Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

PERSIAPAN DAN KOLABORASI TINDAKAN


OPERATIF KEBIDANAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan


Kebidanan Kolaborasi pada kasus patologi dan komplikasi
Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan

Disusun Oleh :
Kelompok 4 (Kelas
A)
Ananda Jumiar Hayatun (P20624423003)
Gita Suciawati (P20624423012)
Raitri Ajeng Rahmani (P20624423021)
Siti Romlah (P20624423030)
Wentyna Yulia Sanday (P20624423039)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN
TASIKMALAYA JURUSAN KEBIDANAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada alloh SWT yang telah memberikan kesempatan


kepada kami. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Persiapan Dan Kolaborasi Tindakan Operatif Kebidanan”. yang diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Kolaborasi pada kasus
patologi dan komplikasi. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari tanpa bimbingan dari berbagai pihak, makalah ini tidak
akan terselesaikan dengan baik, sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Hj. Ani Radiati R, S.Pd, M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Tasikmalaya
2. Nunung Mulyani, APP, M.Keb selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Tasikmalaya
3. Dr. Meti Widiya Lestari, SST, MPH selaku Ketua Program Studi Sarjana
Terapan dan Profesi Kebidanan
4. Qanita Wulandara, SST, M.Keb selaku dosen mengampu mata kuliah Asuhan
Kebidanan Kolaborasi pada Kasus Patologi dan Komplikasi

5. Pihak-pihak terkait yang telah banyak membantu, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini, masih
jauh dari kesempurnaan baik dalam hal penulisan maupun tata Bahasa. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan pada umumnya. Aamiin

Tasikmalaya, Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
D. Manfaat Penulisan..............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
A. Persiapan Dan Kolaborasi Tindakan Operatif Kebidanan..................3
1. Ekstraksi vakum..........................................................................3
2. Seksio sesaria...............................................................................7
3. Kuretase ......................................................................................11
4. Penjahitan rupture perineum tingkat III dan IV..........................14
5. Pemantauan kesejahteraan janin melalui: USG, NST, CTG,
OCT, CST, Amniosintes.............................................................18

BAB III PENUTUP........................................................................................49


A. Kesimpulan ........................................................................................49
B. Saran ..................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang sangat perlu mendapatkan
prioritas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, karena ibu dan anak
merupakan kelompok rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara
umum. Sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan pelayanan kesehatan ibu
dan anak penting untuk dilakukan (Kemenkes RI, 2015).
Asuhan kebidanan berkelanjutan adalah pelayanan yang dicapai ketika
terjalin hubungan yang terus–menerus antara seorang wanita dengan bidan.
Tujuan asuhan komprehensif yang diberikan yaitu untuk memberikan asuhan
kebidanan komprehensif secara intensif kepada ibu selama masa kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir dan keluarga berencana sehingga mencegah agar
tidak terjadi komplikasi (Pratami, 2014).
Sebagai tolok ukur keberhasilan kesehatan ibu maka salah satu indikator
terpenting untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan disuatu wilayah adalah
dengan melihat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Masalah kesehatan Ibu dan Anak merupakan masalah internasional yang
penanganannya termasuk dalam SDGs (Sustainable Development Goals).
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar
setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti
pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan
bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan
mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana
(Profil Kesehatan Indonesia, 2017).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana melakukan persiapan dan kolaborasi tindakan operatif kebidanan:
1. Ekstraksi vakum
2. Kuretase
3. Seksio sesaria
4. Penjahitan rupture perineum tingkat III dan IV

1
5. Pemantauan kesejahteraan janin melalui: USG, NST, CTG, OCT, CST,
Amniosintes
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Kolaborasi Pada
Kasus Patologi Dan Komplikasi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana fenomena mitos-mitos tentang persalinan yan
g terjadi di masyarakat.
b. Untuk mengetahui apa saja anjuran dan larangan yang beredar di lingkunga
n masyarakat tentang mitos persalinan.
D. Manfaat Penulisan
1. Penulis
Penulis sebagai wahana penambah pengetahuan dan pemaparan pemikiran
mengenai pengembangan profesi bidan dalam asuhan kebidanan kolaborasi
pada kasus patologi dan komplikasi.
2. Pembaca
Pembaca sebagai media informasi perkembangan pengetahuan, informasi,
dan wawasan mengenai pengembangan profesi bidan dalam asuhan
kebidanan kolaborasi pada kasus patologi dan komplikasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Persiapan Dan Kolaborasi Tindakan Operatif Kebidanan


1. Ekstraksi Vakum
a. Pengertian
Ekstraksi Vakum adalah metode pelahiran dengan memasang
sebuah mangkuk ( Cup ) vakum di kepala janin dan tekanan negatif.
(Bobak,Ledwig,Jensen, 2005, hal 799).
Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan
dengan ekstraksi tenaga negatif (vakum) di kepalanya. (Kapita selekta
Kedokteran : 331).
b. Syarat-syarat ekstraksi vakum
1) Pembukaan lengkap atau hampir lengkap
2) Presentasi kepala, janin aterm, TBJ > 2500 g
3) Cukup bulan (tidak prematur)
4) Tidak ada sempit panggul
5) Kepala sudah masuk pintu atas panggul
6) Anak hidup dan tidak gawat janin
7) Penurunan sampai H III/IV (dasar panggul)
8) Kontraksi baik
9) Ibu kooperatif dan mampu untuk mengejan
10) Ketuban sudah pecah atau dipecahkan
11) Analgesia yang sesuai
12) Kandung kencing ibu kosong
c. Indikasi
1) Partus tidak maju dengan anak hidup
2) Kala II lama dengan presentasi kepala belakang
d. Kontra indikasi

1) Ruptur uteri membakat, ibu tidak boleh mengejan, panggul sempit.

2) Bukan presentasi belakang kepala, presentasi muka atau dahi

3) Kepala belum masuk pintu atas panggul


4) Pembukaan serviks tidak lengkap
5) Bukti klinik adanya CPD
6) Tidak kooperatif
e. Persiapan ekstraksi vakum
Beberapa hal yang harus disiapkan sebelum tindakan ekstraksi
vakum yaitu :
1) Persiapkan ibu dalam posisi litotomi
2) Kosongkan kandung kemih dan rektum
3) Bersihkan vulva dan perineum dengan antiseptik
4) Pasang infus bila diperlukan
5) Siapkan alat-alat yang diperlukan
f. Teknik vakum ekstraksi
Sebelum dilaksanakan teknik vacum ekstrasi harus mengetahui
indikasi ekstraksi vacum terlebih dahulu yaitu Partus tidak maju
dengan anak hidup dan kala II lama dengan presentasi kepala
belakang.
Persiapan adalah sama pada ekstrksi forcipal, cup dilicinkan
dengan minyak kemudian di masukan ke dalam jalan lahir dan
diletakkan pada kepala anak. Titik yang ada pada cup sedapat-
dapatnya menunjukkan ke ubun-ubun kecil. Sedapat-dapatnya
digunakan cup yang terbesar supaya tidak mudah terlepas. Dengan 2
jari cup ditekankan pada kepala bayi sambil seorang asisten dengan
perlahan-lahan memompa tekanan sampai – 0,2 atmosfer, setelah itu
dengan 1 jari kita periksa apakah tidak ada jaringan cervix atau vagina
yang terjepit. Tekanan – 0,2 atmosfer dipertahankan selama 2 menit
kemudian diturunkan sampai -0,5 atm, dua menit kemudian diturunkan
lagi sampai -0,7 – (-0.75)atm. Kita biarkan pada tekanan -0,7
atm,selama 5 menit agar caput terbentuk dengan baik. Kita pasang
pengait dan tangan kanan memegang pengait tersebut untuk menarik.
Tiga jari tangan kiri dimasukkan ke jalan lahir, untuk mengarahkan
tarikan, jari-jari telunjuk dan tengah diletakkan pada pinggir cup
sedangkan ibu jari pada bagian tengah cup, Penarikkan dilakukan pada
waktu his dan si ibu disuruh mengedan. Kadang-kadang dapat
dilakukan dorongan pada fundus uteri untuk memudahkan ekstraksi.
Arah tarikan adalah sesuai dengan penarikan forceps. Setelah kepala
lahir cup dilepaskan dengan menghilangkan vakum

g. Kegagalan vakum ekstraksi dan penyebabnya


Ekstraksi vakum dianggap gagal bila ditemui kondisi seperti
berikut ini, yaitu : kepala tidak turun pada tarikan, jika tarikan sudah
tiga kali dan kepala bayi belum turun, atau tarikan sudah 30 menit dan
mangkok lepas pada tarikan dengan tekanan maksimum.
Adapun hal-hal yang bisa menjadi penyebab kegagalan pada
ekstraksi vakum yaitu :
1) Tenaga vakum terlalu rendah
2) Tenaga negatif dibuat terlalu cepat
3) Selaput ketuban melekat
4) Bagian jalan lahir terjepit
5) Koordinasi tangan kurang baik
6) Traksi terlalu kuat
7) Cacat alat
8) Disproporsi sefalopelvik yag sebelumnya tidak diketahui.

h. Komplikasi dan upaya menghindarinya


Komplikasi yang bisa terjadi pada persalinan dengan bantuan
ekstraksi vakum yaitu :
1) Pada ibu : Bisa terjadi perdarahan akibat atonia uteri atau trauma,
trauma jalan lahir dan infeksi.
2) Pada janin : Aberasi dan laserasi kulit kepala, sefalhematoma
yang biasanya hilang dalam 3-4 minggu, nekrosis kulit kepala,
perdarahan intakranial (sangat jarang) jaundice, fraktur clavikula,
kerusakan N VI dan N VII.
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam upaya menghindari
komplikasi yaitu: pastikan indikasi dan syarat penggunaannya,
penempatan magkuk yang tepat, hindari terjepitnya jarigan lunak ibu,
arah tarikan yang benar, hindari kekuatan tarikan yang berlebihan,
koordinasikan tarikan dengan usaha mengejan, awasi
penurunan/pengeluaran dan terapkan “the rule of threes” (penghentian
tindakan)
i. Keuntungan vakum ekstraksi
Beberapa keuntungan yang didapat dari vakum ekstraksi yaitu :
1) Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III atau
kurang dengan demikian mengurangi frekuensi SC.
2) Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, Cup dapat
dipasang pada belakang kepala, samping kepala ataupun dahi.
3) Tarikan tidak dapat terla luberat. Dengan demikian kepala tidak
dapat dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau
berat cup akan lepas dengan sendirinya.
4) Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap,
misalnya pada pembukaan 8 – 9 cm, untuk mempercepat
pembukaan.
5) Vakum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala
dan mengadakan fleksi kepala (misal pada letak dahi).
6) Lebih sedikit membutuhkan anastesi dibanding ekstraksi forcep.
7) Lebih sedikit trauma terhadap vagina / perineum ibu.
j. Kerugian vakum ekstraksi
Kerugian dari tindakan vakum ekstraksi adalah waktu yang
diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik relatip lebih
lama dari pada forceps (± 10 menit) cara ini tidak dapat dipakai
apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan cepat seperti
misalnya pada fetal distress (gawatjanin). Selain itu alatnya relatif
mahal dibanding dengan forcep.
k. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tindakan vakum ekstraksi
1) Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubunbesar.
2) Penurunan tekanan harus berangsur-angsur.
3) Cup dengan tekanan negative tidak boleh dipasang lebih dari ½ jam.
4) Penarikan pada wakru ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada
his dan ibu mengejan.
5) Apabila kepala masih agak tinggi(H III ) sebaiknya dipasang cup
yang terbesar (diameter 7 cm)
6) Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi.

7) Vakum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature.


l. Bahaya vakum ekstraksi
1) Terhadap ibu : Robekan bibir cervix atau vagina karena terjepit
antara kepala bayi dan cup.
2) Terhadap anak : Perdarahan dalam otak. Caput succedaneum
artificialis akan hilang dalam beberapa hari. Vakum ekstraktor
dapat juga dipergunakan untuk melahirkan kepala waktu
Sectiocaecar.

2. Sectio Cesarea
a. Pengertian
Seksio Caesarea adalah kelahiran janin melalui insisi trans
abdomen pada uterus. (Bobak,Ledwig,Jensen, 2005, hal 801). Sectio
caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram (Sarwono, 2009)
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat
badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus
yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2006)
b. Indikasi Seksio Cesarea
1) Indikasi ibu :
a) Plasenta previa sentralis dan lateralis.
b) Panggul sempit dimana jenis panggul dengan konjungnatavera
kurang dari 8 cm bisa dipastikan tidak dapat melahirkan
dengan cara spontan.
c) Disproporsi sepalo pelvic yaitu ketidak mampuan kepala dan
panggul.
d) Distosiaservik
e) Pre eklamsi dan hipertensi
f) Mal presentasi janin
g) Partus lama
h) Distoksiaolehkarena tumor
i) Ruptur uteri yang mengancam
j) Pertimbangan lain yaitu ibu dengan resiko tinggi persalinan,
apabila telah mengalami seksiosesaria atau menjalani operasi
kandungan sebelumnya.
2) Indikasi janin
a) Gawat Janin
b) Janin besar
c. Kontra indikasi
1) Janin mati
2) Syok, akibat anemia berat yang belum diatasi
3) Kelainan congenital berat.
d. Jenis-jenis SC
1) Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di
segmen bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan
teknik melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini
adalah:
a) Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b) Bahaya peritonitis tidak besar.
c) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri
dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti
korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2) Sectio cecaria klasik atau section cecaria korporal
Pada sectio cecaria klasik ini di buat kepada korpus uteri,
pembedahan ini yang agak mudah dilakukan, hanya di
selenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan sectio
cecaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada segmen
atas uterus.
3) Sectio cecaria ekstra peritoneal
Section cecaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk
mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan
pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak
banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan
pada pasien infeksi uterin berat.
4) Section cesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
a) Atonia uteri
b) Plasenta accrete
c) Myoma uteri
d) Infeksi intra uteri berat
Gambar: Skema Insisi Abdomen dan Rahim (Sumber: Obgyn.net)

e. Komplikasi SC
1) Pada ibu
Infeksi Puerperium (Nifas) merupakan kenaikan suhu beberapa
hari dalam masa nipas, dibagi menjadi :
a) Ringan
b) Pendarahan
c) Trauma kandung kemih akibat kandung kemih yang terpotong
saat melakukan seksiosesaria
d) Endometritis yaitu infeksi atau peradangan pada endometrium
e) Resikoruptura uteri padakehamilan
2) Pada bayi
Hipoxia, depresi pernapsan, sindrom gawat pernapasan,
trauma persalinan.
3. Kuretase
a. Pengertian
Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat
kuretase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong
harus melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus,
keadaan serviks dan besarnya uterus gunanya untuk mencegah
terjadinya bahaya kecelakaan misanya perforasi (Sofian, 2011).
Pendekatan transerviks pada abortus bedah mensyaratkan bahwa
serviks mula mula harus dibuka (dilatasi) dan kemudian kehamilan di
evakuasi dengan mengerok keluar secara mekanis isi (kuretase tajam),
dengan mengisap keluar isi (kuretase hisap), atau keduanya. Namun
paling sering digunakan adalah kuret hisap tapi memerlukan kanula
kaku yang dihubungkan ke sumber vakum bertenaga listrik
(Cunningham, et al, 2014).
b. Tujuan Kuretase
Menurut Damayanti (2014) bahwa tujuan kuretase dibagi menjadi dua,
yaitu:
1) Kuret sebagai diagnostik suatu penyakit rahim Yaitu mengambil
sedikit jaringan lapis lendir rahim, sehingga dapat diketahui
penyebab dari perdarahan abnormal yang terjadi misalnya
perdarahan pervaginam yang tidak teratur, perdarahan hebat,
kecurigaan akan kanker endometriosis atau kanker rahim,
pemeriksaan kesuburan/fertilitas.
2) Kuret sebagai terapi, Bertujuan menghentikan perdarahan yang
terjadi pada keguguran kehamilan dengan cara mengeluarkan hail
kehamilan yang telah gagal berkembang, menghentikanperdarahan
akibat mioma dan polip dari dalam rongga rahim, menghentikan
perdarahan akibat gangguan hormone dengan cara mengeluarkan
lapisan dalam mengeluarkan lapisan dalam rahim misalnya kasus
keguguran, tertinggalnya sisa jaringan janin di dalam rahim setelah
proes persalinan, hamil anggur, menghilangkan polip rahim.
c. Manfaat Kuretase
Kuretase ini memiliki beberapa manfaat tidak hanya untuk calon ibu atau wanita
yang mengalami keguguran, namun juga beberapa hal lainnya untuk memeriksa
masalah atau Kesehatan pada rahim, diantaranya adalah:
1) Membersihkan rahim sesudah keguguran.
2) Mendiagnosa keadaan tertentu yang ada pada rahim.
3) Pendarahan pervaginam yang tidak teratur.
4) Membersihkan jaringan plasenta yang tersisa sesudah proses persalinan di
kemudian hari.
5) Menghilangkan blighted ovum atau tidak ada janin dalam kandung telur.
6) Hamil anggur
7) Menghindari rahim tidak bisa kontraksi karena pembuluh darah pada rahim
tidak menutup sehingga terjadi pendarahan.
8) Membersihkan sisa jaringan pada dinding rahim yang bisa menjadi tempat
kuman berkembang biak dan timbul infeksi.
d. Indikasi Kuretase
Menurut Supriyadi (1994), indikasi kuretase dibagi menjadi dua yaitu :
1) Diagnostik : Jaringan endometrium untuk diagnosis histologi
2) Terapeutik : Pengangkatan jaringan plasenta setelah abortus atau
melahirkan, mengangkat polip atau endometrium hiperplastik.
e. Prosedur Kuretase
Persiapan pasien sebelum kuretase adalah:
1) Puasa
Saat akan menjalani kuretase, biasanya ibu harus mempersiapkan dirinya.
Misal, berpuasa 4-6 jam sebelumnya. Tujuannya supaya perut dalam
keadaan kosong sehingga kuret bisa dilakukan dengan maksimal.
2) Persiapan psikologis
Setiap ibu memiliki pengalaman berbeda dalam menjalani kuret. Ada yang
bilang kuret sangat menyakitkan sehingga ia kapok untuk mengalaminya
lagi. Tetapi ada pula yang merasakan biasa saja, seperti halnya persalinan
normal, sakit tidaknya kuret sangat individual. Sebab, segi psikis sangat
berperan dalam menentukan hal ini. Bila ibu sudah ketakutan bahkan syok
lebih dulu sebelum kuret, maka munculnya rasa sakit sangat mungkin terjadi
karena rasa takut akan menambah kuat rasa sakit. Bila ketakutannya begitu
luar biasa, maka obat bius yang diberikan bisa tidak mempan karena secara
psikis rasa takutnya udah bekerja lebih dahulu.
f. Teknik Kuretase
1) Menentukan Letak Rahim
Yaitu dengan melakukan pemeriksaan dalam dengan menggunakan alat-
alat yang ummnya terbuat dari metal dan biasanya melengkung. Karena itu
alat-alat tersebut harus dimasukkan sesuai dengan letak rahim. Tujuannya
supaya tidak terjadi salah arah (fase route) dan perforasi.
2) Penduga rahim (sondage)
Yaitu dengan memasukkan penduga rahim sesuai dengan letak rahim dan
tentukan panjang atau dalamnya penduga rahim. Caranya adalah, setelah
ujung penduga Rahim membentur fundus uteri, telunjuk tangan kanan
diletakkan atau dipindahkan pada portio dan tariklah sonde keluar, lalu
baca berapa cm dalamnya rahim.
3) Kuretase
Pada teknik ini harus memakai sendok kuret yang cukup besar. Jangan
memasukkan sendok kuret dengan kekuatan, dan pengerokan biasanya
dimulai di bagian tengah. Memakai sendok kuret yang tajam (ada tanda
bergerigi) lebih efektif dan lebih terasa sewaktu melakukan kerokan pada
dinding Rahim dalam (seperti bunyi mengukur kelapa). Dengan demikian,
kita tahu bersih atau tidaknya hasil kerokan (Sofian, 2011).
4) Kuretase dengan cara penyedotan (suction curretage)
Setelah diadakan persiapan seperlunya dan letak serta besarnya uterus
ditentukan dengan pemeriksaan bimanual, bibir depan serviks dipegang
dengan cunam serviks, dan sonde uterus dimasukkan untuk mengetahui
panjang dan jalanya kavum uteri. Anastesi umum dengan penthoal sodium,
atau anastesia percervikal block dilakukan dan 5 satuan oksitosin
disuntikkan pada korpus uteri dibawah kandung kencing dekat pada
perbatasanya pada serviks.
g. Komplikasi Kuretase
1) Perforasi
Dalam melakukan dilatasi dan kerokan harus diingat bahwa selalu ada
kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus yang dapat menjurus ke
rongga peritoneum, ke rongga peritoneum, ke ligatum latum, atau ke
kandung kencing. Bahaya perforasi adalah perdarahan dan peritonitis.
Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, maka penderita
harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum nadi,
tekanan darah, kenaikan suhu, turunya hemoglobin dan keadaan perut
bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya
dilakukan laparotomi percobaan dengan segera.
2) Luka pada serviks uteri
Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksaan maka dapat timbul
robekan pada serviks dan perlu dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium
uteri internum, maka akibat yang segera timbul adalah perdarahan yang
memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka
panjang ialah kemungkinan timnulnya incompetent cervik.
3) Perlekatan dalam kavum uteri
Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa
hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan sampai terkerok, karena hal
itu dapat menyebabkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di
beberapa tempat.Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila
tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
4) Perdarahan
Kerokan pada kehamilan agak tua atau pada molahidatidosa ada bahaya
perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya diselenggarakan transfusi
darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan tampon kassa kedalam
uterus dan vagina (Prawirohardjo, 2007).

3. Penjahitan Rupture Perineum Tingkat III dan IV


Sebanyak 85% dari perempuan yang melahirkan pervaginam akan
mengalami trauma pada perineum(1) dan 3-12% akan mengenai otot
sfingter ani. Robekan pada otot sfingter ani akan menyebabkan gangguan
pada otot2 dasar panggul di kemudian hari.

a. Faktor risiko perlukaan jalan lahir :


1) Kepala janin terlalu cepat lahir
2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3) Perineum kaku / banyak jaringan parut
4) Persalinan distosia bahu
5) Partus pervaginam dengan tindakan

b. Anatomi Perineum
Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu daerah
diantara vagina dan anus yang terbentuk dari gabungan otot-otot membrana
perineal yaitu otot bulbo kavernosus, otot tranversus perinealis superfisialis dan
profundus, disertai otot pubo rektalis yang merupakan bagian dari otot levator
ani dan otot sfingter ani eksterna. Daerah ini mendapat suplai darah dari cabang-
cabang arteri pudenda interna dan mendapatkan persarafan sensoris dan motoris
dari nervus pudendus.
Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan akan
berkurang pada kondisi prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada keadaan
terjadinya robekan perineum pasca persalinan yang tidak dikelola dengan baik.
Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar yang menyebabkan
robeknya atau disrupsi otot-otot yang membentuk perineum terutama levator ani
dan sfingter ani maka akan terjadi gangguan defekasi berupa inkontinensia fekal
yang derajat beratnya bervariasi. Selain itu dapat pula terjadi gangguan seksual,
keputihan dan infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Diagnosis
Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berrisiko terjadi robekan
perineum yang berat seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vacuum
dan forceps), oksiput posterior, distosia bahu, bayi besar, dan episiotomi
mediana, kita harus waspada akan terjadinya robekan perineum derajat III-IV.
Oleh karena itu pasca persalinan harus dinilai benar robekan perineum yang
terjadi. Tindakan colok dubur dan pemaparan yang baik sangat membantu untuk
mendiagnosis derajat robekan perineum yang terjadi. Sultan dan kawan-kawan
melaporkan terjadinya defek pada sfingter ani eksterna maupun interna berkisar
15-44% pada evaluasi USG endoanal pasien-pasien pasca perbaikan rupture
perineum derajat III dan IV. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah
diagnosis substandar dalam penentuan derajat robekan sebelum perbaikan.
d. Klasifikasi Derajat Robekan Perineum
Derajat robekan perineum akut pasca persalinan menurut Sultan dibagi menjadi
4 derajat, yaitu :
Derajat I : robekan hanya mengenai mukosa vagina dan kulit perineum
Derajat II : robekan yang lebih dalam mencapai otot-otot perineum tetapi
tidak melibatkan otot-otot sfingter ani
Derajat III : robekan sudah melibatkan otot sfingter ani, dibagi menjadi 3 sub
grup, yaitu
III a :robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III b :robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III c :robekan sampai mengenai otot sfingter ani interna
Derajat IV : robekan sampai ke mukosa anus
Button hole tear : Sfingter intak namun mukosa anus terkena
e. Prinsip Repair Perineum ( Junizaf )
1) Jahit secepat mungkin à mengurangi risiko perdarahan dan infeksi
2) Periksa peralatan dan hitung kassa sebelum dan sesudah tindakan
3) Beri penerangan/lampu yang baik à identifikasi dan melihat jaringan yang
terlibat
4) Tanyakan pada orang yang lebih berpengalaman bila ragu dalam
menentukan struktur jaringan yang terlibat
5) Trauma yang sulit lebih baik dilakukan oleh operator yang lebih
berpengalaman dalam anestesi umum maupun regional di kamar operasi ,
dan pasang kateter urin 24 jam pasca tindakan
6) Lakukan penjahitan sesuai anatomi awal untuk mendapatkan hasil kosmetik
yang baik
7) Lakukan pemeriksaan rektal touche setelah penjahitan selesai untuk
memastikan tidak ada materi benang yang tidak sengaja masuk pada
mukosa rektum
8) Setelah selesai melakukan repair, informasikan pada pasien mengenai luka
dan perluasannya, diskusikan tentang penghilang nyeri, diet, hygiene dan
pentingnya latihan untuk mendukung pelvis

Repair mukosa rektum dengan jahitan satu-satu atau continues, cara tradisional
benang (poliglaktin910) tidak menembus mukosa rektum untuk mencegah fistula.
f. Perawatan Pasca Penjahitan Derajat Tinggi ( Junizaf )
1) Pasang Foley Catheter menetap minimal 1 x 24 jam karena nyeri perineum dan
periuretra yang bengkak dapat menimbulkan retensio urine
2) Pemberian Analgetik adekuat (nonsteroid anti inflamatory à ibuprofen)
3) Kompres es dapat digunakan untuk mengurangi edema dan nyeri postpartum
g. Perawatan Pasca Penjahitan :
1) Pemberian antibiotik spektrum luas (Cefuroxim 1,5gr) dan metronidazol à
evidence level IV
– Antibiotik untuk cegah infeksi yang resiko tinggi inkontinensia fekal
dan fistula rektovaginal
– Metronidazol untuk melindungi kontaminasi kuman anaerob dari anus
2) Pemberian Laksatif atau Pencahar selama 10-14 hari àevidence level IV
– Gunanya untuk mencegah terjadinya konstipasi sehingga terlepasnya
jahitan
3) Program rehabilitasi otot dasar panggul dilakukan setelah 3 hari pasca penjahitan
(individual sesuai rekomendasi fisioterapis)
4) Rujuk ke ahlinya (bedah digestif/uroginekologis) untuk evaluasi setelah 3 bulan
pasca melahirkan (apakah perlu pengobatan lanjutan/perbaikan sfingter)
5) Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal
6) Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol
BAB yang sulit, maka segera kontrol
7) Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal
8) Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol
BAB yang sulit maka segera kontrol
9) Setelah 12 minggu perlu dinilai integritas sfingter ani dengan alat ultrasound
endoanal dan manometri anal

4. Pemantauan Kesejahteraan Janin Melalui : USG, NST, CTG, OCT,


CST, Amniosintesis
1) USG (ULTRASONOGRAFI)
a. Definisi
Ultrasonografi (USG) merupakan suatu prosedur diagnosis yang
digunakan untuk melihat struktur jaringan tubuh atau analis dari
gelombang Doppler, yang pemeriksaanya dilakukan diatas permukaan
kulit atau diatas rongga tubuh untuk menghasilkan suatu ultrasonografi
didalm jaringan.
Salah satu keuntungan pemakaian USG tidak ada radiasi.
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk ibu hamil. Sebelum adanya alat USG denyut jantung janin baru
dapat didengar pada usia kehamilan 16-18 minggu, namun semenjak
ada alat USG pada usis kehamilan 6-7 minggu sudah dapat terdeteksi
serta dapat mendeteksi kelainan-kelainan bawaan di usia kehamilan
lebih awal.
Pemeriksaan USG bertujuan untuk:
• Konfirmasi kehamilan
• Mengetahui usia kehamilan
• Menilai pertumbuhan dan perkembangan janin
• Ancaman keguguran
• Masalah dengan placenta
• Kehamialn ganda/ kembar
• Mengukur cairan ketuban
• Kelainan letak janin
• Menegetahui jenis kelamin janin

b. Cara Pemeriksaan
USG dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Pervaginam
1) Memasukkan probe USG transvaginal/ seperti melakukan
pemeriksaan dalam
2) Dilakukan pada kehamilan dibawah 8 minggu
3) Lebih mudah dan tidak perlu menahan kencing
4) Lebih jelas karena lebih dekat dengan Rahim
5) Daya tembusnya 8-10 cm dengan resolusi tinggi
6) Tidak menyebabkan keguguran
2. Perabdominan
a. Biasa dilakukan kehamilan lebih dari 12 minggu

b. Karena diatas perut maka daya tembusnya akan melewati otot

perut, lemak baru menembus rahim

c. Jenis Pemeriksaan USG


a) USG 2 dimensi
Menampilkan gambar 2 bidang (memanjang dan
melintang). Kualitas gambar yang baik sebagian besar keadaan
janin dapat ditampilkan
b) USG 3 dimensi
Dengan alat USG ini ada tambahan 1 bidang gambar lagi
yang disebut koronal. Gambar yang dihasilkan mirip dengan
aslinya. Permukaan suatu benda (dalam hal ini tubuh bayi)
dapat dilihat dengan jelas begitupun dengan keadaan janin dari
posisi yang berbeda. Hal ini karena gambarnya dapat diputar.
c) USG 4 dimensi
USG 4 dimensi hanya istilah untuk USG 3 dimensi yang
dapat bergerak (live 3D). jika dalam USG 3 dimensi gambar
statis maka USG 4 dimensi gambar janin dapat bergerak.,
sehingga pasien dapat melihat dengan jelas dan membayangkan
keadaan janin di dalam rahim.
d) USG Dopller
USG ini mengutamakan pengukuran aliran darah terutama
aliran tali pusat. Alat ini digunakan untuk menilai
keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian janin dapat meliputi :
 Gerak nafas janin (minimal 2x10 menit )
 Tonus (gerak janin)
 Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm)
 Dopller arteri umbilikalis
 Reaktivitas denyut jantung janin

Gambar 1. Perbedaan hasil USG 2D, 3D, dan 4D

d. Saat Tepat Pemeriksaan


Pemeriksaan dengan USG wajib semasa kehamilan minimal 3x
yaitu saat pertama kali pemeriksaan kehamilan (usia kehamilan
berapapun namun biasanya usia kehamilan 10-12 minggu),
Pemeriksaan ini dilakukan untuk skiring awal, sedangkan pada usia
kehamilan 20-24 minggu sebagai skiring lengkap. Penggunaan USG
juga dapat dilkukan atas dasar indikasi yaitu mengukur berat badan
janin, melihat posisi bayi apakah melintang, kepala turun dan lainnya.
Kemudian Pada trimester III untuk perencanaan persalinan.
e. Manfaat
a) TRIMESTER I
 Memastikan hamil atau tidak
 Mengetahui keadaan janin, lokasi janin, jumlah janin, dan
tanda kehidupannya
 Mengetahui keadaan rahim dan organ sekitarnya
 Melakukan penapisan awal dengan mengukur ketebalan
selaput lendir, denyut janin dan sebagainya
b) TRIMESTER II
 Melakukan penampisan secara menyeluruh
 Menentukan lokasi placenta
 Mengukur panjang servik
c) TRIMESTER III
 Menilai kesejahteraan janin
 Mengukur biometri janin untuk taksiran berat badan
 Melihat posisi janin dan tali pusat
 Menilai keadaan placenta
Meskipun tidak akurat 100% melinkan hanya 80% yang artinya
masih ada kemungkinan kelainan bawaan/kecacatan pada janin yang
tidak terdeteksi atau interpretasi kelamin janin yang tidak tepat.
Beberapa factor yang dapat mempengaruhinya adalah keahlian/
kompetensi dokter yang memeriksaanya dan tidak semua dokter ahli
kandungan dapat dengan baik mengoperasikan alat USG.

2) NST (NON STRESS TEST)


a. Pengertian
Cara pemeriksaan janin dengan menggunakan kardiotokografi
pada umur kehamilan > 32 minggu. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
maksud melihat hubungan perubahan denyut jantung dengan gerakan
janin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan baik pada saat kehamilan
maupun persalinan.
b. Fungsi
a) Pemeriksaan NST dilakukan untuk menilai gambaran Denyut
Jantung Janin (DJJ) dalam hubungannya dengan gerakan/ aktifitas
janin. Adapun penilain NST dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ
(baseline), variabilitas dan timbulnya akselerasi yang sesuai dengan
gerakan janin/ aktifitas janin (Fetal Activity Determination/ FAD).
b) Dilakukan untuk menilai apakah bayi merespon stimulus secara
normal dan apakah bayi menerima cukup oksigen. Umumnya
dilakukan pada usia kandungan minimal 26 - 28 minggu atau
kapanpun seuai dengan kondisi bayi.
c) Hal yang dinilai adalah gambaran DJJ dalam hubungannya dengan
gerakan atau aktifitas janin. Pada janin sehat yang bergerak aktif
dapat dilihat peningkatan frekuensi DJJ, sebaliknya bila janin kurang
baik, pergerakan janin tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi DJJ.

c. Patofisiologi
Aktifitas dinamika jantung dipengaruhi oleh system saraf otonom
yaitu simpatis dan parasimpatis. Bunyi jantung dasar dan variabilitas
dari jantung janin normal terjadi bila oksigenasi jantung normal. Bila
cadangan plasenta untuk nutrisi (oksigen) cukup, maka stress intrinsic
(gerakan janin) akan menghasilkan akselerasi bunyi jantung janin, dan
stress ekstrinsik (kontraksi Rahim) tidak akan mengakibatkan
deselerasi.

d. Cara Melakukan
a) Persiapan tes tanpa kontraksi
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari 2 jam setelah sarapan
dan tidak boleh diberikan sedative.
b) Prosedur pelaksanaan
1) Pasien dibaringkan secara semi fowler 45 derajat miring ke kiri.
2) Tekanan darah diukur setiap 10 menit.
3) Dipasang kardio dan tokodinamometer.
4) Frekuensi jantung janin dicatat.

5) Selama 10 menit pertama, catat data dasar bunyi.


6) Pemantauan tidak boleh kurang dari 30 menit.
7) Bila pasien dalam keadaan puasa dan hasil pemantauan selama 30
menit tidak reaktif, pasien diberi larutan 100 gram gula oral dan
dilakukan pemeriksaan ulang pada 2 jam kemudian.
8) Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan
hasil NST secara individual.
c) Indikasi
Semua pasien yang ada kaitannya dengan insufisiensi plasenta.
d) Komplikasi
Hipertensi ortostatik.
e) Pembacaan hasil
1) Reaktif, bila :
 Denyut jantung basal antara 120 – 160x/ menit.
 Variabilitas denyut jantung 6 atau lebih per menit.
 Gerakan janin terutama gerakan multiple dan berjumlah 5 gerakan
atau lebih dalam 20 menit.
 Reaksi denyut jantung terutama akselerasi pola ‘omega’ pada NST
yang reaktif berarti janin dalam keadaan sehat. Pemeriksaan diulang
1 minggu kemudian.
 Pada psien Diabetes mellitus tipe IDDM, pemeriksaan NST diulang
tiap hari, sedangkan pada tipe lain diulang setiap minggu.
2) Tidak reaktif, bila :
 Denyut jantung basal 120 – 160 x/ menit.
 Variabilitas kurang dari 6 denyut/ menit.
 Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit.
 Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan
rangsangan dari luar.
Antara hasil yang reaktif dan tidak reaktif ini ada bentuk antar, yaitu
kurang reaktif. Keadaan ini interpretasinya sukar. Hal ini dapat
diakibatkan karena pemakaian obat, seperti: barbiturate, demerol,
penotiasid dan metildopa.

Pada keadaan kurang reaktif dan pasien tidak menggunakan obat –


obatan dianjurkan NST diulang keesokan harinya. Bila reaktifitas tidak
membaik dilakukan pemeriksaan tes dengan kontraksi (OCT).
3) Sinusoidal, bila:
 Ada osilasi yang persisten pada denyut jantung asal.
 Tidak ada gerakan janin.
 Tidak terjadi akselerasi, janin dalam keadaan bahaya. Bila paru –
paru janin matur, janin dilahirkan. Gambaran ini didapatkan pada
keadaan isoimunisasi- RH.
Jika pemeriksaan menunjukan hasil yang meragukan, hendaknya
diulangi dalam waktu 24 jam atau dilanjutkan dengan pemeriksaam CST
(Contaction Stress Test). Bayi yang tidak bereaksi belum tentu bahaya,
pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan.
4) Hasil pemeriksaan NST disebut abnormal (baik reaktif ataupun non
reaktif) apabila ditemukan :
 Bradikardia.
 Deselerasi 40 atau lebih di bawah (baseline) atau DJJ mencapai 90
dpm yang lamanya 60 detik atau lebih.
Pada pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan bila
janin sudah viable atau pemeriksaan ulang setiap 12 – 24 jam bila janin
belum viable.
Hasil NST yang reaktif biasnyan diikuti oleh keadaan janin yang
masih baik sampai 1 minggu kemudian, sehingga pemeriksaan ulang
dianjurkan 1 minggu kemudian. Namun bila ada factor resiko seperti
hipertensi, DM, perdarahan, atau oligohidramnion, hasil NST yang
reaktif tidak menjamin bahwa keadaan janin akan masih tetap baik
sampai 1 minggu kemudian.

3) CTG (CARDIOTOKOGRAFI)
a. Pengertian
Cardiotokografi (CTG) merupakan salah satu alat elektronik yang
digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan
hipoksia janin, seberapa jauh gangguan tersebut, dan menentukan
tindak lanjut dari hasil pemeriksaan tersebut melalui penilaian pola
denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi
ataupun aktifitas janin.

Gambar 2. Alat Pemeriksaan CTG

b. Cara Melakukan Pemeriksaan CTG


Gambar 3. Ilustrasi CTG

Pemantauan janin dapat dilakukan dengan cara internal/ infasif


yaitu alat pemantau dimasukkan ke dalam rongga rahim melalui vagina
seperti USG Transvaginal, dan cara non invasif/ eksternal yaitu alat
pemantau dipasang pada dinding perut ibu seperti CTG, USG, dan
Doppler.
Pada alat CTG, ada 2 macam tranduser/ probe yang harus
dipasang. Satu macam probe sebagai alat deteksi kontraksi uterus. Dan
probe lainnya sebagai alat deteksi DJJ. Pada satu unit CTG tersedia
probe pendeteksi DJJ sejumlah 2 buah pada merk tertentu untuk
penjagaan jika ternyata kehamilan berisi dua janin. Kemudian ada
tombol pendeteksi gerakan janin.
Semua probe tersebut hendaknya diberi jelly agar perekaman
aktifitas janin yang diperoleh hasilnya benar, sebab alat ini
mengandalkan kekuatan pantulan suara untuk mendeteksi janin dalam
kandungan. Selain itu, probe yang telah diletakkan pada lokasi yang
sesuai hendaknya difiksasi dengan baik menggunakan tali-tali yang
telah tersedia yang menyatu pada alat CTG.
Berikan tombol pendeteksi gerakan/ tendangan janin kepada ibu
hamil untuk dipencet saat ibu merasakan janinnya bergerak. Anjurkan
ibu berbaring biasa dan bernapas biasa serta mempertahankan rileksasi
selama proses perekaman grafik CTG berlangsung yaitu ± 20 menit
lamanya.
Kemudian pijat tombol nol pada saat muncul grafik his utuh dan
grafik DJJ utuh sebagai penanda letak probe telah benar. Lalu pijat
tombol print agar grafik CTG terlukis pada kertasnya.

Gambar 4. Kertas CTG

Operator sebaiknya tenaga yang telah memahami dengan baik cara


melakukan pemeriksaan CTG dan hasil diinterpretasikan oleh petugas
yang telah kompeten menginterpretasi grafik CTG. CTG efektif
dilakukan pada ibu hamil dengan usia gestasi 32 minggu atau lebih dan
tidak akan efektif jika dilakukan pada usia gestasi kurang dari itu. Alat
CTG juga sebaiknya yang masih baik dan kalibrasinya benar untuk
menghindari kesalahan interpretasi karena alat eror.
c. Interpretasikan Hasil Pemeriksaan CTG
Untuk dapat memahami dan menginterpretasikan hasil
pemeriksaan CTG, operator harus memahami hakikat DJJ (denyut
jantung janin) dengan benar.
1. Karakteristik DJJ

Frekuensi DJJ rata-rata sekitar 140 denyut per menit (dpm)

dengan variasi normal 20 dpm diatas atau dibawah nilai rata-rata.

Jadi, nilai normal DJJ antara 120-160 dpm.

Dalam pemeriksaan CTG, ada 2 macam DJJ yang normal, yaitu:

1) DJJ basal (basal fetal heart rate), yaitu frekuensi dasar (baseline rate)

dan variabilitas (variability) DJJ saat uterus daam keadaan istirahat

(rileksasi).

a) frekuensi dasar (baseline rate)

 Dalam keadaan normal, frekuensi DJJ berkisar antara 120-160 dpm.

 Disebut Takikardi apabila frekuensi dasar > 160 dpm. Takikardi

dapat terjadi jika dalam keadaan:

o Hipoksia janin

o Kehamilan preterm (<30 mggu)

o Infeksi ibu dan janin

o Ibu febris atau gelisah

o Ibu hipertiroid

o Takhiaritmia janin

o Obat-obatan (missal: atropine, betamimetik)


 Takikardi yang disertai variabilitas DJJ yang masih normal, biasanya

janin dalam kondisi baik.

 Disebut Bradikardi apabila frekuensi dasar < 120 dpm. Bradikardi

terjadi dalam keadaan:

o Hipoksia jain (berat/akut)

o Hipotermi janin

o Bradiaritmia janin

o Obat-obatan (missal: propranolol, obat anastesia local)

o Janin dengan kelainan jantung bawaan

 Bradikardi 100-120 dpm yang disertai variabilitas yang masih normal,

biasanya menunjukan hipoksia janin ringan yang masih bisa

dikompensasi oleh janin.

 Tetapi jika bradikardi tambah menurun < 100 dpm, biasanya

variabilitas makin jelas menjadi turun abnormal.

 Bila peningkatan frekuensi berlangsung cepat (< 1-2 menit) dan

menaikkan paling sedikit 15 dpm dari frekuensi dasar dalam

waktu 15 detik disebut akselerasi (acceleration)

 Bila penurunan frekuensi yang berlangsung cepat (< 1-2 menit)

disebut deselerasi (deceleration).

b) variabilitas DJJ (variability)

Variabilitas adalah gambaran osilasi yang tidak teratur, hal ini

normal dan dianggap merupakan grafik indikasi otak masih bekerja

mempertahankan oksigenasi otak.


Gambar 5. Gambaran Variabelitas

Ada 2 macam variabilitas DJJ, yaitu:

 Variabilitas Jangka Pendek (Short term variability)

Merupakan perbedaan interval antar denyut pada grafik

CTG, normalnya antara 2-3 dpm. Biasanya ini akan tampak hilang

pada janin yang akan mengalami kematian dalam rahim.

 Variabilitas Jangka Panjang (long term variability)

Merupakan gambaran osilasi yang kasar dan sangat jelas

naik turunnya gafik pada rekaman CTG, rata-rata siklusnya 3-6 kali

permenit. Berdasarkan amplitude tersebut maka dibedakan menjadi;

o Normal, bila amplitude antara 6-25 dpm

o Berkurang, bila amplitude antara 2-5 dpm

o Menghilang, bila amplitude < 2 dpm

o Salsatory, bila amplitude > 25 dpm.


Berkurang atau menghilangnya variabilitas jangka panjang

ini disebabkan hipoksia, sebab selain hipoksia yang dapat

menyebabkan berkurangnya variabilitas jangka panjang ini

diantaranya:

o Janin tidur (fisiologik saat tidur aktivitas otak berkurang)

o Kehamilan preterm (SSP belum sempurna)

o Janin anencepalus (korteks serebri tidak sempurna)

o Blokade nervus vagus

o Kelainan jantung bawaan

o Pengaruh obat-obat narkotika, diazepam, MgSO4, dsb.

 Keadaan dimana gambaran variabilitas jangka pendek menghilang,

sedangkan variabilitas jangka panjang tampak dominan, disebut

gambaran sinusoidal.

 Penyebab ggambaran sinusoidal biasanya ditemukan pada:

 Hipoksia Janin yang berat

 Anemia kronik

 Fetal eritroblastosis

 Rh-sensitized

 Pengaruh obat-obatan nisentil, Alfa prodin


Gambar 6. Gambaran Sinusoidal

2) Perubahan Periodik (reactivity), merupakan perubahan DJJ yang

terjadi saat ada gerakan janin atau kontraksi uterus. Timbulnya adalah

akselerasi atau deselerasi.

a) Akselerasi

 Akselerasi merupakan respon simpatetik, terjadi peningkatan

DJJ yang merupakan respon fisiologis yang baik, disebut

reaktif.

 Ciri-ciri akselerasi normal adalah ampitudo > 15 dpm, lamanya

sekitar 15 detik, dan terjadi paling tidak 2 kali dalam waktu

rekaman 20 menit.

 Akselerasi dibedakan mennjadi 2 macam yaitu


 akselerasi yang seragam (uniform acceleration) yang

terjadi sesuai dengan kontraksi uterus dan

 akselerasi yang bervariasi (variable acceleration) yang

terjadi sesuai dengan gerakan atau rangsangan pada janin

Gambar 7. Gambaran Akselerasi dan Perubahan Frekuensi Dasar DJJ

b) Deselerasi

 Merupakan respon parasimpatis (nervus vagus) melalui

reseptor-reseptor (missal baroreseptor atau kemoresepptor)

sehingga menyebabkan penurunan frekuensi DJJ

 Deselerasi dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

 Deselerasi Dini (early deceleration), ciri-cirinya:

 Timbul/ hilangnya selalu bersamaan dan sesuai dengan

kontraksi uterus (gambar CTG seolah-olah cerminan dari

grafik kontraksi uterusnya)


 Penurunan amplitude tidak lebih dari 20 dpm

 Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik

 Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal

 Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal/

fisiologis, sebab ada kontraksi yang periodik dan normal.

Penyebabnya adalah penekanan kepala janin oleh jalan

lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang

reflex vagal.

 Refleks vagal adalah respon atas terjadinya rangsangan

pada nervus vagus (syaraf ke 12 di daerah cranial).

Nervus vagus mempersyarafi gerakan otomatis jantung,

paru-paru, kerongkongan dan saluran cerna. Jika terkena

rangsang dan respon terjadi reflex bisa berupa reflex

muntah, kemudian penurunan curah jantung dan tekanan

darah, aliran darah ke otak menurun, lalu pingsan atau

kebingungan. Pertolongannya bila terjadi reflex vagal

adalah harus segera terjadi peningkatan aliran darah

kembali agar menjadi cepat dan normal sehingga otak

dan jantung diperdarahi dengan normal kembali.

 Deselerasi variabel (variable deceleration), ciri-cirinya:

 Gambaran deselerasi bervariasi muculnya, baik

waktu timbulnya, lamanya, amplitude ataupun

bentuknya.
 Biasanya terjadi akselerasi sebelum dan sesudah

terjadinya deselerasi.

 Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang,

artinya sedang terjadi hipoksia lanjut

 Deselerasi variabel ini sering terjadi akibat penekanan

ptali pusat saat hamil atau kala 1. Penekanan tali pusat

bisa disebabkan oleh lilitan tali pusat, tali pusat

menumbung, atau oligohidramnion.

 Jika deselerasi variable disertai DJJ yang masih baik,

biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang berarti.

 Penanganan masalah ini adalah dengan perubahan posisi

ibu, reposisi tali pusat yang terkemuka/ menumbung,

pemberian oksigen pada ibu, amnio-infussion untuk

mengatasi oligohidramnion, terminasi persalinan bila

diperlukan

 Deselerasi lambat (late deceleration), ciri-cirinya:

 Timbul deselerasi sekitar 20-30 detik setelah kontraksi

uterus dimulai

 Berakhirnya deselerasi sekitar 20-30 detik setelah

uterus menghilang

 Lamanya kurang dari 90 detik

 Timbul berulag setiap kontraksi dan beratnya sesuai

dengan intensitas kontraksi uterus


 DJJ bisanya normal atau takikardi ringan, bila hipoksia

berat tampak bradikardi

 Deselerasi lambat terjadi pada berbagai keadaan

patologis. ini artinya janin hipoksia. Bila tidak segera

ditangani biasanya variabilitas DJJ akan terus

menurun sebelum akhirnya janin meninggal

 Penanganan bila menemukan gambaran deselerasi

lambat adalah pasang infus, pasang oksigen, ibu sim

kiri, hentikan kontraksi uterus dengan tokolitik

(wewenang SPOG), diikuti segera terminasi

kehamilan dengan cepat melalui SC.

Gambar 8. Gambaran Deselerasi

a. Rekam Gambaran CTG yang normal


 Frekuensi DJJ 120-160 dpm

 Variabilitas DJJ antara 6-25 dpm

 Terdapat akselerasi (reaktif)

 Tidak ada deselerasi, atau hanya satu deselerasi dini saja.

Gambar 9. Contoh hasil perekaman CTG, A; DJJ, B; Gerakan janin yang dirasakan ibu,

C; Gerakan janin actual, D; Kontraksi rahim

4) OCT (OXYTOCIN CHALLENGE TEST)


a. Pengertian
 OCT adalah pemeriksaan pola denyut jantung janin yang
dihubungkan dengan kontraksi uterus yang ditimbulkan dengan
rangsangan infus oksitosin
 Prosedur pemeriksaan adalah mengusahakan terbentuknya 3
kontraksi rahim dalam 10 menit
b. Langkah – Langkah
a. Penderita ditidurkan dalm posisi semi-Fowler dan miring ke kiri,
b. Tekanan darah diukur dan dicatat dikertas monitor setiap 10-15
menit,
c. Pencatatan denyut jantung janin dengan EKG janin secara
eksternal, sedangkan kontraksi uterus dengan tocotransducer yang
ditempatkan pada daerah fundus uteri,
d. Selama 10 menit pertama dicatat data dasar yang ada termasuk :
frekuensi, akselerasi, variabilitas denyut jantung janin, gerak janin
dan kontraksi uterus yang timbul secara spontan.
e. Pemberian tetesan oksitosin :
 Bila telah ada kontraksi uterus yang spontan tetesan oksitosin
dimulai dengan 0,5 mU/menit
 Bila belum ada kontraksi uterus, tetesan oksitosin dimulai
dengan 1 mU/ menit
 Bila kontraksi yang diinginkan belum tercapai maka setiap 15
menit tetesan ditingkatkan menjadi 2 mU, 4 mU, 6 mU dan
seterusnya, sampai kontraksi yang diperlukan didapat. Dalam
hal ini supaya diperhatikan apakah transducer telah terikat
dengan baik.
 Kecepatan tetesan oksitosin dikurangi apabila :
 Terjadi 5 kontraksi atau lebih dalam 10 menit
 Terjadi hipertonia uteri
 Deselerasi yang lama
 Tetesan oksitosin dihentikan apabila :
 Dalam 10 menit terjadi 3 kontraksi yang lamanya lebih dari
50-60 detik
 Terjadi deselerasi lambat yang terus menerus
 Selama satu jam hasilnya tetap mencurigakan (suspicious)
 Bila hasil yang diperoleh negatif, mencurigakan maupun tidak
memuaskan, penderita hendaknya tetap diawasi sampai 30
menit setelah tetesan oksitosin dihentikan.
c. Indikasi uji beban kontraksi
 Diabetes mellitus
 Preeklamsi
 Hipertensi kronis
 Pertumbuhan janin terlambat
 Postmaturitas
 Pernah mengalami lahir mati
 Ketagihan narkoba
 Sickel cell haemoglobinopathy
 Penyakit paru kronis
 Penyakit jantung : a. sianosis; b. stenosis (menurunnya
curah jantung)
 Penyakit Rh isoimunisasi
 Cairan ketuban mekoneal
 Non reactive non stress test/Uji tanpa beban

d. Kontra indikasi uji beban kontraksi


 Bekas seksio sesarea
 Pasca histerotomi
 Kehamilan ganda sebelum 37 minggu kehamilan
 Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW)
 Kemungkinan persalinan prematur
 Pendarahan antepartum
 Serviks inkompeten dengan operasi serviks

e. Pembacaan hasil uji beban kontraksi


a) Negatif, bila :
 Tidak terjadi deselerasi lambat, meskipun terjadi
hiperstimulasi tetap tidak ada deselerasi lambat
 Variabilitas denyut jantung janin baik
 Terjadi akselerasi pada gerakan janin
 Frekuensi denyut jantung janin normal
 Bila hasil uji negatif maka kehamilan dapat diteruskan
selama 5-7 hari lagi untuk dilakukan uji beban
kontraksi ulangan.
b) Positif, bila :
 Terjadi deselerasi lambat yang persisten pada sebagian
besar kontraksi yang terjadi
 Meskipun tidak selalu, biasanya disertai dengan hilangnya
variabilitas denyut jantung
 Janin serta tidak adanya akselerasi pada gerakan janin.
 Uji beban kontrkasi positif, menandakan adanya insufisiensi
uteroplasenter, dan kehamilan harus segera diakhiri, kecuali
bila belum terjadi maturasi paru janin
c) Mencurigakan (Suspicious), bila :
 Terdapat deselerasi lambat, tetapi tidak persisten dan tidak
konsisten
 Deselerasi lambat hanya terjadi bila terdapat uterus
hipertonis
 Bila dalam 10 menit, tidak negatif dan tidak positif
 Adanya deselerasi variabel pada oligohidramnion
 Adanya takikardia
 Bila hasilnya mencurigakan maka harus dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 1-2 hari
d) Tidak Memuaskan (Unsatisfactory) bila :
 Kontraksi uterus kurang dari 3 dalam 10 menit
 Pencatatan tidak baik, terutama pada akhir kontraksi
 Dalam hal ini demikian maka pemeriksaan harus diulang
pada hari berikutnya
e) Hiperstimulasi, bila ;
 Terjadi uterus kurang dari 3 dalam 10 menit
 Lama kontraksi 90 detik atau lebih
 Tonus basal uterus meningkat
Dalam hal demikian maka tetesan oksitosin harus dikurangi atau
dihentikan
5) CST
A. Definisi
Tes stres kontraksi (CST) dilakukan menjelang akhir kehamilan
(usia kehamilan 34 minggu) untuk menentukan seberapa baik janin dapat
mengatasi kontraksi persalinan . Tujuannya untuk menginduksi kontraksi
dan memantau janin untuk memeriksa kelainan detak jantung menggunakan
alat kardiotokograf . CST adalah salah satu jenis teknik pengawasan janin
antenatal.
Selama kontraksi rahim, oksigenasi janin memburuk. Deselerasi
lambat pada detak jantung janin yang terjadi selama kontraksi uterus
berhubungan dengan peningkatan angka kematian janin, keterbelakangan
pertumbuhan , dan depresi neonatal. Tes ini menilai detak jantung janin
sebagai respons terhadap kontraksi rahim melalui pemantauan janin
elektronik . Aktivitas uterus dipantau dengan tokodinamometer .

B. Penggunaan Medis
CST digunakan karena nilai prediksi negatifnya yang tinggi . Hasil
negatif sangat memprediksi kesejahteraan janin dan toleransi terhadap
persalinan. Tes ini memiliki nilai prediksi positif yang buruk dengan hasil
positif palsu sebanyak 30% kasus. CST positif menunjukkan risiko tinggi
kematian janin akibat hipoksia dan merupakan
kontraindikasi persalinan . Dokter kandungan pasien biasanya
mempertimbangkan persalinan operatif dalam situasi seperti itu.
C. Kontraindikasi
"Tes stres" ini biasanya tidak dilakukan jika terdapat tanda-
tanda kelahiran prematur , plasenta praevia , vasa praevia , inkompetensi
serviks , kehamilan ganda , operasi caesar klasik
sebelumnya . Kontraindikasi lain termasuk namun tidak terbatas pada
sayatan rahim sebelumnya dengan jaringan parut, miomektomi sebelumnya
yang memasuki rongga rahim, dan PROM . Setiap kontraindikasi terhadap
persalinan merupakan kontraindikasi terhadap CST.
D. Prosedur
CST dilakukan setiap minggu, karena janin dianggap sehat setelah
hasil tes negatif dan akan tetap sehat selama seminggu berikutnya. Tes ini
dilakukan di rumah sakit atau klinik. Monitor janin eksternal dipasang dan
kemudian stimulasi puting susu atau pitosin IV (oksitosin) digunakan untuk
merangsang kontraksi rahim.

6) Amniosintesis
Amniosintesis adalah pengeluaran cairan dari rongga amnion
dengan menggunakan jarum fungsi melalui dinding abdomen dan uterus
untuk tujuan mendapatkan cairan guna keperluan pemeriksaan.
Prosedur dilakukan di bawah pedoman ultrasonografi dengan
memasukkan jarum jenis spiral ukuran 20 sampai 22 secara
transabdominal untuk mengaspirasi cairan amnion sebanyak 5 sampai
20 ml sambil menghindari plasenta, tali pusat dan janin. Hasil aspirasi
awal yang berisi 1 atau 2 ml cairan dibuang untuk memperkecil
kemungkinan kontaminasi sel ibu dan kemudian setelah terkumpul kira
– kira 20 ml cairan jarum dikeluarkan.
Amniosintesis adalah tindakan aspirasi (pengambilan) cairan
amnion (ketuban) dengan pungsi melalui dinding perut, atau melalui
leher rahim. Amniosintesis baru dapat dikerjakan bila cairan amnion
(ketuban) sudah cukup banyak. Pada awal trimester II (14-18 minggu)
amniosintesis dilakukan untuk mendeteksi kelainan genetik dan
metabolik melalui pemeriksaan sitogenik (sel). Tindakan ini juga
dilakukan untuk memeriksa kadar alfa feto protein di dalam cairan
ketuban untuk mendeteksi adanya kelainan tertentu.
Setelah kehamilan 24 minggu (6 bulan) amniosintesis dilakukan
untuk mengukur kadar bilirubin, penentuan maturitas janin,
pemeriksaan mikrobiologik, dan pemeriksaan-pemeriksaan diagnostik
lainnya. Pada keadaan tertentu amniosintesis dapat dilakukan sebagai
pembantu therapi yaitu untuk menghilangkan tekanan mekanik dan
dekompresi. Amniosentesis yaitu memasukkan jarum berdiameter besar
ke dinding abdomen dan uterus sampai ke ketuban dan cairan amnion.
Cairan yang mengandung sel – sel janin diaspirasi. Sel – sel janin yang
diperoleh selanjutnya dikultur untuk mendeteksi abnormalitas
kromosom dan kariotipe sebagai salah satu metode diagnosa saat
pranatal. Sel – sel yang diperoleh dari cairan dibiakkan di laboratorium
sampai stadium pembelahan. Pada pembelahan inilah kromosomnya
dipelajari. Tempat penusukan diamati apakah ada perdarahan dan
pasien diperlihatkan denyut jantung janin yang berdenyut dan cairan
amnion yang tersisa pada akhir prosedur.
Sejumlah studi banyak rumah sakit telah mengkonfirmasi
keamanan tindakan ini serta keakuratan diagnostiknya yang lebih dari
99 persen. Komplikasi minor jarang terjadi dan mencakup perdarahan
pervaginam bebercak sesaat atau kebocoran cairan amnion pada 1
samapai 2 persen dan koriomnionitis pada kurang dari 1 per 1000.
cedera jarum pada janin jarang jika digunakan panduan ultrasonografi.
Kegagalan biakan sel juga jarang tetapi lebih mungkin terjadi kalau
janinnya abnormal. Angka keguguran adalah 0,5 persen atau lebih kecil
(1 per 200) .
kemungkianan beberapa keguguran disebabkan oleh kelainan yang
sudah ada sebelumnya dan memang pasti terjadi sekalipun tidak
dilakukan amniosintesis. Kelainan ini antara lain adalah solusio
plasenta, implantasi plasenta yang abnormal, anomaly uterus dan
infeksi. Biasanya dilakukan pada usia kehamilan 18-20 minggu.
Dilakukan per abdominal. Dilakukan aspirasi cairan amnion dengan
bantuan USG. Hanya beberapa operator yang berpengalaman yang
dapat melakukannya. Ketika masalah genetic dicurigai maka
amniosintesis dilakukan sesegera mungkin biasanya antara gestasi 16 –
20 minggu nuntuk memungkinkan studi tentang kariotip dan biokimia
untuk dilengkapi sebelum batas waktu dalam melakukan terminasi
kehamilan secara elektif.
Amniosintesis lanjut dalam kehamilan paling sering dilakukan
untuk mengkaji kesejahteraan dan maturitas janin. Pada kasus - kasus
isoimunisasi prosedur dapat dilakuikan berulang – ulang untuk
memantau kondisi janin. Amniosintesis biasanya dilakukan pada wanita
hamil yang berisiko tinggi, yaitu : · Wanita yang mempunyai keluarga
dekat menderita gangguan genetik. · Wanita berusia di atas 35 tahun. ·
Wanita yang memiliki hasil tes yang abnormal terhadap sindrom down
pada trimester pertama kehamilan. · Wanita yang memiliki hasil tes
abnormal terhadap alfaprotein, estriol, human chorionic gonadotropin,
dan hormon inhibin A. · Pemeriksaan USG menunjukkan adanya
kelainan. · Wanita dengan sensitisasi Rh. Walaupun sampai hari ini ada
bermacam-macam teknik digunakan untuk prediksi atau konfirmasi
pemeriksaan prenatal, pengambilan cairan dan se1-selnya melalui
uterus yang hamil masih merupakan pilihan yang Was digunakan.
Sampel yang diambil harus betul-betul jernih, dan sel-selnya dibiak
until mengetahui adanya aberasi kromosom, pemeriksaan bio-kimia
atau analisis DNA.
Sampel yang tercampur darah (bloody fluid) mungkin disebabkan
kerusakan plasenta; perubahan wama tertentu mungkin menandakan
adanya kematian janin. Semuanya sangat penting dipertimbangkan,
karena abortus spontan dapat setiap waktu terjadi bila bersamaan
dengan itu dilakukan amniosentesis. Di samping itu, semua keadaan ter-
sebut di atas sering menyebabkan kegagalan dalam proses pembiakan
jaringan.
Setelah sampel diambil, cairan dipusing. Supernatannya dapat
digunakan untuk analisis AFP atau biokimia tertentu; sedangkan
pellemya digunakan untuk analisis kromosom dan analisis DNA.
Sebagian besar tes prenatal, baik analisis kromosom mau-pun
biokimiawi membutuhkan pembiakan; dan tergantung dari jumlah dan
kualitas sel yang didapat, biasanya dibutuhkan waktu 2-3 minggu untuk
mendapatkan diagnosis dan kesimpulan yang pasti. Sangat penting
bahwa biakan tersebut dicek berulang kali untuk memastikan
pertumbuhan sel yang memuaskan. Bila tidak, mungkin diperlukan
pengambilan segera sampel ulangan, karena bila telah melewati usia
kehamilan tertentu tidak akan didapatkan cairan dan sel yang baik.
Sebelum mengirim pasien untuk pemeriksaan prenatal, hams dipastikan
bahwa ada fasilitas pemeriksaan prenatal yang akurat dan dapat
dipercaya.
Setelah itu, pasien yang akan men-jalani pemeriksaan prenatal
perlu mendapatkan konseling ge-netik supaya mendapatkan informasi
yang jelas tentang hal-hal yang akan dialami maupun basil tes yang
akan didapat. Amniosentesis biasanya dilakukan pada kehamilan 15--18
minggu; oleh dokter ahli kebidanan yang telah mendapat ke-ahlian
untuk aspirasi ini. Alphafetoprotein (AFP) yaitu hasil samping dari
metabolisme protein pada janin dan dapat diidentifikasi di serum ibu
dan dapat diukur dalam cairan amnion untuk membantu diagnosis
peninggian AFP darah ibu. Kehilangan kehamilan normal akibat
amniosentesis 1 : 100 Indikasi untuk Amniosentesis :
1) Pemeriksaan kariotipe ( keseluruhan karakteristik, termasuk
jumlah, ukuran dan bentuk kromosom serta
pengelompokkannya dalam nukleus sel ) berdasarkan pada
anamnesis keluarga, perorangan, umur ibu, risiko tinggi, atau
kelainan pada ultrasonik.
2) Penyakit hemolisis : penghancuran sel darah merah dan
pelepasan hemoglobin.
3) Kelainan saluran saraf
4) Gangguan metabolisme
5) Penentuan maturitas paru Prosedur pengambilan : Jarum
langsung dimasukkan melalui dinding perut ibu, menembus
uterus ibu melalui tuntunan USG. Melalui USG dapat
diketahui lokasi plasenta dan janin. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan pembiusan setempat tanpa hams rawat
tinggal di rumah sakit. Prosedur yang akan dilakukan dan
risiko yang mungkin terjadi akibat pengambilan ini perlu
dijelaskan pada pasien.
Risiko amniosentesis Keguguran/abortus : Diperkirakan sebesar
1%; pengulangan amniosentesis akan meningkatkan risiko ini (5--10%),
seperti halnya bila amniosen-tesis dikerjakan oleh orang yang tidak
trampil. R i s i k o ibu : Pada umumnya minimal; bila dikerjakan
dengan prinsip aseptik, risiko infeksi akan terhindarkan. Hasil dan
tindak lanjut : Pasangan pasien tersebut perlu diberitahu bahwa
diperlukan waktu sedikitnya 3 minggu untuk mendapatkan hasilnya,
dan untuk pengambilan ulang bisa terjadi.Pasien juga perlu diberi tabu,
bahwa kadang-kadang ditemukan juga kelainan yang sesungguhnya
tidakberhubungan dengan yang dicari (misalnya ada NTD pada
kehamilan yang dicurigai Down syndrome).
Pasien perlu juga diberi tabu tentang langkah-langkah
selanjutnya, bila temyata terjadi kegagalan kultur atau sebab-sebab
lainnya. Tindak Ian jut post natal juga penting, selain untuk mencek
kebenaran diagnosis prenatal kita, juga karena janin yang lahir mungkin
akan mempengaruhi risiko genetik pada kehamilan berikutnya.
Kesimpulannya, amniosentesis pada umumnya aman dan dapat
dipercaya, tetapi tetap tidak bebas sama sekali dari faktor risiko.
Penting sekali untuk digunakan dengan selektif dan tepat, dan
dijelaskan kepadapasangan pasiAn yang menginginkannya.
Beberapa manfaat pemeriksaan amniosintesis antara lain : ·
Mengetahui kelainan bawaan. · Mengetahui jenis kelamin bayi. ·
Mengetahui tingkat kematangan paru janin. · Mengetahui ada tidaknya
infeksi cairan amnion (korioamnionitis). Siapa yang dilakukan
Amniosintesis: (1) Usia kehamilan > 35 tahun, (2) Riwayat sebelumnya
Trisomy, (3) Orang tua kelainan kromosom, (4) Dijumpai kelainan pada
pemeriksaan USG Dari hasil pemeriksaan amniosintesis dapat diketahui
(1) Kelainan kromosom : Down syndrome, Turner syndrome, Edward's
syndrome dll (2) Kelainan genetik lain : Cystic fibrosis AR, Sickle cell
disease AD, Tay-Sachs disease AR, Thalasemia AD
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar
setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti
pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan
bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan
mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana
(Profil Kesehatan Indonesia, 2017).
Komplikasi dalam kasus kebidanan dapat terjadi diluar dugaan, meskipun
sesuatu yang telah dijalankan dengan rapih dan sempurna. Dengan pengetahuan
yang baik, penanganan persalinan yang hati-hati disertai dengan ketelitian yang
baik pula. Diharapkan kematian dan kesakitan ibu hamil dapat ditekan sekecil-
kecilnya.
B. Saran
Penyususn menyadari akankemampuan dan keterbatasan pengetahuan,
sehingga tentunya banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, penyususn mengharap penulis selanjutnya untuk melengkapi
kekurangan materi dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumya, terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ronald S. Gibbs; dkk., ed. (2008). Obstetri dan Ginekologi Danforth(Edisi ke-10). Filadelfia: Lippincott
Williams & Wilkins. P. 161.ISBN 9780781769372.
Asosiasi Perawat Kesehatan Wanita, Obstetri, dan Neonatal(2005). Audrey Lyndon; Linda Usher Ali
(ed.). Pemantauan Jantung Janin: Prinsip dan Praktik(Edisi ke-3rd). Dubuque, IA: Kendall/Hunt
PublishingCo.ISBN 978-0-7575-6234-1.

Anda mungkin juga menyukai