Anda di halaman 1dari 32

2 WAHID FOUNDATION

Penyusun
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Alamsyah M Dja’far

Editor Bahasa
Gamal Ferdhi
Libasuttaqwa

Ketua Panitia Halaqah


Siti Kholishoh

Tim Ahli Halaqah Ulama Perempuan


KH. Husein Muhammad
Dr. Abdul Moqsith Ghazali
Dr. Ahmad Rumadi
Dr. Hj. Mursyidah Thahir, MA.
Nyai. Hj. Drs. Badriyah Fayumi, Lc., MA,
Yayah Khizbiyyah, MA

Perancang Grafis Buku


Andang Kelana


Diterbitkan oleh
Wahid Foundation
Jl. Taman Amir Hamzah No. 8
Jakarta - 10320
Indonesia
-
telp: (62) 21-3928233 / (62) 21-3145671
Faks: +62 21-3928250
info@wahidfoundation.org
www.wahidfoundation.org

Terbit Januari 2019

Bercadar Dalam Islam: Sejarah Penggunaan Cadar, Hukum Mewajibkan Cadar Kepada Perempuan,
Sikap Menghadapi Pihak yang Mewajibkan Bercadar.
Jakarta: Wahid Foundation
32 halaman isi, 12,5 cm x 19,6 cm
DAFTAR ISI

Pengantar 4

Membicarakan Hukum Bercadar 6
Bagaimana Sejarah Penggunaan Cadar dalam Islam? 10
Hukum Mewajibkan Cadar Kepada Perempuan 15
Bagaimana Hukum Mewajibkan Cadar Kepada Perempuan? 15
Memahami “yang Biasa Terlihat” 16
Aurat Perempuan dalam Madzhab Syâfi’i 21
Kesimpulan Hukum Bercadar 26
Bagaimana Sikap Ketika Menghadapi Orang atau Pihak yang
Mewajibkan Bercadar? 27

Peserta Forum Bahtsul Masa’il Halaqah Perempuan untuk Perdamaian 29
4 WAHID FOUNDATION

PENGANTAR

Menurut mayoritas ulama (jumhûr al-‘ulamâ`),penggunaan cadar


(niqâb) tidak wajib. Alasannya karena wajah bukan termasuk aurat
perempuan. Bahkan kalangan ulama Mâlikiyyah menyatakan mengenakan
cadar merupakan sikap berlebihan dalam beragama (ghuluw) jika memang
cadar tersebut bukan merupakan tradisi mereka.
Meski demikian, terdapat tiga pandangan yang berbeda dalam melihat
permasalahan ini, yaitu menyatakan menggunakan cadar wajib, sunnah,
dan khilâf al-awla (menyalahi keutamaan). Menggunakan cadar juga tidak
sepenuhnya bertentangan dengan hukum Islam (fikih), namun menjadi
bertentangan jika penggunaan cadar justru menimbulkan fitnah, inklusi
dan segregasi sosial.
Ini merupakan salah satu hasil Bahtsul Masa’il Halaqah Perempuan
untuk Perdamaian yang digelar Wahid Foundation bekerjasama dengan
organisasi perempuan Nahdlatul Ulama, Muslimat NU pada 30 - 31 Januari
2018 di Jakarta.
Buku saku di hadapan Anda ini merupakan hasil dari forum yang
dihadiri sekitar 59-an ulama dan akademisi perempuan dan laki-laki dari
seluruh Indonesia menjadi. Sengaja disajikan ulang dengan bahasa yang
lebih mudah dipahami masyarakat muslim secara lebih luas disertai dengan
perkembangan dewasa ini.
Buku ini kami harapkan bisa menjadi pegangan siapa saja yang ingin
mengatahui bukan hanya hukum bercadar dalam Islam, tetapi juga sejarah,
termasuk sikap dalam menghadapi mereka yang mewajibkan cadar.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 5

Kami berterima kasih kepada para penyusun naskah buku ini, termasuk
tim ahli yang memperkaya hasil bahstul masail. Tentu saja ucapan terima
kasih juga kami sampaikan kepada para peserta Bahstul Masail yang telah
mencurahakanpikiran dan waktunya untuk menghasilkan pandangan
keagamaan yang penting bagi panduan masyarakat muslim ini.
Semoga ini semua berkontribusi bagi perkembangan umat Islam di
masa-masa mendatang.

Rumah Pergerakan Gus Dur


Desember 2018
6 WAHID FOUNDATION

MEMBICARAKAN
HUKUM BERCADAR

Belakangan ini, di kota-kota besar, juga sebagian kampung pinggiran kota,


jamak ditemui perempuan-perempuan muda berbusana menutup seluruh
tubuh hingga kaki bahkan ditimpali dengan cadar, penutup wajah yang
hanya menampakan mata. Dalam kosakata Arab, gaya busana ini disebut
niqâb.
Beberapa selebritis perempuan yang sebelumnya tidak mengenakan
penutup kepala seperti jilbâb atau kerudung kemudian berubah tampilan
dengan memakai cadar. Seolah ingin mentradisikan gaya busana tersebut,
awal Januari 2017 didirikan Niqab Squad, komunitas pengguna niqâb yang
digagas oleh seorang desainer terkenal. Latar belakang anggota komunitas
ini beragam : dokter, pengusaha, atau pengacara. Komunitas ini mengklaim
memiliki anggota ribuan orang.1
Tapi, tidak semua orang menggunakan cadar lantaran alasan keagamaan.
Sebagian mereka melakukannya karena alasan pragmatis, menutupi identitas
mereka. 2 Ada pula pengguna cadar yang berupaya mengenyahkan stigma
ekslusif dan “gak gaul”. Merekapun menyulap niqâb agar tampak fashionable
dengan cadar dan baju yang warna-warni. 3 Sementara yang memilih karena
alasan keagamaan menganggap, bahwa ini kewajiban agama dan contoh
muslimah yang kâffah. Bagi mereka bercadar dianggap sebagai bentuk

1
Lihat halaman daring komunitas Niqab Squad http://niqâbsquad.com/ dan https://m.detik.com/
wolipop/read/2017/07/26/160355/3574754/1632/mengenal-niqâb-squad-komunitas-para-wanita-
bercadar-di-indonesia.
2
http://news.liputan6.com/read/3235074/menyingkap-hidup-di-balik-cadar
3
https://wolipop.detik.com/read/2017/05/10/125240/3497471/1632/foto-gaya-stylish-wardah-
maulina-hijabers-bercadar-populer-di-instagram
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 7

“hijrah”, pindah dari kehidupan yang buruk kepada yang baik.


Namun fakta di lapangan ada juga perempuan yang berpindah menjadi
tidak bercadar. Sebagian tenaga kerja perempuan Indonesia dari Timur
Tengah biasanya melepas cadar setelah kembali ke Tanah Air. Padahal di
negara tempat mereka bekerja, para perempuan itu berpakaian tertutup.
Bahkan banyak juga perempuan Arab yang melepas cadar saat plesir ke
Indonesia.
Penggunaan cadar kian menjadi sorotan setelah meningkatnya kasus-
kasus terorisme. Pakaian itu dikesankan dekat dengan pelaku terorisme,
setidaknya dianggap kelompok masyarakat yang tertutup atau eksklusif.
Beberapa negara Barat bahkan mengambil kebijakan membatasi penggunaan
cadar di ruang publik. Sejumlah laporan media menyebut para pengguna
cadar di Indonesia, juga mengaku mengalami pandangan negatif atas cadar
yang mereka kenakan.
Uniknya fenomena pro-kontra penggunaan cadar ini telah meruyak
di Maladewa, negara kepulauan di Samudera Hindia dengan penduduk
98 persen Muslim Sunni yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai
penunjang perekonomian. Seperti dikisahkan Ibrâhim Ahmed, Wakil
Menteri Agama Maladewa yang datang ke Indonesia pada Oktober 2017.Ia
mengatakan, kini negara tersebut menghadapi perdebatan apakah perempuan
harus bercadar atau tidak. Padahal sebelumnya, menggunakan niqâb atau
tidak bukan menjadi permasalahan. Dulu kebanyakan perempuan Maladewa
mengenakan kerudung seperti perempuan Indonesia berkerudung. 4
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cadar diartikan kain
penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Tapi juga dapat berarti kain
penutup meja; alas meja; seprai (untuk kasur). Selain berarti memakai cadar,
bercadar bisa berarti bertirai atau bertabir. Dalam bahasa Arab, cadar disebut
dengan niqâb, penutup muka perempuan. Bentuk penutup muka ini umum
digunakan oleh perempuan di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Yaman,
Bahrain, atau Qatar. Cadar juga digunakan oleh sebagian kecil perempuan
negara di Asia Selatan seperti Pakistan, Afghanistan, dan sebagian muslimah
imigran di negara-negara Barat.
Penutup pakaian yang juga menutup semua wajah dan menyisakan
mata disebut burqa’. Tapi burka bukan hanya menunjuk penutup wajah. Ini

4
https://www.medcom.id/nasional/politik/ybDMDpjk-neraka-di-kepala-yenny-wahid
8 WAHID FOUNDATION

jenis pakaian perempuan paling tertutup dengan tirai jaring-jaring untuk


menyisakan pandangan mata.
Dengan beragamnya cara berpakaian perempuan muslim di dunia,
termasuk di Indonesia, tidak jarang masyarakat bingung membedakan satu
istilah dengan istilah yang lain seperti perbedaan niqâb (cadar), burqa’, hijâb,
jilbâb, kerudung.
Dalam bahasa Inggris, penutup kepala ini sebut dengan veil (atau voile
dalam bahasa Perancis), yang juga tidak selalu merujuk cadar tapi penutup
kepala dan tubuh perempuan secara umum. Ini merujuk penutup tradisional
untuk kepala, wajah, atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Sebagai kata benda, veil berasal dari kata Latin vêla, bentuk jamak dari
vêlum. Makna leksikalnya adalah “penutup”, dalam arti “menutupi” atau
“menyembunyikan atau menyamarkan.”5
Penggunaan cadar di Indonesia mulai meluas digunakan saat pasca
reformasi. Di era ini masyarakat Indonesia jauh lebih terbuka dalam
berekpresi, termasuk ekpresi keagamaan. Penggunaan cadar sekarang ini juga
makin berkembang. Pada akhir tahun 70-an, busana muslimah yang mulai
popular adalah jilbâb, penutup kepala. Khususnya setelah Revolusi Iran 1979
bergulir. Bagi sebagian pihak, penggunaan jilbâb dipandang sebagai bentuk
perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru yang dianggap anti Islam.
Jauh sebelum penggunaan jilbâb meluas, perempuan muslim Indonesia
biasanya mengenakan kerudung yang masih terlihat helai rambut. Ini biasa
digunakan oleh tokoh-tokoh perempuan muslim, dan juga isteri dari tokoh-
tokoh nasional Islam atau para ulama. Kini kerudung juga masih digunakan
perempuan Indonesia.
Dalam doktrin keislaman terdapat beragam pandangan dalam
menghukumi pemakaian cadar. Perbedaan ini terkait dengan beragam
pandangan mengenai konsep aurat bagi perempuan. Pandangan ulama
mayoritas menyatakan batasan aurat khususnya dalam shalat, adalah seluruh
tubuh kecuali wajah. Ini terkait dengan tafsîr atas QS. An-Nûr [24]: 31: illa mâ
zhahara minha(kecuali sesuatu yang biasa dilihat). Pandangan ini misalnya
diikuti oleh Imâm Mâlik, pendiri Madzhab Mâliki, atau Imam Ibnu al-
Mundzir.

5
https://tirto.id/diskriminasi-dan-hukuman-bagi-jilbâb-dan-cadar-chVs
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 9

Ulama lain ada yang membagi tiga jenis aurat perempuan: aurat dalam
shalat, aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi (lelaki yang boleh menikah
dengannya), dan aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti
laki-laki. Namun begitu pemakaian cadar umumnya berada dalam konteks
di luar shalat dan kehidupan sehari-hari muslimah.
Dalam kasus pemakaian cadar, umumnya ulama berpandangan
tidak wajib dan menyatakannya sebagai produk budaya. Salah satunya
merujuk ulama klasik asal Irak, Abu Ishâq asy-Syîrazi, menyebut hadis
yang meriwayatkan, jika Nabi SAW melarang wanita ketika ihram memakai
sarung tangan dan cadar. 6Itulah sebabnya mengapa tidak setiap perempuan
di negara-negara Muslim menggunakan burqa’ seperti perempuan Muslimah
di Asia Selatan, Afganistan, atau sejumlah negara di Timur Tengah seperti
Libanon.
Isu cadar ini menjadi salah satu tema yang diangkat dalam Forum
Bahtsul Masa’il Halaqah Perempuan untuk Perdamaian yang digelar Wahid
Foundationbekerjasama dengan Muslimat NU dan UN Women pada 30 - 31
Januari 2018 di Jakarta. Bahstul Masail atau pembahasan masalah adalah
forum pembahasan atas isu-isu aktual yang dikembangkan ditentukan dalam
perspektif agama Islam dan telah menjadi tradisi pengambilan keputusan
hukum khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama. Sebanyak 54 ulama dan
akademisi perempuan dan laki-laki dari seluruh Indonesia diundang sebagai
peserta forum ini.
Para peserta mengkaji masalah-masalah tersebut dengan merujuk pada
Al-Quran, hadîts, pandangan ulama dalam kitab-kitab kuning, karya-karya
ulama Islam pada abad pertengahan, termasuk disiplin ilmu lain seperti
sejarah dan sosiologi. Terdapat tiga pertanyaan dan rumusan jawaban seputar
hukum bercadar.

6
Abu Ishâq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyâd, Juz. III, h. 173.
10 WAHID FOUNDATION

BAGAIMANA SEJARAH
PENGGUNAAN CADAR
DALAM ISLAM?

Pakaian penutup kepala dan tubuh perempuan sudah dipakai oleh


masyarakat Arab sebelum Islam lahir. Termasuk penggunaan cadar
(niqâb). Tradisi ini juga menjadi tradisi yang berkembang dalam agama
samawi lainnya seperti Yahudi dan Nasrani.
Cadar merupakan kain penutup wajah dengan dua lubang di bagian
mata, dan melalui kedua lubang tersebut seorang perempuan bisa melihat.
Deskripsi ini dijelaskan Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq7dalam ‘Aun
al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dâwud:

‫ي َت ْن ُظ ُر ْالَ ْر َأ ُة‬
ِ ْ ‫اب لُ ْب ُس ِغ َط اءٍ ِل ْل َو ْج ِه ِف ي ِه ن َْق َب ِان َع َل ى ا ْل َع ْي َن‬ُ ‫َواال ْن ِت َق‬
‫ْف َأ ْو‬ ِ ‫ال َم ا ُر الَّ ِذي ُي َش دُّ َع َل ى ا َألن‬ ِ ْ :‫اب‬ ُ ‫ ال ِّن َق‬:‫ َو َق َال ِف ي ا ْل َف ْت ِح‬،‫ِم ْن ُه َم ا‬
َ َ ْ ‫َ ْت َت‬
‫ال اجِ ِر‬

“Memakai niqâb adalah memakai penutup wajah di mana di situ


terdapat dua lobang di atas mata, dan melalui kedua lubang tersebut
seorang perempuan bisa melihat. Dalam kitab Fath al-Bâri, Ibnu Hajar
al-‘Asqalâni mengatakan bahwa niqâb adalah tudung kepala yang
disematkan di atas hidung atau daerah sekitar mata”8

7
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq ulama India yang lahir pada tahun 1273 H dan wafat pada
1319 H. Beliau adalah ulama ahli Hadîts terkemuka yang memimpin gerakan Salafi.
8
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aun al-Ma’bûd Syarhu Sunani Abi Dâwud, Bairut-Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1415 H, juz, V, h. 189.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 11

Baik cadar maupun pakaian penutup kepala dan tubuh perempuan yang
dikenal dengan nama hijâb, sudah dikenal di kalangan bangsa-bangsa
kuno seperti bangsa Persia di Iran. Sebuah studi menyebutkan, orang-
orang Arab justru meniru orang Persia yang memeluk Zardasyt, agama
yang hidup di masa itu. Orang-orang Persia ini dikenal punya pandangan
negatif terhadap perempuan. Lantaran dianggap makhluk tidak suci,
mereka diminta menutup mulut dan hidungnya. Salah satu alasannya agar
nafas mereka tidak mengotori api suci. Budaya berbusana masyarakat Arab
juga mengikuti busana masyarakat Byzantium (Romawi), bangsa yang saat
merupakan bangsa maju.9
Dalam An-Niqâb fi Syarî’ah al-Islam (Cadar menurut Syariat Islam) yang
terbit pada 2008, tokoh Ikhwanul Muslimin ‘Abdul Halîm Abu Syuqqah,
menyatakan setuju dengan pandangan tersebut. Mantan Direktur Sekolah
di Doha Qatar ini menulis jika cadar adalah salah satu jenis pakaian yang
digunakan oleh sebagian perempuan di era Jahiliyyah lalu menjadi model
penutup muka di kalangan perempuan muslim hingga saat ini. 10

Penggunaan pakaian bagi perempuan pra Islam, seperti jilbâb atau


khimâr yang kemudian digunakan para perempuan muslim di masa Islam
lahir, diangkat Alquran dalam QS Al-Ahzâb: 59 dan QS. An-Nûr: 31

‫ني َع َل ْي هِ َّن ِم ْن‬ َ ‫َي ا َأ ُّي َه ا ال َّن ِب ُّي ُق ْل ِ َل ْز َواجِ َك َو َب َن ا ِت َك َو ِن َس ا ِء ْالُؤْ ِم ِن‬
َ ‫ني ُي دْ ِن‬
ُ َّ
‫يم ا‬ً ‫ورا َر ِح‬ ً ‫َج َلبِي ِب هِ َّن َذ ِل َك َأ ْدنَى َأ ْن ُي ْع َر ْف َن َف َل ُي ؤْ َذ ْي َن َو َك َان الل َغ ُف‬
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang mukmin, ‘Hendaklah mereka
menutupkan jilbâbnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu agar
mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”11

9
Quraish Shihab, Jilbâb Pakaian Wanita Muslimat, (Jakarta: Lentera Hati, 2014), h. 48.
10
Idris Masudi “Sejarah Penggunaan Cadar Sebelum dan di Masa Islam”, https://islami.co/sejarah-
penggunaan-cadar-sebelum-dan-di-masa-islam/
11
QS. Al-Ahzab [33]: 59.
12 WAHID FOUNDATION

َ ‫وج ُه َّن َو َل ُي ْب ِد‬


‫ين‬ َ ‫ات َي غْ ُض ْض َن ِم ْن َأ ْب َص ار ِِه َّن َو َي ْح َف ْظ َن ُف ُر‬ ِ ‫َو ُق ْل ِل ْل ُم ؤْ ِم َن‬
َ ‫زِي َن َت ُه َّن إ َِّل َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا َو ْل َي ْض ِر ْب َن بِخُ ُم ر ِِه َّن َع َل ى ُج ُي وبِهِ َّن َو َل ُي ْب ِد‬
‫ين‬
‫زِي َن َت ُه َّن إ َِّل ِل ُب ُع و َل ِت هِ َّن َأ ْو َآ َب ا ِئ هِ َّن َأ ْو َآ َب ا ِء ُب ُع و َل ِت هِ َّن َأ ْو َأ ْب َن ا ِئ هِ َّن َأ ْو َأ ْب َن ا ِء‬
‫ُب ُع و َل ِت هِ َّن َأ ْو إِخْ َوا ِن هِ َّن َأ ْو َب ِن ي إِخْ َوا ِن هِ َّن َأ ْو َب ِن ي َأ َخ َوا ِت هِ َّن َأ ْو ِن َس ا ِئ هِ َّن َأ ْو‬
‫الط ْف ِل‬ ِّ ‫ال ْر َب ِة ِم َن ال ِّر َج الِ َأ ِو‬ ِ ْ ‫ني َغ ْي ِر ُأو ِل ي‬ َ ‫َم ا َم َل َك ْت َأ ْيَان ُُه َّن َأ ِو ال َّت اب ِِع‬
‫ات ال ِّن َس ا ِء َو َل َي ْض ِر ْب َن ِب َأ ْر ُج ِل هِ َّن ِل ُي ْع َل َم‬ِ ‫ين َل ْم َي ْظ َه ُروا َع َل ى َع ْو َر‬
َ ‫الَّ ِذ‬
‫ون َل َع َّل ُك ْم‬ َ ‫الل َج ِم ي ًع ا َأ ُّي َه ا ْالُؤْ ِم ُن‬ِ َّ ‫ني ِم ْن زِي َن ِت هِ َّن َوتُو ُب وا ِإ َل ى‬
َ ‫َم ا ُي ْخ ِف‬
َ ‫ُت ْف ِل ُح‬
‫ون‬

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka


menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka,
atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua)
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah
mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bartaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-
orang yang beriman, agar kamu beruntung”.12

Di masa Jahiliyah dan awal-awal Islam, para perempuan menggunakan


kerudung. Ada yang meletakkanya di kepala dan biasanya terulur ke
belakang dan menampakan dada dan perhiasan mereka, anting dan kalung.
Mereka juga mengenakan celak (penghitam garis mata), menghiasi kaki,
dan tangan mereka dengan gelang-gelang yang bergemirincing jika berjalan.

12
QS. An-Nûr [24]: 31.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 13

Tradisi bercadar di era ini direkam dalam kutipan-kutipan syair Arab


Klasik. Misalnya Hathî`ah, penyair yang hidup pada zaman Khalifah ‘Umar
bin al-Khaththâb mengatakan;

‫ َي ا ُح ْس َن ُه ِم ن َق َو ٍام َو ُم ْن َت َق ًب ا‬... ‫َط ا َف ْت ُأ َم ا َم ُة بِال ُّر ْك َب ِان آ ِو َن ًة‬

“Umâmah dengan para penunggang unta berkali-kali datang dalam


mimpi, alangkah ideal bentuk tubuhnya dan indah tempat cadarnya”.13

Penggunaan cadar juga terus menjadi tradisi di masa Rasûlullah


Muhammad SAW dan khalifah sesudahnya. Penutup wajah ini dikenakan
oleh isteri-isteri Rasûlullah seperti Siti ‘Âisyah. Isteri Rasûlullah ini suatu
saat pernah menyamar dengan mengenakan cadar dan menyelinap dalam
kerumunan perempuan Anshar, kaum yang mengabarkan kedatangan dan
menyambut Rasûlullah di Madînah. Saat itu Rasûlullah akan menikahi
Shafiyyah binti Huyay.14
Bersipandang dengan ‘Âisyah yang tengah bercadar di antara
kerumunan perempuan, nyatanya Rasûlullah masih mengenali lewat dua bola
mata ‘Âisyah yang tampak dari balik cadar. ‘Âisyah berpaling menghindar dan
berjalan tergesa-gesa. Kemudian Rasûlullah berjalan menyusulnya. Kisah ini
direkam dalam hadîts Ibnu Mâjah dari ‘Âisyah.
Di era kekuasaan Islam setelah Rasûlullah wafat, cadar menjadi tradisi.
Misalnya di negeri Andalusia, Spanyol. Abu Hayyân al-Andalûsi15 dalam
Tafsîr al-Bahr al-Muhith menulis:

‫ َل َي ْظ َه ُر ِم َن ْالَ ْر َأ ِة إ َِّل َع ْي ُن َه ا ال َو ِاح دَ ُة‬، ‫النْدَ لُ ِس‬


َ ْ ‫َو َك َذا َع ا َد ُة ب َِل ِد‬

“Begitu juga dengan tradisi perempuan di negeri Andalusia, di mana yang


tampak dari perempuan hanyalah satu matanya.”16

13
Ibnu Qâsim al-Murâdi, Taudhîh al-Maqâshid wa al-Masâlik bi Syarhi Alfiyah Ibni Mâlik, Tahqîq:
‘Abdurrahmân Ali Sulaimân, Bairut-Dâr al-Fikr al-‘Arabi, cet ke-I, 1428 H/2008 M, juz, II, h. 734.
14
Shafiyyah binti Huyay adalah istri ke 11 Muhammad SAW. Dikisahkan ia adalah keturunan Yahudi
dan istri Rasûlullah paling cantik.
15
Abu Hayyân al-Andalûsi (1256-1344 M) adalah seorang ulama ahli tafsîr Alquran dan ahli tata
bahasa Arab yang berasal dari Andalusia Spanyol.
16
Abu Hayyân al-Andalûsi, Tafsîr al-Bahr al-Muhith, Bairut-Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1422
H/2001 M, juz, VII, h. 240.
14 WAHID FOUNDATION

Di era kontemporer, penggunaan cadar khususnya di luar Timur Tengah


tampaknya dipengaruhi migrasi sosial, perpindahan penduduk yang terus
berlangsung hingga hari ini. Sebagian besar warga muslim yang menjadi
penduduk di negara-negara Barat adalah para imigran.
Seperti disebutkan, penggunaan cadar di Indonesia mulai meluas
digunakan pascareformasi. Di era ini masyarakat Indonesia jauh lebih terbuka
dalam berekpresi, termasuk ekpresi keagamaan. Penggunaan cadar sekarang
ini juga makin berkembang. Pada akhir tahun 70-an, busana muslimah yang
mulai popular adalah jilbâb, penutup kepala. Khususnya setelah Revolusi Iran
1979 bergulir. Bagi sebagian pihak, penggunaan jilbâb dipandang sebagai
bentuk perlawanan terhadap penindasan sistem Orde Baru yang dianggap
anti Islam. Belakangan ini muncul lagi istilah hijâb, penutup kepala hingga
seluruh tubuh.
Diperlukan berbagai kajian lebih banyak mengenai sejarah cadar di
Indonesia. Namun yang bisa disimpulkan dari sini adalah bahwa fenomena
cadar dapat dikatakan sebagai fenomena berpakaian di antara mode pakaian
yang berkembang di Indonesia.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 15

BAGAIMANA
HUKUM MEWAJIBKAN CADAR
KEPADA PEREMPUAN?

Hukum Mewajibkan Cadar Kepada Perempuan


Seorang laki-laki datang menjumpai Rasûlullah Muhammad SAW suatu
ketika. Ia punya sebuah pertanyaan di kepala dan hendak disampaikan
kepada Rasûlullah. “Wahai Rasûlullah, pakaian apa yang engkau
perintahkan untuk kami pakai saat berihram?” tanyanya.
“Jangan kalian memakai gamis, celana, imâmah (sorban yang digelung),
mantel (kain yang menutupi kepala) kecuali orang yang tidak mempunyai
dua sandal maka hendaknya ia memakai dua khuf dan dipotonglah sampai
berada di bawah kedua mata kaki,” jawab Rasûlullah. “Dan jangan kalian
memakai pakaian apapun yang diberi minyak ja’faron (wewangian) atau
dicelupkan dengan tumbuhan wars (tumbuhan yang berwana kuning dan
baunya wangi),” lanjut Rasûlullah. Rasûlullah juga menegaskan soal niqâb.
“Perempuan yang sedang ihram jangan memakai niqâb (cadar) dan memakai
sarung tangan”.17
Kisah yang diangkat dalam hadis Bukhari ini dipandang sebagai salah
satu dalil hukum bercadar. Hukum bercadar Menurut Jumhûr al-‘Ulamâ`
yaitu mengenakan cadar tidak wajib. Bahkan ulama Malikiyah menyatakan
mengenakan niqâb adalah sikap berlebihan dalam beragama. Namun sebagian
ulama Syâfi’iyyah berpendapat bahwa menutup wajah dan telapak tangan
dihadapan laki-laki yang bukan mahram adalah wajib, disamping pendapat
lain yang menyatakan, sunnah dan khilaf al-awla (menyalahi keutamaan).

17
HR. Bukhâri.
16 WAHID FOUNDATION

Memahami “yang Biasa Terlihat”


Perbedaan pandangan mengenai hukum bercadar ini tidak bisa dilepaskan
dari perdebatan dan pandangan mengenai batasanaurat. Salah satunya QS
An-Nûr ayat 31:

َ ‫َو َل ُي ْب ِد‬
‫ين زِي َن َت ُه َّن إ َِّل َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا‬

“...dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang


(biasa) terlihat..”

Para ahli tafsîr berbeda pendapat apa dimaksud dengan “yang biasa
terlihat” itu. Setidaknya ada tiga pandangan. Pertama, menurut Ibnu
Abbas 18 yang dimaksud dengan apa yang biasa terlihat adalah wajah,
kedua telapak tangan, dan cincin. Pandangan senada datang dari hadis
yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar, Athâ`, Ikrimah, Sa’îd bin Jubair, Abi asy-
Sya’tsâ`, adl-Dlahhâk, Ibrâhîm an-Nakha’i dan selainnya.

‫ين‬َ ‫ { َوال ُي ْب ِد‬:‫ َع ْن ا ْب ِن َع َّب ٍاس‬،‫يد ْب ِن ُج َب ٍير‬ ِ ‫ َع ْن َس ِع‬،‫َو َق َال ا َأل ْع َم ُش‬
‫ َو ُروي َع ْن ا ْب ِن‬.‫ َو ْج َه َه ا َو َك َّف ْي َه ا َوا ْخل َا َ َت‬:‫زِي َن َت ُه َّن إ َِّل َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا } َق َال‬
،‫الض َّح ِاك‬َّ ‫ َو‬،‫الش ْع ثَا ِء‬ َّ ‫ َوأبِي‬،‫يد ْب ِن ُج َب ْي ٍر‬ ِ ‫ َو َس ِع‬،‫ َو ِع ْك ِر َم َة‬، ٍ‫ َو َع َط اء‬،‫ُع َم َر‬
‫ َو َغ ْي ر ِِه ْم‬،‫يم ال َّن َخ ِع ِّي‬
َ ‫َو ِإ ْب َر ِاه‬
“Al-A’masy berkata, dari Said bin Jubair ra dari Ibnu Abbas ra, ‘...dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa)
terlihat..’, beliau berkata; maksudnya adalah wajah dan kedua telapak
tangan, dan cincin. Riwayat yang senada juga dikemukakan Ibnu ‘Umar,
‘Athâ’, ‘Ikrimah ra, Sa’îd bin Jubair, Abi asy-Sya’tsâ`, adl-Dlahhak,
Ibrâhîm an-Nakha’i, dan selainnya.”19

18
Ibnu ‘Abbâs adalah ahli tafsîr Al-Qur`ân yang dididik langsung oleh Rasûlullah. Beliau lahir tiga
tahun sebelum Rasûl hijrah ke kota Madînah.
19
Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, Kairo-Dâr al-Hadîts, 1423 H/2002 M, juz, III, h. 348.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 17

Menurut Muhammad Amin as-Syinqithi 20 dalam Adlwâ` al-Bayân fi Îdlah


Al-Qur`ân bi Al-Qur`ân pandangan Ibnu ‘Abbâs ini adalah pandangan yang
masyhur alias popular.

‫ بِا ْل َو ْج ِه‬:‫ َو َم ْن تَا َب َع ُه َأ َرا ُدوا ت َْف ِس ي َر َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا‬،‫َو َي ْح َت ِم ُل َأ َّن ا ْب َن َع َّب ٍاس‬
‫ال ْم ُه و ِر‬ ُ ْ َ‫ َو َه َذا ُه َو ْالَ ْش ُه و ُر ِع ْن د‬،ِ‫َوا ْل َك َّف ْي‬

“Dan dapat dipahami bahwa Ibnu Abbas dan para ulama yang
mengikutinya menafsirkan bahwa apa yang biasa terlihat adalah wajah
dan kedua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan
mayoritas pakar tafsîr”21

Sebagian ahli tafsîr ada yang menyatakan bahwa yang dikecualikan dari
“yang biasa terlihat” adalah sesuatu yang terlihat secara tidak sengaja.
Berikut pandangan kedua.

‫{ إ َِّل َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا } َأ ْي َك َان ب َِح ْي ُث َي ْظ َه ُر َف َي شُ قُّ ال َّت َح ُّر ُز ِف ي إِخْ َف ا ِئ ِه‬


‫ات َوا ْل َك ْح ِل َف ِإن ََّه ا َل ُب دَّ َل َه ا ِم ْن ُم َزا َو َل ِة‬ َ ْ ‫الس َوا ِر َو‬
ِ َ ‫ال‬ ِّ ‫َف َب دَا ِم ْن َغ ْي ِر َق ْص ٍد َك‬
َّ ‫َح َاج ِت َه ا ِب َي ِد َه ا َو ِم ْن َك ْش ِف َو ْج هِ َه ا ِف ي‬
َ ‫الش َه ا َد ِة َون َْح‬
‫وِه ا‬

“{kecuali yang (biasa) terlihat}, maksudnya adalah sekiranya terlihat akan


sulit untuk menutupinya sehingga terlihat dengan tanpa sengaja, seperti
gelang, cincin, dan celak. Karena hal tersebut adalah sesuatu yang tidak
bisa dihindari ketika adanya aktifitas yang memerlukan tangan dalam
rangka untuk memenuhi kebutuhannya dan memperlihatkan wajahya
seperti dalam kesaksian (di pengadilan) dan lain sebagainya.”22

20
Muhammad Amîn as-Syinqîthi adalah ulama kontemporer yang lahir pada 1325 H di Syinqîth,
Mauritania. Muhammad Amîn wafat di Madînah pada 1393 H (1972 M).
21
Muhammad Amîn as-Sinqîthi, Adlwâ` al-Bayân fi Îdlah Al-Qur`ân bi Al-Qur`ân, Bairut-Dâr al-Fikr, 1415
H/1995 M, juz, V, h. 512.
22
Al-Biqâ’i, Nazhm ad-Durar fi Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Kairo-Dâr al-Kitâb al-Islâmi, juz, XIII, h.
259.
18 WAHID FOUNDATION

Pandangan ketiga mirip dengan penafsiran kedua. Kelompok ini


menyatakan yang dikecualikan itu adalah perhiasan yang biasa tampak
seperti cincin, kutek dan sejenisnya.

‫ال ِب َّل ُة َع َل ى ُظ ُه و ِر ِه‬ِ ْ ‫{ إ َّال َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا } َأ ْي إ َِّل َم ا َج َر ِت ا ْل َع ا َد ُة َو‬


‫ؤَاخ َذ َة‬
َ ‫اب َف َل ُم‬ ِ ‫ال َض‬ ِ ْ ‫ات َوا ْل ُف ْت َخ ِة َوا ْل َك ْح ِل َو‬ ِ َ ‫ال‬َ ْ ‫الظ ُه و ُر َك‬ ُّ ‫ال ْص ُل ِف ي ِه‬ َ ْ ‫َو‬
ِّ ‫ؤَاخ َذ ُة ِف ي ِإ ْب دَا ِء َم ا َخ َف ي ِم َن ال ِّزي َن ِة َك‬
‫الس َوا ِر‬ َ ُ‫ِف ي ِإ ْب دَا ِئ ِه ِل ْ َل َج ا ِن ِب َوإ َِّنَ ا ْال‬
‫وِش ِاح َوا ْل ُق ْر ِط‬ َ ‫يل َوا ْل‬ ِ ْ ‫ال ْل َخ الِ َوالدُّ ْم ُل ِج َوا ْل ِق َل َد ِة َو‬
ِ ‫ال ْك ِل‬ َ ْ ‫َو‬

“{kecuali yang (biasa) terlihat} maksudnya adalah yang secara kebiasaan


terlihat, dan memang pada asalnya adalah terlihat, seperti cincin, cincin besar
yang dipakai di jempol kaki perempuan, celak, dan kutek. Dalam hal ini tidak ada
masalah ketika menampakkan kepada orang lain (yang bukan mahram). Yang
berdosa adalah menampakkan perhiasan yang tersembunyi seperti gelang, gelang
yang sampai lengan, gelang kaki, mahkota, syal, dan anting-anting”23

Dua pendapat terakhir ini mengarah kepada wajah dan telapak tangan
sebagai aurat. Sedang pendapat pertama yang dianut oleh mayoritas ahli
tafsîr tidak menganggap wajah dan kedua telapak tangan sebagai aurat.
Penafsiran pertama disokong oleh hadis yang melarang perempuan
yang dalam kondisi ihram untuk memakai cadar dan sarung tangan
sebagaimana dikemukakan di atas. Sebab jika keduanya dianggap aurat,
pastilah diperintahkan untuk ditutup, bukan sebaliknya, dibuka. Dengan
demikian dapat dipahami hadits tersebut merupakan penjelasan (bayân)
terhadap keumuman ayat 31 surat An-Nûr, yaitu bahwa tafsîr“yang biasa
terlihat” dari ayat ini adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Sedangkan penafsiran baik yang kedua maupun yang ketiga setidaknya
didasarkan pada hadits yang menyatakan perempuan adalah aurat sehingga
setan cenderung tertarik untuk menggodanya sebagai hadis riwayat Ibnu
Khuzaimah 24 .

23
Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ani fi Tafsîr al-Qur’an al-Azhim wa as-Sab’ al-Matsânî, Bairut-Dâru
Ihyâ` at-Turâts al-‘Arabi, cet ke 2, juz, XVIII, h; 140
24
Ibnu Khuzaimah adalah salah satu tokoh dalam bidang Hadîts abad ke-4, yang telah banyak
mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk mengkaji hadis. (https://id.wikipedia.org/wiki/
Ibnu_Khuzaimah).
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 19

، ‫ إ َِّن ْالَ ْر َأ َة َع ْو َر ٌة‬: ‫ َق َال‬، ‫ َع ِن ال َّن ِب ِّي صلى اهلل عليه وسلم‬، ‫هلل‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد ا‬
‫ون ِم ْن َو ْج ِه َر ِّب َه ا َو ِه َي‬ ُ ‫ َو َأ ْق َر ُب َم ا ت َُك‬، ‫الش ْي َط ُان‬
َّ ‫َف ِإ َذا َخ َر َج ِت ْاس َت ْش َر َف َه ا‬
‫ِف ي َق ْع ِر َب ْي ِت َه ا‬

“Dari Abdillah dari Nabi saw, beliau berkata; ‘Sesungguhnya perempuan


adalah aurat, maka ketika ia keluar (dari rumah) maka setan akan
menatapnya untuk menggodanya. Dan yang lebih dekat dengan Allah
adalah ia di dalam rumahnya”. 25

Hadis ini sekalipun masuk kategori shahîh, namun dari sisi matan (redaksi)
terlihat janggal. Karena ayat Al-Qur’ân dalam surat An-Nûr ayat 31 jelas-
jelas mengecualikan sebagian dari tubuh perempuan dalam ayat “illa ma
zhara minha”. Sementara hadîts ini menyatakan tidak ada pengecualian.
Di sini perlu penjelasan yang memadai agar tidak terlihat tubrukan ayat
dengan hadis tersebut.
Sementara mayoritas pakar hukum Islam, baik dari kalangan Mazhab
Hanafi, Mâliki, Syâfi’i, maupun Hanbali menyatakan wajah dan telapak
tangan bukan bagian dari aurat perempuan yang wajib ditutup. Perempuan
boleh menutup wajahnya dengan cadar, tapi juga boleh membuka wajahnya
atau tidak memakai cadar.

َ ْ ‫الش ا ِف ِع َّي ُة َو‬


‫ال َن ا ِب َل ُة) ِإ َل ى‬ َ ْ ( ‫َف َذ َه َب ُج ْم ُه و ُر ا ْل ُف َق َه ا ِء‬
َّ ‫ال َن ِف َّي ُة َو ْالَا ِل ِك َّي ُة َو‬
‫ َو ِإ َذا َل ْم َي ُك ْن َع ْو َر ًة َف ِإ َّن ُه َي ُج و ُز َل َه ا َأ ْن ت َْس ُت َر ُه‬،ٍ‫َأ َّن ا ْل َو ْج َه َل ْي َس ِب َع ْو َرة‬
‫ َو َل َه ا َأ ْن ت َْك ِش َف ُه َف َال َت ْن َت ِق َب‬،‫ َف َت ْن َت ِق َب‬.

“Mayoritas pakar hukum Islam (baik dari Madzhab Hanafi, Mâliki,


Syâfi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat.
Jika bukan termasuk aurat maka wanita boleh menutupi wajahnya dengan
cadar dan boleh juga membuka menyingkap wajahnya tanpa cadar.”26

25
. HR. Ibnu Khuzaimah, Shahîhu Ibni Khuzaimah, Bairut-al-Maktab al-Islâmi, 1390 H/1970
M, juz, III, h. 93.
26
. Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizârah al-Awqâf wa asy-Syu’ûn al-
Islâmiyyah, cet ke-3, juz, XLI, h. 134.
20 WAHID FOUNDATION

Sedang ulama yang menyatakan perempuan wajib mengenakan cadar


bukan karena pandangan bahwa wajah adalah bagian aurat, melainkan
karena demi menjaga keamanan perempuan di saat masyarakat dalam
keadaan sakit (fasâdi akhlâqi an-nâs). Menurut Mazhab Hanafi alasannya
yaitu demi menghindari fitnah.

َ ْ ‫الش ا َّب ُة ِم ْن َك ْش ِف َو ْج هِ َه ا َب‬


‫ي ال ِّر َج الِ ِف ي‬ َ ْ ‫َق َال‬
َّ ‫ ُ ْت َن ُع ْالَ ْر َأ ُة‬:‫ال َن ِف َّي ُة‬
‫ َب ل ِ َل ْو ِف ا ْل ِف ْت َن ِة‬،‫ َال ِ َل َّن ُه َع ْو َر ٌة‬،‫َز َم ا ِن َن ا‬

“Menurut Mazhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-


mar`ah asy-syabbâh) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki.
Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk
mengindari fitnah. 27

Sementa ra bag i k a langan Madzhab Mâ l i k i, pengg unaan cada r


justru dimakruhkan, dalam shalat maupun di luar shalat. Mereka
mengkategorikan sebagai perbuatan berlebih-lebihan (ghuluw) dalam
agama, terutama bagi laki-laki. Hukumnya menjadi boleh, ketika
pengenaan cadar di luar shalat merupakan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.

‫ َو ُه َو َم ا َي ِص ل‬،‫ تَغْ ِط َي ُة َو ْج هِ َه ا‬:‫ َأ ْي‬- ‫اب ْالَ ْر َأ ِة‬ ُ ‫ ُي ْك َر ُه ا ْن ِت َق‬:‫َو َق ال ْالَا ِل ِك َّي ُة‬
َ ‫اب ِف‬
‫يه ا‬ ُ ‫ َك َان ا ِال ْن ِت َق‬،‫ َس َوا ٌء َك ان َْت ِف ي َص َالةٍ َأ ْو ِف ي َغ ْي ر َِه ا‬- ‫ون‬ ِ ‫ِل ْل ُع ُي‬
‫اب ِل ل ِّر َج ال ِم ْن َب ٍاب َأ ْو َل ى ِإ َّال‬ ُ ‫ َو ُي ْك َر ُه ال ِّن َق‬.‫ ِّألن ُه ِم َن ا ْل ُغ ُل ِّو‬،‫ِأل ْج ِل َه ا َأ ْو َال‬
‫ َو َأ َّم ا ِف ي‬،ٍ‫ َف َال ُي ْك َر ُه ِإ َذا َك َان ِف ي َغ ْي ِر َص َالة‬،‫ِإ َذا َك َان َذ ِل َك ِم ْن َع ا َد ِة َق ْو ِم ِه‬
‫الص َال ِة َف ُي ْك َر ُه‬
َّ
Dan menurut Madzhab Mâliki bahwa dimakruhkan wanita memakai
cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat
maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena

27
Ibid.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 21

hal itu termasuk perbuatan berlebihan (ghuluw) dalam agama, dan lebih
utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan
kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan
ketika di luar shalat. 28

Di kalangan Madzhab Syâfi’i, pengenaan cadar ini bersilang pendapat.


Pendapat pertama menyatakan memakai cadar bagi wanita adalah wajib.
Pendapat kedua adalah sunnah, sedang pendapat ketiga adalah khilâf al-
awla atau menyalahi yang utama, karena utamanya tidak bercadar.

َ ‫ َف َر ْأ ٌي ُي وجِ ُب ال ِّن َق‬،‫الش ا ِف ِع َّي ُة ِف ي َت َن ُّق ِب ْالَ ْر َأ ِة‬


.،‫اب َع َل ْي َه ا‬ َّ ‫َواخْ َت َل َف‬
‫ ُه َو ِخ َال ُف ا ْأل ْو َل ى‬:‫ َو ِق يل‬،‫ ُه َو ُس َّن ٌة‬:‫َو ِق يل‬

Di kalangan Mazhab Syâfi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat


pertama menyatakan memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat
kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilâf al-awla,
menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar”. 29

Dibawah ini adalah alasan masing-masing pandangan tersebut.

Aurat Perempuan dalam Madzhab Syâfi’i


Perbedaan hukum memakai cadar dalam Madzhab Syâfi’i tidak bisa
dilepaskan dari sikap dalam memahami kategori dan batas aurat. Di
kalangan ulama Madzhab Syâfi’i, aurat perempuan dibagi dalam tiga
kategori. Pertama, aurat perempuan di dalam shalat. Batasnya adalah
seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Kedua,
aurat perempuan terhadap pandangan lelaki yang bukan mahram-nya
(ajnabi). Bagiannya yaitu semua anggota tubuh tanpa kecuali, termasuk
wajah dan kedua telapak tangan. Dan ketiga adalah aurat perempuan
ketika bersama-sama dengan mahram-nya.Bagian yang boleh terlihat
seperti aurat laki-laki.

28
Ibid.
29
Ibid.
22 WAHID FOUNDATION

ُ ْ ‫ي ِم َن‬
‫ال َّر ِة َو َل ْو َب َل‬ ِ ْ ‫َق ْولُ ُه ( َوإ َِّنَ ا َح ُر َم ن َْظ ُر ُه َم ا الخ ) َأ ْي اَ ْل َو ْج ِه َوا ْل َك َّف‬
‫ال َّر ِر َب ْع دَ َك َل ِم َو ُع ر َِف ب َِه َذا ال َّت ْق رِي ِر َأ َّن‬ َ ُ ْ ‫َش ْه َوةٍ َق َال ال َّز َي ا ِد ُّي ِف ي َش ْر ِح‬
‫الص َل ِة َو ُه َو َم ا َت َق دَّ َم َو َع ْو َر ٌة بِال ِّن ْس َب ِة ِل َن ْظ ِر‬ َّ ‫َل َه ا َث َل َث َع ْو َر ٍات َع ْو َر ٌة ِف ي‬
‫ي َع َل ى ْالُ ْع َت َم ِد َو َع ْو َر ٌة‬ ِ ْ ‫يع َب دَ ِن َه ا َح َّت ى ا ْل َو ْج ِه َوا ْل َك َّف‬ َ ‫ال َج ا ِن ِب ِإ َل ْي َه ا َج ِم‬ َْ
َ َ ْ َ‫ال ْل َو ِة َو ِع ْن د‬
‫ال ا ِر ِم َك َع ْو َر ِة ال َّر ُج ِل‬ َ ْ ‫ِف ي‬

“Perkataan pengarang: (dan hanya melihat keduanya saja haram…)


maksudnya adalah melihat wajah dan kedua telapak tangan perempuan
merdeka meskipun tanpa syahwat. Menurut az-Zayyâdi dalam Syarh al-
Muharrar setelah menjelaskan panjang lebar mengenai aurat perempuan,
dapat disimpulkan dari sini bahwa perempuan memiliki tiga aurat.
Pertama, aurat perempuan dalam shalat dan hal ini telah dijelaskan di
atas. Kedua, aurat perempuan dalam konteks pandangan lelaki yang
bukan mahram-nya (ajnabi), yaitu seluruh anggota tubuhnya termasuk
wajah dan kedua telapak tangannya, demikian menurut pendapat yang
mu’tamad (dalam Madzhab Syâfi’i). Ketiga, aurat perempuan ketika
berdua dengan mahram-nya yaitu sama dengan aurat laki-laki”30

Namun menurut Zakariya al-Anshâri, 31salah satu ulama rujukan dari


kalangan Madzhab Syâfi’i, menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan tetap bukan aurat bagi perempuan. Sebab kebutuhan (al-hâjah)
untuk menampakkan keduanya tidak dapat terelakkan. Namun tetap
saja haram untuk melihatnya karena wajah dan kedua telapak tangan bisa
menjadi sumber fitnah (mazhinnah al-fitnah).

‫ال َاج َة تَدْ ُع و إ َل ى إ ْب َراز ِِه َم ا َوإ َِّنَ ا ُح ِّر َم ال َّن ْظ ُر‬َ ْ ‫َوإ َِّنَ ا َل ْم َي ُك ونَا َع ْو َر ًة ؛ ِ َل َّن‬
‫إ َل ْي هِ َم ا ؛ ِ َلن َُّه َم ا َم ِظ َّن ُة ا ْل ِف ْت َن ِة‬

30
Abdul Hamîd asy-Syirwâni, Hâsyiyah as-Syirwâni, Mesir-Mathba’ah Mushthafa Muhammad, tt, juz, II,
h. 112.
31
Zakariya al-Anshâri lahir 1420 M (823 H) di Sunaikah, Mesir Timur, wafat 1520 M (926 H) di Kairo,
Mesir. Beliau dikenal sebagai ulama Madzhab Syâfi’i dalam bidang hadâts, fikih dan tafsîr.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 23

“Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat sebab adanya


kebutuhan untuk menampakkannya. Hanya saja diharamkan melihat
keduanya karena menjadi sumber fitnah”32

Apa yang dikemukakan oleh Zakariya al-Anshari pada dasarnya bukan hal
baru. Jauh sebelumnya, Abdul Malik al-Juwaini 33 telah menjelaskan hal
tersebut. Bahkan menurutnya larangan melihat wajah dan kedua telapak
tangan apabila ada indikasi kuat dapat menimbulkan fitnah sudah menjadi
ijmâ’ para ulama.
Lain halnya jika tidak ada indikasi kuat akan menimbulkan fitnah,
mereka para ulama tidak sampai mengharamkannya karena didasarkan
kepada firman Allah Swt; ‘...kecuali yang (biasa) terlihat…’ (QS. An-Nûr
[24]: 31), dimana menurut mayoritas pakar tafsîr maksudnya adalah wajah
dan kedua telapak tangan.

ِ ْ ‫ال ْج َن ِب َّي ُة َف َل َي ِح ُّل ِل ْ َل ْج َن ِب ِّي َأ ْن َي ْن ُظ َر ِم ْن َه ا ِإ َل ى َغ ْي ِر ا ْل َو ْج ِه َوا ْل َك َّف‬


‫ي‬ َ ْ ‫َأ َّم ا‬
‫ي َي ْح ُر ُم ِع ْن دَ َخ ْو ِف ا ْل ِف ْت َن ِة‬ ِ ْ ‫ِم ْن َغ ْي ِر َح َاج ةٍ َوال َّن ْظ ُر ِإ َل ى ا ْل َو ْج ِه َوا ْل َك َّف‬
ُ ْ ‫إ ِْج َم ًاع ا َف ِإ َن َل ْم َي ْظ َه ْر َخ ْو ُف ا ْل ِف ْت َن ِة َف‬
َ ‫ال ْم ُه و ُر َي ْر َف ُع‬
‫ون ال َّت ْح ِر َمي ِل َق ْو ِل ِه‬
‫ اَ ْل َو ْج ُه َوا ْل َك َّف ِان‬: ‫ِين‬ َ ‫ «إ َِّل َم ا َظ َه َر ِم ْن َه ا» َق َال َأ ْك َث ُر ْالُ َف ِّس ر‬: ‫ َت َع ا َل ى‬...
“Adapun perempuan ajnabiyyah maka tidak halal bagi laki-laki ajnabi
(bukan mahram) untuk memandangnya kepada selain wajah dan dua
telapak tangan tanpa adanya hajat. Keharaman dalam konteks ini
menurut konsensus para ulama (ijma`) lebih karena khawatir akan
menimbulkan fitnah, maka apabila tidak mereka para ulama tidak sampai
mengharamkannya karena didasarkan kepada frase firman Allah swt;
‘..kecuali yang (biasa) terlihat’ (QS. An-Nûr [24]: 31). Menurut mayoritas
ahli tafsîr frase ayat ini adalah wajah dan kedua telapak tangan...”34

32
Zakariya al-Anshâri, Asnâ al-Mathâlib Syarhu Raudl ath-Thâlib, Bairut-Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet
ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, h. 176.
33
Dikenal juga dengan gelar Imâm al-Haramain. Gelar itu disandangnya karena beliau pernah
mengajar dan menjadi imam masjid di Mekkah dan Madînah. Ulama Fikih, Ushul Fikih, ilmuwan dan
teolog ini lahir pada 1028 M (419 H) dan wafat 1085 M (478 H).
34
‘Abdul Malîk al-Juwaini, Nihâyah al-Mathlab fi Dirâyah al-Madzhab, Tahqiq: ‘Abdul ‘Azhîm Mahmûd
ad-Dîb, Jeddah-Dâr al-Minhâj, cet ke-1428 H/2007 M, juz, XII, h. 31-32.
24 WAHID FOUNDATION

Pandangan mayoritas ulama ini mengindikasikan bahwa soal pemakaian


cadar oleh perempuan terkait sebagai upaya preventif untuk menghindari
hal negatif (sadd adz-dzarî’ah). Karena wajah perempuan dikhawatirkan
berpotensi sebagai sumber fitnah maka ia harus diberi cadar.
Dalam sejarah kehidupan Muhammad Saw tidak ditemukan penjelasan
memadai jika Rasûlullah menetapkan pemakaian cadar bagi para isterinya.
Begitu juga penjelasan dari para sahabat perempuan. Sehingga hal tersebut
menunjukkan bahwa cadar, meskipun terus ada sampai setelah datangnya
Islam hanya menjadi sebatas mode pakaian yang dikenal atau dipakai
sebagian perempuan.
Pandangan ini dikemukakan Abdul Halim Abu Syuqqah 35 dalam Tahrîr
al-Mar`ah fi ‘Ashr ar-Risâlah (Pembebasan Perempuan di Era Rasûl).

‫ون َو ُت َع ِّف ُف َو َو ِس ي َل ًة ِ ِل ْف ِظ‬ ُ ‫اب َك َم ا ُق ْل َن ا ِم ْن َق ْب ُل َأ َدا ًة ت َُص‬ ُ ‫َو َل ْو َك َان ال ِّن َق‬
‫ول ا ْل َك ِر ُمي ِل ِن َس ا ِئ ِه َو ُه َّن‬
ُ ‫ َلخْ َت ا َر ُه ال َّر ُس‬-‫دَّع ى ا ْل َب ْع ُض‬ ِ ‫ك َم ا َي‬- َ ‫َح َي ا ِء ْالَ ْر َأ ِة‬
‫ات ِ َل ْن ُف ِس هِ َّن‬ ِ ‫الص َح ا ِب َّي‬ َ ْ ‫اف َو‬
َّ ‫ال َي ا ِء َو َلخْ َت ا َر ُه َك َرا ِئ ُم‬ َّ ‫َأ ْو َل ى ب‬
ِ ‫ِالص ْو ِن َوا ْل َع َف‬
‫ي َأ َّن‬ ُّ ‫ال َي ا ِء َو َل ِك ِن‬
ُ ِّ ‫الس َّن ُة ُت َب‬ َ ْ ‫اف َو‬ َّ ‫َو ُه َّن َأ ْه ٌل َك َذ ِل َك ِل‬
ِ ‫لص ْو ِن َوا ْل َع َف‬
‫ول صلى اهلل عليه وسلم َل ْم َي ْخ َت ْر ُه ِل َن َس ا ِئ ِه َو َل ْم َي ْخ َت ْر ُه َك َرا ِئ ُم‬ َ ‫ال َّر ُس‬
َ‫اب ِا ْس َت َم َّر َب ْع د‬َ ‫يل َع َل ى َأ َّن ال ِّن َق‬ ً ‫ات ِ َل ْن ُف ِس هِ َّن َو َك َان َذ ِل َك َد ِل‬ ِ ‫الص َح ا ِب َّي‬
َّ
‫اس ُت َع ار ُِف َع َل ْي ِه َب ْع ُض ال ِّن َس ا ِء‬ ِْ
ِ ‫ال ْس َل ِم ُم َج َّر َد ِط َر ٍاز ِف ى ال ِّل َب‬،
“Andaikan niqâb dipersepsikan sebagai pakaian yang dapat menjaga
marwah perempuan dan wasilah untuk menjaga keberlangsungan hidup
mereka -sebagaimana klaim sejumlah pihak- niscaya Nabi Muhammad
SAW akan mewajibkannya kepada isteri-isterinya yang mana mereka
(isteri-isteri Nabi) adalah keluarga yang paling berhak untuk dijaga Nabi.
Akan tetapi justru Nabi tidak melalukannya. Juga tidak berlaku bagi

35
Muhammad Abu Syuqqah cendikiawan muslim yang lahir di kota Kairo, 28 Agustus 1924 M (28
Muharram 1343 H). Pengalaman intelektual Abu Syuqqah banyak didapat saat ia bergabung dengan
Ikhwânul Muslimîn. Abu Syuqqah adalah kawan diskusi dari Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwânul
Muslimîn.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 25

sahabat-sahabat perempuan Nabi. Hal ini merupakan bukti bahwa niqâb


-meskipun terus ada hingga di masa Islam- hanyalah sebatas jenis pakaian
yang dikenal dan dipakai oleh sebagian perempuan”36

Lantas, bagaimana dengan isteri-isteri Rasûlullah Saw dimana ketika


keluar rumah menutup seluruh anggota tubuh termasuk wajah? Menurut
Abdul Halîm Abu Syuqqah, perintah ini berkaitan dengan kedudukan
mereka yang berbeda dengan perempuan lain. Sebab, mereka dikhususkan
dengan kewajiban memakai hijab di dalam rumah. Dan ketika keluar
rumah mereka menutup seluruh anggota tubuh termasuk wajah sebagai
bentuk memperluas hijab yang diwajibkan.

ِ ‫ال َج‬
‫اب‬ ِ ْ ‫ني َش ْأ ٌن ُم َت َم َّي ٌز ِإ ْذ اُخْ ُت ِص ْص َن ِب َف ْر ِض‬ َ ‫ات ْالُؤْ ِم ِن‬
ِ ‫ُث َّم َك َان ِ ُل َّم َه‬
‫دَن َم َع ا ْل َو ْج ِه ِإ َذا َخ َر ْج َن ِا ْم ِت دَا ًدا‬ ِ ‫ َو َك َان َس ْت ُر َج ِم‬،‫َد ِاخ َل ا ْل َب ْي ِت‬
ِ ‫يع ا ْل َب‬
‫وت‬ِ ‫وض َد ِاخ َل ا ْل ُب ُي‬ ِ ‫اب ْالَ ْف ُر‬ ِ ‫ِل ْل ِح َج‬

Kemudian bagi ummahât al-mu’minîn memiliki perbedaan dimana


mereka dikhususkan atas kewajiban mengenakan hijâb di dalam rumah
dan menutup semua badan dan wajahnya ketika keluar dari rumah
sebagai bentuk memperluas hijâb yang diwajibkan di dalam rumah”37

36
Ibid.
37
Ibid.
26 WAHID FOUNDATION

KESIMPULAN
HUKUM BERCADAR

Menurut mayoritas ulama (jumhûr al-‘ulamâ`) penggunaan cadar


adalah tidak wajib. A lasannya karena wajah bukan termasuk aurat
perempuan. Bahkan kalangan ulama Mâlikiyyah menyatakan mengenakan
cadar merupakan sikap berlebihan dalam beragama (ghuluw) jika memang
cadar tersebut bukan merupakan tradisi mereka.
Meski demikian terdapat tiga pandangan yang berbeda dalam melihat
permasalahan ini, yaitu menyatakan menggunakan cadar wajib, sunnah, dan
khâlaf al-awla (menyalahi keutamaan). Meski demikian menggunakan cadar
tidak sepenuhnya bertentangan dengan hukum Islam (Fikih), namun menjadi
bertentangan jika penggunaan cadar justru menimbulkan fitnah, inklusi dan
segregasi sosial.
Sebab berdasar kesepakatan ulama menghindarkan fitnah adalah
wajib, sedangkan mengenakan cadar hanyalah kewajiban yang berdasar
pandangan sebagian ulama. Maka mengikuti pendapat yang mujma’ ‘alaih
(disepakati) yang lebih ashlah (lebih baik) dari mengikuti pendapat yang
masih mukhtalaf fihi (diperselisihkan). Sebagaimana diyatakan oleh ‘Izzuddîn
Ibnu Abdissalâm 38 berikut:

َ ْ ‫ال ْص َل ِح إ َِّل َج ِاه ٌل ِب َف ْض ِل‬


‫ال ْص َل ِح‬ َّ ‫َل ُي َق دِّ ُم‬
َ ْ ‫الص ا ِل َح َع َل ى‬

“Hanya orang yang tidak mengetahui yang mendahulukan yang baik


dengan meninggalkan sesuatu yang lebih baik.”39

38
Ulama kelahiran Damaskus yang banyak mengabdikan ilmunya di Mesir bergelar Sulthân al-
‘Ulamâ`. ‘Izzudîn yang lahir 1181 M (577 H) menguasai ilmu keislaman seperti Fikih, Ushul Fikih
dan lain-lain. Kiprahnya juga menjadi penasihat bagi beberapa pemimpin kesultanan di Syiria dan
Mesir.
39
Izzuddin Ibnu Abdissalam, Qawâ`id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Bairut-Dâr al-Ma’arif, tt, juz, I, h. 5.
BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 27

Sebaliknya, tidak ada larangan bagi komunitas yangmengenakan niqâb


karena tidak bertentangan dengan syari’ah (fiqih). Maka sikap yang bijak
sejalan dengan kaidah fiqih berikut ini:

‫َل ُي ْن َك ُر ْالُخْ َت َل ُف ِف ي ِه َوإ َِّنَ ا ُي ْن َك ُر ْالُ ْج َم ُع َع َل ْي ه‬

“UmatIslam tidak boleh saling mengingkari hal-hal yang masih


diperselisihkan ulama.”40

Bagaimana Sikap Ketika Menghadapi Orang atau Pihak yang


Mewajibkan Bercadar?
Yang perlu segera dicatat di sini adalah pertanyaan mengenai “sikap
menghadapi pihak-pihak yang mewajibkan cadar.” Padahal sudah jelas
dalam pemaparan sebelumnya bahwa ada beragam pandangan mengenai
penggunaan cadar. Dari yang makruh hingga wajib.
Forum Bahtsul Masa`il ini berpandangan jika penggunaan busana
muslimah harusnya diselaraskan dengan konteks dan tradisi yang berkembang
di Indonesia. Penggunaan pakaian yang dinilai dapat menciptakan segresasi
sosial dan berkurangnya interaksi sosial seharusnya dihindari.
Ini sejalan dengan pandangan Madzhab Mâliki yang menyatakan
hukum penggunaan cadar adalah makruh karena dianggap berlebih-lebihan
(ghuluw) bagi masyarakat di mana cadar bukan bagian dari budaya mereka.
Pandangan Forum ini diperkuat berdasar pandangan mayoritas ulama yang
menyatakan jika wajah bukanlah aurat.
Meski demikian, Forum ini juga tidak sejalan dengan pandangan yang
selalu memberi stigma bahwa pemakai cadar identik dengan kekerasan dan
ekstremisme. Forum juga menekankan pentingnya menghargai keragaman
pandangan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sikap seseorang yang
meyakini kewajiban tentang penggunaan cadar harusnya dihargai. Tapi
yang menjadi tantangan terbesar adalah sikap merasa paling benar, dimana
seseorang atau kelompok tertentu menilai bahwa apa yang mereka pilih lebih
baik, lebih shâlihah, atau lebih benar dalam beragama, sehingga memaksa
orang lain untuk bercadar atau sebaliknya, melarang bercadar.

40
Jalâluddîn as-Suyûthî, al-Asybâh wa an-Nazhâ`ir, Bairut-Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 158.
28 WAHID FOUNDATION

Dalam merespons orang atau-pihak yang mewajibkan niqâb, apalagi


dengan cara-cara yang kurang etis, diperlukan sikap yang bijaksana agar kita
juga tidak menjadi pihak yang merasa paling benar dan menganggap orang
lain yang tidak sepaham adalah salah.
Langkah-langkah tersebut antara lain. Pertama, berusaha menghargai
pandangan tersebut dan menghormati pilihan meraka, jika itu dilakukan
dengan kehendak diri sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun. Kedua,
menjelaskan bahwa para ulama memiliki ragam pandangan mengenai
hukum cadar, termasuk yang mengatakan bahwa penggunaan cadar tidak
wajib. Ketiga, menjelaskan bahwa Indonesia juga memiliki tradisi dan sejarah
berpakaian seperti yang kita kenal saat ini dan hendaknya juga dihormati dan
dihargai sebagaimana hak bagi yang menilai kewajiban cadar.

Wallahu a’lam bishawab.


BERCADAR DALAM PANDANGAN ISLAM 29

PESERTA FORUM
BAHTSUL MASA’IL HALAQAH
PEREMPUAN UNTUK PERDAMAIAN

Dr. Abdul Moqsith Ghozali (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;


PengurusMajlis Ulama Indonesia [MUI] Pusat); Nyai Acun Sunhiyah
R ahmah (Pesa nt ren A n nuqoy ya h Madu ra, Jawa Ti mu r); A D.
Kusumaningtya (Rahima Jakarta); Nyai Hj. Afwah Mumtazah (Pondok
Pesantren Puteri Aisyah PP Kempek Cirebon, Jawa Barat); Ahmad Uzair,
Ph.D (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta); Nyai Hj.
Aina Ainaul Mardliyah (Pondok Pesantren Ar-Risalah); Alai Najib, MA
(Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) Anin Nurhayati
(Institut Agama Islam Negeri Tulungagung Jawa Timur); Anisia Kumala,
M.Psi. (Pimpian Pusat Nasyiatul Aisyiah Muhammadiyah); Badrus
Samsul Fatta (Pusat Studi Radikalisme dan Deradikalisasi); Elisa Dewi,
M.Si (Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiah Muhammadiyah); Emmamatul
Qudsiyyah (Lembaga Kesejahteraan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama); Euis Badriah (Muslimat Nahdlatul Ulama); Dr. KH. Faqihuddin
Abdul Kadir(Fahmina Institute Cirebon); Hurin ‘In AM (Universitas
Nadhlatul Ulama Indonesia); NyaiIda Nurhalida (Pondok Pesantren
Cipasung Jawa Barat); Idris Masud, Lc (Lakpesdam NU); KH. Imam
Nakhei (Komisioner Komnas Perempuan); KH Husein Muhammad
(Pondok Pesantren Daruttauhid Cirebon Jawa Barat); Khotimatul Husna
(Ketua Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama, Yogyakarta); M.
Jamaluddin (Lakpesdam Nahdlatul Ulama); Mahbub Ma’afi Ramdlan
(Lembaga Bahstul Masail Nadhaltul Ulama); Nyai Masriah Amva
(Pondok Pesantren Kebon Jambu Cirebon Jawa Barat) Maya Dina RM
(Lembaga Kesejahteraan Keluarga NU Jepara Jawa Tengah); Miftahul
30 WAHID FOUNDATION

Jannah (Fatayat Nahdlatul Ulama) KH. Mukti Ali, MA (Rumah Kitab);


Musliha Rofiq (Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdlatul Ulama) Neng
Dara Afiah (Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama) Noor Isma
(Institute for Policy and Analysis Center); Rindang Farihah (Pimpinan
Wilayah Fatayat NU Yogyakarta; Risa Farihatul Ilma (Sekolah Tinggi
Agama Islam Nadhlatul Ulama); Sarmidi Husna (Lembaga Bahstul
Masail PBNU); Dr. Sri Mulyati (Muslimat NU); Udji Asiyah (Muslimat
NU); Ulfatul Hasanah (STAINU); Nyai Umdah El-Baroroh(Pondok
Pesantren Mansajul Ulum, Pati, Jawa Tengah); Umma Farida (PW MNU
Jateng); Yayah Hisbiyah (PP Muhammadiyah); Yulianti Muthmainah
(Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan); Ustadz Suaedi (LBM
NU Pondok Udik, Bogor); Wiwin Siti Aminah Rohmawati (ISAIS UIN
Sunan Kalijaga).

Anda mungkin juga menyukai