditugaskan untuk itu.
3. Roh orang yang masih hidup bertemu dengan roh orang
yang sudah meninggal dunia, baik berupa keluarga, rekan
atau siapa pun dia.
4. Roh yang naik ke hadapan Allah lalu Allah berfirman
kepadanya.

Ibnu Qayyim berkata: “Aku diberitahu tidak hanya oleh satu


orang saja yang sebenarnya tidak condong kepada Syaikhul
Islam setelah dia meninggal dunia. Dalam mimpinya itu dia
bertanya tentang beberapa masalah fara’idh yang dianggapnya
rumit, dan juga masalah-masalah lain, yang kemudian dijawab
dengan benar oleh Syaikhul-Islam.

Roh Ataukah Badan yang Mati?


Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama
berkata: “Yang mati itu adalah roh. Dia merasakan mati karena
dia jiwa, dan setiap jiwa akan merasakan mati. Dalilnya:

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran


dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27) “Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa kecuali Wajah Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)

Pendapat kedua berkata: “Roh itu tidak mati, karena dia


diciptakan agar kekal dan yang mati itu adalah badan.
Meenurut mereka, sekiranya roh itu mati, tentu dia tidak akan
merasakan kenikmatan dan siksaan. Dalilnya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di


jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya
dengan mendapat rezki, mereka dalam keadaan gembira
disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka,
dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih
tinggal dibelakang.” (QS. Ali Imran: 169-170)

Pendapat yang benar, kematian jiwa adalah terpisahnya jiwa


dari badan dan keluarnya dari sana. Jika yang dimaksud
kematiannya seperti ini, maka memang ia bisa mati. Tapi jika
yang dimaksudkan bahwa jiwa itu hilang dan lenyap sama
sekali, maka ia tidak mati dengan gambaran ini, tapi ia tetap
kekal dalam kenikmatan atau siksaannya. Nash juga
menjelaskan hal yang seperti ini, hingga Allah mengembalikan
jiwa itu ke badannya.

· Apakah Setelah Roh Berpisah Dari Badan, Ia


Membentuk Rupa Tertentu Sesuai Dengan Gambarannya
Atau Bagaimana Keadaannya Yang Pasti?

Allah telah mensifati roh itu, yang dapat masuk dan keluar,
ditahan, ditidurkan, dikembalikan, dinaikkan ke langit, pintu-
pintunya dibukakan baginya dan ditutup kembali. Dalilnya:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan


hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
(Al-Fajr: 27-30).

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 79).

Dari ayat di atas, dapatlah diketahui bahwasannya Allah telah


menyempurnakan jiwa manusia, sebagaimana dia
menyempurnakan badannya. Dan kesempurnaan badan itu
mengikuti kesempurnaan jiwa. Dari sini dapat diketahui bahwa
suatu jiwa atau roh dapat membentuk rupa tertentu di badan.
Ia berpengaruh dan dapat berpindah dari badan sebagaimana
badan yang juga bisa mempengaruhi dan beralih dari roh
tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan


(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya;
maka dia tahanlah jiwa (orang) yang telah dia tetapkan
kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan.” (Az-Zumar: 42).

Dan Allah memberikan kepada jiwa sifat ditahan dan


dilepaskan, sebagaimana ia diberi sifat dikeluarkan,
dimasukkan, dikembalikan dan disempurnakan. Rasulullah
Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya pandangan orang yang meninggal itu


mengikuti jiwanya ketika dia diwafatkan.” (Ditakhrij Muslim,
Ahmad dan ibnu Majah).

Oleh karena itu, badan yang baik dan yang buruk memperoleh
hasil dari kebaikan dan keburukannya, roh yang baik dan yang
buruk akan memperoleh hasil kebaikan dan keburukan badan.
Sebaimana sabda Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:
‫أن الملك يقبضها فتأخذها المالئكة من يده فيوجد لها كأطيب‬
‫نفخة مسك وجدت على وجه االرض أو كأنتن ! ريح جيفة‬
)‫ (رواه أحمد‬.‫وجدت على وجه األرض‬.

“Sesungguhnya seorang malaikat menahannya, lalu diambil


para malaikat yang lain dari tangannya. Dari roh itu tercium
bau harum seperti hembusan minyak kesturi yang ada di muka
bumi, atau tercium bau busuk seperti bau bangkai yang ada di
muka bumi.” (HR. Ahmad)

· Apakah Roh Dikembalikan Ke Mayat Di Dalam Kubur


Saat Mendapat Pertanyaan?

Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam telah


mencukupkan pembahasan tentang kembalinya roh ke mayat
dalam kuburnya, sehingga tidak perlu lagi pendapat manuia.
Beliau bersabda; “Maka rohnya dikembalikan ke jasadnya. Lalu
ada dua malaikat yang mendatanginya lalu mendudukkan
mayatnya. Dua malaikat bertanya, “siapakah Rabb-mu? .......”
(Hadits ini diriwaytkan oleh imam ahmad, abu daud, an0nasai,
ibnu majah, abu awanah al-isfirainiy didalam shahihnya).

Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kembalinya roh itu


berbeda dengan sebagaimana yang orang tahu, bahwa itu
tidak sebagaimana manusia mempunyai roh selagi masih
hidup, yang membutuhkan makan, minum, dan lain
sebagainya. Akan tetapi itu adalah urusan Allah Ta’ala. Dari
hadits di atas, para ulama menyikapinya berbeda-beda:

1. Pendapat Yang Mengiyakan

Semua Ahlusunnah dan semua golongan sependapat dengan


apa yang terkandung didalam hadits ini secara dhohir.

2. Pendapat Yang Menafikan


Ini adalah pendapatnya Ibnu Hazm, ia berkata bahwa hadtis
tersebut tidak shohih, Al-Minhal bin Amr (salah satu dari
perowy hadits tersebut tidak kuat).

Ahlussunnah memandang pendapat Ibnu Hazm ini dengan


pernyataan, “Perkataannya masih perlu dirinci”. Jika maksud
dari pendapat Ibnu Hazm ini adalah tidak kembali ruh manusia
setelah dicabut nyawanya seperti sedia kala ia masih hidup,
maka ini adalah benar. Namun jika yang dimaksud adalah
sama sekali tidak kembali ruh ke dalam jasad setelah mati itu
adalah berbeda dengan paham Ahlussunnah, dan pendha’ifan
yang beliau katakan ini masih perlu diteliti, (syaikh
mengatakan bahwa akan diperinci pada bab berikutnya). Allah
Ta’ala berfirman:

“Allah Ta’ala memegang jiwa (orang) ketika matinya dan


(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya;
maka dia tahanlah jiwa (orang) yang telah dia tetapkan
kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir.” (Az-Zumar:42).

Menahan jiwa yang telah ditetapkan kematiannya di sini tidak


menafikan dikembalikannya roh ke badan mayat pada saat
kapan pun, yang tidak mengharuskannya kehidupan seperti
kehidupan di dunia. Mayat itu jika rohnya dikembalikan ke
badannya, maka dia mempunyai keadaan pertengahan antara
hidup dan mati. Perhatikan baik-baik, tentu akan
menghilangkan sekian banyak kerumitan dalam masalah ini.

Tentang pengabaran Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam yang


melihat para Nabi pada malan isra’ dan mi’raj, maka sebagian
ahli hadits mengatakan bahwa yang beliau lihat itu adalah roh
dan sesuatu yang menyerupai mereka. Beliau bersabda,
“mereka hidup di sisi rabb mereka.”

Memang ada yang menentang dari pernyataan tersebut dan


mengatakan bahwa “apa yang dilihat beliau itu adalah roh
mereka tanpa badan mereka, karena bisa dipastikan, badan
mereka ada dibumi. Yang dibangkitkan pada hari berbangkit
adalah badan, dan sebelum itu tidak ada kebangkitan badan.
Disamping itu dapat dipastikan bahwa roh Nabi Muhammad
Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam berada di rofuqul a’laa di tingkatan
surga yang paling tinggi bersama roh para Nabi yang lain. Jadi
roh ada disana dan berhubungan dengan badan yang ada di
dalam kubur, ditampakan dan dikaitkan dengannya, sehingga
bisa menjawab salam kepada orang yang mengucapkan salam
kepada beliau, sedang roh beliau ada di rafiqul a’laa.

Tidak ada penafian antara dua hal ini. Sebab keadaan roh tidak
sama dengan keadaan badan. Boleh jadi kita dapatkan dua
jiwa yang serupa dan selaras, saling berdekatan dan
beriringan, meskipun keduanya ada di ujung barat dan timur.
Sementara ada dua jiwa yang saling membenci dan menjauh,
meskipun badan mereka saling berdekatan dan bersenggolan.

· Apa Jawaban Kita Dalam Menghadapi Orang-Orang


Yang Mengingkari Kenikmatan Dan Siksaan Kubur?

Di antara orang-orang yang mengingkari adanya kenikmatan


atau siksaan di dalam kubur adalah orang-orang ateis dan
zindik. Mereka berkata: “Kami pernah membongkar kuburan
dan kami tidak mendapatkan para malaikat, yang buta maupun
yang bisu, yang memukuli mayat dengan alat pemukul besi.”

Sementara rekan mereka dari golongan ahli bid’ah dan orang-


orang sesat berkata; “Setiap hadits yang tidak bisa diterima
akal dan perasaan, menunjukkan kesalahan orang yang
mengatakannya.”

Dalam masalah ini perlu kita ketahui bahwa para rasul tidak
pernah mengabarkan sesuatu yang dianggap mustahil menurut
akal. Pengabaran mereka ada dua macam:

1. Yang diketahui akal dan fitrah.


2. Yang tidak diketahui oleh akal semata, seperti hal-hal gaib
yang mereka kabarkan tentang rincian alam barzakh, hari
akhirat, pahala dan siksa.
Pada dasarnya pengabaran mereka tidak mustahil menurut
akal. Setiap pengabaran yang dianggap mustahil oleh akal,
tidak lepas dari dua keadaan:

1. Boleh jadi pengabaran itu mereka anggap sebagai


pengabaran dusta.
2. Atau akal itu sendiri tak beres, yang merupakan hayalan
yang dikiranya rasional dan jelas.

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran


dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-
orang yang beriman. Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan." (Yunus: 57-58).

Sesuatu yang mustahil tidak akan menyembuhkan, tidak akan


menjadi petunjuk dan rahmat, tidak bisa menciptakan
kegembiraan. Orang yang mengatakan demikian tiada lain di
dalam hatinya tidak ada kebaikan, tidak mantap dalam
berpijak kepada islam dan keadaan yang paling baik, alis orang
tersebut bingung dan ragu-ragu.

· Mengapa Siksa Kubur Tidak Disebutkan Di Dalam Al-


Qur’an Dan Apa Hikmahnya?

Jawaban secara globalnya adalah Karena Allah menurunkan


dua macam wahyu kepada Rasul-Nya dan mewajibkan kepada
hamba-hamba-Nya untuk mengimaninya dan mengamalkan
keduanya, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sebagaimana
firmanya di dalam Al-Qur’an Al-Karim:

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang


Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-
Jum’ah: 2)
Al-Kitab adalah Al-Qur’an dan Al-Hikamah adalah As-Sunnah.
Ini adalah kesepakatan para ulama salaf. Ini berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya aku diberi Al-Kitab dan yang serupa dengannya


besertanya.”

Maka, apa yang disampaikan oleh Rasulullah harus diimani dan


dibenarkan, begitu pula apa yang disampaikan oleh Allah
melalui lisan Rasul-Nya. Adapun kenikmatan dan siksaan di
alam barzakh telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, di
antaranya:

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat


kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah
diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan
sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan
menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah
dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para
Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
"Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa
yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan
terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (Al-
An’am: 93).

Ini merupakan perkataan yang diajukan kepada mereka pada


saat mati. Pengabaran ini ditujukan kepada mereka yang
melakukan kezaliman bahwa mereka akan mendapat balasan
berupa siksaan yang menghinakan. Sekiranya siksa itu
ditangguhkan hingga kehancuran dunia, tentunya tidak
dikatakan; “Di hari ini kalian dibalas.”

· Apa Sebab-Sebab Yang Mendatangkan Siksa Bagi


Penghuni Kubur?

Secara global, orang-orang yang mendapat siksa di alam kubur


dan di akhirat itu disebabkan karena kebodohan mereka
tentang Allah, mengabaikan perintah-Nya, dan melakukan
kedurhakaan kepada-Nya. Begitu pula sebaliknya, Dia tidak
akan menyiksa roh hamba-Nya yang mengenal-Nya,
mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-Nya, begitu pula badanya.

Adapun secara rinci, siksa kubur itu bisa disebabkan oleh


kedurhakaan hati, mata, telinga, mulut, lisan, perut, kemaluan,
tangan, kaki dan seluruh anggota badan. Di antara haditsnya,
sebagaimana yang disampaikan Samurah di dalam Shahih Al-
Bukhari tentang siksa yang ditimpakan kepada seseorang yang
membuat suatu kedustaan hingga mencapai ufuk, siksa yang
disampaikan kepada seseorang yang membaca Al-Qur’an,
kemudian dia tidur pada malam hari dan tidak
mengamalkannya pada siang hari, siksa kepada pemakan riba,
dan siksa-siksa lain seperti yang disaksikan Nabi Shallallhu
‘Alaihi wa Sallam di Barzakh.

· Apa Yang Bisa Menyelamatkan Dari Siksa Kubur?

Secara global, seseorang dapat terhindar dari siksa kubur


dengan cara menghindari semua sebab yang mendatangkan
siksa kubur, yakni meninggalkan semua hal yang dilarang oleh
AllahTa’ala.

Adapun cara yang selayaknya dilakukan oleh seorang muslim


jika ia tidak ingin mendapat siksa kubur ialah dengan cara
menghisab dirinya sebelum tidur, apa saja kerugian dan
keuntungan yang ia dapatkan pada hari itu. Lalu ia perbaharui
dengan bertaubat dengan sebenar-benarnya antara dia dan
Allah, lalu ia tidur dan berjanji untuk tidak mengulangi dosa
yang diperbuatnya di keesokan harinya. Maka jika dia mati,
matinya dalam keadaan bertaubat, dan jika dia bangun, maka
dia sudah siap untuk bekerja karena ajalnya belum tiba,
sehingga dia bisa menghadap Allah dan melakukan apa yang
belum dilakukannya.

Secara rinci, hal ini dapat dijawab dengan beberapa dalil yang
disampaikan oleh RasulullahShallallhu ‘Alaihi wa Sallam:
‫ِرَباُط َيْو ٍم َو َلْيَلٍة َخ ْيٌر ِم ْن ِص َياِم َش ْهٍر َو ِقَياِمِه َو ِإْن َم اَت َجَر ى َع َلْيِه‬
)‫ (مسلم‬. ‫َع َم ُلُه اَّلِذ ي َك اَن َيْع َم ُلُه َو ُأْج ِرَي َع َلْيِه ِرْز ُقُه َو َأِم َن اْلَفَّتاَن‬.

“Menyiapkan tali selama sehari semalam lebih baik daripada


puasa sebulan beserta shalat malamnya. Jika dia meninggal,
maka dia diberi balasan atas amal yang dilaksanakannya,
diberi pahala berupa rezakinya dan dia selamat dari ujian
(kubur).” (HR. Muslim).

Dalam Jami’ At-Tirmidzi disebutkan, bahwa Rasulullah


Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

“Setiap orang yang meninggal disudahi berdasarkan amalnya,


kecuali orang yang meninggal dalam keadaan mempersiapkan
tali kudanya di jalan Allah. Sesungguhnya amalnya
ditumbuhkan baginya hingga hari kiamat dan dia selamat dari
ujian kubur.” (HR. At-Tirmidzi).

‫ َو ُيَر ى َم ْقَع َد ُه‬،‫ َيْغ ِفُر َلُه ِفي َأَّو ِل ُد ْفَعٍة ِم ْن َد ِمِه‬: ‫ِللَّش ِهيِد ِع ْنَد ِهللا ِس ُّت ِخ َص اٍل‬
‫ َو ُيَح َّلى ُح َّلَة‬،‫ َو َيْأَم ُن ِم َن اْلَفَز ِع اَألْك َبِر‬، ‫ َو ُيَج اُر ِم ْن َع َذ اِب اْلَقْبِر‬،‫ِم َن اْلَج َّنِة‬
.‫ َو ُيَش َّفُع ِفي َس ْبِع يَن ِإْنَس اًنا ِم ْن َأَقاِرِبِه‬، ‫ َو ُيَز َّو ُج ِم َن اْلُحوِر اْلِع يِن‬، ‫اِإل يَم اِن‬
)‫(رواه ابن ماجه‬.
“Orang mati syahid mempunyai enam perkara di sisi Allah.
Dosanya diampuni pada percikan darahnya yang pertama, dia
melihat tempat duduknya dari surge, dilindungi dari siksa
kubur, selamat dari ketakutan yang besar, di atas kepalanya
diletakkan mahkota kewibawaan, yaqut baginya lebih baik
daripada dunia dan seisinya, menikah dengan tujuh puluh dua
bidadari, dan dia dapat memintakan syafaat bagi tujuh puluh
kerabatnya.” (HR. Ibnu Majah).

· Apakah Pertanyaan Kubur Ditujukan Kepada Semua


Manusia; Orang Muslim, Munafik Dan Kafir, Ataukah
Hanya Sebagian Di Antara Mereka?
Abu Umar bin Abdil-Barr berkata: “Berbagai atsar
menunjukkan bahwa yang mendapat ujian atau pertanyaan di
dalam kubur hanya tertuju kepada orang muslim dan munafik,
yaitu ahli kitab dan islam yang zhahirnya mengucapkan
syahadat. Sedangkan orang kafir tidak termasuk mereka yang
mendapat pertanyaan.”

Namun Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kebalikan dari


pendapat di atas, sebagaimana firman Allah:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan


Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan
memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27).

Disebutkan di dalam Ash-Shahih bahwa ayat ini turun


sehubungan dengan siksa di dalam kubur, ketika seseorang
ditanya, siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?.

“Maka Sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang


telah diutus Rasul-rasul kepada mereka dan Sesungguhnya
Kami akan menanyai (pula) Rasul-rasul (Kami).” (Al-A’raf: 6).

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan: “Sesungguhnya jika


hamba diletakkan di liang kuburnya dan rekan-rekannya sudah
meninggalkannya, maka dia bisa mendengar suara sandal
mereka.” Dan Al-Bukhari menambah: “Sedangkan orang
munafik dan orang kafir, maka ditanyakan kepadanya; “Apa
yang kamu katakan tentang orang ini? Dia menjawa; “Aku
tidak tahu. Aku mengatakan seperti yang dikatakan orang-
orang. Maka dikatakan kepadanya; “Kamu memang tidak tahu
dan kamu tidak pernah membaca.” Lalu dia dipukul dengan
palu dari besi, sehingga dia menjerit kesakitan yang jeritannya
dapat didengar siapa yang ada dibelakangnya, kecuali jin dan
manusia.”

Tiga dalil di atas menunjukkan bahwasannya pertanyaan yang


diajukan oleh malaikat tertuju kepada orang muslim, munafik
dan kafir. Dan masih banyak dalil yang menunjukkan akan hal
tersebut.
· Apakah Pertanyaan Munkar dan Nakir Hanya Ditujukan
Kepada Umat Ini Juga Ditujukan Kepada Umat-Umat
Lain?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

1. Abu Abdullah At-Tirmidzi berkata: “Pertanyaan hanya


ditujukan kepada mayat dari umat islam secara khusus.
Memang para rasul juga datang kepada umat-umat
sebelum kita, yang membawa risalah kepada mereka. Jika
mereka menolak kedatangan dan keberadaan para rasul
itu, maka para rasul itu memisahkan diri dari mereka, lalu
mereka langsung diberi siksaan di dunia. . .”
2. Abul-Haqq Al-Asybaily dan Al-Qurthuby menyatakan
bahwa pertanyaan kubur ditujukan kepada umat ini dan
juga umat-uamt yang lain.
3. Mengambil posisi netral, seperti Abu Umar bin Adul-Barr.
Dia menyatakan, bahwa di dalam hadits Zaid bin Tsabit
disebutkan dari Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda: “Sesungguhnya umat ini akan diuji di dalam
kuburnya.” Di anatra ulama ada yang berpendapat,
makna ‘Diuji’ manurut lafazh ini berarti hanya ditujukan
kepada umat ini secara khusus. Mereka memperkuatnya
dengan sabda beliau yang lain:“Sesungguhnya umat ini
akan diuji didalam kuburnya.”
4. Golongan lain berkata; “Hadits di atas tidak menunjukkan
kekhususan pertanyaan bagi umat ini semata, tanpa umat
yang lain. Sabda beliau; “Sesunguhnya umat ini,” bisa
dimaksudkan umat manusia, seperti yang disebutkan
dalam firman Allah:

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan


burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.” (Al-An’am: 38).

Setiap jenis binatang disebut umat. Dalam hadits disebutkan:


“Bahwa Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam pernah digigit seekor
semut, lalu beliau memerintahkan untuk membakar satu
perkampungan semut.” Maka Allah menurunkan wahyu, bahwa
karena digigit seekor semut saja beliau membunuh satu umat
semut yang bertasbih kepada Allah. Kalaulah yang
dimaksudkan hadits tersebut, bahwa umat ini adalah umat
Nabi Muhammad saja, tentunya tidak ada penafian pertanyaan
terhadap umat yang lain.

· Apakah Anak-Anak Juga Mendapat Pertanyaan Di


Dalam Kubur?

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, dan ada dua
pendapat yang terfokus di kalangan Imam Ahmad:

Golongan pertama berkata: “Anak-anak akan tetap ditanya di


dalam kubur, karena shalat juga disyari’atkan kepada mereka,
doa bagi mereka dan permohonan agar mereka dilindungi dari
siksa kubur. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah yang
ada di dalam kitab Al-Muwaththa’ bahwa Rasulullah Shallallhu
‘Alaihi wa Sallam pernah menshalati jenazah seorang anak, lalu
Abu Hurairah mendengar Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa
Sallam mengucapkan doa:“Ya Allah, lindungilah ia dari siksa
kubur.”

Golongan kedua berkata: “Pertanyaan hanya ditujukan kepada


orang yang dapat memikirkan siapa rasul, sehingga dia dapat
ditanya apakah dia beriman kepada rasul dan mentaatinya
ataukah tidak? Karena itu ditanyakan kepadanya, “Apa yang
kamu katakan tentang oranga yang diutus di tengah kalia?”
Sekiranya yang ditanya itu seorang anak yang belum baligh,
maka bagaimana mungkin dia diberi pertanyaan seperti itu?
Sekiranya akalnya dikembalikan kepadanya di dalam kubur,
maka dia tidak akan ditanya tentang hal-hal yang tidak
mungkin diketahuinya. Sebab pertanyaan tersebut tidak
bermanfaat baginya.”

Tentang hadits Abu Hurairah, yang dimaksud dengan siksa


kubur untuk anak adalah hukuman yang dijatuhkan
kepadanya, karena dia meninggalkan ketaatan atau karena
meninggalkan hal yang dilarang. Sebab Allah tidak menyiksa
seseorang karena doa yang tidak dilakukannya. Tapi siksa
kubur yang dimaksudkan di sini bisa berarti penderitaan yang
bisa dirasakan orang yang meninggal karena sebab yang lain,
meskipun bukan berupa siksaan dan bukan karena amal yang
dilakukannya. Di antara dasarnya adalah sabda Nabi Shallallhu
‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya orang yang meninggal dunia benar-


benar disiksa karena tengis keluarganya.”

Disiksa di sini artinya dibuat menderita dan tersiksa, bukan


berarti dia disiksa karena dosa atau kesalahan orang lain yang
masih hidup. Karena Allah berfirman:

seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Al-
An’am: 164).

· Apakah Siksa Kubur Itu Terus-Menerus Ataukah


Terputus?

Permasalahan ini dapat dijawab dengan dua jawaban.

 Pertama: Siksaan yang dilakukan terus-menerus, kecuali


yang disebutkan di dalam hadits. Dalilnya: “Kepada
mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Al-
Mukmin: 46). Kekekalan penyiksaan ini disebutkan juga
dalam hadits Samurah yang diriwayatkan Al-Bukhary
tentang mimpi Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam, yang di
dalamnya disebutkan sabda beliau, “Dia melakukan yang
demikian itu hingga hari kiamat.”
 Kedua: Siksaan yang berhenti hingga waktu tertentu dan
setelah itu terputus. Siksaan ini ditimpakan bagi orang
yang melakukan kesalahan ringan, sehingga dia dijatuhi
hukuman sesuai dengan kesalahannya, kemudiaan
siksaannya di neraka diringankan, lalu dibebaskan
darinya.

Siksaan itu dapat terputus disebabkan karena doa, shadaqah,


istighfar, pahala haji atau bacaan yang dilakukan kerabat atau
yang lainnya.

· Dimana Keberadaan Roh Antara Saat Meninggal Hingga


Hari Kiamat?
Para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan roh saat
meninggal hingga hari kiamat. Berikut ini pendapat-pendapat
mereka yang secara ringkas akan kami jelaskan.

1. Roh Berada Di Surga

Pendapat ini dikuatkan berdasarkan firman Allah, “Hai jiwa


yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”(Al-Fajr:
27-30).

Mereka berkata, “Hal ini difirmankan Allah setelah


menyebutkan keluarnya roh dari badan karena kematian, dan
Allah membagi roh-roh ini menjadi tiga maacam:

1. Roh muqarrabin (orang-orang yang didekatkan kepada


Allah), yang berada di dalam surga yang penuh
kenikmatan.
2. Roh ashabul-yamin (golongan kanan), yang dihukumi
dengan islam dan diselamatkan dari siksa.
3. Roh orang-orang yang sesat, yang berada di dalam
neraka jahannam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah


menjadikan ruh mereka dalam bentuk seperti burung berwarna
kehijauan. Mereka mendatangi sungai-sungai surga, makan
dari buah-buahannya, dan tinggal di dalam kindil (lampu) dari
emas di bawah naungan ‘Arasyi.” (Hadis Shahih riwayat
Ahmad, Abu Daud dan Hakim).

Menurut mereka hadits di atas tidak dikhususkan kepada


syuhada’. Mereka berhujjah dengan dalil yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah: “Bahwa roh orang-orang yang berbuat
kebajikan ada di Illiyin, sedangkan roh orang-orang yang
durhaka berada di Sijjin.”

Namun pendapat tersebut dibantah oleh Abu Umar, beliau


mengatakan. “Ini merupakan pendapat yang bertentangan
dengan As-Sunnah, yang tidak bisa disangkal keshahihannya,
yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah
seorang di antara kalian meninggal, maka ditampakkan tempat
duduknya pada pagi dan petang. Jika dia termasuk penghuni
surga, maka dia pun termasuk penghuni surga, dan jika dia
termasuk penghuni neraka, maka dia pun termasuk penghuni
neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Ini tempat dudukmu
hingga Allah membangkitkanmu pada hari kiamat.”

Golongan lain mengatakan, makna hadits di atas berkaitan


dengan para syuhada’ tanpa yang lain. Sebab Al-Qur’an dan
As-Sunnah menunjukkan yang demikian. Sebagaimana firman-
Nya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di


jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezki.” (Ali Imran: 169).

Nash dan atsar yang menyebutkan masalah rezeki bagi para


syuhada’ dan keberadaan roh mereka di surga, semuanya
adalah benar. Hal ini tidak menunjukkan adanya penafian
masuknya roh-roh orang-orang Mukmin ke dalam surga,
apalagi shiddiqin, yang kedudukannya lebih baik daripada
syuhada’. Hal ini tidak diragukan lagi.

2. Roh Para Syuhada’ dan Orang-Orang Mukminin Tidak


Berada di Surga, Tapi Dapat Memakan Buah-Buahnya
dan mencium Keharumannya

Ini merupakan pendapat Mujahid, beliau berhujjah dengan dalil


yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Para syuhada’ berada
di atas aliran sungai di ambang pintu surga di sebuah tenda
berwarna hijau. Rezeki mereka keluar kepada mereka dari
surga setiap pagi dan petang.”

Hal ini tidak menafikan keberadaan mereka di dalam surga.


Sebab sungai itu berasal dari surga, begitu pula rezeki mereka.
Mereka berada di surga meskipun tidak berada di tempat
duduk yang sudah disediakan bagi mereka di surga. Namun
Mujahid menafikan masuk secara sempurna dari semua sisi.

3. Roh Berada di Serambi Kubur


Yang dimaksud keberadaan roh berada di serambi kubur
adalah waktu tertentu dan temporal, pada awal-awal roh itu
memperhatikan kuburnya, sementara dia tetap berada di
tempat yang sudah ditentukan.

Di antara pendapat yang mengatakan bahwa roh itu berada di


serambi kubur adalah Abu Umar bin Abdul Barr. Beliau
berhujjah dengan dalil: “Jika salah seorang di antara kalian
meninggal, maka ditampakkan tempat duduknya pada pagi
dan petang.” Dan hadits-hadits yang berkenaan tentang salam,
mengetahui ziarah orang-orang yang masih hidup.

Tapi, pendapat tersebut ditolak hadits-hadits shahih dan atsar


yang tidak bisa disangkal kebenarannya. Di antara dalilnya
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: (x‫اللهم الرفيق‬
3 ‫“;)األعلى‬Ya Allah Tuhanku, aku pilih al-Rafiq al-A’ala 3x.” (HR.
Bukhari).

Sedangkan hadits yang menjelaskan bahwa roh itu akan


ditampakkannya tempat duduk yang ada di surge maupun
yang ada di neraka, tidak menunjukkan bahwa roh itu berada
di dalam kubur dan tidak pula berada di serambi kubur selama-
lamanya. Akan tetapi roh itu dapat mengawasi dan
berhubungan dengan kubur dan serambinya. Karena keadaan
yang seperti inilah tempat duduknya juga ditampakkan
kepadanya. Dan roh juga mempunyai hubungan dengan badan,
yang jika ada orang muslim mengucapkan salam kepada
mayat, maka Allah mengembalikan roh tersebut kepadanya,
sehingga dia bisa menjawab salam. Dan boleh jadi kecepatan
perpindahan itu seperti sekilas pandangan mata atau hubungan
roh dengan kubur itu seperti kecepatan sinar matahari, tapi
keberadaannya tetap di langit. Hal ini sama halnya bahwa roh
orang yang tidur naik ke atas hingga sampai ke langit ketujuh,
sujud kepada Allah di depan ‘Arsy, lalu dikembalikan lagi ke
badan dalam waktu yang amat singkat.

4. Roh Orang-Orang Mukmin Berada di Sisi Allah

Dalil penguat pendapat ini adalah firman Allah; “Bahkan


mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali
Imran: 169). Dan orang-orang yang seperti ini menguatkan
pendapatnya dengan beberapa hujjah, di antaranya riwayat
Muhammad bin Ishaq Ash-Shagha’y, dari Abu Hurairah, dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Jika
roh sudah keluar dari mayat, maka di dibawa naik ke langit
hingga tiba di langit yang di sana ada Allah Azza wa Jalla. Jika
dia orang yang buruk, maka rohnya naik hingga tiba di langit,
namun pintu-pintu langit tidak dibukakan baginya. Roh itu
dilepasakan dari langit dan kembali ke kubur.” (HR. Ahmad).

Pernyataan di atas tidak menafikan perkataan bahwa mereka


berada di surge. Sebab surge itu pun berada di sisi Sidratul-
Muntaha, semantara surge di sisi Allah. Orang yang
menyatakannya mengira bahwa inilah ungkapan yang paling
pas. Allah mengabarkan bahwa roh para syuhada’ ada di sisi-
Nya, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan
bahwa ia bisa pergi menurut kehendaknya di surge.

5. Roh Orang-Orang Mukmin Berada di Jabiyah dan Roh


Orang-Orang Kafir Berada di Burhut Hadhramaut

Abu Muhammad din Hazm mengatakan, ini merupakan


pernyataan golongan Rafidhah, meskipun tidak tepat seperti
itu, dan juga dinyatakan sebagai Ahlus-Sunnah. Dari Abdullah
bin Amr, dia berkata; “Roh orang-orang mukmin berkumpul di
Jabiyah, sedangkan roh orang-orang kafir berkumpul di tanah
lembab di Hadhramaut yang disebut Burhut.”

Jika yang dimaksudkan Abdullah bin Amr dengan nama Jabiyah


itu adalah permisalan dan penyerupaan, yang artinya roh
orang-orang mukmin berkumpul di suatu tempat yang luas dan
lapang menyerupai jabiyah, kolam yang sangat besar, tempat
yang sangat luas dan harum udaranya, maka hal ini dekat
kepada kebenaran. Tetapi jika yang dimaksudkannya adalah
tempat yang bernama Jabiyah dan bukan tempat yang lain di
bumi, maka hal itu tidak diketahui kecuali hanya sepintas lalu
saja, yang boleh saja berasal dari kisah sebagian Ahli Kitab.

6. Roh Orang-Orang Mukmin Berada di Bumi Tertentu


Pendapat ini berdalil dengan firman Allah: “Dan sungguh telah
Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh
Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu
yang saleh.” (Al-Anbiya’: 105).

Jika pendapat ini dinyatakan untuk menafsiri ayat ini, maka hal
itu merupakan penafsiran yang tidak tepat bagi ayat ini.
Manusia saling berbeda pendapat tentang bumi yang
disebutkan di dakam ayat ini. Sa’id bin Jubair menyebutkan
dari Ibnu Abbas, yang menurutnya adalah bumi surga, dan ini
merupakan pendapat mayoritas mufasir. Ada pula pendapat
lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, maksudnya adalah
dunia yang ditaklukkan Allah bagi umat MuhammadShallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan inilah pendapat yang benar. Yang serupa
dengan ini disebutkan di dalam surah An-Nur; “Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa.” (An-Nur: 55).

Dan masih banyak perbedaan pendapat yang tidak dapat kami


tulis di dalam ringkasan ini. Dan berikut ini akan kami
terangkan pendapat-pendapat yang kuat tentang keberadaan
roh-roh selain Nabi. Karena sudah jelas bahwasannya
keberadaan roh para Nabi itu berbeda-beda tingkatannya. Di
antaranya ada di Illiyin paling tinggi di Al-Mala’ul-A’la,
sebagaimana yang dilihat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pada malam isra’. Adapun roh-roh selain para nabi itu
dapat dibedakan tempat keberadaannya sebagai berikut:

1. Roh-roh yang berada di badan burung berwarna hijau


yang selalu berlalu lalang dan pergi di surga menurut
kehendaknya. Ini adalah roh para syuhada’. Tapi hal itu
tidak berlaku bagi mereka semua. Karena di antara para
syuhada’, ada yang rohnya tertahan sehingga tidak bisa
masuk surga. Hal itu disebabkan karena mereka
mempunyai hutang atau sebab lainnya.
2. Roh yang tertahan di ambang pintu surga seperti yang
disebutkan dalam sebuah hadits, “Aku melihat rekan
kalian tertahan di ambang pintu surga.”
3. Roh yang tertahan di kuburnya, seperti hadits tentang
orang yang mencuri mantel lalu dia mati syahid di
peperangan. Orang-orang pada saat itu berkata, “Selamat
bagi dirinya yang mendapatkan surga.” Lalu Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi diriku yang
di Tangan-Nya, sesungguhnya mantel yang dia ambil itu
menyalakan api di dalam kuburnya.
4. Roh yang berada di pintu surga, seperti hadits yang
disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, “Para syuhada’
berada di atas aliran sungai di pintu surga, dalam tenda
berwarna hijau, rezeki mereka keluar dari surga setiap
pagi dan petang hari.” (HR. Ahmad). Hal ini berbeda
dengan hadits Ja’far bin Abi Thalib yang menyebutkan
bahwa Allah mengganti kedua tangannya dengan dua
bilah sayap, dan dengan sayap itu dia terbang di surga
menurut kehendaknya.
5. Roh yang tertahan di bumi, yang tidak bisa naik ke Al-
Mala’ul-A’la. Ini merupakan roh yang hina dan terikat
dengan bumi. Hal ini terjadi disebabkan karena jiwa orang
tersebut tidak mau mencari ma’rifat tentang Rabb-Nya,
tidak mencinai-Nya, tidak bertaqarrub kepada-Nya, dan
lain-lain.
6. Roh yang berada di dalam tungku api, yaitu rohnya para
pezina, laki-laki maupun wanita.
7. Roh yang berada di sungai darah dan berenang di sana,
yang kemudian dilempari batu setiap kali ia akan keluar
dari sungai darah itu.

Jiwa ini mempunyai empat tempat tinggal, yang setiap tempat


tinggal lebih besar dari sebelumnya:

1. Berada di perut sang ibu, yang sempit, pengap dan gelap,


tiga keadaan yang harus dialami.
2. Tempat tinggal yang membesarkannya, tempatnya
mengerjakan kebaikan dan keburukan, mencari sebab-
sebab kebahagian dan penderitaan.
3. Barzakh yang lebih luas dari tempat tinggal dunia ini dan
lebih besar. Bahkan perbandingan barzakh dengan alam
ini seperti perbandingan alam ini dengan rahim ibu.
4. Tempat tinggal yang kekal abadi, yaitu surga dan neraka.
Setelah itu tidak ada tempat tinggal yang lain.
· Apakah Roh Orang Yang Sudah Meninggal Dapat
Mengambil Manfaat Dari Usaha Orang Yang Masih
Hidup?

Jawabannya; Benar, roh orang yang sudah meninggal dapat


mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup,
dengan dua hal yang sudah disepakati ahlus-sunnah dan
fuqaha’, ahli hadits dan tafsir, yaitu:

1. Sesuatu yang menyebabkan orang yang sudah meninggal


dapat mendapatkan manfaat itu ketika dia masih hidup.
2. Doa orang-orang Muslim bagi dirinya, permohonan
ampunan yang mereka lakukan baginya, shadaqah dan
haji. Tapi ada perbedaan pendapat, apakah yang sampai
kepadanya itu pahala infaq ataukah pahala amal? Menurut
Jumhur, yang sampai kepadanya adalah pahala amal saja.
Tapi menurut sebagian Madzham Hanafi, yang sampai
kepadanya adalah pahala infaq.

Menurut mazdhab Imam Ahmad dan sebagian rekan Abu


Hanifah, bahwa ibadah fisik, seperti shalat, puasa, membaca
Al-Qur’an dan dzikir sampai kepada ahli kubur. Imam Ahmad
menetapkan hal ini seperti yang disebutkan dalam riwayat
Muhammad bin Yahya Al-Kahlal, dia berkata, “Abu Abdullah
pernah ditanya, “Seseorang melakukan suatu kebaikan, berupa
shalat atau shadaqah atau lainnya. Lalu dia membagi
separohnya untuk ayah dan ibunya. Bagaimana hal ini?” Dia
menjawab; “Aku juga berharap seperti itu.” Atau dia berkata;
“Shadaqah atau apa pun bisa sampai kepada orang yang sudah
meninggal.”

Sedangkan yang mashur dari madzhab Syafi’i dan Mali, hal itu
tidak sampai kepada orang yang meninggal.

Sebagian ahli bid’ah dari kalangan teolog mengatakan, bahwa


tidak ada sesuatu pun yang sampai kepada orang yang sudah
meninggal, tidak pula doa atau apa pun.

Adapun dalil tentang manfaat yang bisa diambil orang yang


sudah meninggal karena sebab tertentu semasa ia masih hidup
(menurut golongan orang-orang yang menganggap pahala
amal yang masih hidup sampai kepada orang yang sudah
meninggal) ialah:

:‫ َقاَل « إذا مات اإلنسان انقطع عمله إال من ثالث‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا‬
)1631 :‫ أو ولد صالح يدعو له » (رواه مسلم‬،‫صدقة جارية أو علم ينتفع به‬.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda; “Apabila anak Adam
mati, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga
perkara:Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak
sholeh yang mendoakan dia. (HR. Muslim).

Di dalam shahih Muslim juga disebutkan dari haduts Jarir bin


Abdullah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:

‫َم ْن َس َّن ِفى اِإل ْس َالِم ُس َّنًة َحَس َنًة َفَلُه َأْج ُرَها َو َأْج ُر َم ْن َع ِمَل ِبَها َبْع َد ُه ِم ْن َغْيِر َأْن َيْنُقَص ِم ْن ُأُجوِرِهْم َش ْى ٌء‬
‫َو َم ْن َس َّن ِفى اِإل ْس َالِم ُس َّنًة َس ِّيَئًة َك اَن َع َلْيِه ِوْز ُرَها َو ِوْز ُر َم ْن َع ِمَل ِبَها ِم ْن َبْع ِدِه ِم ْن َغْيِر َأْن َيْنُقَص ِم ْن‬
)‫ (رواه مسلم‬. ‫َأْو َز اِر ِهْم َش ْى ٌء‬.

“Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang baik dalam


islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya setelah dia meninggal dunia, tanpa dikurangi
sedikit pun dari pahala mereka. Dan barangsiapa mengadakan
kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia menanggung
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia
meninggal dunia, tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa
mereka.” (HR. Muslim).

Orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan


manfaat dari selain sebab-sebab yang berasal dari dirinya,
yang dalil-dalilnya disebutkan di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah,
ijma’ dan kaidah syari’at.

1. Doa Orang-Orang Muslim

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang


datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-
saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(Al-Hasyr: 10).

Allah memuji mereka karena ampunan yang mereka mohonkan


bagi orang-orang Mukmin sebelum mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah meninggal itu
dapat mendapatkan manfaat dari ampunan yang dimohonkan
orang-orang hidup.

2. Pahala Shadaqah

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Aisyah Radhiyallahu


‘Anha, bahwa ada seorang laki-laki yang menemui Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata; “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak dan belum
sempat berwasiat. Aku menduga sekiranya ibu bisa bicara,
tentu dia akan bershadaqah. Apakah dia mendapatkan pahala
sekiranya aku mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya?”
Beliau menjawab, “Ya.”

Dan di dalam shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah


Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata; “Sesungguhnya
ayahku meninggal dunia dan dia meninggalkan sejumlah harta,
namun tidak sempat berwasiat. Maka apakah cukup berguna
baginya jika aku mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya?”
Beliau menjawab; “Ya.”

3. Pahala Puasa

Tentang sampainya pahala puasa kepada orang yang sudah


meninggal, disebutkan di dalamAsh-Shahihain, dari Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda; “Barangsiapa meninggal dunia dan dia masih
mempunyai tanggungan puasa, maka walinya berpuasa atas
nama dirinya.”

4. Pahala Haji
Tentang sampainya pahala puasa kepada orang yang sudah
meninggal, disebutkan di dalamAsh-Shahih Al-Bukhary, dari
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa ada seorang wanita
dari Juhainah yang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, seraya berkata; “Ibuku pernah bernadzar untuk
menunaikan haji, namun dia belum sempat menunaikannya
hingga dia meninggal. Maka apakah aku harus menunaikan haji
atas nama dirinya?” Beliau bersabda; “Tunaikanlah haji atas
nama dirinya. Apa menurut pendapatmu sekiranya ibumu
mempunyai hutang, apakah engkau akan melunasinya?
Penuhilah oleh kalian terhadap Allah, karena Allah lebih berhak
untuk dipenuhi.”

Semua orang Muslim sepakat bahwa melunasi hutang


semacam ini menggugurkan tanggungan terhadap hutangnya
itu. Hutang orang yang meninggal ini juga bisa dilunasi orang
lain atau yang bukan termasuk ahli warisnya, sebagaimana
yang ditunjukkan hadits Abu Qatadah, bahwa dia pernah
melunasi hutang seseorang yang sudah meninggal sebanyak
dua dinar. Setelah hutang itu dilunasi, maka Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda; “Sekarang kulitnya terasa dingin
olehnya.”

· Apakah Roh Itu Lama Ataukah Baru Dan Makhluk?

Tidak ada perbedaan di kalangan orang-orang Muslim bahwa


roh-roh pada diri Adam, anak keturunannya, Isa dan siapa
pun, semua adalah makhluk Allah yang diciptakan,
disempurnakan, diadakan, dibentuk, lalu dikaitkan dengan diri-
Nya. Sebagaimana Dia juga mengaitkan semua makhluk
kepada diri-Nya. Firman Allah:

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan


apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.”
(Al-Jatsiyah: 13).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Roh Adam adalah


makhluk yang diciptakan. Begitulah kesepakatan orang-orang
salaf dari umat ini, para imam dan ahlus-sunnah.”
Di sini ada satu permasalahan, yaitu tentang roh Isa. Orang-
orang Jahmiyah berkata; “Isa adalah roh Allah dan kalimat-
Nya. Hanya saja kalimat-Nya adalah makhluk.” Sedangkan
orang-orang Nasrani berkata; “Isa adalah roh Allah dan
kalimat-Nya yang berasal dari dzat-Nya, seperti yang
dikatakan tentang sobekan jain yang berasal dari lembaran
kain utuh.”

Ibnu Taimiyah berkata; “Isa menjadi ada karena ada kalimat,


dan bukan Isa itu sendiri yang berupa kalimat. Kalimat adalah
firman Allah, yaitu kun (jadilah).”

Firman Allah, “Roh dari-Nya,” artinya siapa pun yang mendapat


perintah-Nya, maka ada roh di dalamnya. Hal ini seperti firman
Allah; “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di
langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat)
daripada-Nya.” (Al-Jatsiyah: 13).

Tafsir roh Allah adalah kalimat Allah yang diciptakan-Nya,


seperti sebutan hamba Allah, langit Allah, bumi Allah. Allah
telah menegaskan bahwa roh Al-Masih adalah makhluk.

· Manakah Yang Lebih Dahulu Diciptakan, Roh Ataukah


Badan?

Di sini ada dua pendapat yang berkembang di kalangan


manusia, yaitu:

1. Roh itu diciptakan terlebih dahulu dari pada badan.

Yang berpegang pada pendapat ini adalah Muhammad bin


Nashr Al-Marwazy dan Abu Muhammad bin Hazm. Ibnu Hazm
mengatakan bahwa hal ini merupakan ijma’. Adapun bagi
mereka yang berpendapat bahwa roh itu lebih dahulu
diciptakan daripada badan, berhujjah dengan firman Allah”

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu


Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para
Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun
bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang
bersujud. (Al-A’raf: 11).
Ayat ini mengandung pengertian bahwa roh diciptakan sebelum
ada perintah Allah pada para malaikat agar bersujud kepada
Adam. Sebagaimana yang kita ketahui secara pasti, badan kita
ada setelah itu. Dengan begitu waktu itu kita masih berupa
roh. Hal ini juga ditunjukan pada firman Allah:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan


anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf:
172).

Selain firman Allah di atas, kelompok yang berpendapat bahwa


roh itu diciptakan terlebih dahulu daripada badan berhujjah
dengan hadits nabi yang diriwatkan oleh Amr bin Abasah, dia
berkata; “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda;“Sesungguh-nya Allah menciptakan roh-
roh hamba sebelum hamba-hamba itu ada sejak dua ribu
tahun. Selagi roh-roh itu saling mengenal, maka dia akan
bersatu, dan selagi saling mengingkari, maka ia akan
berselisih.”

2. Badan itu diciptakan terlebih dahulu dari pada badan.

Bagi mereka yang berpendapat demikian berkata; “Penciptaan


bapak manusia dan asal mereka memang begitu. Allah
mengutus Jibril untuk membuat kepalan-kepalan tanah, diaduk
dan dicampur hingga menjadi tanah liat, kemudian
membentuknya, lalu meniupkan roh ke tanah liat itu setelah
membentuknya. . .”

Di dalam hadits Abu Hurairah disebutkan tentang penciptaan


alam, terdapat pengabaran tentang penciptaan jenis-jenis
alam, dan penciptaan Adam ditangguhkan hingga hari jum’at.
Sekira-nya roh itu diciptakan sebelum badan, tentunya roh itu
termasuk bagian alam yang diciptakan-Nya selama enam hari.
Karena tidak ada pengabaran tentang penciptaan roh itu pada
enam hari itu, maka dapat diketahui bahwa penciptaan roh
mengikuti penciptaan keturunan.

· Apakah Hakikat Jiwa Itu?

Permasalahan hakikat jiwa ini banyak diperselisihkan oleh


berbagai golongan, di antaranya ada yang berpendapat:

1. Abi Al-Hasan Al-Asy’ary berkata di dalam Maqalat-nya;


“Manusia saling berbeda pendapat tentang roh, jiwa dan
kehidupan. Apakah roh itu kehidupan atau bukan? Apakah
roh itu fisik atau bukan? An-Nazham mengatakan bahwa
roh adalah fisik dan juga jiwa. Menurutnya, roh itu hidup
sendiri dan dia mengingkari jika dikatakan bahwa
kehidupan dan kekuatan merupakan makna diluar orang
yang hidup dan kuat. Sementara yang lain berpendapat,
bahwa roh itu adalah kefanaan.
2. Ja’far bin Harb berkata; “Kami tidak melihat roh itu
sebagai substansi atau kefanaan. Mereka beralasan
dengan firman Allah. “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85). Sementara Allah tidak
mengabarkan apa yang dimaksud-kan dengan roh ini,
Ja’far menetapkan bahwa kehidupan ini bukan roh, namun
menetapkan kehidupan ini sebagai kefanaan.
3. Abu Muhammad bin Hazm berkata; “Para pemeluk agama
islam dan agama-agama lain yang mengakui kebangkitan
berpendapat bahwa jiwa adalah fisik yang panjang, lebar
dan dalam, mengambil tempat di badan, mengarahkan
dan mengatur badan. Dan inilah yang memang kami
katakan. Jiwa dan roh merupakan dua nama yang
syinonim untuk satu makna dan memang maknanya
satu.”

Adapun pendapat yang benar dalam masalah ini adalah


sebagaimana yang dikatakan Ar-Razy; “Bahwa manusia
merupakan ungkapan tentang fisik yang dikhususkan dan ada
di dalam badan ini, maka orang-orang yang mengatakan hal ini
saling berbeda pendapat dalam penetapan spesifikasi fisik ini,
di antaranya:

1. Ungkapan tentang empat macam komponen atau


campuran, yang kemudian mewujudakn badan ini.
2. Maksudnya adalah darah.
3. Roh yang lembut dan muncul di sisi kiri dari hati, dan
mengakses sel-sel keseluruh anggota badan.
4. Roh yang naik di dalam hati ke otak, yang kemudian
membentuk proses yang selaras untuk menerima
kekuasaan menghafal, berfikir dan mengingat.
5. Merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan di dalam hati.
6. Fisik yang berbada dalam hakikatnya dengan badan yang
dapat diraba ini, yang merupakan fisik yang bersifat
cahaya, tinggi, ringan, hidup, bergerak, menyebar di
setiap anggota badan, berjalan di dalamnya seperti aliran
air dalam saluran dan seperti aliran minyak dalam saluran
dan seperti aliran minyak dalam zaitun dan api dalam
bara. Selagi anggota badan ini masih bisa menerima
pengaruh yang muncul dari fisik yang lembut itu, maka
fisik itu tetap ada pada anggota-anggota badan ini,
sehingga ia merasakan pengaruhnya yang berupa rasa,
gerakan dan kehendak.

Jika anggota-anggota ini rusak karena didominasi komponen


yang menekannya dan tidak dapat menerima pengaruh itu,
maka roh berpisah dengan badan dan beralih ke alam roh. Dan
inilah pendapat yang benar sedangkan yang batil, dan hal ini
ditunjukkan Al-Kitab, As-Sunnah dan ijma’ shahabat serta
bukti-bukti akal dan fitrah. Dan berikut ini dalil-dalilnya:

1. “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan


(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya;
Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditetapkan.” (Az-Zumar: 42).

Di dalam ayat ini terkandung tiga dalil:

1. Pengabaran tentang dipegangnya jiwa.


2. Pengabaran tentang ditahannya jiwa.
3. Pengabaran tentang dilepaskannya jiwa.

2. “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang


membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah
diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan
sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan
menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah
dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para
Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
"Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa
yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan
terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya. Dan
Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri
sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.” (Al-An’am:
93-94).

Di dalam ayat ini terdapat empat dalil:

1. Para malaikat memebentangkan tangan untuk mengambil


jiwa.
2. Jiwa itu diberi sifat keluar dan masuk.
3. Pengabaran tentang siksaan yang dijatuhkan kepada jiwa
pada hari itu.
4. Pengabaran tentang kedatangan jiwa itu kehadapan Rabb-
nya.

4. “Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan


Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari,
kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari
untuk disempurnakan umur(mu) yang telah
ditentukan[481], kemudian kepada Allah-lah kamu
kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang
dahulu kamu kerjakan. Dan Dialah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan
diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga,
sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang
di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat
Kami, dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan
kewajibannya.” (Al-An’am: 60-61).
        
         
         
        
    

Di dalam ayat ini terdapat tiga dalil:

1. Pengabaran tentang ditidurkannya jiwa pada malam hari.


2. Jiwa itu dikembalikan ke badannya pada siang hari.
3. Para malaikat mewafatkannya jika sudah tiba saat
kematian.

4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; “Roh para


syuhada’ berada di dalam seekor burung berwarna hijau yang
pergi ke surga menurut kehendaknya, lalu kembali ke pelita-
pelita menggantung di ‘Arsy, lalu Rabb-mu menampakkan diri
kepada mereka dengan suatu penampakan. Allah bertanya;
“Apa yang kalian kehendaki?” Dan seterusnya yang sudah
disebutkan di atas.

Di dalam hadits ini terkandung enam dalil:

1. Keberadaan roh yang ditempatkan di dalam seekor


burung.
2. Ia dapat pergi dan berlalu lalang di surga menurut
kehendaknya.
3. Memakan dari buah-buahan surga dan meminum dari air
sungainya.
4. Kembali ke pelita-pelita yang menjadi tempat tinggalnya.
5. Allah berdialog dengan mereka, bertanya dan mereka pun
menjawabnya.
6. Roh itu meminta untuk dapat kembali ke dunia.

Jika ada yang bertanya; “Ini semua merupakan sifat pada


burung dan bukan sifat roh.” Maka dapat dijawab; Roh yang
ada dalam burung itu merupakan tujuan. Berdasarkan riwayat
yang dikuatkan Abu Umar, yaitu sabda beliau, “Roh para
syuhada’ seperti burung.” Sudah cukup menjawab pertanyaan
ini secara tuntas.

Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang disebutkan oleh


penulis dalam menjawab pertanyaan di atas, namun kami
hanya dapat menulisnya empat dalil dan itu sudah cukup untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Dan adapun mereka yang
menentang jawaban di atas, berhujjah dengan beberapa bukti
yang tidak dapat kami tulis, karena di sana banyak sekali
pertentangan dan kami anjurkan bagi pembaca untuk
membaca sendiri pada bukunya.

· Apakah Jiwa dan Roh Itu Sesuatu Yang Satu Ataukah


Dua Sesuatu Yang Saling Berubah-Ubah?

Jumhur ulama berpendapat bahwa apa yang dinamakan


dengan nama keduanya adalah satu. Dan ada pula yang
berpendapat bahwa keduanya saling berubah-ubah.

Seorang penyair beranggapan bahwa jiwa adalah badan,


sebagaimana dikatakan di dalam syairnya;
Kudengar Abu Tamim menyampaikan seruan
Mata Al-Mundzir masuk ke anak-anak mereka

Adapun Ibnu Taimiyah sendiri mengatakan bahwa makna jiwa


di sini tidak seperti yang dikatakan penyair ini. Jiwa di sini
adalah roh. Pengaitan kepada mata ini merupakan pemekaran
yang terjadi karena lewat pandangan orang yang hendak
menimpakan musibah. Dan kami katakan bahwa kata an-nafsu
(jiwa) lebih banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dengan
pengertian dzat, seperti firman-Nya;

“Maka apabila kalian memasuki rumah-rumah ini, hendaklah


kalian memberi salam kepada diri kalian sendiri.” (An-Nur: 61)

“(Ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri datang untuk


membela dirinya sendiri.” (An-Nahl: 111). “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Al-
Muddatstsir: 38).
Dan jiwa juga dapat diartikan roh itu sendiri, seperti firman-
Nya;

 “Wahai jiwa yang tenang.” (Al-Fajr: 27).


 “Keluarkanlah jiwa kalian.” (Al-An’am: 93).
 “Dan mencegah jiwa dari hawa nafsu.” (An-Nazi’at: 40).
 “Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada
kejahatan.” (Yusuf: 53).

Jadi, roh tidak dapat diartikan badan, bukan karena


kesendiriannya dan tidak pula bersama jiwa. Perbedaan antara
roh dengan jiwa merupakan perbedaan dalam sifat dan bukan
dalam dzat. Darah pun disebut roh karena keluarnya darah
dalam ukuran yang banyak akan disertai dengan kematian,
yang mengharuskan keluarnya jiwa. Hidup pun tidak akan
sempurna tanpa keberadaan darah. Sebagaimana hidup tidak
akan sempurna tanpa keberadaan jiwa.

Adapun roh yang ditahan dan dicabut adalah satu roh, yaitu
jiwa. Sedangkan roh yang diberikan Allah kepada wali-Nya,
yaitu berupa pertolongan, berbeda dengan roh yang
dimaksudkan, sebagaimana firman-Nya;

“Meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan


dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al-Mujadilah
58 : 22).
          
        
         
           
            
 

Begitu pula roh, yang dengan roh-Nya Allah menguatkan Isa


putra Maryam, sebagaimana firman-Nya;

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai Isa putra Maryam,


ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu aku
menguatkan kamu dengan Ruhul qudus.” (Al-Maidah: 110).
Begitu pula roh yang diberikan kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, yang berbeda
dengan roh yang di badan.

· Apakah Jiwa Itu Satu Ataukah Tiga?

Di antara manusia ada yang menyatakan bahwa jiwa manusia


ada tiga, yaitu; Jiwa yang tenang, jiwa yang menyesali diri
sendiri dan jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan.
Mereka yang menyatakan hal demikian berdalil dengan firman
Allah;

 “Wahai jiwa yang tenang.” (Al-Fajr: 27).


 “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Al-
Qiyamah: 1-2).
 “Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada
kejahatan.” (Yusuf: 53).

Yang pasti jiwa itu adalah satu, namun memiliki beberapa sifat.
Setiap sifat disebut dengan satu nama yang disesuaikan
dengannya. Di antara sifat itu adalah Jiwa yang
muthma’innah.Penyebutan sifat yang seperti ini dikarenakan
pertimbangan ketenangan-nya yang menuju kapada Rabb-nya
berkat ubudiyah, kecintaan, tawakal, kepasrahan dan ridho
kepada-Nya.Thuma’ninah kepada Allah merupakan hakikat
yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba-Nya, lalu Allah
menghimpun hati itu dan mengembalikan hati yang hendak
lepas bebas sehingga kembali kepada-Nya. Thuma’ninah yang
hakiki tidak bisa didapatkan kecuali dengan kembali kepada
Allah dan mengingat-Nya. Sebagaimana firman-Nya;

orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi )Yaitu(


tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
.mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d 13: 28)

          
   
          

Anda mungkin juga menyukai