Anda di halaman 1dari 12

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Portal Jurnal Online Kopertais Wilyah IV (EKIV) - Cluster PANTURA

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KAJIAN


FILSAFAT NILAI
Ida Rochmawati

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Santri Gresik

Abstract

The main goal of becoming human character education in Indonesia. Character


education that proclaimed nationally and massif in all levels of education to this
point so that learners have a superior character. The application of character
education that has gone on for many years such has been his impact can be felt or
is only limited to the theory presented in front of the class and become the motto
in schools. In the view of philosophy of value, character education is the
cultivation of the values that will be embedded in the inside. In Indonesia, it is
character education who wish to apply should be tailored to the purpose of
education nationally with a system of values that already exist in the community.
Among the many values that thrive in the community, in fact Indonesia nation
already has the basics of value yanag bermsyarakat life ilandasaan, became a
nation and a country.

Keywords: character education, the philosophy of values

Di Indonesia, pendidikan karakter pendidikan Nasional dan


kini menjadi tren. Pendidikan diberlakukan secara massif.
Karakter bahkan menjadi keharusan
yang wajib ada dalam kurikulum. Selama hampir tujuh tahun
Dasar filosofisnya entah karena lebih penerapan pendidikan karakter
bangsa ini sudah tidak memiliki hasilnya masih banyak siswa dan
karakter lagi, atau dunia pendidikan guru yang membuang sampah
telah melupakan tujuan utamanya sembarangan –sebagai salah satu
pembentukan karakter, atau karena contoh masyarakat berkarakter
hasil studi banding para pakar adalah masyarakat yang mencintai
pendidikan ke luar Negeri yang kebersihan dan disiplin dalam setiap
melihat bahwa murid-murid di luar tindakannya termasuk membuang
negeri memiliki karakter kuat sejak sampah. Di sebuah ruangan seminar
usia dini, entahlah. Namun di Gresik misalnya yang dihadiri
pendidikan karakter saat ini telah para guru yang jumlahnya tidak
dimplementasikan dalam Kurikulum sampai 50 orang, setelah seminar
berakhir, lantai ruangan penuh

36
kotak-kotak snack, gelas air minum kurang bertanggung jawab terhadap
kemasan, dan plastik berserakan di diri bahkan lingkungannya dsb.
seluruh ruangan. Para guru saja yang
tugasnya mendidik siswa untuk Konon Arus modernisasi dan
mengembangkan karakternya, teknologilah yang menjadi biang
ternyata masih belum berkarakter! keladi lunturnya karakter ini, di
mana masa kini teknologi semakin
Sangat jauh perbedaannya mengalami perkembangan pesat.
saat kita melihat kebiasaan-kebiasaan Bukan hanya di kota-kota besar saja,
bangsa-bangsa yang karakternya namun telah meluas di berbagai
sudah terbangun. Lihat saja seperti di penjuru desa bahkan daerah-daerah
Cina atau Jepang, bagaimana anak- perbatasan di Indonesia.
anak usia Sekolah Dasar sudah Perkembangan teknologi tersebut
mampu antri demikian rapi ketika mempengaruhi pola pikir dan
jam makan siang, membereskan perilaku masyarakat tidak hanya
semua tempat makannya tanpa perubahan secara positif namun juga
menyisakan sampah sedikitpun di perubahan negatif. Perubahan-
meja. perubahan tersebut juga merambah
dunia pendidikan dan mempengaruhi
Ada pandangan bahwa pola pikir, pola interaksi dan perilaku
terdapat pergeseran karakter yang warga sekolah, guru maupun siswa.
sangat timpang dari era dahulu
dengan era sekarang terutama pada Pergeseran dan perubahan
kualitas karakter anak didik. Dahulu positif dapat dilihat dengan
(era tahun 1980 ke bawah), peningkatan kualitas pembelajaran,
mayoritas siswa memiliki tingkat materi, media pembelajaran,
sopan santun yang tinggi, ada rasa networking dsb. Namun di sisi
hormat yang tulus kepada guru, negatif terjadi pergeseran pola
perilaku dan gaya tuturnya halus. perilaku, etika, atau moral siswa.
Berbeda dengan siswa era Pergeseran tersebut tampak pada
sesudahnya di mana hubungan siswa pola tutur kata, pola perilaku, dan
dan guru sudah tidak sesakral dulu kebiasaan. Memang tidak bisa
bahkan seperti teman. Namun bukan disangkal bahwa karakter yang kuat
di situ letak persoalannya, karena akan mempengaruhi kehidupan
relasi guru dan siswa dalam pola seseorang dalam tahap-tahap
pembelajaran modern memang lebih perkembangannnya dan menjadi
egaliter. Yang menjadi persoalan gerbang sukses di masa depannya.
adalah lemahnya karakter yang Karakter yang kuat akan membentuk
dimiliki oleh generasi saat ini seperti mental yang kuat dan sebaliknya.
tingkat kedisiplinan, sifat pekerja
keras, rasa percaya diri yang rendah,

37
Fenomena seperti inilah yang meneropongnya secara konseptual
menjadi cikal bakal munculnya terlebih dahulu akan memberikan
pentingnya pendidikan kaarakter gambaran secara nyata sebelum
sekitar tahun 2010 yang lalu. melangkah ke tahap implementasi.
Keinginan untuk menjadikan
kembali proses pendidikan sebagai Berdasarkan latar belakang
upaya penyadaran pentingnya masalah di atas, maka permasalahan
norma-norma dan nilai-nilai penelitian ini dapat dirumuskan
kehidupan. Inilah kemudian yang sebagai berikut :
dijadikan landasan ide memasukkan Bagaimana konsep pendidikan
pendidikan karakter dalam struktur karakter dalam kajian Filsafat Nilai
kurikulum nasional. Internalisasi (Aksiologi)?
pendidikan dalam kurikulum yang
diejawantahkan dalam setiap Metodologi Penelitian
program sekolah memang sangat
penting. Namun sejauh ini, Untuk memperoleh data yang
pendidikan karakter yang telah dibutuhkan dalam penelitian ini
diintegrasikan dalam kurikulum menggunakan
tersebut mampu mencetak siswa-
1. Sumber Data
siswa berkarakter atau sebaliknya
justru mencetak siswa-siswa yang Penelitian ini termasuk daalam
makin sarat beban, stres, dan justru library research, sehingga sumber
tidak berkarakter? data yang digunakan adalah data-
data kepustakaan baik berupa buku,
Penerapan pendidikan
jurnal, maupun majalah. Dalam hal
karakter tersebut nampaknya sekedar
ini ada dua jenis sumber data yang
menyisipkan agenda tanpa
digunakan; sumber data primer dan
mengimbangi dengan konsep yang
sumber data sekunder. Sumber data
matang. Pembentukan karakter tidak
primer adalah sumber data yang
bisa dibangun hanya satu dua bulan
terkait langsung dengan tema.
atau satu dua tahun tanpa
Sementara sumber data sekunder
implementasi total dalam setiap lini,
adalah dumber data pendukung tema
menjadi nafas dari seluruh
yang berasal dari berbagai kajian.
lingkungan sekolah dan sarat dengan
nilai-nilai luhur yang diyakini dan 2. Pengumpulan Data
diterapkan secara bersama-sama oleh
seluruh warga sekolah. Inilah yang Pengumpulan data dilakukan dengan
menjadi ketertarikan penulis untuk menggunakan dokumen-dokumen
mencoba menganalisa konsep yang terkait dengan tema penelitian.
pendidikan karakter secara Data-data tersebut berupa buku-
Aksiologis, karena dengan buku, artikel, tulisan lepas atau

38
apapun yang terkait dengan kuat di atas benda yang diukir.
penelitian. Data tersebut kemudian (Abdullah Munir: 2010). Tidak
dikumpulkan dan dianalisa dengan mudah luntur oleh waktu dan aus
menggunakan metode analis isi atau oleh gesekan. Menghilangkan ukiran
kajian isi. sama dengan menghilangkan benda
tersebut karena ukiran telah menyatu
Kajian isi merupakan proses dengan bendanya. Ini berbda dengan
sistematis. Hal ini berarti dalam gambar atau tulisan tinta yang hanya
rangka pembentukan kategori disapukan di atas permukaan benda
sehingga memasukkan dan yang mudah hilang dan tidak
mengeluarkan kategori dilakukan meninggalkan bekas jika dihapus.
atas dasar aturan yang jelas dan
relevan.( Lexy J. Moleong: M. Furqon Hidayatullah
1998,164) mengutip pendapat Rutland (2009 :1)
yang mengemukakan bahwa karakter
3. Analisa Data berasal dari akar kata bahasa latin
yang berarti “dipahat”. Secara
Analisis data yang dapat digunakan
harfiah, karakter artinya adalah
oleh penulis adalah analisis isi, untuk
kualitas mental atau moral, kekuatan
memperoleh sebuah pemahaman dan
moral, nama atau reputasinya. Dalam
pemaknaan yang cukup akurat.
kamus psikologi, dinyatakan bahwa
Content analsys merupakan analisis
karakter adalah kepribadian ditinjau
ilmiah tentang isi pesan suatu
dari titik tolak etis atau moral,
komunikasi yang secara teknis
misalnya kejujuran seseorang ;
mengandung upaya: pertama,
biasanya mempunyai kaitan dengan
klasifikasi tanda-tanda yang dipakai
sifat-sifat yang relative tetap.( Dali
dalam komunikasi. Kedua,
Gulo: 1982, 29)
menggunakan kriteria sebagai dasar
klasifikasi dan ketiga, menggunakan Jika seseorang memiliki
teknik analisis tertentu sebagai unsur sebuah sifat buruk, meski telah diberi
membuat prediksi. nasehat ratusan kali, masukan dari
manapun, sifatnya tidak berubah,
KAJIAN TEORI
mungkin berubah sesaat saat diberi
PENDIDIKAN KARAKTER nasehat namun akan muncul lagi
dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Memaknai Pendidikan karakter Sifat tersebut sudah melekat dan sulit
diubah, itulah karakter. (Abdullah
Secara etimologi karakter Munir: 2010)
berasal dari bahasa Yunani,
charassein, yang berarti mengukir. Kebiasaan yang dilakukan
Sifat utama ukiran adalah melekat secara terus menerus dan berulang-

39
ulang yang didahului oleh kesadaran dua sisi, positif dan negatif. Dengan
dan pemahaman akan menjadi memberikan pendidikan karakter dua
karakter seseorang. Gen hanya sisi karakter hanya akan tergali sisi
menjadi salah satu faktor penentu positifnya saja, sementara sisi
saja. Namun orang tualah yang akan negatifnya akan tumpul bahkan tidak
memiliki peluang besar dalam berkembang. Misalnya rasa yakin
menentukan karakter anak. Orang tua akan menumbuhkan keberanian
di sini bisa dimaknai orang tua bukan kesombongan, rasa takut akan
kandung atau orang tua yang lebih menumbuhkan kehati-hatian bukan
luas. Seperti orang-orang dewasa pengecut, rasa malu akan
yang berada di sekeliling anak dan menumbuhkan kesopanan bukan
memberikan peran yang berarti pada keminderan.Untuk mencapai tujuan
anak. terbentuknya karakter positif
tersebut, pendidikan karakter tidak
Tujuan Umum Pendidikan terlepas dari nilai-nilai tentang benar
Karakter dan salah. (Abdullah Munir: 2010)

Jika pendidikan karakter Tujuan, Fungsi dan Media


menjadi pilihan untuk diterapkan, Pendidikan Karakter
konsekuensinya adalah meninjau
ulang kurikulum yang berlaku saat Dalam buku pedoman
pelaksanaan pendidikan karakter
ini yang sangat sarat beban bagi
oleh Badan Penelitian dan
siswa. Hal ini untuk memberikan Pengembangan KEMDIKNAS 2011
ruang yang cukup bagi masuknya menyatakan bahwa tujuan, fungsi
pendidikan karakter. ( Jamal dan media pendidikan karakter
Ma‟mur Asmani: 2011, 32). Dengan adalah sebagai berikut:
padatnya beban materi dan jam (Kemendiknas: 2011, 8)
pelajaran saat ini akan sulit bagi a. Tujuan pendidikan
pendidikan karakter diberlakukan. karakter adalah untuk
Untuk membangun kultur sekolah mengembangkan karakter
akan membutuhkan waktu minimal bangsa agar mampu
tiga bulan pertama di tiap tahun mewujudkan nilai-nilai
ajaran. Jika tiga bulan ini guru sudah luhur pancasila.
dibebani dengan berbagai materi b. Fungsi pendidikan
pelajaran peluang untuk membangun karakter adalah :
karakter akan hilang.
1) Untuk mengembangkan
Memberikan pendidikan potensi dasar, agar
berhati baik, berpikiran
karakter bertujuan untuk
baik dan berprilaku
menumbuhkan karakter positif, baik.
karena karakter sebenarnya memiliki

40
2) Memperkuat dan d. Permendiknas Nomor 39
membangun perilaku Tahun 2008 tentang
bangsa yang multikultur Pembinaan Kesiswaan
(memperkuat perilaku
yang sudah baik) e. Permendiknas Nomor 22
Tahun 2006 tentang
3) Meningkatkan Standar Isi
peradaban bangsa yang
kompetitif dalam f. Permendiknas Nomor 23
pergaulan dunia Tahun 2006 tentang
(penyaring budaya yang Standar Kompetensi
kurang sesuai dengan Lulusan
nilai-nilai luhur
g. Rencana Pemerintah
Pancasila)
Jangka Menengah
c. Media pendidikan karakter Nasional 2010 – 2014
antara lain : h. Renstra Kemendiknas
1) Keluarga Tahun 2010 – 2014

2) Satuan pendidikan i. Renstra Direktorat


Pembinaan SMP Tahun
3) Masyarakat sipil 2010 – 2014. (Jamal
Ma‟mur Asmani 2011, 32)
4) Pemerintah
Tahap-tahap Pendidikan
5) Dunia Usaha, dan
Karakter
6) Media Massa
Pendidikan karakter
Dasar Hukum Pendidikan membutuhkan proses atau tahapan
secara sitematis dan gradual, sesuai
Karakter
dengan fase pertumbuhan dan
Dasar hukum pembinaan perkembangan anak didik. Menurut
pendidikan karakter adalah sebagai Ary Ginanjar Agustian,
berikut : Pembangunan Karakter tidaklah
cukup hanya dimulai dan diakhiri
a. Undang-Undang Dasar dengan penetapan misi. Akan
1945 tetapi, hal ini perlu dilanjutkan
dengan proses yang dilakukan secara
b. Undang-Undang Nomor terus menerus sepanjang hidup.
20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Sementara itu klasifikasi
Nasional pendidikan karakter dalam beberapa
tahap, berdasarkan Hadits Rasulullah
c. Peraturan Pemerintah SAW adalah sebagai berikut :
Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional a. Tahap penanaman adab
Pendidikan (umur 5-6 tahun)

41
b. Tahap penanaman f. Citizenship
tanggung jawab (umur 7-8 (Kewarganegaraan)
tahun)
g. Self Discipline (Disiplin
c. Tahap penanaman Diri)
kepedulian (umur 9-10
tahun) h. Caring (Peduli)

d. Tahap penanaman Peran Guru dalam


kemandirian (umur 11-12 Pendidikan Karakter
tahun)
Guru merupakan sosok yang
e. Tahap penanaman menjadi idola bagi anak didik.
pentingnya bermasyarakat Keberadaannya sebagai jantung
(umur 13 tahun ke atas) pendidikan tidak bisa dipungkiri.
Baik atau buruknya pendidikan
Lima tahap pendidikan sangat tergantung pada sosok yang
karakter ini menjadi pondasi kokoh satu ini. Segala upaya sudah harus
dalam menggali, melahirkan, dilaksanakan untuk membekali guru
mengasah, serta mengembangkan dalam menjalankan fungsinya
bakat dan kemampuan unik siswa. sebagai actor penggerak sejarah
Hal ini menjadi penting untuk peradaban manusia dengan
menghadapi tantangan globalisasi melahirkan kader-kader masa depan
yang dahsyat dan spektakuler bangsa yang berkualitas paripurna,
sekarang ini. baik sisi akademik, afektif dan
psikomotorik. Menurut E. Mulyasa,
Pilar Pendidikan Karakter fungsi guru itu bersifat multifungsi.
Menurut Suparlan, para Ia tidak hanya sebagai pendidik, tapi
penggiat pendidikan karakter juga sebagai pengajar, pembimbing,
mencoba melukiskan pilar-pilar pelatih, penasihat, pembaru, model
penting dalam pendidikan karakter, dan teladan, pribadi, peneliti,
jelaslah bahwa pendidikan karakter pendorong kreatifitas, pembangkit
meliputi 9 (sembilan) pilar yang pandangan, pekerja rutin, pemindah
saling kait mengait. Kesembilan pilar kemah, pembawa cerita, actor,
tersebut adalah : emancipator, evaluator, pengawet
dan kulminator. (H.E.Mulyasa: 2005,
a. Responsibility (Tanggung 37-64)
Jawab)
Implementasi Pendidikan
b. Respect (Rasa Hormat) Karakter
c. Fairness (Keadilan) Pendidikan karakter adalah
d. Courage (Keberanian) suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada sekolah yang
e. Honesty (Kejujuran) meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-

42
nilai tersebut, baik terhadap Tuhan c. Aksiologi adalah studi
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, filosofis tentang hakikat
lingkungan, maupun kebangsaan nilai-nilai.
sehingga menjadi insan yang kamil.
(elementary-education- Nilai merupakan tema baru
school.blogspot.com: 18 Mei 2012) dalam kajian filsafat, muncul
pertama kali pada abad ke-19.
Dalam pendidikan karakter di Aksiologi adalah ilmu pengetahuan
sekolah semua komponen harus yang menyelidiki hakikat nilai yang
dilibatkan, termasuk komponen- pada umumnya ditinjau dari sudut
komponen pendidikan itu sendiri pandang filsafat. Di dunia ini ada
yaitu, isi kurikulum, proses banyak cabang pengetahuan yang
pembelajaran dan nilai, kualitas bersangkutan dengan mpersoalan
hubungan, penanganan atau nilai yang khusus seperti
pengelolaan mata pelajaran, epistemologis, etika dan estetika.
pengelolaan sekolah, pelaksanaan Epistemologi berhubungan dengan
aktivitas atau kegiatan kokurikuler, kebenaran, etika berkaitan dengan
pemberdayaan sarana prasarana, masalah kebaikan dan estetika
pembiayaan, ethos kerja seluruh bersangkutan dengan masalah
warga, dan lingkungan sekolah. keindahan. (Louis O.Kattsof 1992,
327)
TINJAUAN TENTANG
FILSAFAT NILAI Nilai itu ideal dan bersifat
ide. Sehingga ia bersifat abstrak dan
(AKSIOLOGI) tidak dapat disentuh oleh panca
Makna Aksiologi indra. I.A.Richard membedakan
antara makna faktual dan makna
Berasal dari bahasa Yunani emotif. Secara historis emotivisme
“axios” yang berarti layak; pantas; berasal dari logika positivisme:
nilai dan Logos yang berarti ilmu. bahwa nilai adalah sesuatu yang
Beberapa pengertian menurut istilah tidak dapat dijelaskan dan bersifat
antara lain: emotif, meski memiliki makna secara
faktual. Nilai sama sekali tidak dapat
a. Aksiologi merupakan digambarkan sebagai keadaan suatu
analisis tentang nilai-nilai subyek, obyek, ataupun sebagai
yang berarti membatasi hubungan. (Uyoh Sadullah: 2007,
arti, ciri-ciri, asal, tipe, 36)
kriteria atau status
epistemologi ari nilai Teori umum tentang nilai
tersebut. muncul dari perdebatan antara
Alexius meinog dengan Christian
b. Aksiologi merupakan studi von Ehrenfels pada tahun 1890-an
yang menyangkut teori berkaitan dengan sumber nilai.
umum tentang nilai dan Meinog memandang bahwa sumber
segala sesuatu yang nilai adalah perasaan (feeling), atau
bernilai. perkiraan atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu obyek.

43
Ehrenfels (termasuk Spinoza) sudut pandang ini nilai-
memandang bahwa sumber nilai nilai merupakan reaksi
adalah hasrat/keinginan (desire). yang diberikan oleh
Suatu obyek menyatu dengan nilai manusia sebagai pelaku
melalui keinginan aktual atau yang dan keberadaanya
memungkinkan, artinya suatu obyek tergantung pada
memiliki nilai karena ia menarik. pengalaman-
Menurut kedua pendapat tersebut, pengalamannya.
nilai adalah milik obyek itu sendiri-
sendiri. (Ahmad Faruq: 2009, 104) - Nilai-nilai merupakan
Pertanyaannya kemudian, apakah kenyataan yang ditinjau
nilai yang dimiliki obyek itu dari segi ontologi namun
memang benar-benar dari obyek tidak terdapat dalam ruang
tersebut ataukah karena persepsi kita dan waktu. Nilai-nilai
terhadap obyek tersebut? tersebut merupakan esensi
logis dan diketahui melalui
Nilai dan kebaikan akal. (obyektivisme logis)

Baik dan benar adalah dua - Nilai-nilai merupakan


hal yang tidak identik, meski unsur-unsur obyektif yang
keduanya bersifat positif. Yang baik menyusun kenyataan
mungkin juga tidak benar yang benar (obyektivisme metafisik).
itu juga bisa dianggap baik atau (Louis O.Kattsof 1992,
buruk. Tapi ketika yang baik itu 331)
berkaitan dengan yang benar (atau
sebaliknya) maka itulah yang ideal. Persoalan aksiologis dalam
(Sidi Gazalba: 2001, 7) kehidupan sehari-hari
Filsafat nilai pada masa Bila dua orang tidak
modern (Max Scheler) yang bermula sependapat mengenai suatu hal
dari Lotze membuat perbedaan tajam misalnya makanan atua minuman
antara nilai dan kebaikan. Karena yang menynangkan atau tidak
nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan menyenangkan, dan mereka gagal
sebagai ide-ide dari dunia lain yang untuk saling meyakinkaan, diskusi
dapat diperkenalkan kepada dunia pada umumnya berakhir dngan
nyata dengan peralatan manusia, pernyataan darisalah satu pihak
pandangan ini dinamakan teori bahwa ia menyenangi atau tidak
„idealisme nilai‟. Lawan idealisme menyenangi hal itu, dan tidak
nilai adalah metafisika nilai yang seorangpun yang dapat meyakinkan
mengatais pemisahan nilai dari yang laaawan bicaranya. Seperti halnya
ada (al-mawjud). peribahasa latin “selera tidak dapat
diperdebatkan” (de gustibus non
Pendekatan-pendekatan disputandum). Orang yang
dalam aksiologi : mendukung de gustibus non
disputandum ingin menunjukkan satu
- Nilai sepenuhnya bersifat ciri khs nilai, yaitu sifat yang
subyektif, dinilai dari

44
mendalam dan langsung dari orang lain, kelompok lain atau
penilaian. negara lain menganut atau mengikuti
nilai-nilai tersebut dengan berbagai
Konflik ini sangat cara. Seperti inilah proses globalisasi
menggelitik bagi aksiologi berlangsung, di mana nilai-nilai juga
kontemporer. Sebenarnya hal itu turut mengglobal. (Ahmad Tafsir:
lahir dari aksiologi itu sendiri dan 2008, 49)
sejarah tentang nilai, dengan
memandang persoalan ini sebagai Pendidikan Karakter dan
sumber dan dengan mensketsakan Etika
berbagai penyelesaian yang telah
dikemukakan dalama rangka Pendidikan dan etika
menyelesaikannya, meski maknanya memiliki keterkaitan yang sangat
bisa berbeda. Persoalan tersebut telah erat. Ketika etika berbicara tentang
muncul pada zaman Plato,; yang baik dan buruk. Masalah moral
shakespeare yang menempatkannya tidak bisa dilepaskan dengan tekad
dalam Troilus and cresida (II,2) dan manusia untuk menemukan
spinoza memilih salah satu alternatif kebenaran, sebab untuk menemukan
di dalam etika-nya (III, prop, IX). kebenaran dan terlebih untuk
(Risieri Frondizi: 2001,16-19) mempertahankan kebenaran,
diperlukan keberanian moral. (Jujun
PENDIDIKAN KARAKTER S. Suriasumantri: 1998,235)
DALAM KAJIAN
Sulit memyangkan
FILSAFAT NILAI
perkembangan iptek tanpa adanya
Pendidikan sebagai upaya kendali dari nilai-nilai etika moral
Penanaman Sistem Nilai dan agama. Untuk itulah kemudian
ada konsep pendekatan konseptual
Dalam dunia yang serba yang dapat dipergunakan sebagai
global saat ini, nilai juga memegang jalan pemecahannya, yaitu dengan
peranan penting dna telah mengalami menggunakan pendekatan etik-
perkembangan yang global pula. Saat moral, di mana setiap persoalan
ini hampir tidak ada batas ruang pendidikan berangkat dari perspektif
karena dunia sudah terkoneksikan yang mengikutsertakan kepentingan
dengan mudah, jarak sudah tidak masing-masing pihak baik siswa,
berarti dan hubungan antar personal, guru, pemerintah maupun
antar masyarakat bahkan antar masyarakat luas. Ini berarti
negara hampir bisa dilakukan pendidikan akan lenih diorientasikan
kapanpun dan di manapun. Tentu kepada upaya menciptakan
saja pola hubungan ini juga turut kepribadian yang berkarakter. Tidak
mengubah cara pandang masyarakat hanya pada siswa melainkan seluruh
terhadap nilai yang mereka yakini. komponen yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan. Tidak
Setiap negara, setap hanya siswa yang dituntut
kelompok bahkan setiap individu berkarakter namun semua komponen
memiliki nilai yang telah yang terlibat di dalamnya juga harus
diyakininya, dan menginginkan berkarakter positif dan kuat.

45
Sistem nilai ideal yang dan tempat, sehingga masalah baik
diperlukan dalam dan buruk tidak lagi dipersoalkan.
Penalaarnlah yang menjadi standar
pembentukan karakter.
bagi yang „baik‟ dan „buruk‟
Dalam kerangka idealisme
Sementara naturalisme
kenyataan yang ada dalam kehidupan
menolak hal-hal yang bersifat
bukanlah suatu kebenaran yang
spritual dan moral sebab kenyataan
bersifat hakiki, melainkan gambaran
yang hakiki adalah alam semesta
dari ide-ide yang ada di dalam jiwa
yang bersifat fisik. Sementara
atau spirit manusia. Pementukan
Pragmatisme lebih mementingkan
karakter memerlukan seperangkat
paham antroposentris (berpusat pada
nilai yang akan diberikan kepada
manusia), kepada batin manusia,
anak didik dan menjadi budaya di
kepada kemampuan kreativitas dan
lingkungan pendidikaan formal
pertumbuhan manusia, kepada hal-
maupun non formal.
hal yang bersifat praktis, kemampuan
Subyektivisme dan kecerdasan, perbuatan dalam
relativisme nilai melahirkan aliran- masyarakat dan kepada diri manusia
aliran dan teori dalam pendidikan sendiri (individualitas).
yang berimplikasi pada pola
perlakuan terhadap anak didik. John KESIMPULAN
Locke misalnya yang berpendapat Kesimpulan yang dapat
bahwa pengalaman yang akan dirumuskan dalam apenelitian ini
membentuk kepribadian anak didik. adalah bahwaKarakter merupakan
Atau aliran behaviorisme yang satu bentukan perilaku yang bersifat
dipepolopi oleh Pavlov, yang permanen. Di mana bentukan
berpendapat bahwa manusia harus tersebut melibatkan standar nilai-
dikondisikan sejak lahir dan diberi nilai yang dibangun oleh masyarakat
rangsangan agar berkembang sesuai yang bersifat relatif subyektif
dengan yang diharapkan. (Muzayyin ataupun nilai ideal yang bersifat
Arifin: cet ke 5) absolut.
Kepercayaan, sikap, nilai- Dalam pandangan filasafat
nilai manusia merupakan refleksi nilai pendidikan karakter dipandang
dari lingkungan sekitar yang telah sebagai sebuah proses pembentukan
dikondisikan.dengan melalui Pendidikan karakter yang disusun
indoktrinasi, propaganda, atau sebaiknya harus didahului oleh
counter propaganda, kepercayaan, kajian komprehensif tentang sistem
sikap-sikap dan niali-nilai yang nilai dan norma yang menjadi pilihan
dipegang nanusia dapat dibentuk agar implementasi yang akan
bukan karena perkembangan dilakukan akan lebih terarah dan
moralitas yang inheren dari terinternalisasi secara mendalam
kapasitasnya sebagai manusia. Nilai sehingga mewujud dalam pola
moral dan etika dalam pandangan kepribadian serta bangunan karakter
teori ini bersifat relatif, tidak mutlak yanag kuat.
dan berubah-ubah tergantung waktu

46
Munir, Abdullah, Pendidikan
Karakter Membangun karakter
DAFTAR RUJUKAN Anak sejak dari Rumah,
Pedagogia, Yogyakarta, 2010
Arifin, Muzayyin, Filsafat
Pendidikan Islam, jakarta, Bumi Muttaqin, Zainal, Sistem Sosial
Aksara, cet ke 5 Budaya Indonesia, Banten,
Universitas Serang Raya 2010
Asmani, Jamal Ma‟mur, Buku
Panduan Internalisasi Sadullah, Uyoh, Pengantar Filsafat
Pendidikan Karakter di Pendidikan, Penerbit Alfabeta,
Sekolah, Jogjakarta, DIVA Bandung, 2007
Press, 2011
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu
Faruq, Ahmad, Filsafat Umum, Sebuah Pengantar Populer,
Ponorogo, STAIN PO Press, 2009 1998, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan
Frondisi, Riseri, Filsafat Nilai, Islami, Bandung, Rremaja
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001 Rosdakarya, cet ke 3 2008
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat;
Buku keempat, Pengantar
kepada Teoi Nilai, Bulan
Bintang, Jakarta, 2001
Kattsof, Louis O., Pengantar Filsafat,
Terj. Soejono Soemargono,
Tiara Wacana, Yogyakarta, cet
ke lima, 1992
Kemendiknas, Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter
Berdasarkan Pengalaman di
Satuan Pendidikan Rintisan,
Gresik, Pusat Kurikulum dan
Perbukuan 2011
Moleong, Lexy J. , Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung,
Remaja Rosdakarya, cet IX ,
1998
Mulyasa, H.E. Menjadi Guru
Profesional, Bandung, Remaja
Rosda Karya, 2005

47

Anda mungkin juga menyukai