Anda di halaman 1dari 3

A.

Mengintimidasi

Dalam KUHP, intimidasi umumnya dirumuskan dalam pasal yang memuat unsur ‘dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan’ (door geweld atau door bedreiging met geweld).
Rumusan tersebut misalnya ditemukan dalam Pasal 146 KUHP atau Pasal 232 UU
1/2023 tentang KUHP baru yang menggunakan kalimat “kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan” mengganggu sidang legislatif, yang berbunyi:

Pasal 146 KUHP Pasal 232 UU 1/2023 tentang KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau
kekerasan membubarkan rapat badan pembentuk Ancaman Kekerasan membubarkan rapat
undang-undang, badan pemerintahan atau badan lembaga legislatif dan/atau badan
perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh atau atas pemerintah atau memaksa lembaga dan/atau
nama Pemerintah, atau memaksa badan-badan itu badan tersebut agar mengambil atau tidak
supaya mengambil atau tidak mengambil sesuatu mengambil suatu keputusan, atau mengusir
putusan atau mengusir ketua atau anggota rapat pimpinan atau anggota rapat tersebut,
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dipidana dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun. 6 (enam) tahun.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 232 UU 1/2023 tentang KUHP dinyatakan bahwa yang
dimaksud sebagai “kekerasan atau ancaman kekerasan” tidak hanya pengancaman terhadap
orang melainkan juga terhadap barang seperti membakar gedung tempat rapat.

Selain itu, contoh pasal intimidasi dan pengancaman juga dapat ditemukan dalam Pasal 336
KUHP atau Pasal 449 UU 1/2023 tentang tindakan mengancam dengan kekerasan terhadap
orang atau barang

Contoh pasal intimidasi lainnya adalah Pasal 335 KUHP jo. Putusan MK No.
1/PUU-XI/2013 (hal. 39 – 40) atau Pasal 448 UU 1/2023 yang berkaitan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain melakukan, tidak melakukan, atau
membiarkan sesuatu.

Intimidasi juga dapat ditemukan di dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP atau Pasal 482 UU
1/2023 dan Pasal 369 KUHP atau Pasal 483 UU 1/2023 yang memuat unsur ‘memaksa orang
lain’. Pasal 368 ayat (1) KUHP atau Pasal 482 UU 1/2023 disebut ‘pemerasan dengan
kekerasan’ (afpersing) sedangkan Pasal 369 KUHP atau Pasal 483 UU 1/2023 disebut
‘pemerasan dengan menista’ (afdreiging atau chatage). Bedanya terletak pada alat yang
digunakan untuk memaksa, Pasal 368 menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan,
sedangkan Pasal 369 menggunakan alat ‘akan menista atau menista dengan surat atau akan
membuka rahasia’.

B. Intervensi

BerdasarkanPasal 279 Reglement op de Rechtsvordering (RV) yang merupakan ketentuan


hukum acara perdata yang berlaku di Indonesiaberdasarkan ketentuan Pasal II Aturan
Peralihan UUD NRI Tahun 1945 berbunyi :

“Barang siapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan
antara pihak-pihak lain, dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan.”

Sehingga intervensi oleh pihak ketiga dalam perkara perdata dimungkinkan apabila pihak
tersebut memiliki kepentingan pada pokok perkara yang sedang berlangsung. Proses
intervensi sendiri dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri dari pihak ketiga maupun
karena adanya pihak ketiga yang ditarik masuk oleh salah satu pihak yang berperkara.

Intervensi terbagi ke dalam 3 (tiga) jenis :

1. Voeging
Peristiwa masuknya pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara dengan mendukung
salah satu pihak, yaitu penggugat atau tergugat. Proses masuknya pihak ketiga ini
berdasarkan inisiatif sendiri dari pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga tersebut dapat
memilih untuk mendukung penggugat ataupun tergugat,tergantung kepada
kepentingan dari pihak ketiga atas objek perkara.
2. Tussenkomst
Peristiwa masuknya pihak ketiga atas inisiatifnya sendiri dalam pemeriksaan suatu
perkaraperdata. Berbeda dengan voeging, pada tussenkomst ini pihak ketiga masuk
sebagai pihak sendiri yang berhadapan dengan penggugat dan tergugat. Sehingga
pihak ketiga pada tussenkomst tidak memihak kepada pihak manapun dan berdiri atas
kepentingannya sendiri. Persyaratan utama tussenkomst adalah pihak ketiga yang
ingin masuk sebagai pihak dalam perkara yang sedang berlangsung harus memiliki
hubungan yang erat dengan pokok perkara.
3. Vrijwaring
Peristiwa masuknya pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara karena ditarik oleh salah
satu pihak yang sedang berperkara, dalam hal ini pihak tergugat. Penarikan pihak
ketiga oleh tergugat dilakukan untuk membebaskan tergugat dari kewajiban atau
tanggung jawab pada pokok perkara dan melampiaskan hal tersebut kepada
pihakketiga yang ditarik. Pihak tergugat dalam jawaban atau dupliknya dapat
mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar pihak ketiga ditarik sebagaipihak
dalam pemeriksaan pokok perkara. Sehingga dalam vrijwaring,masuknya pihak ketiga
dalam suatu perkara perdata bukan berdasarkan inisiatifdari pihak ketiga tersebut.

Dalam melakukan upaya intervensi, pihak ketiga dapat mengajukan gugatan pada pengadilan
di mana pokok perkara sedang berjalan untuk dapat turut serta dalam pokok perkara. Hal ini
dikenal sebagai gugatan intervensi. Gugatan intervensi merupakan suatu perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pihak ketiga dikarenakan adanya kepentingan dalam gugatan tersebut
dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara
perdata yang sedang berlangsung.

Dalam gugatan intervensi, pihak ketiga dapat berperan sebagai penggugat intervensi ataupun
sebagai tergugat intervensi. Namun pengajuan permohonan gugatan intervensi harus diajukan
sebelum pembuktian, yaitu dalam proses pembacaan gugatan dan jawaban gugatan. Hal ini
dikarenakan pengadilan perlu melakukan pemeriksaan terhadap gugatan intervensi yang
diajukan pihak ketiga tersebut.

Setelah melakukan pemeriksaan tersebut, maka majelis hakim akan mengeluarkan putusan
sela (tussen vonis) untuk memutuskan apakah gugatan intervensi diterima atau ditolak.
Apabila gugatan intervensi diterima, maka pihak ketiga selanjutnya dapat turut serta dalam
pemeriksaan perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai