Anda di halaman 1dari 8

Laporan Praktikum Hari, tanggal : Senin, 4 Maret 2024

Teknik Analisis untuk Kimia Klinis Waktu : 08.00 – 11.00 WIB


PJP : Dr. drh. Erni Sulistiawati
Asisten praktikum : Maheswari Alfira, S.Si, M.Si
Asisten : Diya Aghnia S.Si
Muhammad Rifqi A.H.

GINJAL

Kelompok 2

Melkhior Felix Sitompul J0412221031


Dinni Angraini J0412221060
Syifa Naura J0412221062
Suci Rahma Yanti J0412221090
Putri Ardiani J0412221172
Jo-Anne St. Claire J0412221183

PROGRAM STUDI ANALISIS KIMIA


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2024
PENDAHULUAN

Ekskresi adalah proses pengeluaran sisa metabolisme yang dapat dikerjakan oleh
paru-paru, kulit, saluran pencernaan, dan ginjal. Ginjal merupakan salah satu organ tubuh
yang memiliki fungsi utama sebagai pengekskresi sisa metabolisme tubuh seperti ureum,
kreatinin, dan asam urat (Syuryani et al. 2021). Ginjal mampu menyaring darah yang
masuk dari pembuluh darah untuk mengambil zat-zat yang dapat meracuni tubuh dan
membuang zat tersebut melalui urin (Sugiarta et al. 2019). Ginjal dapat mengalami
penurunan kinerja yang mengakibatkan tidak dapat menyaring pembuangan elektrolit
tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia dalam tubuh seperti kalium dan
natrium.
Fungsi ginjal yang terganggu dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan ginjal
dalam mencuci darah dari zat-zat yang beracun ataupun dari sisa metabolisme. Apabila
tidak dikeluarkan, maka zat-zat tersebut akan menumpuk dalam darah yang menimbulkan
gejala klinik sebagai sindrom uremik (Yulianto et al. 2017). Penyakit ginjal akut adalah
suatu kondisi di mana ginjal secara tiba-tiba tidak dapat menyaring limbah dari darah.
Gagal ginjal akut berkembang dengan cepat dalam beberapa jam atau hari dan mungkin
berakibat fatal. Penyakit ini paling umum terjadi pada orang yang sakit kritis dan sudah
dirawat di rumah sakit. Sedangkan, penyakit ginjal kronis adalah kelainan struktur ginjal
atau penurunan fungsi ginjal secara progresif atau menetap secara lama. Penyakit ginjal
kronis ditandai dengan menurunnya fungsi ginjal dalam mempertahankan cairan tubuh
dalam keadaan diet normal (Sugiarta et al. 2019).
Terdapat beberapa parameter klinis pada pengujian ginjal diantaranya serum
kreatinin, kadar ureum, laju filtrasi glomerulus (GFR), dan Blood Urea Nitrogen (BUN).
Adapun beberapa tes tambahan untuk pemeriksaan ginjal, yaitu biopsi ginjal, tes
kandungan albumin dalam darah, tes kandungan elektrolit dalam darah dan urin, stetoskopi
atau ureoskopi. Serum kreatinin merupakan hasil pemecahan jaringan otot. Kadar kreatinin
dalam darah yang lebih besar dari nilai normal mengindikasikan adanya gangguan fungsi
ginjal. Kadar kreatinin normal pada dewasa berkisar 0,5-1,1 mg/dL.
Praktikum percobaan mengenai ginjal bertujuan untuk mempelajari ada atau
tidaknya gangguan ginjal melalui proses pemeriksaan biokimia darah melalui reaksi
beberapa kerja enzim yang terlibat dalam pembentukan produk metabolisme protein, selain
itu,untuk mempelajari peran pelarut organik dan anorganik dalam menganalisis komposisi
batu urin.

METODE

Tempat dan Waktu

Praktikum Mata Kuliah Teknik Analisis Untuk Kimia Klinis mengenai cairan tubuh
(efusi) dilakukan pada hari Senin 4 Maret 2024 pukul 08.15-11.30 yang bertempat di
Laboratorium GG KIM 02 Kampus Cilibende Sekolah Vokasi IPB University.

Alat dan Bahan

Praktikum mengenai Vitamin C dibutuhkan beberapa alat dan bahan. Alat yang
digunakan pada praktikum mengenai ginjal diantaranya fotometer, mikropipet 1000
mikroliter dan 200 mikroliter, tabung reaksi, Mortar dan pestle, lakmus merah, kertas
saring, vortex gelas piala, pipet tetes, dan penangas air. Bahan yang digunakan yaitu
Pereaksi R1, R2 dan R3, larutan viall, serum darah, aquadestillata, larutan HCl dan NaOH
encer, KMnO4 0,01N, HNO3 pekat, Pbhasetat 5%, H2SO4 encer, larutan NaCO3, NH4OH3
pekat, dan asam fosfo wolframat.
Prosedur Percobaan

Penentuan Ureum Darah Metode Spektrofotometer


Penentuan ureum pada serum darah domba, dilakukan pembuatan larutan standar,
kemudian dipipet larutan urea berthelot standar sebanyak 10 mikroliter ke dalam tabung
reaksi, lalu ditambahkan campuran Reagen R1 dan R2 sebanyak 1000 mikro liter, setelah
itu dihomogenkan lalu divortex dan diinkubasi pada suhu 37 derajat celcius selama 5 menit.
Setelah diinkubasi ditambahkan Reagen R3 dan dihomogenkan dengan vortex lagi.
Kemudian pembuatan sampel, dengan 10 mikro liter serum darah domba dipipet ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan Reagen campuran R1+ R2 sebanyak 1000 mikro liter
dan dikocok lalu vortex,setelah itu diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37 derajat celcius.
Setelah diinkubasi ditambahkan Reagen 3 sebanyak 1000 mikroliter dan dilakukan
pengocokan kembali menggunakan vortex. Pembuatan larutan blangko dibuat dengan
dipipet campuran Reagen R1+ R2 sebanyak 1000 mikro liter, kemudian diinkubasi selama
5 menit pada suhu 37, lalu ditambahkan Reagen R3 dan dihomogenkan dengan vortex.
Kemudian lakukan pengukuran larutan standar, sampel serta blangko dengan alat fotometer
dan panjang gelombang 518 nm.

Penentuan Garam Anorganik dalam Batu Ginjal


Oksalat dan Fosfat Sample batu ginjal dihancurkan dengan mortar,kemudian
Larutkan serbuk batu ginjal seujung sudip dalam 5 mL HCl encer,setelah itu lakukan
penyaringan dengan kasa.campuran dialkalisasikan dari larutan hasil penyaringan dengan
penambahan NaOH setetes demi setetes sambil dievaluasi dengan kertas lakmus jika sudah
bersifat alkalis, maka dihentikan penetesan penetesan NaOH, dan perhatikan apkah ada
tidaknya endapan yang terbentuk, asamkan dengan penambahan asam asetat dan disaring.
Perhatikan hasil saat penyaringan: jika garam oksalat tertahan dikertas saring maka
dilakukan pencucian beberapa kali dengan aquadest. Jika Garam fosfat ikut dengan filtrat
tambahkan Pb-asetat 5 % pada filtrat. Jika terdapat fosfat, maka akan terbentuk endapan
putih. Kemudian larutkan dengan H2SO4 encer dan teteskan dengan sejumlah cukup tetesan
KMnO4 0,01 N menggunakan pipet tetes hingga larutan campuran tersebut berwarna
kemerah-merahan yang berarti ada garam oksalat.

Penentuan Garam Organik dalam Batu Ginjal


Urate
Sample batu ginjal di hancurkan dengan mortar, selanjutnya ditetesi HNO3 pekat
kemudian di keringkan di atas bunsen dengan cara melewati api, jika sudah mengering
perhatikan jika terjadi perubahan, dan catat warna yang terbentuk. Hasil warna terbentuk
ketika sudah mengering dan ditetesi NH4OH pekat sampai menjadi warna lembayung
(antara nila dan ungu), tambahkan larutan Na2CO3 dan asam fosfo wolframat, jika terbentuk
warna biru berarti menunjukkan adanya urat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ureum adalah salah satu senyawa kimia yang dapat menentukan kenormalan fungsi
pada ginjal. Ureum merupakan produk akhir dari metabolisme asam amino yang disintesis
dari amonia, karbon dioksida, dan nitrogen yang dikeluarkan oleh ginjal (Suryawan et al.
2016). Ureum merupakan salah satu produk dari pemecahan protein dalam tubuh yang
disintesis di hati dan 95% dibuang oleh ginjal dan sisanya 5% dalam feses. Adapun nilai
normal untuk kadar ureum pada hewan berkisar 15,0 - 36,0 mg/dL (Marhaeniyanto et al.
2019). Penentuan kadar ureum dapat dilakukan dengan metode kolorimetri atau enzimatik.
Secara enzimatik prinsip penentuan kadar ureum pada serum darah yang mengandung urea
akan terhidrolisis oleh enzim urease menghasilkan amonia yang kemudian amonia bereaksi
dengan a-ketoglutarate dan NADH dengan katalis GLDH. Kemudian dilakukan penentuan
+

absorbansi menggunakan fotometer. Perubahan konsentrasi NADH+ menjadi NAD+


sebanding dengan kadar urea pada serum darah (Kamil dan Putri 2022). Penentuan kadar
ureum pada percobaan menggunakan serum darah Domba milik kelompok 5 kelas BP2.
Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan kadar ureum pada sampel serum darah Domba


Tabung Absorbansi Kadar (mg/dL)

Blangko 0,822 -

Standar 634,38 -

Sampel 1051,03 82,82


Merujuk pada Tabel 1, kadar ureum yang diperoleh pada serum darah Domba
sebesar 82,82 mg/dL. Jika dibandingkan dengan kadar ureum darah normal, kadar ureum
darah Domba hasil analisis yang diperoleh memiliki kadar yang lebih besar dari kadar
normal yakni sebesar 15,0 - 36,0 mg/dL. Tingginya kadar ureum dalam serum darah Domba
dapat disebabkan oleh kandungan pakan konsentrat yang terlalu tinggi sehingga
meningkatkan ketersediaan protein ransum (Marhaeniyanto et al. 2019). Meningkatnya
urea dalam darah dapat menandakan adanya masalah pada ginjal. Peningkatan kadar ureum
dapat disebabkan oleh prerenal (dekompensasi jantung, dehidrasi yang berlebihan, dan
peningkatan katabolisme protein), penyebab renal (glomerulonephritis akut, nefritis kronis,
penyakit ginjal polikistik, dan nekrosis tubular) dan penyebab postrenal (semua jenis
obstruksi pada saluran kemih, seperti batu ginjal, kelenjar prostat yang membesar dan
tumor). Kadar ureum yang tinggi dan berlangsung dengan kronik merupakan penyebab
utama manifestasi dari sindrom uremia, yang dibagi dalam beberapa bentuk yaitu,
pengaturan fungsi regulasi dan ekskresi yang buruk seperti keseimbangan volume cairan
dan elektrolit, keseimbangan asam basa, retensi nitrogen dan metabolisme lain (Loho et al.
2016). Pemerikasaan ureum dalam dunia klinis yang paling sering dan umum dilakukan
yaitu berdasarkan prinsip enzimatik. Reaksi enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti pH atau keasaman, konsentrasi enzim, substrat, kofaktor, dan inhibitor enzim.
Reagen kerja terdapat substrat yang lama penyimpanannya akan mempengaruhi bentuk
substrat, sehingga pada proses pencampuran antara reagen kerja dan sampel serum tidak
terjadi pengikatan yang sempurna antara substrat dan enzim. Ketidaksempurnaan reaksi
antara reagen dan berdampak pada serum.
Batu ginjal merupakan pengkristalan mineral yang mengelilingi zat organik,
misalnya nanah, darah, atau sel yang sudah mati dan biasanya batu (kalkuli) terdiri dari atas
garam kalsium (oksalat dan fosfat) atau magnesium fosfat dan asam urat. Batu ginjal
terbentuk bila konsentrasi garam atau mineral dalam urine mencapai nilai yang
memungkinkan terbentuknya kristal yang akan mengendap pada tubulus ginjal atau ureter,
dimana meningkatnya konsentrasi garam-garam disebabkan adanya kelainan metabolisme
atau pengaruh lingkungan dan sebagian besar batu ginjal merupakan garam kalsium, fosfat,
oksalat, serat asam urat. Sekitar 75% sampai 85% dari batu ginjal adalah kalsium, batu ini
biasanya merupakan kombinasi dari kalsium dan oksalat. Batu ini terbentuk jika kandungan
zat tersebut terlalu banyak dalam urine, selain itu jumlah berlebih vitamin D menyebabkan
tubuh menyerap kalsium. Batu kalsium oksalat terjadi karena proses multifaktor,
kongential, dan gangguan metabolik. Batu ini terkadang ditemui dalam bentuk murni atau
juga bisa dalam campuran, misalnya batu kalsium oksalat (Fauzi dan Purra 2016). Analisis
kimiawi batu ginjal dapat dilakukan dengan dua cara yaitu analisis garam organik dan
analisis garam anorganik (Handayani 2020). Berikut hasil analisis ginjal sebagai garam
anorganik dan garam organik pada Tabel 2.
Tabel 2 Analisis batu ginjal sebagai garam anorganik dan garam organik
Uji Hasil Dokumentasi

Garam anorganik (-) oksalat karena tidak terbentuk


oksalat endapan

Gambar 1 Hasil Garam


Anorganik Oksalat
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Garam anorganik (+) fosfat karena terbentuk endapan


fosfat putih

Gambar 2 Hasil Garam


Anorganik Fosfat
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Garam organik (-) urat karena larutan tidak


urat menghasilkan warna biru

Gambar 3 Hasil Garam Organik


Urat
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Percobaan pengujian bahan organik diuji menggunakan dua pelarut berbeda yaitu
HNO3 pekat, NH4OH, dan Na2CO3, fosfowolframat percobaan dengan Na2CO3 dilakukan
dengan penambahan asam fosfowolframat 5% kemudian amati warna yang terbentuk.
Penambahan Na2CO3 berfungsi untuk membentuk garam dan asam urat. Fosfowolframat
digunakan sebagai reagen untuk melihat keberadaan urat pada sampel dengan membentuk
senyawa kompleks berwarna biru. Asam urat apabila bereaksi dengan natrium karbonat dan
fosfowolframat akan membentuk senyawa berwarna biru. Berdasarkan percobaan
dilakukan dengan penambahan HNO3 pekat. Larutan HNO3 berfungsi untuk memutus
ikatan rangkap pada asam urat menjadi ikatan tunggal dan mengatasi ikatan tunggal
menjadi ikatan rangkap sehingga dihasilkan warna kuning kecoklatan. Berikut adalah
reaksi yang terbentuk.

Gambar 3 Reaksi Urea dengan HNO3 (Martoharsono 2015)


Analisis batu ginjal organik dilakukan terhadap sampel batu ginjal. Asam urat relatif
tidak larut dalam urin sehingga dalam keadaan tertentu mudah terbentuk kristal urat
menjadi batu asam urat. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah
urin yang terlalu asam (pH < 6), volume urin < 2 liter/hari, dan kadar asam urat yang tinggi
(Purnomo 2015). Larutan natrium karbonat Na2CO3 dan asam wolframat fosfat H2W dapat
digunakan dalam proses pengujian ginjal organik. Reaksi yang terjadi antara kedua bahan
ini adalah reaksi pengikat, di mana natrium karbonat akan bereaksi dengan asam wolframat
fosfat untuk membentuk heksa tungstat wolframat (Na2W2O8). Reaksi ini menghasilkan gas
karbon dioksida (CO2) dan air (H2O), selain itu dalam ginjal organik reaksi ini
memungkinkan pemisahan ion logam dari larutan dan menunjukkan bahwa natrium
karbonat dapat digunakan sebagai sumber karbonat dalam proses pengujian tersebut
(Martoharsono 2015).
Menurut literatur (Rafee et al. 2014) faktor predisposisi utama yang berkontribusi
pada pembentukan batu adalah peningkatan kadar garam urine, penurunan asupan air,
peningkatan kehilangan air ireversibel, peningkatan ekskresi mineral, peradangan saluran
kemih, dan perubahan pH urine. Mayoritas urolit pada anjing ditemukan di kandung kemih
atau uretra pada anjing di usia dewasa. Dalam urin yang pH nya asam dan netral sering
ditemukan kristal kalsium oksalat. Kalsium oksalat dapat memicu terjadinya gejala
urolitiasis karena terdapat tripel fosfat dan kalsium oksalat dalam urin. Hambatan aliran
urin yang sering terjadi pada daerah yang lebih sempit. Hal ini bisa disebabkan adanya
kelainan bawaan yang memudahkan terbentuknya batu seperti stenosis, hiperplasia prostat
Benigna, neurogenic jars, atau striktura. Secara umum struktur anatomi saluran kemih
kucing atau anjing jantan lebih sempit (Wardhani et al. 2022). Berdasarkan hasil percobaan
yang telah dilakukan, analisis batu ginjal organik terhadap sampel batu ginjal menunjukkan
hasil yang negatif karena tidak ada warna biru yang menandakan positif urat, melainkan
hasil yang ditunjukkan adalah warna kuning kehijauan pucat. Hasil tersebut dapat
diasumsikan bahwa sampel dari hewan anjing tidak mengalami sakit.
Analisis garam anorganik dilakukan dengan penghalusan batu ginjal terlebih dahulu
kemudian dilarutkan dengan HCl encer, penambahan HCl encer dilakukan untuk
memisahkan senyawa yang lain dan juga untuk melarutkan batu ginjal, kemudian dilakukan
penyaringan untuk memisahkan antara endapan dengan filtrat. Filtrat yang dihasilkan
ditambahkan NaOH tetes demi tetes yang berfungsi untuk membuat suasana basa pada
larutan, setelah basa filtrat tersebut ditambahkan asam asetat untuk mengubah suasana asam
pada larutan. Proses ini dilakukan untuk memisahkan senyawa oksalat dan senyawa fosfat
karena senyawa oksalat tidak dapat larut dalam asam. Penyaringan kemudian dilakukan
kembali ketika senyawa oksalat nantinya akan tertahan pada kertas saring, sedangkan
senyawa fosfat akan terbawa oleh larutan asam menjadi filtrat. Senyawa oksalat kemudian
diuji dengan H2SO4 encer yang dilarutkan dan ditambahkan KMnO4 hingga terjadi
perubahan warna menjadi pink muda, adanya garam oksalat ditandai dengan terbentuknya
warna kemerahan. Senyawa fosfat dilakukan dengan ditambahkan Pb-asetat hingga
terbentuk endapan putih jika hasil positif. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, sampel
batu ginjal yang telah diuji didapatkan keberadaan garam anorganiknya yaitu positif adanya
garam fosfat yang ditandai terbentuknya endapan putih, sedangkan pada garam oksalat
tidak terbentuk warna kemerahan yang berarti negatif adanya oksalat. Menurut Handayani
(2020), persentase kadar kalsium oksalat pada batu ginjal adalah sebanyak 75% dan rentang
kadar kalsium oksalat pada batu ginjal yang positif adalah 30% sampai 81%.
Batu saluran kemih umumnya mengandung unsur kalsium oksalat atau kalsium
fosfat, asam urat, magnesium ammonium fosfat, xanthyn, sistin, silikat dan senyawa
lainnya (Haryadi 2020). Batu ginjal termasuk jenis golongan batu ginjal anorganik,
komposisi batu ginjal dapat terbentuk dari beberapa zat yang sering ditemukan seperti
kalium oksalat dan saat keadaan pH urin rendah (asam) atau tinggi (basa) (Yulianti et al.
2015).
SIMPULAN

Hasil kadar ureum dari percobaan memiliki nilai sebesar 82,82 mg/dL jika
dibandingkan dengan kadar ureum normal sebesar 15,0 - 36,0 mg/dL, kadar hasil percobaan
yang didapat berada di atas nilai normal dan dapat diidentifikasi bahwa tingginya kadar
ureum sampel serum darah yang yang di uji disebabkan oleh kandungan pakan konsentrat
yang terlalu tinggi sehingga meningkatkan ketersediaan protein ransum yang membuat
menurunnya fungsi pada ginjal. Hasil analisis pengujian yang didapat bahwa sampel batu
ginjal hanya mengandung fosfat dikarenakan pada saat penambahan NaOH tidak terbentuk
endapan yang menandakan tidak adanya oksalat dalam sampel. Berdasarkan pengujian
garam organik, setelah penambahan NH4OH tidak terbentuk warna lembayung serta setelah
penambahan asam fosfo wolframat tidak terbentuk presipitat berwarna biru yang
menunjukan sampel batu ginjal negatif terhadap urate.
DAFTAR PUSTAKA

Djasang S, dan Saturiski M. 2019. Studi hasil pemeriksaan ureum dan asam urat pada
penderita tuberkulosis paru yang mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) fase
intensif. Jurnal Media Analis Kesehatan. 10(1): 59-71.
Fauzi A, Putra MM. 2016. Nefrolitiasis. Majority. 5(2): 69-73.
Handayani NMS. 2020. Analisis kadar kalsium oksalat pada batu ginjal. International
Journal of Applied Chemistry Research. 2(1): 2549-3671.
Haryadi, Kania TD, Anggunan, Uyun D. 2020. Ct-scan non kontras pada pasien batu
saluran kemih. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada.11(1): 284-291.
Hasanah U. 2016. Mengenal penyakit batu ginjal. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera. 14(28):
76-85.
Kamil, Putri AAEN. 2022. Pemeriksaan ureum dan kreatinin menggunakan automated
chemistry analyzer biolis 24i premium di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Jurnal Teknologi Laboratorium Medik Borneo. 2(1): 45-53.
Loho IKA, Rambert GI, Wowor MF. 2016. Gambaran kadar ureum pada pasien penyakit
ginjal kronik stadium 5 non dialisis. Jurnal e-Biomedik. 4(2): 1-6.
Marhaeniyanto E, Susanto S, Siswanto B, Murti AT. 2019. Profil darah kambing
peternakan etawa jantan muda yang disuplementasi daun tanaman dalam konsentrat.
Ciastech. 1(1): 209-216.
Martoharsono. 2015. Biofarmaka Jilid 3. Yogyakarta(ID): UGM Press.
Rahayu D, Sugiarto KSD. 2015. Penentuan kadar mineral seng (Zn) dan fosfor (P) dalam
nugget ikan gabus (Channa striata)-rumput laut merah (Eucheuma spinosum).
Sains dan Seni ITS. 4(2): 2337–3520.
Suryawan DGA, Arjani IAMS, Sudarmanto IG. 2016. Gambaran kadar ureum dan kreatinin
serum pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD
Sanjiwani Gianyar. Meditory. 4(2): 145-153.
Syuryani N, Arman E, Putri GE. 2021. Perbedaan kadar ureum sebelum dan sesudah
hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik. Jurnal Kesehatan Saintika
Meditory. 4(2): 117-129.
Sugiarta KA, Cholissodin I, Santoso E. 2019. Optimasi k-nearest neighbor menggunakan
bata algorithm untuk klasifikasi penyakit ginjal kronis. Jurnal Pengembangan
Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 3(10): 10301-10308.
Raffe MA, Sexena AC, Baghel M, Suvarna A (2014). Surgical management of cystic calculi
and testicular tumour in dog. Journal of Advanced Veterinary Research. 4(4): 189-
190.
Wardhani P, Cipka H, Restijono M, Hari E, Hermawan IP, Desiandura K, Sulangi VY.
2022. Operasi pengangkatan batu kandung kemih pada anjing mini pomeranian.
Jurnal Acta Veterinaria Indonesiana. 1(1): 59-64.
Yulianti ID, Wulandari DK, Sardz I. 2015. Analisis kalsium, kalium, dan natrium dalam
buah merah (Pandanus baccan) asal kabupaten poso sebagai alternatif peluruh batu
ginjal. Jurnal Akademika Kimia. 4(1): 50-55.

Anda mungkin juga menyukai