Anda di halaman 1dari 9

RINGKASAN

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH PANDANGAN


HIDUP DAPAT MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT DALAM
KETAHANAN PANGAN

OLEH :

NAMA : ARFIANA
NPM : 02272211037
KELAS : I-B

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KHAIRUN
TAHUN 2022
Pasca reformasi yang berlangsung pada bulan Mei Tahun 1998, bangsa Indonesia
tengah mengalami perubahan tatanan kehidupan yang mendasar, sehingga memerlukan suatu
tekad dan tujuan bersama untuk mempertahankan eksistensi kehidupan berbangsa dan
bernegara serta untuk mengembangkan diri dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri
bangsa (founding fathers) yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara
material dan spiritual.
Gagasan luhur tersebut jika dicermati dengan seksama tetap relevan dan menjadi isu
penting karena bangsa Indonesia harus menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi,
memberi inspirasi dan mempersatukan seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan cita-
cita bersama. Disadari sepenuhnya bahwa upaya mewujudkan cita-cita tersebut tidak
mudah, karena bangsa Indonesia sangat plural dan heterogen, dengan jumlah penduduk
terbesar urut ke empat dan tersebar luas, sehingga sangat rawan konflik akibat alasan yang
sulit diprediksi dan mendadak.
Sebagai Nation (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki penduduk besar
237 juta jiwa penduduk (sensus Tahun 2010) dan kondisi geografis yang memiliki kandungan
sumber kekayaan alam yang besar merupakan modal perjuangan yang utama. Dalam
perkembangannya, persenyawaan antara kondisi geografis dan demografis dimaknai dan
dirumuskan sebagai sumber jati diri bangsa, dasar negara dan pandangan hidup bersama
(Yudi Latif, 2011:2-3).
Berdasarkan modal tersebut, melalui perjuangan yang panjang dan semangat juang
serta jiwa yang luhur, para pendiri bangsa berhasil merumuskan pemikiran besar, yang sarat
dengan nilai-nilai kehidupan. Rumusan semangat, pemikiran, perjuangan, dan pengorbanan
untuk membangun negara dan bangsa yang utuh, akhirnya diterima dan disahkan sebagai
dasar negara, ideologi, falsafah bangsa Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila yang digali dari akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa mencakup
kebutuhan dasar dan hak-hak azasi manusia secara universal, sehingga dapat dijadikan
landasan dan falsafah hidup serta menjadi tuntunan perilaku seluruh warga negara dalam
mewujudkan tujuan nasional. Kesepakatan seluruh bangsa tersebut menjadi penting dan
bermakna karena masyarakat, suku, kelompok maupun individu yang memiliki perbedaan
ideologi, budaya, agama, bahasa, karakter serta sentimen primordial sepakat mengutamakan
kepentingan umum di atas kepentingan individu. Bertumpu pada nilai-nilai luhur dan ikatan
sendi kehidupan tersebut, bangsa Indonesia selayaknya mampu menghayati, mengamalkan
dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara
guna mewujudkan tujuan nasional (Kirdi Dipoyudo, 1990 : 21,27).
Pada konteks ide atau gagasan, keberadaan Pancasila sebagai ideologi yang
mempersatukan seluruh elemen bangsa secara de facto dan de yure sudah final. Namun
dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, sejak proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17
Agustus 1945 sampai saat ini, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila
mengalami ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berat dan sulit diprediksi,
yang bermuara pada ancaman disintegrasi bangsa serta penurunan kualitas kehidupan dan
martabat bangsa.
Penurunan kualitas hidup dan nasionalisme tersebut terutama dalam kaitan dengan
dinamika politik yang menyalahgunakan Pancasila untuk tujuan kekuasaan dan kepentingan
pihak-pihak tertentu (Kristiadi, 2011 : 528). Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai luhur
bangsa secara sistematis dijadikan sarana untuk memburu kekuasaan dan kepentingan
tertentu, bahkan dipolitisir dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri, baik nilai
ketaqwaan, religiositas, kemanusiaan, kebhinekaan, kerakyatan, keadaban, kebersamaan,
kesetiakawanan sosial, kebijaksanaan, kemufakatan, keadilan sosial dan keharmonisan.
Pada konteks reformasi, perkembangan yang sedang berjalan selama ini telah
membawa berkah, sekaligus juga musibah. Masyarakat pada satu sisi mendapat berkah
dibidang kebebasan berpendapat dan aktivitas politik, namun sebaliknya sebagian dari
masyarakat menggunakan euforia kebebasan dengan tidak mengindahkan kepentingan orang
lain, menggelar aksi anarkhi dan merusak aset umum. Dinamika situasi ini berdampak
besar bagi kehidupan masyarakat yang tingkat kesejahteraannya terbelenggu oleh krisis
moneter yang belum pulih, terkena jebakan hambatan investasi sarana dan pasarana
pendukung pembangunan ekonomi, dan mengalami keterbatasan kemampuan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya alam.
Situasi tersebut pada tataran makro berpengaruh bagi kelangsungan pembangunan
nasional, karena : (a) stabilitas politik nasional terkait erat dengan ketahanan ekonomi dan
ketahanan pangan; sedangkan (b) pencapaian ketahanan pangan merupakan basis bagi
pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas; (c) pemantapan ketahanan pangan
berarti terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap warga, sebagai perwujudan hak azasi
manusia atas pangan.
Pada tataran praktis, ketahanan pangan yang mengalami situasi krisis karena tidak
tersedianya produk domestik dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar penduduk
serta menipisnya cadangan pangan mengakibatkan degradasi nilai-nilai yang tersirat dalam
mukadimah UUD 1945 dan ideologi Pancasila.
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan para ahli, era reformasi yang telah
berlangsung selama 15 tahun ini ternyata masih menyimpan agenda permasalahan bangsa
yang memerlukan pemikiran, solusi dan kebijakan untuk menjaga kelangsungan
pembangunan nasional. Paradigma kepentingan nasional yang mencakup kepentingan
keamanan dan kepentingan kesejahteraan, terutama kebijakan nasional penyediaan pangan
harus disertai dengan pembangunan karakter yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa
dalam rangka memperbaiki tatanan kehidupan dan menyelamatkan masa depan bangsa dan
negara.
Atas dasar itu, maka isu strategis yang perlu dikedepankan dalam menanggapi
perkembangan situasi nasional yaitu melakukan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa. Dalam implementasinya
pendidikan ideologi Pancasila harus dilakukan dengan serius dan konsisten oleh seluruh
komponen bangsa, baik pihak eksekutif, yudikatif dan legislatif serta elemen masyarakat.
Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat dibangun karakter bangsa yang
dilandasi oleh nilai-nilai luhur bangsa sehingga agenda reformasi dapat dilakukan dengan
kaidah-kaidah yang benar.
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia dan masyarakat
Indonesia seutuhnya dengan Pancasila sebagai dasar, pedoman dan tujuan pembangunan
nasional. Adapun tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan para ahli, penyelenggaraan pembangunan
nasional khususnya dibidang ekonomi diakui belum berjalan optimal sesuai dengan tujuan
pembangunan nasional.
Berbagai indikasi seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial, tingginya jumlah
pengangguran, besarnya angka kemiskinan serta lemahnya keunggulan komparatif
masyarakat dalam mengelola pertanian sebagai basis ketahanan pangan nasional akibat
pengaruh liberalisasi merupakan bukti terjadinya krisis ekonomi global yang berdampak
terhadap ekonomi nasional. Perkembangan tersebut akibatnya menimbulkan iklim usaha
yang tidak menentu, situasi ketidakpastian dan dapat berpotensi menjebak sektor pertanian
sebagai basis ketahanan pangan nasional di masa depan (Budiman Hutabarat, 2009 : 18).

A. Nilai-nilai Pancasila
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila telah diterima sebagai kesepakatan bangsa bersama
tiga pilar yang lain yaitu UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pancasila secara de yure telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa. Rumusan Pancasila sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV terdiri dari lima sila, azas atau prinsip yaitu :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan
Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan berlandaskan agama, budaya, mata pencaharian dan lingkungan yang
heterogen, seluruh elemen masyarakat dapat menemukan kesamaan sebagai manusia
Indonesia. Persenyawaan tersebut pada perkembangannya berhasil menemukan nilai-nilai
dasar manusiawi yang secara konkrit digunakan untuk mengatur kehidupan bersama dalam
wadah negara, yang berwujud Pancasila.
Rumusan Pancasila secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, sedangkan sebagai
dasar negara, Pancasila memiliki ciri khas yang hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia.
Atas dasar itu, keberadaan Pancasila yang pada hakekatnya adalah nilai (value) yang
berharga, yang memuat nilai-nilai dasar manusiawi dan nilai-nilai kodrati yang melekat pada
setiap individu manusia diterima oleh bangsa Indonesia (Paulus Wahana, 2001: 73).
Mencermati nilai-nilai dasar yang melekat dalam kehidupan manusia, Notonagoro
yang membahas Pancasila secara ilmiah populer, menjelaskan bahwa sesuai sifatnya manusia
memiliki sifat individual dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Dengan memaknai nilai-
nilai dasar manusiawi tersebut, wajar bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diterima oleh seluruh
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki landasan hubungan antara manusia dengan
Tuhan Penciptanya, dengan sesamanya dan dengan lingkungan alamnya (Notonagoro, 1987:
12-23).
Sebagai nilai-nilai dasar manusiawi, Pancasila dalam implementasinya dapat dijabarkan
kedalam nilai-nilai yang lebih khusus, lebih terperinci dan lebih operasional, sehingga dapat
ditemukan dan dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan. Sehubungan dengan hal itu,
perlu dipahami bahwa nilai-nilai Pancasila sebenarnya memiliki sifat sebagai realitas yang
abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, normatif dan berguna sebagai pendorong
tindakan manusia (Paulus Wahana, Loc. Cit : 29-33).
Kelima sila, azas atau prinsip Pancasila dapat dikristalisasikan kedalam lima dasar
yaitu nilai keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Pancasila
merupakan jalinan nilai-nilai dasar dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya, nilai-
nilai asli yang hidup, yang berasal dan berakar dari bangsa Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara setelah ditetapkan
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam perkembangannya dikuatkan kembali
melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998. Kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi bangsa dapat dipandang dari tiga aspek yaitu filosofis, yuridis dan
politik.

1) Aspek filosofi
Berdasarkan aspek filosofis, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional
berisi nilai dan gagasan atau ide dasar. Sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila menjadi
pijakan normatif dan orientasi dalam memecahkan masalah kebangsaan dan kenegaraan,
sehingga isi gagasan mengenai Pancasila dapat dijadikan jawaban tentang persoalan
kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan dan Ketuhanan Lima prinsip dasar ini
dipahami tetap relevan sebagai acuan normatif dan orientasi ketika bangsa dan negara
Indonesia menghadapi persoalan serupa, meskipun dalam konteks zaman yang berbeda.
Sebagai ideologi nasional, nilai-nilai dasar Pancasila menjadi cita-cita masyarakat
Indonesia, sekaligus menunjukkan karakter dan jati diri bangsa. Selama ini jati diri bangsa
Indonesia diterima sebagai bangsa yang religius, bersatu, demokratis, adil, beradab dan
manusiawi. Adapun wujud dari jati diri bangsa ditunjukkan dengan kesepakatan untuk
menggunakan prinsip kemanusiaan, keadilan, kerakyatan dan prinsip Ketuhanan dalam
menyelesaikan masalah kebangsaan (Tilaar, 2007: 32)

2) Aspek yuridis.
Ditinjau dari aspek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum
(rechtside), yang berarti harus dijadikan dasar dan tujuan hukum di Indonesia (Abdulkadir
Besar, 2005 : 102). Cita hukum ini merupakan suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus
konstitutif, yang merupakan syarat transendental yang mendasari tiap hukum positif yang
bermartabat. Artinya tanpa cita hukum, tidak akan ada hukum yang memiliki watak
normatif. Adapun jalinan nilai-nilai dasar Pancasila dijabarkan dalam hukum dasar yaitu
UUD 1945, dan dalam bentuk pasal-pasal yang mencakup berbagai segi kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia. Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagi
dalam Undang-Undang dan Peraturan di bawahnya

3) Aspek politik
Ditinjau dari aspek sosial politik, Pancasila sebagai ideologi mengandung nlai-nilai
yang baik, adil, benar, luhur dan bermanfaat sehingga diterima oleh masyarakat.
Berdasarkan pengalaman empiris, masyarakat selama ini menjadikan nilai-nilai Pancasila
sebagai nilai bersama, sehingga Pancasila menjadi ideologi nasional bangsa Indonesia. Pada
posisisinya sebagai ideologi nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikan sebagai nilai bersama
dan nilai pemersatu.
Nilai bersama dan nilai pemersatu ini sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat,
yaitu (1) sebagai tujuan atau cita-cita bersama yang hendak dicapai oleh masyarakat, dan (2)
sebagai pemersatu masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dengan cara
musyawarah untuk mufakat. Fungsi ideologi tersebut dalam keberadaannya selaras dengan
tujuan hidup bermasyarakat yaitu untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi
bangsa.

B. Ketahanan Pangan.
1) Menumbuhkembangkan Sadar Ketahanan Pangan Masyarakat.
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu variabel strategis dalam
pembangunan ekonomi nasional karena pada tataran makro ketahanan pangan terkait dengan
ketahanan ekonomi dan stabilitas nasional. Paradigma pemikiran ini sangat penting karena
bangsa Indonesia menghadapi permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang
tidak pernah dapat diselesaikan sampai saat ini, yaitu permintaan pangan yang lebih besar
daripada pertumbuhan produksi pangan domestik. Permasalahan selanjutnya adalah besarnya
proporsi kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan..

2) Mencegah Pemanfaatan Kekuasaan untuk Kepentingan Kelompok dalam


Masalah pangan
Ketersediaan pangan sangat penting bagi upaya mewujudkan ketahanan pangan
masyarakat. Atas dasar itu, petani sebagai ujung tombak pengembangan pertanian perlu
diberdayakan, ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan dan dukungan dana secara nyata dalam
mendukung percepatan produksi pertanian dan mengeliminir timbulnya kerawanan pangan.
Dengan pemberdayaan petani sehingga mampu swasembada pangan maka aksi-aksi sepihak
dengan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dapat dicegah karena
terwujudnya kemandirian petani dalam menyelenggarakan ketahanan pangan.

3) Mengidentifikasi Dini Permasalahan dalam Ketahanan Pangan.


Dalam mewujudkan ketahanan pangan perlu dilakukan upaya untuk memperhatikan
SDM, kelembagaan dan budaya lokal, sehingga permasalahan dapat diidentifikasi dan
penyelenggaraan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, yaitu : (a)
memberikan informasi dan pelatihan penyelenggaraan ketahanan pangan; (b) membantu
kelancaran penyelenggaraan ketahanan pangan; (c) meningkatkan motivasi masyarakat dalam
penyelenggaraan ketahanan pangan; dan (d) Meningkatkan kemandirian rumah tangga dalam
mewujudkan ketahanan pangan.

4) Membina Generasi Muda Semakin Sadar Ketahanan Pangan.


Ketahanan pangan memerlukan persiapan SDM yang akan terlibat, yang mencakup
petani langsung, unsur pemerintah, para pemilik tanah, tokoh masyarakat dan generasi muda
yang diharapkan menjadi andalan pelaku. Khusus pembinaan generasi muda ini perlu
mendapat perhatian karena latar belakang studi, potensi fisik dan kecepatan menyerap
informasi pada dasarnya bisa cepat dilakukan. Untuk itu persiapan yang dilakukan meliputi
tahap persiapan di tingkat kelompok, proses pembelajaran, proses pendampingan, dan
lokakarya untuk mengawali upaya pemberdayaan kedepan (Mubiar Purwasasmita, 2011 :
126).

5) Meningkatkan Kesadaran Masyarakat dalam Ketahanan Pangan.


Membangun kesadaran masyarakat dalam ketahanan pangan memerlukan pemahaman
ekologi yang baik, yang secara operasional perlu didukung oleh infrastruktur alam dan
buatan, sehingga penyediaannya dapat efektif dan efisien. Mencermati pengalaman empiris
selama ini, maka pemberdayaan kearifan lokal merupakan alternatif yang menguntungkan
dan aman guna menjaga keanekaragaan hayati dan kelestarian lingkungan serta hasil
produksi yang kompetitif dengan biaya produksi yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, Hamid S, “Pancasila sebagai Cita Hukum” dalam Oetojo Usman dan
Alfian (Ed.), 1991, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Bermasyara-kat,
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta : BP 7.
Besar, Abdulkadir, 2005, Pancasila Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik,
Niscayaan Metoda Berfikir, Jakarta : Pustaka Azhary.
Dipoyudo, Kirdi, 1990, Membangun Atas Dasar Pancasila, Jakarta : CSIS.
Djebarus, Vitalis , 1994, Pancasila Asal, Isi dan Makna, Denpasar : Penerbit
Keuskupan Denpasar.
Hutabarat, Budiman, 2009, “Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan
Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan”, dalam “Kumpulan Jurnal Ilmiah
Pengembangan Inovasi Pertanian” 3 (1), Bogor, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, 18-37.
Kristiadi, J., 2011, “Politik Bermartabat, Meluruskan Reformasi Indonesia” dalam
Jurnal Analisis CSIS Vol. 40, No. 4, Desember 2011, hlm.526-544.
Latif, Yudi, 2011, “Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila”, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G., dkk., 1987, Pancasila, Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta : Gramedia.

Purwasasmita, Mubiar dkk., 2012, Padi Sri Organik Indonesia, Jakarta : Peneba
Swadaya, Tilaar, H.A.R
., 2007, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta :
Rineka
Cipta.

Wahana, Paulus, 2001, Filsafat Pancasila, Yogyakarta : Kanisius


.
Sumber Hukum

Undang-Undang RI No & Tahun 1996 tentang Pangan

Anda mungkin juga menyukai