Disusun Oleh :
Kelompok 4 (Kelas
A)
Ananda Jumiar Hayatun (P20624423003)
Gita Suciawati (P20624423012)
Raitri Ajeng Rahmani (P20624423021)
Siti Romlah (P20624423030)
Wentyna Yulia Sanday (P20624423039)
5. Pihak-pihak terkait yang telah banyak membantu, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini, masih
jauh dari kesempurnaan baik dalam hal penulisan maupun tata Bahasa. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan pada umumnya. Aamiin
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
D. Manfaat Penulisan..............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
A. Persiapan Dan Kolaborasi Tindakan Operatif Kebidanan..................3
1. Ekstraksi vakum..........................................................................3
2. Seksio sesaria...............................................................................7
3. Kuretase ......................................................................................11
4. Penjahitan rupture perineum tingkat III dan IV..........................14
5. Pemantauan kesejahteraan janin melalui: USG, NST, CTG,
OCT, CST, Amniosintes.............................................................18
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang sangat perlu mendapatkan
prioritas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, karena ibu dan anak
merupakan kelompok rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara
umum. Sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan pelayanan kesehatan ibu
dan anak penting untuk dilakukan (Kemenkes RI, 2015).
Asuhan kebidanan berkelanjutan adalah pelayanan yang dicapai ketika
terjalin hubungan yang terus–menerus antara seorang wanita dengan bidan.
Tujuan asuhan komprehensif yang diberikan yaitu untuk memberikan asuhan
kebidanan komprehensif secara intensif kepada ibu selama masa kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir dan keluarga berencana sehingga mencegah agar
tidak terjadi komplikasi (Pratami, 2014).
Sebagai tolok ukur keberhasilan kesehatan ibu maka salah satu indikator
terpenting untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan disuatu wilayah adalah
dengan melihat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Masalah kesehatan Ibu dan Anak merupakan masalah internasional yang
penanganannya termasuk dalam SDGs (Sustainable Development Goals).
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar
setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti
pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan
bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan
mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana
(Profil Kesehatan Indonesia, 2017).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana melakukan persiapan dan kolaborasi tindakan operatif kebidanan:
1. Ekstraksi vakum
2. Kuretase
3. Seksio sesaria
4. Penjahitan rupture perineum tingkat III dan IV
1
5. Pemantauan kesejahteraan janin melalui: USG, NST, CTG, OCT, CST,
Amniosintes
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Kolaborasi Pada
Kasus Patologi Dan Komplikasi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana fenomena mitos-mitos tentang persalinan yan
g terjadi di masyarakat.
b. Untuk mengetahui apa saja anjuran dan larangan yang beredar di lingkunga
n masyarakat tentang mitos persalinan.
D. Manfaat Penulisan
1. Penulis
Penulis sebagai wahana penambah pengetahuan dan pemaparan pemikiran
mengenai pengembangan profesi bidan dalam asuhan kebidanan kolaborasi
pada kasus patologi dan komplikasi.
2. Pembaca
Pembaca sebagai media informasi perkembangan pengetahuan, informasi,
dan wawasan mengenai pengembangan profesi bidan dalam asuhan
kebidanan kolaborasi pada kasus patologi dan komplikasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Sectio Cesarea
a. Pengertian
Seksio Caesarea adalah kelahiran janin melalui insisi trans
abdomen pada uterus. (Bobak,Ledwig,Jensen, 2005, hal 801). Sectio
caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram (Sarwono, 2009)
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat
badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus
yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2006)
b. Indikasi Seksio Cesarea
1) Indikasi ibu :
a) Plasenta previa sentralis dan lateralis.
b) Panggul sempit dimana jenis panggul dengan konjungnatavera
kurang dari 8 cm bisa dipastikan tidak dapat melahirkan
dengan cara spontan.
c) Disproporsi sepalo pelvic yaitu ketidak mampuan kepala dan
panggul.
d) Distosiaservik
e) Pre eklamsi dan hipertensi
f) Mal presentasi janin
g) Partus lama
h) Distoksiaolehkarena tumor
i) Ruptur uteri yang mengancam
j) Pertimbangan lain yaitu ibu dengan resiko tinggi persalinan,
apabila telah mengalami seksiosesaria atau menjalani operasi
kandungan sebelumnya.
2) Indikasi janin
a) Gawat Janin
b) Janin besar
c. Kontra indikasi
1) Janin mati
2) Syok, akibat anemia berat yang belum diatasi
3) Kelainan congenital berat.
d. Jenis-jenis SC
1) Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di
segmen bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan
teknik melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini
adalah:
a) Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b) Bahaya peritonitis tidak besar.
c) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri
dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti
korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2) Sectio cecaria klasik atau section cecaria korporal
Pada sectio cecaria klasik ini di buat kepada korpus uteri,
pembedahan ini yang agak mudah dilakukan, hanya di
selenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan sectio
cecaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada segmen
atas uterus.
3) Sectio cecaria ekstra peritoneal
Section cecaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk
mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan
pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak
banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan
pada pasien infeksi uterin berat.
4) Section cesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
a) Atonia uteri
b) Plasenta accrete
c) Myoma uteri
d) Infeksi intra uteri berat
Gambar: Skema Insisi Abdomen dan Rahim (Sumber: Obgyn.net)
e. Komplikasi SC
1) Pada ibu
Infeksi Puerperium (Nifas) merupakan kenaikan suhu beberapa
hari dalam masa nipas, dibagi menjadi :
a) Ringan
b) Pendarahan
c) Trauma kandung kemih akibat kandung kemih yang terpotong
saat melakukan seksiosesaria
d) Endometritis yaitu infeksi atau peradangan pada endometrium
e) Resikoruptura uteri padakehamilan
2) Pada bayi
Hipoxia, depresi pernapsan, sindrom gawat pernapasan,
trauma persalinan.
3. Kuretase
a. Pengertian
Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat
kuretase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong
harus melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus,
keadaan serviks dan besarnya uterus gunanya untuk mencegah
terjadinya bahaya kecelakaan misanya perforasi (Sofian, 2011).
Pendekatan transerviks pada abortus bedah mensyaratkan bahwa
serviks mula mula harus dibuka (dilatasi) dan kemudian kehamilan di
evakuasi dengan mengerok keluar secara mekanis isi (kuretase tajam),
dengan mengisap keluar isi (kuretase hisap), atau keduanya. Namun
paling sering digunakan adalah kuret hisap tapi memerlukan kanula
kaku yang dihubungkan ke sumber vakum bertenaga listrik
(Cunningham, et al, 2014).
b. Tujuan Kuretase
Menurut Damayanti (2014) bahwa tujuan kuretase dibagi menjadi dua,
yaitu:
1) Kuret sebagai diagnostik suatu penyakit rahim Yaitu mengambil
sedikit jaringan lapis lendir rahim, sehingga dapat diketahui
penyebab dari perdarahan abnormal yang terjadi misalnya
perdarahan pervaginam yang tidak teratur, perdarahan hebat,
kecurigaan akan kanker endometriosis atau kanker rahim,
pemeriksaan kesuburan/fertilitas.
2) Kuret sebagai terapi, Bertujuan menghentikan perdarahan yang
terjadi pada keguguran kehamilan dengan cara mengeluarkan hail
kehamilan yang telah gagal berkembang, menghentikanperdarahan
akibat mioma dan polip dari dalam rongga rahim, menghentikan
perdarahan akibat gangguan hormone dengan cara mengeluarkan
lapisan dalam mengeluarkan lapisan dalam rahim misalnya kasus
keguguran, tertinggalnya sisa jaringan janin di dalam rahim setelah
proes persalinan, hamil anggur, menghilangkan polip rahim.
c. Manfaat Kuretase
Kuretase ini memiliki beberapa manfaat tidak hanya untuk calon ibu atau wanita
yang mengalami keguguran, namun juga beberapa hal lainnya untuk memeriksa
masalah atau Kesehatan pada rahim, diantaranya adalah:
1) Membersihkan rahim sesudah keguguran.
2) Mendiagnosa keadaan tertentu yang ada pada rahim.
3) Pendarahan pervaginam yang tidak teratur.
4) Membersihkan jaringan plasenta yang tersisa sesudah proses persalinan di
kemudian hari.
5) Menghilangkan blighted ovum atau tidak ada janin dalam kandung telur.
6) Hamil anggur
7) Menghindari rahim tidak bisa kontraksi karena pembuluh darah pada rahim
tidak menutup sehingga terjadi pendarahan.
8) Membersihkan sisa jaringan pada dinding rahim yang bisa menjadi tempat
kuman berkembang biak dan timbul infeksi.
d. Indikasi Kuretase
Menurut Supriyadi (1994), indikasi kuretase dibagi menjadi dua yaitu :
1) Diagnostik : Jaringan endometrium untuk diagnosis histologi
2) Terapeutik : Pengangkatan jaringan plasenta setelah abortus atau
melahirkan, mengangkat polip atau endometrium hiperplastik.
e. Prosedur Kuretase
Persiapan pasien sebelum kuretase adalah:
1) Puasa
Saat akan menjalani kuretase, biasanya ibu harus mempersiapkan dirinya.
Misal, berpuasa 4-6 jam sebelumnya. Tujuannya supaya perut dalam
keadaan kosong sehingga kuret bisa dilakukan dengan maksimal.
2) Persiapan psikologis
Setiap ibu memiliki pengalaman berbeda dalam menjalani kuret. Ada yang
bilang kuret sangat menyakitkan sehingga ia kapok untuk mengalaminya
lagi. Tetapi ada pula yang merasakan biasa saja, seperti halnya persalinan
normal, sakit tidaknya kuret sangat individual. Sebab, segi psikis sangat
berperan dalam menentukan hal ini. Bila ibu sudah ketakutan bahkan syok
lebih dulu sebelum kuret, maka munculnya rasa sakit sangat mungkin terjadi
karena rasa takut akan menambah kuat rasa sakit. Bila ketakutannya begitu
luar biasa, maka obat bius yang diberikan bisa tidak mempan karena secara
psikis rasa takutnya udah bekerja lebih dahulu.
f. Teknik Kuretase
1) Menentukan Letak Rahim
Yaitu dengan melakukan pemeriksaan dalam dengan menggunakan alat-
alat yang ummnya terbuat dari metal dan biasanya melengkung. Karena itu
alat-alat tersebut harus dimasukkan sesuai dengan letak rahim. Tujuannya
supaya tidak terjadi salah arah (fase route) dan perforasi.
2) Penduga rahim (sondage)
Yaitu dengan memasukkan penduga rahim sesuai dengan letak rahim dan
tentukan panjang atau dalamnya penduga rahim. Caranya adalah, setelah
ujung penduga Rahim membentur fundus uteri, telunjuk tangan kanan
diletakkan atau dipindahkan pada portio dan tariklah sonde keluar, lalu
baca berapa cm dalamnya rahim.
3) Kuretase
Pada teknik ini harus memakai sendok kuret yang cukup besar. Jangan
memasukkan sendok kuret dengan kekuatan, dan pengerokan biasanya
dimulai di bagian tengah. Memakai sendok kuret yang tajam (ada tanda
bergerigi) lebih efektif dan lebih terasa sewaktu melakukan kerokan pada
dinding Rahim dalam (seperti bunyi mengukur kelapa). Dengan demikian,
kita tahu bersih atau tidaknya hasil kerokan (Sofian, 2011).
4) Kuretase dengan cara penyedotan (suction curretage)
Setelah diadakan persiapan seperlunya dan letak serta besarnya uterus
ditentukan dengan pemeriksaan bimanual, bibir depan serviks dipegang
dengan cunam serviks, dan sonde uterus dimasukkan untuk mengetahui
panjang dan jalanya kavum uteri. Anastesi umum dengan penthoal sodium,
atau anastesia percervikal block dilakukan dan 5 satuan oksitosin
disuntikkan pada korpus uteri dibawah kandung kencing dekat pada
perbatasanya pada serviks.
g. Komplikasi Kuretase
1) Perforasi
Dalam melakukan dilatasi dan kerokan harus diingat bahwa selalu ada
kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus yang dapat menjurus ke
rongga peritoneum, ke rongga peritoneum, ke ligatum latum, atau ke
kandung kencing. Bahaya perforasi adalah perdarahan dan peritonitis.
Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, maka penderita
harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum nadi,
tekanan darah, kenaikan suhu, turunya hemoglobin dan keadaan perut
bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya
dilakukan laparotomi percobaan dengan segera.
2) Luka pada serviks uteri
Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksaan maka dapat timbul
robekan pada serviks dan perlu dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium
uteri internum, maka akibat yang segera timbul adalah perdarahan yang
memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka
panjang ialah kemungkinan timnulnya incompetent cervik.
3) Perlekatan dalam kavum uteri
Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa
hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan sampai terkerok, karena hal
itu dapat menyebabkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di
beberapa tempat.Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila
tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
4) Perdarahan
Kerokan pada kehamilan agak tua atau pada molahidatidosa ada bahaya
perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya diselenggarakan transfusi
darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan tampon kassa kedalam
uterus dan vagina (Prawirohardjo, 2007).
b. Anatomi Perineum
Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu daerah
diantara vagina dan anus yang terbentuk dari gabungan otot-otot membrana
perineal yaitu otot bulbo kavernosus, otot tranversus perinealis superfisialis dan
profundus, disertai otot pubo rektalis yang merupakan bagian dari otot levator
ani dan otot sfingter ani eksterna. Daerah ini mendapat suplai darah dari cabang-
cabang arteri pudenda interna dan mendapatkan persarafan sensoris dan motoris
dari nervus pudendus.
Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan akan
berkurang pada kondisi prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada keadaan
terjadinya robekan perineum pasca persalinan yang tidak dikelola dengan baik.
Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar yang menyebabkan
robeknya atau disrupsi otot-otot yang membentuk perineum terutama levator ani
dan sfingter ani maka akan terjadi gangguan defekasi berupa inkontinensia fekal
yang derajat beratnya bervariasi. Selain itu dapat pula terjadi gangguan seksual,
keputihan dan infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Diagnosis
Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berrisiko terjadi robekan
perineum yang berat seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vacuum
dan forceps), oksiput posterior, distosia bahu, bayi besar, dan episiotomi
mediana, kita harus waspada akan terjadinya robekan perineum derajat III-IV.
Oleh karena itu pasca persalinan harus dinilai benar robekan perineum yang
terjadi. Tindakan colok dubur dan pemaparan yang baik sangat membantu untuk
mendiagnosis derajat robekan perineum yang terjadi. Sultan dan kawan-kawan
melaporkan terjadinya defek pada sfingter ani eksterna maupun interna berkisar
15-44% pada evaluasi USG endoanal pasien-pasien pasca perbaikan rupture
perineum derajat III dan IV. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah
diagnosis substandar dalam penentuan derajat robekan sebelum perbaikan.
d. Klasifikasi Derajat Robekan Perineum
Derajat robekan perineum akut pasca persalinan menurut Sultan dibagi menjadi
4 derajat, yaitu :
Derajat I : robekan hanya mengenai mukosa vagina dan kulit perineum
Derajat II : robekan yang lebih dalam mencapai otot-otot perineum tetapi
tidak melibatkan otot-otot sfingter ani
Derajat III : robekan sudah melibatkan otot sfingter ani, dibagi menjadi 3 sub
grup, yaitu
III a :robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III b :robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III c :robekan sampai mengenai otot sfingter ani interna
Derajat IV : robekan sampai ke mukosa anus
Button hole tear : Sfingter intak namun mukosa anus terkena
e. Prinsip Repair Perineum ( Junizaf )
1) Jahit secepat mungkin à mengurangi risiko perdarahan dan infeksi
2) Periksa peralatan dan hitung kassa sebelum dan sesudah tindakan
3) Beri penerangan/lampu yang baik à identifikasi dan melihat jaringan yang
terlibat
4) Tanyakan pada orang yang lebih berpengalaman bila ragu dalam
menentukan struktur jaringan yang terlibat
5) Trauma yang sulit lebih baik dilakukan oleh operator yang lebih
berpengalaman dalam anestesi umum maupun regional di kamar operasi ,
dan pasang kateter urin 24 jam pasca tindakan
6) Lakukan penjahitan sesuai anatomi awal untuk mendapatkan hasil kosmetik
yang baik
7) Lakukan pemeriksaan rektal touche setelah penjahitan selesai untuk
memastikan tidak ada materi benang yang tidak sengaja masuk pada
mukosa rektum
8) Setelah selesai melakukan repair, informasikan pada pasien mengenai luka
dan perluasannya, diskusikan tentang penghilang nyeri, diet, hygiene dan
pentingnya latihan untuk mendukung pelvis
Repair mukosa rektum dengan jahitan satu-satu atau continues, cara tradisional
benang (poliglaktin910) tidak menembus mukosa rektum untuk mencegah fistula.
f. Perawatan Pasca Penjahitan Derajat Tinggi ( Junizaf )
1) Pasang Foley Catheter menetap minimal 1 x 24 jam karena nyeri perineum dan
periuretra yang bengkak dapat menimbulkan retensio urine
2) Pemberian Analgetik adekuat (nonsteroid anti inflamatory à ibuprofen)
3) Kompres es dapat digunakan untuk mengurangi edema dan nyeri postpartum
g. Perawatan Pasca Penjahitan :
1) Pemberian antibiotik spektrum luas (Cefuroxim 1,5gr) dan metronidazol à
evidence level IV
– Antibiotik untuk cegah infeksi yang resiko tinggi inkontinensia fekal
dan fistula rektovaginal
– Metronidazol untuk melindungi kontaminasi kuman anaerob dari anus
2) Pemberian Laksatif atau Pencahar selama 10-14 hari àevidence level IV
– Gunanya untuk mencegah terjadinya konstipasi sehingga terlepasnya
jahitan
3) Program rehabilitasi otot dasar panggul dilakukan setelah 3 hari pasca penjahitan
(individual sesuai rekomendasi fisioterapis)
4) Rujuk ke ahlinya (bedah digestif/uroginekologis) untuk evaluasi setelah 3 bulan
pasca melahirkan (apakah perlu pengobatan lanjutan/perbaikan sfingter)
5) Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal
6) Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol
BAB yang sulit, maka segera kontrol
7) Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali
normal
8) Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol
BAB yang sulit maka segera kontrol
9) Setelah 12 minggu perlu dinilai integritas sfingter ani dengan alat ultrasound
endoanal dan manometri anal
b. Cara Pemeriksaan
USG dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Pervaginam
1) Memasukkan probe USG transvaginal/ seperti melakukan
pemeriksaan dalam
2) Dilakukan pada kehamilan dibawah 8 minggu
3) Lebih mudah dan tidak perlu menahan kencing
4) Lebih jelas karena lebih dekat dengan Rahim
5) Daya tembusnya 8-10 cm dengan resolusi tinggi
6) Tidak menyebabkan keguguran
2. Perabdominan
a. Biasa dilakukan kehamilan lebih dari 12 minggu
c. Patofisiologi
Aktifitas dinamika jantung dipengaruhi oleh system saraf otonom
yaitu simpatis dan parasimpatis. Bunyi jantung dasar dan variabilitas
dari jantung janin normal terjadi bila oksigenasi jantung normal. Bila
cadangan plasenta untuk nutrisi (oksigen) cukup, maka stress intrinsic
(gerakan janin) akan menghasilkan akselerasi bunyi jantung janin, dan
stress ekstrinsik (kontraksi Rahim) tidak akan mengakibatkan
deselerasi.
d. Cara Melakukan
a) Persiapan tes tanpa kontraksi
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari 2 jam setelah sarapan
dan tidak boleh diberikan sedative.
b) Prosedur pelaksanaan
1) Pasien dibaringkan secara semi fowler 45 derajat miring ke kiri.
2) Tekanan darah diukur setiap 10 menit.
3) Dipasang kardio dan tokodinamometer.
4) Frekuensi jantung janin dicatat.
3) CTG (CARDIOTOKOGRAFI)
a. Pengertian
Cardiotokografi (CTG) merupakan salah satu alat elektronik yang
digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan
hipoksia janin, seberapa jauh gangguan tersebut, dan menentukan
tindak lanjut dari hasil pemeriksaan tersebut melalui penilaian pola
denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi
ataupun aktifitas janin.
1) DJJ basal (basal fetal heart rate), yaitu frekuensi dasar (baseline rate)
(rileksasi).
o Hipoksia janin
o Ibu hipertiroid
o Takhiaritmia janin
o Hipotermi janin
o Bradiaritmia janin
CTG, normalnya antara 2-3 dpm. Biasanya ini akan tampak hilang
naik turunnya gafik pada rekaman CTG, rata-rata siklusnya 3-6 kali
diantaranya:
gambaran sinusoidal.
Anemia kronik
Fetal eritroblastosis
Rh-sensitized
terjadi saat ada gerakan janin atau kontraksi uterus. Timbulnya adalah
a) Akselerasi
reaktif.
rekaman 20 menit.
b) Deselerasi
reflex vagal.
bentuknya.
Biasanya terjadi akselerasi sebelum dan sesudah
terjadinya deselerasi.
diperlukan
uterus dimulai
uterus menghilang
Gambar 9. Contoh hasil perekaman CTG, A; DJJ, B; Gerakan janin yang dirasakan ibu,
B. Penggunaan Medis
CST digunakan karena nilai prediksi negatifnya yang tinggi . Hasil
negatif sangat memprediksi kesejahteraan janin dan toleransi terhadap
persalinan. Tes ini memiliki nilai prediksi positif yang buruk dengan hasil
positif palsu sebanyak 30% kasus. CST positif menunjukkan risiko tinggi
kematian janin akibat hipoksia dan merupakan
kontraindikasi persalinan . Dokter kandungan pasien biasanya
mempertimbangkan persalinan operatif dalam situasi seperti itu.
C. Kontraindikasi
"Tes stres" ini biasanya tidak dilakukan jika terdapat tanda-
tanda kelahiran prematur , plasenta praevia , vasa praevia , inkompetensi
serviks , kehamilan ganda , operasi caesar klasik
sebelumnya . Kontraindikasi lain termasuk namun tidak terbatas pada
sayatan rahim sebelumnya dengan jaringan parut, miomektomi sebelumnya
yang memasuki rongga rahim, dan PROM . Setiap kontraindikasi terhadap
persalinan merupakan kontraindikasi terhadap CST.
D. Prosedur
CST dilakukan setiap minggu, karena janin dianggap sehat setelah
hasil tes negatif dan akan tetap sehat selama seminggu berikutnya. Tes ini
dilakukan di rumah sakit atau klinik. Monitor janin eksternal dipasang dan
kemudian stimulasi puting susu atau pitosin IV (oksitosin) digunakan untuk
merangsang kontraksi rahim.
6) Amniosintesis
Amniosintesis adalah pengeluaran cairan dari rongga amnion
dengan menggunakan jarum fungsi melalui dinding abdomen dan uterus
untuk tujuan mendapatkan cairan guna keperluan pemeriksaan.
Prosedur dilakukan di bawah pedoman ultrasonografi dengan
memasukkan jarum jenis spiral ukuran 20 sampai 22 secara
transabdominal untuk mengaspirasi cairan amnion sebanyak 5 sampai
20 ml sambil menghindari plasenta, tali pusat dan janin. Hasil aspirasi
awal yang berisi 1 atau 2 ml cairan dibuang untuk memperkecil
kemungkinan kontaminasi sel ibu dan kemudian setelah terkumpul kira
– kira 20 ml cairan jarum dikeluarkan.
Amniosintesis adalah tindakan aspirasi (pengambilan) cairan
amnion (ketuban) dengan pungsi melalui dinding perut, atau melalui
leher rahim. Amniosintesis baru dapat dikerjakan bila cairan amnion
(ketuban) sudah cukup banyak. Pada awal trimester II (14-18 minggu)
amniosintesis dilakukan untuk mendeteksi kelainan genetik dan
metabolik melalui pemeriksaan sitogenik (sel). Tindakan ini juga
dilakukan untuk memeriksa kadar alfa feto protein di dalam cairan
ketuban untuk mendeteksi adanya kelainan tertentu.
Setelah kehamilan 24 minggu (6 bulan) amniosintesis dilakukan
untuk mengukur kadar bilirubin, penentuan maturitas janin,
pemeriksaan mikrobiologik, dan pemeriksaan-pemeriksaan diagnostik
lainnya. Pada keadaan tertentu amniosintesis dapat dilakukan sebagai
pembantu therapi yaitu untuk menghilangkan tekanan mekanik dan
dekompresi. Amniosentesis yaitu memasukkan jarum berdiameter besar
ke dinding abdomen dan uterus sampai ke ketuban dan cairan amnion.
Cairan yang mengandung sel – sel janin diaspirasi. Sel – sel janin yang
diperoleh selanjutnya dikultur untuk mendeteksi abnormalitas
kromosom dan kariotipe sebagai salah satu metode diagnosa saat
pranatal. Sel – sel yang diperoleh dari cairan dibiakkan di laboratorium
sampai stadium pembelahan. Pada pembelahan inilah kromosomnya
dipelajari. Tempat penusukan diamati apakah ada perdarahan dan
pasien diperlihatkan denyut jantung janin yang berdenyut dan cairan
amnion yang tersisa pada akhir prosedur.
Sejumlah studi banyak rumah sakit telah mengkonfirmasi
keamanan tindakan ini serta keakuratan diagnostiknya yang lebih dari
99 persen. Komplikasi minor jarang terjadi dan mencakup perdarahan
pervaginam bebercak sesaat atau kebocoran cairan amnion pada 1
samapai 2 persen dan koriomnionitis pada kurang dari 1 per 1000.
cedera jarum pada janin jarang jika digunakan panduan ultrasonografi.
Kegagalan biakan sel juga jarang tetapi lebih mungkin terjadi kalau
janinnya abnormal. Angka keguguran adalah 0,5 persen atau lebih kecil
(1 per 200) .
kemungkianan beberapa keguguran disebabkan oleh kelainan yang
sudah ada sebelumnya dan memang pasti terjadi sekalipun tidak
dilakukan amniosintesis. Kelainan ini antara lain adalah solusio
plasenta, implantasi plasenta yang abnormal, anomaly uterus dan
infeksi. Biasanya dilakukan pada usia kehamilan 18-20 minggu.
Dilakukan per abdominal. Dilakukan aspirasi cairan amnion dengan
bantuan USG. Hanya beberapa operator yang berpengalaman yang
dapat melakukannya. Ketika masalah genetic dicurigai maka
amniosintesis dilakukan sesegera mungkin biasanya antara gestasi 16 –
20 minggu nuntuk memungkinkan studi tentang kariotip dan biokimia
untuk dilengkapi sebelum batas waktu dalam melakukan terminasi
kehamilan secara elektif.
Amniosintesis lanjut dalam kehamilan paling sering dilakukan
untuk mengkaji kesejahteraan dan maturitas janin. Pada kasus - kasus
isoimunisasi prosedur dapat dilakuikan berulang – ulang untuk
memantau kondisi janin. Amniosintesis biasanya dilakukan pada wanita
hamil yang berisiko tinggi, yaitu : · Wanita yang mempunyai keluarga
dekat menderita gangguan genetik. · Wanita berusia di atas 35 tahun. ·
Wanita yang memiliki hasil tes yang abnormal terhadap sindrom down
pada trimester pertama kehamilan. · Wanita yang memiliki hasil tes
abnormal terhadap alfaprotein, estriol, human chorionic gonadotropin,
dan hormon inhibin A. · Pemeriksaan USG menunjukkan adanya
kelainan. · Wanita dengan sensitisasi Rh. Walaupun sampai hari ini ada
bermacam-macam teknik digunakan untuk prediksi atau konfirmasi
pemeriksaan prenatal, pengambilan cairan dan se1-selnya melalui
uterus yang hamil masih merupakan pilihan yang Was digunakan.
Sampel yang diambil harus betul-betul jernih, dan sel-selnya dibiak
until mengetahui adanya aberasi kromosom, pemeriksaan bio-kimia
atau analisis DNA.
Sampel yang tercampur darah (bloody fluid) mungkin disebabkan
kerusakan plasenta; perubahan wama tertentu mungkin menandakan
adanya kematian janin. Semuanya sangat penting dipertimbangkan,
karena abortus spontan dapat setiap waktu terjadi bila bersamaan
dengan itu dilakukan amniosentesis. Di samping itu, semua keadaan ter-
sebut di atas sering menyebabkan kegagalan dalam proses pembiakan
jaringan.
Setelah sampel diambil, cairan dipusing. Supernatannya dapat
digunakan untuk analisis AFP atau biokimia tertentu; sedangkan
pellemya digunakan untuk analisis kromosom dan analisis DNA.
Sebagian besar tes prenatal, baik analisis kromosom mau-pun
biokimiawi membutuhkan pembiakan; dan tergantung dari jumlah dan
kualitas sel yang didapat, biasanya dibutuhkan waktu 2-3 minggu untuk
mendapatkan diagnosis dan kesimpulan yang pasti. Sangat penting
bahwa biakan tersebut dicek berulang kali untuk memastikan
pertumbuhan sel yang memuaskan. Bila tidak, mungkin diperlukan
pengambilan segera sampel ulangan, karena bila telah melewati usia
kehamilan tertentu tidak akan didapatkan cairan dan sel yang baik.
Sebelum mengirim pasien untuk pemeriksaan prenatal, hams dipastikan
bahwa ada fasilitas pemeriksaan prenatal yang akurat dan dapat
dipercaya.
Setelah itu, pasien yang akan men-jalani pemeriksaan prenatal
perlu mendapatkan konseling ge-netik supaya mendapatkan informasi
yang jelas tentang hal-hal yang akan dialami maupun basil tes yang
akan didapat. Amniosentesis biasanya dilakukan pada kehamilan 15--18
minggu; oleh dokter ahli kebidanan yang telah mendapat ke-ahlian
untuk aspirasi ini. Alphafetoprotein (AFP) yaitu hasil samping dari
metabolisme protein pada janin dan dapat diidentifikasi di serum ibu
dan dapat diukur dalam cairan amnion untuk membantu diagnosis
peninggian AFP darah ibu. Kehilangan kehamilan normal akibat
amniosentesis 1 : 100 Indikasi untuk Amniosentesis :
1) Pemeriksaan kariotipe ( keseluruhan karakteristik, termasuk
jumlah, ukuran dan bentuk kromosom serta
pengelompokkannya dalam nukleus sel ) berdasarkan pada
anamnesis keluarga, perorangan, umur ibu, risiko tinggi, atau
kelainan pada ultrasonik.
2) Penyakit hemolisis : penghancuran sel darah merah dan
pelepasan hemoglobin.
3) Kelainan saluran saraf
4) Gangguan metabolisme
5) Penentuan maturitas paru Prosedur pengambilan : Jarum
langsung dimasukkan melalui dinding perut ibu, menembus
uterus ibu melalui tuntunan USG. Melalui USG dapat
diketahui lokasi plasenta dan janin. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan pembiusan setempat tanpa hams rawat
tinggal di rumah sakit. Prosedur yang akan dilakukan dan
risiko yang mungkin terjadi akibat pengambilan ini perlu
dijelaskan pada pasien.
Risiko amniosentesis Keguguran/abortus : Diperkirakan sebesar
1%; pengulangan amniosentesis akan meningkatkan risiko ini (5--10%),
seperti halnya bila amniosen-tesis dikerjakan oleh orang yang tidak
trampil. R i s i k o ibu : Pada umumnya minimal; bila dikerjakan
dengan prinsip aseptik, risiko infeksi akan terhindarkan. Hasil dan
tindak lanjut : Pasangan pasien tersebut perlu diberitahu bahwa
diperlukan waktu sedikitnya 3 minggu untuk mendapatkan hasilnya,
dan untuk pengambilan ulang bisa terjadi.Pasien juga perlu diberi tabu,
bahwa kadang-kadang ditemukan juga kelainan yang sesungguhnya
tidakberhubungan dengan yang dicari (misalnya ada NTD pada
kehamilan yang dicurigai Down syndrome).
Pasien perlu juga diberi tabu tentang langkah-langkah
selanjutnya, bila temyata terjadi kegagalan kultur atau sebab-sebab
lainnya. Tindak Ian jut post natal juga penting, selain untuk mencek
kebenaran diagnosis prenatal kita, juga karena janin yang lahir mungkin
akan mempengaruhi risiko genetik pada kehamilan berikutnya.
Kesimpulannya, amniosentesis pada umumnya aman dan dapat
dipercaya, tetapi tetap tidak bebas sama sekali dari faktor risiko.
Penting sekali untuk digunakan dengan selektif dan tepat, dan
dijelaskan kepadapasangan pasiAn yang menginginkannya.
Beberapa manfaat pemeriksaan amniosintesis antara lain : ·
Mengetahui kelainan bawaan. · Mengetahui jenis kelamin bayi. ·
Mengetahui tingkat kematangan paru janin. · Mengetahui ada tidaknya
infeksi cairan amnion (korioamnionitis). Siapa yang dilakukan
Amniosintesis: (1) Usia kehamilan > 35 tahun, (2) Riwayat sebelumnya
Trisomy, (3) Orang tua kelainan kromosom, (4) Dijumpai kelainan pada
pemeriksaan USG Dari hasil pemeriksaan amniosintesis dapat diketahui
(1) Kelainan kromosom : Down syndrome, Turner syndrome, Edward's
syndrome dll (2) Kelainan genetik lain : Cystic fibrosis AR, Sickle cell
disease AD, Tay-Sachs disease AR, Thalasemia AD
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar
setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti
pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan
bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan
mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana
(Profil Kesehatan Indonesia, 2017).
Komplikasi dalam kasus kebidanan dapat terjadi diluar dugaan, meskipun
sesuatu yang telah dijalankan dengan rapih dan sempurna. Dengan pengetahuan
yang baik, penanganan persalinan yang hati-hati disertai dengan ketelitian yang
baik pula. Diharapkan kematian dan kesakitan ibu hamil dapat ditekan sekecil-
kecilnya.
B. Saran
Penyususn menyadari akankemampuan dan keterbatasan pengetahuan,
sehingga tentunya banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, penyususn mengharap penulis selanjutnya untuk melengkapi
kekurangan materi dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumya, terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ronald S. Gibbs; dkk., ed. (2008). Obstetri dan Ginekologi Danforth(Edisi ke-10). Filadelfia: Lippincott
Williams & Wilkins. P. 161.ISBN 9780781769372.
Asosiasi Perawat Kesehatan Wanita, Obstetri, dan Neonatal(2005). Audrey Lyndon; Linda Usher Ali
(ed.). Pemantauan Jantung Janin: Prinsip dan Praktik(Edisi ke-3rd). Dubuque, IA: Kendall/Hunt
PublishingCo.ISBN 978-0-7575-6234-1.