Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN POLITIK ALIRAN KHAWARIJ

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Individu mata kuliah


“Pemikiran Politik Islam Klasik dan Kontemporer”

Dosen Pengampu:
H. Mutiara Fatmi., Lc, M.A

Disusun oleh:

Annisa Varadilla (210105057)


Desi Desma Syahri (21015015)
Rike Sukma Wadhoni (210105014)
Indah iqlima Balqis (210105014)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan atas limpahan dan hidahNya
dan Shalawat berriring salam kita Panjatkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad
SAW sehinhgga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Politik Aliran
Khawarij” ini dengan lancar dan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penilaian makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Perbandingan Hukum dibawah bimbingan dosen, yang kami hormati dan kami cintai.
makalah ini kami tulis dengan sepenuh hati dan berusaha semaksimal mungkin untuk
mencapai hasil yang baik dan mudah di mengerti oleh teman- teman.
Terima kasih kami ucapkan kepada orang tua kami yang selalu mendoakan anak-
anaknya agar mencari ilmu dan menjalani kehidupan dengan baik, terimakasih juga kepada
dosen-dosen yang telah memberikan ilmu sebanyak-banyaknya kepada kami dengan hati
yang ikhlas, dan tulus serta kami ucapkan kepada teman-teman yang telah membantu dan
memberi semangat kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini dengan sebaik mungkin.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................1
DAFTAR ISI................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................3
A. Latar Belakang..................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................5
C. Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................6
A. Pemikiran Politik Islam dari aliran Khawarij....................................................................6
B. Relevansi Pemikiran aliran khawarij di Masa Sekarang.................................................10
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................12
Kesimpulan........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa Nabi Muhammad SAW hampir dipastikan tidak ada masalah dalam
interpretasi dan implementasi berbagai dasar pokok-pokok ajaran islam, apakah itu dalam hal
syari‘ah, aqidah maupun siyasah, karena kalaupun terjadi perselisihan, para sahabat bisa
secara langsung datang dan bertanya kepada Nabi sebagai sumber rujukan utama dalam
menyelesaikan perselisihan. Dan ketika pasca Nabi yakni masa khulafa‘urrashidun mulai
muncul-muncul pergumulan pemikiran tentang interpretasi atas ayat-ayat Al-Qur‘an yang
berkenaan dengan syari‘ah maupun siyasah, terutama dalam hal kekhalifahan.
Di antara perselisihan-perselihan pasca Nabi itu, kemudian muncullah beberapa
kelompok, salah satunya adalah Khawarij, yaitu aliran oposisi revolusioner pertama dalam
sejarah Islam yang vis a vis dengan syiah (partai) Ali, perselisihan yang pada mulanya seputar
siyasah yakni tentang proses pergantian kekhalifahan, kemudian berkembang menjadi
perselisihan aqidah. Hal tersebut tentu wajar karena agama hidup dalam ruang sejarah,
interpretasi, dinamika keyakinan, dan pengalaman keagamaan, serta cara berpikir. Sebab
Islam, sebagaimana agama yang lainnya, memiliki sejumlah aspek pokok ajaran/doktrin, dan
para penganutnya punya banyak metode pendekatan dalam memahami pokok ajarannya
(doktrin) tersebut. Tentu berbagai macam metode pendekatan tersebut memunculkan banyak
sekali pergumulan pemikiran, bahkan pertentangan. Maka sangat menarik apabila kita
melakukan kajian dalam konteks kemunculan berbagai pemikiran-pemikiran tersebut.
Sebagai salah satu wujud pemahaman seputar pemikiran itu, maka berikut ini akan
dielaborasikan tentang pergumulan pemikiran itu, dalam kesejarahan aliran Khawarij.
Sehingga untuk kemudian diharapkan dapat menjadi sebuah bahan acuan yang solutif
tentunya, dalam rangka tindakan praktis untuk menatap persoalan-persoalan pemikiran islam
masa kini maupun masa yang akan datang.1
Secara etimologi kata khawārij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti ke luar,
muncul, timbul atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawārij
berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam. Adapun khawarij dalam
terminologi teologi adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Khalifah Ali ibn Abi Thalib
yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat dengan keputusan khalifah yang
menerima arbitrase (tahkim) dari Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan, sang pemberontak (bughat),

1
Al-Baqir, Muhammad. 1993. Mutiara Nahjul Balaghah (Dengan Syarh Muhammad Abduh). Bandung; Mizan.
Hal 34
3
dalam peristiwa Perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 H yang bertepatan dengan tahun
648 M. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak
yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah dibai‟at mayoritas umat
Islam, sementara Mu‟awiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang
sah.3 Tapi, karena keduanya bersepakat dalam peristiwa tahkim, mereka ke luar barisan dan
menyalahkan semuanya, Khalifah Ali dan Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan dan semua pihak yang
terlibat dalam gencatan senjata tersebut. Dalam kasus tahkim, kelompok khawarij ini
menyalahkan Khalifah Ali karena telah berkompromi dengan pemberontak. Mestinya, sesuai
ketentuan syari‟ah, tidak ada kompromi dengan pemberontak. Mereka harus ditumpas.
Dengan demikian, sikap khalifah yang berkompromi dengan kaum pemberontak telah
melanggar ketentuan syari‟ah. Orang pertama yang tidak mengakui, bahkan memberontak,
terhadap Ali ibn Abi Thalib adalah sekelompok orang yang pada mulanya berjuang di pihak,
Ali ibn Abi Thalib dalam pertempuran Shiffin, namun mereka merasa tidak puas terhadap
gencatan senjata yang disepakati antara „Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah. Mereka itu
adalah al-Asy‟ary ibn Qais al-Kindi, Mas‟ari ibn Fudaki al-Tamami, dan Zaid ibn Husain
alThai.10 Golongan khawarij telah mengambil sikap keras dan secara terang-terangan
melakukan pengingkaran kepada Ali, serta menganggapnya kafir. Datanglah kepadanya dari
pasukan Mu‟awiyah, yaitu Za‟ra‟ ibn alBarraj al-Thaiy dan Harqush ibn Zahir al-Sa‟dy,
mereka berkata, “tidak ada hukum melainkan hukum Alla.
Pada dasarnya yang mendorong „Ali ibn Abi Thalib menerima arbitrasi/tahkim adalah
kelompok yang nantinya menentang dan keluar (khawarij) dari pasukan Ali. Pada mulanya,
Ali ibn Abi Thalib memilih „Abdullah ibn Abbas sebagai arbitrator, namun penunjukan ini
ditolak oleh kaum khawarij dengan alasan bahwa „Abdullah ibn Abbas adalah keluarga, Ali
ibn Abi Thalib. Kaum khawarij mendorong, Ali ibn Abi talib Thalib agar menunjuk Abu
Musa al-Asy‟ari untuk menetapkan keputusan yang sesuai dengan ketentuan al-Qur‟an.
Namun setelah mereka mendengar keputusannya tidak sesuai dengan apa yang mereka
inginkan, mereka berbalik dan memberontak terhadap Ali ibn Abi Thalib. Mereka berkata,
“Buat apa kita menerima keputusan itu padahal tidak ada hukum selain dari hukum Allah. 2

2
Nasution, Harun. 2012. Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan). Jakarta; UI-Press. Hal 44
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pemikiran politik Islam dari aliran Khawarij?
2. Bagaimana relevansi pemikiran politik dari aliran Khawarij?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja pemikiran politik Islam dari aliran Khawarij
2. Untuk mengetahui relevansi pemikiran politik dari aliran Khawarij

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Politik Islam dari Aliran Khawarij


Sejauh penulusuran penulis mengenai ajaran maupun pemikiran Khawarij dalam
beberapa literatur yang mungkin masih sangat terbatas. Menurut hemat penulis pendapat
dari Abdul Qadir Baghdadi adalah yang paling mampu merepresentasikan dan
mempertemukan bermacam-macam sekte mereka, Ia meriwayatkan dari perkataan Abu
Hasan Asy‘ari bahwa pemikiran Khawarij dibangun berdasarkan salah satu dari, yaitu;
1. Keputusan umum Khawarij terhadap Ali bin Abi Thalib dan para pemimpin sebelumnya
berikut tindakan mereka.
2. Kewajiban al-Khuruj (memberontak; revolusi) terhadap penguasa lalim. Tentang prinsip
yang pertama, Khawarij mengakui sahnya pembaiatan khalifah Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan bahkan mendukung penuh dua khalifah ini, kemudian terhadap
kekhalifahan Ustman bin Affan, Khawarij
Tentang prinsip yang pertama, Khawarij mengakui sahnya pembaiatan khalifah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, dan bahkan mendukung penuh dua khalifah ini, kemudian
terhadap kekhalifahan Ustman bin Affan, Khawarij Hanya mendukung selama enam tahun
pertama masa kekhalifaannya, dan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib mereka hanya
mengakui sebelum peristiwa tahkim, namun pasca tahkim, mereka membelot bahkan
memvonis kafir kepada Sayyidina Ali. Bagi Khawarij tidak ada perbedaan antara maksiat
dan kafir. Maka ketika seseorang melakukan maksiat secara otomatis dia menjadi kafir. Oleh
sebab itu, mereka mengkafirkan orang-orang yang ada pada perang jamal, perang shiffin dan
dua orang hakim serta Muawiyah beserta para pengikutnya.3
Menurut Khawarij semua perpecahan itu berawal bukan ketika dia menarik diri dari
peperangan Shiffin, bukan juga ketika salah dalam memilih Abu Musa sebagai wakil,
namun kesalahan terbesar adalah karena menerima tahkim, sehingga menurut mereka
menerima tahkim adalah kekufuran. Menjadikan manusia menjadi hakim adalah kufur,
karena itu dikenallah slogan utama mereka (la hukma illa li Allah). “Tidak ada hukum
kecuali hukum Allah”. Hal ini terkait dengan pemahaman mereka terhadap ayat iniBarang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orangorang yang kafir. Jadi, Takfir (pengkafiran) tampak menjadi corak yang khas dari
pemikiran Khawarij, hal itu merangsang sejumlah pergumulan pemikiran tentang definisi
kafir dan iman, begitu juga tentang definisi-definisi yang lain maksiat dan tingkat-tingkat
3
M. Alfan Sidik, ―Kearifan Budaya Lokal sebagai Benteng Munculnya Konflik Agama‖ JSW: Jurnal Sosiologi
Walisongo, 1 (2): 161. Retrieved (http://journal.walisongo.ac.id/index.php/JSW/article/view/2035 ).
6
maksiat, perbedaan al-Fisqu‘(fasiq) dan al-Khatta (salah), dan lain sebagainya yang
kemudian mendorong perkembangan pemikiran-pemikiran dalam Islam untuk
selanjutknya.19 Kedua, inilah yang menjadi kekhasan dari pemikiran Khawarij, yakni
seputar khilafah, syarat-syarat khilafah, bagaimana pelaksanaannya termasuk bagaimana
bersikap jika terdapat penguasa yang lalim. Neveen Abdul Khalik membagi pendapat
mereka tentang hal ini menjadi enam pokok; berikut perinciannya secara singkat:
1. Proses pengangkatan khalifah hanya bisa melalui pemilihan bebas yang dilakukan
masyarakat secara umum, tidak bisa diwakili sekelompok tertentu dari masyarakat.
Khalifah harus menegakkan keadlilan, menjalankan syari‘at serta menjauhkan diri dari
kesalahan dan penyelewengan. Jika khalifah menyimpang dari itu, maka ia wajib
diturunkan atau dibunuh.
2. Khawarij ini sangat fleksibel karena pada awalnya mereka menyuarakan bahwa khalifah
merupakan hak setiap arab yang merdeka, namun tatakala banyak orang asing yang
bergabung ke dalam paham mereka, Khawarij tidak lagi mensyaratkan ‗kearaban‘,
mereka hanya mensyaratkan Islam, ilmu da keadilan.
3. Diantara sekte khawarij, yaitu sekte Nejdat‘ yang berpendapat bahwa tidak harus
mengangkat Imam jika manusia telah mampu menegakkan keadilan. Jadi pengangkatan
imam tidak diwajibkan syariat.
4. Takfir (pengkafiran), ini adalah yang terkenal dari pemikiran Khawarij, pengkafiran
pada setiap penentangnya. Khawarij gagal membedakan antara satu dosa dengan dosa
lainnya. Mereka menganggap orang yang salah dalam berpendapat sebagai pendosa.
Orang yang bersalah dalam ijtihad juga mereka keluarkan dari agama dan
mengakafirkanya. Prinsip inilah yang membuat Khawarij selalu memberontak dan
berevolusi, baik terhadap umat Islam maupun terhadap para ulama. Ini sangat terkait
dengan cara Khawarij menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an yang menurut selerannya sendiri,
tanpa memperhatikan sunnah. Oleh karena itu ketika Sayyidina Ali k.w mengutus Ibnu
Abbas berdebat dengan kaum Khawarij, ia berkata jangan mendebat mereka dengan al-
Qur‘an‖. Karena Ia tahu bahwa mereka meletakkan makna ayat-ayat al-Quran dalam
kerangka makna yang sudah mereka buat sebelumnya.
5. Slogan Khawarij yang terkenal adalah; la hukma illa li Allah (Tidak ada putusan selain
putusan Allah) yang sedikit sudah dijelaskan sebelumnya.
6. Hijrah, hijrah tampak menjadi tanda yang berkaitan dengan takfir sejak mula pertama
pemikiran Khawarij, yaitu kejadian tahkim. Hal itu terkait dengan khutbah Abdullah bin
Wahab Rasibi (imam dari aliran khawarij) yang mengajak untuk berhijrah, ber‘amar
ma‟ruf nahi mungkar. Kaum Khawarij memandang bahwa Negara sudah penuh dengan
7
para pendosa oleh sebab itu mereka harus berhijrah ke Negara dar as-salam,
sebagaimana hijrahnya Nabi SAW menuju Madinah
Keyakinan Khawarij tentang wajibnya amar ma‘ruf nahi mungkar inilah yang
membuat mereka konsisten dengan revolusi secara terus menerus, selalu memberontak dan
mengangkat senjata untuk menentang para Imam yang mereka anggap lalim. Menurut mereka
revolusi itu hukumnya wajib dan tidak boleh berhenti kecuali sampai mati dan juga ketika
jumlah mereka kurang dari tiga, maka mereka akan diam dan menyembunyikan akidahnya,
Inilah yang disebut Sayyidina Ali sebagai fenomena kejumudan dan kebekuan berfikir,
Khawarij tidak berbuat berdasarkan hati dan logika sehat, begitu juga dalam hal amar ma‟ruf
nahi mungkar tidak membuat perhitungan atas realitas masalah, dan logika yang benar.
Ibnu Abi al-Hadid mengatakan, jika anda hendak mengetahui apa hakikat kebodohan
dan kejumudan, maka perhatikanlah Khawarij, ketika mereka telah menetapkan keputusan
untuk membunuh tiga orang, yaitu Ali, Mu‘awiyah, dan Amr bin Ash serta untuk
memutuskan melaksanakan pembunuhanya pada malam kesembilan belas di bulan Ramadhan
dalam riwayat lain tanggal 17 Ramadlan, mereka mengatakan bahwa mereka akan
melaksanakan ibadah kepada Allah. Ibnu Abbas mengatakan, Tidakkah Haruriyah (Khawarij)
lebih mengetahui hukum dari orang Yahudi dan Nashrani, mereka semua adalah sesat.
Mereka mengira bahwa perbuatan membunuh yang akan mereka lakukan itu adalah
salah satu kebajikan, karena itu alangkah lebih utama kalau perbuatan itu dilakukan pada
suatu malam di bulan Ramadhan yang penuh berkah agar mereka akan mendapatkan pahala
jauh lebih besar. Maka pada saat yang dtentukan itu Abdurrahman bin Muljam menebas
kepala amirul mu‟minin Sayyidina Ali yang sedang melakukan shalat malam, sungguh
perbuatan yang seharusnya tidak ia lakukan. Sehingga sangat pantas Syahid Muthahari
mengatakan bahwa; ika kita bertanya perihal apa yang membunuh Imam Ali, maka kita harus
menjawab bahwa yang membunuh beliau adalah kejumudan.
Mengapa kaum Khawarij cenderung bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar
mati. Hal itu dikarenakan karena; pada umumnya mereka itu terdiri dari orang-orang baduwi
yang hidup di padang pasir, yang serba tandus. Sehingga mereka bersikap sangat sederhana
dalam cara hidup maupun pemikiran, namun keras hati dan berani serta sangat merdeka.
Sebagai orang baduwi tentunya mereka jauh dari ilmu pengetahuan dan informasi tentang
ajaran-ajaran Islam, oleh karena itu dalam penafsiran mereka cenderung tidak menggunakan
sunnah, setiap lafaz al-Qur‘an harus dilakukan dengan sepenuhnya, sehingga iman dan paham
mereka sangat sempit akal, dan cenderung fanatisme tinggi, iman menjadi tebal tetapi sempit,
sehingga sikap merekan terhadap setiap perbedaan tentang ajaran islam,cenderung tidak ada
toleransi. Maka kelompok Khawarij dianggap sangat membahayakan, sehingga harus
8
dilakukan perlawanan, dan ketika terlibat pertempuran melawan kelompok Sayyidina Ali
dalam perang Nahrawan, namun seberapa bahaya pun Khawarij ini, Imam Ali berpesan
bahwa Jangan kalian membunuh kaum Khawarij sepeninggalku, sebab tidaklah sama antara
orang-orang yang mencari kebenaran lalu terluput darinya dengan orang-orang yang mencari
kebathilan lalu memperolehnya. Khawarij sebenarnya sudah mengalami kekalahan, namun
mereka mampu menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan
Islam baik di zaman Umayyah maupun di zaman Abbasiyah. Oleh karena itulah kelompok
Khawarij sangat mudah terpecah belah menjadi beberapa subsekte.4

4
Muthahhari, Murtadha. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung; Pustaka Hidayah. Hal 55
9
B. Relevansi pemikiran politik dari aliran Khawarij

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ibarat dua mata pisau. Dampak positif
tentu mempermudah generasi muda untuk mengakses informasi dari internet, namun dampak
negatifnya juga banyak yang salah satunya menggunakan media sosial sebagai wadah untuk
menghujat seseorang. Walaupun sudah dibentuk UU ITE oleh pemerintah dan DPR, namun
dampaknya tidak terlalu signifikan serta belum memunculkan efek jera bagi pelaku pencaci dan
penyebar ujaran kebencian di media sosial. Khawārij zaman sekarang tidak jauh berbeda
dengan khawārij zaman dahulu. Walaupun sampai hari ini kelompok khawārij sudah tidak ada,
namun warisan mereka berupa faham radikal telah berkembangan menjadi kelompok-
kelompok lain dan mempengaruhi pola pikir sebagian umat Islam. Hal tersebut dapat diamati
terutama mereka yang belajar Islam hanya dari media sosial dan internet, tanpa memastikan
sanad keilmuannya. Sebagian dari kelompok ini ada yang memahami alquran dengan baik dan
taat beribadah. Namun, secara bathin mereka telah terpapar ekstrimisme, radikalisme, dan
keyakinan-keyakinan yang merusak kerukunan umat Islam. Khawārij milenial lebih sering
merasa benar dan kerap sekali menyalahkan yang lain. Mereka suka mencaki maki orang yang
berbeda pandangan politik dan pemahaman Islam.
Korbannyapun tidak hanya orang biasa, namun sudah mencakup tokohtokoh dan ulama
besar di tanah air. Contoh nyata adalah ketika K.H. Yahya Cholil Staquf yang merupakan Katib
Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus sebagai pengasuh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin, Rembang, mendapat serangan habis-habisan di media sosial karena telah
menghadiri seminar di Yerussalem. Padahal beliau menghadiri seminar tersebut untuk
mengisinya dengan menebar gagasan Islam Rahmatan lil Alamin. Anehnya cacian, hujatan, dan
tuduhan yang mereka lakukan dilandasi dengan semangat membela agama. Kebuntuan berpikir
seperti ini menyebabkan dangkalnya pemikiran generasi milenial untuk menelusuri secara jelas
tentang penyebab sebuah peristiwa. Justifikasi yang tidak berdasar hanya akan menjerumuskan
mereka ke dalam kesesatan berpikir. Beberapa contoh lain seperti tuduhan kafir terhadap cak
nun, dan syiah terhadap K.H. Qurais Shihab adalah ulah para remaja yang masuk kedalam
kategori khawārij milenial.
dapat disimpulkan bahwa untuk menelusuri perilaku netizen mengenai propaganda dari
kaum khawārij milenial memang sulit dilakukan, karena akun-akun yang menyebarkan
propaganda tersebut cenderung anonim dan sulit untuk dideteksi, dapat diambil asumsi awal
bahwa propaganda kaum khawarij milenial masih tetap berjalan dan terjadi hingga detik ini.

10
Pemerintah harus mengambil sikap preventif dan antisipatif agar propaganda di jagat maya
tidak semakin luas. Indonesia mengalami bonus demografi dimana sebagian besar
penduduknya adalah remaja berusia produktif antara 18-30 tahun. Para remaja ini harus benar-
benar dibina dan dibimbing agar tidak mudah mencaci-maki, menghujat orang lain serta dapat
lebih bijak dalam menggunakan internet dan media sosial dalam berkomunikasi. Peran guru
tentu menjadi salah satu peran sentral dimana figur seorang guru, pengajaran seorang guru
harus mampu memberikan keteladanan yang mampu ditiru oleh murid-muridnya untuk
berperilaku sehari-hari dengan baik. Orangtua dalam keluarga, sebagai gerbang awal anak
dalam memperoleh informasi harus memberikan filtering secara ketat dan berkesinambungan.
Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir pergerakan kaum khawarij modern melakukan
propaganda, penanaman doktrin radikal terhadap anak-anak mereka. Apalagi jika di
kampuskampus masih ditemukan organisasi ekstrimis dan radikal seperti HTI.5

5
illiams, J. A., dan Corfield, J., Khawārij, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e04 50?
_hi=0&_pos=2, diakses 11 Febrruari 2024
11
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Setelah kita mengetahui bagaimana sejarah kemunculan Khawarij, ajaranajaran dan
pemikirannya hingga sampai pada subsekte subsekte aliran Khawarij, kesimpulan
yang dapat diambil dari deskripsi-deskripsi di atas. Adalah sebagai berikut,
Kemunculan Khawarij sebagai sekte dalam pemikiran Islam Khawarij sebagai sekte
muncul sebagai hasil dialektika atas perbedaan dalam menafsirkan konsep
kekhalifaan, yang kemudian berkembang dan menjalar pada perbedaan pada
konsep-konsep kalam atau teologi. Dalam wilayah politik, Khawarij muncul sebagai
kelompok oposisi terhadap setiap pemerintahan yang sedang berkuasa. Dari segi
pemikiran, Khawarij (produk pemikiran-pemikirannya) lahir dari sebuah kejumudan
dalam berfikir dan fanatisme yang tinggi.
2. Ajaran dan pemikiran Khawarij Dalam wilayah politik; ajaran dan pemikiran
khawarij yang khas adalah ajaran khuruj yakni sikap memposisikan diri sebagai
oposisi yang selalu revolusioner melawan para pemimpin yang mereka anggap
lalim. Takfir (pengkafiran) menjadi doktrin yang khas dalam pemikiran Khawarij.
Radikal dan fanatisme tinggi menjadi corak khas dalam setiap aksi Khawarij. Oleh
karena itu, dalam penafsiran teks-teks agama, Khawarij cenderung menafsirkannya
untuk mendukung ideologi mereka, dan menafikkan assunnah. Kaum khawārij telah
bertransformasi menjadi kelompok-kelompok radikal baru yang banyak berada di
berbagai negara di dunia. Tidak hanya serangan fisik yang mereka gencarkan,
bahkan internet juga tidak luput untuk dijadikan sebagai media propaganda
pemikrian radikal yang mereka anut, tentu dengan tujuan untuk mendoktrin para
pengguna media sosial untuk berperilaku radikal dan ekstrim. Sewajarnya dan
penting sekali bagi para guru dan orangtua untuk dapat mengawasi anak mereka
agar tidak terpapar radikalisme dan doktrin ekstrim, mengingat kedua hal tersbeut
dapat menimbulkan bahaya bagi keluarga, bangsa, dan agama, serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
.

12
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Al-Baqir, Muhammad. 1993. Mutiara Nahjul Balaghah (Dengan Syarh Muhammad Abduh). Bandung;
Mizan
Nasution, Harun. 2012. Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan). Jakarta; UI-
Press
M. Alfan Sidik, ―Kearifan Budaya Lokal sebagai Benteng Munculnya Konflik Agama‖ JSW: Jurnal
Sosiologi Walisongo, 1 (2): 161. Retrieved
Muthahhari, Murtadha. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung; Pustaka Hidayah

B. Internet
illiams, J. A., dan Corfield, J., Khawārij,
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e04 50?_hi=0&_pos=2, diakses 11
Febrruari 2024

13

Anda mungkin juga menyukai