Anda di halaman 1dari 27

Nama : AFRIYANTO

NIM : 042390221
UPBJJ : 15 PANGKALPINANG
Program Studi : S-1 Ilmu Adminstrasi Negara
Mata Kuliah : Aaministrasi Pemerintah Daerah

TUGAS 3

Untuk tugas rutorial 3, anda diminta untuk membuat tulisan dengan tema: "Analisa Pelayananan Publik
dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Good Governance".
Tugas ini disesuaikan dengan rumusan capaian pembelajaran umum yang dinyatakan dalam BMP
ADPU4333 Administrasi Keuangan.
Beberapa ketentuan dalam tulisan ini adalah:
- Tulisan berbentuk makalah
- Tentukan satu pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) sebagai studi kasus.
- Pelajari terlebih dahulu RMP ADPU 4440 Administrasi Pemerintahan Daerah, Materi 7, Modul 9.

Minimal isi makalah meliputi hal-hal sebagai berikut:


1. Bab 1 Pendahuluan: Berisi mengenai permasalahan dalam praktik pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang anda pilih sebagai studi kasus.
(permasalahan dapat permasalahan positif atau permasalahan negative)
2. Bab 2 Kajian Pustaka: Berisi mengenai:
2.1 Kajian teori mengenai Pemerintahan Daerah (anda dapat menggunakan BMP atau
teori diluar BMP)
2.2 Kajian Teori/Konsep Pengawasan Pemerintahan Daerah
2.3 Kajian Good Governance
3. Bab 3 Pembahasan: Berisi mengenai analisis anda. Dalam pembahasan ini, anda diminta untuk
menganlisa praktek layanan publik dari pemerintah daerah yang anda pilih sebagai studi kasus, lalu
bandingkan dengan terori/konsep pada hab 2.
4. Bab 4 Kesimpulan Berisi mengenai hasil analisis anda, yaitu apakah praktek pelayanan publik yang
anda pilih telah sesuai dengan ketentuan, ataukah kurang sesuai dengan ketentuan.
5. Daftar Pustaka
Kriteria penilaian dalam tugas ini adalah:
- Isi dan format makalah disusun sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan
- Pergunakan BMP, teori dari sumber lain, materi pengayaan, dan prinsip-prinsip Good
Governance.
- Terdapat praktek pengawasan daerah suatu pemerintah daerah sebagai studi kasus (dapat diambil
dari berbagai sumber, dengan mencantumkan sumbernya).
- Keterkaitan yang runut dan logis antar setiap bab dalam makalah Mencantumkan daftar pustaka
- Copy paste tidak akan diberikan penilaian.
Selamat mengerjakan tugas, perhatikan batas waktu pengiriman tugas, pastikan bahwa tugas anda
sudah tersubmitted, dan file tugas dalam bentuk doc/docx hanya diunggah pada tempat unggah tugas
pada Tuton ini.

Salam sukses

>>>>000>>>>
ANALISA PELAYANAN PUBLIK DALAM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DERAH
DALAM KERANGKA GOOD GOVERNANCE
Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Administrasi Pemerintah Daerah

Oleh :
NAMA : AFRIYANTO
NIM : 042390221
UPBJJ : 15 PANGKALPINANG

PROGRAM STUDI ILMU ADMINTRASI NEGARA


UNIVERSITAS TERBUKA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

Pencanangan otonomi daerah tentu tidak demikian saja memenuhi keinginan. daerah.
Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung pada pemerintah daerah, yaitu DPRD, kepala daerah
dan perangkat daerah serta masyarakatnya untuk berkerja keras, terampil, disiplin, dan berperilaku dan
atau sesuai dengan nilai, norma dan moral, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Kebijakan otonomi daerah yang sejak awal tahun 2001, memang bisa dilihat sebagai bagian dari
suatu proses perubahan. Akan tetapi bila proses perubahan tersebut ditumpukan hanya pada kebijakan
otonomi daerah, khususnya yang termuat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, direvisi
dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan direvisi lagi dengan UU No. 12 Tahun 2008, maka demokrasi tidak
akan pernah terwujud. Setiap kebijakan elit politik, masih sangat mungkin menyisakan kepentingan
yang berlawanan dengan kepentingan demokrasi dan keadilan.

Partisipasi masyarakat di dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik merupakan hal
penting sebagai cermin asas demokrasi di suatu negara. Hal ini menjadi sangat tepat ketika partisipasi
publik kemudian diangkat menjadi salah satu prinsip yang harus dijalankan oleh pemerintah dalam
upaya mewujudkan good governance (kepemerintahan yang baik). Prinsip partisipasi dalam upaya
mewujudkangood governance yang dilakukan melalui pelayanan publik sangat sejalan dengan
pandangan baru yang berkembang di dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan cara melihat
masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan (customer) melainkan sebagai warga negara yang memiliki
negara sekaligus pemerintahan yang ada di dalamnya (owner).

Pentingnya partisipasi publik juga memperoleh momentum yang tepat seiring dengan
munculnya era otonomi daerah di Indonesia yang memberikan kuleluasaan yang lebih besar kepada
daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh
masyarakat.

Praktek good governance juga mensyaratkan adanya transparansi dalam proses.


penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Transparansi merupakan konsep yang sangat
penting dan menjadi semakin penting sejalan dengan semakin kuatnya keinginan untuk
mengembangkan praktek good governance.

Dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengetahui berbagai informasi
mengenai penyelenggaraan pemerintahan, maka dapat mempermudah upaya masyarakat dalam menilai
keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan publik. Masyarakat secara mudah dapat menentukan
apakah akan memberikan dukungan kepada pemerintah, atau sebaliknya, kritikan dan protes yang
dilakukan agar pemerintah lebih berpihak kepada kepentingan publik. Lebih dari itu, hak untuk
memperoleh informasi adalah hak asasi dari setiap warga negara agar dapat melakukan penilaian
terhadap kinerja pemerintah secara tepat. Transparansi juga memiliki keterkaitan dengan akuntabilitas
publik. Untuk menciptakangood governanceyang salah satunya ditunjukkan dengan sistem pelayanan
birokrasi pemerintah yang akuntabel, kesadaran di antara para pegawai pemerintah mengenai
pentingnya merubah citra pelayanan publik sangat diperlukan. Akuntabilitas (accountability) adalah
suatu derajat yang menunjukkan tanggungjawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik
yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah. Terselenggaranyagood governancemerupakan prasyarat
utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara.
Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem partisipasi, transparansi
dan akuntabilitas yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten
Magelang dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab.
Adapula aturan yang berupa peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah rangka
mencapaigood governancedi Kabupaten Magelang yaitu Peraturan Bupati Magelang Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, serta Tata Kerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Magelang.
BAB 2
KAJIAN PUTAKA

2.1 Kajian Pemerintah Daerah


Dasar Pembentukan Pemerintahan Daerah di Indonesia

A. PEMERINTAHAN DAERAH

Dasar pembentukan pemerintahan daerah adalah UUD 1945. Sebelum diamendemen, ketentuan yang
mengatur pemerintahan daerah adalah Bab VI Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Pasal
ini berbunyi sebagai berikut.

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak hak asal usul dalam
daerah yang bersifat istimewa.

Inti Pasal 18 tersebut adalah susunan pemerintahan negara Indonesia tidak hanya terdiri atas
pemerintahan pusat, tapi juga terdapat pemerintahan daerah yang terdiri atas daerah besar dan daerah
kecil. Yang dimaksud dengan daerah tersebut adalah daerah otonom, bukan wilayah administrasi dan
bukan instansi vertikal. Daerah otonom tersebut, baik yang berbentuk daerah besar maupun daerah
kecil, harus memperhatikan dua hal: 1) dasar permusyawaratan dan 2) hak asal usul dalam daerah-
daerah tertentu yang bersifat istimewa. Maksud harus memperhatikan dasar permusyawaratan adalah
pemerintahan daerah harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya, yaitu adanya permusyawaratan
dalam council/dewan rakyat daerah, sedangkan yang dimaksud dengan harus memperhatikan hak asal
usul dalam daerah-daerah tertentu yang bersifat istimewa adalah daerah otonom yang dibentuk harus
memperhatikan dua daerah yang pada zaman Belanda diakui sebagai daerah yang berpemerintahan
sendiri berdasarkan hukum adat. Dua daerah tersebut adalah zelfbesturende lanschappen atau daerah
swapraja dan kesatuan masyarakat hukum pribumi; volksgemeenschappen atau
zelfstandigemenschappen, seperti desa, nagari, marga, dan sebagainya (Manan, 1994).

Perlu diketahui bahwa pada zaman Belanda, terdapat banyak daerah swapraja yang relatif otonom
yang diperintah secara tidak langsung oleh Belanda. Daerah ini di bawah pemerintahan sultan atau raja
berdasarkan hukum adat masing-masing Daerah-daerah ini sebelum ditundukkan Belanda adalah
negara-negara merdeka yang kemudian mengakui kedaulatan Belanda dengan kontrak panjang ataupun
kontrak pendek. Daerah inilah yang kemudian disebut sebagai daerah swapraja (zelfbestuurende
lanschappen). Contoh daerah swapraja adalah Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan
Kesultanan Gou. Di samping daerah swapraja, Belanda juga mengakui adanya komunitas pribumi yang
diakui sebagai badan hukum (rechtsgemeenschap), seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, marga
di Sumatra Selatan, gampong di Aceh, kuria di Tapanuli, dan kampung di Kalimantan Timur, untuk
menyelenggarakan pemerintahan sendiri sesuai dengan kebiasaannya (desa di Jawa-Madura) dan sesuai
dengan hukum adat (desa di luar Jawa-Madura). Desa, nagari, marga, gampong, kuria, dan kampung
tadi disebut sebagai volksgemeenschappen (komunitas rakyat), inlansche gemeente (komunitas
pribumi), atau rechtsgemeenschap (komunitas pribumi yang diakui sebagai badan hukum). Daerah
swapraja dan volksgemeenschappen (komunitas rakyat) atau iniansche gemeente (komunitas pribumi)
oleh penjelasan Pasal 18 UUD 1945 disebut sebagai daerah yang mempunyai susunan asli dan dapat
dibentuk sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa. Arti istimewa di sini bukan daerah ini adalah
daerah luar biasa, tetapi semata-mata karena memiliki susunan (struktur organisasi dan tata kelolanya
asli), buatan bangsa Indonesia sendiri bukan buatan Pemerintah Belanda.
Dengan memperhatikan uraian tersebut, dapat disimpulkan hal berikut.
1. Dalam negara Indonesia, dibentuk pemerintahan daerah.
2. Pemerintah daerah terdiri atas daerah besar dan daerah kecil.
3. Pemerintah daerah harus bersendikan demokrasi, yaitu adanya permusyawaratan dalam dewan
perwakilan rakyat daerah (council);
4. Dalam membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil, harus diperhatikan daerah-
daerah swapraja dan volksgemeenschappen (komunitas rakyat) atau inlansche gemeente
(komunitas pribumi) yang memiliki susunan asli dengan cara memasukkannya ke dalam sistem
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa atau daerah otonom asimetris. Jadi, keliru kalau
disimpulkan bahwa daerah swapraja dan kesatuan hukum pribumi dipertahankan sebagaimana
adanya; swapraja dipertahankan sebagai kesultanan/kerajaan tradisional dan
volksgemeenschappen (komunitas rakyat) atau inlansche gemeente (komunitas pribumi)
dipertahankan sebagai indigenous and tribal peoples berdasarkan hukum adat.

Itulah pengertian yang paling autentik tentang Pasal 18 UUD 1945. Dengan demikian, tampak
sekali bahwa sesuai dengan pengertian aslinya, pemerintahan daerah dilihat dari susunannya terdiri atas
daerah besar dan daerah kecil, sedangkan jika dilihat dari bentuknya pemerintah daerah berbentuk
daerah otonom, bukan daerah/wilayah administrasi. Hal ini sangat jelas ditunjukkan dengan anak
kalimat dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara. Maksud dari dasar permusyawaratan di sini adalah sistem demokrasi yang intinya terdapat
permusyawaratan dalam dewan perwakilan rakyat daerah. Pemerintah daerah yang menganut sistem
demokrasi adalah pemerintah daerah otonom, bukan pemerintah wilayah administrasi. Di samping itu,
volksgemeenschappen (komunitas rakyat) atau inlansche gemeente (komunitas pribumi) diubah
menjadi daerah otonom istimewa atau daerah otonom asimetris karena memiliki susunan asli, bukan
dipertahankan apa adanya.
Kesimpulan bahwa sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945, pemerintahan daerah yang dibentuk adalah
daerah, bukan daerah/wilayah administrasi. Hal itu bisa membuat Anda bingung karena dalam
Penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa daerah yang dibentuk bisa berupa daerah otonom dan bisa
berupa wilayah administrasi belaka. Jadi, menurut bunyi Penjelasan UUD 1945, pemerintah daerah
baik yang besar maupun yang kecil bisa berbentuk otonom dan juga bisa berbentuk administratif
belaka. Padahal, dalam Pasal 18 nyata-nyata disebutkan bahwa pemerintah daerah hanya terdiri atas
pemerintah daerah yang bersifat otonom. Bagaimana penjelasannya?
Nah, di sini ada keterangan yang menarik dari Prof. Dr. Bhenjamin Hoessein pakar otonomi
daerah dari Universitas Indonesia. Prof. Bhenjamin menjelaskan bahwa ketidaksesuaian antara bentuk
pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 dengan penjelasannya tersebut akibat salah tafsir
Mr. Soepomo (Hoessein, 2000: 4 6). Menurut Prof. Bhenjamin Hoessein, Mr. Soepomo keliru
menafsirkan Pasal 18 karena tidak mengacu pada wacana yang berkembang dalam rapat-rapat BPUPKI
yang membahas pemerintahan daerah. Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI yang diterbitkan oleh
Sekretariat Negara (1995: 271-272), disebutkan bahwa pemerintah daerah yang terdiri atas daerah
besar dan kecil harus dengan memandang dan mengingati "dasar permusyawaratan". Itu artinya
bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasarkan atas
permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan dewan perwakilan daerah. Ini artinya dalam
gagasan founding fathers, bentuk pemerintahan daerah yang akan disusun adalah pemerintahan daerah
yang berbentuk otonom, bukan wilayah administrasi sebab dari keseluruhan pembahasan tentang
pemerintah daerah dari awal sampai selesai tidak seorang pun yang menyebut daerah administrasi.
Ketidak sesuaian antara Pasal 18 dengan penjelasannya tersebut terjadi karena Penjelasan UUD
1945 ditulis belakangan. Perlu Anda ketahui bahwa UUD 1945 saat disahkan tidak mempunyai memori
penjelasan. Selama ini, kita mengira bahwa UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945
sudah lengkap dengan penjelasannya. Ternyata tidak. Penjelasan UUD 1945 sebagaimana tercantum di
belakang Batang Tubuh UUD 1945 seperti sekarang baru dicantumkan dalam Berita Republik
Indonesia Tahun II Nomor 7, 15 Februari 1946. Penjelasan yang dicantumkan dalam Berita Republik
Indonesia tersebut ditulis oleh Mr. Soepomo yang disarikan dari pembahasan UUD dalam sidang-
sidang BPUPKI. Penjelasan yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia tersebut berbunyi sebagai
berikut.

I. Oleh karena Indonesia itu suatu negara "eenheidstaat", maka Indonesia tak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga.

Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam
daerah yang lebih kecil.

Di daerah-daerah yang bersifat autonoom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat
daerah administrasi belaka, semuanya akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di
daerah pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir negara Indonesia terdapat 250 "zelfbesturende landschappen" dan
"volksgemeenschappen", seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga
di Palembang dan sebagainya.

Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak hak
asal-usul daerah tersebut.
Penjelasan itulah kemudian menjadi teks resmi Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sejak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang dengan sedikit perbedaan khususnya pada angka I alinea 3.
Perhatikan teks berikut.
I. Oleh karena negara Indonesia itu suatu "eenheidstaat" maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di
dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam
daerah yang lebih kecil.

Daerah-daerah Itu bersifat autonoom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di
daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Prof. Bhenjamin menduga bahwa Mr. Soepomo dalam membuat Penjelasan Pasal 18 tersebut
sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan pada zaman Hindia Belanda. Dalam sistem Pemerintahan
Hindia Belanda, dikenal adanya daerah otonom dan daerah administrasi. Pemerintah terdiri atas
beberapa daerah gewest. Daerah gewest terbagi atas gemeente (kota) dan regentschap/plaatselijke
(kabupaten/bersifat perdesaan). Baik gewest, gemeente, maupun regentschap/plaatselijke adalah daerah
otonom sekaligus daerah administrasi. Di luar gemeente dan regenschap/plaatselijke, terdapat daerah
administrasi belaka, yaitu afdeling, district (kawedanan) dan onderdistrict (kecamatan).
Meskipun demikian, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 telah diterima sebagai fakta yuridis. Dalam
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada diktum kembali kepada UUD 1945, termasuk di dalamnya adalah
penjelasan sehingga sejak saat itu Penjelasan UUD 1945 diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan
dengan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Dengan adanya Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, terdapat lima hal penting tentang
pemerintahan daerah.
1. Dalam negara Indonesia, tidak terdapat negara bagian atau dalam istilah penjelasan tidak memiliki
daerah yang bersifat staat juga. Artinya, negara Indonesia sebagai negara kesatuan tidak memiliki
negara bagian di dalamnya.
2. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah
yang lebih kecil.
3. Daerah-daerah provinsi ataupun daerah yang lebih kecil ada yang bersifat otonom dan ada pula
yang
bersifat daerah administrasi belaka.
4. Pemerintah daerah, baik provinsi maupun daerah yang lebih kecil, harus berdasarkan aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang.
5. Dalam membentuk pemerintah daerah, harus diperhatikan bekas-bekas zelfbesturende landschappen,
yaitu daerah swapraja dan volksgemeenschappen, yaitu badan hukum komunitas rakyat pribumi.
Daerah-daerah swapraja dan badan hukum komunitas rakyat pribumi yang memiliki susunan asli
harus diperhatikan untuk dijadikan daerah otonom yang bersifat istimewa karena memiliki susunan
asli dengan cara memperbarui dan mengadopsi sistem demokrasi dalam sistem pemerintahannya.

B. DAERAH BESAR DAN DAERAH KECIL


Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa daerah terdiri atas daerah besar dan daerah kecil. Dalam
penjelasan yang dimaksud, daerah besar nomenklaturnya disebutkan secara jelas, yaitu provinsi,
sedangkan daerah kecil sama sekali tidak disebutkan. Agar semuanya jelas, kita harus melihat setting
sosial politik saat Pasal 18 dirumuskan.
Kita semua tahu bahwa UUD 1945, termasuk di dalamnya Pasal 18, dibuat melalui pembahasan
dalam sidang-sidang BPUPKI mulai 29 Mei sampai dengan 18 Agustus 1945. Pada saat itu, negara
Indonesia di bawah kekuasaan bala tentara Dai Nippon Jepang. Pada dasarnya, Pemerintah Bala
Tentara Jepang mewarisi sistem Pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karena itu, dalam
menyelenggarakan pemerintahannya, Jepang tetap menggunakan struktur Pemerintahan Belanda
dengan sedikit perubahan. Perubahan dimaksud adalah menghapus provinsi dan afdeling. Di samping
itu, nomenklatur dan sebutan pejabatnya diganti dengan bahasa Jepang.
Melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang Pemerintah Daerah dan Nomor 28 Tahun
1942 tentang Pemerintahan Syu dan Tokubetsu Syi, susunan pemerintahan daerah di negara kita
menjadi hal berikut:
1. pemerintahan syu (setingkat karesidenan),
2. pemerintahan ken (setingkat kabupaten) dan pemerintahan syi (setingkat kotapraja),
3. pemerintahan gun (setingkat kawedanan),
4. pemerintahan son (setingkat kecamatan),
5. pemerintahan ku (setingkat kelurahan/desa).
Di samping itu, daerah-daerah swapraja (kerajaan/kesultanan) dipertahankan dengan nama kooti.
Kooti dibagi-bagi lagi menjadi ken, gun, dan ku. Jepang menjadikan semua tingkat pemerintahan
tersebut sebagai noministrasi, Jadi, daerah-daerah otonom yang dibuat pada zaman Belanda, yaitu
administrasi gemeente, dan regentschap, dijadikan daerah administrasi. Bar pada masa akhir
kekuasannya, Jepang menghidupkan kembali daerah otonom, khususnya di daerah syu dan syl.
daerah/wilayah
Dalam konteks Pasal 18 UUD 1945, yang dimaksud dengan daerah besar adalah daerah syu (daerah
setingkat karesidenan), sedangkan daerah kecil adalah daerah ken (daerah setingkat
regentschap/kabupaten) dan daerah syi (daerah setingkat stootgemeente kotapraja). Hal ini didasarkan
pada fakta bahwa pada saat Pasal 18 dirumuskan daerah-daerah ini telah dilakukan desentralisasi
dengan cara menghidupkan kembali dewan-dewannya yang semula telah dibubarkan.
Adapun munculnya istilah provinsi pada Penjelasan UUD 1945 sebagai daerah besar, Prof.
Bhenjamin menjelaskan bahwa Mr. Soepomo merujuk pada sistem ketatanegaraan zaman Hindia
Belanda. Pada zaman Belanda, sesuai dengan Bestuurshervormingswet 1922 daerah-daerah otonom
yang dibentuk sebagai berikut.
1. Propintie yang luasnya sama dengan daerah administrasi gewest.
2. Regentschap yang luasnya sama dengan daerah administrasi kabupaten.
3. Stadsgemeente/kotapraja seluas kota yang bersangkutan.

Di samping itu, istilah provinsi yang disebut Mr. Soepomo untuk menunjuk daerah besar juga
berkaitan dengan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945
tentang daerah Republik Indonesia. PPKI menetapkan hal-hal berikut. 1. Untuk sementara waktu,
daerah negara Indonesia dibagi dalam delapan provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang
gubernur. Provinsi tersebut ialah
1. Jawa Barat,
2. Jawa Tengah, .
3. Jawa Timur,
4. Sumatra,
5. Borneo,
6. Sulawesi,
7. Maluku,
8. Sunda Kecil.
II. Daerah provinsi dibagi dalam karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Gubernur dan
residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah.
III. Untuk sementara waktu, kedudukan kooti dan sebagainya diteruskan seperti sekarang.
IV. Untuk sementara waktu, kedudukan kota (gemeente) diteruskan seperti sekarang.

Dengan demikian, logis kalau Mr. Soepono menyebut provinsi sebagai daerah besar dalam
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Oleh karena saat membuat penjelasan pada 15 Februan 1946, Mr.
Soepomo telah menghadapi kenyataan bahwa sesuai dengan penetapan PPKI Daerah Negara Indonesia,
telah dibagi dalam provinsi-provinsi, Sementara itu, untuk daerah kecil, tidak disebut secara jelas. Hal
ini mengingat masih banyaknya daerah-daerah kecil dengan sistem pemerintahan dan nama yang
beragam, seperti karesidenan, kooti (swapraja), kota (gementee/haminte), kabupaten (regentschap),
desa, nagari, marga, dan sebagainya.
Melalui Sidang Tahunan MPR 2000-2002, UUD 1945 diamendemen. Pasal 18 telah diamendemen
sehingga berbunyi sebagai berikut.
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten, kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggotanya dipilih melalui
(4) pemilihan umum. Gubernur, bupati, wali kota masing-masing sebagal kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(1) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.

Dalam amendemen tersebut, istilah daerah besar dan daerah kecil tidak digunakan lagi. Pasal 18
langsung menyebut provinsi dan kabupaten/kota. Secara faktual, provinsi adalah daerah besar,
sedangkan kabupaten/kota adalah daerah kecil. Hal lain yang lebih jelas lagi adalah penyebutan secara
eksplisit bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun
kota, berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Maksudnya adalah asas desentralisasi dan
medebewind, bukan dekonsentrasi.
Apakah desa termasuk daerah kecil? Daerah kecil itu maksudnya daerah otonom kecil. Dengan
demikian, dalam pengaturan baru ini, desa tidak termasuk daerah kecil karena desa bukan daerah
otonom kecil. Di samping itu, UUD 1945 hasil amendemen sama sekali tidak mengatur desa. UUD
1945 Pasal 18 B ayat (2) hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup. Apakah
desa kesatuan masyarakat hukum adat? Desa bukan kesatuan masyarakat hukum adat karena kesatuan
masyarakat hukum adat adalah komunitas yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan hukum adat,
sedangkan desa yang ada saat ini adalah lembaga baru bentukan negara berdasarkan hukum positif,
yaitu UU Nomor 5/1979 juncto UU Nomor 22/1999 juncto UU Nomor 32/2004 juncto UU Nomor
6/2014, khususnya Pasal 1-95.

Hanif Nurcholis (2014) menyebutkan bahwa desa bentukan pemerintah pada masa Orde Baru dengan
UU Nomor 5/1979 adalah unit pemerintahan palsu. Desa disebut sebagai unit pemerintahan palsu
karena (1) lembaganya dibentuk negara melalui undang-undang, tetapi statusnya bukan badan publik
resmi karena tidak diselenggarakan oleh official government (pejabat tata usaha negara) dan civil
servant (aparatur sipil negara); (2) negara tidak menggaji kepala desa dan perangkatnya (gaji kepala
desa dan perangkatnya dibebankan kepada tanah kas desa seperti zaman kolonial), serta (3) negara
tidak mengalokasikan dana dari APBN/ABPD ke desa untuk penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Desa bukan badan publik karena lembaga ini bukan daerah otonom (local self-
government), bukan wilayah administrasi (local state- government), bukan instansi vertikal (field
administration), dan bukan satuan kerja perangkat daerah. Kepala desanya bukan official government
karena ia tidak termasuk pejabat negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5/2014 juntco UU
Nomor 9/2004 juncto UU Nomor 5/1986, demikian pula perangkat desa juga bukan civil service karena
juga tidak termasuk pegawai yang diatur dalam UU Nomor 5/2014. Status desa di bawah UU Nomor
6/2014 adalah rechtsgemeenschap (badan hukum komunitas) bentukan negara sebagaimana inlandsche
gemeente pada zaman kolonial di bawah IGO 1906.

C. DAERAH OTONOM, DAERAH/WILAYAH ADMINISTRASI, DAN DAERAH ISTIMEWA


Pada 1959, presiden mengeluarkan dekrit presiden yang isinya antara lain kembali ke UUD 1945
setelah Majelis Konstituante belum bisa menyepakati dasar negara kaitannya dengan tugasnya
membuat UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD
1945 beserta penjelasannya resmi menjadi UUD negara Republik Indonesia. Berdasarkan UUD 1945
beserta penjelasannya, terdapat konsep daerah otonom yang terdiri atas daerah besar dan daerah kecil,
daerah istimewa, serta daerah/wilayah administrasi. Agar kita memiliki pengetahuan yang
komprehensif tentang konsep-konsep tersebut, mari kita bahas satu per satu.
Pada Modul 1, telah dijelaskan tentang daerah otonom. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum di daerah dengan batas-batas geografi yang jelas yang oleh undang-undang diberi wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya secara otonom.
Kesatuan masyarakat hukum demikian disebut daerah otonom karena pemerintah pusat melakukan
desentralisasi teritorial kepadanya. Anda masih ingat, pengertian desentralisasi teritorial? Dengan
desentralisasi teritorial kepada kesatuan masyarakat hukum di daerah, jadilah daerah tersebut sebagai
daerah otonom. Daerah ini disebut sebagai daerah otonom karena kesatuan masyarakat tersebut berhak
mengurus dan mengatur kepentingannya sendiri berdasarkan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya.
Karena kesatuan masyarakat hukum tersebut mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang diserahkan kepadanya, ia dapat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di council
atau dewan rakyat dan kepala daerahnya (mayor) secara bebas. Council dan mayor yang merupakan
representasi kesatuan masyarakat hukum tersebut membuat kebijakan daerah secara otonom. Inilah
yang dimaksud dengan otonomi itu yang artinya kesatuan masyarakat hukum mempunyai kebebasan
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan, tanpa mendapat campur tangan
langsung dari pemerintah atasannya dan/atau pemerintah pusat.

Untuk memperjelas uraian di atas, contoh berikut akan membantu Anda. Di Inggris, ada daerah yang
disebut county dan district, Pemerintah pusat melakukan desentralisasi kepada dua daerah ini. Rakyat
county dan district diberi wewenang untuk memilih anggota dewan rakyat, council dan mayor (wali
kota). Council dan mayor merupakan representasi masyarakat county. Berdasarkan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada kesatuan masyarakat hukum county, council dan mayor
membuat kebijakan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut sesuai dengan
aspirasinya. Pemerintah pusat tidak banyak mencampuri. Pemerintah pusat hanya mengawasi agar
semuanya berjalan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Daerah semacam ini disebut
daerah otonom.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32/2004, ada
daerah semacam county dan district di Inggris itu. Daerah tersebut adalah kabupaten dan kota.
Pemerintah pusat membuat kebijakan desentralisasi terhadap daerah otonom kabupaten dan kota.
Dengan demikian, rakyat kabupaten dan kota dapat memilih wakil-wakilnya di DPRD dan kepala
daerahnya (bupati/wali kota) tanpa campur tangan gubernur, menteri dalam negeri, atau presiden.
Pemerintah kabupaten/pemerintah kota diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus semua urusan
pemerintahan, kecuali pertahanan dan keamanan, pengadilan, luar negeri, agama, keuangan dan
moneter, serta bidang tertentu lainnya. Oleh karena itu, daerah kabupaten dan daerah kota masing-
masing merupakan daerah otonom. Sekarang, berdasarkan UU Nomor 23/2014, kabupaten/kota tidak
lagi sebagai
daerah otonom penuh karena statusnya ganda: sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi.
Jadi, berdasarkan UU Nomor 23/2014, status kabupaten/kota sama dengan status kabupaten/kota
madya zaman UU Nomor 5/1974. Demikian status provinsi juga ganda: sebagai daerah otonom
sekaligus wilayah administrasi. Di bawah UU Nomor 23/2014, model pemerintahannya kembali ke
zaman Orde Baru, yaitu sentralisasi. Bedanya, pada zaman Orde Baru, kepala daerah diangkat oleh
presiden, sedangkan di bawah UU Nomor 23/2014 dipilih oleh rakyat secara langsung.
Sekarang, apa perbedaan daerah otonom dengan daerah/wilayah administrasi? Di
Indonesia, daerah administrasi diberi istilah teknis wilayah administrasi meskipun tidak sesuai dengan
bunyi Penjelasan UUD 1945. Sekarang, kita pakai istilah yang sudah baku ini, yaitu wilayah
administrasi. Wilayah administrasi gampangnya adalah wilayah kerja pejabat pusat (Kementerian
Dalam Negeri) yang ditempatkan di daerah. Misalnya, pada zaman Orde Baru, ada pejabat pusat di
wilayah dengan wilayah kerja satu kecamatan dengan camat sebagai pejabatnya. Nah, wilayah
kecamatan inilah yang disebut wilayah administrasi. Pada wilayah administrasi, pemerintah pusat tidak
melakukan desentralisasi, tetapi dekonsentrasi. Masih ingatkah pengertian dekonsentrasi? Oleh karena
yang dilakukan pemerintah pusat adalah dekonsentrasi, tidak terjadi otonomi di daerah ini Artinya,
masyarakat yang berada di wilayah ini tidak boleh membuat keputusan sendiri untuk menentukan
kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula pejabatnya. Pejabat dalam wilayah administrasi bukanlah
pejabat yang dipilih oleh masyarakat setempat, tetapi pejabat yang diangkat dan bertanggung jawab
kepada pemerintah pusat.
Contoh wilayah administrasi adalah kecamatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Menurut undang-undang ini, kecamatan adalah wilayah administrasi. Karena itu, kecamatan hanya
melaksanakan kebijakan administrasi dari pemerintah pusat. Camat adalah pejabat pemerintah pusat
yang ditempatkan di wilayah kecamatan. Oleh karena itu, camat tidak dipilih oleh rakyat yang tinggal
di wilayahnya, tetapi diangkat oleh bupati atas nama pemerintah pusat. Dengan demikian, camat
bertanggung jawab kepada pemerintah pusat melalui bupati dan gubernur yang mengangkatnya, bukan
kepada rakyatnya.
Ingat, contoh tersebut dalam konteks Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak cocok. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
juncto UU Nomor 32/2004, kecamatan bukan lagi sebagai wilayah administrasi, tetapi wilayah kerja
camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, dalam konteks Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32/2004 jo UU Nomor 23/2014, camat bukan lagi sebagai kepala
wilayah, tetapi sebagai perangkat daerah otonom kabupaten/kota.
Sekarang, kita diskusikan daerah istimewa. Daerah istimewa terdapat dalam dua kata terakhir pada
Pasal 18 UUD 1945 sebelum amendemen. Nah, apa yang dimaksud daerah istimewa tersebut, mari kita
periksa Penjelasan Pasal 18.
Oleh karena negara Indonesia itu suatu "eenheidsstaat" maka Indonesia tak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga. dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan Di daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek dan locale rechtsge meenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat
otonom, akan diadakan badan perwakilan daerah karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas
dasar permusyawaratan. Dalam teritoir negara Indonesia, terdapat ± 254 zelfbesturende landschappen
dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat
pejabat pusat (Kementerian Dalam Negeri) yang ditempatkan di daerah. Misalnya, pada zaman
Orde Baru, ada pejabat pusat di wilayah dengan wilayah kerja satu kecamatan dengan camat sebagai
pejabatnya. Nah, wilayah kecamatan inilah yang disebut wilayah administrasi. Pada wilayah
administrasi, pemerintah pusat tidak melakukan desentralisas tetapi dekonsentrasi. Masih ingatkah
pengertian dekonsentrasi? Oleh karena yang dilakukan pemerintah pusat adalah dekonsentrasi, tidak
terjadi otonomi di daerah ini Artinya, masyarakat yang berada di wilayah ini tidak boleh membuat
keputusan sendiri untuk menentukan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula pejabatnya. Pejabat
dalam wilayah administrasi bukanlah pejabat yang dipilih oleh masyarakat setempat, tetapi pejabat
yang diangkat dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
Contoh wilayah administrasi adalah kecamatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974. Menurut undang-undang ini, kecamatan adalah wilayah administrasi. Karena itu, kecamatan
hanya melaksanakan kebijakan administrasi dari pemerintah pusat. Camat adalah pejabat pemerintah
pusat yang ditempatkan di wilayah kecamatan. Oleh karena itu, camat tidak dipilih oleh rakyat yang
tinggal di wilayahnya, tetapi diangkat oleh bupati atas nama pemerintah pusat. Dengan demikian,
camat bertanggung jawab kepada pemerintah pusat melalui bupati dan gubernur yang mengangkatnya,
bukan kepada rakyatnya.
Ingat, contoh tersebut dalam konteks Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak cocok. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
juncto UU Nomor 32/2004, kecamatan bukan lagi sebagai wilayah administrasi, tetapi wilayah kerja
camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, dalam konteks Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32/2004 jo UU Nomor 23/2014, camat bukan lagi sebagai kepala
wilayah, tetapi sebagai perangkat daerah otonom kabupaten/kota,

Sekarang, kita diskusikan daerah istimewa. Daerah istimewa terdapat dalam dua kata terakhir pada
Pasal 18 UUD 1945 sebelum amendemen. Nah, apa yang dimaksud daerah istimewa tersebut, mari kita
periksa Penjelasan Pasal 18.

Oleh karena negara Indonesia itu suatu "eenheidsstaat" maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di
dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam
daerah yang lebih kecil.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsge meenschappen) atau bersifat daerah
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di
daerah-daerah yang bersifat otonom, akan diadakan badan perwakilan daerah karena di daerah pun
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Dalam teritoir negara Indonesia, terdapat 254 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyal susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah
tersebut.

Perhatikan paragraf 4 dan 5 di atas. Paragraf 4 memberi penjelasan bahwa di negara Indonesia terdapat
kurang lebih 254 zelfbesturende landchen dan velemechappen yang mempunyai susunan asli sehingga
bisa dianggap sebagai daerah istimewa atau asimetris. Kemudian, paragraf 5 memberi penjelasan
bahwa dalam rangka membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah yang dianggap sebagai
daerah istimewa tersebut. Untuk itu, segala peraturan negara yang mengenai daerah daerah itu haruslah
memperhatikan hak asal usul daerah tersebut.

Jadi, jelas bahwa zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen yang dianggap sebagai
daerah istimewa dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang diatur dengan
undang-undang ketika undang-undang ini harus memperhatikan dua hal, yaitu 1) berdasarkan
permusyawaratan dalam dewan perwaakilan dan 2) hak asal usul daerah ini. Lahı, daerah manakah
yang dimaksud dengan zelfbesturende landschappen? Sebelumnya, sudah disebutkan bahwa pada
zaman Belanda terdapat daerah-daerah yang semimerdeka, seperti Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan
Surakarta, Kesultanan Deli, Kesultanan Aceh, dan Kesultanan Goa. Daerah- daerah ini dulunya adalah
negara-negara merdeka yang berdaulat penuh. Akan tetapi, akibat tekanan politik dan militer yang
mahahebat dari Belanda, daerah-daerah ini lalu dengan sangat terpaksa mengakui kedaulatan Belanda.
Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan daerah-daerah yang ditundukkan tersebut. Inti
perjanjiannya adalah daerah-daerah ini tetap diperbolehkan menyelenggarakan pemerintahannya
sendiri berdasarkan hukum adat masing-masing, kecuali bidang-bidang tertentu sesuai dengan
perjanjian. Daerah-daerah inilah yang disebut zelfbesturende landschappen atau swapraja oleh Belanda.

Dengan statusnya seperti itu, daerah swapraja tersebut relatif otonom. Artinya, ia berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri menurut aturan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Karena
umumnya daerah swapraja tersebut berbentuk kerajaan/kesultanan, sistem pemerintahannya bersifat
feodalistis, tidak demokratis. Raja atau sultan adalah penentu segalanya.

Semua daerah swapraja tersebut tetap eksis sampai dengan kekalahan Belanda terhadap Jepang tahun
1942. Pada masa Jepang, daerah tersebut juga diakui sebagai daerah otonom dengan nama kooti. Agar
daerah-daerah ini tetap sesuai dengan kepentingan perang Jepang koori diawasi sangat ketat.

Kemudian, daerah manakah yang dimaksud dengan volksgemeenschappen? Volks rakyat dan
gemeenschappen komunitas. Soepomo juga menyebut volksgemeenschappen dengan istilah
inheemsche gemeenschap. Inheemsche asli pribumi. Jadi, volksgemeenschappen adalah komunitas
rakyat asli pribumi di tinggal di perdesaan dan pedalaman. Komunitas rakyat asli/pribumi ini oleh
pemerintah kolonial diakui sebagai rechtigemeenschap atau rechtspersoon atau korporasi atau badan
hukum, Badan hukum komunitas rakyat asli pribumi ini bukan daerah kerajaan atau kesultanan
(zelfbesturende lanschappen), tetapi suatu daerah yang dihuni oleh komunitas yang saling mengenal
karena adanya hubungan seketurunan (geneologis) ataupun rasa kesewilayahan (teritorial) yang
membentuk sistern kemasyarakatan yang khas. Contoh badan hukum komunitas asli pribumi adalah
nagari di Minangkabau, marga di Palembang, gampong di Aceh, dan huta di tanah Batak. Daerah-
daerah ini telah memiliki tata cara sendiri dalam mengatur peri kehidupan sosialnya, seperti mengatur
sistem pemerintahannya, sistem ekonominya, sistem keamanannya, dan sistem sosial budayanya.
Semuanya dikembangkan sendiri secara mantap dan langgeng. Nah, sebagaimana daerah swapraja,
Belanda pun tidak mengusik tata kelola kemasyarakatan daerah-daerah ini. Daerah ini diakui sebagai
badan hukum komunitas asli pribumi (rechtsgemeenschap) dan diberi hak untuk tetap mengatur urusan
"rumah tangganya" sesuai dengan adat istiadatnya (RR 1854 Pasal 71). Pakar hukum adat Belanda,
yaitu Cornelis van Vollenhoven, menyebut daerah ini dengan istilah volksgemeenschappen,
dorfgemeinschapten, inheemsche gemenschap, dan rechtsgemeenschap. Akan tetapi, kebijakan
pemerintah kolonial berubah sejak diundangkan IGO 1906. Di bawah IGO 1906,
volksgemeenschappen, dorfgemeinschapten, inheemsche gemerschap, dan rechtsgemeenschap
dijadikan pemerintahan komunitas pribumi dengan istilah inlandsche gemeente (IGO 1906 Juncto
IGOB 1938). Inlandsche gemeente bukan volksgemeenschappen, dorfgemeinschapten, atau
inheemsche gemenschap yang diakui oleh pemerintah sebagai rechtsgemeenschap (rechtspersoon atau
korporasi komunitas pribumi), tetapi sebagai pemerintahan komunitas pribumi yang diatur negara
dengan ordonansi/undang- undang. Setelah Belanda diusir Jepang pada 1942, inlandsche gemeente
diganti dengan pemerintahan lav. Status pemerintahan kar sama dengan pemerintahan inlandsche
gemeente. sama-sama sebagai pemerintahan komunitas pribumi yang diatur negara. Pemerintah bala
tentara Jepang hanya mengganti istilah perangkatnya. Kalau dalam inlandsche gemeente perangkatnya
adalah lurah, carik, kamituwo, bayan, ulu-ulu, modin, dan bekel, sedangkan dalam ku perangkatnya
adalah kachoo, juru tulis, mandor, amir, dan polisi desa.

Jadi, daerah swapraja dan badan hukum komunitas pribumi/rechtsgemeenschap itulah yang dimaksud
dengan daerah istimewa dalam Pasal 18 UUD 1945. Founding fathers memberikan panduan untuk
daerah swapraja sebagai daerah otonom besar yang bersifat istimewa dan badan hukum komunitas
pribumi/rechtsgemeenschap menjadi daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena masing-
masing memiliki susunan asli. Hal ini sesuai dengan penjelasan Mohammad Yamin yang disampaikan
dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945.

Negeri, desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan
pembaruan zaman dijadikan kaki susunan negara sebagai bagian bawah. Penjelasan Yamin tersebut
dipertegas oleh Soepomo yang disampaikan pada 15 Juli 1945 dalam forum yang sama.

Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh karena itu, di bawah negara
Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada "onderstaat", tetapi hanya ada daerah-daerah
pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuknya pemerintahan daerah ditetapkan
dengan undang- undang. Menurut Pasal 16 (kemudian berubah menjadi Pasal 18 dalam UUD 1945,
pen.), pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang
bersifat Istimewa. Jadi, rancangan undang-undang dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan
pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi daerah-daerah yang
besar itu atas daerah-daerah kecil. Dengan memandang dan mengingati "dasar permusyawaratan", itu
artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasar atas
permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan dewan perwakilan daerah. Hak-hak asal usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat
istimewa itu lalah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah
yang dalam bahasa Belanda dinamakan "zelfbesturende lanschappen". Kedua daerah-daerah kecil yang
mempunyai susunan asli ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan
rakyat asli, seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan
kuria di Tapanuli, serta gampong di Aceh.

Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada
dan dihormati susunannya yang asli. Akan tetapi, itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan
sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah "zelfbesturende landschappen", itu bukan
negara sebab hanya ada satu negara.

Begitu pun adanya "zelfstandige gemeenschappen", seperti desa, sumatra nagari (Minangkabau), marga
di Palembang, yang dalam bahasa Belanda disebut "inheemsche rechtsgemeenschappen". Susunannya
asli itu harus dihormati.

Jadi, substansi Penjelasan Pasal 18 tersebut adalah menjadikan zelfbesturende landschappen atau
daerah swapraja sebagai daerah otonom besar yang bersifat asimetris dan menjadikan
volksgemeenschappen atau zelfstandige gemeenschappen atau inheemsche rechtsgemeenschappen atau
kesatuan masyarakat hukum adat pribumi sebagai daerah otonom kecil yang bersifat asimetris pula,
bukan tetap mempertahankan dan mengawetkan masing-masing sebagai zelfbesturende landschappen
dan volksgemeencahppen sebagaimana sediakala.
Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, dibuat UU Nomor 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah. Perhatikan
bunyi Penjelasan UU Nomor 22/1948 berikut.
Menurut undang-undang pokok ini, daerah otonoom yang terbawah lalah desa negeri, marga, kota
kecil, dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh ke dalam lingkungan pemerintahan yang modern
tidak ditarik di luarnya sebagai waktu yang lampau. Pada zaman itu, tentunya pemerintahan penjajah
mengerti bahwa desa itu adalah sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus
diperbaiki segala segalanya, diperkuat dan di-dinamiseer supaya dengan begitu negara bisa mengalami
kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap
keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa
karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh
ordonnantie itu diikat pada adat-adat yang sebetulnya di desa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering
kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertentangan
dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu. Desa tetap
tinggal terbelakang, negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah.
Tetapi, pemerintah republik kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi Pasal 33 UUD,
negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran ini, harus dimulai
dari bawah, dari desa. Oleh karena itu, desa harus dibikin di dalam keadaan senantiasa bergerak maju,
(dinamis). Maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan di dalam lingkungan
pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan
diusulkan supaya bimbingan terhadap daerah-daerah yang mendapat pemerintahan menurut undang-
undang pokok ini lebih diutamakan diadakan di desa.
Pakar hukum adat Indonesia Prof. Dr. R. Soepomo (2013) dalam bukunya yang berjudul Bab-Bab
tentang Hukum Adat terbitan Balai Pustaka halaman 81 menulis sebagai berikut.Menurut penjelasan
undang-undang pokok tersebut, daerah otonom yang terbawah, yaitu desa, marga, nagari, dan
sebagainya, dianggap sendi negara dan sendi itu harus diperbaiki, segala-galanya diperkuat dan
didinamisir supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan.
Maksud undang-undang pokok, sebagai diterangkan dalam penjelasan resmi tersebut, ialah untuk
menggabungkan desa satu dengan desa lain oleh karena daerah desa yang sekarang in dianggap belum
cukup luasnya untuk dibentuk menjadi daerah desa yang otonom sebagai yang dikehendaki oleh
undang-undang pokok ini. Maksud penggabungan tersebut hingga sekarang belum dijalankan, bahkan
kedudukan hukum desa di Jawa hingga sekarang masih tetap dikuasai oleh Stsbl. 1906 No. 83 Jo. Stsbl.
1907 No. 212.
Gagasan Yamin dan Soepomo tersebut merupakan panduan operasional ketika membahas pasal
tentang pemerintahan daerah. Soepomo menjelaskan bahwa dalam rangka membentuk daerah otonom
besar dan daerah otonom kecil, harus dihormati zelfbesturende lanschappen dan volksgemeenschappen
atau zelfstandige gemeenschappen atau inheemsche rechtsgemeenschappen. Dua daerah itu disebut
sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli: susunan pemerintahan dan sosial budayanya.
Dua daerah ini dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat
istimewa karena mempunyai susunan asli.
[10.46 AM, 27/11/2023] Afri_97🦀: Meski demikian, jelas daerah istimewa menurut Pasal 18 UUD
1945 dan penjelasannya, perwujudan daerah istimewa menurut maksud pasal ini belum menjadi
kenyataan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok tentang
Pemerintahan Daerah telah mengintrodusir daerah istimewa menurut Pasal 18 tersebut, tetapi tidak bisa
dilaksanakan. UU Nomor 19/1965 yang mengatur desapraja sebagai daerah otonom berbasis adat juga
belum diimplementasikan. Sampai dengan tahun 2015, hanya ada dua daerah istimewa: Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Aceh sekarang berubah menjadi daerah khusus.
Adapun badan hukum komunitas pribumi/rechtgemeenschap tidak ada yang dijadikan daerah otonom
istimewa.

Dalam UUD 1945 yang telah diamendemen, konsep daerah istimewa tidak lagi memasukkan
volksgemeenschappen atau zelfstandige gemeenschappen atau inheemsche rechtsgemeenschappen
karena masing-masing diatur dalam pasal tersendiri. Daerah istimewa diatur dalam Pasal 18 B ayat (1),
sedangkan volksgemeenschappen atau zelfstandige gemeenschappen atau inheemsche
rechtsgemeenschappen yang diganti dengan istilah kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal
18 B ayat (2). Perhatikan Pasal 18 B selengkapnya di bawah.

Pasal 188

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.

Jadi, Pasal 18 B ayat (1) mengatur pengakuan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau daerah yang bersifat istimewa. Implementasinya, negara membuat UU Nomor
21/2001 juncto UU Nomor 1/2008 tentang Provinsi Papua, UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan
Aceh, dan UU Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
bentuk pengakuan negara kepada satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan UU
Nomor 13/2012 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bentuk pengakuran negara terhadap
satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa.
Adapun Pasal 18 B ayat (2) tidak mengatur pengakuan negara kepada satuan- satuan pemerintahan
daerah yang bersifat istimewa, tetapi mengatur pengakuan negara kepada kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat. Pengakuan ini pun disertai dengan tiga syarat berikut:
1. sepanjang masih hidup,
2. pemerintahannya sesuai dengan perkembangan masyarakat yang beradab;
3. pemerintahannya sesuai dengan prinsip NKRI.

Jadi, norma Pasal 18 B ayat (2) sangat jauh berbeda dengan norma Pasal 18 UUD 1945 sebelum
amendemen. Dalam Pasal 18, sebelum amendemen, semua volksgemeenschappen atau zelfstandige
gemeenschappen atau inheemsche rechtsgemeenschappen diubah menjadi daerah otonom kecil yang
bersifat istimewa asimetris karena memiliki susunan asli, sedangkan dalam Pasal 18 B ayat (2) tidak
demikian. Tidak ada petunjuk volksgemeenschappen atau zelfstandige gemeenschappen atau
inheemsche rechtsgemeenschappen yang dalam pasal ini disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat dijadikan daerah otonom kecil asimetris. Bunyinya adalah negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat Maknanya negara harus mengakui dan menghargai
keberadaannya sebagai kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan apa adanya.

Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) tersebut, negara membuat UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Akan
tetapi, UU Nomor 6/2014 khususnya Pasal 1-95 dilihat dari norma Pasal 18 B ayat (2) melenceng alias
tidak konstitusional. UU Nomor 6/2014 mengatur dua objek material: 1) desa bentukan Orde Baru
yang dibuat melalui UU Nomor 5/1974 yang diteruskan dengan UU Nomor 22/1999 juncto UU Nomor
32/2004 serta 2) desa adat. Desa bentukan Orde Baru itu bukan kesatuan masyarakat hukum adat
karena ia bentukan negara dan tidak mengatur dirinya dengan hukum adat. Padahal, Pasal 18 B ayat (2)
itu mengatur pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat

UU Nomor 6/2014 baru benar ketika mengatur desa adat (Pasal 95-111) dengan catatan desa adat
dimaknai sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Kesatuan masyarakat hukum adat inilah yang pada
zaman Belanda disebut volksgemeenschappen atau zelfstandige gemeenschappen atau inheemsche
rechtsgemeenschappen atau dorfgemeinschaften (Van Vollenhoven, 1907). Dalam konsep
internasional, in disebut indigenous and tribal peoples (ILO Convention No. 169). Pada zaman
Belanda, volksgemeenschappen atau dorfgemeinschaften atau indigenous peoples diatur dalam
Inlandsche Gemeente Ordonnantie Tahun 1906 (IGO 1906), untuk kesatuan masyarakat hukum adat di
Jawa-Madura dan Inlandsche Gemeente Buitengewesten Ordonnantie Tahun 1938 (IGOB 1938) untuk
kesatuan masyarakat hukum adat di luar Jawa. Dua ordonnantie tersebut memperlakukan kesatuan
masyarakat hukum adat di Jawa-Madura berbeda dengan yang di luar Jawa. Di Jawa dan Madura,
pemerintah menyerahkan pengaturan volksgemeenschappen kepada adat kebiasaan warisan Kerajaan
Mataram Islam, sedangkan di luar Jawa diserahkan kepada hukum adat masing-masing. Nah. kesatuan
masyarakat hukum adat inilah yang diatur oleh Pasal 18 B ayat (2) tersebut, bukan desa bentukan Orde
Baru.
Dalam UUD 1945, sebelum diamendemen, kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan Pasal 18
UUD 1945 diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan daerah formal sebagai daerah otonom kecil di
bawah UU Nomor 22/1948, UU Nomor 1/1957, dan UU Nomor 19/1965. Akan tetapi, rezim Orde
Baru menganulirnya. Di bawah UU Nomor 5/1979, semua kesatuan masyarakat hukum adat dihapus,
lalu dibentuk lembaga desa baru dengan nomenklatur pemerintah desa yang kemudian dikenal dengan
desa dinas atau desa administrasi. Rezim Orde Baru membentuk desa dinas/desa administrasi pada
bekas kesatuan masyarakat hukum adat di bawah kontrol pejabat dekonsentrasi camat dan di bawah
pengawasan aparat teritorial ABRI. Desa dinas/desa administrasi yang dibentuk rezim Orde Baru tidak
ada benang merahnya dengan volksgemeenschappen zaman Belanda, seperti desa, nagari, marga, kuria,
negeri, gampong, dan sebagainya. Desa dinas/desa administrasi adalah lembaga baru dengan
meminjam nomenklatur Jawa, yaitu desa. Akan tetapi, isinya dalam arti struktur organisasi, tugas
pokok dan fungsinya, serta tata kelolanya berbeda seratus persen dengan pemerintahan adat desa di
Jawa dan Madura dan kesatuan masyarakat hukum adat di luar Jawa. Desa dinas/desa administrasi ini
mirip dengan ku zaman Jepang.

Setelah Orde Baru jatuh, UU Nomor 5/1979 diganti dengan UU Nomor 22/1999, lalu diganti lagi
dengan UU Nomor 32/2004. Dua UU ini mempertahankan desa dinas bentukan rezim Orde Baru. Hanif
Nurcholis (2014) menjelaskan bahwa desa dinas bentukan rezim Orde Baru adalah unit pemerintahan
palsu (pseudo government unit). Di bawah UU Nomor 6/2014, desa dinas diubah menjadi daerah
otonom palsu (pseudo local-self government) karena diberi pengertian sebagai local self-government,
tetapi hakikatnya, bukan local self-government.

UU Nomor 6/2014 dibuat berdasarkan argumen hukum yang sesat logika. Penjelasan UU Nomor
6/2014 membuat argumen berikut.

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum negara kesatuan Republik Indonesia
terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan, "Dalam teritori negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan
Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.
Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya
dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

Kesimpulan yang berbunyi "keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam negara kesatuan Republik Indonesia" adalah sesat pikir karena
terlepas dari pasal yang dijelaskan dan latar historis Penjelasan Pasal
18 UUD 1945.
1. UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 tidak mempunyai penjelasan dan hanya mengatur
pemerintahan daerah pada Bab VI, tidak mengatur zelbesturende landschappen dan
volksgemeenschappen. Penjelasan UUD 1945 yang kita kenal sekarang baru dicantumkan dalam
Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7, 15 Februari 1946. Penjelasan UUD 1945 tersebut
adalah buatan Soepomo yang menurutnya disarikan dari pembahasan rancangan UUD dalam sidang-
sidang BPUPKI dan PPKI Mei sampai dengan Agustus 1945.
2. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang dibuat Soepomo bukan norma konstitusi sehingga tidak bisa
dijadikan landasan hukum pembuatan undang-undang organik. Yang bisa dijadikan landasan hukum
pembuatan UU organik adalah diktumnya: Pasal 18
3. Penjelasan Pasal 18 adalah upaya Soepomo menguraikan lebih operasional atas diktum Pasal 18
yang bersumber dari materi pembahasan sidang sidang BPUPKI dan PPKI Mei-Agustus 1945
tentang pemerintahan daerah, bukan tentang zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen
(Sekretariat Negara, 1995; Kusurma, 2009)
4. Penjelasan UUD 1945 tersebut berisi arahan (bukan pengaturan), yaitu dalam rangka membentuk
daerah otonom besar dan daerah otonom kecil (diktum Pasal 18) UU yang dibuat harus
memperhatikan zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Dua daerah yang memiliki
susunan asli ini dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat
istimewa/ asimetris. Misalnya, Kesultanan Yogyakarta adalah salah satu dari 250 zelfbesturende
landschappen yang disebut dalam penjelasan ini. Sesuai dengan Pasal 18, Kesultanan Yogyakarta
tidak dikonservasi sebagaimana aslinya, tetapi dikonversi menjadi daerah otonom besar yang bersifat
istimewa. Mestinya demikian juga dengan volksgemeenschappen. la tidak dikonservasi sebagaimana
aslinya, tetapi dikonversi menjadi daerah otonom kecil yang bersifat istimewa.
5. Jika kesimpulan tersebut benar, konsekuensi yuridisnya 250 zelfbesturende landschappen, seperti
Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta, Kesultanan Banten, Kesultanan Deli, Kesultanan
Gowa, Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan lainnya, zaman Belanda yang
sudah dihapus, keberadaannya juga wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan
hidupnya karena frasa zelfbesturende landschappen disebutkan di depan frasa volksgemeenschappen
beriringan sejajar. Hal ini bisa mengacaukan sistem pemerintahan nasional berdasarkan UUD 1945
dan membuat gaduh politik nasional karena para sultan/raja dari 250 zelfbesturende landschappen
yang sudah dijadikan daerah otonom istimewa, seperti Yogyakarta, dan yang sudah dihapus akan
menuntut kepada pemerintah untuk mengakui keberadaannya dan memberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya sebagaimana pemerintah mengakui keberadaan dan memberikan jaminan
keberlangsungan hidup terhadap volksgemeenschappen.

Kesimpulan yang sesat dan menyesatkan tersebut harus diluruskan dengan konstruksi pikir sebagai
berikut.
Premis mayor:
Pembagian daerah (otonom, pen.) di Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 18
UUD 1945 sebelum amendemen).
Premis minor.
Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan
volksgemeenschappen yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan
asli (Penjelasan Pasal 18 angka II).
Kesimpulan:
Oleh sebab itu, zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen dikonversi
menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat Istimewa karena
memiliki susunan asli yang ditetapkan dengan undang-undang.
Berdasarkan logika berpikir tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU Nomor 6/2014 tidak
konstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 18 tidak mengatur pemerintahan desa,
tetapi mengatur daerah otonom besar dan daerah otonom kecil. Adapun Penjelasan Pasal 18 yang
menyebut volksgemeenschappen, bukan mengatur volksgemeenschappen wajib dipertahankan, tetapi
memberi arahan agar volksgemeenschappen dikonversi menjadi daerah otonom kecil yang bersifat
istimewa/ asimetris sebagaimana bekas zelfbestuurende lanschappen Kesultanan Yogyakarta yang
dikonversi menjadi daerah otonom besar yang bersifat istimewa.
Oleh karena itu, jika dilihat dari UUD 1945, UU Nomor 6/2014 yang mengatur desa dinas (Pasal 1-
95) tidak konstitusional karena Pasal 18 B ayat (2) bukan norma untuk mengatur desa dinas, tetapi
norma untuk mengatur desa adat. UU Nomor 6/2014 hanya konstitusional untuk desa adat (Pasal 96-
111). Pembuat UU Nomor 6/2014 sesat pikir ketika mengonstruk desa dinas adalah kesatuan
masyarakat hukum adat sebagaimana norma Pasal 18 B ayat (2). Kesatuan masyarakat hukum adat itu
diatur dengan hukum adat, sedangkan desa dinas bentukan Orde Baru itu diatur dengan hukum positif
(Nurcholis, 2015).

2.2 Kajian Teori/Konsep Pengawasan Pemerintahan Daerah


Kewenangan Pemerintah Pusat

A. PEMERINTAH PUSAT
Pemerintah pusat dalam kajian ini adalah presiden dan para menterinya (eksekutif), tidak termasuk
legislatif dan yudikatif. Pemerintah pusat berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta. Berdasarkan
mandat yang diberikan rakyat melalui pemilu presiden menyelenggarakan pemerintahan. Jadi,
pemerintahan yang diselenggarakan
oleh presiden bersama para pembantunya inilah yang disebut pemerintah pusat. Presiden sebagai
kepala pemerintahan pusat mempunyai kekuasaan di bidang berikut.
1. Eksekutif
a. Memegang kekuasaan pemerintahan.
b. Menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang.
C Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden dibantu oleh menteri-menteri. Para menteri ini diangkat
dan diberhentikan oleh presiden.
2. Legislatif

a Presiden membuat undang-undang dengan persetujuan DPR.


b Presiden membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Di samping sebagai kepala pemerintahan, presiden juga sebagai kepala negara. Sebagai kepala negara,
presiden mempunyai kekuasaan seperti berikut.
1. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara.
2. Dengan persetujuan DPR, presiden menyatakan perang serta membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.
3. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang-undang.
4. Presiden mengangkat duta dan konsul.
5. Presiden menerima duta negara lain.
6. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Grasi ialah meniadakan hukuman yang
diputuskan oleh hakim. Amnesti ialah ampunan umum kepada orang banyak yang dijatuhi hukuman
atau sedang diperiksa karena melakukan kegiatan pidana umum. Rehabilitasi ialah mengembalikan
nama baik seseorang akibat yang bersangkutan divonis hakim karena melakukan tindak pidana
Rehabilitasi diberikan kepada orang yang kesalahannya dinilai tidak seberapa atau salah vonis atau
orang yang bersangkutan mempunyai jasa yang lebih besar terhadap negara. Abolisi ialah perintah
penghentian pengusutan terhadap suatu perkara demi kepentingan umum.

7. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.


Untuk menyelenggarakan pemerintahan, presiden mengangkat para menteri Kumpulan para menteri
disebut dewan menteri atau kabinet. Menteri adalah pembantu presiden untuk menyelenggarakan
urusan tertentu yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, menteri diangkat oleh presiden dan
bertanggung jawab kepada presiden.

1. Sesuai dengan UU Nomor 39/2008, menteri terdiri atas dua jenis, yaitu menteri koordinator;
2. menteri yang memimpin kementerian.

Menteri koordinator adalah menteri yang bertugas mengoordinasikan beberapa menteri dalam satu
lingkup fungsi yang saling berkaitan. Menteri koordinator tidak memimpin kementerian. Misalnya,
menteri koordinator politik, sosial, hukum, dan keamanan mengoordinasi menteri pertahanan, menteri
dalam negeri, menteri luar negeri, menteri pendidikan nasional, menteri agama, menteri hukum dan
hak-hak asasi manusia, menteri tenaga kerja, serta menteri kesehatan. Menteri yang memimpin
kementerian adalah menteri yang mengepalai sebuah kementerian, seperti Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan lain- lain.

Presiden juga mengangkat pejabat tinggi setingkat menteri, yaitu panglima TNI. kepala kepolisian, dan
jaksa agung. Di samping itu, presiden juga mengangkat ketua lembaga pemerintah nonkementerian,
seperti sekretaris negara, ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), kepala LAN (Lembaga
Administrasi Negara), kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara), dan kepala BPS (Biro Pusat
Statistik).

B. KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT

Sudah dijelaskan bahwa kewenangan pemerintah pusat adalah semua kewenangan pemerintahan
sebagai akibat pelimpahan dari rakyat kepada presiden melalui pemilu. Akan tetapi, seusai dengan
UUD 1945, pemerintahan harus diselenggarakan secara terdesentralisasi. Oleh karena itu, sebagian
kewenangan tersebut harus diserahkan kepada daerah. Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan di bidang berikut:
1. politik luar negeri,
2. pertahanan dan keamanan;
3. peradilan;
4. moneter dan fiskal;
agama,
kewenangan lain (perencanaan dan pengendalian nasional, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM,
pendayagunaan SDA, serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional).
1. Folick Laur Negeri
2. Pertahanan
3. Keamanan
PEM.PUSAT 4. Yustisi
5. Moneterdan fiskal nasional.
6. Agama

PEM. PROVINSI Sisa kewenangan Pusat yang berskala provinsi


dan bersifat lintas kabupaten / kota

PEM. KAB/КОТ Sisa kewenangan Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Provinsi yang berskala kabupaten/kota

Gambar 3.2
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UU Nomor 22/1999

Perhatikan Gambar 3.2. Tampak dalam gambar kewenangan pusat hanya sedikit, sedangkan
kewenangan daerah besar. Kewenangan yang dipegang pusat adalah kewenangan yang bersifat
nasional, sedangkan kewenangan yang diserahkan adalah kewenangan yang bersifat lokalitas
(merupakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat). Daerah diberi kebebasan untuk
menemukan kewenangan yang bersifat lokalitas tersebut menurut prakarsanya sendiri.

Dalam hal kewenangan pusat ini, perlu diingat kembali bahwa dalam negara kesatuan selalu terdapat
kewenangan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat. Dalam konteks UU Nomor 22 Tahun 1999,
kewenangan tersebut adalah enam bidang kewenangan yang disebutkan sebelumnya. Keenam bidang
tersebut 100% diselenggarakan pusat, sedangkan kewenangan, selain enam bidang tersebut, diserahkan
kepada daerah. Meskipun selain enam bidang kewenangan tersebut diserahkan kepada daerah, bukan
berarti pusat menyerahkan sepenuhnya (100%). Pusat masih memegang kewenangan yang diserahkan
tersebut khususnya bidang pengawasan dan pembinaan. Dengan demikian, daerah tidak bisa bebas
sepenuhnya

dalam menyelenggarakan kewenangan yang diserahkan tersebut. Namun, dilihat luas dan bobotnya,
sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, titik beratnya diletakkan pada pemerintah kabupaten/kota.
Perhatikan gambar berikut.
PEM PUSAT TERBATAS

KOORDINATIF
FEMPROV

PEMKABIKOT LUAS

Gambar 3.3
Titik Berat Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Gambar tersebut menjelaskan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Noma 22 Tahun 1999,
kewenangan pemerintah pusat sedikit, tetapi mendasar dan strategis Sementara itu, kewenangan daerah
lebih besar. Daerah kabupaten/kota adalah penerima kewenangan terbesar. Adapun daerah provinsi
menerima kewenangas yang lebih bersifat koordinatif, pengawasan, dan pembinaan. Dasar
pemikiranaya kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang langsung melayani masyarakat Oleh
karena itu, bobot kewenangan harus dititikberatkan pada unit pemerintahan ini, bukan pada provinsi.
Provinsi diberi kewenangan koordinasi antarkabupaten/kota yang berada di bawah koordinasinya. Di
samping itu, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur juga diberi kewenangan pengawasan
dan pembinaan terhadap kabupaten/kota.

UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, Dalam UU Nomor 32/2004 Pasal 10 ayat 3,
pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan yang sama, yaitu urusan pemerintahan, seperti berikut:

1. politik luar negeri,


2. pertahanan;
3. keamanan
4. yustisi,
5. moneter dan fiskal nasional;
6. agama.

UU Nomor 32/2004 mengatur urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah melalui PP
Nomor 38/2007 secara perinci. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah tersebut
materinya sama antara yang diserahkan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota. Akan tetapi,
bidang dan subbidangnya dibedakan mana yang merupakan kewenangan daerah provinsi dan mana
yang merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota. Inilah yang disebut dengan urusan konkuren
bersama.

Cara penyerahan urusan pemerintahan menurut UU Nomor 23/2014 lain lagi. UU Nomor 23/2014
mengklasifikasi urusan pemerintahan menjadi tiga, yaitu
1. urusan pemerintahan absolut;
2 urusan pemerintahan konkuren; dan
3: urusan pemerintahan umum.

Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan mutlak
pemerintah pusat. Urusan absolut 100% merupakan kewenangan pemerintah pusat yang terdiri atas
enam urusan pemerintahan, yaitu 1) politik luar negeri; 2) pertahanan; 3) keamanan; 4) yustisi; 5)
moneteri dan fiiskal nasional; dan 6) agama.
Urusan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Bagaimana pembagiannya? Materi urusan mana yang
merupakan kewenangan pemerintah pusat, mana yang merupakan kewenangan pemerintah daerah
provinsi, dan mana yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dituangkan secara
perinci dalam Lampiran UU Nomor 23/2014.
Dalam hal kewenangan konkuren, pemerintah pusat lebih menekankan pada penetapan kebijakan
yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur. Adapun kewenangan pelaksanaan hanya terbatas
pada kewenangan yang bertujuan sebagai berikut:
1. mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;
2. menjamin pelayanan lokalitas pelayanan umum yang setara bagi warga negara;
3. menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional;
4.menjamin keselamatan fisik dan nonfisik yang setara bagi semua warga negara, menjamin pengadaan
teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan
5. berisiko tinggi serta sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, tetapi sangat diperlukan oleh
bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, dan teknologi penerbangan;
6. menjamin supremasi hukum nasional;
7. menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat.

Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan presiden
sebagai kepala pemerintahan. Perlu Anda ketahui bahwa dalam sistem administrasi negara,
penanggung jawab akhir dari kegiatan pemerintahan adalah presiden. Oleh karena itu, presiden sebagai
kepala pemerintahan mempunyai kewenangan pemerintahan umum. Kewenangan ini disebut umum
karena bukan merupakan kewenangan sektoral. Kewenangan sektoral sudah diklasifikasi menjadi
kewenangan absolut dan kewenangan konkuren. Nah, kewenangan di luar absolut dan kewenangan
konkuren merupakan kewenangan umum. Materi kewenangan umum adalah urusan pemerintahan yang
terkait dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara, ketertiban dan keamanan seluruh negara,
ketenteraman umum seluruh negara, koordinasi antarlembaga dan satuan pemerintahan seluruh negara,
serta tindakan- tindakan yang dipandang perlu untuk menyelamatkan dan mengamankan keutuhan dan
kelangsungan negara.

Anda mungkin juga menyukai