Anda di halaman 1dari 38

EKONOMI MANAJERIAL DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN GIGI

PEMBIAYAAN ASURANSI DAN NON ASURANSI PELAYANAN


KESEHATAN GIGI DI PUSKESMAS

Oleh :
Amalia Rizki Ananda (J01222008)

Disusun untuk Memenuhi Tugas : Mata Kuliah Ekonomi Manajerial dan


Pembiayaan Kesehatan Gigi
Dosen Pengampuh :Dr.Ayub Irmadani Anwar, drg., M.Med.Ed.,
FISDPH,FISPD
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR
‫ِبْس ِم ِهّللا الَّرْح َمِن الَّر ِحْي‬

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Segala puja dan puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah serta nikmat ilmu pengetahuan.
Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW yang
telah membawa manusia dari lembah kegelapan menuju lembah yang terang
benderang dengan berbagai ilmu pengetahuan. Alhamdulillah, pada kesempatan
hari ini penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “EKONOMI
MANAJERIAL DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN GIGI” tepat pada
waktunya.

Ucapan terimakasih kepada Dr.Ayub Irmadani Anwar, drg., M.Med.Ed.,


FISDPH,FISPD selaku dosen pengampuh mata kuliah Ekonomi Manajerial dan
Pembiayaan Kesehatan Gigi yang telah membimbing kami. Tidak lupa saya
ucapkan terimakasih kepada keluarga, teman-teman dan seluruh pihak yang telah
membatu dan mengirimkan doa kepada penulis dalam melakukan pendidikan
sehingga mampu mengerjakan tugas makalah ini.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ekonomi Manajerial dan Pembiayaan Kesehatan Gigi. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan
masukan dan saran yang membangun sehingga makalah ini dapat lebih baik lagi
dan bermanfaat untuk memperbaiki serta mampu menjadi sarana peningkatan diri
dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan


meningkatkan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Makassar, Maret 2024


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
BAB II ISI......................................................................................................4
2.1 Pengertian Asuransi............................................................................3

2.2 Tujuan Asuransi dan Manfaat Asuransi..............................................6

2.3 Macam Asuransi Kesehatan..............................................................16

2.4 Sistem Pembayaran Pada Pelayanan Kesehatan Gigi di Puskesmas

2.5 Gambaran Pembiayaan JKN-KIS

2.6 Sustainbilitas JKN-KIS

2.7

BAB III PENUTUP………………………………………………………..30


DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………31
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam era globalisasi sekarang ini perkembangan sektor jasa semakin

bertambah penting dalam usaha peningkatan kesejahteraan dan kesehatan

masyarakat. Perkembangan sektor jasa tersebut didorong oleh kemajuan pesat

dalam bidang teknologi. Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas

pelayanan semakin dirasakan penting karena masyarakat semakin kritis terhadap

produk jasa yang diperolehnya. Masyarakat dewasa ini semakin selektif untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, mereka sebagai pengguna

jasa, tidak hanya membayar namun menuntut pelayanan yang baik dan

berkualitas mulai di awal hinggga akhir. Masyarakat akan merasakan kepuasan

apabila menerima pelayanan yang baik dan profesional dari penyedia pelayanan.

Jika mereka memperoleh kepuasan atas layanan yang diberikan, maka akan

timbul kepercayaan dari masyarakat sebagai pengguna jasa untuk

menggunakan kembali layanan tersebut.

Penyedia pelayanan kesehatan di tingkat pertama adalah pusat kesehatan

masyarakat (Puskesmas). Puskesmas merupakan unit pelaksana pelayanan

kesehatan di wilayah kecamatan. Pembangunan puskesmas di tingkat kecamatan

memiliki peran yang sangat penting dalam memelihara kesehatan masyarakat.


Apabila berfungsi dengan baik, maka akan mampu memberikan pelayanan yang

bermutu bagi masyarakat yang membutuhkan puskesmas.

Puskesmas merupakan ujung tombak berhasil tidaknya pembangunan

kesehatan di lingkungan kecamatan. Pembangunan kesehatan merupakan upaya

memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak rakyat untuk memperoleh akses

atas kebutuhan pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan juga dipandang

sebagai suatu investasi dalam kaitannya untuk mendukung peningkatan kualitas

sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting

dalam upaya penanggulangan kemiskinan, karena pembangunan hanya dapat

berjalan apabila dilakukan oleh manusia yang sehat.

Kesehatan sebagai investasi karena hanya manusia sehat lahir dan batin yang

mampu berperan dalam pembangunan, telah disadari oleh masyarakat namun

komitmen untuk melaksanakan kurang tampak. Kesenjangan antara kaya dan

miskin serta ketidakadilan sosial masih tampak jelas. Masyarakat kelas atas tidak

akan kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik karena mereka

mempunyai kekayaan untuk pembiayaan kesehatan mereka. Sedangkan mereka

yang berada di masyarakat kelas bawah untuk biaya kehidupan sehari- sehari

saja masih kekurangan apalagi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang

baik pastilah akan mengalami kesulitan.

Penentuan tarif akhir-akhir ini menjadi salah satu issue menonjol dalam

pembiayaan pelayanana kesehatan. Untuk fasilitas pemerintah, tarif pelayanan


lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan sosial, sehingga secara langsung

sering terlalu rendah (Gani, 1993).

Rendahnya tarif tersebut juga menyebabkan lemahnya posisi pihak

pelayanan kesehatan dalam bernegosiasi dengan pihak ketiga dalam pembayaran

pelayanan, yaitu perusahaan asuransi atau badan penyelenggara JPKM seperti PT

Askes, PT Astek dll (Gani, 1993). Akibat lebih lanjut dari rendahnya tarif tersebut

tidak memungkinkan fasilitas pelayanan kseshatan memperoleh pendapatan yang

diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga untuk institusi

kesehatan pemerintah, konsekuensinya adalah tidak bisa bersaing dengan fasilitas

non pemerintah.

Dalam hal pembiayaan. perlu dibedakan pembiayaan yang tergolong

sebagai public goods dan yang tergolong private goods. Pembiayaan yang bersifat

publik merupakan pembiayaan yang menjadi tanggun jawab pemerintah antara

lain kegiatan-kegiatan pelayanan untuk orang miskin dan kegiatan-kegiatan

bersifat promotif dan prenventif. Pembiayaan dari private goods adalah

pembiayaan-pembiayaan yang bersifat pelayanan langsung misal di rumah sakit,

puskesmas yaitu kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat upaya penyembuhan dan

pemulihan (Gani, 1993).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah adalah

bagaimanakah analisis pembiayaan asuransi kesehatan dan non asuransi

pelayanan Kesehatan gigi di puskesmas.


1.3 TUJUAN

Agar mahasiswa dapat mengetahui distribusi analisis sistem pembiayaan

asuransi dan non asuransi pelayanan Kesehatan gigi kesehatan dipuskesmas.


BAB II

ISI

2.1 PENGERTIAN ASURANSI

Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, tidak dikenal

kata asuransi, yang dikenal adalah istilah “jaminan” atau “tanggungan”. Dalam

konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi adalah memastikan seseorang

yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa

harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau

menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini

dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur.

Asuransi merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian

sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan

pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang atau

kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada pihak lain yang disebut

insurer/asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan. (Thabrany H, 2001).

Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),

asuransi mempunyai pengertian sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan

adalah suatu persetujuan dimana penanggung kerugian diri kepada tertanggung,

dengan mendapat premi untuk mengganti kerugian karena kehilangan kerugian

atau tidak diperolehnya suatu keuntungan yang diharapkan, yang dapat diderita
karena peristiwa yang tidak diketahui lebih dahulu. (Andreas, 2009). Definisi

asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992

adalah Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,

dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan

menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung

karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau

tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita

tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk

memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya

seseorang yang dipertanggungkan. (Andreas, 2009).

Dalam dunia asuransi ada 6 (enam) macam prinsip dasar yang harus

dipenuhi, yaitu:

A. Insurable interest Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu

hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan

diakui secara hukum.

B. Utmost good faith Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat

dan lengkap, semua fakta yang material (material fact) mengenai sesuatu

yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya adalah:

penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu

tentang luasnya syarat atau kondisi dari asuransi dan tertanggung juga

harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau

kepentingan yang dipertanggungkan


C. Proximate cause Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian

kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu

yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen.

D. Indemnity Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan

kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam

posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD

pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).

E. Subrogation Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung

setelah klaim dibayar. 6) Contribution Adalah hak penanggung untuk

mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak

harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan

indemnity.

Pada umumnya model asuransi mendorong munculnya apa yang

disebut sebagai moral hazard:

a. Pada sisi tertanggung (pasien): adanya kecenderungan untuk

memaksimalkan pelayanan kesehatan karena semua biaya akan

ditanggung asuransi, dan kecenderungan untuk tidak melakukan

tindakan preventif

b. Pada sisi provider: mempunyai kecenderungan untuk memberikan

terapi secara berlebihan untuk memaksimalkan pendapatan. Sehingga

beberapa skema asuransi diatur sedemikian rupa untuk mengurangi

terjadinya moral hazard, misalnya dengan mengatur batasan paket

pelayanan, mengatur besaran kontribusi sesuai dengan tingkat resiko


tertanggung. Sistem ini dapat dibedakan menjadi asuransi yang bersifat

umum yaitu mencakup semua golongan dan asuransi yang bersifat

khusus untuk kelompok masyarakat tertentu. Sifat asuransi dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Asuransi bersifat umum

a. General taxation

General taxation merupakan model dimana sumber

pembiayaan diambil dari pajak pendapatan secara proporsional

dari seluruh populasi yang kemudian dialokasikan untuk

berbagai sektor (tidak terbatas pelayanan kesehatan). Alokasi

pada sektor kesehatan biasanya berupa budget pada fasilitas

kesehatan dan gaji staf kesehatan. Meskipun mempunyai

cakupan yang luas, keberhasilan sistem ini tergantung pada

tingkat pendapatan masyarakat dan angkatan kerja, besaran

alokasi pada pelayanan kesehatan dan sistem penarikan pajak.

Rendahnya pendapatan masyarakat (ekonomi negara) akan

menurunkan nilai pajak, alokasi biaya pada pelayanan

kesehatan sehingga mendorong rendahnya cakupan dan mutu

pelayanan sehingga pada akhirnya biaya pelayanan kesehatan

akan kembali ditanggung langsung oleh individu.

b. Earmarked payroll tax

Sistem ini memiliki karakteristik yang hampir serupa

dengan general taxation hanya saja penarikan pajak


dialokasikan langsung bagi pelayanan kesehatan sehingga lebih

bersifat transparan dan dapat mendorong kesadaran

pembayaran pajak karena kejelasan penggunaan.

2. Asuransi Bersifat Khusus

Dibandingkan dengan sistem umum, asuransi selektif

mempunyai perbedaan dalam hal kontribusi dan tanggungan hanya

ditujukan pada suatu kelompok tertentu dengan paket pelayanan

yang telah ditetapkan. 1. Social insurance

Social insurance mempunyai karakteristik khusus yang

membedakan dengan private insurance, yaitu:

a. Keanggotaan bersifat wajib

b. Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji

c. Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai

dengan besaran kontribusi

d. Pelayanan dirupakan dalam bentuk paket

e. Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom

f. Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang

berskala luas

g. Umumnya terjadi cross subsidi

2. Voluntary community

aPerbedaan utama sistem ini dengan asuransi sosial adalah

keanggotaan yang bersifat sukarela serta skala cakupan

tertanggung yang lebih sempit. Biasanya asuransi ini


berkembang pada kelompok masyarakat yang tidak

tertanggung oleh asuransi sosial yaitu kelompok yang tidak

memiliki pekerjaan formal, yang tidak memungkinkan untuk

dilakukan penarikan kontribusi rutin dari penghasilan. Contoh

penerapan dari sistem ini adalah kartu sehat/kartu gakin yang

dikembangkan pemerintah daerah dan ditujukan pada

kelompok tertentu (masyarakat miskin).

3. Private Insurance

Perbedaan utama private insurance dan social insurance

adalah tidak adanya risk pooling dan bersifat voluntary.

Disamping itu private insurance juga memperhitungkan

resiko kesakitan individu dengan besaran premium dan

cakupan pelayanan asuransi yang diberikan. Artinya

individu yang lebih beresiko sakit misalnya kelompok

rentan (bayi, ibu hami, lansia), orang dengan perilaku

tertentu misalnya perokok, dan orang dengan pekerjaan

yang beresiko akan dikenakan premi yang lebih tinggi

dibandingkan kelompok yang dengan resiko rendah. Model

ini tentunya mempunyai mekanisme lebih rumit mengingat

harus memperhitungkan tingkat resiko tertanggung.

Model private insurance mungkin bersifat profit

yaitu mencari keuntungan untuk pengelolaan dan pemilik,

atau menggunakan keuntungan untuk mengurangi besaran


premi tertanggung. Bentuk private insurance dapat berupa

lembaga asuransi swasta atau NGO bagi umum maupun

asuransi kelompok khusus seperti asuransi pekerja .

4. Funding/Donation

Seluruh sistem pembiayaan yang telah diuraikan diatas

menganut keterkaitan antara pengguna jasa pelayanan

kesehatan atau tertanggung dan penggunaan jasa pelayanan

kesehatan. Model funding tidak ditujukan langsung pada

kelompok individu tetapi lebih pada program kesehatan

misalnya bantuan alat kesehatan, pelatihan atau perbaikan

fasilitas pelayanan kesehatan. Permasalahan yang sering

muncul adalah ketidaksesuaian program funding dengan

kebutuhan atau kesalahan pengelolaan oleh negara. Disamping

itu sumber dana dari funding tentu saja tidak dapat diandalkan

keberlangsungannya. Berdasarkan pengelolaan manajemennya,

sistem pembiayaan menggambarkan hubungan antara pasien

sebagai konsumen dan atau sumber biaya,

provider/penyelenggara atau pemberi pelayanan kesehatan

(dokter, perawat atau institusi seperti rumah sakit), pemerintah

sebagai pengatur, pengelola pelayanan kesehatan dan sumber

biaya.

Asuransi kesehatan yang paling mutakhir adalah managed

care, dimana sistem pembiayaan dikelola secara terintegrasi


dengan sistem pelayanan. Asuransi kesehatan dengan model

managed care ini mulai dikembangkan di Amerika. Hal ini

timbul oleh karena sistem pembiayaan kesehatan yang lama,

inflasi biaya kesehatan terus meningkat jauh diatas inflasi rata-

rata, sehingga digali model lain untuk mengatasi peningkatan

biaya kesehatan. Managed care pada dasarnya sudah mulai

diterapkan pada tahun 1983 yaitu oleh kaisar Permanente

Medical Care Program, tetapi secara meluas mulai diterapkan

pada tahun 1973, yaitu dengan diberlakukannya HMO Act,

pada periode pemerintahan Noxon. (Juanita, 2002).

2.2 Tujuan dan Manfaat Asuransi

A. Tujuan Asuransi

Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengganti

kerugian pada tertanggung, jadi tertanggung harus dapat

menunjukkan bahwa dia menderita kerugian dan benar-benar

menderita kerugian. Di dalam asuransi itu setiap waktu selalu dijaga

supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud

menyingkirkan suatu kerugian saja dan mengharapkan suatu untung

menikmati asuransi itu dengan cara memakai spekulasi, yang

penting ialah bahwa tertanggung harus mempunyai kepentingan bahwa

kerugian untuk mana ia mempertanggungkan dirinya itu tidak

menimpanya. Secara umum asuransi mempunyai tujuan sebagai

berikut:
1. Penagihan Resiko

Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory),

tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap

harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya

tersebut menimpa harta kekayaannya atau jiwanya, dia akan

menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya.

Secara ekonomi, kerugian material atau korban jiwa atau

cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang

atau ahli warisnya. Untuk mengurangi atau

menghilangkan beban resiko tersebut pihak tertanggung

berupaya mencari jalan kalau ada pihak lainyang bersedia

mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia

sanggup membayar kontrak prestasi yang disebut premi.

Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan

mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan atau

jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada

perusahaan asuransi (penanggung), sejak saat itu pula resiko

beralih pada penanggung. Apabila sampai akhirnya jangka

waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan

penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang

telah diterimanya dari tertanggung (Abdul Kadir,1993).


2. Pembiayaan Ganti Kerugian

Jika pada suatu ketika sungguh sungguh terjadi

peristiwa yang menimbulkan peristiwa yang

menimbulkan kerugian (resiko berubah menjadi

kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan

akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan

jumlah asuransinya. Dalam praktiknya, yang timbul

bersifat sebagian (partial loss), tidak semua beruppa

kerugian total (total loss) dengan demikian,

tertanggung mengadakan asurannsi bertujuan

memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sunggu-

sungguh dideritanya. Jika dibandingkan dengan premi

yang diterima dari beberapa tertanggung maka jumlah

ganti kerugian yang dibayarkan kepada tertanggung

yang menderita kerugian itu tidaklah begitu besar

jumlahnya. Kerugian yang diganti oleh penanggung itu

hanya sebagian kecil dari jumlah premi yang diterima

dari seluruh tertanggung. Dari sudut pandang ekonomi

keadaan ini merupakan factor pendorong perkembangan

perusahaan asuransi disamping factor tingginya pendapatan

perkapita warga Negara (warga masyarakat).


Djoko Prakoso, dalam bukunya menyebutkan,

perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk

mengganti kerugian pada tertanggung, jadi tertanggung

harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita

kerugian dan benar-benar menderita kerugian. Di dalam

asuransi itu setiap waktu selalu di jaga supaya jangan

sampai orang tertanggung yang hanya bermaksud

menyingkirkan suatu kerugian saja dan

mengharapkan suatu untung menikmati asuransi itu

dengan memakai spekulasi, yang penting ialah bahwa

tertanggung harus mmmempunyai kepentingan bahwa

kerugian untuk mana ia mempertanggungkan dirinya itu

tidak akan menimpanya, ajaran “kepentingan” ini sangat

penting di dalam seluruh hukum asuransi (Djoko

Prakoso,1989).

B. MANFAAT ASURANSI

Asuransi selaku lembaga keuangan bukan bank mempunyai

peranan cukup besar sekali baik bagi masyarakat maupun bagi

pembangunan. Adapun peranan tersebut berupa manfaatnya yang dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Asuransi dapat memberikan rasa terjamin atau rasa

aman dalam menjalankan usaha. Hal ini karena

seseorang akan terlepas dari kekhawatiran akan tertimpa


kerugian akibat suatu peristiwa yang tidak diharapkan,

sebab walaupun tertimpa kerugian akan mendapat ganti

rugi dari perusahaan asuransi.

2. Asuransi dapat menaikkan efisiensi dan kegiatan perusahaan,

sebab dengan memperalihkan risiko yang lebih besar

kepada perusahaan asuransi, perusahaan itu akan

mencurahkan perhatian dan pikirannya pada peningkatan

usahanya.

3. Asuransi cenderung kearah perkiraan penilaiaan biaya yang

layak. Dengan adanya perkiraan akan suatu risiko yang

jumlahnya dapat dikira-kira sebelumnya maka suatu

perusahaan akan memperhitungkan adanya ganti rugi dari

asuransi di dalam ia menilai biaya yang harus dikeluarkan

oleh Perusahaan.

4. Asuransi merupakan dasar pertimbangan dari pemberian

suatu kredit. Apabila seseorang meminjam kredit bank,

maka ban biasanya meminta kepada debitur untuk menutup

asuransi benda jaminn.

5. Asuransi dapat mengurangi timbulnya kerugian-

kerugian. Dengan ditutupnya perjanjian asuransi, maka

risiko yang mungkin dialami seseorang dapat ditutup oleh

perusahaan asuransi.
6. Asuransi merupakan alat untuk membentuk modal pendapatan

atau untuk harapan masa depan. Dalam hal ini fungsi

menabung dari asuransi terutama dalam asuransi jiwa.

7. Asuransi merupakan alat pembangunan. Dalam hal ini

premi yang terkumpul oleh perusahaan asuransi dapat

dipakai sebagai dana investasi dalam pembangunan, bantuan

kredit jangka pendek, menengah maupun jangka panjang,

bagi usaha-usaha pembangunan.

Herman Darmawi, dalam bukunya menyebutkan salah satu manfaat

asuransi yaitu asuransi dapat mengurangi kekhawatiran, fungsi primer dari

asuransi adalah mengurangi kekhawatiran akibat ketidak pastian. Bila

seseorang telah membayar premi asuransi, mereka terbebas dari kekhawatiran

kerugian besar dengan memikul suatu kerugian kecil (dalam hal ini berupa

premi yang telah di bayar). Kerugian kecil itu sesunggungnya merupakan

bagian yang di pikulnya untuk kerugian kelompok itu. Dengan membayar

premi, ia memperoleh kepastian biaya kemungkinan kerugian, jika tidak ada

asuransi maka mereka yang menghadapi risiko tidak akan dapat meramalkan

apakah mereka akan tertimpa kerugian besar, kerugian kecil atau tidak (Herman

Darmawi,2004).

2.3 JENIS-JENIS ASURANSI KESEHATAN

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di dalam Pasal 247 menyebutkan

tentang 5 (lima) macam asuransi, yaitu:

a. Asuransi terhadap kebakaran


b. Asuransi terhadap bahaya hasil pertanian

c. Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa)

d. Asuransi terhadap bahaya di laut dan perbudakan

e. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan didarat dan di

sungaisuangai

Buku 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengatur tentang jenis


asuransi yang poin 1, poin 2 dan poin 3 di atas, sedangkan jenis asuransi yang
poin 4 dan 5 diatur di dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dari
jenis-jenis asuransi yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, dapat dilakukan penggolongan besar sebagai berikut:

A. Asuransi kerugian atau asuransi umum yang terdiri dari asuransi

kebakaran dan asuransi pertanian

B. Asuransi jiwa

C. Asuransi pengangkutan laut, darat dan Sungai

Analisis tentang pengaturan asuransi dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang menunjukkan bahwa lingkup pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang menitik beratkan pada asuransi kebakaran saja sementara telah terdapat

berbagai jenis asuransi lainnya yang memerlukan pengaturan. Terlepas dari

keterbatasan dalam penggolongan tersebut diatas, Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang memungkinkan jenis penutupan asuransi secara luas, sesuai dengan

ketentuan Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berbunyi: “

Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan


dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh

undang-undang.”

Namun, definisi tersebut tidak lagi mencukupi karena kepentingan yang

diasuransikan tidak lagi terbatas pada kepentingan yang dapat dinilaikan dengan

uang sebagaimana halnya dengan jiwa seseorang. Kebutuhan masyarakat telah

jauh melampaui kebutuhan terhadap asuransi kebakaran semata untuk

mempertanggungkan kepentingan mereka mengingat risiko-risiko yang timbul

kemudian melahirkan kebutuhan terhadap jenis-jenis asuransi baru. Batasan atas

objek asuransi dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang meliputi

objek asuransi atas kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat

diancam oleh suatu bahaya yang tidak dikecualikan oleh undang-undang sudah

tidak sesuai praktik industri sudah sejak lama.

Dari ketentuan Pasal 247 dan 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

dapat diartikan bahwa walaupun terdapat banyak keterbatasan dalam ketentuan-

ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, ketentuan-ketentuan tersebut

tidak menutup munculnya jenis-jenis asuransi yang baru sepanjag ketiga kriteria

tersebut di atas dapat dipenuhi semua dalam kesepakatan di antara para pihak

yang akan mengikatkan diri.

Bentuk-bentuk asuransi yang dikenal dalam tata hukum Indonesia, yakni

sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

Usaha Perasuransian dan peraturan pelaksanaannya, dapat dijabarkan sebagai

berikut :
1. Asuransi Jiwa

Asuransi jiwa dapat didefenisikan dari dua perspektif, yaitu

lingkungan masyarakat dan perorangan. Dari sudut pandang lingkungan

masyarakat, asuransi jiwa dapat didefenisikan sebagai perangkat sosial

pengalihan risiko keuangan perorangan akibat kematian ke kelompok

orang, dan melibatkan suatu proses akumulasi dana oleh kelompok untuk

memenuhi kerugian keuangan yang tidak pasti akibat kematian.

Dari sudut pandang perorangan, asuransi jiwa dapat didefenisikan

sebagai suatu perjanjian (polis asuransi) yang mana satu pihak (pemilik

polis) membayar suatu perangsang kepada pihak lain (penanggung)

sebagai imbalan persetujuan penanggung untuk membayar jumlah tertentu

jika orang yang ditanggung meninggal. Dimana kegunaan asuransi jiwa

adalah memberikan perlindungan ekonomis terhadap kerugian yang

mungkin terjadi akibat suatu kemungkinan kejadian, seperti kematian,

sakit, atau kecelakaan.

2. Asuransi Kerugian

Asuransi kerugian dikelompokkan ke dalam 2 kelompok besar, yakni:

a. Asuransi wajib (compulsory insurance) Adalah asuransi wajib

dilaksanakan oleh setiap orang yang berkepentingan sehubungan

dengan adanya undang-undang atau peraturan pemerintah mengenai

hal tersebut. Contoh dari asuransi ini antara lain adalah asuransi dana

kecelakaan lalu lintas jalan dan dana kecelakaan penumpang, dikenal


dengan asuransi Jasa Raharja, diatur berdasarkan UndangUndang

Nomor 33 tahun 1964 dan Undang- Undang Nomor 34 tahun 1964.

b. Asuransi sukarela (voluntary insurance) Karena sifatnya sukarela

maka setiap orang tidak terikat untuk masuk pada jenis asuransi ini,

yaitu: Asuransi Jiwa (Life Insurance) dan Asuransi Kerugian (Non Life

Insurance) atau General Insurance, seperti: asuransi kebakaran,

kecelakaan diri, kendaraan bermotor, dll.

2.4 SISTEM PEMBAYARAN ASURANSI PADA PELAYANAN


KESEHATAN GIGI DI PUSKESMAS

Sistem pembayaran yang digunakan dalam program JKN-KIS untuk

pelayanan primer adalah sistem kapitasi, sedangkan untuk pelayanan sekunder

dan tersier dengan menggunakan sistem DRG (Diagnosis Related Group), dimana

besaran tarif ditentukan berdasarkan kelompok diagnosa, yang di Indonesia

digunakan istilah Indonesia Case Based Group (INA CBG`s). Sistem pembayaran

ini juga diterapkan untuk pelayanan gigi sebagai paket manfaat JKN-KIS. Sistem

ini menggantikan pola paradigma lama yang menggunakan out of pocket atau fee

for service. Pergeseran ke arah sistem pembayaran kapitasi didasarkan pada

berbagai evaluasi yang menunjukkan bahwa metode pembayaran berbasis fee for

service kepada provider pelayanan kesehatan terbukti dapat menyebabkan

inefisiensi dan peningkatan biaya pelayanan kesehatan. Dalam model pembayaran

fee for Service (FFS), dokter tidak ikut menanggung risiko keuangan, akibatnya

sering terjadi over utilisasi dan supply induced demand dalam pemberian

pelayanan kesehatan. Sebaliknya dengan model pembayaran kapitasi diharapkan


dapat meningkatkan efisiensi biaya pelayanan kesehatan dengan mengikutsertakan

dokter primer pada posisi ikut menanggung sebagian atau seluruh risiko

keuangan, terkait dengan penggunaan sumber daya dalam pelayanan kesehatan

(Thabrany, 2000)

A. Jerman

Thabrany (2000) menjelaskan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan

jaminan kesehatan/ SHI di Jerman diserahkan kepada sektor swasta,

namun tetap bersifat sosial (nirlaba) yang diatur pemerintah. Merangkum

dari laporan Busse dan Wasem (2013), skema pembayaran provider di

Jerman melalui sistem klaim/ reimbursement. Capped fee for service di

FKTP ditentukan berbasis adjustment kapitasi dari data utilisasi tahun-

tahun sebelumnya yang melibatkan organisasi profesi. Sedangkan di

FKTL, skema pembayaran menggunakan sistem DRG yang

mempertimbangkan kompensasi dan co- payment jika besaran klaim lebih

tinggi atau lebih rendah dari batas klaim yang telah ditentukan. Pelayanan

gigi yang ditanggung di Jerman lebih terkait prosedur rutin, termasuk

penambalan gigi yang sederhana. Apabila pasien membutuhkan rawat

inap, biaya akomodasi dan paket makan menjadi tanggungan pasien yang

bersangkutan atau asuransi swasta yang dimiliki. Terkait klaim layanan

gigi, beberapa literatur menyampaikan bahwa rata-rata 20-70% dari total

besaran klaim yang berhasil dijamin oleh asuransi Kesehatan

B. Jepang
Sistem jaminan kesehatan di Jepang terdiri atas 3 skema yaitu employer-

based insurance, national health insurance, dan health insurance for the

elderly. Ketiga skema tersebut mempunyai target peserta masing-masing

seperti pegawai dengan pekerjaan formal (employer-based insurance),

pekerja nonformal dan usia produktif bukan pekerja (national health

insurance), dan penduduk lanjut usia (health insurance for the elderly).

Seluruh skema jaminan tersebut mempunyai paket manfaat yang luas

seperti perawatan medis (rumah sakit maupun dokter), pengobatan

(farmasi), perawatan kedokteran gigi dan bahkan transportasi. Sistem

pembayaran pemberi pelayanan kesehatan di semua level dilakukan

dengan model cost-sharing reimbursement berbasis feefor-service dengan

tarif tetap (fee schedule) yang ditentukan oleh pemerintah pusat

berdasarkan rekomendasi dari lembaga Central Social Insurance Medical

Council, dengan evaluasi tarif rutin yang dilakukan setiap 2 tahun

(Fukawa, 2002).

Masing-masing skema jaminan mewajibkan pesertanya untuk

membayarkan iur-bea pada setiap perawatan medikal maupun dental yang

diterimanya, kecuali pada skema jaminan lanjut usia. Peserta employer-

based insurance diwajibkan membayar iur-bea sebesar 10% dari tiap biaya

perawatan untuk dirinya, dan 20% untuk perawatan pada peserta

tertanggungnya. Pada skema national health insurance, peserta (pekerja

aktif) diwajibkan membayar iur-bea sebesar 30%, dan untuk pensiunan

sebesar 20%, sedangkan untuk peserta tertanggung dikenakan 20% iur-bea


untuk rawat jakan, dan 30% untuk rawat inap. Akan tetapi terdapat

pengecualian yang berlaku untuk skema, dimana apabila biaya perawatan

dalam 1 bulan telah melebihi pagu maksimal 64.000 Yen (sekitar Rp

7.680.000,-), maka jaminan akan menanggung 100% biaya tersebut (tidak

ada kewajiban iur-bea). Pagu maksimal tersebut akan diturunkan untuk

peserta dengan penghasilan rendah, dan bagi peserta yang telah membayar

pagu maksimal tersebut selama 3 bulan dalam 1 tahun (Fukawa, 2002).

C. Thailand

Sistem jaminan kesehatan di Thailand mempunyai karakteristik yang

hampir sama dengan JKN di Indonesia. Sistem jaminan kesehatan di

Thailand dikenal nama Thai Universal Coverage Scheme (UCS) yang

telah dimulai sejak tahun 2001 (Tangcharoensathien, 2004; Pannarunothai,

2004). Pada awal penyelenggaraannya, terdapat 2 skema pembiayaan

dalam UCS, yaitu UCS dengan pembebasan biaya perawatan, dan UCS

dengan iur-bea 30 Baht (sekitar Rp 11.000,-) untuk semua biaya

perawatan. Lebih lanjut pada tahun 2006, pemerintah menghapuskan

sistem UCS dengan iur-bea 30 Baht, dan hanya memberlakukan UCS

dengan pembebasan biaya perawatan. Sistem UCS meliputi beberapa

paket manfaat untuk pesertanya, yaitu paket kuratif yang mencakup

seluruh diagnosis penyakit sederhana dan perawatannya, paket perawatan

berbiaya tinggi, dan paket preventif/pencegahan (Yiengprugsawan,

2010).Pelayanan perawatan kedokteran gigi termasuk dalam paket

preventif/pencegahan. Pembayaran pada pemberi pelayanan kesehatan


pada sistem UCS di Indonesia serupa dengan sistem JKN di Indonesia,

dimana sistem kapitasi digunakan untuk pembayaran provider pada

pelayanan tingkat pertama/primer dan DRG digunakan pada pelayanan

tingkat lanjut (Yiengprugsawan, 2010).

2.6 GAMBARAN PEMBIAYAAN GIGI JKN-KIS

Terkait dengan kapitasi, adapun besaran kapitasi pelayanan

kesehatan gigi primer yang diajukan oleh PB PDGI ke Pemerintah adalah

sebagai berikut

RASIO JASA
NO JENIS PELAYANAN UNIT COST TARIF KAPITASI
UTILISASI PELAYANAN

1 Konsultasi dan
0,4 Rp. 20.000,- Rp. 15.000,- Rp. 35.000,- Rp. 140,-
Premedikasi

2 Pencabutan gigi
sulung dan
permanen dengan
anestesi injeksi:
Dengan obat 0,56 Rp 57.454,- Rp 92.564,- Rp 150.000,- Rp 840,-
Tanpa obat 0,24 Rp 32.454,- Rp 92.546,- Rp 125.000,- Rp 300,-

3 Pencabutan gigi
sulungdan 0,2 Rp 18.772,- Rp 56.228,- Rp 75.000,- Rp 150,-
permanen dengan

Tabel 1. Besaran Kapitasi Pelayanan Kesehatan Gigi Usulan


NO JENIS PELAYANAN RASIO UNIT COST JASA TARIF KAPITASI
UTILISASI PELAYANAN

anestesitopikal

4 Tumpatan dengan
Resin Komposit
0,06 Rp 78.340,- Rp 87.660,- Rp 166.000,- Rp 100,-
dengan crown
form (aktivasi
kimiawi)
5 Tumpatan dengan
Resin Komposit
(aktivasi sinar):
Dengan
Pulp 0,12 Rp 78.340,- Rp 87.660,- Rp 166.000,- Rp 199,-
Capping 0,12 Rp 72.340,- Rp 87.660,- Rp 160.000,- Rp 192,-
Tanpa Pulp Capping

6 Tumpatan dengan
Semen Ionomer
0,06 Rp 45.366,- Rp 84.634,- Rp 130.000,- Rp 78,-
Kaca/Ionomer Kaca
Modifikasi Resin

7 Tumpatan Semen
Ionomer Kaca direct:
Dengan 0,15 Rp 49.866,- Rp 76.134,- Rp 126.000,- Rp 189,-
Pulp
Capping
Tanpa Pulp Capping 0,15 Rp 43.866,- Rp 76.134,- Rp 120.000,- Rp 180,-

8 Kegawatdaruratan
Oro-dental:
Devit. Pulpa dgn 0,2 Rp 42.948,- Rp 22.052,- Rp 65.000,- Rp 130,-
obat
Devit. Pulpatanpa 0,2 Rp 17.948,- Rp 22.052,- Rp 40.000,- Rp 80,-
obat
0,2 Rp 44.173,- Rp 30.827,- Rp 75.000,- Rp 150,-
Trepanasi dgn obat
Trepanasi tanpa 0,2 Rp 19.173,- Rp 30.827,- Rp 50.000,- Rp 100,-
obat
Incisi 0,1 Rp 44.173,- Rp 5.827,- Rp 50.000,- Rp 50,-
9 Scaling
(pembersihan
0,3 Rp 28.500,- Rp 81.500,- Rp 110.000,- Rp 330,-
karang gigi) dibatasi
satu kali per tahun

TOTAL 3,26 Rp 3.208,-

Sumber: PDGI, 2014

Berdasarkan keputusan besaran kapitasi untuk Dokter Gigi oleh pemerintah sesuai

dengan SK Menkes Nomor 69 Tahun 2013 adalah sebesar Rp. 2.000,-

/orang/bulan maka perlu dilakukan penyesuaian pada perhitungan utilisasi dan

jenis pelayanan yang telah diusulkan. Hasil simulasi perhitungan kapitasi yang

disesuaikan terhadap tindakan kesehatan gigi dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Tabel 2. Simulasi Perhitungan Kapitasi Pelayanan Kesehatan Gigi

Sumber: PDGI, 2014


Dapat diperkirakan jumlah kebutuhan belanja bahan (variabel cost)

Dokter Gigi yang dikontrak oleh BPJS (dengan asumsi jumlah peserta 10.000,

utilisasi 2,03 sehingga estimasi angka kunjungan perbulan adalah 203 kunjungan),

maka perkiraan belanja bahan medis habis pakai dalam waktu sebulan sebesar Rp.

6.225.500,- atau sebesar 31% dari total kapitasi yang diterima.

Tabel 3. Simulasi Perhitungan Kapitasi Pelayanan Kesehatan Gigi

Sumber: PDGI, 2014

Bagi Puskesmas, dimana bahan medis habis pakai dan investasi

beberapa peralatan Dokter Gigi telah disediakan oleh pemerintah maka

perhitungan ini tidak berlaku (oleh sebab itu perhitungan kapitasi di puskesmas

berbeda dengan praktek perorangan). Model pembayaran kapitasi di Puskesmas

sebenarnya juga bukan model kapitasi karena tidak ada terjadinya risk profit

sharing. Seharusnya dengan kapitasi, provider yang sudah dibayar dimuka akan

mempunyai resiko uangnya habis apabila peserta banyak yang sakit. Sehingga

provider tersebut akan berupaya untuk menyehatkan kepesertaannya agar uangnya


tidak habis. Kondisi tersebut dapat dirasakan di DPP dan klinik swasta. Berbeda

dengan Puskesmas, provider milik negara dan operasionalisasi masih mendapat

bantuan pemerintah serta pengaturan insentif menggunakan aturan tertentu.

Pengurangan kapitasi berdampak tidak langsung berdampak, karena kapitasi

merupakan insentif tambahan pelayanan yang dilakukan bukan menjadi pokok

penerimaan/ gaji.

Sebagai Dokter Gigi pelayanan primer wajib melaksanakan upaya

preventif dan promotif (mengubah kebiasaan dalam menjaga kesehatan giginya)

agar lebih banyak peserta yang akan sehat di masa datang, dan pembiayaan untuk

tindakan pelayanan gigi menjadi berkurang. Pelaksanaan preventif dan promotif

untuk Dokter Gigi pelayanan primer harus bersifat intervensi pada kebiasaan dan

tindakan pencegahan gigi yang dapat diaplikasikan secara masal.

2.7 SUSTANSIBILITAS JKN-KIS

Sejak tahun 2014, Indonesia telah menerapkan sistem Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) dengan perawatan gigi dan mulut termasuk di dalam

salah satu paket manfaat bagi pesertanya. Konsep pelayanan kesehatan pada

Sistem JKN di Indonesia saat ini terbagi menjadi 3 (tiga) struktur layanan, yaitu

pelayanan primer, pelayanan sekunder dan pelayanan tersier. Bidang kedokteran

gigi telah menetapkan bahwa pelayanan kedokteran gigi berada dalam strata

pelayanan primer dan sekunder pada sistem JKN (Pengurus Besar PDGI, 2014).

Apabila pelayanan Dokter Gigi masuk dalam pelayanan sekunder atau strata

kedua maka perhitungan untuk perawatan gigi tentunya dihitung pada tiap

perawatan yang dilakukan (menggunakan INA CBG`s) yang tentunya akan


menjadi lebih tinggi biayanya (karena permasalahan lebih kompleks). Dari segi

cost effectiveness, pemerintah akan menjadi lebih boros, karena sebetulnya

sebagian besar kasus gigi bisa diselesaikan pada pelayanan primer/strata satu yang

menggunakan sistem kapitasi. Perhitungan biaya untuk perawatan lanjutan

layanan sekunder/ strata kedua dan ketiga biasanya 3 (tiga) kali lipat pembiayaan

dari pelayanan primer (PDGI, 2014).

Di negara Industri yang tidak memasukkan skema pembiayaan untuk

pelayanan primer di bidang kedokteran gigi, anggaran pengeluaran untuk

Kesehatan masyarakat berkisar antara 5%-10% dan hal ini berhubungan dengan

kesehatan gigi dan mulut pada skema level kedua/rujukan yang bersifat kuratif.

Hal ini menerangkan bahwa perawatan kuratif gigi dan mulut untuk

menanggulangi permasalahan penyakit-penyakit gigi dan mulut menjadi adalah

sesuatu yang sangat mahal, akhirnya menjadikan beban negara di bidang ekonomi

(Kandelman, 2012). Banyaknya jumlah badan penyelenggara menyebabkan

penyelenggaraan jaminan sosial di Jerman menjadi tidak efisien dan mahal,

sehingga dengan single payer yang diterapkan di Indonesia maka seharusnya

dapat lebih efisien. Walaupun demikian, akibat biaya pelayanan kesehatan yang

semakin tinggi maka mismatch program JKN tahun 2014 mencapai Rp 3,3 T dan

menjadi Rp 5,85 T (tahun 2015). Ada penyertaan modal negara sekitar Rp 5T

(2015) dan Rp 6,8 T (2016) tapi belum dapat mengatasi mismatch sekitar Rp 3,1

T (unaudited, 2016). Kondisi ini bahkan telah diprediksi mencapai Rp 6,23 T

(2017); Rp 10,05 T (2018); dan Rp 12,7 T (2019). Mismatch JKN terjadi karena

jumlah dana yang diterima (revenue) lebih kecil dibandingkan total dana yang
telah dikeluarkan (expenditure). Diperkirakan kondisi ini akan terus berlanjut jika

tidak didukung dengan kebijakan dan upaya yang memadai.

2.7 SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN NON ASURANSI DI PUSKESMAS

Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa

yanglayak diterapkan di Indonesia, sistem pembiayaan yang bagaimana yang

cocok dengan kehidupan masyarakat kita. Terdapat beberapa model sistem

pembiayaan pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh beberapa negara,

berdasarkan sumber pembiayaannya:

A. Direct Payments by Patients

Ciri utama model direct payment adalah setiap individu

menanggung secara langsung besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai

dengan tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan

mendorong penggunaan pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta

adanya kompetisi antara para provider pelayanan kesehatan untuk

menarik konsumen atau free market.

B. User payments

Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya

pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan pemerintah maupun

swasta. Perbedaannya dengan model informal adalah besaran dan

mekanisme pembayaran, juga kelompok yang menjadi pengecualian

telah diatur secara formal oleh pemerintah dan provider.

C. Saving based
Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada

individu namun tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya biaya

kesehatan langsung, akan ditanggung oleh individu sesuai dengan

tingkat penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan

bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan

penggunaannyabilamana membutuhkan pelayanan kesehatan.

D. Informal

Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan

oleh individu pada provider kesehatan formal misalnya dokter, bidan

tetapi juga pada providerkesehatan lain misalnya: mantri, dan

pengobatan tradisional; tidak dilakukan secara formal atau tidak diatur

besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya

timbul dari kesepakatan ataubanyak diatur oleh provider dan juga

dapat berupa pembayaran dengan barang. Model ini biasanya muncul

pada negara berkembang dimana belum mempunyai sistem pelayanan

kesehatan dan pembiayaan yang mampu mencakup semua golongan

masyarakatdan jenis pelayanan.

E. Insurance Based

Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai

perbedaan utama dimana individu tidak menanggung biaya langsung

pelayanan kesehatan.Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus

yaitu pengalihan resiko kesakitan pada satu individu pada satu kelompok

serta adanya sharing looses secara adil. Secara sederhana dapat


digambarkan bahwa satu kelompok individu mempunyai resiko kesakitan

yang telah diperhitungkan jenis, frekuensi dan besaran biayanya.

BAB III

KESIMPULAN

Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang makin tidak terkendali serta

mengantisipasi ketidak mampuan masyarakat dalam mengakses pelayanan

kesehatan sehingga perkembangan penyakit semakin tidak terkendali, maka

pilihan yang tepat untuk pembiayaan kesehatan adalah asuransi kesehatan.

Mengingat kondisi ekonomi negara dan masyarakat serta keterbatasan sumber

daya yang ada, maka perlu dikembangkan pilihan asuransi kesehatan dengan suatu

pendekatan yang efisien, efektif dan berkualitas agar dapat menjangkau

masyarakat luas. Untuk itu, sudah saatnya dikembangkan asuransi kesehatan

nasional dengan managed care sebagai bentuk operasionalnya. Dengan cakupan

asuransi yang semakin luas, maka diperlukan jaringan pelayanan (Rumah Sakit)

yang semakin luas pula. Tuntutan terhadap pelayanan yang berkualitas baik

terhadap penyelenggaraan asuransi kesehatan maupun penyelenggaraan pelayanan

kesehatan akan semakin meningkat, upaya peningkatan yang berkesinambungan

tidak hanya menjadi tanggungjawab pemberi pelayanan kesehatan saja tetapi juga

bagi penyelenggaraan asuransi. Sebaiknya mengikuti program asuransi kesehatan

sejak umur yang masih dini. Hal ini untuk mengantisipasi terhadap penolakan

keikutsertaan asuransi kesehatan. Oleh karena risiko yang harus ditanggung pada

usia tua besar sekali, berbeda dengan kalau masih berusia muda.
DAFTAR PUSTAKA

Thabrany, H, 2001, Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi

Kesehatan FKMUI, Depok, Indonesia

Andreas, 2009, Defisi Asuransi, Jakarta, Diakses tanggal 10 Desember 2011,

(http://jurnal-sdm. blogspot.com/ 2009/08/ asuransi-insurance-

assurance-definisi.html)

Juanita, 2002, Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit

dalam Menghadapi Krisis Ekonomi, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Sumatera

Utara, Diakses tanggal 12 Februari 2012, (www. repository.usu.ac.id/

bitstream/ 123456789/3747/1/ fkm-juanita5.pdf).

Fachruddin, Fuad Muhammad. 1985 Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan

Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung.

Prakoso, Djoko, I. Ketut Murtika. 1989. Hukum Asuransi di Indonesia.Rineka

Cipta: Jakarta

Herman Darmawi, Manejemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hal: 7

Thabrany, H., 2000, Rasional Pembayaran Kapitasi, Ikatan Dokter

Indonesia (IDI), Jakarta


Fukawa, T. 2002.Public Health Insurance in Japan. The World Bank.

Washington USA.

Yiengprugsawan, V., Kelly, M., Seubsman, S., dan Sleigh, A, C., 2010,

The first 10 years of the Universal Coverage Scheme in

Thailand: review of its impact on health inequalities and lessons

learnt for middle-income countries, Australas Epidemiol

Anda mungkin juga menyukai