Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATERI 3

DASAR-DASAR AUDIO VISUAL

DOSEN PENGAMPU
CORRY NOVRICA AP SINAGA, S.SOS.,MA
DISUSUN
Oleh:
KELOMPOK 4

Chairisyah Putri (2203110009)


Zahra Syahputri (2203110144)
Feni Fadillah (2203110333)
Maya Sefrianti (2203110341)
Chitra Intani Nurul Amin (2203110342)
Yopi Sarah Saragih (2203110346)
Rizqi Ramadhan (2203110384)

PRODI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2023
• Jelaskan komunikasi AIDA,BERLO dan Lasswell

Model komunikasi AIDA

Ungkapan AIDA, dalam komunikasi pemasaran diciptakan oleh pelopor periklanan dan
penjualan Amerika, Elias. St Elmo Lewis di akhir tahun 1800-an. Model ini berbicara tentang
berbagai fase yang dilalui konsumen sebelum membeli suatu produk atau
layanan. Menurutnya, sebagian besar pemasar mengikuti model ini untuk menarik lebih
banyak konsumen terhadap produknya. Pemasar menggunakan model ini untuk menarik
pelanggan agar membeli suatu produk. Model ini terlihat banyak digunakan dalam iklan masa
kini.
Akronim AIDA adalah singkatan dari Attention, Interest, Desire, dan Action. Inilah empat
tahapan yang dilalui konsumen saat menonton atau melihat sebuah iklan. Menurut Lewis,
peran iklan yang pertama dan terpenting adalah untuk menarik pelanggan. Ketika sebuah
iklan menarik perhatian, iklan tersebut harus membangkitkan minat terhadap produk tersebut
di benak konsumen. Setelah menciptakan minat, iklan harus membangkitkan keinginan
konsumen untuk menggunakan produk tersebut dan akhirnya konsumen harus mengambil
tindakan yang menguntungkan terhadap produk tersebut dengan akhirnya membeli produk
tersebut.

PROSES AIDA
▪ Perhatian : Perhatian biasanya diambil melalui penggunaan gambar, warna, tata
letak, tipografi, ukuran, selebriti, model, dll
▪ Minat : Setelah perhatian berhasil diraih, maka perlu diciptakan minat di benak
pemirsa agar mereka membaca lebih lanjut tentang merek yang
diiklankan. Dengan menggunakan subhead yang menarik, minat dapat
dimunculkan
▪ Desire : Unsur keinginan biasanya tercipta melalui penggunaan body copy
dimana kita menulis secara detail tentang perlunya membeli suatu merek,
sehingga menjelaskan fitur-fitur merek, fakta dan angka.
▪ Tindakan : Menjelang akhir, informasi kontak merek akan diberikan dimana
mereka mengharapkan pemirsa untuk segera mengambil tindakan. Bisa berupa
alamat toko, nomor bebas pulsa, atau alamat website.

Keberhasilan sebuah iklan bergantung pada kemampuan pemirsa untuk memperhatikan dan
memahami pesannya. Model AIDA membantu copy writer dalam menyajikan elemen iklan
cetak, Headline, Subhead, Body copy, slogan dan informasi kontak dalam format yang
membuat pemirsa membaca dengan lancar dan memahami produk dengan mudah.
Model Komunikasi Berlo

Model komunikasi oleh David K. Berlo, dikenal sebagai Model Komunikasi Berlo, adalah
sebuah kerangka kerja yang memahami komunikasi sebagai suatu proses yang melibatkan
pengirim (komunikator), pesan, saluran, penerima (komunikan), serta umpan balik. Model ini
terdiri dari empat elemen utama:

1. Sumber (Source): Ini adalah individu atau kelompok yang menginisiasi komunikasi.
Mereka memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada penerima.
2. Pesan (Message): Pesan adalah informasi atau pesan yang ingin dikomunikasikan oleh
sumber kepada penerima. Ini bisa berupa kata-kata, gambar, atau media lainnya.
3. Saluran (Channel): Saluran adalah medium atau cara di mana pesan disampaikan. Ini bisa
melibatkan komunikasi lisan, tulisan, visual, atau komunikasi melalui teknologi seperti
telepon, email, atau media sosial.
4. Penerima (Receiver): Penerima adalah individu atau kelompok yang menerima pesan dari
sumber. Mereka menginterpretasikan pesan tersebut dan meresponsnya.
Model komunikasi Berlo juga mencakup faktor-faktor kontekstual yang memengaruhi proses
komunikasi, seperti latar belakang budaya, nilai, sikap, dan pengalaman penerima. Umpan
balik dari penerima ke sumber juga merupakan komponen penting dalam model ini, karena
membantu dalam memahami efektivitas komunikasi.

Dalam model ini, komunikasi dianggap berhasil jika pesan yang disampaikan oleh sumber
berhasil dipahami dan diinterpretasikan dengan benar oleh penerima.

Model Komunikasi Lasswell

Kembali lagi untuk membahas hal tentang bagaimana memahami komunikasi


dalam bekerja, sebenarnya banyak modelnya. Salah satu model yang cukup terkenal adalah
model Lasswell. Karena model ini sederhana dan mudah dimengerti. Menurut Lasswell
komunikasi akan berjalan dengan baik apabila melalui lima tahap.Kelima tahap itu adalah
:Who:Siapa orang yang menyampaikan komunikasi (komunikator). Say What: Apa pesan
yang disampaikan. In Which Channel : Saluran atau media apa yang digunakan untuk
menyampaikan pesan komunikasi. To Whom: Siapa penerima pesan kominkasi
(komunikan). Whit what Effect: Perubahan apa yang terjadi ketika komunikan menerima
pesan komunikasi yang telah tersampaikan.

Lima unsur itu merupakan elemen pokok komunikasi yang tidak boleh ditinggalkan
dalam melakukan komunikasi dengan siapa saja termasuk berkomunikasi dalam mengajar
di kelas.Walaupun demikian komunikasi jenis Lasswell itu masih kurang maksimal
apabila diterapkan dalam komunikasi pendidikan. Supaya komunikasi pendidikan
bisa berjalan dengan efektif harus ada penajaman maupun penekanan. Karena
tujuan dari komunikasi pendidikan tidak hanya sebatas anak didik bisa menerima dan
memahami materi yang disampaikan. Tetapi mampu merubah perilaku anak didik. Oleh
karena itu supaya komunikasi pendidikan dapat berjalan efektif maka komunikasi jenis
Lasswell dikolaborasikan dengan model komunikasi yang lain. Model komunikasi yang tepat
adalah jenis S-O-R (Stimulus-Organism-Respon).
Sumbangan Lasswell terhadap Studi Komunikasi

Berikut adalah beberapa aspek kontribusi Lasswell terhadap pengembangan studi komunikasi:

a. Model 5 pertanyaan komunikasi Lasswell menekankan pada studi komunikasi tentang efek-
efek. Sarjana yang meneliti aspek who akan fokus pada faktor-faktor yang menginisiasi dan
membimbing aksi komunikasi. Disinilah aspek penting dari analisis kontrol. Sarjana yang
meneliti says what dalam proses komunikasi akan fokus pada analisis isi. Sarjana yang meneliti
in which channel yakni bagaimana perjalanan suatu pesan akan menekankan analisis data yang
berkaitan dengan radio, pers, film dan saluran-saluran komunikasi lainnya. Sarjana yang
meneliti to whom akan fokus pada orang yang terdedah oleh media sehingga akan banyak
terlibat pada audience analysis.

b. Lasswell mempelopori metode analisis isi, menanamkan metode ukuran kualitatif dan
kuantitatif pada pesan komunikasi (sebagai contoh, adalah pesan propaganda dan editorial
koran).

c. Studinya tentang politik dan propaganda perang merepresentasikan jenis studi komunikasi
yang penting ketika itu. Kata propaganda kemudian memiliki konotasi negatif dan tidak banyak
digunakan saat ini walaupun ada juga yang menggunakan sebagaimana propaganda politik.
Analisis propaganda telah diserap ke dalam bagian penelitian komunikasi

d. Lasswell memperkenalkan teori psikoanalisis Freudian kepada ilmu sosial di Amerika.


Lasswell menyatukan teori A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
232 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Freudian dengan analisis politik. Ia
menggunakan id-ego-superego milik Freud, melalui analisis isi ke masalah pemilu politik.
Sebagai contoh, ia menggunakan teori intraindividual Freudian pada level sosial.

e. Lasswell membantu menciptakan ilmu-ilmu kebijakan publik, sebuah pergerakan


interdisipliner menuju pengetahuan ilmu sosial yang komprehensif dengan disertai aksi-aksi
yang bersifat publik juga.

• Buat Diagramnya!
• Model Konstruksi Sosial Berger dan Luckman

Perspektif Konstruksi Sosial Berger dan Luckman

1. Konsep Konstruksi sosial


Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek
diluar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi.
Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia,
obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri
ditengah lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality) didefinisikan sebagai
proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-
menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.

Asal usul konstruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan
konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam
tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun
apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah
dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal
Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa
dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. (Bertens, 1999:89). Gagasan
tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi,
individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah
makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan
adalah fakta (Bertens, 1999:137).

Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti
“saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar
yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun
1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, mengungkapkan filsafatnya dengan
berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia
menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini
berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang
membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam
raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya,
sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya
(Suparno, 1997:24).

Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme
hipotesis; dan konstruktivisme biasa:
a. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita.
Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria
kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif,
namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu
merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada
individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap
pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.

b. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang
mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

c. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami


pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang
sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas obyektif dalam dirinya sendiri. (Suparno,
1997:25).

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat


sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena
terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu
kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada
struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann
disebut dengan konstruksi sosial.

2. Pijakan dan Arah Pemikiran Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas
Luckman

Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter
L.Berger dan Thomas Luckman. Dalam menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yg
bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu
bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang
kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002 : 194).
Sosiologi pengetahuan Berger dan Luckman adalah deviasi dari perspektif yang telah
memperoleh “lahan subur” di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran
fenomonologi mula pertama dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber,
Husserl dan Schutz hingga kemudian kepada Berger dan Luckman. Akan tetapi, sebagai
pohon pemikiran, fenomenologi telah mengalami pergulatan revisi. Dan sebagaimana kata
Berger bahwa “posisi kami tidaklah muncul dari keadaan kosong (ex nihilo)”, akan jelas
menggambarkan bagaimana keterpegaruhannya terhadap berbagai pemikiran sebelumnya.
Jika Weber menggali masalah mengenai interpretatif understanding atau analisis pemahaman
terhadap fenomena dunia sosial atau dunia kehidupan, Scheler dan Schutz menambah dengan
konsep life world atau dunia kehidupan yang mengandung pengertian dunia atau semesta
yang kecil, rumit dan lengkap terdiri atas lingkungan fisik, lingkungan sosial, interaksi antara
manusia (intersubyektifitas) dan nilai-nilai yang dihayati. Ia adalah realitas orang biasa
dengan dunianya. Di sisi lain, Manheim tertarik dengan persoalan ideologi, dimana ia melihat
bahwa tidak ada pemikiran manusia yang tidak dipengaruhi oleh ideologi dan konteks
sosialnya, maka dalam hal ini Berger memberikan arahan bahwa untuk menafsirkan gejala
atau realitas di dalam kehidupan itu.

Usaha untuk membahas sosiologi pengetahuan secara teroitis dan sistematis melahirkan karya
Berger dan Luckman yang tertuang dalam buku The Social Construction of Reality, A
Treatise in the Sociology of Knowledge (tafsiran sosial atas kenyataan, suatu risalah tentang
sosiologi pengetahuan). Ada beberapa usaha yang dilakukan Berger untuk mengembalikan
hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka pengembangan sosiologi.

Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks


sosial. Teori sosiologi harus mampu menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat itu
dikonstruksi secara terus-menerus. Gejala-gejala sosial sehari-hari masyarakat selalu
berproses, yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat. Oleh karena itu, pusat
perhatian masyarakat terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan
masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspek (kognitif, psikomotoris, emosional dan
intuitif). Dengan kata lain, kenyataan sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial, yang
diungkapkan secara sosial termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial semacam ini
ditemukan dalam pengalaman intersubyektif (intersubjektivitas). Melalui intersubyektifitas
dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus.
Konsep intersubyektifitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran
individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi.

Kedua,menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman intersubyektifitas


dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Dalam hal ini, memang perlu ada kesadaran bahwa
apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari dimensi obyektif sekaligus dimensi
subyektif sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang
di dalamnya terdapat hubungan intersubyektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta
dunianya sendiri. Oleh karena itu, dalam observasi gejala-gejala sosial itu perlu diseleksi,
dengan mencurahkan perhatian pada aspek perkembangan, perubahan dan tindakan sosial.
Dengan cara seperti itu, kita dapat memahami tatanan sosial atau orde sosial yang diciptakan
sendiri oleh masyarakat dan yang dipelihara dalam pergaulan sehari-hari.

Ketiga, memilih logika yang tepat dan sesuai. Peneliti perlu menentukan logika mana yang
perlu diterapkan dalam usaha memahami kenyataan sosial yang mempunyai ciri khas yang
bersifat plural, relatif dan dinamis. Yang menjadi persoalan bagi Berger adalah logika seperti
apakah yang perlu dikuasai agar interpretasi sosiologi itu relevan dengan struktur kesadaran
umum itu? Sosiologi pengetahuan harus menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai
“pengetahuan” dalam masyarakat.

Berger berpandangan bahwa sosiologi pengetahuan seharusnya memusatkan perhatian pada


struktur dunia akal sehat (common sense world). Dalam hal ini, kenyataan sosial didekati dari
berbagai pendekatan seperti pendekatan mitologis yang irasional, pendekatan filosofis yang
moralitis, pendekatan praktis yang fungsional dan semua jenis pengetahuan itu membangun
akal sehat. Pengetahuan masyarakat yang kompleks, selektif dan akseptual menyebabkan
sosiologi pengetahuan perlu menyeleksi bentuk-bentuk pengetahuan yang mengisyaratkan
adanya kenyataan sosial dan sosiologi pengetahuan harus mampu melihat pengetahuan dalam
struktur kesadaran individual, serta dapat membedakan antara “ pengetahuan” (urusan subjek
dan obyek) dan “kesadaran” (urusan subjek dengan dirinya).

Di samping itu, karena sosiologi pengetahuan Berger ini memusatkan pada dunia akal sehat
(common sense), maka perlu memakai prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian,
berpikir secara “kontradiksi” dan “dialektis” (tesis, antitesis, sintesis). Sosiologi diharuskan
memiliki kemampuan mensintesiskan gejala-gejala sosial yang kelihatan kontradiksi dalam
suatu sistem interpretasi yang sistematis, ilmiah dan meyakinkan. Kemampuan berpikir
dialektis ini tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa
filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksal. Oleh karena itu,
tidak heran jika kenyataan hidup sehari-hari pun memiliki dimensi-dimensi obyektif dan
subjektif (Berger dan Luckmann, 1990 : 28-29).

Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, sehingga
sosiologi pengetahuan harus menganalisi proses terjadinya itu. Dalam pengertian individu-
individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat, maka pengalaman individu
tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Waters mengatakan bahwa “they start from the
premise that human beings construct sosial reality in which subjectives process can become
objectivied”. ( Mereka mulai dari pendapat bahwa manusia membangun kenyataan sosial di
mana proses hubungan dapat menjadi tujuan yang panta). Pemikiran inilah barangkali yang
mendasari lahirnya teori sosiologi kontemporer “kosntruksi sosial”. (Basrowi dan Sukidin,
2002 : 201)

Dalam sosiologi pengetahuan atau konstruksi sosial Berger dan Luckmann, manusia
dipandang sebagai pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi
(yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dalam konsep berpikir dialektis (tesis-antitesis-
sintesis), Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai
produk masyarakat. Yang jelas, karya Berger ini menjelajahi berbagai implikasi dimensi
kenyataan obyektif dan subjektif dan proses dialektis obyektivasi, internalisasi dan
eksternalisasi.

Salah satu inti dari sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika antara diri
(the self) dengan dunia sosiokultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan,
yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk yang
dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).

3. Memahami Dialektika Berger : Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi


Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann mencoba mengadakan sintesa antara fenomen-
fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen dan memunculkan suatu konstruksi
kenyataan sosial yang dilihat dari segi asal-muasalnya merupakan hasil ciptaan manusia,
buatan interaksi intersubjektif.

Masyarakat adalah sebagai kenyataan obyektif sekaligus menjadi kenyataan subjektif.


Sebagai kenyataan obyektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-
hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam
masyarakat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah
pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk individu. Kenyataan atau realitas
sosial itu bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan obyektif.
Kenyataan atau realitas obyektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia,
sedangkan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.

Melalui sentuhan Hegel, yaitu tesis, antitesis dan sintesis, Berger menemukan konsep untuk
menghubungkan antara yang subjektif dan obyektif itu melalui konsep dialektika. Yang
dikenal sebagai eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah
penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah
interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
intitusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-
lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.

Di dalam kehidupan ini ada aturan-aturan atau hukum-hukum yang menjadi pedoman bagi
berbagai intitusi sosial. Aturan itu sebenarnya adalah produk manusia untuk melestarikan
keteraturan sosial, sehingga meskipun aturan di dalam struktur sosial itu bersifat mengekang,
tidak menutup kemungkinan adanya “pelanggaran” yang dilakukan oleh individu.
Pelanggaran dari aturan itulah yang disebabkan oleh proses eksternalisasi yang berubah-ubah
dari individu atau dengan kata lain ada ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan
aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial tersebut. Oleh karena itu, problem
perubahan berada di dalam proses eksternalisasi ini. Jadi di dalam masyarakat yang lebih
mengedepankan “ketertiban sosial” individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan
diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan, sedangkan bagi masyarakat
yang senang kepada “kekisruhan sosial” akan lebih banyak ketidaksukaannya untuk
menyesuaikan dengan peranan-peranan sosial yang telah terlembagakan.
Hal ini yang termasusk masyarakat sebagai kenyataan obyektif adalah legitimasi. Fungsi
legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi masuk akal
secara obyektif. Misalnya itologi, selain memiliki fungsi legitimasi terhadap perilaku dan
tindakan, juga menjadi masuk akal ketika mitologi tersebut difahami dan dilakukan. Untuk
memelihara universum itu diperlukan organisasi sosial. Hal ini tidak lain karena sebagai
produk historis dari kegiatan manusia, semua universum yang dibangun secara sosial itu akan
mengalami perubahan karena tindakan manusia, sehingga diperlukan organisasi sosial untuk
memeliharanya. Ketika pemeliharaan itu dibangun dengan kekuatan penuh, maka yang terjadi
adalah status quo.

Masyarakat juga sebagai kenyataan subjektif atau sebagai realitas internal. Untuk menjadi
realitas subjektif, diperlukan suatu sosialisasi yang berfungsi untuk memelihara dan
mentransformasikan kenyataan subjektif tersebut. Sosialisasi selalu berlangsung di dalam
konsep struktur sosial tertentu, tidak hanya isinya tetapi juga tingkat keberhasilannya. Jadi
analisis terhadap sosial mikro atau sosial psikologis dari fenomen-fenomen internalisasi harus
selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman sosial-makro tentang aspek-aspek
strukturalnya.

Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang
sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk
tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia obyektif. Dalam
prosen internalisasi, tiap individu berbeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih
menyerap aspek ekstern, ada juga yang lebih menyerapa bagian intern. Tidak setiap individu
dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi obyektif dan dimensi kenyataan
sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger,
membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan
dipraktekkan.

Dengan demikian, hubungan antara individu dengan institusinya adalah sebuah dialektika
(intersubjektif) yang diekspresikan dengan tiga momen : society is human product. Society is
an objective reality. Human is sosial product. (Masyarakat adalah produk manusia.
Masyarakat adalah suatu kenyataan sasaran. Manusia adalah produk sosial). Dialektika ini
dimediasikan oleh pengetahuan yang disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan
oleh peranan-peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional (Waters,
1994 : 35)

• Buat Resume Perkembangan Media Penyiaran di Indonesia

Sejarah perkembangan media penyiaran di Indonesia


Perkembangan media penyiaran Radio
Sejarah penyiaran di Indonesia dimulai pada tahun 1925, pada masa pemerintahan Hindia
Belanda Prof. Komans dan Dr. De Groot berhasil melakukan komunikasi radio dengan
menggunakan stasiun radio di Malabar, Jawa Barat. Kejadian ini kemudian diikuti dengan
berdirinya Batavia Radio Vereniging dan Nirom.Tahun 1930 amatir radio di Indonesia telah
membentuk organisasi yang menamakan dirinya NIVERA (Nederland Indische Vereniging
Radio Amateur) yang merupakan organisasi amatir radio pertama di Indonesia. Berdirinya
organisasi ini disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat ini seiring dengan
berkembangnya zaman radio tidak hanya digunakan sebagai media penyiaran untuk
menyampaikan pesan oleh pemerintah kepada masyarakatnya saja seperti pada saat pertama
kali dibentuk tetapi juga sebagai media penyampaian berbagai macam informasi seperti gaya
hidup, musik, kesehatan, kuliner dan berbagai informasi lainnya dan juga sebagai media
promosi suatu perusahaan atau institusi dan sebagai media bagi hiburan masyarakat.
Tahun 1945 tercatat seorang amatir radio bernama Gunawan berhasil menyiarkan naskah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan perangkat pemancar radio
sederhana buatan sendiri tindakan itu sangat dihargai oleh pemerintah Indonesia radio milik
Gunawan menjadi benda yang tidak harganya tetapi sangat bernilai bagi sejarah perjuangan
bangsa Indonesia dan sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia akhir tahun 1945 telah
ada sebuah organisasi yang menamakan dirinya PRRI atau Persatuan radio amatir Indonesia
pada tahun 1945 sampai 1949 banyak para amatir radio muda yang membuat sendiri perangkat
radio transfer yang dicapai untuk berkomunikasi antar pulau Jawa dan Sumatera tempat
pemerintah sementara RI berada hingga sampai tahun hingga sampai akhir tahun 1950 radio
amatir juga banyak berperan sebagai radio Laskar
Perkembangan media penyiaran Televisi
Perkembangan televisi di Indonesia dimulai pada tahun 1962, dengan berdirinya
Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang ketika saat itu menayangkan secara langsung upacara
peringatan Hari Ulang Tahun yang ke-17 saat kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1962,
namun siaran ini hanyalah percobaan. Siaran resmi stasiun TV TVRI baru dimulai pada tanggal
24 Agustus 1962 yang saat itu menyiarkan secara live upacara pembukaan sebuah acara
bergengsi, Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Meskipun hanya siaran
televisi hitam putih, tapi siaran pertama televisi di Indonesia itu menjadi momentum yang
sangat bersejarah.Tetapi semenjak pemerintah Indonesia membuka stasiun TV TVRI maka
selama 27 tahun lamanya, pemirsa televisi di Indonesia hanya dapat menonton satu saluran
televisi. Barulah pada sekitar tahun 1989, pemerintah memberikan surat izin beroperasi kepada
beberapa kelompok usaha Bimantara untuk membuka sebuah stasiun televisi RCTI yang
merupakan saluran televisi kedua di Indonesia, disusul dengan kemunculan stasiun TV SCTV,
Indosiar, ANTV dan TPI yang mengutamakan program berita.
Dunia pertelevisian Indonesia memiliki undang-undang sebagai pedoman dalam
memproduksi berbagai program acara. Antara lain : berdasarkan substansi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, beberapa pasal mengharuskan pemerintah
mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia.
Pada pasal 14 UU No. 32/ 2002, yang dimaksud dengan LPP adalah Lembaga Penyiaran Publik
yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independent, netral, tidak
komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Candra, N. (2010). PERKEMBANGAN MEDIA PENYIARAN TELEVISI. 187-198.

Dharma, F. A. (2018). Konstruksi Realitas Sosial:Pemikiran Peter L. Berger Tentang Kenyataan


Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 1-9.

Model AIDA. (2014, june 30). Retrieved from Teori Komunikasi: https://www-communicationtheory-
org.translate.goog/aida-model/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
Berlo, David K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. New
York: Holt, Rinehart and Winston.

SETYANTO, A. Eko. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell terhadap Pengembangan Ilmu


Komunikasi. Komunikasi, 2013, 221

Berger Peter dan Luckman, Thomas. 1990 ”Tafsiran Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan”. LP3ES, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1990. ”Sosiologi Suatu Pengantar”. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suparno. 1997. “Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan”. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai