PENGETAHUAN TERAPAN
MENGELOLA PEMBANGKIT PLTU CFB
MENJADIKAN
PEMBANGKIT KINERJA PRIMA
DAN RAMAH LINGKUNGAN
Disusun Oleh :
Tim CFB
PT PLN (Persero)
PEMBANGKITAN SUMATERA BAGIAN SELATAN
Penulis
SUCINATA AGUNG P // 8609366Z
November 2015
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas
anugerah nikmat-Nya dan atas rahmat-Nya, buku PENGETAHUAN TERAPAN
MENGELOLA PEMBANGKIT PLTU CFB MENJADIKAN PEMBANGKIT KINERJA
PRIMA DAN RAMAH LINGKUNGAN yang Anda baca sekarang ini adalah sebuah
ringkasan sebagai bentuk upaya Knowledge Capturing dalam bidang Boiler tipe Circulating
Fluidized Bed (CFB) yang merupakan Boiler tipe baru milik PT. PLN Persero Pembangkitan
Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Belajar dari pengalaman disertai knowledge
management yang baik diharapkan akan mampu menanggulangi permasalahan yang
dialami dalam mengelola Boiler CFB baik kini maupun yang akan datang. Dengan lebih
cepatnya penanggulangan terhadap masalah yang terjadi ataupun dengan mampunya kita
memprediksi gangguan yang akan terjadi, maka hal tersebut akan berdampak pula pada
peningkatan kinerja pembangkit, sehingga mampu memberikan kontribusi bagi PLN dan
sistem kelistrikan nasional secara umum. Sampai saat buku ini ditulis, di Pembangkitan
Sumbagsel tercatat Boiler tipe CFB telah terinstall pada PLTU Tarahan (2 x 100 MW), PLTU
Sebalang (2 x 100 MW) dan PLTU Teluk Sirih (2 x 112 MW). Untuk PLTU Tarahan telah
beroperasi sejak tahun 2007. Buku PENGETAHUAN TERAPAN MENGELOLA
PEMBANGKIT PLTU CFB MENJADIKAN PEMBANGKIT KINERJA PRIMA DAN
RAMAH LINGKUNGAN disusun dari wawancara sebagai praktisi Pemeliharaan Boiler PLN
KITSBS yang telah lama berkecimpung dalam bidang Boiler CFB sejak era project dan
commisioning serta dari dokumen literatur PLN KITSBS mengenai Boiler CFB.
Terimakasih tidak lupa kami ucapkan kepada Manajemen PLN Pembangkitan Sumbagsel
atas kesempatan dan kepercayaannya, serta semua pihak yang telah membantu
tersusunnya buku ini. Semoga buku ini bisa memberikan sumbangan yang menguatkan,
serta tercatat sebagai amal jariyah.
Tim Penyusun
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Page 1
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
uap tidak dapat dibuat terlampau tinggi karena ketebalan drum akan sedemikian tebalnya
sehingga tidak menguntungkan.
BAB I PENDAHULUAN
Page 2
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
BAB I PENDAHULUAN
Page 3
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
2. Sistem Pulverized
Jenis boiler ini yang paling banyak digunakan pada saat ini, khususnya di Indonesia,
menggunakan mill untuk menggiling batu bara menjadi serbuk sebelum diumpankan ke
ruang bakar. Bahan bakar Padat pada Pulverized ini adalah bahan bakar yang berbentuk
tepung halus, bahan bakar yang halus seperti tepung ini bercampur dengan udara di burner
yang kemudian menuju boiler. Aliran bahan bakar yang menuju furnace boiler bercampur
dengan udara dan terbakar di furnace. Keuntungan sistem pulverized ini dibandingkan
dengan stoker adalah :
- Merespon cepat dalam perubahan beban;
- Menaikkan efisiensi thermal;
- Kemampuan memasukkan sejumlah besar bahan bakar melalui burner.
BAB I PENDAHULUAN
Page 4
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
Prinsip kerjanya hampir sama dengan boiler stoker mekanik, namun tidak
menggunakan rantai, tetapi menggunakan tumpukan ( bed) partikel pasir yang diletakkan di
bagian bawah ruang bakar boiler sebagai media untuk memanaskan udara dan ruang bakar
secara keseluruhan juga. Udara dengan tekanan dan kecepatan tinggi dihembuskan dari
dasar tungku melalui nozzel-nozzel dan menembus tumpukan pasir sehingga batu bara yang
berada di atas pasir tersebut dapat melayang dan terbakar di dalam ruang bakar. Batubara
yang telah terbakar namun belum habis dan ikut bersama-sama dengan aliran gas hasil
pembakaran dipisahkan dengan siklon untuk dikembalikan ke ruang bakar agar terbakar
secara sempurna. Untuk jenis yang seperti ini sering disebut sebagai unggun terfluidisasi
tersirkulasi (circulated fluidized bed atau CFB). Pada furnace boiler tipe CFB kecepatan gas
lebih cepat daripada boiler fluidized bed yang sistem bubling. Agar kepadatan yang ada
didalam furnace yaitu bed material dapat terangkat, dan mengalir maka diperlukan nilai
kecepatan gas minimum agar partikel dapat terangkat dan keluar furnace. Pembakaran
bahan bakar padat di dalam furnace terjadi akibat turbelensi, berbenturan dengan media
pembakar yaitu pasir. Sisa bahan bakar padat yang belum terbakar akan sirkulasi melalui
cyclone/compact separator.
BAB I PENDAHULUAN
Page 5
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
Gas
Gas
Gas
Gas
Average Bed
6,000 m 1,000 m 100 - 300 m 50 m
Particle Size
Gambar 1.8. Perbedaan Jenis Jenis Boiler
BAB I PENDAHULUAN
Page 6
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
Perhitungan kecepatan flue gas (w; m/s) di furnace (typically di top of furnace)
berasal dari :
- Flue gas flow rate (Q; Nm3/h)
- Furnace/bed temperature (T; °C)
- Pressure di upper section/top of furnace (P; Pa)
- Luas area atau cross section dari upper section/top of furnace (A; m2) :
BAB I PENDAHULUAN
Page 7
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
BAB I PENDAHULUAN
Page 8
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
BAB I PENDAHULUAN
Page 9
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
BAB I PENDAHULUAN
Page 10
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
mengadopsi Super Critical Steam Condition dan pengoperasian dengan Efisiensi tinggi pada
Boiler CFB 460 MW di Polandia telah memberikan langkah besar dalam hal peningkatan
kemampuan Boiler CFB. Di Cina, kemampuan CFB pada kondisi Subcritical dalam hal
mengelola dan berbagi dalam peningkatan kapasitas batubara secara berkelanjutan, dan
Commissioning Boiler CFB Super Critical terbesar di dunia dapat dijadikan bukti sebagai
permulaan pertumbuhan sekarang ini. Lainnya, konstruksi pembangunan untuk Multiple Unit
Pembangkit CFB 4400 MW di Korea Selatan merupakan informasi bahwa teknologi ini dalam
proses mengakuisisi atau menguasai dalam perkembangan Pembangkit Batubara. Akan
tetapi, kesesuaian Boiler CFB untuk Project tergantung dari beberapa faktor khusus, seperti
Tipe dan konsistensi Suplai Bahan bakar, Standard Emisi, Potensial Co-Firing, dan pilihan
untuk Ash Disposal. Selanjutnya, Potensial keuntungan dan kekurangan Boiler CFB telah
terjadi banyak perubahan pada 10 tahun terakhir sebagai bentuk pengembangan teknologi
dan perubahan dalam bidang Politik Ekonomi dalam bidang Pembangkit Batubara.
Perkembangan Boiler CFB dalam hal fleksibilitas Bahan bakar, dalam kondisi toleransi
untuk variasi dan kemampuan untuk pembakaran Range Bahan Bakar yang luas, dan
penurunan Emisi Sox dan Nox. Kedua keuntungan ini, fleksibilitas Bahan bakar menjadi
terdepan pada tahun sekarang dan meningkatkan pasar untuk mencari sumber bahan bakar
yang lebih murah dan kemampuan kemudahan untuk mengubah Sumber suplai menjadi
meningkat. Tambahan, Perkembangan Pembangkit Batubara di India, Cina, dan Korea
Selatan mengharuskan eksplorasi kualitas batubara yang jelek, seperti kandungan Ash tinggi
pada Bituminus dan Anthracite, dimana dapat menimbulkan permasalahan pada Boiler
standard PC.
Tahun berikutnya seperti sebagai ajang pembuktian bagaimana Boiler CFB dapat
berkompetisi dengan Boiler PC untuk Power Generation. Pada Pasar lainnya, ada
peningkatan kegiatan termasuk Afrika Selatan, dimana Boiler CFB bertujuan untuk
mengeksploitasi limbah tambang batubara yang besar, dan negara dengan sumber daya
alam Batubara Lignit yang besar seperti Turki dan Indonesia. Boiler CFB kemungkinan
menjadi terbesar dalam sektor Pembangkit Batubara, dapat dilihat sekarang ini berkembang
secara terus menerus sampai nantinya mencapai puncak.
Perkembangan Boiler CFB di Indonesia, terutama di lingkungan PLN sendiri sudah
dapat dilihat mulai dari proyek 10.000 MW dan perkembangan sekarang ini untuk proyek
35.000 MW. Boiler CFB di lingkungan PLN pertama kali sebagai Pilot Project adalah PLTU
Tarahan dengan kapasitas 2 x 100 MW, yang mulai beroperasi secara komersial sejak tahun
2007 dimana Manufacture dari ALSTOM BOILER. PLTU Tarahan terletak di Provinsi
BAB I PENDAHULUAN
Page 11
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
Lampung, yang merupakan salah satu unit pembangkit yang dimiliki oleh PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan. Setelah itu dilanjutkan dengan pembangkit
pembangkit CFB PLN lainnya, seperti PLTU Labuhan Angin, PLTU Amurang, PLTU Teluk
Sirih, PLTU Sebalang, PLTU Nagan Raya, PLTU Jeranjang, PLTU Bangka Belitung, dan
lainnya.
Berikut beberapa perkembangan Teknologi Boiler CFB di dunia, antara lain :
1) Tahun 1985, Germany Duisburg by Lugi, Kapasitas 95.8 MW (Steam Flow : 270
T/h, Main Steam Temp. : 535 / 535 oC, Main Steam Pressure : 14.5 MPa);
2) Tahun 1990, USA New Mexico by ALSTOM, Kapasitas 165 MW (Steam Flow : 500
T/h, Main Steam Temp. : 540 / 540 oC, Main Steam Pressure : 13.7 MPa);
3) Tahun 1996, France Gardanne by ALSTOM, Kapasitas 250 MW (Steam Flow :
700 T/h, Main Steam Temp. : 567 / 566 oC, Main Steam Pressure : 16.9 MPa);
BAB I PENDAHULUAN
Page 12
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
4) Tahun 2002, USA JEA by FW, Kapasitas 300 MW (Steam Flow : 900 / 806 T/h,
Main Steam Temp. : 540 / 540 oC, Main Steam Pressure : 17.2 / 3.8 MPa);
5) Tahun 2009, Poland Lagisza by FW, Kapasitas 460 MW (Steam Flow : 1300 /
1102 T/h, Main Steam Temp. : 550 / 548 oC, Main Steam Pressure : 27.5 / 5.48
MPa);
BAB I PENDAHULUAN
Page 13
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
BAB II
PEMBANGKIT PLTU BATUBARA TIPE CFB
(CIRCULATING FLUIDIZED BED)
Boiler tipe CFB ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang
menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%.
Gambar 2.1. Contoh Siklus PLTU Jenis Boiler CFB (Circulating Fluidized Bed)
Umumnya PLTU Batubara akan berkaitan dengan hasil pembakaran batubara dan
polutan dalam flue gas yang mengandung SO2, NOX dan partikulat. Partikulat berupa abu
disaring dengan alat Bag Filter ataupun yang menggunakan sistem ESP (Electro Static
Precipitator). NOX direduksi dengan Low Temperature Firing dalam furnace CFB. Sedangkan
SO2 direduksi dengan injeksi limestone (CaSO3) ke dalam furnace CFB selama proses
pembakaran batubara pada temperature 850 oC untuk mengikat SO2. Flue Gas setelah
melewati Bag Filter disalurkan ke Chimney (cerobong) setinggi 150 m yang berfungsi sebagai
pendispersi flue gas sehingga batas emisi flue gas yang dibuang ke lingkungan sesuai
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret
1995 mengenai Baku Mutu Emisi untuk PLTU Berbahan Bakar Batubara (Berlaku Efektif tahun
2000) yaitu : Total Partikel <150 mg/m3, SO2 < 750 mg/m3, NO2 < 850 mg/m3.
Pada Boiler CFB, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu Cyclone. Partikel
media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut
terbang bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone oleh Vortex Finder, untuk
kemudian disirkulasikan kembali ke Furnace. Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized
bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung lebih optimal, dan efisiensi
pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Adapun abu sisa pembakaran yaitu berupa
bottom ash (abu dengan partikel lebih berat) dan fly ash abu ringan yang mengalir bersama
gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Bag Filter sebelum gas
buang keluar ke cerobong asap (stack). Teknologi boiler tipe CFB ini mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan dengan jenis boiler konvensional Pulverized Coal yang kita kenal
selama ini.
Di Lingkungan PT PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan sampai
tahun 2015 sekarang ini, sudah memiliki 3 jenis PLTU Boiler tipe CFB, yaitu PLTU Tarahan (2
x 100 MW) di Provinsi Lampung yang sudah beroperasi sejak tahun 2007, dan yang baru
operasi PLTU Sebalang (2 x 100 MW) di Provinsi Lampung dan PLTU Teluk Sirih (2 x 112
MW) di Provinsi Sumatera Barat.
Pusat Listrik Tenaga Uap Tarahan Unit 3 & 4 berkapasitas 2 x 100 MW berlokasi di
Desa Rangai Tri Tunggal (Desa Tarahan), Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan,
Provinsi Lampung. Terletak di tepi Teluk Lampung yang berjarak 15 Km dari pusat Kota
Bandar Lampung ke arah Timur. Lahan Seluas 62,84 Ha digunakan untuk Power Plant,
Intake, Discharge dan Base Camp. Pembangungan fisik PLTU dimulai sejak tahun 2001
Site Preparation. Kemudian diteruskan tahapan pembangunan sipil yang resmi dimulai
tanggal 15 September 2004 yaitu pemancangan tiang pertama.
Proyek ini dibiayai oleh loan JBIC ODA LOAN No.IP – 486 dengan alokasi sebesar 6,41
milyar JPY dan 176,97 juta USD, dana pendamping dari pemerintah RI (APBN) dan
APLN senilai Rp. 332,85 milyar diluar biaya perolehan tanah dan pekerjaan persiapan.
Pembangunan PLTU Tarahan ini merupakan kebijakan pemerintah Indonesia yang
ditindaklanjuti oleh PT PLN (Persero) dengan mengembangkan pembangkit listrik non-BBM
yang memanfaatkan bahan bakar batubara. PT PLN (Persero) mengadakan kontrak
pembelian dengan PT Bukit Asam untuk menyuplai batubara untuk PLTU Tarahan.
Efficiency % 87.95
B. Berikut adalah data teknis untuk Boiler CFB PLTU Teluk Sirih :
PLTU Teluk Sirih terletak di Desa Teluk Sirih RT 01/RW 04, Kelurahan Teluk Kabung
Tengah, Kecamatan Bungus (Jl. Padang-Painan KM 25), Padang, Sumatera Barat.
Kontrak No. 436.PJ/041/DIR/2008 yang ditandatangani 9 Mei 2008 oleh PT PLN (Persero)
dengan Konsorsium antara PT. Rekayasa Industri dan China National Technical Import &
Export Cooperation dengan Effective Date pada 18 Oktober 2008. Amandemen kontrak No.
A.01/2011 (Extention of Time) yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 2011 oleh PT
PLN (Persero) dengan Konsorsium antara PT. Rekayasa Industri dan China National Technical
Import & Export Cooperation dengan Effective Date pada 18 April 2011.
Nilai Kontrak dari Unit Pelaksana Konstruksi PLTU Teluk Sirih sebesar USD
179,024,152.- atau Rp. 673,609,315,309.-. Nilai tersebut termasuk PPN 10%. Sumber Dana
dari Asosiasi Bank Daerah (ASBANDA) dan China Development Bank (CDB). PT PLN (Persero)
menunjuk PT PLN Jasa Engineering yang sejak tanggal 01 Juni 2010 berganti nama menjadi
PT PLN (Persero) Pusat Enjinering Kelistrikan (PUSENLIS), untuk melaksanakan perkerjaan
pemeriksaan dan persetujuan enjinering (design review) PLTU Teluk Sirih (2 x 112 MW)
merujuk pada Surat Penugasan Direktur Pembangkitan dan Energi Primer No.
00511/432/DITKIT/2007 tanggal 28 Desember 2007. PT PLN (Persero) menunjuk
KONSORSIUM PT. Kwarsa Hexagon Bekerja sama dengan PT. PLNE (Prima Layanan Nasional
Engineering) dan PT. Andalan Rereka Consultindo untuk melaksanakan pekerjaan
pemeriksaan, persetujuan desain (design review on site) dan Quality Assurance dan Quality
Control (QA/QC) PLTU Teluk Sirih melalui surat perjanjian Nomor18.PJ/121/PIKITRING
SBS/2008 tanggal 30 Desember 2008.
Efficiency % 92.26
udara pembakaran PLTU ini ramah lingkungan. Total kebutuhan capai 1.000.800 ton batu
bara per tahun. Dengan dua pemasok batu bara yakni PT Hanson Energy dan PT PLN
Batubara.
Efficiency % 91.6
BAB III
PROBLEM PLTU CFB
(CIRCULATING FLUIDIZED BED)
A. Erosion Problem
Erosi atau pengikisan lapisan material karena adanya gesekan, hantaman oleh
pergerakan suatu benda sehingga terjadi proses keausan dimana material dipindahkan dari
permukaan solid karena tumbukan benda solid. Pada Boiler CFB pengikisan terjadi karena
sebab utama Bed Material yang bersifat abrasive. Hal ini merupakan bentuk kegagalan
kontinyu bagi dinding luar (Outer Diameter) tuber boiler CFB, keausan erosi akan terus
berlanjut secara terus menerus, selama boiler CFB beroperasi dengan material bed yang
terdiri dari : pasir kuarsa, batubara, limestone/kapur dan udara pembakaran. Hal ini tidak
dapat dihentikan, namun hanya dapat dikendalikan. Tingkat Erosi pada Boiler CFB tergantung
pada hal – hal berikut ini, antara lain :
1. Suspension Density of Particle, dimana besarnya campuran fluida (kepadatan)
massa jenis dari suatu particle zat padat mempengaruhi tingkat laju erosi;
2. Superficial Velocity (Kecepatan dangkal), superficial velocity cairan atau gas
digambarkan sebagai rasio dari laju volumetric flow cairan atau gas terhadap
area penampang melintang;
3. Particle Characteristics, dimana karakteristik sebuah Particle dan Particle Size
Distribution mempengaruhi tingkat laju erosi;
4. Trajectory of Solids, lintasan padat suatu particle pada suatu proses yang
mempengaruhi tingkat laju erosi.
Erosi pada Boiler CFB sangat tergantung pada tingkat laju bed material (solids) yang
mengenai Waterwall di dalam ruang pembakaran. Area – area yang mengalami tingkat erosi
tinggi, antara lain :
a. Waterwall Refractory Interface
b. Protruding Instruments
c. Irregularities and Weld Defects in the Membrane Wall
Erosi pada Boiler CFB sering terjadi pada Waterwall Interface, yaitu di Waterwall Tube
dan Panel Tube maupun pada Refractory. Di samping itu juga, pada Lower PA dan SA Nozzle
juga seringkali terkena dampak dari erosi pada ruang pembakaran, sedangkan untuk Fly Ash
yang bersifat abrasive menyebabkan erosi pada daerah Backpass Tube.
Dampak negatif dari Erosi ataupun Abrasi yang terjadi pada Boiler CFB, menyebabkan
beberapa permasalahan pada Boiler CFB, antara lain :
1. Tube Leak Failure (Pecah Pipa Boiler)
Kegagalan utama dalam Boiler tipe CFB adalah pecah tube yang diakibatkan oleh
proses abrasive yang terjadi pada permukaan luar tube. Pada beberapa kasus dimana terjadi
bocor tube dengan kebocoran yang besar, kenaikan tekanan dalam furnace terjadi sangat
drastis dan secara tiba - tiba. Keausan/erosi tidak terlepas dari proses pembakaran di ruang
bakar, diawali dari penyalaan burner menggunakan bahan bakar HSD dan inert bed berupa
pasir kuarsa, dengan bantuan udara Primary Air (PA) dan Secondary Air (SA) sehingga terjadi
proses sirkulasi pembakaran di dalam furnace. Akhirnya temperatur inert bed sama dengan
temperatur ruang bakar. Saat inert bed dalam keadaan membara (ditandai dengan
temperatur furnace ± 630 oC), batubara dimasukkan dan didorong oleh udara (Primary Air),
kemudian hamburan butiran serta partikel api bercampur bed ringan (Fly Ash) terbang ke
atas, sedangkan bed material yang massanya lebih berat jatuh ke bawah untuk disirkulasikan
kembali ke dalam Furnace dengan bantuan Fluidizing Air Blower. Bed Material abrasive
dengan temperatur tinggi dan tidak terkontrol mengenai Wall Tube sehingga terjadi keausan
/ erosi. Keausan / erosi tersebut menyebabkan wall tube mengalami penipisan sampai pada
suatu ketebalan tickness tertentu (standard kritis < 3,7 mm), dan akhirnya tube bocor /
pecah. Erosi adalah proses keausan dimana material bersirkulasi sehingga menyebabkan
gesekan antara bed material dengan benda solid (Tube). Proses impact terdiri dari dua
komponen yaitu gaya normal terhadap permukaan yang menyebabkan perubahan struktur
material dan gaya paralel yang akibat gravitasi bed material terhadap permukaan tube.
Berikut ini adalah beberapa penyebab yang dapat mempercepat terjadinya tingkat
erosi tinggi pada tube boiler :
a. Tube Over Bending
Bending adalah proses pembengkokan pada suatu material pada suatu sumbu
pembengkokan. Over Bending artinya ada beberapa tube yang ter-install terlalu bengkok ke
arah dalam furnace. Hal ini mengakibatkan memicu terjadinya benturan/impact dengan inert
bed yang lebih tinggi dibanding dengan posisi tube yang tegak (instalasi tidak overbending).
Sehingga tube dengan posisi overbending jauh lebih cepat mengalami abrasive dan akhirnya
mengalami kebocoran.
Gambar 3.4. Contoh Tube Failure akibat Tube Fin Miss – Alignment
Gambar 3.5. Contoh Tube Failure akibat Tube Miss – Alignment Joint tidak Center
2. Lack of Fusion
Defect ini menggambarkan kondisi ketika weld metal tidak sepenuhnya mengisi
sambungan weld. Ada ruang antara Weld Metal dan Parent Material atau antara Weld Bead
dimana ada lack. Lack of Fusion dapat dikelempokkan menjadi :
a) Lack of sidewall fusion
3. Slag Inclusion
Inclusion/Inklusi adalah partikel kontaminan yang terperangkap dalam weld metal.
Partikel slag yang terperangkap adalah jenis yang paling umum dari inklusi. Permukaan tidak
benar-benar dibersihkan juga dapat menyebabkan inklusi. Inklusi tungsten bisa dihasilkan
dari potongan-potongan kecil tungsten yang putus dari ujung elektroda di GTAW.
5. Undercut
Undercut adalah Groove meleleh ke dalam base material yang berdekatan dengan
ujung/toe weldingan. Beberapa penyebab terjadinya undercut :
- Excessive welding current;
- Welding speed too high;
- Incorrect electrode angle;
- Excessive weave;
- Electrode too large;
6. Overlap
Overlap adalah ketidaksempurnaan pada toe/sudut atau root dari weldingan yang
disebabkan oleh logam yang mengalir ke permukaan tanpa menyatu dengan base material.
Beberapa penyebab terjadinya Overlap :
- Kontaminasi ketika weld preparation;
- Slow travel speed;
- Teknik Pengelasan yang buruk;
9. Burn Through
Burn through yaitu keadaan beberapa weld area yang runtuh karena penetrasi yang
berlebihan yang mengakibatkan lubang di root run.
11. Spatter
Spatter yaitu Globulas dari weld metal atau filler metal yang keluar menempel pada
base material atau welding area.
e. Refractory Failure
Kegagalan refractory dapat menyebabkan percepatan kerusakan oleh erosi bed
material yang tinggi pada area Waterwall tube yang di cover oleh refractory, semakin cover
refractory rusak, waterwall tube pada daerah tersebut akan semakin cepat mengalami
pengikisan tickness karena juga dimungkinkan terjadi penumpukan bed material yang dapat
menyebabkan titik Hotspot.
f. Tube Fabrication
Kualitas Tube dan komposisi material Tube sangat berpengaruh terhadap percepatan
tingkat erosi pada ruang pembakaran dengan temperatur operasi yang tinggi.
Berikut ini contoh History Tube Leak pada PLTU CFB Tarahan di lingkungan PT PLN
(Persero) Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan, dimana hal ini mempengaruhi kinerja EAF
dan CF Pembangkit PLTU Tarahan Unit 3 dan Unit 4 yang telah beroperasi sejak Tahun 2007.
Gambar 3.21. History Tube Leak PLTU Tarahan Unit 3 dari Tahun 2007 - 2012
Gambar 3.22. History Tube Leak PLTU Tarahan Unit 4 dari Tahun 2007 - 2012
Gambar 3.23. Tabel EAF, CF, EFOR Unit 3 dan Unit 4 PLTU Tarahan Tahun 2008 - 2014
2. Refractory Failure
Material Refractory adalah suatu bahan atau material yang bisa mempertahankan
kekuatannya pada suhu tinggi. ASTM C71 mendefinisikan refractory sebagai “bahan non-
logam yang memiliki properti-properti kimia dan fisik yang membuatnya tahan pada kondisi
di atas 1000 oF (811 0K, 538 0C)”. Bahan tahan api digunakan untuk membuat dinding boiler,
furnace, insinerator, reaktor dan lain-lain. Pada Boiler CFB, refractory digunakan untuk
melapisi daerah tube/pipa yang memiliki konsentrasi sirkulasi material bed yang padat dan
daerah bottom yang merupakan tempat masuknya udara Primary Air melalui Nozzle PA serta
Secondary Air melalui lubang SA.
Bahan apapun dapat digambarkan sebagai refractory jika bahan ini dapat bertahan
terhadap abrasi atau korosi bahan padat, cair, atau gas pada suhu tinggi. Karena
penggunaannya yang bervariasi dalam berbagai kondisi operasi, maka pihak manufaktur
memproduksi berbagai jenis refractory dengan berbagai sifat. Bahan-bahan refractory dibuat
dengan kombinasi dan bentuk yang bervariasi tergantung pada penggunaannya.
Persyaratan - persyaratan umum bahan refractory adalah :
- Tahan terhadap suhu tinggi;
- Tahan terhadap Perubahan suhu yang mendadak;
- Tahan terhadap lelehan terak logam, kaca, gas panas, dll.;
- Tahan terhadap beban pada kondisi perbaikan;
- Tahan terhadap beban dan gaya abrasi;
- Menghemat panas;
- Memiliki koefisien ekspansi panas yang rendah;
- Tidak boleh mencemari bahan yang bersinggungan.
Refractory dikategorikan menjadi 2 macam, Shaped (cetak) yaitu direbrick dan
casting cetak dan Unshaped (monolithic) refractories. Ada beberapa macam jenis monolithic
refractories antara lain : plastics, ram-ming mixes, mortars, coatings, castables/pumpables,
and gunning mixes.
Sifat - sifat Recractory (The Carbon Trust, 1993)
Kegagalan pada refractory dapat menyebabkan kegagalan pada tube terjadi lebih
cepat. Kegagalan pada Refracrory (Refractory Failure) disebabkan juga oleh tingkat erosi dan
abrasi bed material yang tinggi, sebagian besar kegagalan Refractory yang dapat
mempercepat proses erosi terjadi karena 3 penyebab utama, yaitu terjadinya :
1. Cracking, kondisi refractory yang retak
3. Nozzle Failure
Nozzle merupakan komponen tempat masuknya udara Primary Air ke dalam Boiler. Ini
merupakan salah satu komponen terpenting di dalam Boiler. Kegagalan pada Nozzle dapat
mengakibatkan tidak meratanya udara pembakaran yang masuk ke dalam Boiler dan
menyebabkan pasir inert bed masuk ke dalam bottom plenum dan berkumpul disana. Jika
tidak segera dilakukan drain, maka besar kemungkinan bottom plenum membara dan
terbakar. Dan dengan dilakukannya frekuensi drain bottom plenum yang lebih besar,
mengakibatkan inert bed di dalam Boiler pun cepat habis dan harus terus diisi inert bed baru.
Sedangkan penggunaan inert bed baru akan lebih mempercepat terjadinya erosi pada
refractory dan tube boiler.
Bentuk kegagalan pada Nozzle (Nozzle Failure) diantaranya yaitu :
1. Nozzle Worn Out (Nozzle aus);
2. Nozzle Cap Loose (Nozzle longgar dan lepas dari dudukan).
Cap Nozzle dipasang pada long tube menggunakan sistem ulir (Cap Nozzle sebagai
mur, Long Inner Tube sebagai baut) dan ditambah dengan tack weld. Lepasnya Cap Nozzle
dari long tube disebabkan oleh Proses pengecangan Cap Nozzle dan Tack Welding yang
kurang sempurna dan Tack Welding yang dilakukan untuk memperkuat pemasangan Cap
Nozzle pada tube mengalami kerusakan akibat abrasive.
Hal ini berbahaya karena dapat menyemburkan bara api batubara dan inert bed
sehingga menyebabkan Unit Derating atau Trip. Penyebab Kegagalan Expantion Joint ini
adalah karena adanya sirkulasi Inert Bed dan Batubara yang melewati Cyclone dan
mengalami Plugging (penyumbatan) Batubara dan Inert Bed. Plugging batubara dan inert
bed ini menyebabkan Expantion Joint sobek. Juga karena menyumbat pada engsel
sambungan, menyebabkan Expantion Joint tidak dapat bergerak mengikuti pergerakan naik
turun Boiler. Dalam keadaan Ekstreem, dapat menyebabkan Cyclone Sealpot crack pada body
dan refractory sealpot rusak.
Gambar 3.28. Body Sealpot yang Crack/ Retak akibat tidak berfungsinya Expantion Joint
B. Corrosion Problem
Korosi adalah Kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu
logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang
tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi yang
paling lazim adalah perkaratan besi. Korosi dapat disebabkan oleh oksigen dan karbon
dioksida yang terdapat dalam uap yang terkondensasi. Korosi merupakan peristiwa logam
kembali ke bentuk asalnya, misalnya besi menjadi oksida besi, alumunium dan lain-lain.
Peristiwa korosi dapat terjadi disebabkan oleh :
- Gas-gas yang bersifat korosif seperti O2, CO2, H2S;
- Kerak dan deposit;
- Perbedaan logam (korosi galvanis);
- pH yang terlalu rendah dan lain-lain.
Jenis korosi yang dijumpai pada boiler dan sistem uap adalah general corrosion,
pitting (terbentuknya lubang) dan embrittlement (peretakan baja). Adanya gas yang terlarut,
oksigen dan karbon dioksida pada air umpan boiler adalah penyebab utama general corrosion
dan pitting corrosion (tipe oksigen elektro kimia dan diffrensial). Kelarutan gas-gas ini di
dalam air umpan boiler menurun jika suhu naik. Kebanyakan oksigen akan memisah pada
ruang uap, tetapi sejumlah kecil residu akan tertinggal dalam larutan atau terperangkap pada
kantong-kantong atau dibawah deposit, hal ini dapat menyebabkan korosi pada logam-logam
boiler. Karena itu penting untuk melakukan proses deoksigenasi air boiler. Korosi dapat
menyebabkan kegagalan pada Tube dan meningkatkan kebutuhan bahan bakar sehingga
menurunkan efisiensi Heat Rate. Pada Boiler CFB, korosi dapat terjadi dari dalam tube boiler
yang disebabkan oleh Chemical Water dari Air Pengisi (Demin), maupun dari sisi luar tube
yang disebabkan oleh bahan bakar maupun udara dalam ruang pembakaran (Furnace).
Korosi yang terjadi pada Boiler CFB, disebabkan oleh beberapa hal berikut ini :
1. Bahan Bakar dengan kandungan Chlorine Tinggi, berikut ditunjukkan pada
gambar 3.32 di bawah ini;
2. Control Pengoperasian Boiler yang tidak baik;
3. Temperatur pembakaran tinggi;
4. Penurunan udara Atmosphere sekitar;
5. Tingkat erosi pada Tube yang tinggi.
Korosi yang terjadi pada Waterwall Tube disebabkan oleh pengikisan (erosi) di sekitar
waterwall tube dan pola pengoperasian dengan temperatur sangat tinggi. Jadi antara erosi
dan korosi pada Waterwall Tube sangat berhubungan erat.
Pada Waterwall Tube yang mengalami Corrosion Fatique akan mengalami stress
material dan lama kelamaan Waterwall Tube akan pecah/bocor juga. Proses terjadinya korosi
karena Sulphur ataupun Chlorine dapat dilihat pada gambar 3.34. dan gambar 3.35. di
bawah ini.
Berikut ini adalah hal – hal yang dapat mencegah terjadinya Korosi pada Boiler CFB,
antara lain :
1. Udara Pembakaran (Oxygen) yang rendah;
2. Penyeragaman distribusi udara pembakaran;
3. Penyeragaman distribusi bahan bakar pada ruang pembakaran;
4. Menghindari terjadinya Local Hotspot;
5. Mencegah terbentuknya kerak dan deposit dalam boiler (dari dalam dan luar
tube);
6. Mencegah korosi galvanis;
7. Mengatur dan mengontrol pH dan alkalinitas air boiler yang sesuai standar
operasi;
8. Menggunakan tambahan/perlindungan/zat untuk mencegah korosi pada
temperatur tinggi;
9. Mengontrol temperatur Flue Gas pada Outlet Furnace / Inlet Cyclone;
10. Menggunakan Corrosion – Resisting Alloy;
11. Memanfaatkan sirkulasi Flue Gas;
12. Menghindari temperatur gas dan temperatur pembakaran Furnace tinggi yang
terus menerus.
C. Fouling Problem
Slagging dan fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu batu bara
yang melebur pada pipa penghantar panas (heat exchanger tube) ataupun dinding boiler.
Kedua hal ini sangat serius karena dapat memberikan dampak yang besar pada operasional
boiler, seperti masalah penghantaran panas, penurunan efisiensi boiler, tersumbatnya pipa,
serta kerusakan pipa akibat terlepasnya clinker. Keseluruhan masalah yang timbul tadi sering
pula disebut dengan clinker trouble. Fenomena menempelnya abu ini terutama dipengaruhi
oleh suhu melebur abu AFT (Ash Fusion Temperature), dan unsur – unsur dalam abu. Selain
kedua faktor tadi, evaluasi terhadap masalah ini juga dapat diketahui melalui perhitungan
rasio terhadap beberapa unsur tertentu dalam abu.
banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar Na2O yang tinggi,
maka fouling akan mudah terjadi.
Evaluasi karakteristik fouling sama dengan untuk slagging, yaitu dinilai berdasarkan
rasio unsur basa dan asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai – nilai tadi tinggi, maka
secara umum kecenderungan fouling juga meningkat. Selanjutnya, kadar sulfur yang tinggi
juga cenderung mendorong timbulnya fouling melalui pembentukan senyawa bersuhu lebur
rendah, melalui persenyawaan dengan unsur basa ataupun besi.
Fouling yang berkembang akan dapat menyebabkan bermacam – macam masalah
seperti penurunan suhu uap pada keluaran ( outlet) super heater dan re-heater, serta
menyempit dan tersumbatnya jalur aliran gas. Untuk menghilangkan abu ini dapat digunakan
soot blower, sama seperti penanganan pada slagging.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap fouling.
a) Metode evaluasi representatif.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mempengaruhi
kondisi menempelnya abu adalah Na2O. Oleh karena itu, perusahaan B & W menentukan
penilaian fouling berdasarkan persamaan di bawah ini. Untuk pembagian tipe abu juga sama
dengan untuk slagging.
Standar nilai
Potensi fouling Rf
Low 0.2 <
Medium 0.2 ~ 0.5
High 0.5 ~ 1.0
Severe > 1.0
b) Unsur lainnya.
Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi
kecenderungan fouling. Diantaranya adalah :
- Na2O
Unsur yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan fouling adalah unsur alkali,
terutama Na. Seperti dijelaskan di atas bahwa pengaruh Na2O adalah besar. Batubara yang
abunya (baik tipe lignit maupun bituminus) mengandung Na2O dengan kadar lebih dari 1 ~
2% (sebagian pabrikan menunjuk angka lebih dari 2 ~ 4%) mengindikasikan memiliki
kecenderungan fouling yang tinggi. Di Jepang, standar kualitas batubara uap untuk Na2O
adalah 0.1% ~ 3% untuk pembangkitan listrik, dan maksimal 1.2% untuk industri semen.
Batas bawah untuk pembangkitan listrik adalah 0.1%, karena bila angkanya kurang
dari ini akan menyebabkan turunnya performa keterambilan debu (untuk proses pengambilan
debu dengan Electrostatic Precipitator suhu rendah yang banyak digunakan di Jepang).
Sedangkan untuk industri semen, standar angka (maksimal 1.2%) tadi bukan dimaksudkan
untuk menilai kecenderungan fouling, tapi untuk fenomena penurunan kualitas beton
terpasang yang disebut dengan alkali-aggregate reaction. Bila terdapat banyak Na2O dalam
semen, maka akan timbul alkali-aggregate reaction yang dapat menyebabkan tulang beton
menjadi aus atau mengembang, serta betonnya itu sendiri dapat mengembang dan retak.
Disamping Na, unsur lain di dalam semen yang juga dapat menyebabkan fenomena
ini adalah K (Kalium). Selain berasal dari abu batubara seperti halnya Na, Kalium juga ada
yang terbawa dari bahan baku semen. Oleh karena itu, penilaiannya ditentukan oleh jumlah
Na2O dan K2O di dalam semen, yang nilainya diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Sedangkan
yang terdapat dalam abu batubara, standar nilai yang ditetapkan adalah maksimal 1.2%.
Alasan mengapa angkanya sangat besar yaitu 1.2% adalah karena sedikitnya jumlah
yang terbawa dari batubara untuk proses kalsinasi di kiln (diperlukan 110 ~ 120 kg batubara
untuk produksi 1 ton semen). Selain itu, bila abu batubara diganti dengan lempung yang
merupakan bahan baku sekunder (diperlukan 280 ~ 300 kg untuk produksi 1 ton semen),
kadar Na2O dan K2O dapat diperoleh dalam jumlah yang sangat sedikit sesuai dengan rasio
substitusi yang diperhitungkan. Bila jumlah Na2O dan K2O dikonversi ke dalam basis Na2O,
maka perhitungannya adalah Na2O + 0.658 K2O. Disini, angka 0.658 adalah hasil bagi
antara berat molekul Na2O (61.98) dengan berat molekul K2O (94.20).
- CaO.
Batubara dengan kadar CaO dalam abu yang tinggi menunjukkan kecenderungan
fouling yang tinggi pula. Disini, yang perlu mendapat perhatian adalah bila kadar CaO dalam
abunya lebih dari 15 ~ 20%.
yang menyebabkan kehilangan banyak produksi untuk shut down perbaikan. Terjadinya
Aglomerasi dan Slagging pada boiler CFB disebabkan oleh udara pembakaran (Primary Air
dan Secondary Air) yang jelek, biasanya kekurangan udara, bed material berlebih atau
particle bahan bakar terlalu besar. Lain halnya Particle bahan bakar yang baik juga dapat
menyebabkan Over heat temperatur dan Slagging pada Inlet Cyclone. Soot Blower yang
biasa digunakan pada boiler PC untuk menghilangkan deposit pada Furnace, biasanya tidak
cocok untuk boiler CFB kecuali kandungan Ash batubara tinggi atau terbakar habis.
(Barnes,2009).
Gambar 3.38. Zona Area Aglomerasi dan Slagging pada boiler CFB 300 MW
Slagging adalah fenomena menempelnya partikel abu batubara baik yang berbentuk
padat maupun leburan, pada permukaan dinding penghantar panas yang terletak di zona gas
pembakaran suhu tinggi (high temperature combustion gas zone), sebagai akibat dari proses
pembakaran batubara. Terkait hal ini, persoalan penting yang perlu mendapat perhatian
terutama adalah dinding penghantar panas konveksi pada bagian outlet dari tungku
(furnace), bila suhu gasnya melebihi temperatur melunak abu (ash softening temperature).
Gambar 3.40. Aglomerasi dan Slagging Furnace pada Boiler CFB PLTU Tarahan (Manhole)
Gambar 3.41. Aglomerasi dan Slagging Furnace pada Boiler CFB PLTU Tarahan
Gambar 3.42. Aglomerasi dan Slagging Cyclone pada Boiler CFB PLTU Tarahan
dalam tungku secara tepat. Tetapi bila sebagian batubara yang dibakar tersebut memiliki
suhu lebur abu (AFT) relatif rendah dan berkadar lempung tinggi, maka abu yang menempel
akan membentuk lapisan dan lama – kelamaan akan berkembang. Jika hal ini berlangsung
terus, maka dapat menyebabkan turunnya kapasitas keluaran boiler akibat beberapa masalah
yang muncul, diantaranya adalah menurunnya penyerapan panas oleh tungku dan
tersumbatnya lubang (orifice) pada tungku. Untuk slagging ini, karakteristiknya dapat dinilai
dari suhu lebur abu (AFT) dan kondisi abu itu sendiri. Suhu lebur abu yang rendah akan
memudahkan terjadinya slagging. Kemudian, diketahui pula bahwa bila rasio unsur alkali
(Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O) terhadap unsur asam (SiO2, Al2O3, TiO2) meninggi, potensi
timbulnya slagging juga meningkat.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap slagging, yaitu :
a) Metode evaluasi representatif.
Metode ini dikembangkan oleh perusahaan Babcock & Wilcox (B & W) yang
merupakan fabrikan boiler terkemuka dari Amerika. Pada metode ini, penilaiannya akan
berbeda sesuai dengan komposisi unsur pembentuk abu sebagaimana ditampilkan di bawah
ini.
Abu tipe bituminus … CaO + MgO < Fe2O3.
Abu tipe lignit … CaO + MgO > Fe2O3.
Terkait hal ini, pabrikan boiler biasanya menentukan nilai rasio yang lebih rendah dari
0.4 ~ 0.5.
Standar nilai
Potensi slagging Rasio basa/asam
Low 0.4 <
Medium atau > 0.7
High
0.4 ~ 0.7
Severe
d) Unsur Lainnya
Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi
kecenderungan slagging. Diantaranya adalah
- Rasio besi / kalsium (Fe2O3 / CaO)
Secara umum diketahui bahwa rasio antara 0.2 ~ 10 akan berpengaruh pada
penurunan suhu lebur abu, dengan rasio 0.3 ~ 3 menunjukkan gejala yang paling mencolok.
Jadi, kecenderungan slagging akan meninggi pada rentang nilai ini.
- Besi oksida (Fe2O3)
Bila kalsium oksida (CaO) ditambahkan pada besi okssida (Fe2O3) maka suhu lebur akan
turun dan kecenderungan slagging akan meningkat. Untuk itu, maka kadar Fe2O3
diharapkan tidak lebih dari 15%. Untuk desain boiler, nilai maksimalnya adalah 20%.
Disamping itu, kadar besi oksida yang banyak juga akan menyebabkan abunya berwarna
kemerahan.
Cara yang dapat digunakan untuk mengurangi Aglomerasi dan Slagging, yaitu :
1. Deteksi dini penyebab dari Aglomerasi dan Slagging;
2. Menggunakan zat tambahan ada bahan bakar, contohnya China clay, dolomite
atau limestone, tanah yang mengandung Kaoline;
3. Treatment dengan cara pelarutan Alkali menggunakan air hujan;
4. Menggunakan alternatif Bed Material, seperti bed material yang mengandung
minimum Iron Oxide (Fe2O3), Feldspar, Dolomite, Magnesite dan Alumina-
Alumina (Al2O3), Limestone;
5. Co-Firing with Coal, kandungan Sulfur pada batubara membantu mengurangi
terjadinya formasi aglomerasi, dimana menggantikan equilibrium pada alkali
sulfate yang mempunyai melting point lebih tinggi;
6. Mengurangi Bed temperatur ruang bakar, dimana dapat mengurangi pelelehan
garam Alkali dan mencegah aglomerasi atau korosi panas.
BAB IV
IMPROVEMENT DAN INOVASI
Dari gambar 4.1. di atas, Improvement Action untuk mengendalikan tingkat erosi dan
abrasi pada Boiler CFB ada 4 bagian, yaitu dari sisi Design, Operation, Part & Environment,
dan Fabrication & Construction, dimana antar bagian saling berhubungan. Improvement
Action yang dapat dilakukan untuk mengendalikan tingkat erosi dan abrasi pada boiler CFB
dapat dilihat pada gambar 4.2. di bawah ini.
3. Tube Coating
Tube Coating merupakan cara yang dilakukan dengan memberi lapisan material
tambahan pada permukaan tube, seperti contoh spray metal coating, cheramic coating,
metal cladding, hard metal coating. Dimana Tube Coating dilakukan pada seluruh area Tube
ataupun area yang kritis saja, yang mengalami penurunan tickness tube yang ekstreem. Hal
ini diharapkan dapat memperpanjang Life time Tube dari erosi dan abrasi bed material.
Berikut ini contoh hasil pengukuran thickness SuperHeater Panel Tube. Warna hijau
menandakan ketebalan pipa Baik, warna kuning Hati-hati, dan Warna merah Masalah yang
berarti harus dilakukan penggantian pipa.
7. Refractory Improvement
Penyebab kegagalan pada Refractory pada umumnya bisa terjadi karena 3 hal, yaitu
Bahan Refractory yang digunakan, Cara Pemasangan Refractory dan Bentuk Kontur
Refractory di dalam Boiler. Sehingga usaha untuk menanggulangi kegagalan pada refractory
ini adalah seluruh improvement pada ketiga hal tersebut, antara lain sebagai berikut :
a) Mengganti bahan material Refractory dengan spesifikasi yang lebih sesuai.
Analisa kesesuaian dilihat dari mode kegagalan yang terjadi. Setelah melakukan
perbaikan Refractory, maka harus dilakukan RDO (Refractory Dry Out) sesuai spesifikasi
material & luasan perbaikan. Berikut ini history penggunaan berbagai macam material
refractory sejak tahun 2007 hingga sekarang, sebagai contohnya diambil dari history PLTU
Tarahan :
2. Material Greenpatch-421
Material yang berbentuk wet mortar dengan spesifikasi sebagai berikut :
3. Material HW Express 60
4. Material Kalcret
2. Metode Casting
Metode Casting atau di kenal dengan metode penambalan menggunakan cetakan
(moulding). Metode casting digunakan jika kerusakan refractory berukuran besar dengan
ukuran area luasan melebihi 40 x 40 cm2. Tujuannya adalah untuk mempermudah pekerjaan
dan waktu perbaikan yang diberikan lebih dari 2 x 24 jam dan membutuhkan waktu
pengeringannya lebih lama (Refractory Dry Out) berdasarkan jenis material yang digunakan.
2. Installation Anchor.
- Sewaktu proses chiping pasti ada anchor yang terlepas, jadi kita ganti anchor
yang terlepas menggunakan anchor SS 304 / 310;
- Sebelum mengelas anchor kita harus melakukan Over Layer dahulu untuk
memperbaiki bekas anchor yang terlepas akibat chiping tadi;
- Posisi pengelasan anchor pada plat Fin dan pengelasan anchor menggunakan
kawat las dengan AWS 309, hal ini dikarenakan material dari plat Fin adalah
Carbon dan anchor adalah SS(stainless Steel ).
4. Metode Casting.
- Setelah kedua proses diatas dilakukan, proses selanjutnya dapat kita lakukan
yaitu pengecoran castable;
- Dalam proses ini kami tidak membahas garis besar produk karena setiap produk
proses mixer (pengadukan) hampir sama;
- Siapkan semua peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengecoran antara lain :
a) Hand mixer;
b) Ember semen kapasitas 5 kg;
c) Ember besar kapasitas 25 kg;
d) Sendok semen;
e) Gelas ukur;
f) Timbangan;
g) Vibrator kecil;
- Lalu siapkan Material :
a) Refractory Castable;
b) Air dengan PH 7 – 7.5;
c) Fiber steel SS 304;
d) Binder bag (ada produk yang tidak memakai);
- Karena hanya menggunakan hand mixer dan ember besar, tuangkan castable
sebanyak 25 kg kedalam ember besar berkapasitas 40 kg;
- Kemudian aduk kering castable yang bertujuan agar chemical yang terdapat pada
castable rata, kemudian masukkan fiber steel SS 304 sebanyak 2% dari berat
castable yang di mixing yaitu 0.5 kg*;
- Setelah itu tuangkan air kedalam castable secara bertahap, untuk material
castable kadar air ± 6 - 7% dari berat castable yang dimixing*;
- Waktu mixing ≤ 5 menit;
- Kemudian masukan hasil mixing tadi kedalam ember kecil dan siap dimasukan
kedalam moulding, selama proses penuangan vibrator harus dimasukan kedalam
moulding agar castable rata dan semua bisa terisi;
- Proses pengeringan secara alami selama 6-8 jam *;
- Lepas molding;
- Setelah moulding dilepas kita dapat melakukan proses finishing dengan
menggunakan pahat atau gerinda, kita juga sudah dapat memotong plat strip
yang digunakan sebagai support moulding;
5. Proses Patching.
Pada proses patching akan dibahas berdasarkan jenis material diantaranya :
1) Metode Patching Material Guncast 1600 Sic.
- Setelah pengelasan anchor selesai, dilanjutkan dengan proses pengadukan
castable refractory;
- Siapkan semua peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengadukan castable
refractory antara lain :
a) Hand mixer;
b) Ember semen kapasitas 5 kg;
c) Ember besar kapasitas 25 kg;
d) Sendok semen;
e) Gelas ukur;
f) Timbangan;
g) Vibrator kecil;
- Lalu siapkan Material :
a) Refractory Castable;
b) Air dengan PH 7 – 7.5;
c) Fiber steel SS 304;
d) Binder bag (ada produk yang tidak memakai);
- Karena hanya menggunakan hand mixer dan ember besar, tuangkan castable
sebanyak 25 kg kedalam ember besar berkapasitas 40 kg;
- Kemudian aduk kering castable yang bertujuan agar chemical yang terdapat pada
castable rata, kemudian masukkan fiber steel SS 304 sebanyak 2% dari berat
castable yang di mixing yaitu 0.5 kg*;
- Setelah itu tuangkan air kedalam castable secara bertahap, untuk material
castable kadar air ± 6 - 7% dari berat castable yang dimixing*;
- Waktu mixing ≤ 5 menit;
- Kemudian masukan hasil mixing tadi kedalam ember kecil dan siap untuk dipakai;
- Tempelkan campuran refractory pada tube;
- Tekan dan ratakan campuran sampai benar-benar menempel, ketebalan sesuai
dengan drawing manual book (sebagai contoh panel evaporator dan panel SH).
g) Las Listrik;
- Lalu siapkan Material :
a) 1 Kantong KALCRET 25 Kg (Berdasarkan kebutuhan);
b) Air Bersih dengan temperature 10 -25 0C,tidak berbau, dan memiliki ph 6-7
(perbandingan 1 Kantong KALCRET 25 Kg = 1,8 Kg air);
c) Steel Fibres 1Kg;
d) Binder bag (ada produk yang tidak memakai);
- Proses Pencampuran :
a) Masukkan KALCRET berukuran 25 Kg di dalam mixer;
b) Tambahkan steel fibres 1 Kg;
c) Aduk campuran selama 1 menit;
d) Tambahkan air 1.8 kg (temperature 10 -25 0C, bersih dan tidak berbau, ph 6-
7) sedikit demi sedikit;
e) Aduk semua campuran selam 4 - 5 menit dan pastikan semua bahan
tercampur;
f) Pastikan hasil campuran yang telah dimixing mudah dibentuk dan siap pakai;
- Pasang dan las Jaring-jaring pada permukaan tube yang akan di patching dengan
jarak 5 mm;
- Tempelkan campuran KALCRET pada tube;
- Tekan dan ratakan campuran sampai benar-benar menempel;
- Maximum ketebalannya 250 mm.
8. Anchor Modification
Anchor (jangkar) berfungsi sebagai pengikat refractory pada dinding boiler. Oleh
karenanya instalasi anchor sangat berpengaruh pada ketahanan refractory. Untuk
meningkatkan kualitas pemasangan refractory, maka dilakukan juga sejumlah improvement
terhadap material dan bentuk anchor yang dipasang. Berikut salah satu bentuk modifikasi
anchor yang dilakukan :
9. Nozzle Improvement
Improvement yang dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kegagalan Nozzle,
antara lain :
- Melakukan pengawasan secara ketat proses pengencangan/pemasangan dan
Tack Welding antara Cap Nozzle dan Long Inner tube Nozzle;
- Memperluas area Tack Welding antara Cap Nozzle dan Long Inner Tube-nya
supaya meminimalisir abrasive. Yaitu yang tadinya dilakukan pada 2 titik,
sekarang menjadi 4 titik tack welding;
- Melakukan kajian terhadap bentuk maupun material Nozzle supaya meminimalisir
masuknya material ke dalam bottom plenum;
- Melakukan preventive maintenance yaitu visual check nozzle setiap stop unit,
berupa Mapping Nozzle.
Gambar 4.23. Pengoperasian Ash Screw Cooler untuk menjaga Volume Bed Material
Sizing Batubara dan Inert Bed juga harus selalu berpedoman pada standard PSD
(Particle Size Distribution) yang di ijinkan, sebagai contoh standard PLTU Tarahan sebagai
berikut. Di samping itu juga harus selalu menjaga kualiatas dari bahan bakar batubara, inert
bed dan Limestone.
Gambar 4.32. Tampilan Polisi Tidur (Anti Abrassion Beam) pada Ruang Bakar Boiler CFB
Ada beberapa pertimbangan penentuan sudut, seperti pada gambar 4.33. Pilihan (a)
dengan sudut 300, dimana sudutnya terlalu lancip dan akan dimungkinkan terjadi titik lemah
di sudut 300 dan menyebabkan material castable ataupun tube menjadi lebih rentan
terhadap gerakan abrasif bed material. Pilihan (c) dengan sudut 900, dimana dimungkinkan
akan terjadi penumpukan bed material di atas sudut castable dan menyebabkan temperatur
b. 60 0
a. 30 0 c. 90 0
Sedangkan untuk panjang sisi bawah Polisi Tidur (sisi Waterwall tube) sekitar 30cm,
dimana diambil dari hasil Mapping Tickness area rawan pecah tube dan sekitarnya, dari hasil
visual maupun tickness. Tebal sekitar 8cm sehingga panjang sisi atas dapat dicari dengan
teori rumus “Phytagoras“ yaitu :
X = 30 cm – [ ( 8cm / tg 45 0 ) + ( 8 cm / tg 60 0) ]
= 30 cm – [ 8 cm + 4, 71 cm ]
= 17, 29 cm
Polisi Tidur CFB Tarahan diposisikan pada 7 tingkatan (layers) yaitu di elevasi 16m,
20m, 24m, 28m, 32m, 36m, 40m. Pemilihan posisi 7 layers tersebut dari hasil Mapping
Tickness, lokasi rawan pecah tube. Sedangkan panjang Polisi Tidur mengelilingi Furnace
sekitar 9m dan lebarnya 7m, seperti ditunjukkan pada gambar 4.35.
Gambar 4.36. Bentuk Geometri Polisi Tidur CFB di Furnace PLTU Tarahan
Material yang dibutuhkan untuk pembuatan Polisi Tidur (Anti Abrassion Beam) ini,
antara lain :
- Material Refractory (Castable Low Cement Self – Flowing)
- Anchor type Y Plat Bar Avista 70
- Consumable Material :
a) Ceramic paper 1260 0C;
b) Fiber Steel SS 310;
c) Moulding material (Kayu paso, Plywood, paku);
d) Welding Rod 3,2 mm AWS 309;
e) Ceramic Blanket.
Tahapan proses pembuatan Polisi Tidur (Anti Abrassion beam), antara lain :
- Proses Mapping dan Tickness area, untuk menandai area area kritis;
- Fabrikasi Moulding, pembuatan cetakan dari bahan kayu paso dan Plywood;
- Mapping dan pemasangan Angkur, sebagai pondasi/kerangka;
- Install dan pemasangan Moulding, sebagai bahan cetakan;
- Casting atau pengecoran Castable Refractory;
- RDO/pengeringan secara natural;
- Pembongkaran Moulding / cetakan;
- Pembuatan sudut kemiringan Polisi Tidur dan Finishing.
Gambar 4.37. Tahapan Proses Pembuatan Polisi Tidur (Anti Abrassion Beam)
Untuk lama proses pembuatannya sekitar 8 hari seperti pada tabel dibawah ini :
Gambar 4.38. Durasi Waktu Proses Instalasi Polisi Tidur CFB Tarahan di Furnace
Pemasangan Polisi Tidur CFB Tarahan dengan covering refractory area 7 layers seluas
73,52 m2, covering refractory area roof seluas 36,12 m2, covering refractory Rear, West &
Rear seluas 136,77 m2, dan refractory area bottom Furnace seluas 242,96 m2. Jadi total
covering refractory sebesar 489,37 m2.
Apabila line batubara yang mengalami plugging dan di ikuti dengan tertutupnya trip
gate valve di asumsikan seperti vessel tertutup, maka apabila udara bertekanan diinjeksikan
kedalam ruangan maka akan dihasilkan resultan gaya tegak lurus terhadap permukaan
secara uniform. Apabila udara bertekanan di injeksikan melalui sebuah nozzle secara tegak
lurus terhadap luasan plugging batubara maka dengan persamaan momentum dan hukum
newton II dapat dihitung besaran resultan gaya yang timbul akibat penambahan instalasi
udara bertekanan dan berapa besar massa flow rate dan tekanan yang dibutuhkan agar
penyumbatan dapat dihilangkan.
thermowell yang bocor dan atau thermowell patah beserta thermocouple-nya. Dilihat dari
proses pembakaran di furnace dan bekas kerusakan di thermowell, maka dapat disimpulkan
bahwa telah terjadi proses abrasi pada thermowell akibat sirkulasi inert bed (pasir kuarsa)
yang bergesekan dengan permukaan thermowell secara kontinyu di dalam furnace.
Modifikasi Perisai udara pada Thermowell dimaksudkan sebagai sealing udara untuk
mengurangi abrasive bed material pada thermowell Furnace boiler CFB, yang telah
diimplementasikan pada PLTU Tarahan sejak tahun 2010.
Gambar 4.44. Daerah Thermowell yang rawan terkena Abrasive (tampak samping)
Modifikasi yang dilakukan dengan menambahkan udara Hot Primary Air pada pipa
selongsong dimana thermowell ditempatkan, maka diharapkan ada udara yang dapat
melindungi permukaan luar thermowell tersebut, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.46.
di bawah ini.
6. Paku Payung (Menggantikan Pasir Kuarsa dengan Pasir Lokal Lubuk Alung)
Pasir Kuarsa biasanya digunakan sebagai Inert Bed dalam pembakaran Boiler CFB,
dan hal ini yang mempengaruhi proses abrasi dan erosi yang terjadi pada boiler CFB. Pasir
silica adalah bahan galian yang terdiri dari kristal kristal silica (SiO2) dan mengandung
senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa juga dikenal
sebagai pasir putih karena merupakan hasil pelapukan batuan yang mengandung mineral
utama, seperti kuarsa dan feldspar. Pasir kuarsa memiliki komposisi gabungan dari SiO2,
Fe2O3, Al2O3, TiO2, CaO, MgO, dan K2O, berwarna putih bening atau berwarna lain
tergantung dari senyawa pengotornya, kekerasan 7 (skala Mohs), titik lebur 1715 oC, dan
konduktivitas panas 12 - 100oC. Modifikasi penggantian pasir kuarsa dengan pasir sungai
lokal Lubuk Alung yang dilakukan di PLTU Teluk Sirih sejak bulan Juli 2013 pada Unit 1
dimaksudkan untuk mengurangi tingkat erosi dan abrasi pada boiler CFB.
Pasir Sungai Lubuk Alung adalah bahan / material yang biasa digunakan untuk bahan
bangunan di wilayah Sumatera Barat. Pasir ini memiliki karakteristik yang mirip dengan pasir
silica dimana komposisinya merupakan gabungan dari SiO2, Fe2O3, Al2O3, CaO, MgO. Pasir
ini memiliki warna hitam kecoklat-coklatan. Seperti gambar dibawah ini.
Uji laboratorium terhadap sampel pasir lokal lubuk alung dilakukan oleh PT Surveyor
Indonesia (Persero) dengan mengambil sampel sebanyak 3 kg. Sedangkan data laboratorium
untuk pasir existing diambil dari data yang diberikan penyedia pasir dengan pengujian
dilakukan oleh PT Semen Padang.
Dari hasil uji laboratorium kandungan SiO2 pada Paku Payung lebih rendah bila
dibandingkan dengan pasir Eksisting. Kemampuan daya leleh tidak berbeda pada temperatur
uji 900°C dan 1000°C, dimana temperatur kerja boiler CFB PLTU Teluk Sirih pada range 850-
930°C, dengan setting proteksi pada 980°C. Oleh karenanya Paku Payung dapat
diimplementasikan dengan menggunakan pasir lokal lubuk alung sebagai material inert bed
boiler CFB PLTU Teluk Sirih.
Gambar 4.53. Perbandingan Gambar Nozzle Tarahan, Teluk Sirih, Labuhan Angin dan Generasi 4
- Jauh di atas batas 40 m/s sehingga lebih besar peluang untuk meningkatnya laju
keausan dan masuknya pasir ke Nozzle di dekatnya;
- Tahanan Aliran (Pressure Drop) 25000 Pa akibat kecepatan tinggi, belokan dan
penyempitan;
- Jumlah Nozzle yang dibutuhkan menjadi lebih banyak.
2. Studi Karakteristik Aliran Fluida, Distribusi Temperatur dan Gerakan Partikel pada
Ruang Bakar Boiler CFB PLTU Tarahan dengan variasi rasio PA : SA
Sebelumnya pada PLTU Tarahan telah dilakukan beberapa kali perubahan setting
rasio udara pembakaran PA : SA, untuk mencari perbandingan yang paling cocok untuk
proses pembakaran pada boiler CFB PLTU Tarahan. History rasio udara pembakaran PA : SA
pada Boiler CFB PLTU Tarahan adalah sebagai berikut :
Didalam simulasi numerik studi karakteristik, beberapa asumsi yang dipakai antara
lain :
- Biasanya kondisi proses tunak. Namun untuk kasus PLTU Tarahan ini, karena
harus menyimulasikan gerakan partikel pasir yang selalu berubah - ubah setiap
saat, simulasi akan dilakukan dalam keadaan unsteady (tidak tunak);
- Simulasi dilakukan pada kapasitas nominal pembangkit yaitu 100 %;
- Data batubara sebagai bahan bakar diambil dari hasil pengujian sample di
laboratorium yang dilakukan oleh pemasok;
- Perhitungan LHV bahan bakar telah dilakukan oleh laboratorium pengujian dan
akan dipakai sebagai data perhitungan simulasi numerik ini;
- Radiasi dari ruang bakar ke lingkungan diperkirakan dengan kaidah konveksi dan
radiasi yang digabung.
Gambar 4.54. Vektor Kecepatan Pasir dengan warna menunjukkan nilai kecepatan pasir (m/s)
(pandangan diagonal 1, pandangan belakang)
a. Hasil Simulasi
Hasil simulasi dengan menggunakan perbandingan udara primer dan sekunder 60%
dan 40% (kondisi disain) dan perbandingan udara primer dan sekunder 40% dan 60%
(kondisi modifikasi) menunjukkan hasil-hasil sebagai berikut :
- Kecepatan pasir di sisi siku dinding boiler relative lebih besar pada kondisi disain
dibandingkan pada kondisi modifikasi. Akan tetapi pada kondisi modifikasi, pasir
dapat mencapai posisi mendekati atap boiler;
- Kecepatan pasir di sisi siku boiler pada kondisi modifikasi relative lebih besar
dibandingkan pada kondisi disain;
- Kecepatan pasir kearah bawah di sisi siku dinding boiler lebih tinggi pada kondisi
modifikasi dibandingkan dengan kondisi disain;
- Kecepatan pasir di dinding boiler lebih besar pada kondisi modifikasi
dibandingkan dengan kondisi disain;
- Perubahan besaran massa flow udara dari udara primer menjadi udara sekunder
beresiko mempercepat keausan water wall tube sehingga disarankan untuk tidak
dilakukan.
Gambar 4.56. Vektor Kecepatan Partikel (m/s) pada Tampilan belakang diagonal melintasi Ruang Pembakaran
a. Hasil Simulasi
Berdasarkan hasil simulasi aliran pasir di dekat dinding wall tubes, serta
dibandingkan antara tanpa dan dengan sabuk sebanyak 7 buah, dapat diperoleh kesimpulan
antara lain :
- Adanya sabuk mengubah pola aliran gas dan pasir di dalam ruang bakar,
khususnya di dekat dinding;
- Pada umumnya aliran pasir dari atas yang mengenai sabuk akan terbelokkan
sehingga akan mengurangi gesekan dengan wall tubes yang berada di bawah
sabuk tersebut. Dengan demikian diharapkan keausan tubes di bawah sabuk
akan berkurang;
- Untuk aliran pasir dari bawah, saat menabrak sabuk akan terbelokkan juga dan
baru mengenai dinding kembali saat berada pada ketinggian beberapa meter dari
sabuk. Hal ini tentunya akan mengurangi intensitas keausan wall tubes di atas
setiap sabuk atau sekurang-kurangnya luas permukaan yang terkena gesekan
keras pasir ke dinding akan berkurang;
- Namun demikian di sebagian kecil - kecil penampang ada juga fenomena aliran
naik dimana setelah menumbuk sabuk terkena pengaruh aliran yang dari atas
sehingga memutar dan berbelok kembali mengenai dinding wall tubes serta ada
sebagian yang seolah justru tidak terjadi pengurangan gesekan;
- Pada bagian atas ruang bakar yang diwakili oleh dua sabuk agak di bawah lubang
aliran menuju Cyclone, kecepatan aliran pasir di sekitar wall tubes menjadi kecil
dengan orde besaran sekitar 3 m/s. Dengan demikian untuk daerah sekitar 3
sabuk paling atas, diharapkan akan mengurangi cukup banyak kecepatan
keausan akibat gesekan pasir ini;
- Untuk bagian tengah dan bawah ruang bakar, pengaruh aliran pasir yang berasal
dari Cyclone dan terhembus oleh udara blower ke dalam ruang bakar mulai
terlihat sehingga distribusi kecepatan aliran pasir di dekat dinding selatan menjadi
lebih besar dibanding dinding utara. Orde besaran kecepatan aliran pasir di
sekitar dinding selatan berada pada kisaran 10 m/s, sedangkan untuk dinding
utara cukup kecil yaitu antara 1 m/s hingga 3 m/s. Hal ini tentu saja akan
berakibat berbeda dalam hal kecepatan erosi wall tubes sebelah utara dibanding
sebelah selatan.
- Berdasarkan orde besaran kecepatan pasir di sekitar wall tubes, untuk bagian
atas ruang bakar, baik sisi utara maupun selatan dan bagian tengah serta bawah
ruang bakar khususnya pada sisi utara akan mengalami kecepatan keausan
secara merata sekitar sepertiganya dinding selatan bagian tengah dan bawah
ruang bakar;
- Dengan demikian secara garis besar, pemasangan sabuk ini cukup memberikan
indikasi pengurangan laju keausan wall tubes khususnya di bagian atas ruang
bakar serta dinding utara bagian tengah dan bawah ruang bakar;
- Sedangkan untuk dinding sebelah timur dan barat, justru di bagian ataslah yang
memiliki kecepatan aliran pasir yang agak tinggi (pada kisaran kecepatan aliran
sekitar 9 m/s). Untuk bagian tengah dan bawah ruang bakar praktis kecepatan di
dinding kecil sehingga dapat diharapkan terjadi pengurangan laju keausan wall
tubes di bagian ini;
- Secara keseluruhan dinding, adanya penambahan sabuk ini masih
menguntungkan karena hampir tiga perempat luas dinding bagian tengah dan
bawah mengalami pengurangan laju kecepatan aliran pasir di sekitar dinding
hingga sepertiganya tanpa sabuk. Sedangkan bagian atas, paling kurang 50%
dari luas dinding mengalami penurunan kecepatan aliran pasir. Dengan demikian
dapat diperkirakan hampir 65% dari seluruh luas dinding mengalami penurunan
kecepatan aliran pasir hingga sepertiganya sehingga diharapkan akan
mengurangi kecepatan laju keausan dinding wall tubes;
- Dari hasil perhitungan dampak pengurangan laju perpindahan panas melalui wall
tubes dengan adanya pemasangan sabuk ini, boleh dikatakan kecil dampaknya,
yaitu hanya sekitar 2% dari total perpindahan panas di ruang bakar dan sekitar
1% dari total keseluruhan laju perpindahan panas masuk ke dalam sistem
generator uap.
- Nilai 1% ini tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan laju perpindahan
panas total di seluruh peralatan penyerapan panas yaitu boiler, panel super
heater, low temperature super heater, finishing super heater dan economizer.
Barangkali nilai ini merupapan fluktuasi dari laju penyerapan panas yang masih
diijinkan oleh perangkat pengaturan dengan setting temperatur uap yang
diinginkan sehingga masih dapat dilayani oleh sistem kontrol bahan bakar dan
proses pembakaran.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa Pasir Jepang memiliki kandungan silika yang
paling besar dimana silika memiliki sifat kekerasan yang tinggi, sehingga semakin besar
kandungan silika pada pasir maka semakin besar pula tingkat kekerasan yang dimiliki.
Pengujian lndeks kekerasan untuk sampel Pasir, Limestone, Bottom Ash dan
Batubara pada Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) seperti pada tabel di atas
menggunakan standar SNI 03-1750-1990 tentang agregat beton, mutu dan cara uji
menunjukkan hasil bahwa pasir memiliki indeks kekerasan 1.41 yang berarti pasir memiliki
tingkat kekerasan paling tinggi di bandingkan dengan Bottom Ash, Limestone dan Batubara.
Pasir dan bottom ash memiliki indeks kekerasan yang tidak jauh berbeda sehingga pasir bisa
digunakan untuk mengganti bed material / bottom ash tetapi dengan konsekuensi tingkat
erosi yang lebih tinggi karena tingkat kekerasan pasir lebih tinggi dan juga tingkat kebulatan
partikel yang rendah sehingga kurang baik untuk proses hydrodynamic bed material
fluidization.
Size Particle Pasir Jepang Pasir Furnace Unit Furnace Unit Standard
d (mm) (%) Lampung (%) 3 (%) 4 (%) (%)
D > 0.6 0.01 1.42 10.34 24.27 0
0.3 < d ≤ 0.6 0.31 42.84 8.95 22.90 0 – 40
0.15 < d ≤ 0.3 65.98 43.23 62.42 34.37 35 – 40
0.075 < d ≤
32.60 11.77 17.42 18.28 15 – 20
0.15
d < 0.075 1.09 0.74 0.87 0.17 5 – 20
Total 100 100 100 100
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pasir Jepang memiliki ukuran size particle
yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis pasir Lampung, Furnace unit 3 & 4 dan Bottom
ash (bed material) di dalam furnace yang merupakan produk dari hasil pembakaran memiliki
karakteristik ukuran d > 0,6 mm diluar range standard. Berdasarkan data tabel tersebut
maka fungsi pasir dengan size tertentu digunakan untuk memperbaiki fraksi ukuran partikel
sesuai dengan standard yang disyaratkan dengan cara mengeluarkan bottom ash melalui
bottom ash removal system dan menginjeksi pasir dengan inert bed injection system yang
tersedia di pembangkit.
Pasir dari Jepang dan pasir dari Lampung mempunyai sifat fisik dan komposisi kimia
yang hampir sama sehingga layak di gunakan. Untuk ukuran size particle dari pasir yang
digunakan disesuaikan dengan kebutuhan desain Boiler.
Jenis bed material dari PLTU Tarahan, PLTU Sebalang dan PLTU Karawang masuk
kedalam jenis abu/ash hasil pembakaran batubara sub bituminus.
Berdasarkan ASTM C618, bed material dari PLTU Tarahan, PLTU sebalang dan PLTU
Karawang masuk dalam kategori kelas C dengan kandungan Si02, Al2O3 dan Fe2O3
minimum 50% sehingga memiliki karakteristik yang hampir sama (Data terlampir).
Komposisi 4 unsur terbesar yaitu Silika, Alumina, Ferri Oxide dan Lime untuk ketiga
jenis sampel yang diuji yaitu sampel dari PLTU Tarahan, PLTU Sebalang dan PLTU Karawang
memiliki densitas yang hampir sama yaitu antara (2.45 – 2.75) %.
Mengenai karakteristik fisik ash/bed material berupa Partikel Size Distribution lebih
dipengaruhi oleh proses pembakaran, desain alat dan desain ruang bakar serta sistem fuel
preparation.
Ketiga jenis sampel yang diuji memiliki Ash Fusion Temperatur yang lebih besar dari
temperatur operasi pembakaran, sehingga bed material tersebut tidak akan terdeformasi
menjadi Slagging.
Gambar 4.59. Hasil Analisa Size Particle Jenis Pasir dan Limestone
Gambar 4.60. Hasil Analisa Bottom Ash Tarahan, Sebalang, dan Karawang
Gambar 4.62. Hasil Analisa Jenis Pasir , Bottom Ash dan Fly Ash
Gambar 4.64. RCPS Super Heater Panel dan Evaporator Panel Tube Leak
Gambar 4.66. RCPS Gangguan Coal Feeder dan Line Pengisian Batubara
Gambar 4.68. RCPS Gangguan Expantion Joint Plenum dan Cyclone Sealpot
Dari pemetaan Identifikasi Masalah dan Alternatif Solusi pada RCPS di atas dari tiap
penyebab gangguan, didapatkan Rekomendasi Alternatif Solusi untuk program peningkatan
Availability dan Reliability Boiler CFB (Contoh kasus PLTU Tarahan), dimana dapat dilihat di
bawah ini dengan skala prioritas, kemudahan implementasi dan manfaat positif untuk
Availability dan Reliability Boiler CFB.
Ease for
No. Prioritas Alternatif Solusi Impact
Implementation
Kajian Improvement
10 Prioritas 1 Implementasi Perisai Udara dan Medium Medium
Refractory Pelindung Thermowell
real
Keterangan :
Prioritas 1 : Program Jangka Pendek, Implementasi 1 - 3 bulan;
Prioritas 2 : Program Jangka Menengah, Implementasi 4 - 6 bulan;
Prioritas 3 : Program Jangka Panjang, Implementasi > 6 bulan.
BAB V
Dari List di atas, yang paling menjadi Benchmark adalah GADS – NERC karena
memiliki banyak kelebihan informasi antara lain :
- The Edison Electric Institute Database, diperkenalkan pada tahun 1960 oleh EEI
Prime Movers Committee;
- GADS diperkenalkan kepada Pasar Industri sejak tahun 1982;
- Database untuk mengumpulkan dan menganalisa informasi Kegagalan Peralatan
Power Plant (Pembangkit) :
a) Benchmarking;
b) Setting realistic generating unit goals;
c) Meningkatkan Output Unit dan Reliability;
- Dasar Penentuan Reliability Power System yang berhubungan dengan Generating
Unit;
- Ketika NERC menjadi The Electric Reliability Organization (ERO) di bawah The
Energy Policy Act of 2005 (Section 215), diberikan kewenangan untuk memonitor
Reliability Power System :
a) Transmission;
b) Generating facilities;
Berikut merupakan standard EAF untuk semua jenis pembangkit menurut GADS –
NERC (Data dari tahun 2008 – 2012), dimana rata – rata EAF tertinggi dipegang oleh
Pembangkit dengan Gas Turbine :
Gambar 5.1. Data Standard EAF Semua Jenis Pembangkit GADS – NERC (2008 – 2012)
Berikut merupakan Daftar Chronic Problem 10 terbesar menurut GADS – NERC pada
rata – rata semua Pembangkit Batubara, dimana urutan tertinggi adalah Super Heater Tube
Leak dan Waterwall Tube Leak :
Gambar 5.2. Data Chronic Problem Pembangkit Batubara versi GADS - NERC
Di samping data dari GADS – NERC, berikut ini merupakan data Availability dan
Reliability khusus Boiler CFB dengan kapasitas besar di seluruh dunia (dengan catatan
perhitungan hanya di ukur dari Unplanned Outage saja, tanpa Planned Outage), seperti
contohnya Northside, Foster Wheeler, ataupun Boiler CFB Cina. Data berikut mungkin dapat
dijadikan standard acuan untuk rata – rata EAF dan/atau CF Boiler CFB, pada gambar 5.3. di
bawah ini. Pada data tersebut ternyata Boiler CFB ada yang memiliki Availability sampai 94
%, yaitu Honghe 2 pada tahun 2007, dan Reliability tertinggi 99 % yaitu Boiler CFB
Northside.
Gambar 5.3. Reliability dan Availability Boiler CFB Kapasitas Besar di Dunia
Sebagai referensi lain, berikut data rata – rata Reliability Boiler CFB dari survey SHI
(Sumitomo Heavy Industries), pada gambar 5.4. berikut ini. Dimana Reliability Boiler CFB
berkisar rata – rata dapat mencapai 92 %, dan itu merupakan hal yang mungkin terjadi jika
semua program pemeliharaan dan operasi berjalan lancar untuk mencapai puncak tertinggi.
Gambar 5.4. Hasil Survey Sumitomo Heavy Industries tentang Reliability Boiler CFB
BAB VI
CFB INDONESIA
Kegiatan Tim SPOTCOM KITSBS pada tahun 2015 dapat dilihat pada Workplan di
bawah ini, dimana seluruh kegiatan yang dilakukan adalah untuk menunjang tercapainya
keandalan Boiler CFB Cina di lingkungan KITSBS pada khususnya.
Pada tanggal 20 – 21 Mei 2015 telah diadakan Workshop Best Practice Pengelolaan
PLTU dan Metode O&M PLTU CFB, dimana dilaksanakan di Sektor Pembangkitan Teluk Sirih
atas kerja sama Tim SPOTCOM dan Udiklat Suralaya. Acara tersebut antara lain Sharing
Session dari PLTU Simpang Belimbing, Sharing Session dari Direktur Indonesia Power
(Bapak Eri Prabowo), Sharing Session dari Direktur PJB (Bapak Yudi Satya Wicaksono), Tele-
Conference Direktur Operasi Jawa Bali (Bapak Iwan Supangkat), Sharing Session dari
Puslitbang, Sharing Session dari PLTU Cilacap – PT S2P, dan Sharing Session dari KADIV
KITSUM (Bapak Isvandono).
Gambar 6.4. Dokumentasi Workshop Best Practice PLTU CFB di PLTU Teluk SIrih
Tantangan PLN KITSBS dan PLN KITSU ke depan adalah mengelola PLTU CFB
sehingga dengan acara Workshop Best Practice Pengelolaan dan Metode O & M PLTU CFB
dapat menjadikan Learning Center, Knowledge Sharing untuk mewujudkan Operasional
PLTU CFB yang handal, efisien dan ramah lingkungan.
Untuk mewujudkan PLTU CFB yang handal, efisien dan ramah lingkungan diperlukan
sinergi bersama melalui program – program peningkatan Availability dan Reliability Boiler
CFB, termasuk Tata Kelola Pembangkitan (Asset Management), OPI maupun tool lain yang
dapat digunakan untuk mewujudkan hal tersebut. Bukan cuma dari programnya, seluruh
SDM juga harus bersinergi untuk komitmen tinggi melaksanakan segala upaya agar
Permasalahan Boiler CFB dapat segera terselesaikan.
Di samping SPOTCOM yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera
Bagian Selatan, PLN secara keseluruhan juga mempunyai Forum Boiler CFB yang di koordinir
oleh PLN Pusdiklat Unit Udiklat Suralaya, dimana sebagai Learning Center Thermal Power
Plant termasuk O & M Boiler CFB.
Notulen Pelaksanaan Workshop Best Practice Pengelolaan dan Metode O & M PLTU
CFB dapat dilihat berikut ini.
BAB VII
PENUTUP
Dari Pembahasan permasalahan Boiler CFB pada buku ini, dapat kita ketahui
bersama bahwa selama Boiler CFB masih memakai batubara, Inert Bed, dan Limestone
dalam proses pembakarannya pasti akan mengalami proses erosi dan abrasi. Hal tersebut
memang tidak dapat dihindari, hanya dapat dikendalikan dan di minimalisir tingkat laju erosi
dan abrasi pada Boiler CFB melalui Improvement Action dan program program peningkatan
Availability dan Reliability Boiler CFB. Ada 4 (Empat) hal yang dapat dikendalikan untuk
meminimalisir tingkat erosi dan abrasi bed material pada Boiler CFB, antara lain :
1. Sisi Design, yang dapat dikendalikan yaitu Tube Position, Tube Material, FA
Nozzle Design, Furnace Geomethry, dimana harus dilakukan dengan kajian dan
analisa yang tepat karena berhubungan dengan design;
2. Sisi Operation, yang dapat dikendalikan yaitu Volume Bed Material, Combustion
Air Velocity, Combustion Temperatur, dan Combustion Air Ratio melalui
Assessment Setting Udara, Simulasi Pemodelan, dan Studi Karakteristik Aliran
Udara;
3. Sisi Fabrication & Construction, yang dapat dikendalikan yaitu Proses Assembly &
Finishing Tube dan Refractory, Tube Bending, Welding Quality dimana harus
dengan pengawasan Supervisi oleh Tenaga Kompeten di bidangnya untuk
memperkecil faktor error kesalahan;
4. Sisi Parts dan Environment, yang dapat dikendalikan yaitu Kualitas Batubara,
Bed Material, Maintenance dimana diperlukan program OM Boiler CFB yang
handal.
Pembahasan tentang Problem Boiler CFB, dan Rekomendasi alternatif solusi Boiler
CFB pada buku ini mungkin dapat dijadikan pedoman untuk Unit Boiler CFB yang
mempunyai permasalahan yang sejenis. Akan tetapi walaupun sama sama jenis Boiler CFB,
kemungkinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan permasalahan yang berbeda juga.
Faktanya, ada beberapa Boiler Jenis CFB di dunia yang mampu mencapai Reliability di atas
92 % (Sembilan Puluh Dua Persen), dan ada kemungkinan dengan Program Pemeliharaan
dan Operasional Boiler CFB yang baik dan konsisten, target mencapai Reliability di atas 90
% (Sembilan Puluh Persen) dapat terwujud. Dimulai dari Program khusus untuk Boiler CFB,
yaitu Program Inspeksi Boiler selama minimal 6 (Enam) bulan sekali (dengan durasi waktu
minimal. 15 (Lima Belas) hari). Jadi dalam periode 1 (Satu) tahun, untuk Boiler CFB
mempunyai program pemeliharaan Periodik Outage sebanyak 2 (Dua) kali. Di Cina, ada juga
yang namanya Boiler Redundant, dimana 1 Unit PLTU memiliki 1 (Satu) Turbin dan 2 (Dua)
Boiler (Boiler satunya standby). Jadi setiap periode tertentu dilakukan change over /
switching Boiler untuk Periodik Outage Boiler saja, tanpa harus shutdown. Boiler Redundant
merupakan investasi yang dapat dikatakan sangat mahal, jadi perlu adanya kajian dan
analisa strategis. Jika ternyata lebih menguntungkan daripada Force Outage permasalahan
boiler CFB, Boiler redundant dapat dianggap sangat diperlukan untuk implementasi guna
mencapai Reliability Boiler CFB kelas dunia.
Untuk program Reliability dan Availability Boiler CFB diperlukan Kajian kajian, study,
dan Workshop oleh pakar ahli Boiler CFB di Indonesia maupun dunia agar segala
permasalahan Boiler CFB dapat terselesaikan, dan dapat mencapai Reliability dan Availability
standard kelas dunia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Babcock & Wilcox, Steam its Generation and Use. 1992. USA;
2. Fox, R.T., McDonald, A.T., Introduction to Fluid Mechanics John Wiley &
Sons,Inc , 1994;
3. Gilchrist J. D. Fuels, Furnaces and Refractories, 1977;
4. JEA Large-Scale CFB Combustion Demonstration Project;
5. PT. Adikari Wisesa Indonesia, Pemodelan dan Simulasi Computational Fluid
Dynamic (CFD) Boiler CFB Tarahan, 2012;
6. P. Baso, Combustion and Gasification in Fluidized Bed. Boca Raton: Taylor
and Francis, 2005;
7. PT. PLN (Persero) Puslitbang, Kajian Engineering Perubahan Komposisi
Udara PA/SA PLTU Tarahan BKIT.081C.2011, 2011;
8. PT. PLN (Persero) Puslitbang, Laporan Pengujian Kajian Enjiniring Refractory
PLTU Tarahan No.155.BKIT.087C.2011, 2011;
9. PT. PLN (Persero) Puslitbang, Laporan Pengujian Kajian Peningkatan
Resistansi Waterwall Tube Material 210 A1 Terhadap Erosi Pada Boiler
PLTU 100 MW Tarahan (Simulasi Aliran Gas dan Partikel Padatan di
Ruang Bakar Boiler) No.211.BKIT.242C.2010, 2010;
10. PT. PLN (Persero) Puslitbang, Laporan Pengujian Tickness dan Replika Tube
Boiler Unit 3 PLTU Tarahan No.026.BKIT.010C.2008, 2008;
11. PT. PLN (Persero) Puslitbang, Laporan Pengujian Tube Waterwall dan
Wingwall Boiler Unit 3 PLTU Tarahan No.149.BKIT.089C.2009, 2009;
12. PT. PLN (Persero) Puslitbang, Studi Karakteristik Aliran Udara Melalui Nozzle
PLTU Tarahan BKIT.088C.2011, 2011;
13. PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Tarahan, BUKU OPERASIONAL &
MAINTENANCE PLTU CFB TARAHAN , 2008;
14. PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Tarahan Laboratorium Analisa Batubara,
Laporan Hasil Analisa Karakteristik Pasir/ Bed Material Boiler CFB PLTU
Tarahan 30 Januari 2013, 2013;
15. PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Tarahan, Laporan Kajian dan Upaya
Pengurangan Erosi Tube Boiler (RCFA), 2010;
DAFTAR PUSTAKA
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015
16. Reliability Analysis of Power Plant Unit Outage Problems, G. Michael Curley
President Generation Consulting Services, LLC;
17. Techno-economic analysis of PC versus CFB combustion technology;
18. TEPSCO, Introduction to CFB Boiler, 2007;
19. TEPSCO, Fluidized Bed Combustion Boiler for Commercial Use, 2007.
DAFTAR PUSTAKA
PT PLN (Persero)
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
Tahun 2015