Y, perempuan, berusia 69 tahun dirawat di bangsal penyakit dalam RSUD
Sijunjung pada tanggal 16 Mei 2023 dengan keluhan utama mual dan muntah satu hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai pembengkakan perut sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien telah didiagnosa menderita penyakit Sirosis Hepatis pada tanggal 23/12/2022. Salah satu komplikasi dari Sirosis Hepatis adalah asites yang disebabkan oleh rusaknya jaringan hepatosit yang mengakibatkan meningkatnya tekanan vena porta hepatika sehingga membuat cairan intravaskular terekstravasasi ke ekstravaskular dengan meningkatnya tekanan hidrostatik. Meningkatnya tekanan abdomen oleh asites dapat memicu eksitasi saraf CN X atau saraf vagus yang membuat gejala mual dan muntah.3 Keluhan pasien tidak disertai dengan muntah berdarah sehingga tidak ditemukan gejala dari salah satu komplikasi Sirosis Hepatis yaitu Varises Esofagus.4 Pada riwayat penyakit dahulu, pasien pernah diperiksa di Poli Radiologi dengan USG Abdomen Atas – Bawah dengan temuan ukuran hepar membesar dengan ekhostruktur hemogen dan lien membesar. Tanda-tanda tersebut menunjukkan tanda yang disebabkan oleh hipertensi porta. Fibrosis sel hepatosit terjadi pada Sirosis Hepati. Fibrosis tersebut mengganggu sirkulasi yang melewati hati, terutama vena porta hepatika sehingga membuat kongesti pada lien dan lien membesar. Pasien memiliki rwayat penyakit dahulu yaitu gagal jantung kongestif dengan pengobatan Furosemid 1x40 mg tab po pada pagi hari, Spironolakton 1x100 mg tab po pada sore hari. Lansoprazol 1x30 mg caps po pada pagi hari, Bisoprolol 1x2,5 mg tab pada pagi hari, dan Candesartan 1x8 mg tab pada malam hari. Pengobatan menggunakan antihipertensi seperti candesartan, beta-blocker seperti bisoprolol, dan diuretik seperti furosemide menunjukkan bahwa pasien memiliki CHF Stage III dengan gagal jantung bergejala.4,11 Tekanan vena porta hepatica yang meningkat dapat mengganggu fisiologi jantung, meningkatnya volume dan tekanan preload jantung kanan sehingga membuat jantung kanan hipertrofi dan mengurangi kontraktilitas jantung.12 Gejala gagal jantung kanan seperti meningkatnya jugular venous pressure, edema pitting pada kedua kaki, dan asites. Pada pasien dapat ditemukan tanda JVP meningkat, edema pitting dan asites.3,4 Namun, asites dan edema pitting dapat disebabkan oleh sirosis hepatis dengan meningkatnya tekanan vena porta hepatika dan hipoalbuminemia. Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan bahwa pasien mengalami trombositopenia dengan kadar trombosit 71.000 sel/mm3 dan anemia makrositik hiperkromik dengan Hb 9,3 mg/dL, MCV 117,4, dan MCH 38,6. Kadar ureum dan kreatinin dalam batas normal. Salah satu komplikasi pada kasus Sirosis Hepatis adalah sindrom hepatorenal. Tidak tampak gangguan pada ginjal dari tidak ada riwayat gangguan buang air kecil dan kadar normal ureum dan kreatinin. Penyebab Sirosis Hepatis terdiri dari hepatitis karena obat, hepatitis virus, hepatitis karena alkohol, dan non-alcoholic fatty liver (NAFL). Pada pemeriksaan penunjang ditemukan bahwa antibodi yang reaktif terhadap Hepatitis B dan C dinyatakan nonreaktif. Pada anamnesis, pasien tidak memliki riwayat konsumsi alkohol. Namun, pasien memiliki status gizi obesitas II dengan BMI 35,41. Obesitas adalah salah satu faktor risiko NAFL. Namun, diagnosis NAFL ditetapkan oleh ultrasonografi dengan ditemukannya bright liver dan biopsi hati. Pada pemeriksaan USG sebelumnya tidak ditemukan bright liver. Karena diagnosis NAFL belum bisa ditegakkan, pemeriksaan USG dapat dilakukan kembali, dan ada opsi untuk biopsi hati, diagnosis kerja yang ditetapkan adalah Sirosis Hepatis et causa suspek Non- alcoholic fatty liver. Tatalaksana yang dilakukan pada Sirosis Hepatis Kompensata adalah penatalaksanaan komplikasi. Komplikasi asites diatasi dengan pemberian furosemid dan spironolakton. Dosis spironolakton yang dapat diberikan mulai dari 100 – 600 mg/hari dan furosemid adalah 20-40 mg/hari. Respon diuretik dapat diukur dengan hitung keluar cairan dalam tubuh dengan asites dan edema dianjurkan 1500 cc/hari. Ditemukan balans cairan pada hari kedua perawatan adalah 5760 cc. Efek samping yang perlu diwaspadai adalah hiponatremia, hiperkalemia, dan gagal ginjal akut. Interaksi obat yang perlu dihindari adalah penggunaan ACE inhibitor, ARB, atau NSAID bersamaan dengan spironolakton karena dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Karena cairan yang keluar di atas 4 liter, diuresis yang berlebih dapat beresiko menimbulkan hipoalbuminemia dan dilakukan cek albumin. Tatalaksana kedua yang dilakukan adalah pemberian laktulosa dan asam amino seperti aminoleban dan l-ornithine l-aspartate. Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena sirosis, pasien dapat mengalami ensefalopati hepatikum yang disebabkan oleh berlebihnya amonia dalam tubuh. Pemberian asam amino dapat menurunkan produksi amonia sehingga dapat mengatasi ensefalopati hepatikum. Laktulosa diberikan untuk mengurangi amonia serum dan mencegah atau mengobati ensefalopati hepatikum. Laktulosa merupakan disakarida sintetis yang tidak dapat dicerna oleh enzim usus, sehingga mencapai kolon dan difermentasi oleh bakteri menjadi asam laktat dan asetat. Asam-asam ini menurunkan pH usus dan menghambat penyerapan amonia dari usus ke darah. Pasien saat pemeriksaan tampak lemah dengan GCS 14. Pemberian tatalaksana ensefalopati hepatikum diberikan untuk mengatasi dan mencegah komplikasi tersebut. Tatalaksana selanjutnya adalah tatalaksana simptomatik yaitu mual dan muntah. PPI seperti omeprazol dapat mengurangi iritasi pada lambung sehingga mengurangi mual. Antiemetik seperti Ondansetron dapat mengurangi gejala muntah secara efektif. Pada pasien ditemukan hipokalemia. Tatalaksana hipokalemia harus memperhatikan dari kadar kalium dalam darah. Jika kalium di atas 2,5 mg/dL, pasien dapat diberikan kalium peroral. Jika kalium di bawah 2,5 mg/dL, koreksi kalium diberikan lewat injeksi intravena. Berdasarkan klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, pada pasien kadar bilirubin tidak diketahui (poin 0), kadar albumin pasien < 3,0 g/dL (poin 3), PT tidak diketahui (poin 0), asites tidak terkendali dengan terapi (poin 3), dan ensefalopati minimal (poin 2). Dari kelima parameter diatas, jumlah poin awal adalah 8 sehingga klasifikasi prognosis dari sirosis hepatis yang diderita pasien adalah CTP B. Namun, karena kesadaran pasien menurun, maka pasien mengalami ensefalopati hepatikum lanjut dan poin bertambah menjadi 9 dan klasifikasi prognosis berubah menjadi CTP C. Setelah perawatan dan tatalaksana selama tiga hari, asites terdapat perbaikan dengan abdomen menjadi tidak tengang dan mengecil, serta edema pitting berkurang. Gejala mual dan muntah membaik. Namun, pada hari ketiga terdapat penurunan kesadaran dari GCS 14 pada hari kedua menjadi GCS 8. Pasien risiko mengalami henti napas dan dibutuhkan intubasi. Fasilitas intubasi di RSUD Sijunjung tidak tersedia. Maka dari itu, pasien diputuskan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Pusat M Djamil untuk perawatan intensif. Pasien Ny. Y menderita sirosis hepatis kompensata dengan asites, ensefalopati hepatikum, dan gagal jantung kongestif. Penyebab sirosis hepatis belum diketahui pasti, tetapi dicurigai karena non-alcoholic fatty liver. Tatalaksana yang dilakukan meliputi pemberian diuretik, laktulosa, asam amino, PPI, antiemetik, dan koreksi hipokalemia. Prognosis pasien buruk dengan klasifikasi Child-Turcotte-Pugh C.