Anda di halaman 1dari 3

Transkrip Kuliah “Pedagogi Kritis dan Pendidikan Antikorupsi”

Minggu ke-7

Tema2 Praktik Literasi Kritis di dalam Kelas

Kawan-kawan guru dan teman-teman muda pegiat antikorupsi,

Selamat datang kembali dalam “Kuliah Pedagogi Kritis dan Pendidikan Antikorupsi”.

Dalam kuliah kali ini kita akan melihat dan mendiskusikan praktik literasi kritis di dalam kelas. Mulai
dari persiapan, pelaksanaan, hingga tindak lanjutnya.

Sebagaimana telah kita ketahui literasi kritis melibatkan siklus kemampuan dasar berkomunikasi,
atau berbahasa, yang terdiri dari unsur mendengarkan atau menyimak (listening), membaca
(reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing).

Dalam literasi kritis kita menggunakan teks sebagai bahan diskusi. Kita ingat, teks dalam literasi kritis
tidak hanya berupa produk tulisan tetapi semua bentuk wacana yang bisa diangkat dari cerita murid,
puisi, cerpen, berita, novel, lagu, video klip, film, dan lain-lain.

Dalam pertemuan ini kita akan menggunakan film dokumenter “My School My Life”. Kita juga akan
menggunakan salah satu modul yang pernah disusun Sekolah Tanpa Batas untuk pendidikan
antikorupsi.

Bila kita ingat tiga kolom pembelajaran yang dibuat oleh Kelompok Paedia, praktik pembelajaran ini
akan bergerak antara kolom kedua dan ketiga dengan menggunakan metode diskusi kelas sokratik.

Mari kita mulai kuliah kali ini!

Dalam kelas literasi kritis, kita mesti mengingat kritik Paulo Freire terhadap pendidikan bergaya
bank, di mana guru bercerita, berceramah, dan mentransfer pengetahuan sementara murid menjadi
obyek yang pasif. Situasi itu yang ingin kita ubah.

Dalam kelas literasi kritis, guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Ia lebih menempatkan diri
sebagai moderator dalam diskusi, melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis dan melontarkan
masalah, untuk mendorong siswa menemukan pemahaman dan nilai-nilai dan pengetahuannya
sendiri.

Perubahan dari kelas ceramah menjadi kelas sokratik merupakan tantangan, bukan hanya bagi guru
tetapi juga murid.

Seorang guru yang memulai kelas literasi kritis harus belajar kembali bagaimana mendinamisasikan
kelas, membuat dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pemikiran mendalam.

Sebaliknya, murid yang terbiasa pasif di dalam kelas, akan merasa canggung ketika diminta
menjawab pertanyaan dan mengemukakan pendapatnya secara bebas. Hambatan ini terlebih dulu
harus dicairkan.

Salah satu di antaranya bisa diatasi guru dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan ringan,
seperti, “Menurut kamu, puisi ini bagus atau buruk?” ... Mengapa kamu berpendapat, puisi ini
bagus? ... Bagian mana yang bagus?
Ada dua pilihan untuk memulai kelas literasi kritis. Pertama, kita mempersiapkan skenario, rencana
pembelajaran, atau modul secara mandiri. Atau kedua, kita mengadopsi dan mengadaptasi modul
yang telah tersedia.

Dalam pendidikan antikorupsi, kita bisa mengambil modul yang telah ditawarkan KPK atau yang
telah disusun oleh ICW.

Untuk pemula, kita bisa mencoba terlebih dahulu modul yang telah ada. Tentu saja dengan
mengadaptasinya.

Dalam kesempatan ini kita akan menggunakan salah satu modul pendidikan antikorupsi yang telah
dipersiapkan oleh Sekolah Tanpa Batas dan ICW.

Dalam proyek pembelajaran ini kita akan menggunakan film dokumenter yang berdurasi pendek
berjudul my school my life.

Mari kita bersama-sama melihat film tersebut dan mempelajari modul yang telah dibuat.

Nah, itu lah film dokumenter “My School My Life” Bagaimana menurut kalian?

Film dokumenter tadi menceritakan tentang sekelompok anak yang tergabung dalam pengurus OSIS
SMA Negeri 3 Solo yang membongkar kasus korupsi di sekolahnya.

Dalam film ini diperlihatkan kehebatan anak-anak remaja dalam membongkar kasus korupsi di
sekolahnya.

Tidak hanya berani, anak-anak ini juga cerdas dan jeli dalam membaca laporan keuangan, pandai
mengatur siasat dan berorganisasi, serta pantang menyerah.

Dalam upaya membongkar kasus korupsi tersebut, mereka membentuk tiga tim, yaitu tim pencari
data, tim publikasi, dan tim untuk mempersiapkan aksi demonstrasi.

Kita lihat bahwa film dokumenter ini bisa dipergunakan untuk rentang pembelajaran yang sangat
luas.

Materi dari film Ini bisa dimasukkan dalam pelajaran Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Ekonomi, IPS, ataupun Matematika dan Akuntansi.

Kita tinggal menyesuaikan dan memberikan penekanan pada bagian-bagian tertentu, disesuaikan
dengan mata pelajaran yang kita sampaikan.

Bisa juga kita berkolaborasi dengan guru mata pelajaran lain. Dengan berkolaborasi, kita bisa
memperoleh waktu pelajaran yang lebih longgar dan berdekatan.

Bila kita cermati, film tersebut bisa diangkat untuk membahas pokok bahasan kejujuran, keadilan,
keberanian, demokrasi, tanggung jawab, kegigihan, dan kemampuan berorganisasi.

Kita bisa lihat dari modul, waktu yang diperlukan sekitar 3 kali pertemuan masing-masing 45 menit
atau 2 X pertemuan @ 60 menit atau bisa kita sesuaikan dengan jam pelajaran yang tersedia.

Dalam interaksi tersebut, kita telah mengajak anak-anak untuk mengasah tiga kemampuan dasar
berkomunikasi, yakni menyimak, membaca, dan berbicara.
Jadi ada satu unsur yang belum dilakukan, yakni menulis. Unsur ini bisa kita masukkan dalam
pertemuan berikutnya.

Anak bisa diminta membuat tulisan pendek, sekitar 300 atau 400 kata tentang pengalaman terlibat
dalam kasus korupsi, bisa korupsi di jalan raya, saat mengurus SIM, atau di sekolah?

Atau bisa juga anak-anak diminta membuat review pendek tentang film tersebut. Tulisan itu dibaca
dan didiskusikan di dalam kelompok.

Pada akhir pertemuan, guru bisa mengajak murid mendiskusikan secara umum tentang strategi dan
cara-cara melawan korupsi.

Dalam pertemuan ini kita telah bersama-sama mempelajari bagaimana praktik literasi kritis di dalam
kelas. Ada beberapa hal yang bisa kita garis bawahi:

1. Praktik literasi kritis menggunakan teks sebagai bahan pembelajaran. Teks bisa diambil
dari mana saja dan tidak terbatas pada tulisan tetapi bisa diambi dari film, lagu, berita,
puisi, cerita pendek, dan lain-lainnya.

Kelas literasi kritis sebaiknya mencakup empat unsur komunikasi: mendengarkan atau
menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing).

2. Dalam kelas literasi kritis, guru tidak berceramah tetapi lebih bertindak sebagai
fasilitator atau moderator diskusi.

Guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk merangsang diskusi dan pikiran


mendalam.

3. Kelas literasi kritis sebaiknya menyentuh aspek konatif dengan mengajak murid
bersama-sama melakukan aksi konkret untuk merespon realita sosial yang ingin diubah.

Dengan ini kita telah sampai pada akhir pertemuan.

Sampai jumpa dalam perkulihan berikutnya.

Referensi:

Video dokumenter “Our School Our Lives” bisa diunduh di


https://www.youtube.com/watch?v=yGw3rKjgV9I

Bambang Wisudo Dkk. 2012. Pancasila yang Mencerdaskan: Modul Literasi Kritis untuk Pendidikan
Pancasila. Jakarta: Sekolah Tanpa Batas

Anda mungkin juga menyukai