OLEH :
NAMA : ARFIANA
NPM : 02272211037
KELAS : I-B
A. Nilai-nilai Pancasila
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila telah diterima sebagai kesepakatan bangsa bersama
tiga pilar yang lain yaitu UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pancasila secara de yure telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa. Rumusan Pancasila sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV terdiri dari lima sila, azas atau prinsip yaitu :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan
Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan berlandaskan agama, budaya, mata pencaharian dan lingkungan yang
heterogen, seluruh elemen masyarakat dapat menemukan kesamaan sebagai manusia
Indonesia. Persenyawaan tersebut pada perkembangannya berhasil menemukan nilai-nilai
dasar manusiawi yang secara konkrit digunakan untuk mengatur kehidupan bersama dalam
wadah negara, yang berwujud Pancasila.
Rumusan Pancasila secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, sedangkan sebagai
dasar negara, Pancasila memiliki ciri khas yang hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia.
Atas dasar itu, keberadaan Pancasila yang pada hakekatnya adalah nilai (value) yang
berharga, yang memuat nilai-nilai dasar manusiawi dan nilai-nilai kodrati yang melekat pada
setiap individu manusia diterima oleh bangsa Indonesia (Paulus Wahana, 2001: 73).
Mencermati nilai-nilai dasar yang melekat dalam kehidupan manusia, Notonagoro
yang membahas Pancasila secara ilmiah populer, menjelaskan bahwa sesuai sifatnya manusia
memiliki sifat individual dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Dengan memaknai nilai-
nilai dasar manusiawi tersebut, wajar bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diterima oleh seluruh
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki landasan hubungan antara manusia dengan
Tuhan Penciptanya, dengan sesamanya dan dengan lingkungan alamnya (Notonagoro, 1987:
12-23).
Sebagai nilai-nilai dasar manusiawi, Pancasila dalam implementasinya dapat dijabarkan
kedalam nilai-nilai yang lebih khusus, lebih terperinci dan lebih operasional, sehingga dapat
ditemukan dan dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan. Sehubungan dengan hal itu,
perlu dipahami bahwa nilai-nilai Pancasila sebenarnya memiliki sifat sebagai realitas yang
abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, normatif dan berguna sebagai pendorong
tindakan manusia (Paulus Wahana, Loc. Cit : 29-33).
Kelima sila, azas atau prinsip Pancasila dapat dikristalisasikan kedalam lima dasar
yaitu nilai keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Pancasila
merupakan jalinan nilai-nilai dasar dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya, nilai-
nilai asli yang hidup, yang berasal dan berakar dari bangsa Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara setelah ditetapkan
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam perkembangannya dikuatkan kembali
melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998. Kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi bangsa dapat dipandang dari tiga aspek yaitu filosofis, yuridis dan
politik.
1) Aspek filosofi
Berdasarkan aspek filosofis, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional
berisi nilai dan gagasan atau ide dasar. Sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila menjadi
pijakan normatif dan orientasi dalam memecahkan masalah kebangsaan dan kenegaraan,
sehingga isi gagasan mengenai Pancasila dapat dijadikan jawaban tentang persoalan
kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan dan Ketuhanan Lima prinsip dasar ini
dipahami tetap relevan sebagai acuan normatif dan orientasi ketika bangsa dan negara
Indonesia menghadapi persoalan serupa, meskipun dalam konteks zaman yang berbeda.
Sebagai ideologi nasional, nilai-nilai dasar Pancasila menjadi cita-cita masyarakat
Indonesia, sekaligus menunjukkan karakter dan jati diri bangsa. Selama ini jati diri bangsa
Indonesia diterima sebagai bangsa yang religius, bersatu, demokratis, adil, beradab dan
manusiawi. Adapun wujud dari jati diri bangsa ditunjukkan dengan kesepakatan untuk
menggunakan prinsip kemanusiaan, keadilan, kerakyatan dan prinsip Ketuhanan dalam
menyelesaikan masalah kebangsaan (Tilaar, 2007: 32)
2) Aspek yuridis.
Ditinjau dari aspek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum
(rechtside), yang berarti harus dijadikan dasar dan tujuan hukum di Indonesia (Abdulkadir
Besar, 2005 : 102). Cita hukum ini merupakan suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus
konstitutif, yang merupakan syarat transendental yang mendasari tiap hukum positif yang
bermartabat. Artinya tanpa cita hukum, tidak akan ada hukum yang memiliki watak
normatif. Adapun jalinan nilai-nilai dasar Pancasila dijabarkan dalam hukum dasar yaitu
UUD 1945, dan dalam bentuk pasal-pasal yang mencakup berbagai segi kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia. Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagi
dalam Undang-Undang dan Peraturan di bawahnya
3) Aspek politik
Ditinjau dari aspek sosial politik, Pancasila sebagai ideologi mengandung nlai-nilai
yang baik, adil, benar, luhur dan bermanfaat sehingga diterima oleh masyarakat.
Berdasarkan pengalaman empiris, masyarakat selama ini menjadikan nilai-nilai Pancasila
sebagai nilai bersama, sehingga Pancasila menjadi ideologi nasional bangsa Indonesia. Pada
posisisinya sebagai ideologi nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikan sebagai nilai bersama
dan nilai pemersatu.
Nilai bersama dan nilai pemersatu ini sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat,
yaitu (1) sebagai tujuan atau cita-cita bersama yang hendak dicapai oleh masyarakat, dan (2)
sebagai pemersatu masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dengan cara
musyawarah untuk mufakat. Fungsi ideologi tersebut dalam keberadaannya selaras dengan
tujuan hidup bermasyarakat yaitu untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi
bangsa.
B. Ketahanan Pangan.
1) Menumbuhkembangkan Sadar Ketahanan Pangan Masyarakat.
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu variabel strategis dalam
pembangunan ekonomi nasional karena pada tataran makro ketahanan pangan terkait dengan
ketahanan ekonomi dan stabilitas nasional. Paradigma pemikiran ini sangat penting karena
bangsa Indonesia menghadapi permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang
tidak pernah dapat diselesaikan sampai saat ini, yaitu permintaan pangan yang lebih besar
daripada pertumbuhan produksi pangan domestik. Permasalahan selanjutnya adalah besarnya
proporsi kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan..
Attamimi, Hamid S, “Pancasila sebagai Cita Hukum” dalam Oetojo Usman dan
Alfian (Ed.), 1991, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Bermasyara-kat,
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta : BP 7.
Besar, Abdulkadir, 2005, Pancasila Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik,
Niscayaan Metoda Berfikir, Jakarta : Pustaka Azhary.
Dipoyudo, Kirdi, 1990, Membangun Atas Dasar Pancasila, Jakarta : CSIS.
Djebarus, Vitalis , 1994, Pancasila Asal, Isi dan Makna, Denpasar : Penerbit
Keuskupan Denpasar.
Hutabarat, Budiman, 2009, “Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan
Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan”, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah
Pengembangan Inovasi Pertanian” 3 (1), Bogor, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, 18-37.
Kristiadi, J., 2011, “Politik Bermartabat, Meluruskan Reformasi Indonesia” dalam
Jurnal Analisis CSIS Vol. 40, No. 4, Desember 2011, hlm.526-544.
Latif, Yudi, 2011, “Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila”, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G., dkk., 1987, Pancasila, Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta : Gramedia.
Purwasasmita, Mubiar dkk., 2012, Padi Sri Organik Indonesia, Jakarta : Peneba
Swadaya, Tilaar, H.A.R
., 2007, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta :
Rineka
Cipta.