Anda di halaman 1dari 8

Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Kebudayaan Bacson-Hoabinh merupakan kebudayaan zaman prasejarah yang berpusat di
Indochina dan berpengaruh pada perkembangan manusia purba di Indonesia. Kebudayaan ini
dianggap sebagai salah satu pusat kebudayaan zaman batu di Asia Tenggara dan Indochina.
Adapun pendukung dari kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah manusia dari ras melanesoid.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh muncul di lembah Sungai Mekong yang berada di Vietnam
pada 10.000 hingga 4.000 tahun yang lalu. Sebagai kebudayaan yang muncul pada zaman batu,
Kebudayaan Bacson-Hoabinh memiliki ciri khasnya sendiri. Adapun ciri-ciri dari Kebudayaan
Bacson-Hoabinh adalah sebagai berikut.
 Batu sebagai alat dasar peralatan

 Batu yang sudah dioleh halus dan tajam

 Tulang sebagai bahan dasar peralatan

 Menetap di gua

Ciri utama dari kebudayaan Bacson-Hoabinh berupa alat keseharian yang terbuat dari bebatuan.
Pada umumnya batu yang digunakan adalah batu sungai yang dihaluskan dan ditajamkan dengan
batu lain atau alat serpih khusus. Kebudayaan Bacson-Hoabinh memiliki peninggalan yang bisa kita
lihat hingga sekarang:

 flakes, yakni serpihan untuk mememotong yang terbuat dari batu atau tulang yang
ditajamkan

 kjokkenmoddinger atau tumpukan sisa sampah dapur berupa kulit kerang

 Kapak Genggam digunakan untuk menumbuk biji-bijian, membuat serat-serat dari


pepohonan, membunuh binatang buruan, dan sebagai senjata menyerang lawannya

 abris sous roche , gua-gua karang empa inal

Pembabakan zaman praaksara berdasarkan arkeologi


Menurut arkeologi, periodisasi zaman praaksara dibagi menjadi dua, yakni:

1. Zaman batu
Zaman batu dibagi ke dalam empat periode, yaitu:
a. Zaman batu tua (Paleolitikum)
Zaman Batu Tua (Paleolitikum) diperkirakan berlangsung pada 600.000 tahun yang lalu.
Pada masa ini, alat-alat yang digunakan oleh manusia purba masih berasal dari batu kasar
yang belum dihaluskan.
b. Zaman batu madya (Mesolitikum)
Ciri utama zaman Mesolitikum adalah kehidupan semi nomaden, di mana sebagian
manusianya telah hidup menetap di gua-gua dan yang lainnya masih berpindah-pindah.

Page 1|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

Hasil kebudayaan paling terkenal dari zaman Mesolitikum adalah kjokkenmoddinger


(tumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan kerang) dan abris sous roche (kebudayaan
yang ditemukan di gua-gua).
c. Zaman batu muda (Neolitikum)
Pada zaman Neolitikum, manusia purba mampu menghasilkan alat-alat dari batu yang telah
dihaluskan. Pada periode ini, terjadi perubahan yang cukup mendasar dari food gathering
(berburu dan meramu) menjadi food producing alias membuat makanan sendiri.
d. Zaman batu besar (Megalitikum)
Ciri terpenting dari zaman Megalitikum adalah manusia pendukungnya telah menciptakan
bangunan dari batu yang berukuran sangat besar. Hasil kebudayaan zaman Megalitikum
terdiri dari:

 Menhir

 Dolmen

 Sarkofagus

 kubur batu

 punden berundak

 arca.

2. Zaman Logam
Zaman logam atau masa perundagian dibagi ke dalam tiga periode, yaitu:
a. Zaman tembaga
Zaman tembaga berlangsung sekitar 7.000 tahun lalu, tetapi tidak dialami oleh semua
wilayah di dunia. Di Indonesia misalnya, tidak ditemukan peninggalan praaksara
berbahan tembaga.
b. Zaman perunggu
Ciri umum dari zaman Perunggu yang berlangsung sejak 3000-2000 SM adalah
masyarakatnya sudah menggunakan perkakas dari perunggu. Adapun hasil
kebudayaan zaman Perunggu berupa nekara, kapak corong, arca perunggu, bejana
perunggu, dan berbagai perhiasan (kalung, cincin, dan anting-anting).
c. Zaman besi
Zaman Besi berlangsung sejak 1200-550 SM, di mana manusia purba sudah sanggup
membuat alat-alat berbahan dasar besi dengan cara melebur bijihnya yang kemudian
dituang ke dalam cetakan untuk membuat alat-alat yang dibutuhkan. Hasil peninggalan
dari Zaman Besi yang ditemukan di Indonesia adalah mata kapak, mata sabit, mata
pisau, mata pedang, cangkul, dan sebagainya.

Page 2|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

Teknik cetak Masa Perundagian (zaman Logam)


Pada zaman Logam, manusia prasejarah sudah mampu membuat peralatan sehari-hari dari
logam. Bahan-bahan logam diolah dan dibentuk menjadi beraneka ragam peralatan yang digunakan
untuk berburu maupun bercocok tanam. Hal itu membuktikan bahwa manusia purba telah mengenal
teknik peleburan logam. Pada periode ini, masyarakatnya mengenal dua teknik pengolahan logam,
yaitu:
a. Teknik Bivalve
Teknik Bivalve atau setangkup adalah teknik cetak logam menggunakan cetakan yang terbuat
dari batu. Adapun batu tersebut direkatkan atau diikat dengan menggunakan tali pada kedua
sisinya. Setelah direkatkan dan diikat, lelehan dari perunggu atau jenis logam lainnya dimasukkan
ke dalam cetakan melalui lubang yang ada di bagian atas cetakan. Kelebihan teknik Bivalve adalah
bisa dikerjakan berulang-ulang, karena cetakannya yang terbuat dari batu dapat digunakan berkali-
kali. Oleh karena itu, teknik ini sangat cocok untuk pengadaan barang atau benda secara massal.
Adapun barang yang dihasilkan melalui teknik ini biasanya adalah kapak corong dan mata panah.

b. Teknik A Cire Perdue


Teknik Cire Perdue adalah cara pengolahan logam menggunakan cetakan yang terbuat dari
lilin yang dibungkus tanah liat. Langkah pertama teknik ini adalah membuat model barangnya
dengan memanfaatkan lilin. Setelah itu, lilin akan dilapisi dengan tanah liat untuk membuat
cetakannya. Tanah liat yang telah dilubangi pada sisi atasnya lalu dibakar supaya keras. Fungsi
lubang tersebut adalah sebagai jalan keluar dari lilin yang mencair dalam proses pembakaran.
Setelah cetakan jadi, logam yang telah dicairkan kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dan
didiamkan hingga mengeras. Untuk mengambil peralatan logam yang telah selesai dicetak, cetakan
akan dipecah atau dihancurkan. Inilah yang menjadi kekurangan A Cire Perdue, yakni merupakan
teknik sekali pakai. Apabila ingin membuat peralatan lagi, maka harus membuat cetakan baru
terlebih dahulu. Barang yang dihasilkan dari teknik mencetak A Cire Perdue biasanya berupa kapak
belah, kapak lonjong, dan kapak persegi.

Sistem Kepercayaan pada Masa Pra Aksara


Sistem kepercayaan adalah sebuah sistem yang membuat seseorang meyakini sesuatu
hingga memengaruhi pola pikir serta tingkah laku manusia sehari-hari. Sistem kepercayaan sendiri
sudah ada sejak zaman prasejarah, sejak masa bercocok tanam. Kepercayaan pada masa itu,
berbeda dengan agama yang kita anut sekarang. Di masa itu, manusia purba menganut
kepercayaan
a. Animisme
Sistem kepercayaan pertama yang ada pada masa bercocok tanam adalah Animisme.
Animisme berasal dari bahasa Latin anima, yang berarti nyawa, jiwa, atau roh. Secara garis besar,
animisme adalah kepercayaan bahwa semua yang bergerak dianggap hidup serta memiliki roh yang
berwatak baik ataupun buruk. Selain itu, orang-orang yang memiliki kepercayaan animisme juga
percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia itu bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Maka
dari itu, Animisme juga bisa disebut sebagai kepercayaan manusia terhadap roh leluhur. Masyarakat
yang menganut paham animisme ini meyakini bahwa orang yang sudah meninggal dianggap

Page 3|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

sebagai mahatinggi yang mampu menentukan nasib serta mengontrol segala perbuatan manusia.
Oleh sebab itu, supaya masyarakat terhindar dari kemarahan roh leluhur biasanya diadakan sebuah
ritual tertentu.
b. Dinamisme
Selanjutnya ada kepercayaan dinamisme, yaitu kepercayaan yang menganggap bahwa pohon
dan batu besar itu memiliki kekuatan gaib. Dinamisme sendiri berasal dari bahasa
Yunani, dunamos, yang berarti kekuatan atau daya. Jika disimpulkan, Dinamisme adalah
kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda
tersebut akan sangat dihormati dan dikeramatkan. Biasanya, benda-benda yang dikeramatkan oleh
masyarakat prasejarah penganut dinamisme adalah api, batu, air, pohon, dan binatang.
c. Totenisme
Sistem kepercayaan terakhir pada masa bercocok tanam disebut Totenisme. Totenisme adalah
bentuk kepercayaan masyarakat prasejarah terhadap adanya daya atau sifat ilahi yang terkandung
di dalam sebuah benda atau makhluk hidup selain manusia. Benda atau makhluk hidup yang
disembah inilah yang disebut sebagai totem, bisa berupa burung, ikan, hewan, atau tumbuhan.
Totenisme berasal dari kata dotem, yaitu istilah yang digunakan orang Algonquin di Amerika Utara,
untuk menunjuk suatu anggota klan. Adapun beberapa cara ibadah yang dilakukan oleh masyarakat
penganut Totenisme ini adalah merawat hewan atau tumbuhan suci yang mereka sembah. Selama
mereka hidup, tidak ada satupun hewan ataupun tumbuhan yang akan dilukai atau dibunuh, karena
sudah dijadikan totem.

Teori Masuknya Kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia


Di masa perdagangan kuno, wilayah pesisir Sumatera dan Jawa menjadi pusat perdagangan
yang cukup besar. Banyak pedagang yang singgah, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini karena
Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera. Hal tersebut juga yang menyebabkan
Indonesia menjadi daerah yang dilewati jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Adanya
perdagangan internasional yang terjadi di Indonesia, muncul beberapa teori mengenai proses
masuknya budaya Hindu-Buddha ke Indonesia. Lima teori proses masuknya Hindu-Buddha ke
Indonesia tersebut, yaitu:
1. Teori Waisya
hipotesis ini dikemukakan oleh N.J Krom yang menyebutkan proses masuknya kebudayaan
Hindu melalui hubungan dagang antara India dan Indonesia. Kaum pedagang (Waisya) India
yang berdagang di Indonesia mengikuti angin musim. Jika angin musim tidak memungkinkan
mereka untuk kembali, dalam waktu tertentu mereka menetap di Indonesia. Selama para
pedagang India tersebut menetap di Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan menyebarkan
agama Hindu-Buddha.
2. Teori Brahmana
Teori ini diungkapkan oleh Jc. Van Leur yang mengatakan kebudayaan Hindu-Buddha
India menyebar melalui golongan Brahmana. Pendapatnya itu didasarkan pada pengamatan
terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia,
terutama pada prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Golongan
Page 4|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

Brahmana dikenal menguasai bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, sehingga jelas bahwa ada
peran Brahmana dalam masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia.
3. Teori Ksatria
Ada tiga pendapat mengenai proses penyebaran kebudayaan Hindu-Budha yang dilakukan
oleh golongan ksatria, yaitu:
a. Pendapat C.C Berg
C.C. Berg menjelaskan bahwa golongan ksatria yang turut menyebarkan kebudayaan Hindu-
Budha di Indonesia. Para ksatria India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan
kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit banyak membantu
kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang bertikai. Sebagai hadiah
atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang kemudian dinikahkan dengan salah satu putri
dari kepala suku atau kelompok yang dibantunya. Dari perkawinannya itu, para ksatria dengan
mudah menyebarkan tradisi Hindu-Budha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Selanjutnya
berkembanglah tradisi Hindu-Budha dalam kerajaan di Indonesia.
b. Pendapat Mookerji
Sama seperti yang diungkap oleh C.C. Berg, Mookerji juga mengatakan bahwa golongan ksatria
dari India yang membawa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia. Para Ksatria ini
selanjutnya membangun koloni-koloni yang berkembang menjadi sebuah kerajaan.
c. Pendapat J.L Moens,
mencoba menghubungkan proses terbentuknya kerajaan- kerajaan di Indonesia pada awal abad
ke-5 dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama. Ternyata sekitar abad ke-5, ada
di antara para keluarga kerajaan di India Selatan melarikan diri ke Indonesia sewaktu
kerajaannya mengalami kehancuran. Mereka itu nantinya mendirikan kerajaan di Indonesia.
4. Teori Arus Balik
Pendapat ini menjelaskan peran aktif dari orang-orang Indonesia yang mengembangkan
kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Pendapat mengenai keaktifan orang-orang Indonesia ini
diungkap oleh F.D.K Bosch yang dikenal dengan Teori Arus Balik. Teori ini menyebutkan bahwa
banyak pemuda Indonesia yang belajar agama Hindu-Buddha ke India. Setelah memperoleh ilmu
yang banyak, mereka kembali ke Indonesia untuk menyebarkannya. Baca juga: Jejak Seni Arca
dan Ragam Hias Peradaban Hindu-Buddha di Indonesia
5. Teori Sudra
Teori ini disampaikan Von Van Faber yang mengatakan bahwa peperangan yang terjadi di
India pada saat itu menyebabkan golongan Sudra menjadi buangan. Kemudian mereka
meninggalkan India dan mengikuti kaum Waisya dan diduga golongan Sudra yang memberi andil
dalam penyebaran budaya Hindu-Buddha ke Indonesia. Karena saat itu jumlah mereka sangat
besar.

Kerajaan Kutai

Page 5|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

Salah satu kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu dan masih aktif hingga saat ini adalah
Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1300 Masehi di Tepian Batu atau Kutai
Lama, yang saat ini masuk wilayah Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai Kartanegara didirikan oleh Aji
Batara Agung Dewa Sakti. Dia sekaligus raja pertama yang berkuasa pada periode 1300-1325
Masehi.
Salah satu kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu dan masih aktif hingga saat ini adalah
Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1300 Masehi di Tepian Batu atau Kutai
Lama, yang saat ini masuk wilayah Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai Kartanegara didirikan oleh Aji
Batara Agung Dewa Sakti. Dia sekaligus raja pertama yang berkuasa pada periode 1300-1325
Masehi.
Berikut beberapa fakta menarik tentang Kerajaan Kutai Kartanegara:
1. Berbeda dengan Kerajaan Kutai Martadipura
Kerajaan Kutai Kartanegara berbeda dengan Kerajaan Kutai Martadipura. Kutai
Kartanegara berdiri pada abad ke-14 Masehi, dengan raja pertama bernama Aji Batara
Agung Dewa Sakti. Sementara Kutai Martadipura merupakan kerajaan bercorak Hindu
pertama di Nusantara, yang diperkirakan berdiri abad ke-4 Masehi. Selain itu Kutai
Martadipura juga merupakan kerajaan yang memiliki bukti sejarah tertua di Indonesia, dalam
bentuk prasasti Yupa. Kutai Kartanegara didirikan di Tepian Batu atau Kutai Lama,
sedangkan Kutai Martadipura berada di Muara Kaman. Kedua wilayah ini sekarang masuk
ke dalam wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur. Baca juga: Siswa, Ini Kehidupan
Politik dan Raja Kerajaan Kutai
2. Berubah Jadi Kesultanan Islam
Kerajaan Kutai Kartanegara berubah menjadi kesultanan Islam dengan nama
Kesultanan Kutai Kartanegara pada tahun 1575. Raja yang berkuasa dan mengubah status
kerajaan menjadi kesultanan itu bernama Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Perubahan status itu
menyusul keputusan Aji Raja Mahkota Mulia Alam yang masuk Islam setelah didakwahi
seorang pendakwah bernama Tunggang Parangan. Aji Raja Mahkota Mulia Alam sekaligus
juga menjadi raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara yang beragama Islam. Perubahan
status menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi tonggak masuknya ajaran Islam ke
wilayah Kutai atau Kalimantan Timur. Lihat Foto Patung Lembuswana di depan Museum
Mulawarman, Tenggarong - Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.(National Geographic
Indonesia/Yunaidi) Tunggang Parangan sendiri merupakan seorang yang berasal dari
Hadramaut, Yaman, bernama Habib Hasim bin Musaiyah. Setelah Islam menjadi agama
resmi kerajaan, penyebaran ajaran Islam di wilayah Kutai menjadi sangat cepat. Baca juga:
Kerajaan Kutai Kartanegara: Sejarah, Raja-raja, dan Peninggalan Setelah Aji Raja Mahkota
Mulia Alam meninggal, penyebaran Islam dilanjutkan oleh raja berikutnya yang bernama
Raja Aji Dilanggar. Meski sudah berstatus sebagai kesultanan Islam, namun nama dan gelar
raja masih menggunakan unsur lama. Baru pada tahun 1735, Sultan Aji Muhammad Idris
naik tahta dan menjadi raja pertama yang menggunakan nama bernada Islam.
3. Menaklukkan Kutai Martadipura Pada tahun 1634,
Kesultanan Kutai Kartanegara melakukan ekspansi dengan menaklukkan Kerajaan
Kutai Martadipura. Saat itu, Kutai Martadipura sedang diperintah oleh Maharaja Dharma
Setia. Kekalahan dalam serangan ini sekaligus mengakhiri perjalanan panjang kerajaan

Page 6|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

Hindu tertua di Nusantara. Sebaliknya, Kutai Kartanegara saat melakukan penaklukan itu
dipimpin oleh Raja Aji Pangeran Sinum Aji, Raja Aji Pangeran lantas menggabungkan dua
kerajaan ini menjadi satu, dengan nama Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martadipura.
4. Diperintah 22 Orang Raja
Kerajaan Kutai Kartanegara sepanjang sejarahnya diperintah oleh 22 orang raja dan sultan.
Berikut daftar raja-raja Kutai Kartanegara:

 Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

 Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)

 Aji Maharaja Sultan (1360-1420)

 Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)

 Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)

 Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)

 Aji Dilanggar (1610-1635)

 Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1635-1650)

 Aji Pangeran Dipati Agung (1650-1665)

 Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma (1665-1686)

 Aji Ragi (1686-1700)

 Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)

 Aji Pangeran Anum Panji Mendapa (1710-1735)

 Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778)

 Sultan Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)

 Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)

 Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)

 Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)

 Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)

 Sultan Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)

 Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II (2001-2018)

 Sultan Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat (2018-sekarang)

 Sultan Aji Muhammad Idris, raja Kutai Kartanegara pertama yang menyandang
nama bernada Islam(Diskominfo Kalimantan Timur)

Page 7|8
Hand Out SEJARAH_X_SEMESTER 2_2024

5. Tiga Kali Berpindah Ibu Kota


Kerajaan Kutai Kartanegara tercatat pernah tiga kali berpindah ibu kota atau pusat
pemerintahan. Awalnya, ibu kota Kerajaan Kutai Kartanegara berada di Kutai Lama, sebagai
tempat pertama kali kerajaan ini didirikan. Namun pada tahun 1732, tepatnya pada masa
pemerintahan Pangeran Aji Dipati Tua, ibu kota kerajaan dipindah lebih ke hulu Sungai
Mahakam. Sejak saat itu, ibu kota Kerajaan Kutai Kartanegara berada di Pemarangan
(Jembayan). Perpindahan disebabkan wilayah Kutai Lama dianggap sudah tidak aman
karena adanya ancaman dan serangan perampok. Memasuki tahun 1782, Sultan Aji
Muhammad Muslihuddin yang berkuasa saat itu menilai Jembayan tidak sesuai untuk jadi
pusat pemerintahan. Maka ibu kota Kerajaan Kutai Kartanegara kembali dipindah ke Tangga
Arung, atau yang sekarang dikenal Tenggarong. Hingga saat ini, Istana Kutai Kartanegara
berada di Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Baca
juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai
6. Sempat Dihapus Lalu Dihidupkan Kembali
Pada masa kemerdekaan, tepatnya tahun 1960, raja Kerajaan Kutai Kartanegara yaitu
Sultan Aji Muhammad Parikesit memutuskan menyerahkan kerajaan kepada pemerintah.
Serah terima dilakukan pada Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai di Tenggarong
pada tanggal 21 Januari 1960. Serah terima itu menandakan berakhirnya masa kejayaan
Kerajaan Kutai Kartanegara. Sementara Istana Kerajaan sejak 1960-1971 menjadi tempat
tinggal Sultan Parikesit. Pada tahun 1971, Istana Kutai diserahkan kepada Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur. Kemudian tahun 1976, istana diserahkan kepada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola sebagai museum dengan nama Museum
Mulawarman. Namun pada tahun 1999, Kerajaan Kutai Kartanegara dihidupkan kembali
oleh Bupati Kutai saat itu, Syaukani Hasan Rais. Penghidupan kembali itu dimaksudkan
untuk melestarikan warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai. Usulan Bupati Kutai itu
disetujui oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Persetujuan ini terjadi pada tahun 2000. Satu
tahun kemudian, tepatnya 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai
Kartanegara, Aji Pangeran Pangeran Prabu anom Surya Adiningrat dinobatkan menjadi
sultan. Gelar yang disandang adalah Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II, yang berkuasa
hingga tahun 2018.

Page 8|8

Anda mungkin juga menyukai