Anda di halaman 1dari 99

Makalah Agama I

“Konsep Akidah Dalam Islam”

Dosen Pengampu
Salman Jufri, S.Pd.I, M.Pd

Nama Kelompok 1 :
1. Arinda Dwi Kurniati (C1B023041)
2. Elza Febryana (C1B023052)
3. Kis mawarni (C1B023004)
4. Revalisa (C1B023014)
5. Syafira Aulia Haviz (C1B023002)

Kelas : R003 Manajemen

Program Studi Manajemen


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Jambi
2023/2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah Swt. yang paling sempurna diantara
makhluk ciptaaan lainnya karena manusia memiliki akal dan pikiran. Oleh karena itu,
manusia dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang baik
dan mana yang buruk. Di samping itu pula, setiap manusia yang lahir pasti memiliki
agama karena manusia dan agama merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Apabila ada manusia yang tak beragama (beriman) di mata Allah Swt maka dipandang
sama dengan hewan sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an:

َ‫ّللا الَّذِينَ كف ُروا ف ُه َْم لَ ُيؤْ ِمنُون‬


ََِّ َ‫اب ِع ْند‬
َِ ‫ِإنََّ ش ََّر الدَّو‬
”Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang
yang kafir, karena mereka itu tidak beriman”. (QS. Al-Anfal/8: 55).
Mengapa manusia perlu beragama? Karena manusia memiliki akal, hati, dan
pikiran yang dimana mereka selalu bertanya akan kebenaran yang timbul di dalam
benak mereka, dan disinilah agama menjawab pertanyaan akan kebenaran tersebut dan
membimbing manusia kepada akidah yang baik, ibadah yang benar, dan mu’amalah
yang baik pula. Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini memiliki fitrahnya masing-
masing, diantaranya seperti fitrah beragama, mempertahankan hidup, meneruskan
keturunan dan lainnya. Namun, fitrah agama adalah fitrah yang sangat penting karena
dengan agama dapat membawa kita menuju jalan yang benar. Dan seseorang yang
beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan mendapatkan yang benar untuk
menghasilkan ilmu, yang baik untuk menghasilkan akhlak, serta yang indah untuk
menghasilkan seni . Dengan demikian agama bukan saja merupakan kebutuhan
manusia tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya.
Pada saat sekarang banyak agama yang bermunculan, namun agama yang
selaras dan sesuai dengan fitrah manusia ialah agama yang dibawa oleh Rasulullah saw.
yang merupakan agama terakhir dan penyempurna dari seluruh agama yang ada, yaitu
Agama Islam. Agama Islam hingga kini ajarannya masih murni mentauhidkan Allah
Swt. sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Adapun agama Nasrani dan Yahudi sebelumnya

1
juga agama tauhid, namun seiring dengan berjalannya waktu kedua agama ini
menyimpang dari ajaran aslinya, seperti Agama Yahudi yang berpendapat bahwa Uzair
adalah anak Allah Swt. Agama Kristen pun berpendapat bahwa Isa al-Masih adalah
anak Allah Swt. Ajaran agama Islam bersifat universal dan berlaku setiap masa dan di
semua tempat dengan Al-Qur’an sebagai landasannya. Hal inilah yang membuat islam
menjadi agama yang diakui kebenaran dan kesempurnaannya. Ke universal-an ajaran
Islam pada hakikatnya terwujud dari hal yang paling mendasar dan paling pokok dari
seluruh konsep Islam, yaitu konsep keyakinan akan keesaan Allah Swt. atau konsep
Tauhid.
Di dalam agama kita mempelajari tentang akidah. Akidah merupakan keyakinan
yang menjadi dasar untuk kita menjalani kehidupan. Akidah memiliki peranan penting
dalam membina dan membangun pemikiran, etika dan tata cara hidup sosial, serta
dalam mengarahkan kemampuan-kemampuannya ke arah membangun dan perubahan.
Apabila kita berpijak pada akidah, pasti kita akan berusaha untuk menjalani hidup
sesuai dengan koridor dan ketentuan hukum Allah.. Tapi tahukah kamu apa itu Akidah?
Manusia diciptakan oleh Allah Swt mempunyai naluri beragama tauhid. Dari
kita di dalam kandungan pun kita sudah bertauhid sebagaimana janji kita kepada Allah
Swt sebelum dilahirkan ke dunia yaitu berjanji untuk tak menyekutukan-Nya, tidak
menyembah kepada selain-Nya, tidak meminta kepada selain-Nya dan seterusnya. Saat
kita lahir ke dunia pun kita di tauhidkan dengan di azankan oleh ayah kita. Sejak dini
kita telah di ajarkan untuk bertauhid.
Berdasarkan Latar belakang di atas maka di buatlah makalah ini yang berjudul
“Konsep Akidah Dalam Islam” dengan tujuan untuk membahas lebih lanjut mengenai
aqidah dan tauhid.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tersusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Akidah?
2. Apa yang dimaksud dengan Hukum akal dalam Ilmu Tauhid?
3. Ada berapa macam pembagian dalam Tauhid?

2
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pengertian Akidah
2. Untuk mengetahui Hukum Akal dalam Ilmu Tauhid
3. Untuk mengetahui Pembagian Tauhid

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akidah
Akidah terkadang sering disebut dengan tauhid. Akidah secara umum adalah
kepercayaan, keimanan, keyakinan secara mendalam dan benar lalu merealisasikannya
dalam perbuatannya. Sedangkan dalam islam, menurut Bahasa, Kata akidah berasal
dari Bahasa Arab yaitu dari kata al-'aqdu yang berarti ikatan, at-tautsīgu yang berarti
kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkamu yang artinya mengokohkan
(menetapkan), dan ar- rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat.
Menurut istilah (terminologi), Akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang
tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Akidah merupakan
perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Dapat
dikatakan seseorang mempunyai akidah yang benar berarti akidahnya terbebas dari
keraguan (Shalaih bin Fauzan terjemahan Agus Hasan Bashori, 2009).
Akidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah
Swt., Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada
takdir Allah Swt. baik maupun buruknya, yang disebut atau dikenal dengan Rukun
Iman. Sedangkan menurut Hasan Al-Banna, akidah adalah beberapa hal yang harus
diyakini kebenarannya oleh hati, sehingga dapat dapat mendatangkan ketenteraman
keyakinan yang tidak bercampur dengan keragu-raguan.
Akidah diibaratkan sebagai pondasi bangunan. Sehingga akidah harus
dirancang dan dibangun terlebih dahulu dibanding bagian-bagian lain. Akidah pun
harus dibangun dengan kuat dan kokoh agar tidak mudah goyah yang akan
menyebabkan bangunan menjadi runtuh. Bangunan yang dimaksud disini adalah Islam
yang benar, menyeluruh, dan sempurna. Akidah merupakan misi yang ditugaskan Allah
untuk semua Rasul-Nya, dari pertama sampai dengan yang terakhir. Akidah tidak dapat
berubah karena pergantian nama, tempat, atau karena perbedaan pendapat suatu
golongan.
Akidah tergabung menjadi satu dengan syari’ah dan akhlaq. Dimana akidah
syari’ah ini terdiri atas ibadah dan mu’amalah. Namun baik akidah syari’ah ataupun
4
akidah akhlaq keduanya menjadi dasar dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan
sebagainya.
Sekarang banyak aliran-aliran agama yang membuat pengetahuan tentang
akidah keliru. Hal itu bermula dari masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib
timbul pemahaman-pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan
Ali dan Mu’awiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu
Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Lahir pula kelompok Syi‘ah yang mendukung dan
mengistimewakan khalifah Ali bin Abi Thalib dan kemudian timbul pula kelompok dari
Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani. Sejak saat itu Islam sudah
mulai terbelah dan terpisah dalam keyakinan dan pendapatnya dalam soal kehidupan
dan bahkan keyakinan akidahnya. Para ulama mulai menulis bantahan-bantahan dalam
karya mereka mendukung atau menolak suatu aliran tertentu. Oleh karena itu kita harus
memahami betul terkait akidah islam yang benar yang dapat kita terapkan dalam
kehidupan kita.
Akidah Islam atau kepercayaan dan keyakinan yang penuh kepada Allah Swt.
mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Percaya kepada hal-hal yang ghaib, yang meliputi percaya dengan sepenuh hati
kepada Allah yang menciptakan alam semesta, percaya dengan sepenuh hati adanya
malaikat, percaya akan turunnya wahyu, percaya dengan sepenuh hati adanya hari
akhir, dan percaya dan yakin akan adanya surga dan neraka
b. Percaya kepada kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada nabi dan rasul-Nya.
c. Percaya adanya qada' dan qadar, yaitu ketentuan baik dan buruk dari Allah Swt.

Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai dan benar akidah islamiyah
adalah:
1. Membebaskan dirinya dari penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya
kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
2. Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu ingat kepada Allah baik dalam
keadaan suka maupun duka.
3. Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas.
4. Akidah memberikan kekuatan kepada jiwa, sekokoh gunung.
5. Akidah Islamiyah adalah asas persaudaraan/ukhuwah dan persamaan. Tidak beda
antara miskin dan kaya, antara pintar dan bodoh, antara pejabat dan rakyat jelata,

5
antara kulit putih dan kulit hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya
disisi Allah Swt.

Islam merangkum akidah, ibadah dan muamalah. Dengan akidah yang benar, akan
mendorong seseorang untuk menjalankan ibadah kepada Allah dan melakukan
muamalah yang baik. Apabila umat Islam telah mengerjakan akidah, ibadah, dan
muamalah dengan baik dan benar, maka akan tercipta kehidupan yang adil dan sejahtera
di dunia maupun di akhirat.
Dapat pemakalah simpulkan dari penjabaran materi di atas bahwasanya pondasi
umat manusia adalah akidah. Akidah sangat penting bagi petunjuk jalan kehidupan agar
manusia tidak berada di jalan yang sesat. Oleh karena itu, kita sebagai umat manusia
hendaknya mempelajari akidah sejak dini agar kita tidak tersesat di dunia yang fana ini.

B. Hukum Akal Dalam Ilmu Tauhid


Hukum akal adalah suatu ketentuan yang di tentukan oleh akal pikiran, sehingga
dengan adanya ketentuan akal ini kita dapat menetapkan ada dan tiadanya sesuatu
perkara. Bagi mukallaf atau muslim yang telah baligh, berakal, dan sehat, wajib
hukumnya untuk mengenal hukum akal, baik laki-laki maupun perempuan. Hukum akal
terbagi kepada tiga:
1. Wajib
Wajib adalah sebuah putusan hukum yang berlaku bagi sesuatu yang menurut akal
pasti ada dan mustahil tak ada. Artinya, akal tidak dapat menerima secara pasti bila
sesuatu tersebut tidak ada, akal dengan sendirinya akan menolak ketidakberadaan
tersebut setelah menyaksikan tanda-tanda atau bukti-bukti yang berkaitan dengan
hal itu, kemudian barulah akal akan menetapkan bahwa sesuatu itu ada. Sesuatu
yang wajib tersebut contohnya adalah eksistensi (keberadaan) Allah Swt.
2. Mustahil
Mustahil adalah kebalikan daripada wajib, yaitu sesuatu yang keberadaannya tidak
dapat di benarkan oleh akal. Dalam artian, akal akan menolak mentah-mentah
keberadaan tersebut setelah mendapati tanda atau bukti berdasarkan penyaksian dan
olah pikir yang mendalam tentang hal itu, selanjutnya akal akan menetapkan yang
bahwa hal tersebut tidak ada. Sesuatu yang mustahil itu contohnya seperti adanya
sekutu bagi Allah Swt., mustahil ada bilangan genap sekaligus ganjil dan lainnya.

6
3. Jaiz (harus/boleh)
Jaiz adalah sesuatu yang antara ada dan tiadanya dapat di terima atau di cerna oleh
akal. Dalam artian, akal dapat dengan sendirinya membenarkan sesuatu tersebut ada
pada suatu ketika dan tiada pada ketika yang lain. Maksudnya, perkara tesebut boleh
saja ada dan boleh saja tidak. Contoh sesuatu yang jaiz antara lain adalah seperti
adanya langit dan bumi, diutusnya para Rasul, diampunkannya ahli maksiat serta di
azabnya orang yang ta’at dan lain sebagainya. Jaiz ini juga terkadang di istilahkan
dengan mumkin dalam ranah ilmu tauhid.

Tiga hukum aqli (akal) di atas tujuannya adalah untuk menegaskan kembali
perihal keesaan Allah. Dia adalah Zat Yang Maha Tunggal, tanpa sekutu, tanpa
teman. Keberadaannya tidak ada awal, dan tidak ada akhir, serta semua sifat-sifat
kesempurnaan dimiliki oleh-Nya dan semua sifat kekurangan tidak ada dalam diri-
Nya.
Dari penjabaran di atas dapat pemakalah simpulkan bahwa hukum akal akan
membawa manusia pada putusan akan ada atau tidaknya suatu hal. Untuk itu, kita
harus memahami hukum akal agar kita tidak salah dalam pengambilan putusan yang
berdasarkan akal pikiran kita. Karena pada dasarnya manusia bukanlah makhluk
yang sempurna yang pastinya tidak luput dari kesalahan.

C. Pembagian Tauhid
Sejatinya, pembagian maksud dari Tauhid tidak secara langsung dijabarkan
dalam Al-Qur’an. Namun para ulama yang mengkaji hal tersebut memiliki pembagian
yang didasari dari salah satu ayat yang mana ayat tersebut mewakili makna dari Tauhid
tersebut. Ayat yang dimaksud adalah QS. Maryam ayat 65, yang berbunyi :

َ ِ ‫ت و ْاْل ْر‬
َ‫ض وما بيْن ُهما فا ْعبُ ْدهَُ واصْط ِب َْر ِل ِعبادتِ َِه ه َْل ت ْعل َُم لهَُ س ِميا‬ َِ ‫سماوا‬
َّ ‫ربَ ال‬
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara
keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya.
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)?” (QS. Maryam: 65).
Dari ayat diatas, para ulama (Pendapat Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi)
menjabarkan makna dari Tauhid menjadi tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah
sebagai berikut:

7
َ ِ ‫ت و ْاْل ْر‬
1. Dalam firman-Nya (‫ض‬ َِ ‫سماوا‬
َّ ‫( )ربَ ال‬Rabb (yang menguasai) langit dan
bumi) merupakan penetapan Tauhid Rububiyah.
2. Dalam firman-Nya (‫( )فا ْعبُ ْدهَُ واصْطبِ ْر ِلعِبادتِ َِه‬maka sembahlah Dia dan berteguh
hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan Tauhid
Uluhiyah.
3. Dan dalam firman-Nya (َ‫( )ه َْل تعْل َُم لهَُ سمِ يا‬Apakah kamu mengetahui ada
seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan TauhidَAsma’َwaَ
Shifat.

Sehingga dapat diketahui bahwa pembagian Tauhid dibagi menjadi tiga. Yaitu
Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat.

a. Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari kata rabb yang digunakan dengan penggunaan hakiki
dan juga digunakan untuk yang lain secara majazi atau idhafi, dan tidak untuk yang
lain. Dan karena Allah adalah rabb yang haq bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang
khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, wajib mengesakannya dalam ketuhanan dan
tidak menerima adanya sekutu baginya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan yang
tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluknyaa (Syaikh Abu Bakar Al-Jaziri
terjemahan Asmuni Solihan Zamakhsyari, 2002)

b. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah ini sangat penting bagi mukmin. Tauhid ini adalah buah dari
tauhid rububiyah dan tauhid asma’wa sifat.Tanpa tauhid uluhiyah, maka tauhid
rububiyah dan tauhid asma’wa shifat kehilangan makna dan faidahnya. Sebab tauhid
rububiyah itu membahas seputar mengenal Allah dan ketuhanan-Nya, serta meniadakan
sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Sedangkan tauhid asma’wa sifat membahas seputar
penetapan asma’-asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya dan meniadakan sekutu bagi-Nya
dalam asma’-asma’-Nya, tidak menyerupakan-Nya atau menghilangkan sifat-sifat-
Nya.
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah dengan segala yang
disyari’atkan-Nya, agar kita beribadah kepada Allah dengan amal-amal hati dan
anggota badan dan tanpa mempersekutukan Allah dengan apapun dalam ibadah-ibadah

8
itu dan tidak mengakui adanya ibadah selain kepada Allah (Shalaih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan terjemahan Agus Hasan Bashori, 2009).
Menurut Shalih Ibnu Bin Abdullah Al-Fauzan mengatakan tauhid uluhiyah
adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang
disyari’atkan seperti do’a, nazar, kurban, raja’(pengharapan), takut, tawakkal,
raghbah(senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat) dan jenis tauhid ini adalah
inti da’wah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah Swt.
Berfirman :

‫ى وعْدا عل ْي َِه ح ًّۭقا‬


َٰ ‫ّللُ من ي ُموتََُۚ بل‬
ََّ ‫ث ٱ‬ ََِّ ‫وأ ْقس ُمواَ بَِٱ‬
َُ ‫ّلل جهْدَ أيْم ٰـنِ ِه َْمَۙ لَ يبْع‬
‫ون‬ َ ِ َّ‫ول ٰـ ِكنََّ أكْثرَ ٱلن‬
َ ‫اس لَ ي ْعل ُم‬
“Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka diantara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang
yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
(QS An-Nahl : 38).
Maksudnya dari tauhid ini bahwa hanya Allah Swt semata-semata yang berhak
diperlakukan sebagai tempat khudhu’(tunduk/merendah) oleh hamba-Nya dalam
beribadah dan taat. Dengan kata lain, tak ada yang berhak dipatuhi secara mutlak selain
Allah Swt. Semua manusia adalah hamba Allah. Hamba yang betul-betul berlaku dan
berpenampilan sebagai hamba. Bukan hamba yang berlagak sebagai “raja”. Manusia
tidak berhak memperbudak manusia lainnya, dengan alasan apapun. Seluruh penguasa
dimuka bumi harus tunduk kepada penguasa tunggal yaitu Allah Swt.

c. TauhidَAsma’َWaَShifat
Tauhid Asma’ Wa Shifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah Swt dan sifat-
sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya
menurut apa yang pantas bagi Allah Swt, tanpa ta’wil dan ta’til, tanpa takyif, dan tamtsil
berdasarkan firman Allah Swt :

َ‫سكُ َْم أ ْز ٰو ًّۭجا و ِمنَ ٱ ْْل ْنعـ ِٰم‬


ِ ُ‫ن أنف‬
َْ ‫ضَۚ جعلَ لكُم ِم‬ َ ِ ‫ت وَٱ ْْل ْر‬ َِ ‫سمـ ٰٰو‬
َّ ‫اط َُر ٱل‬
ِ ‫ف‬
َّ ‫أ ْز ٰو ًّۭجاَۖ يذْر ُؤكُ َْم فِي َِهَۚ ليْسَ ك ِمثْ ِل َِهۦ ش ْى ًَّۭءَۖ وهُوَ ٱل‬
َ‫س ِمي َُع ٱ ْلب ِصير‬

9
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah yang maha mendengar
lagi maha melihat” (QS Asy Syura : 11).
Sesungguhnya Allah telah menyipati diri-Nya dalam kitab-Nya dan juga
melalui Rasulallah dengan sifat-sifat yang tinggi dan memerintahkan agar orang-orang
mukmin yang beriman kepada-Nya menalfati-Nya dengan sifat-sifat itu serta
bertawasul dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena Allah menamai diri-Nya dengan
nama-nama yang indah (Asmaul Husna), maka kita wajib beriman kepada nama-nama
itu dan menerimanya, serta memahaminya sebagaimana yang dikehendaki-nya. Maka,
barang siapa yang meniadakan dari-Nya sifat atau nama yang Dia tetapkan untuk diri-
Nya, maka dia telah kufur. Dan barang siapa menyerupakan asma’-asma’ dan sifat-sifat
itu dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk, maka dia juga telah kafir atau musyrik.
Sebab dia berada diantara mendustakan Allah dan berdusta kepada-Nya. Sedangkan
keduanya adalah kufur yang hina dan kezaliman yang besar (Syaikh Abu Bakar Al-
Jaziri terjemahan Asmuni Solihan, 2002)
Ismail Raji Al-Faruqi (terjemahan Rahmani Astuti, 1988) mengatakan bahwa
berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan dasar dari seluruh bentuk kesalehan.
Wajarlah jika Allah Swt dan Rasul-Nya menempatkan tauhid pada status tertinggi dan
menjadikannya menjadi penyebab kebaikan dan balasan pahala terbesar bagi seorang
muslim yang bertauhid.
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia (1992) disebutkan bahwa para ulama
membagi tauhid kepada dua kategori : Tauhid Rububiyah dan Tauhid Ubudiyah.
Kebanyakan umat yang sudah menyimpang dari tauhid itu, masih memiliki tauhid
Rububiyah, karena mereka sebenarnya masih mengakui dan meyakini hanya ada satu
Tuhan yang menciptakan dan memelihara segenap alam semesta ini, kesalahan mereka
adalah karena mereka tidak lagi berpegang teguh kepada tauhid Ubudiyah. Inilah tauhid
yang menghendaki Ubudiyah atau ketaatan tanpa syarat hanya tertuju kepada Allah
Swt.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini merupakan khalifah yang diutus
Allah Swt., untuk menjalankan tugas yang telah diberikan. Tugas ini sering kita kenal
dengan fitrah manusia. Fitrah manusia ada banyak terutama fitrah agama. Setiap
manusia pasti memiliki agama. Hal itu membutiktikan bahwa dia beriman (percaya)
kepada Allah Swt sebagai pemilik alam semesta. Di dalam agama kita di ajarkan
akidah. Akidah merupakan keyakinan yang menjadi dasar untuk kita menjalani
kehidupan. Dari penjabaran materi di atas dapat kita simpulkan :
1) Akidah berasal dari Bahasa Arab yang artinya mengikat. Menurut istilah ,
Akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun
bagi orang yang meyakininya. Tujuan dari akidah ini adalah agar kita sebagai
umat manusia tetap berada di dalam koridor yang benar ditengah merebaknya
kehidupan yang tidak sesuai aturan sehingga kita bisa menjaga diri kita dan
tidak terjerumus ke hal-hal yang negatif.
2) Setiap manusia pasti memiliki akal pikiran. Dari akal pikiran inilah yang akan
memutuskan ada atau tidak adanya suatu hal. Tujuan dari pembelajaran hukum
akal ini adalah untuk mengingatkan kepada kita semua, meskipun kita dapat
berpikir yang luas dan memutuskan ada atau tidaknya suatu hal tapi kita tidak
bisa memutuskan tidak adanya Tuhan. Karena hukum akal menegaskan kepada
kita perihal adanya Tuhan dan keesaan Tuhan yaitu Allah Swt sang pemilik
alam semesta beserta isinya. Hukum akal dibagi menjadi 3, yaitu wajib,
mustahil, dan jaiz.
3) Tauhid dibagi menjadi 3 yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid
Asma’ wa Shifat. Tauhid Rububiyah mengajarkan kita bahwa hanya Allah Swt
yang patut kita sembah, tiada tuhan selain-Nya karena hanya Allah Swt. Pemilik
alam semesta beserta isinya. Tauhid Uluhiyah mengajarkan kepada kita untuk
beribadah kepada Allah sebagaimana yang telah disyari’atkan tanpa
mempersekutukan-Nya dengan ibadah tersebut. Tauhid Asma’ wa Shifat
mengajarkan kepada kita untuk beriman kepada sifat-sifat-Nya.

11
Tiga Poin diatas saling berhubungan. Di mulai dari penjelasan mengenai
akidah atau yang biasa orang sebut tauhid yang merupakan dasar dari keyakinan
kita untuk menjalani kehidupan. Di samping itu ada akal pikiran yang diberikan
Allah Swt kepada seluruh umat manusia agar dapat berpikir dan memutuskan suatu
putusan dengan baik sesuai dengan baik agar selaras dengan akidah yang menjadi
pegangan hidup kita. Lalu dilanjutkan dengan penjabaran mengenai pembagian
tauhid.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang pemakalah buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Apabila dalam penulisan terdapat materi
yang kurang jelas, penulisan ejaan yang kurang tepat dan lainnya pemakalah mohon
maaf dan mohon untuk kritik dan sarannya agar kedepannya pemakalah dapat membuat
makalah yang lebih baik lagi. Sekian materi yang dapat pemakalah buat, semoga dapat
bermanfaat dan terimakasih atas kesediaannya untuk membaca makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al Jumhuri, M. A. (2015). Belajar Aqidah Akhlak. Sleman,Yogyakarta: Grup Penerbitan CV


BUDI UTAMA.
Kholillurrohman. (2019). Mengungkap Kerancuan Pembagian Tauhid Kepada Uluhiyyah,
Rububiyyah Dan al-Asma' Wa ash-Shifat. Tangerang,Banten: Nurul Hikmah Press.
Lubis, R. F. (2019). Menanamkan Akidah Dan Tauhid Kepada Anak Usia Dini. Al-Abyadh,
84-88.
Supian, d. (2022). Menjadi Muslim Moderat. Jambi: GP Press Group.
Sunnatullah. (2022, 22 November). Mengenal Hukum Aqli : Sifat Wajib, Mustahil, Jaiz Allah.
Diakses 29 Agustus 2023 dari https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/mengenal-hukum-
aqli-sifat-wajib-mustahil-jaiz-allah-qldW3

Haekal, Muhammad. (2019, 14 September). Ilmu Tauhid Dasar Ahlussunnah wal Jamaah;
Hukum Akal. Diakses 29 Agustus 2023 dari https://www.pecihitam.org/ilmu-tauhid-
dasar-ahlussunnah-wal-jamaah-hukum-akal/

13
Pertanyaan Diskusi

1. Bagaimana cara menanamkan Akidah dalam diri seseorang sejak usia dini?
Jawaban : Dengan cara mengenalkan kepada anak akan keberadaan Allah Swt yang
merupakan pencipta dan pemilik alam semesta beserta isinya. Menceritakan tentang
kisah nabi dan rasul. Menanamkan ke dalam dirinya bahwa Allah Swt adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan hanya Dia-lah yang patut disembah, dan lainnya.

2. Mengapa muncul berbagai aliran dalam pemahaman Akidah yang dapat mengakibatkan
pengikutnya berseteru?
Jawaban : Karena adanya pihak-pihak yang memalsukan ajaran yang sesungguhnya
sehingga banyak muncul aliran-aliran baru yang menyimpang dari kaidah sebenarnya
sehingga menyebabkan pro dan kontra terhadap ajaran untuk mengetahui ajaran yang
benar

3. Apakah Akidah hanya dimiliki oleh umat muslim? Bagaimana dengan muallaf?
Jawaban : Setiap orang yang memiliki agama pasti memiliki akidah sesuai dengan
ajaran agamanya. Sebelum orang itu masuk islam dan menjadi muallaf, mereka pasti
mencari tau dan mempelajari terlebih dahulu mengenai islam termasuk akidah di
dalamnya. Oleh sebab itu, muallaf sebenarnya sudah dibekali oleh pengetahuan akidah,
ketika masuk islam mereka tinggal memperdalami lebih lanjut

4. Mengapa penting bagi seorang muslim untuk memahami dan memegang teguh
akidahnya?
Jawaban : Agar muslim tersebut tidak salah arah. Akidah merupakan akar dalam segala
hal. Apabila akarnya tidak kuat maka pohonnya akan tumbang. Begitupula dengan
muslim yang tidak memiliki akidah sebagai dasarnya. Dia akan salah jalan.

5. Konsep apa yang paling utama jika berbicara tentang akidah akhlak?
Jawaban : Konsep akan adanya keyakinan bahwa Allah Swt itu ada dan nyata yang
dapat kita Yakini kebenarannya di dalam hati, dan meyakini bahwa Allah swt sang
Khaliq dan pemilik seluruh alam semsesta beserta isinya, dan meyakini bahwa Allah
itu Esa

6. Bagaimana Fungsi Akidah dan peranannya dalam kehidupan?


Jawaban : Akidah sangat berperan penting dalam kehidupan. Karena akidah merupakan
petunjuk arah kita untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Apabila kita berpegang teguh pada Akidah dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis
maka kita tidak akan tersesat di jalan

14
MAKALAH AGAMA 1
“INTEGRASI ANTARA IMAN, ISLAM, DAN IHSAN”

Dosen Pengampu
Salman Jufri S.Pd.I, M.Pd

Nama Kelompok 2:
Moderator : Lenni Putri Siti Barokah (C1B023130)
Presentator 1: Silvi Rahma Aulia (C1B023033)
Presentator 2: Dewi Anggraini (C1B023031)
Presentator 3: Annisa Putri Natasya (C1B023005)
Presentator 4: Widya Haniifah (C1B023103)

Kelas: R003 Manajemen

Progam Studi Manajemen


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Jambi
2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan seringkali ditemukan adanya ketidaknyamanan dalam


menjalani hidup seperti kemiskinan kelaparan dll. Bukan hanya itu bahkan orang lain
juga sering kali membiarkan keburukan terjadi layaknya hal yang biasa dalam
kehidupan sehari-hari yang menunjukkan bahwa manusia gagal dalam memahami
hakekatnya sebagai manusia. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa manusia
sudah mulai kehilangan sifat kemanusiaan dalam dirinya. Sudah seharusnya jika
manusia hidup sebagai manusia yang sesungguhnya, seperti tolong menolong,
gotong royong, menghilangkan rasa tamak, iri, dengki, dan sombong terhadap orang
lain guna menciptakan kehidupan yang lebih baik. Maka untuk memahami hakekat
manusia, manusia itu sendiri harus mengenal arti Insan Kamil.

Iman, Islam dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah keyakinan
tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam sedangkan
pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan
diri kepada Allah SWT dan menjadi seorang insan kamil. Namun hingga saat ini
masih banyak umat Islam yang belum benar- benar paham mengenai pengertian
iman, Islam, ihsan, dan insan kamil. Selain itu, di era sekarang banyak hal yang
membuat keimanan para umat Islam menjadi berkurang serta berimbas pada Islam
dan ihsan sehingga sulit menjadi seorang insan kamil. Oleh karena itu untuk
membantu umat Islam menjadi umat yang lebih baik dan bisa menjadi seorang
insan kamil perlu memahami secara mendalam mengenai pengertian mengenai
iman, Islam, dan ihsan.

Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap
tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya. Jika Islam dan Iman disebut
secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak
dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal
batin yang memiliki enam rukun dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri maka
masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri. Ihsan berarti berbuat
baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.
Setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai
atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian
akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih
besar yang disebut akhlaqul karimah.

Berdasarkan Latar belakang di atas maka di buatlah makalah ini yang berjudul
"Integrasi antara iman, islam, dan ihsan ” dengan tujuan untuk membahas lebih
lanjut tentang membentuk insan kamil.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tersusunlah rumusan masalah sebagai


berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Integrasi, Iman, Islam, dan Ihsan?

2. Apa Urgensi Iman, Islam, dan Ihsan dalam membentuk Insan Kamil?

3. Mengapa Iman, Islam, dan Ihsan menjadi persyaratan dalam membentuk


Insan Kamil?

C. Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui definisi Integrasi, Iman, Islam, dan Ihsan.

2. Untuk mengetahui Urgensi Iman, Islam, dan Ihsan dalam membentuk Insan
Kamil.
3. Untuk mengetahui Iman, Islam, dan Ihsan menjadi persyaratan dalam
membentuk Insan kamil.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Integrasi, Iman, Islam, dan Ihsan

1. Definisi Integrasi

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau biasa dikenal KBBI,


integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Integrasi akan berjalan dengan lancar dan baik selama sesama individu
saling menghargai, memahami, dan menghormati, sehingga mengurangi
risiko terjadinya suatu konflik yang bisa menimbulkan perpecahan.

2. Definisi Iman

Iman secara etimologis berarti 'percaya'. Perkataan iman diambil dari kata
kerja 'aamana'--yukminu' yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'.
Secara terminologis iman adalah mempercayai dengan hati, mengikrarkan,
dan mengamalkan dengan perbuatan, segala yang dibawa Nabi Muhammad
SAW. (Jamaludin Kafie, 1981:23).

Pengertian iman secara Bahasa adalah pengakuan yang melahirkan


sikap menerima dan tunduk. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).
Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syariat. Beliau
mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar
pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk.
Kata iman adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan
tashdiq adalah fi’ilmuta’addi (butuh objek).

Ada 6 rukun iman yang harus kita k Menurut Hasbi As-Shiddiqy ;

‫اﻟﻘﻮل ﺑﺎﻟﻠﺴﺎن واﻟﺘﺼﺪ ﻳﻖ ﺑﺎﻟﺠﻨﺎن واﻟﻌﻤﻞ ﺑﺎاﻻرﻛﺎن‬

“ Iman ialah mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan


mengerjakan dengan anggota tubuh”.

Ada enam rukun iman yang harus kita ketahui, yaitu:

a. Iman kepada Allah SWT. Yakni beriman kepada Rububiyyah


Allah SWT, Uluhiyyah Allah SWT, dan Asma wa shifat Allah SWT yang
sempurna serta agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-
Nya.

b. Iman kepada Malaikat-Nya. Malaikat adalah ciptaan Allah dan diberi


tugas oleh Allah langsung sehingga kita harus beriman pada Malaikat-
Nya.

c. Iman kepada Kitab-Nya. Allah yang Maha Agung dan Mulia


telah menurunkan kepada para Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung
petunjuk dan kebaikan.

d. Iman kepada Rasul-Nya. Allah telah mengutus kepada makhluk-


Nya para rasul, dan semua itu adalah manusia biasa, tidak memiliki
sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah hamba-hamba Allah yang diutus
untuk menyebarkan ajaran Islam.

e. Iman kepada Hari Kiamat. Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi
setelahnya, ketika Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup
untuk kekal ditempat yang penuh kenikmatan atau ditempat siksaan
yang amat pedih.

f. Iman kepada Qada dan Qadar. Beriman bahwasanya Allah


telah mentaqdirkan semua yang ada. Qada adalah ketentuan yang tidak dapat
diubah, seperti lahir, mati, jodoh. Qadhar adalah ketentuan yang dapat kita
ubah bila kita berusaha.

3. Definisi Islam

Ditinjau dari segi ethimologi atau Bahasa istilah Islam diambil dari Bahasa
Arab: <Aslama-yuslimu=, yang berarti berserah diri, patuh, taat, tunduk. Selain
itu, Islam berasal dari kata kata salm dan silm, mengandung arti kedamaian,
kepatuhan, dan penyerahan diri. Dari kata-kata ini, dibentuk kata salam berarti
sejahtera, tidak tercela, selamat, damai, patuh dan berserah diri. Islam
juga diambil dari kata <Saliimun= yang artinya suci dan bersih. Sedangkan
dari segi terminologi atau istilah: definisi Islam adalah agama yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui rasul-Nya, yang berisi hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim :

‫اﻻﺳﻼم وﻫﻮ اﻻﺳﺘﺴﻼم واﻻﻧﻘﻴﺎد اﻟﻈﺎﻫﺮ‬

“Islam berarti menyerah dan patuh yang dilihat secara zahir”.


Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur
pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1). Membaca dua kalimat Syahadat bahwa tiada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad Rasulullah.

2). Mendirikan shalat lima waktu.

3). Menunaikan zakat yaitu sedekah yang dibayar oleh orang yang
memiliki harta sampai nishab (kadar tertentu) setiap tahun, kepada
yang berhak menerimanya.

4). Puasa Ramadhan.

5). Haji ke Baitullah jika mampu dengan melakukan beberapa ibadah


diantaranya, wukuf dipadang Arafah, tawaf di Ka’bah, kiblatnya kaum
muuslimin, sa’i antara bukit safa dan marwah.

Ada juga pendapat, akar kata yang membentuk kata < Islam= setidaknya
ada empat yang berkaitan satu sama lain.

a. Aslama. Artinya menyerahkan diri. Orang yang masuk Islam berarti


menyerahkan diri kepada Allah SWT.

b. Salima. Artinya selamat. Orang yang memeluk Islam, hidupnya akan


selamat.

c. Sallama. Artinya menyelamatkan orang lain. Seorang pemeluk Islam tidak


hanya menyelematkan diri sendiri, tetapi juga harus menyelamatkan orang
lain.

d. Salam. Aman, damai, sentosa. Kehidupan yang damai sentosa akan


tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan asalama dan sallama.

4. Definisi Ihsan

Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik,
sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Dalam
Al-qur’an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan
implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia
dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat
istimewa dalam Al-qur9an. Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjadi
landasan akan hal ini:

1). An Nisa Ayat 36

‫ﺠﺎِر ِذى‬
َ ‫ﻦ َواْﻟ‬
ِ ‫ﺴِﻜْﻴ‬
ٰ ‫ﺴﺎًﻧﺎ َّوِﺑِﺬى اْﻟُﻘْﺮٰﺑﻰ َواْﻟَﻴٰﺘٰﻤﻰ َواْﻟَﻤ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻦ ِا‬
ِ ‫ﻲًٔـا َّوِﺑاْﻟَﻮاِﻟَﺪْﻳ‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ﺸِﺮُﻛْﻮا ِﺑٖﻪ‬
ْ ‫ﻋُﺒُﺪوا اﻟّٰﻠَﻪ َوَﻟﺎ ُﺗ‬
ْ ‫َوا‬
َ ‫ﻦ َﻛﺎ‬
‫ن‬ ْ ‫ﺐ َﻣ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ن اﻟّٰﻠَﻪ َﻟﺎ ُﻳ‬
َّ ‫ۗ ِا‬ ْ ‫ﺖ َاْﻳَﻤﺎُﻧُﻜ‬
‫ﻢ‬ ْ ‫ﻞ َوَﻣﺎ َﻣَﻠَﻜ‬
ِۙ ‫ﺴِﺒْﻴ‬
َّ ‫ﻦ اﻟ‬
ِ ‫ﺐ َواْﺑ‬
ِ ‫ﺠْۢﻨ‬
َ ‫ﺐ ِﺑاْﻟ‬
ِ ‫ﺣ‬
ِ ‫ﺼﺎ‬
َّ ‫ﺐ َواﻟ‬
ِ ‫ﺠُﻨ‬
ُ ‫ﺠﺎِر اْﻟ‬
َ ‫اْﻟُﻘْﺮٰﺑﻰ َواْﻟ‬
‫ﺨْﻮًرۙا‬
ُ ‫ﺨَﺘاًﻟﺎ َﻓ‬
ْ ‫ُﻣ‬

Artinya: "Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-


Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan
diri."

2). Al Baqarah Ayat 83

‫ﺴﺎًﻧﺎ َّوِذى اْﻟُﻘْﺮٰﺑﻰ َواْﻟَﻴٰﺘٰﻤﻰ‬


َ ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻦ ِا‬
ِ ‫ن ِاَّﻟﺎ اﻟّٰﻠَﻪ َوِﺑاْﻟَﻮاِﻟَﺪْﻳ‬
َ ‫ﻞ َﻟﺎ َﺗْﻌُﺒُﺪْو‬
َ ‫ﺳَﺮۤاِءْﻳ‬
ْ ‫ﻲ ِا‬
ْٓ ‫ق َﺑِﻨ‬
َ ‫ﺧْﺬَﻧﺎ ِﻣْﻴَﺜﺎ‬
َ ‫َوِاْذ َا‬
َ ‫ﺿْﻮ‬
‫ن‬ ُ ‫ﻢ ُّﻣْﻌِﺮ‬
ْ ‫ﻢ َوَاْﻧُﺘ‬
ْ ‫ﻢ ِاَّﻟﺎ َﻗِﻠْﻴًﻠﺎ ِّﻣْﻨُﻜ‬
ْ ‫ﻢ َﺗَﻮَّﻟْﻴُﺘ‬
َّ ‫ﺼٰﻠﻮَة َوٰاُﺗﻮا اﻟَّﺰٰﻛﻮَۗة ُﺛ‬
َّ ‫ﺴًﻨﺎ َّوَاِﻗْﻴُﻤﻮا اﻟ‬
ْ ‫ﺣ‬
ُ ‫س‬
ِ ‫ﻦ َوُﻗْﻮُﻟْﻮا ِﻟﻠَّﻨﺎ‬
ِ ‫ﺴِﻜْﻴ‬
ٰ ‫َواْﻟَﻤ‬

Artinya: "(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil,


"Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua
orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Selain itu,
bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan
tunaikanlah zakat." Akan tetapi, kamu berpaling (mengingkarinya), kecuali
sebagian kecil darimu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang."

Ihsan meliputi 2 bagian. Pertama yaitu Ihsan dalam beribadah pada


Allah pengertiannya beribadah pada Allah seakan-akan memandang-Nya
atau merasa dilihat oleh-Nya. Kedua yaitu Ihsan dalam menjalankan hak
sesama makhluk adalah dengan menjalankan hak-hak mereka. Ihsan
kepada makhluk ini meliputi 2, yaitu yang wajib dan sunnah. Pertama
yang disebut wajib misalnya mengabdi pada orang tua dan bersikap adil
dalam bermasyarakat. Kedua yang disebut sunnah misalnya membagikan
bantuan tenaga atau harta yang melampaui batas kadar kewajiban
seseorang. (Syaikh Abdurrahman as Sad’i). Inti pengertian yang disebut
dengan Ihsan ialah memperbaiki amal. (Syaikh Sholeh).

Batasan paling tidak seseorang bisa dibilang sudah melaksanakan


Ihsan di dalam beribadah terhadap Allah ialah ketika di dalam
memperbaiki amalan niatnya ikhlas yakni sematamata mengharap balasan-
Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi Saw. Inilah tingkatan Ihsan yang harus
yang wajib dijalankan oleh setiap orang islam yang akan membentuk
keislamannya menjadi sah.

B. Urgensi Iman, Islam, dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil

Iman islam dan ihsan merupakan tripologi agama islam dimana sesuai
dengan hadits nabiIman, islam dan ihsan saling berhubungan karena seseorang
yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi
dengan iman Sebaliknyaiman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan
Islam Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan
jika dibarengi dengan ihsansebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa
pamrih dalam ibadah Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati,
Islam adalah sikap aktif untuk berbuat/beramal, ihsan merupakan perwujudan
dari iman dan islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar iman dan
islam itu sendiri.

Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan.
Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian.
Artinya, mereka “ menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang
disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami
Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan.
Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan
berdasarkan sifat – sifat dan nama – nama Tuhan. ( Asma’ul Husna)

Tiga tingkatan insan kamil:

a) Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat – sifat ilahi pada dirinya.

b) Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil


sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih
Tuhan ( al – haqaiq ar – ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan
kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian
dari hal – hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.

c) Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat
merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian
dari rahasia penciptaan takdir.

(Abdulkarim Al – Jilli)
C. Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil

kesempurnaan insan kamil terletak dari iman, islam, dan ihsan. Sehingga
insan kamil dapat mewujudkan pengetahuan tentang iman, islam, dan ihsan
dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan atau keterkaitan antara Iman, Islam, dan
Ihsan adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Mereka saling
melengkapi dan membentuk fondasi yang kuat untuk mencapai tingkat
kesempurnaan tersebut. Berikut adalah alasan mengapa ketiga unsur ini penting
dalam membentuk insan kamil:

1. Iman: Iman adalah pondasi segala sesuatu dalam Islam. Tanpa iman yang
kuat, seseorang mungkin tidak akan memiliki dasar yang kokoh untuk
memahami prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.

2. Islam: Islam adalah tindakan konkret dari iman. Ini melibatkan tindakan sehari-
hari yang mencerminkan ketaatan kepada Allah dengan cara mengikuti ajaran-
Nya. Islam adalah cara hidup yang mengajarkan etika, moralitas, keadilan, dan
keseimbangan dalam kehidupan.

3. Ihsan: Ihsan adalah tingkat tertinggi ibadah dalam Islam. Ini adalah tindakan
beribadah dengan penuh kehadiran Allah dalam pikiran dan hati, sehingga
individu beribadah dengan kualitas yang sangat tinggi.

Adapun syarat-syarat menjadi insan kamil ada beberapa maqam


(tingkatan) yang harus dilalui seorang, yaitu sebagai berikut:

a. Islam, yang didasarkan atas lima rukun dalam pemahaman, yang harus
dipahami dan dirasakan lebih mendalam.

b. Iman, yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan tentang rukun iman, serta
melaksanakan dasar-dasar Islam.

c. Shalat, yaitu pada maqam ini seorag mencapai tingkat atsar (efek), sehingga
dalam ibadahnya ia merasa seakan-akan berada dihadapan Tuhan.

d. Ihsan (kesempurnaan atau yang terbaik), dalam maqam ini seseorang memiliki
sikap istiqamah, tawakal, ikhlas, dan ridho.

Islam,iman,shalat,serta ihsan merupakan kunci dari terbentuknya insan kamil.


Sikap istiqamah,tawakal,ikhlas, dan ridho merupakan sikap yang harus dimiliki
seseoramg yang menerapkan ihsan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Iman, islam, dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam
yang sesuai dengan dalil, iman, islam, dan ihsan saling berhubungan karena
seseorang yang hanya menganut islam sebagai agama belumlah cukup tanpa
dibarengi iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa apa. Dari uraian materi
di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Integrasi adalah sebuah proses pembauran/penyatuan hingga menjadi


kesatuan yang utuh atau bulat

2. Iman secara bahasa artinya percaya atau yakin. Sedangkan secara istilah,
iman artinya meyakini setulus hati dan mengucapkannya dengan lisan

serta dikerjakan dengan anggota badan.

3. Islam adalah Islam adalah agama yang datangnya dari Allah SWT yang
diturunkan kepada manusia melalui Rasulullah SAW, yang mengajarkan
pada pemeluknya untuk cinta kedamaian, cinta keselamatan, cinta
kebersihan, serta mengajarkan tunduk, patuh, dan berserah diri kepada
Allah SWT.

4. Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik,
sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan

5. Insan kamil berasal dari Bahasa Arab, al-insan yang berarti manusia dan al
-kamil yang berarti sempurna. Insan Kamil merupakan manusia yang
berhasil men capai puncak prestasi tertinggi dengan berbagai prasarat
utama yang harus dimiliki.

6. Integrasi iman, islam, dan ihsan dalam membentuk insan kamil adalah
sebuah proses penyatuan ketiga unsur tersebut yang saling berhubungan
bertujuan untuk mewujudkan manusia sempurna seperti yang dikehendaki
oleh Allah.

Iman, islam dan ihsan merupakan inti pokok ajaran Islam. Ketiganya
sangat berhubungan erat dan saling mengisi, bahkan satu dengan yang
lainnya tidak bisa dipisahkan, walaupun memiliki definisi dan istilah yang
berbeda. Baru dengan meraih keihsanan melalui pengamalan keimanan dan
keislaman. Insan Kamil dapat diraih oleh manusia. Insan kamil sendiri pada
umumnya diartikan sebagai manusia yang sempurna baik dari segi wujud dan
pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia
merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan yang pada dirinya
tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh.

Jika manusia telah memahami dan mengamalkan arti dari iman dan juga
telah menjalani Islam dengan rukun-rukunnya dengan istiqamah, maka
keihsanan akan otomatis terbentuk dalam dirinya. Dengan terus menjaga dan
mengamalkan keihsanannya, dengan izin Allah, kesempurnaan agama berupa
insan kamil akan juga diraih oleh manusia.

B. Kritik dan Saran

Demikianlah makalah yang pemakalah buat ini. Melalui makalah ini,


pembaca diharapkan menjadi semakin giat menyempurnakan agamanya
untuk meraih kesempurnaan beragama yaitu menjadi insan kamil. Apabila
dalam penulisan makalah ini terdapat materi yang kurang jelas, penulisan
ejaan yang kurang tepat dan lainnya, pemakalah mohon maaf dan pemakalah
juga berharap kritik dan saran dari pembaca, khususnya dosen pengampu
mata kuliah untuk kesempurnaan tugas pemakalah selanjutnya. Sekian
materi yang dapat pemakalah buat, semoga dapat bermanfaat dan
terimakasih atas ketersediaannya untuk membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Supian.(2022). MENJADI MUSLIM MODERAT. Jambi: REFERENSI (GP Press Group).

Rahmayanti, Rizki. 2015. MENGINTEGRASIKAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM


MEMBENTUK INSAN KAMIL. Diakses pada 5 September 2023 dari
http://rizkiarahmayanti16.blogspot.com/2015/02/mengintegrasikan-iman-
islam-dan-ihsan.html?m=1
Sari, Eka Purnama. 2018. IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN
KAMIL. Diakses pada 5 September 2023 dari
http://manisnyaum.blogspot.com/2018/10/iman-islam-dan-ihsan-dalam-
membentuk.html?m=1
Disviana, Sarah dkk. 2018. Mengintegrasikan Iman, Islam, dan Ihsan dalam Membentuk
Insan Kamil. Diakses pada 4 September 2023 dari
http://millionconstellation.blogspot.com/2018/07/mengintegrasikan-iman-
islam-dan-ihsan.html?m=1
MAKALAH
FITRAH BERAGAMA BAGI MANUSIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama I
Dosen Pemgampu : Salman Jufri, S.Pd.I, M.Pd

DISUSUN OLEH :
Kelompok III
1. Desni Azzahra C1B023078 (Pemateri I)
2. Lili Aulia C1B023038 (Moderator)
3. Nabila Ramadani C1B023027 (Pemateri II)
4. Rts Febriyani C1B023113 (Pemateri III)
5. Siska Nabilla Putri C1B023112 (Pemateri IV)

PROGRAM STUDI MANAJAMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JAMBI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fitrah pada manusia yang disebut potensi, secara edukatif akan
berkembang baik manakala terjadi persentuhan dengan dunia luar dalam
bentuk interaksi positif. Akumulasi perkembangan potensi menjadi sebuah
bentuk kepribadian tertentu berlangsung menurut falsafah pandangan
hidup dan nilai-nilai yang dihadirkan dalam proses pengembangannya, dan
ia akan menjadi seperti yang dikehendaki oleh dasar dan tujuan dari
sistem pendidikan tersebut. Falsafah pandangan hidup dan nilai-nilai yang
diperlukan untuk itu dapat diketahui dengan memahami tujuan penciptaan
dan tujuan hidup manusia. Pendidikan Islam sebagai upaya untuk
menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka, bertujuan untuk
menciptakan manusia yang dalam kapasitas dan kualitasnya mampu lebih
baik memahami dan lebih sempurna dalam menyembah Allah swt.
Menurut ketentuan yang telah diwahyukan oleh Allah swt. Dan disabdakan
oleh Rasulullah. Dalam kaitan ini, walaupun manusia diciptakan sebagai
makhluk terbaik yang menjadi kuasa Tuhan di bumi, dan merupakan
makhluk paling mulia diantara ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam upaya
melestarikan dan mengembangkan fitrahnya yang lebih baik, maka
diperlukan proses pendidikan dengan tujuan agar fitrah tersebut tetap
pada ketentuan Allah .

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fitrah?


2. Apa saja macam macam fitrah?
3. Bagaimana implikasi fitrah dalam pendidikan islam?
4. Bagaimana menjaga fitrah?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian fitrah .


2. Untuk mengetahui macam macam fitrah.
3. Untuk mengetahui implikasi fitrah dalam pendidikan islam.
4. Untuk mengetahui menjaga fitrah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fitrah

Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara


makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah
(fisiologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam unsur ini Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkarya
yang disebut potensialitas. Menurut pandangan Islam, kemampuan dasar
tersebut dinamakan fitrah. Dalam pengertian lain dijelaskan secara rinci:

1. Fitrah adalah ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia telah diberi potensi
yang baik oleh Allah.
2. Fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud
disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan
manusia (yang ada sejak lahir).
3. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar/pembawaan disebut
dengan fitrah yaitu dalam pengertian etimologi berarti kejadian, karena
kata fitrah berasal dari kata fathoro yang berarti menjadikan.
4. Menurut Syahminan Zain (1986: 5), bahwa fitrah adalah potensi laten
atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia, yang
dibawanya sejak lahir.

Pengertian secara etimologi tersebut masih bersifat umum, untuk


mengkhususkan arti fitrah, berikut ini firman Allah SWT. dalam Q.S. Ar-
Rum ayat 30:
َ‫ۚ ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞ‬ ‫ۚ ﻓِﻄْﺮَتَ اﻟﻠَّﻪِ اﻟَّﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨَّﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ‬ ‫ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪِّﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔًﺎ‬
َ‫ۚ ذَٰﻟِﻚَ اﻟﺪِّﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴِّﻢُ وَﻟَٰﻜِﻦَّ أَﻛْﺜَﺮَ اﻟﻨَّﺎسِ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮن‬ ِ‫ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠَّﻪ‬

Artinya:“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrahnya itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
2
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Selain dalam firman Allah, kewajiban orang tua mendidik anaknya


juga terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.:
ِ ‫ﺴَّﻴ‬
‫ﺐ‬ َ ‫ﻦ اْﻟُﻤ‬
ُ ‫ﺳِﻌﻴُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﺧَﺒَﺮِﻧﻲ‬
ْ ‫ي َأ‬
ِّ ‫ﻫِﺮ‬
ْ ‫ﻦ اﻟُّﺰ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ي‬
ِّ ‫ﻦ اﻟُّﺰَﺑْﻴِﺪ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ب‬
ٍ ‫ﺣْﺮ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﺤَّﻤُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ ُﻣ‬
َ ‫ﻦ اْﻟَﻮِﻟﻴِﺪ‬
ُ ‫ﺐ ْﺑ‬
ُ ‫ﺟ‬
ِ ‫ﺣﺎ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ‬
َ
‫ﻋَﻠﻰ‬
َ ‫ﻦ َﻣْﻮُﻟﻮٍد ِإَّﻟﺎ ُﻳﻮَﻟُﺪ‬
ْ ‫ﻢ َﻣﺎ ِﻣ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠُﻪ‬
َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬
ُ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل َﻗا‬
ُ ‫ن َﻳُﻘﻮ‬
َ ‫ﻫَﺮْﻳَﺮَة َأَّﻧُﻪ َﻛﺎ‬
ُ ‫ﻦ َأِﺑﻲ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ
ْ ‫ن ِﻓﻴَﻬﺎ ِﻣ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﺴﻮ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ﻞ ُﺗ‬
ْ ‫ﻫ‬
َ ‫ﺟْﻤَﻌﺎَء‬
َ ‫ﺞ اْﻟَﺒِﻬﻴَﻤُﺔ َﺑِﻬﻴَﻤًﺔ‬
ُ ‫ﺴﺎِﻧِﻪ َﻛَﻤﺎ ُﺗْﻨَﺘ‬
َ ‫ﺠ‬
ِّ ‫ﺼَﺮاِﻧِﻪ َوُﻳَﻤ‬
ِّ ‫ﻄَﺮِة َﻓَﺄَﺑَﻮاُه ُﻳَﻬِّﻮَداِﻧِﻪ َوُﻳَﻨ‬
ْ ‫اْﻟِﻔ‬
‫ﻋﺎَء‬
َ ‫ﺟْﺪ‬
َ

Menceritakan kepada kita hajib, diceritakan oleh Muhammad bin harbin,


dari az-Zubaidiyyi, dari az-Zuhriyyimenceritakan kepadaku sa īd bin al-
Musayyib, dari Abi Hurairah, sesungguhnya dia berkataRasulullah Saw
bersabda: "Tidak ada anak terlahir kecuali dalam keadaan fitrahmaka
bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan
sempurnaApakah kalian melihat ada cacat padanya?" (H.R Muslim).

Makna fitrah sangat beragam dikarenakan sudut pandang


pemaknaannya berbeda-beda. Secara etimologi kata fitrah berasal dari
bahasa Arab fathara) dari masdar ‫( ﻓﻄﺮ‬fathrun yang berarti belah atau
pecah". Dalam Alquran sendiri dapat ditemukan penggunakan kata fitrah
dengan makna al-insyiqaq atau al-syaqq yang berarti pula pecah atau
belah. Arti ini diambil dari lima ayat yang menyebutkan kata fitrah yang
objeknya ditujukan pada langit saja. Dalam ayat yang lain juga terdapat
penggunaan kata fitrah, namun mempunyai makna al- khalqah atau al-
Ibda’, artinya penciptaan. Arti ini terdapat dalam 14 ayat yang
menyebutkan kata fitrah, enam ayat diantaranya berkaitan penciptaan
manusia, sedangkan sisanya berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi.

Makna fitrah secara bahasa/harfiyah ini


disinonimkan/disepadankan dengan kata "khalaqa". Kata khalaqa banyak

3
digunakan oleh banyak orang untuk menyatakan penciptaan sesuatu,
seperti khalaqallahus samawati wal ard (Allah telah menciptakan langit
dan bumi). Contoh lain dari penggunaan kata khalaqa terdapat pada surat
al-'alaq ayat 2, khalaqal insana min alaq (Dialah Allah yang telah
menciptakan manusia dari segumpal darah). Kedua contoh ayat tersebut
menunjukkan bahwa ketika Allah menciptakan makhluk-Nya tidak diawali
oleh adanya bahan dasar ciptaan. Oleh karena itu, semua ayat yang
menggunakan kata khalaqa menisbatkan pelakunya kepada Allah, karena
hanya Dialah yang mampu menciptakan segala sesuatu yang tidak
memiliki bahan dasar awalnya. Sementara manusia mampu membuat
sesuatu karena bahan dasarnya sudah tersedia di alam raya ini.

Abu a'la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi


ini oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda
ketaatannya kepada Tuhan, tetapi dilain pihak manusia bebas untuk
menjadi muslim atau non muslim. Sehingga ada hubungannya dalam
aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia beragama tauhid,
manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada
aturan-aturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid
(ketaatan pada Tuhan) tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh
lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara
fitrah-nya.

Bila diinterpretasikan lebih lanjut, istilah fitrah sebagaimana


tersebut dalam al-Qur'an dan Hadits, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa:

1. Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi


pendidikan. Oleh karena itukata fitrah mengandung makna "kejadian"
yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus
yaitu IslamPotensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun. Karena

4
fitrah merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan
baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.

2. Fitrah berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam


bersesuaian dengan kejadian manusiaKarena manusia diciptakan untuk
melaksanakan agama (beribadah)Hal ini dikuatkan oleh firman Allah
dalam surat adz-Dzariyat:566.
3. Fitrah Allah berarti ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah dengan
mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Maka hal itu tidak
wajar jika manusia tidak beragama tauhid. Mereka tidak beragama
tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan. Tegasnya manusia
menurut fitrah, beragama tauhid.

4. Fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, budi nurani. Maksudnya bahwa


rasa keagamaan, rasa pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu
adalah serasi dengan budi nurani manusia. Adapun manusia yang ber-
Tuhan-kan kepada yang lain adalah menyalahi kodrat kejiwaannya
sendiri.

5. Fitrah berarti potensi dasar manusia. Maksudnya potensi dasar


manusia ini sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Para filosof
yang beraliran empirisme memandang aktivitas fitrah sebagai tolok
ukur pemaknaannya.

Menurut Abd al-Rahman al-Bani yang dikutip an-Nahlawi


menyatakan tugas pendidikan Islam adalah menjaga dan memelihara
fitrah peserta didik, kemudian mengembangkan dan mempersiapkan
semua potensi yang dimiliki, dengan mengarahkan fitrah dan potensi yang
ada dan menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan suatu
program tersebut secara lebih bertahap, (Nahlawi, 1996). Pengembangan
fitrah manusia dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan belajar, yaitu

5
melalui sebuah institusi. Pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan
dengan kegiatan belajar. Yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang
dimaksud dengan tidak terfokus yaitu melalui pendidikan di sekolah saja,
tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga,
masyarakat, maupun lewat isnstitusi sosial keagamaan yang ada.

2.2 Macam Macam Fitrah


Manusia yang telah telahir kedunia ini telah membawa beberapa
fitrah (potensi). Beberapa fitrah (potensi) tersebut dengan berdasarkan
ayat-ayat yang ditemukan adalah: Fitrah beragama (Q.S 30:30), fitrah
intelek (Q.S 7:179), fitrah sosial (Q.S 5:2), fitrah ekonomi (Q.S 62:10), fitrah
seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin
dihargai, ingin mengembangkan keturunan (kawin), cinta tanah air, dan
sebagainya. Menurut al-Qur'an, tabiat manusia adalah homo religious
(makhluk beragama) yang sejak lahirnya membawa suatu kecenderungan
beragama. Dalam hal ini, dalam QS. Ar-Rum ayat 30 Allah SWT berfirman
yang artinya: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Fitrah dalam
ayat di atas, mengandung interpretasi bahwa manusia diciptakan oleh
Allah SWT mempunyai naluri beragama, yakni agama tauhid. Dalam hal ini,
al-Qur'an maupun hadits secara eksplisit membicarakan tentang konsep
dasar keberagamaan yang dimaksud.

Fitrah suci Allah SWT berfirman dalam surat Al-Muthaffifin ayat 14


bahwa hakikatnya manusia itu memiliki hati yang suci. Sekali-kali tidak

6
(demikian) sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi
hati mereka "J", artinya sekali-kali bukan seperti apa yang mereka sangka
bahwa al-Qur'an adalah kumpulan dongeng orang-orang terdahulu. Tetapi
sebenarnya hati mereka telah tertutup dengan dosa-dosa yang mereka
“perbuat" juga bisa diartikan: "Sungguh benar" (bahwa hati mereka telah
tertutup dengan dosa-dosa yang mereka perbuat).

Fitrah Intelektual (Aqliyah), Potensi Aqliyah terdiri dari panca indera


dan akal pikiran (pendengaran, penglihatan dan hati). Dengan potensi ini,
manusia dapat membuktikan dengan daya nalar dan ilmiah tentang
kekuasaan Allah SWT. Serta dengan potensi ini ia dapat mempelajari dan
memahami dengan benar seluruh hal yang dapat bermanfaat baginya dan
hal yang mudharat baginya. Potensi Aqliyah juga merupakan potensi yang
dianugerahkan Allah SWT kepada manusia agar manusia dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, bersih dan kotor,
bermanfaat dan bermadharat, baik dan buruk.

2.3 Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam

Dalam perspektif Pendidikan Islam, terlihat bahwa karena sifat


dasar manusia merupakan makhluk yang serba terbatas dan memerlukan
upaya yang membuat kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka
perlu ada upaya. Upaya itu adalah lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat
khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat dan
potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi
itu meliputi kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi,

7
berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik
yang berhubungan langsung dengan manusia itu sendiri, alam, sosial,
maupun pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213).

Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan


seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang
ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani maupun rohani:
intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya
unutk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan
dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya.

Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia


sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan
berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan dan
pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah
penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd maupun sebagai khalifah fi al-
ardh. Adapun model atau bentuk yang ditawarkan oleh sistem pendidikan,
bukan menjadi persoalan. Terserah kepada kebijaksanaan dan
kepentingan manusia itu sendiri, asal saja pelaksanaan pendidikan
tersebut tidak bertentangan, akan tetapi memiliki keserasian dengan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya untuk
senantiasa mengarah pada fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan
menciptakan situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-
fleksibel.

Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi


manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah.
Keduanya memiliki natur dan kebutuhan yang berbeda antara satu dengan
yang lain, karena hakekat esensial keduanya berbeda, akan tetapi
keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Jika salah
satu di antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi

8
pengembangan totalitas fitrah manusia, untuk itu proses pendidikan Islam
harus mampu menyentuh keduanya secara padu dan harmonis, yaitu
dengan jalan mengembangkan dan memenuhi kebutuhan kedua dimensi
tersebut terhadap peserta didik.

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar


proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu
generasi kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan
Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi
yang dimiliki peserta didiknya, meliputi pengembanagn jasmani,
rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan
individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemashlahatan
seluruh umat (Langgulung, 1995: 13).

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses


penanaman nilai Ilahiah yang diformulasikan secara sistematis dan
adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan potensi
peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan harus disesuaikan
dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan.
Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami stagnasi
dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu
menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah
dan rohaniahnya.

Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan


untuk bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
hubungan yang mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang
dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
tauhid ini. Kepercayaan manusia akan adanya Allah melalui fitrahnya tidak
dapat disamakan dengan teori yang memandang bahwa monoteisme
sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid

9
merupakan inti dari semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada
manusia, munculnya kepercayaan tentang banyaknyga Tuhan yang
mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid telah dilupakan. Konsep at-
tauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga masalah
kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan
keagungan Allah yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum
pendidikan Islam.

2.4 Hal Hal Yang Menjaga Fitrah

Agar anak tumbuh dalam keimanan dan kokoh menghadapi


hantaman fitnah syahwat dan syubhat. Perhatian terhadap keselamatan
fitrah generasi dan aqidah mereka adalah perbuatan para nabi dan rasul,
lihatlah nasehat Ya’kub kepada anak-anaknya, sesungguhnya Allah telah
memilihkan agama untuk kalian maka janganlah mati kecuali dalam
keadaan Islam. (QS:2:132), jika masih perlu bukti lain lihatlah nasehat
Lukman kepada anaknya wahai anakku, sungguh jika ada perbuatan
seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi,
niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Maha
lembut dan Maha Mengetahui (QS:31:16).

Muhammad Nur Wuwaid menyebutkan beberapa langkah untuk


menjaga dan merawat fitrah keislaman generasi sebagai berikut: Pertama,
mengajarkan kalimat tauhid. Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah
saw bersabda: Mulailah membuka lisan anak kalian dengan mengucap
Lailahaillallah, dan talqinkan ketika kematian tiba dengan laila haillallah.
Ibnu Qayyaim berkata: apabila anak-anak sudah mulai berkata maka
bacakanlah syahadat, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah. Jadikanlah hal yang pertama
mengetuk telingannya adalah kalimat tauhid. Abdurrazaq meriwayatkan,
bahwa Rasulullah saw mengajari anak-anak dari bani hasyim apabila

10
mereka sudah mulai fasih bicara dengan membacakan sebanyak tujuh kali
firman Allah swt: katakanlah segal puji bagi Allah swt yang tidak memiliki
anak, yang tidak memiliki syarikat dalam kerajaannya dan tidak ada
penolong dari kehinaan dan agungkanlah Allah seagung-agungnya.
(QS.17:111) Kedua, menanamkan kecintaan kepada Allah. Setiap anak
menghadapi masalah yang berbeda-beda. Sikap anak dalam menyikapi
dan menghadapi maslah juga akan berbeda-beda. Agar anak-anak bisa
menghadapi masalah dengan tenang dan menyelesaikannya dengan baik.
Maka solusi terhadap hal ini adalah dengan menanamkan kecintaan
kepada Allah swt. Meminta tolong kepadaNya. Beriman dan taqdir Allah
swt.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi, dapat ditarik kesimpulan fitrah merupakan potensi dasar
manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Para filosof yang
beraliran empirisme memandang aktivitas fitrah sebagai tolok ukur
pemaknaannya.
Istilah fitrah dalam Al-Qur’an dan Hadist, yaitu: 1. Fitrah
mengandung implikasi pendidikan, 2. Fitrah berarti agama, 3. Fitrah berarti
ciptaan Allah, 4. Fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, budi nurani, 5. Fitrah

11
berarti potensi dasar manusia.
Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan
untuk bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
hubungan yang mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang
dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
tauhid ini. Kepercayaan manusia akan adanya Allah melalui fitrahnya tidak
dapat disamakan dengan teori yang memandang bahwa monoteisme
sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid
merupakan inti dari semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada
manusia, munculnya kepercayaan tentang banyaknyga Tuhan yang
mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid telah dilupakan.

Kemudian kita sebagai umat muslim harus menjaga fitrah , adapun


hal hal yang menjaga fitrah ialah : 1. Kembali kepada agama Allah SWT, 2.
Penyucian jiwa (tazkiyah an- nafs), 3. Menggunakan akal dengan baik.

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini kami harapkan para pembaca dapat


mengetahui lebih banyak lagi tentang materi manusia dan fitrah berakidah
guna menambah wawasan untuk pembelajaran. Dan apabila ada
kekurangan dalam penulisan makalah ini dimohonkan memberi saran.
Agar pembuatan makalah kedepannya bisa lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an al-Karim

Ahmed, Khursid (ed.). Islam its Meaning and Message. London: Islamic
Council of Europe. 1976

Al-Jamaly, Muhammad Fadlil. Filsafat Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an.


Terj. Judi al-Falasany. Surabaya: Bina Ilmu. 1986

Arifin, HM. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2003


12
_________. Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
1991

Daradjat, Zakiah. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta:


Bulan Bintang. 1982

Departemen Agama. Al-Qur`an dan Terjemahnya.

Faure. Edgar, Belajar Untuk Hidup-Pendidikan Hari Kini dan Hari Esok,
Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1980

Imam Ibnu Husain Muslim bin Hajjaj. Al-Jami` Shoheh Musammah Shoheh
Muslim. Beirut, Libanon: Darul Ma`arif. t.th

Kuntowijoyo. Paradigma Islam-Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.


1991

Langgulung, Hasan. Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma. Selangor:


Hizbi Press. 1995

Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Suatu Teori


Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin. 1987

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis


dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Banndung: Trigenda
Karya. 1993

Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam.


Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001

Omar M. Al Toumy al Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan).


Jakarta: Bulan Bintang.1979

Raharjo, Dawam. Insan Kamil, Konsep Manusia Menurut Islam. Jakarta:


Temprint. 1987
Pertanyaan dan Jawaban

1. Apa hubungan antara fitrah dan konsep dosa asal dalam agama
lain? (Dewi)
Jawaban: (Desni)
Berdasarkan pada hadist yang terdapat di dalam makalah,
manusia dilahirkan dalam keadaan suci, jika dia memilih jalan lain
(agama lain), maka itu tergantung pada orang tuanya, karena
13
mereka lah yang menjadikan anak-anak mereka beragama Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Maka dari itu setiap umat Islam sebaiknya
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Islam juga agar iman
nya tetap terjaga. Pendidikan dan lingkungan sangat
mempengaruhi seseorang untuk menjauhi atau mendekati fitrah
aslinya.

2. Bagaimana cara mempertahankan fitrah sesuai dengan Al-Qur’an?


(Silvi)
Jawaban: (Siska)
Caranya, dengan manusia itu mengikuti agama Allah yang lurus
(Islam). Hal itu sudah ditunjukkan oleh Sang Pencipta, melalui
misalnya surah ar-Rum ayat ke-30, yang artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

3. Apa yang dimaksud dengan tazkiyatun nafs dan sebutkan


contohnya? (Akbar)
Jawaban: (Nabila)
Tazkiyatun Nafs adalah proses pembersihan jiwa, saya pribadi
mengartikan suatu proses penataan hati, penenangan jiwa dan
pemurnian tauhid yang akan bermuara pada aplikasi iman dan
syahadat yang sempurna.

Salah satu contoh yang bisa saya hadirkan dalam tulisan ini
adalah dzikir, shalat istikharah dan shalat hajat, dalam segala hal
yang berhubungan dengan apapun selalu meminta petunjuk Allah
selain kedua orangtua, bagi saya ridho Allah juga terletak pada
ridho kedua orangtua.

14
MAKALAH AGAMA 1
IBADAH DALAM ISLAM

KELOMPOK 4

Anggota:

1. Marselina Novianti (C1B023028)


2. Melati Humairoh (C1B023116)
3. Nava Irza (C1B023034)
4. Rts. Fira Naila (C1B023128)
5. Shelly (C1B023118)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN R-003


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JAMBI
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibadah dan amal shaleh merupakan bagian penting yang menunjukkan eksistensi
agama Islam di tengah umat manusia. Seseorang yang sudah mengakui dirinya
sebagai Muslim, sudah menyatakan syahadah bahwa hanya Allah SWT yang ia
sembah dan hanya Muhammad SAW rasul yang ajarannya diikuti, maka konsekwensinya
adalah menerapkan apa yang telah ia akui (tashdiq) dalam hatinya, yang telah ia
ucapkan (taqrir) dengan lidahnya, dalam kehidupannya sehari-hari dalam bentuk
ibadah (pengabdian/penyembahan) dan amal shaleh (perbuatan yang baik).

Ibadah merupakan inti ajaran agama islam dan menjadi landasan bagi kehidupan
seorang muslim. Melalui ibadah, individu menghambakan dirinya kepada allah
subhanahu wa ta'ala dan memperkuat ikatan spiritual dengan-nya. Pelaksanaan
ibadah secara konsisten membantu membentuk kepribadian muslim yang baik,
seperti disiplin, kesabaran, rendah hati, ketekunan, dan tanggung jawab. Dalam
agama islam, ibadah tidak hanya berfokus pada hubungan vertikal antara individu
dengan allah subhanahu wa ta'ala, tetapi juga memiliki dimensi horizontal yaitu
hubungan sosial dengan sesama manusia.

Makalah ini dapat menjelaskan bagaimana pelaksanaan ibadah mendorong etika


sosial yang positif seperti tolong-menolong, saling menghormati, adil dalam
berinteraksi dengan orang lain. Praktik-praktik ibadah seperti sholat lima waktu
sehari semalam atau dzikir-dzikir tertentu membantu membangun keimanan
individu terhadap allah subhanahu wa ta'ala serta meningkatkan kesalehan
spiritualnya.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian ibadah dalam agama islam Beserta konsepnya?


2. Bagaimana Hakikat Ibadah serta ruang lingkup ibdah dalam agama
islam?
3. Mengapa seorang muslim harus berkomitmen dalam beribadah dan apa
hikmah nya?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pengertian ibadah dalam islam beserta konsep-konsep beribadah


dalam agama islam
2. Mengetahui hakikat ibadah yang benar beserta ruang lingkup ibadah dalam
agama islam
3. Mengetahui Hikmah-hikmah dari seorang muslim yang berkomitmen dalam
menjalankan ibadah?

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian ibadah dalam agama islam Beserta konsepnya

Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi. I badah dapat berupa ucapan atau perbuatan. Ibadah inilah yang menjadi
tujuan penciptaan manusia. Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah
penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada
Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan
tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada
Allah..Maka barang siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah
sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang
beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah). Pengertian ibadah menurut
pandangan lain.

1) Pengertian Menurut Bahasa/Etimologi Menurut ahli bahasa, ibadah adalah


pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan/merendahkan diri dan
do‘a.
2) Pengertian Menurut Istilah/Terminologi. ”Mengesakan Allah, menta‟zhimkan-
Nya dengan sepenuh-penuh ta‟zhim serta menghinakan diri dan
menundukkan jiwa kepada-Nya (menyembah Allah sendiri-Nya)”
3) Menurut ulama akhlak, ibadah adalah : ”Mengerjakan segala taat badaniyah
dan menyelenggarakan segala syari‟at (hukum)”.
(Dr. Supian, 2022)

3
Dan beribadah menurut pengertian ahli tasawuf terbagi tiga :
1. Pertama, beribadah kepada Allah SWT karena mengharap benar
akan memperoleh pahala-Nya atau karena takut aka siksa-Nya.
2. Kedua, beribadah kepada Allah SWT karena memandang bahwa
ibadah itu perbuatan mulia, dilakukan oleh orang-orang yang mulia
jiwanya.
3. Ketiga, beribadah kepada Allah SWT karena memandang bahwa
Allah SWT berhak disembah (menjadi tujuan beribadah), dengan
tidak memperdulikan apa yang akan diterima, atau diperoleh dari-
Nya. Dalam makna yang lebih luas, ibadah juga disebutkan dengan
kata syari‘ah, yang secara etimologi berarti aturan, ketentuan atau
undang-undang Allah SWT yang berisi tata cara pengaturan perilaku
manusia dalam melakukan hubungan dengan Allah SWT, dengan
sesama manusia dan dengan alam lingkungannya untuk mencapai
keridhaan Allah SWT, yaitu keselamatan/kebahagiaan (hasanah) di
dunia dan keselamatan/kebahagiaan (hasanah) di akhirat.

Diterimanya amal ibadah tiap-tiap manusia yang terpenting adalah ibadah


tersebut benar, karena ibadah tidak akan menjadi benar kecuali memenuh 2
syarat yaitu:

1. Ikhlas karena Allah SWT semata


Merupakan konsekuensi kalimat syahadat laa ilaaha ilallah karena
tuntutan kalimat tersebut adalah memurnikan ibadah karena Allah
semata tanpa ada kesyirikan apapun.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW
Merupakan konsekuensi kalimat syahadat Muhammad Rasulullah,
tersebut adalah kewajiban mentaati Rasulullah SAW mengikuti apa
yang beliau syariatkan dan menjauhi segala bentuk bid’ah serta

4
perkara yang diada-adakan tanpa tuntunan dari Rasulullah. Seperti
dalam firman llah pada QS AL Baqarah ayat 112:

‫لِل َوج َههۥ أَسلَ َم َمن بَلَى‬


ّ َ ّ ‫علَي ّهم خَوف َو َل َر ّب ّهۦ عّندَ أَجرهۥ فَلَهۥ محسّن َوه َو‬
َ ‫يَحزَ نونَ هم َو َل‬

Artinya: (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri


kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.

Makna menyerahkan diri adalah mengikhlaskan diri hanya beribadah kepada


Allah sedangkan makna ia berbuat kebaikan adalah mengikuti Rasulullah SAW. Jadi
hendaknya beramal dengan Ikhlas untuk Allah dan benar sesuai syariat Rasulullah
SAW keduanya merupakan rukun amal yang diterima Allah SWT yaitu ihklas dan
benar. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata pula, “beramal tanpa ikhlas dan
mengikuti Sunnah laksana musafir yang memenuhi tempat minumnya dengan pasir,
sangat memberatkannya dan juga tidak akan memberinya manfaat.” (dahlan, pp.
juni,2023)

6 Hal yang merusak amal atau mengurangi nilai ibadah sesorang :


1. Selalu mengurusi campur tangan dengan urusan orang lain
2. Mempunyai hati yang keras/ selalu merasa benar
3. Terlalu cinta dunia
4. Tidak mempunyai rasa malu
5. Mempunyai angan – angan yang terlalu tinggi diluar kemampuan
6. Dzalim secara terus menerus.

5
B. Hakikat Ibadah serta ruang lingkup ibadah dalam agama islam.

Yusuf al-Qordhowi, seorang ulama Islam kontemporer di Mesir menyatakan


bahwa menurut ulama fiqih, ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT, tidak
kepada yang lain. Menurut Muhammad Abduh, ulama pembaharu di Mesir,
perbedaan antara ibadah kepada Allah SWT dan ibadah kepada selain Allah SWT
bukan terletak pada tingkatan ketundukan atau ketaatan, tetapi pada tempat
munculnya (sumber) perasaan tunduk dan taat tersebut. Apabila sumber atau
penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat lahiriah, seperti kekuatan dan kekuasaan
yang bukan dari Allah SWT, maka ketundukan dan ketaatan tersebut bukan
merupakan ibadah. Apabila sumber ketundukan dan ketaatan yang dimaksud adalah
sesuatu keyakinan (al-i‟tiqad) bahwa yang disembah (al-ma‟bud) memiliki
keagungan maka ketundukan dan ketaatan tersebut dinamakan ibadah. (Dr. Supian,
2022)

Hakikat ibadah adalah : ”Ketundukan jiwa yang timbul karena perasaan cinta akan
Tuhan yang ma‟bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri‟tikad bahwa bagi
alam ini ada kekuasaan, yang akal tidak dapat mengetahui hakikatnya”. Dalam
rumusan yang lain juga dikatakan bahwa : ”Memperhambakan jiwa dan
mempertundukkannya kepada kekuasaan-Nya yang ghaib yang tak dapat diliputi
ilmu dan diketahui hakikatnya”.

Ibadah terdapat ruang linngkupnya, Para ulama membagi ibadah menjadi dua
bagian, yaitu :

1. Ibadah Mahdhah ( ‫) حمضو‬


Ibadah mahdhah adalah ibadah yang mengandung dan mengatur hubungan vertikal
antara manusia dengan Allah SWT semata-mata.Ciri-ciri ibadah mahdhah adalah
semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui
penjelasan-penjelasan Al-Quran dan/atau hadits.Ibadah mahdhah dilakukan semata-
6
mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Contoh ibadah
mahdhah: shalat harus mengikuti cara dan petunjuk Rasulullah SAW dan tidak
diizinkan untuk menambah atau menguranginya. Contoh lain adalah ibadah haji,
untuk pelaksanaannya harus mengikuti jejak yang telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW

Satu kaidah yang amat penting dalam pelaksanaan ibadah ini adalah ‖semua haram
kecuali yang diperintahkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW‖.
Perbuatan diluar ketentuan yang sudah ditetapkan dianggap tidak sah, batal atau
dikenal dengan istilah ”bid‟ah”. Bentuk-bentuk atau jenis ibadah mahdhah antara
lain sebagai berikut :

A. Bersuci (Thaharah)
Secara garis besar, bersuci terbagi dua bagian, yaitu bersuci dari hadats dan bersuci
dari najis. Hadats juga terbagi dua, yakni hadats besar dan hadats kecil, hadast besar
adalah yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabat, karena telah melakukan
hubungan suami istri, keluar mani,haidh, habis melahirkan dan nifas. Sedangkan
hadats kecil dapat dihilangkan dengan jalan berwudhu‘.

B. Shalat
Shalat menurut bahasa (etimologi) berarti : do‘a atau rahmat. Menurut istilah
(terminologi) syari‘ah, shalat berarti tindakan atau perbuatan khusus seorang
Muslim dalam rangka mengabdi dan memuliakan Allah SWT, yang berisi kata-
kata/ucapan (bacaan-bacaan) dan perbuatan (gerakan-gerakan) yang dimulai dengan
lafaz takbir dan diakhiri dengan salam dengan mengikuti atau memenuhi syarat-
syarat dan ketentuan tertentu. Pengertian shalat secara hakiki (bathin) adalah
menghadapkan hati (jiwa) kepada Allah SWT menurut cara yang mendatangkan rasa
takut (khauf) kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kagum akan
kebesaran dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.

7
C. Puasa (Shiyam)
Puasa secara etimologi berarti menahan diri dari segala sesuatu. Sedangkan secara
terminologi berarti menahan diri dari makan, minum, berjima‘ dan hal-hal yang
membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa terdiri dari :
Puasa wajib/fardhu, yakni puasa ramadhan, yang mulai diwajibkan kepada kaum
Muslimin, puasa kafarat(karena pelanggaran) dan puasa nazar,dan puasa sunnat,
seperti puasa hari Senin dan Kamis, puasa 6 (enam) hari di bulan syawal, puasa
tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah dan lain-lain, ada juga puasa yang makruh dan bahkan
puasa yang haram, yaitu puasa pada hari Raya Idul Fithri, Idul Adha dan hari-hari
tasyrik.

Rukhshah atau orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa, kemudian
kewajiban satu persatunya adalah sebagai berikut :

1). Wajib tidak berpuasa dan wajib mengqadha.Yaitu bagi para wanita yang sedang
haidh dan nifas.

2). Boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha.Yaitu (1) bagi orang yang sakit yang
masih ada harapan sembuhnya, atau apabila berpuasa akan bertambah sakitnya, atau
akan melambatkan sembuhnya menurut keterangan dokter (orang yang ahli dalam
hal itu), maka boleh dia tidak berpuasa dan wajib atasnya mengqadha (menggantikan
puasa sebanyak hari puasa yang ditinggalkan) apabila dia sudah sembuh. Dan (2)
orang yang musafir (dalam perjalanan jauh), boleh dia berbuka dan mengqadha
puasanya setelah selesai/habis bulan Ramadhan.

3). Boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha dan membayar fidyah. Bagi
perempuan yang hamil dan menyusui dibolehkan tidak berpuasa, dengan ketentuan
(i) jika ia takut akan menjadi mudharat kepada dirinya sendiri atau beserta anaknya,
8
maka wajib ia mengqadha sebagaimana orang yang sakit, tetapi (ii) jika ia hanya
takut mudharat kepada anaknya, misalnya takut keguguran (bagi orang yang hamil)
atau takut kurang air susu yang membawa anak kurus atau sakit (bagi ibu yang
menyusui), maka keduanya boleh meninggalkan puasa, dan wajib bagi keduanya
mengqadha dan membayar fidyah (bersedekah) yakni memberi makan fakit miskin
¾ liter perhari atau yang sama dengan itu (makanan pokok yang mengenyangkan)

4). Boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah


Yakni bagi orang tua yang sudah uzhur, lemah dan tidak sanggup lagi berpuasa
karena tuanya.

D. Zakat
Zakat dapat digolongkan ke dalam ibadah mahdhah, karena di samping merupakan
rukun Islam yang ke tiga, juga ibadah zakat berpungsi sebagai penyuci jiwa, diri dan
harta seseorang serta merupakan bentuk kepatuhan seorang Muslim kepada
Tuhannya. Zakat menurut bahasa berarti suci, sedangkan menurut syari‘at berarti
memberikan sebagian (kadar) harta kepada orang yang berhak menerimanya
(mustahiq) sesuai dengan ketentuan syari‘at.

Dalam pelaksanaannya, zakat yang wajib terbagi dua, zakat fithrah dan zakat maal,
selain dari kedua macam zakat wajib tersebut, maka pemberian seseorang kepada
orang lain, terutama dari yang mampu kepada kurang mampu disebut infaq atau
sedekah. Zakat fithrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap jiwa/individu
Muslim, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil pada setiap hari
raya Idul Fitri. Sedangkan zakat maal (harta), terbagi pula kepada beberapa bagian
harta yang dizakatkan apabila sudah mencapai nishabnya, yakni batas minimum
kepemilikan harta yang wajib dizakatkan. Adapun harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya, yaitu :

9
 Binatang ternak
Yaitu binatang peliharaan, seperti onta, kerbau, sapi, kambing dan domba,
apabila telah mencapai nishab dan jumlah tertentu yang menjadi ukuran
sampai nishabnya, maka wajiblah bagi pemilik binatang ternak itu
mengeluarkan zakat sesuai dengan jumlah dan aturan yang telah ditetapkan
oleh syara.
 Emas dan Perak
Yakni harta/barang, yang saat ini disebut sebagai barang perhiasan. Apabila
sudah sampai nishabnya, yakni seberat 96 gram, maka wajib dikeluarkan
zakatnya sebanyak 2,5 %
 Biji-bijian dan buah-buahan (hasil pertanian).
Yakni zakat biji-bijian yang mengenyangkan seperti padi, gandum, jagung
dan sebagainya, sedangkan yang tidak mengenyangkan seperti kacang
tanah, kacang buncis dan sayur-sayuran tidak wajib zakatkan
 Harta perdagangan
Wajib zakat pada harta perdagangan dengan syarat-syarat dan jumlah nishab
sebagaimana zakat emas dan perak, yakni senilai 96 gram emas dan
zakatnya yaitu 2,5%
 Harta Rikaz (terpendam)
Rikaz adalah emas atau perak yang terpendam, apabila kita mendapatkan
atau menemukan harta terpendam yang didapat tanpa diduga-duga, maka
zakatnya menurut hadits Rasulullah SAW yaitu 20 % (1/5).
 Zakat Piutang
Orang yang mempunyai piutang banyaknya sampai satu nishab dan
masanya telah sampai satu tahun serta mencukupi syarat yang mewajibkan
zakat, juga keadaan piutang itu telah tetap.
 Zakat Uang
uang kertas wajib dizakati apabila sudah mencukupi syarat-syarat wajib
zakat.

10
E. Ibadah Haji
Ibadah haji wajib hukumnya bagi umat Islam yang mampu. Pengertian
kuasa/mampu melaksanakan ibadah haji, yakni dua macam :

1. Kuasa mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat sebagai


berikut:

A. Mempunyai bekal (belanja) yang cukup untuk pergi ke Makkah dan


kembalinya.
B. Ada kendaraan untuk sampai ke Makkah.
C. Aman dalam perjalanan pergi dan pulangnya.
D. Sehat dan kuat badan untuk perjalanan dan mengikuti ritual ibadah haji.
E. Bagi perempuan, harus bersama-sama muhrimnya, atau suaminya,

2. Kuasa mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh orang yang bersangkutan,
tetapi dengan jalan digantikan oleh orang lain (Badal Haji). Pelaksanaan ibadah
haji dan umrah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1) Haji Ifrad, Yaitu melaksanakan haji terlebih dahulu.


2) Haji Tamattu‘, Yaitu mendahulukan umrod daripada haji dalam waktu haji.
3) Haji Qiran, Yaitu mengerjakan haji dan umroh serentak (sekaligus).

2. Ibadah Ghairu Mahdhah ( ‫)غري حمضو‬


Ibadah ghairu mahdhahatau juga disebut mu‟amalah yaitu ibadah yang tidak
hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah), tetapi
juga hubungan horizontal antara manusia dengan sesama manusia (hablum
minannaas) dan makhluk Allah SWT yang lainnya.

Ibadah ini juga sering disebut ibadah sosial, yang melingkupi berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ibadah dalam
11
kategori ini mencakup semua bentuk peribadatan yang mengandung unsur hubungan
sesama manusia, baik ibadah wajib maupun sunnat. Seperti zakat (wajib), infaq,
sedekah. Atau aturan-aturan keperdataan, seperti hubungan menyangkut ekonomi,
bisnis dan perdagangan, jual beli, hutang piutang, perbankan, perkawinan, hukum
kewarisan dan sebagainya. Juga aturan-aturan atau hukum publik, seperti pidana,
tata negara dan sebagainya.

C. Hikmah seorang muslim berkomitmen dalam beribadah

Hikmah adalah pengetahuan tentang Al-Qur’an dan hadis dengan kebaikan yang
melampaui batas syari’at, hingga menembus titik hakikat dan makrifat. Dengan
ilmu hikmah, seseorang akan menjadi pribadi yang cerdas dan Arif. Allah
memberikan hikmah-Nya kepada orang orang yang dikehendaki-Nya. Hal ini
tertuang dalam Surat Al Baqarah ayat 269.

Artinya : “Allah menganugerahkan Al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al


Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang dianugerahi hikmah, ia benar benar telah dianugerahi karunia yang banyak.
Dan hanya orang orang yang barakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah)”. Hendaknya setiap Muslim mempelajari ilmu hikmah. Sebab
banyak hal dalam hidup ini menjadi berantakan dan salah kaprah karena manusia
kehilangan hikmah.

Adapun hikmah ibadah bagi kehidupan, di antaranya :


1. Pertama, jalan menuju takwa
Bertakwa berarti berusaha untuk menunjukkan penghambaan kepada Allah
dengan ibadah kepadanya.
2. Kedua, menentramkan hati
12
Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah, sehingga ketika seseorang
merasa dekat dengan Allah SWT, maka ia pun akan selalu mengingat-Nya
(dzikrullah).

3. Ketiga, bekal kebahagiaan hidup di akhirat


Kehidupan dunia ini hanyalah sementara, yang berfungsi sebagai jalan
menuju kehidupan yang abadi dan lebih baik yaitu kehidupan akhirat.
4. Keempat, wujud syukur atas nikmat Allah SWT
Penciptaan manusia dengan segala yang melingkupinya, termasuk alam
semesta merupakan karunia Allah yang harus disyukuri.

Adapun hikmah dalam bentuk hikmah ibadah ramadhan, hikmah ibadah zakat dan
hikmah ibadah haji, Ibadah Ramadhan juga mengandung banyak hikmah, di
antaranya;

A. Tanda ketaatan, kepatuhan dan rasa syukur kepada Allah SWT.


B. Didikan kepercayaan terhadap diri sendiri, karena telah sanggup menahan
makan dan minum dari harta yang halal miliknya.
C. Didikan rasa solidaritas dan kepedulian kepada fakir miskin, karena
dengan merasakan sendiri lapar dan haus, seseorang akan dapat merasakan
bagaimana perut yang lapar, kesusahan dan kesedihan orang yang
kekurangan.

Ibadah zakat juga mengandung nilai hikmah dan penuh makna, baik bagi yang
memberi (muzakki), yang menerima (mustahiq) maupun bagi masyarakat umum,
di antaranya ;
A. Menolong Orang atau golongan yang kurang mampu secara sosial.
B. Mengurangi jarak dengan orang yang kurang mampu dan dapat membantu
mereka menunaikan ibadah kepada Allah Subhana wa ta'ala

13
C. Membersikan diri dari sifat Kikir dan Ahlaq tercela serta Mendidik
manusia yang mulia, dermawan dan membiasakan diri membayar amanah
kepada orang yang berhak dan berkepentingan.

Hikmah ibadah haji bagi seseorang juga sebenarnya harus membawa perubahan
lahir dan batin.hikmah ibadah haji akan dapat dilihat atau dirasakan oleh seseorang
ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jika membawa perubahan yang nyata
dalam dirinya, ketakwaannya semakin meningkat, ibadah dan amal shalehnya
semakin bertambah, akhlak dan sifat-sifatnya semakin mulia, kedermawanannya
semakin teruji, maka berarti hajinya membawa pengaruh yang positif kepada
dirinya, membawa kebaikan dalam hidupnya. Komitmen sebagai muslim, seorang
Muslim sejati hendaknya dapat memiliki tekad untuk membuktikan keislamannya
dengan komitmen yang siap untuk diwujudkan dalam bentuk amaliyah kehidupan
sehari-hari.

1. Komitmen dalam Aqidah


Aqidah seorang muslim harus lurus, jelas, dan benar, sesuai tuntunan Al-Qur‘an dan
Sunnah Rasulullah saw. Komitmen seorang muslim terhadap aqidahnya adalah
sebagai berikut:

1) Mengimani bahwa pencipta alam semesta ini adalah AIlah yang Maha
Bijaksana, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Berdiri Sendiri. (Q.S.
Al-Anbiya‘ : 22)
2) Mengimani bahwa Al-Kholiq menciptakan alam semesta ini tidaklah sia-
sia, karena Allah adalah Dzat yang Maha sempurna. (Q.S. Al-Mu‘minun :
115-116)
3) Mengimani bahwa Allah swt telah mengutus para rasul dan menurunkan
kitab-kitab untuk memperkenalkan dzat-Nya kepada manusia, tujuan
penciptaan, asal dan tempat kembali manusia. (Q.S. An-Nahl : 36).

14
Jika kita berkomitmen dalam Ibadah Ibadah merupakan tangga penghubung antara
Al-Khaliq dengan makhluk-Nya. Komitmen dalam ibadah adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan ibadah senantiasa hidup dan terhubung dengan Allah


2. Beribadah secara khusyu‘
3. Beribadah dengan hati yang penuh kesadaran dan menjauhkan pikiran
tentang kesibukan dunia dan problematika yang ada di sekitarnya.

2. Komitmen dalam Akhlak


Akhlak yang mulia terlahir dari ibadah. Di antara sifat-sifat penting yang harus
dimiliki seseorang muslim agar dapat komitmen dalam akhlaknya adalah :

1) Bersikap wara‘ dari segala hal yang syubhat


2) Menundukkan pandangan (Q.S. An-Nur : 30)
3) Menjaga lidah
4) Memiliki rasa malu
5) Lemah lembut dan sabar (Q.S Asy-Syura : 43, Al-Hijr : 85, As-Shad : 10,
An-Nur 22, Al-Furqon : 63)

15
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Ibadah merupakan inti ajaran agama Islam dan menjadi landasan bagi kehidupan
seorang Muslim. Melalui ibadah, individu menghambakan dirinya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan memperkuat ikatan spiritual dengan-Nya.Pelaksanaan ibadah
secara konsisten dam berkomitmen membantu membentuk kepribadian Muslim yang
baik, seperti disiplin, kesabaran, rendah hati, ketekunan, dan tanggung jawab. ruang
lingkup ibadah dalam Islam meliputi berbagai praktik dan perbuatan yang dilakukan oleh
seorang Muslim sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibadah-ibadah tersebut mencakup sholat, puasa, zakat, haji, dzikir, tilawah Al-Qur'an,
serta ibadah sunnah dan nafilah. Melalui pelaksanaan ibadah ini, seorang Muslim dapat
memperkuat ikatan spiritual dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta membentuk
karakter yang baik. Ibadah juga memiliki dimensi sosial yang mendorong etika positif
dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Ibadah tidak hanya berfokus pada hubungan vertikal antara individu dengan Allah
Subhanahu wa Ta'ala tetapi juga memiliki dimensi horizontal yaitu hubungan sosial
dengan sesama manusia. Praktik-praktik ibadah mendorong etika sosial yang positif
seperti tolong-menolong, saling menghormati, adil dalam berinteraksi dengan orang
lain.Ibadah juga membantu membangun keimanan individu terhadap Allah Subhanahu
wa Ta'ala serta meningkatkan kesalehan spiritualnya.

B. Saran
Teruslah berkomitmen dan Berusahalah untuk menjaga konsistensi dalam
melaksanakan ibadah. Tetapkan jadwal dan rutinitas harian yang memungkinkan kamu
untuk meluangkan waktu secara teratur dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Pemahaman Mendalam dengan upayakan untuk memperdalam pemahamanmu

16
tentang ibadah-ibadah tertentu, seperti sholat, puasa, zakat, haji, atau dzikir. Pelajari tata
cara pelaksanaannya dengan benar sesuai dengan ajaran agama Islam.

Tanamkan niat yang iklas, perhatikan niatmu saat melaksanakan ibadah agar tetap
ikhlas semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa mengharapkan pujian atau
pengakuan dari orang lain. Selalu menghayati makna,bukan hanya sekadar melakukan
gerakan fisik atau membaca doa-doa mekanis, tapi cobalah untuk menyelami makna dan
tujuan dibalik tiap-tiap ibadah tersebut agar bisa lebih mendalamiyakni pentingnya
hubungan antara diri sendiri dengan Tuhan. Terus Belajar dan Meningkatkan Diri dan
Jadilah mahasiswa rajin yang tidak pernah berhenti belajar tentang agama Islam.
Manfaatkan waktu luangmu untuk membaca literatur agama, mengikuti kajian-kajian
keislaman, atau bergabung dalam kelompok studi agama agar pengetahuan dan
pemahamanmu semakin berkembang.

17
DAFTAR PUSTAKA

AL -QUR’AN al-Karim

Syaikh DR Shalih Bin Fauzan,. Kitab Tauhid.,2015. Solo (juni,2023). Syarat


diterimanya ibadah. Perpustakaan universitas ahmad dahlan.

Dr. Supian, S. M. (2022). MENJADI MUSLIM MODERAT. BUKU DARAS


UNTUK MAHASISWA MUSLIM DI PTU, 48-67

AZZUHDI, RAHID NABIL. "Konsep Ibadah Dalam agama islam." (2023).

Cantika, Y. (n.d.). Agama Islam Pengertian Hikmah ibadah Beserta Contohnya


dalam Kehidupan Sehari-hari. https://www.gramedia.com/literasi/hikmah-
adalah/.

18
MAKALAH AGAMA 1
HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu :
Salman Jufri, S.Pd, M.pd

Nd

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Alda Rifa (C1B023072)
Nur Aisyah Rahmadani (C1B023039)
Essa Debora Adelia (C1B023064)
Shofitri (C1B023083)
M. Nico Dwiyanto (C1B023070)

KELAS R-003

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

i
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JAMBI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Aturan-
aturan dalam hukum Islam merupakan aturan-aturan yang garis besarnya
ditetapkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad dan wajib diikuti oleh orang Islam
berdasarkan iman dan hubungannya dengan Allah SWT. Dasar-dasar hukum
Islam dijelaskan dan diperinci oleh Nabi Muhammad yang tertuang dalam Al-
Qur‟an dan Hadist atau As-Sunnah. Kedua sumber tersebut yaitu Al-qur‟an dan
As-Sunnah yang selanjutnya dijadikan landasan untuk menata hubungan antar
sesama manusia dan juga antara manusia dengan makhluk Allah lainnya. Secara
sosial dan budaya hukum Islam merupakan hukum yang berdekatan serta
mengakar budaya masyarakat status hukum Islam di Indonesia sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dari masyarakat Islam
di Indonesia. Maka ketika hukum Islam bersentuhan dengan realita sosial di
masyarakat, demikian pula bertambahnya ilmu pengetahuan yang mendasarinya.

Tujuan umum Hukum Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah


mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal
yang menjadi kebutuhan pokok mereka (dharuri) dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan sekunder mereka (hajiyat), serta kebaikan-kebaikan mereka
(tahsiniyat). Setiap Hukum Islam sangat dipengaruhi oleh salah satu dari ketiga
hal tersebut, karena salah satu dari tiga hal tersebutlah yang menjadi penyebab
terwujudnya kebutuhan manusia, dari hal itu pula ilmu sosiologi penting agar
dapat melihat serta meneliti perubahan social yang ada pada masyarakat. Dalam

ii
hukum Islam tentu adanya peraturan-peraturan hal-hal yang diperbolehkan dan
hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan jual beli adapun salah satu hal-hal yang
dilarang dalam jual beli yaitu pedagang tidak boleh berdusta atau melakukan
segala bentuk penipuan kepada pembeli baik berkaitan dengan kualitas maupun
kuantitas barang yang dijualnya dengan kata lain pedagang harus mengukur dan
memilah dengan benar barang yang dijualnya.

1.2 Rumusan Masalah


A. Apa pengertian hukum islam

B. Apa saja pembagian hukum islam

C. Apa tujuan dan fungsi hukum islam

D. Apa saja prinsip prinsip hukum islam

E. Karakteristik hukum islam

F. Sumber hukum islam

1.3 Tujuan Masalah


A. Untuk mengetahui pengertian hukum islam

B. Untuk mengetahui pembagian hukum islam

C. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi hukum islam

D. Untuk mengetahui prinsip prinsip hukum islam

E. Untuk mengetahui karakteristik hukum islam

F. Untuk mengetahui sumber hukum islam

iii
iv
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian hukum islam


Hukum Islam dalam bahasa Arab yaitu al-Fiqh al-Islami atau al-Syari‟ah al-
Islami. Secara etimologi syari‘ah berarti jalan ke tempat mata air/tempat yang
dilalui air. Secara terminologi syari‘ah berarti seperangkat norma ilahi untuk
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama
manusia dan manusia dengan lingkungannya. Pengertian etimologi fiqh adalah
kefahaman, pengertian, pengetahuan. Sedangkan secara terminologi fiqh berarti
hukum-hukum syari‘ah yang bersifat praktis atau alamiah dan dalil-dalil yang
terperinci. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Hukum
Islam adalah peraturan yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul
tentang tingkah laku mukallaf yang diyakini dan diakui mengikat bagi setiap
pemeluk agama Islam.

2.2. Pembagian Hukum Islam

Hukum Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklify dan hukum
wadh‟iy.

1. Hukum Taklify
Hukum Taklify adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan
perintah

untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklify


tersebut dibagi menjadi lima macam, yaitu:

a. Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syari‘at untuk dilaksanakan dan
tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya

4
dikenai hukuman.

b. An-nadb, yaitu tuntutan dari syari‘at untuk melaksanakan suatu


perbuatan,tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan
maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan
tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).

c. Al-ibahah, yaitu firman Allah SWT (Al-Quran dan Hadits) yang


mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya.

d. Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi

tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu
menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk
meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga,
maka pelakunya tidak dikenai hukuman.

e. At-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan


dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya
akan mendapat hukuman (berdosa).

Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang


dibebani hukum yaitu orang yang sudah baligh dan berakal sehat) itu jika
ditinjau dari syari‘at (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam,
yaitu:

a.Fardhu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya


mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman

5
(dianggap berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang
melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:

1). Fardhu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf,
seperti shalat lima waktu.

2). Fardhu kifayah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang
anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak
dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardhu
kifayah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat,
maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa.

Contohnya: memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan


jenazah seorang muslim, membangun masjid dan rumah sakit.

b. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan,


pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak
mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:

1). Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap
individu,misalnya: shalat sunnah rawatib.

2). Sunnah kifayah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh


salah seorang (atau beberapa orang) dari golongan masyarakat,misalnya:
mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.

c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap


berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka
pelakunya akan mendapat pahala,misalnya: berzina, mencuri dan
membunuh.

d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan

6
mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan
mendapat pahala,misalnya: mengkonsumsi makanan yang berbau

menyengat seperti jengkol.

e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula


ditinggalkan ,misalnya: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan
pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya

2. Hukum Wadh’iy

Hukum Wadh‘iy adalah perintah Allah SWT yang mengandung pengertian


bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya
sesuatu (hukum). Ulama ushul fikih berpendapat bahwa hukum wadh‟iy itu terdiri
dari 3 macam:

a. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash
(Al-Quran dan Hadits), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya
hukum. Misalnya: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya Shalat
Zhuhur, terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Shalat Maghrib.
Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Shalat Zhuhur
belum wajib dilakukan.

b. Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara‘, tetapi keberadaan
hukum syara‘ tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka
hukumpun tidak ada. Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah syarat
wajibnya zakat harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban
zakat harta perniagaan tersebut.

c. Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan


tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya: najis
yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan shalat
menyebabkan shalatnya tidak sah (menghalangi sahnya shalat)

7
C. Tujuan Dan Fungsi Hukum Islam

1. Pengertian Umum

Tujuan umum pembuatan syari‘at/hukum Islam adalah: Merealisasikan


kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupan ini, baik dengan mendapatkan
manfaat bagi mereka, atau dengan menolak bahaya dari diri mereka.Dalil-dalil
syar'i yang menguatkan makna di atas di antaranya:

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat


bagi

semesta alam”. (QS. Al-Anbiya/21: 107)

Kemudian ada pula yang disebut dengan tujuan khusus dari disyari‘atkannya
sebuah ibadah. Misalnya shalat untuk mencegah perbuatan keji dan munkar ( QS
Al‗Ankabut/29: 45), puasa untuk menjadi orang bertakwa (QS Al Baqarah/2: 183
), zakat untuk menyucikan harta ( QS. at-Taubah/9: 103 ), dan seterusnya.
Sehingga yang dimaksud Maqashid Syariah adalah: Makna-makna dan tujuan-
tujuan yang ditekankan dalam syari‘at pada seluruh hukum-hukumnya atau
sebagian besarnya. Bisa juga diartikan tujuan dari pembuat syari‘at dalam setiap
hukum dari hukum-hukumnya.

2. Jenis-Jenis Kemaslahatan

Maslahat dalam pandangan syar'i terbagi menjadi tiga: Maslahat dharuriyah


(keharusan), maslahat haajiyah (kebutuhan) dan maslahat tahsiniyah
(kebaikan/keindahan).

Pertama, Maslahat Dharuriyah, adalah maslahat yang berhubungan dengan


kebutuhan pokok dan mendesak, dimana kehidupan manusia bergantung
kepadanya baik kehidupan duniawi maupun kehidupan beragama. Maslahat ini
harus ada dan terwujud, dan jika hilang atau rusak maka akan terganggu

8
keteraturan hidup mereka, serta menyebarnya kerusuhan dan kerusakan.
Maslahat Dharuriyah terbagi menjadi lima jenis,yaitu :

1) . Penjagaan atas Agama (Hifdz ad-diin).

Islam memandang agama sebagai maslahat pokok manusia, maka


penjagaannya adalah sebuah keharusan. Maka di dalam Islam juga
disyari‘atkan berjihad ketika agama mulai diperangi. Demikian pula Islam
memandang mereka yang murtad, tidak menjaga agamanya, adalah
seorang yang halal darahnya, dan diancam dengan keabadian di neraka
( QS. Al-Mumtahanah/60: 9)

2) . Penjagaan atas Jiwa (Hifdz an-nafs)

Islam memuliakan nyawa seorang manusia, menganggap bahwa


menghilangkan nyawa seseorang adalah kejahatan besar, yang sama
dengan menghilangkan seluruh nyawa manusia. Islam juga menjaga jiwa
seseorang dengan memberikan ancaman hukuman qishas bagi seseorang
yang menghilangkan nyawa orang lain. Islam juga melarang seseorang
tidak menghargai nyawanya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam Al-
Quran (QS. al-Maidah/5: 32) dan (QS an-Nisa/4: 29)

3) . Penjagaan atas Akal (hifdz al-aql)

Islam memuliakan akal manusia, meminta mereka mengoptimalkan


penggunaannya untuk kemaslahatan manusia. Islam juga melarang
aktifitas yang dapat merusak dan menghilangkan akal, seperti: minum
khamr dan mabuk-mabukan. Lebih dari itu Islam juga memberikan
hukuman kepada setiap orang yang berpartisipasi dalam setiap aktifitas
produksi, distribusi dan juga konsumsi khamr (QS. Al-Maidah/5: 90).

4) . Penjagaan atas kehormatan dan nasab (hifdzhul al-ird wa an-nasab)

Islam tegas memuliakan kehormatan dan garis keturunan. Maka syari‘at

9
Islam

jauh-jauh hari telah melarang mendekati zina (QS. Al-Isra/17: 32)

5) . Penjagaan atas harta (Hifdzhul Maal ).


Islam mengakui kepemilikan individu atas harta dan menghargainya.
Maka Islam melarang memperoleh harta dari yang lainnya kecuali dengan
cara dan transaksi yang sah, baik, dan saling ikhlas dan meridhai. Islam
juga tidak ragu untuk menjatuhkan hukuman potong tangan bagi mereka
yang mencuri dalam jumlah besar (QS. Al-Baqarah/2: 188)

Kedua, Maslahat Haajiyah, adalah maslahat yang manusia membutuhkannya


untuk mendapatkan kemudahan bagi mereka serta menghilangkan kesukaran
dalam kehidupan mereka. Ketika maslahat ini hilang atau tidak terwujud, tidak
merusak kehidupan mereka, akan tetapi menjadikan kehidupan mereka sangat
sukar dan berat. Contoh maslahat ini dalam masalah ibadah: disyari‘atkannya
rukhsah (keringanan) untuk shalat Qashr dan Jamak dalam perjalanan, begitu
pula kebolehan berbuka (tidak puasa) bagi orang yang sakit dan musafir dalam
puasa Ramadhan. Contoh dalam muamalahmisalnya diperbolehkan melakukan
jual-beli pesanan (Bay As-Salam), atau bekerja sama dalam pertanian (muzaraah)
dan perkebunan (musaqqah).

Ketiga, Maslahat Tahsiniyah, adalah maslahat yang jika terwujud akan


menambah kehormatan dan kepantasan, yaitu yang berhubungan dengan adat
istiadat yang baik dan kesempurnaan akhlak. Jika tidak terpenuhi tidak
mengganggu kehidupan dan tidak menyebabkan kesulitan, namun akan
dianggap kurang pantas bagi setiap orang yang berakal. Contoh dalam masalah
ibadah yakni disyari‘atkan Thaharah (suci) bagi badan, pakaian dan tempat
sebelum shalat, dianjurkan memakai pakaian yang baik di masjid, serta berbagai

10
bentuk shalat dan puasa sunnah. Contoh dalam masalah muamalah, larangan
membeli barang yang telah ditawar saudaranya, larangan penetapan harga bagi
pemerintah. Contoh dalam masalah jihad, larangan membunuh pendeta, wanita
dan anak-anak, larangan membunuh dengan cara sadis/mutilasi.

D. Prinsip - Prinsip Hukum Islam


1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa
semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid
yang dinyatakan dalam kalimat Laa ilaha Illallah(Tidak ada Tuhan selain Allah).
Prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum ibadah, yaitu azas
kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah
kaidah hukum ibadah sebagai berikut:

a) Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba‟, yaitu pada pokoknya ibadah itu
tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa
saja yang

diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya.

b) Al-masyaqqah tajlibu at-taysiir, kesulitan dalam melaksanakan ibadah


akan

mendatangkan kemudahan.

2.Prinsip Keadilan-Keadilan
dalam bahasa Arab adalah sinonim al-mizaan (keseimbangan/ moderasi).
Kata keadilan dalam Al-Quran kadang dihubungkan dengan kata al-qisth.
Keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau
kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai
aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut

11
Wahbah Az-Zuhaili, adalah bahwa perintah Allah SWT ditujukan bukan karena
esensinya, sebab Allah SWT tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak
pula mendapatkan kemudharatan dari perbuatan maksiat manusia. Namun
ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas perilaku dan cara
pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.

3. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum
Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan,
demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah
kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan
individu maupun kebebasan komunal.

4. Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam konstitusi Madinah (al
Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah
manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan
mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial
seperti komunis.

5. Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang
diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan
ketakwaan.

6. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya, tegasnya toleransi hanya dapat
diterima apabila tidak merugikan agama Islam. Wahbah Az-Zuhaili, memaknai
prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Quran dan hadits

12
yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak
mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‘at ketentuan hukum Islam.
Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi
mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana,
ketetapan peradilan dan lain sebagainya.

E. Karakter Hukum Islam


Manusia mempunyai pegangan dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini,
dan terikat dengan aturan yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupannya, sehingga manusia tidak bisa seenaknya dan bersikap
dengan kemauannya sendiri tanpa adanya aturan yang mengikat. Aturan yang
dijadikan pedoman itu adalah hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran dan
Sunnah.

a. Universal (‘Alamy–Ijmali)
Universalitas adalah kemampuan sifat yang umum secara menyeluruh,
dengan arti lain, tidak memandang keberpihakan kepada salah satu atau
sebagiannya. Dengan demikian, hukum Islam harus mampu memberikan
solusi dan alternatif sebagai jalan keluar dari berbagai permasalahan dan
problematika kehidupan manusia di dunia. Hukum Islam juga harus
mampu memberikan pandangan dengan cara penerapannya terhadap
objek yang di jadikan sasaran dan subjeknya yang menjalani aturan
tersebut, dengan tidak berpihak terhadap sebagian dari bagian yang lain.
Agama Islam yang mempunyai sifat universal, yang mencakup semua
objek kehiupan (manusia) secara menyeluruh, tanpa memandang
golongan, kasta, bangsa,

warna, dan wilayah/daerah, serta tidak dibatasi lautan ataupun suatu


aturan negara.

Dengan universalitas agama Islam, membuat hukum yang dilahirkannya

13
juga bersifat universal tanpa ada batasan untuk menghalangi sebagian dari
sebagian yang lain. Nabi Muhammad SAW yang dipercaya dan diutus oleh
Allah SWT juga tidak terlepas dari sifat universalitasnya dalam berdakwah
terhadap umatnya, tanpa memandang objek tujuan dakwah tersebut dari
kalangan Rasulullah sendiri ataupun diluar umatnya Rasul dalam
dakwahnya tidak memandang dari salah satu golongan, suku, bangsa,
warna kulit, orang muhajirin ataupun orang anshor, semua itu diakuinya
dengan tidak memihak dan memandang sebelah mata. Al-Quran dengan
nash-nashnya yang dijadikan sebagai sumber untuk mengambil ketetapan
hukum mempunyai pemaknaan dan pemahaman yang sangat mendasar
yang bersifat universal (kulli). Sehingga perlu adanya pemaknaan yang
lebih terinci agar dapat menghasil ketetapan hukum yang pasti.

b. Partikular (Tafshily)
Secara kontekstual hukum Islam sangat diharapkan mampu menerobos
jantung individualisme subjek pelaku hukum. Di dalam hukum Islam ada
semacam pengklasifikasian hukum yang terkadang tidak semua orang
wajib untuk melaksanakannya ataupun meninggalkannya. Seorang wanita
yang mengalami haid tidak wajib melaksanakan shalat, puasa, dan ibadah
haji, batas usia baligh atau mukallaf untuk lelaki 15 tahun, sedangkan
untuk perempuan mulai usia 9 tahun. Hal ini menunjukan bahwa hukum
Islam mempunyai aturan-aturan tertentu yang membatasi semua pelaku
hukum dan tingkah laku semua pelaku hukum, serta pandangan terhadap
orang yang tidak terkena dengan kewajiban hukum. Banyak dalil-dalil dari
sumber hukum yang menunjukan partikularitas hukum, dalam hal ini
terbagi dua : (i) ada yang bersifat kontekstual, dan (ii) ada yang bersifat
ijtihadi. Yang bersifat kontekstual adalah suatu hukum yang diambil dari
dalilnya langsung tanpa ada pemaknaan yang lebih luas. Dan yang bersifat
ijtihadi adalah hukum yang diambil dari dalilnya serta membutuhkan

14
pemikiran dalam mengeluarkan hukum tersebut. Biasanya hukum yang
bersifat kontekstual sifatnya tunggal, dalam arti tidak mempunyai hukum
yang bermacam-macam. Berbeda dengan hukum yang bersifat ijtihadi
mempunyai kebiasaan hukumnya bercabang, tidak terpaku pada satu
hukum, bisa jadi dari satu bentuk ibadah muncul dua, tiga, atau mungkin
lima hukum. Terdapat beberapa macam bentuk dan jenis dari pembagian
hukum Islam yang merupakan klasifikasi dari hukum Islam itu sendiri. Di
antaranya ada hukum Fiqh, Tauhid, Mahkamat, Munakahat,Tarikh, dan lain
-lain.

c. Dinamis dan Elastis


Hukum Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi
perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat. Atau bisa
dikatakan sangat cocok untuk diterapkan pada setiap zaman. Mungkin ada
beberapa orang yang berasumsi bahwa dinamisnya suatu hukum itu tidak
mungkin terjadi. Pada dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu
juga sebuah hukum yang sudah pasti bisa berubah sewaktu waktu. Untuk
itu, sifat dinamis ini harus dikaitkan dengan sifat elastis (luwes). Lalu
bagaimana sifat elastis pada hukum Islam ini dapat dilihat? Dalam Islam,
dikenal dengan sebutan ijtihad yang menurut Muhammad Iqbal, seorang
pemikir Islam dari Pakistan, merupakan ―prinsip gerak dalam Islam‖.
Ijtihad ini memungkinkan bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum
yang ada pada masa Rasul (saat hukum Islam diciptakan) dengan keadaan
sekarang yang terjadi di lingkungannya. Inilah yang disebut dengan
elastisitas hukum Islam Sifat dinamis dan elastis ini dapat dilihat pada
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah jual beli yang sesuai dengan
syari‘at Islam. Pada masa Rasulullah SAW, jual beli dilakukan dengan
saling tatap muka, artinya antara si penjual dan si pembeli saling bertemu
untuk melakukan akad.

15
Tetapi pada zaman sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya salah
satu orang tersebut bisa dilakukan seperti di swalayan, plaza, mall, dan
sebagainya. Dari persoalan ini kemudian bagaimana kedudukan hukum
Islam menanggapi sistem seperti ini agar jual beli itu sesuai dengan
syari‘at Islam. Untuk itu, perlu adanya hukum asal/nash yang menerangkan
jual beli. Diantaranya Q.S. Al Baqarah: 275 dan 282, An-Nisa‘: 29, Al-Jum‘ah:
9. Prinsip dihalalkannya jual beli dari ayat-ayat tersebut adalah adanya
kerelaan antara kedua belah pihak, bukan termasuk riba, tidak dilakukan
pada waktu Jum‘at, dan sebagainya. Fathurrahman Djamil, Guru Besar
Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa ―Ijab
dan Qabul‖ dalam jual beli adalah untuk menunjukkan prinsip saling
merelakan(‗an taradhin) . Ketika prinsip tersebut terpenuhi, meski tanpa
lafaz ijab dan qabul (aku beli dan aku jual) seperti ketika masuk plaza,
maka hukumnya sah.‖

d. Sistematis
Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam
itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa di
antaranya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contoh,
wajibnya hukum shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat.
Itu menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan aspek spiritual
saja yang mengutamakan hal-hal ukhrawi tetapi juga diperintahkan untuk
mencapai aspek sosial keduniaan. Rasulullah SAWmenyebutkan :

“Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan


hidup

selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan ukhrawimu seakan-


akan kamu akan mati besok.” (Al-Hadits)

e. Moral

16
Untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan tentu manusia
harus memiliki aspek moral (akhlak) yang baik. Karena untuk mewujudkan
pergaulan yang sehat, akhlaklah yang menjadi pondasi utama. Bila akhlak
itu sudah terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak
akan mewujudkan suatu pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga
dapat berimbas pada pelanggaran aturan-aturan hukum positif. Aspek
moral dalam Islam mengambil contohnya yang nyata dari sikap, akhlak
dan perilaku Rasulullah SAW.

F. Sumber Hukum Islam


 Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber hukum tidak hanya dimiliki oleh suatu negara. Tetapi dalam
kehidupan beragama, khususnya dalam Islam, juga memiliki sumber
hukum yang selama ini digunakan oleh seluruh umat Muslim. Keberadaan
sumber hukum Islam dipergunakan sebagai pedoman ataupun rujukan
bagi Muslim ketika menjalani kehidupannya di dunia ini.Tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam kehidupan di dunia, ada saja masalah yang
muncul, baik itu masalah dalam beragama maupun dalam kehidupan
sosial. Oleh karena itu, ketika masalah tersebut muncul, dibutuhkan
sumber hukum Islam yang bisa dijadikan sebagai landasan atau pun
pedoman bagi umat Islam.Para ulama sudah saling bersepakat bahwa
sumber hukum Islam yang selama ini digunakan oleh umat Islam
berjumlah empat. Di antaranya berupa Alquran yang merupakan kitab suci
agama Islam, kemudian hadis, ijma, dan yang terakhir adalah qiyas.
Sebagai umat Islam alangkah lebih baiknya jika mengetahui dan
memahami keempat sumber hukum Islam tersebut. Untuk mengetahui
penjelasan lebih lengkap terkait dengan sumber hukum Islam, berikut
sebagaimana yang telah dirangkum melalui berbagai sumber.

17
 Sumber Hukum Islam
Dalam Islam terdapat empat sumber hukum dalam Islam. Berikut
penjelasannya:
1. Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril.

Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi


Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman
hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini
untuk mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al Quran sebagai kalam Allah SWT
dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau kelemahan yang dimiliki
oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun manusia
itu adalah orang pintar. alam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:

َ ‫ن َﻟﺎ َﻳْﺄُﺗﻮ‬
‫ن‬ ِ ‫ﻫَﺬا اْﻟُﻘْﺮآ‬
َ ‫ﻞ‬
ِ ‫ﻋﻠﻰ َأن َﻳْﺄُﺗﻮا ِﺑِﻤﺜ‬
َ ‫ﻦ‬
ُّ ‫ﺠ‬
ِ ‫ﺲ َواْﻟ‬
ُ ‫ﺖ اْﻟِﺈﻧ‬
ِ ‫ﺟَﺘَﻤَﻌ‬
ْ ‫ﻦا‬
ِ ‫ُﻗﻞ ِّﻟﻴ‬
‫ﻇِﻬﻴﺮ‬
َ ‫ﺾ‬
ٍ ‫ﻢ ِﻟَﺒْﻌ‬
ْ ‫ﻀُﻬ‬
ُ ‫ن َﺑْﻌ‬
َ ‫ ﺑﻤﺜﻠﻪ َوَﻟْﻮ َﻛﺎ‬.

Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk


membuat yang serupa (dengan) Al- Qur'an ini, mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu
satu sama lain."

2. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui
bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW
tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran.

18
Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati
Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:

۳۲ - ‫ﻦ‬
َ ‫ﺐ اْﻟَﻜِﻔِﺮﻳ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ن اﻟَّﻠَﻪ َﻟﺎ ُﻳ‬
َّ ‫ َﻓِﺈن َﺗَﻮَّﻟْﻮا َﻓِﺈ‬، ‫ل‬
َ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﻃﻴُﻌﻮا ﷲ َواﻟَّﺮ‬
ِ ‫ﻞ َأ‬
ْ ‫ُﻗ‬

Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,


ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."

Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat,


sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan
membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada
kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari
ijtihad.

3. Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran
dan sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian
Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber
Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum
Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode
dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak
didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini
melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi dan teknologi
modern. Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab
Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para
mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau
peristiwa.

19
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti.
Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui
pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma
sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan
dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan.
Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui
cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang
hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar
luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara
mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau
menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.

4. Qiyas (Analogi)
Bagi beberapa orang, qiyas masih menjadi suatu hal yang asing. Qiyas
adalah metode penalaran analogi yang digunakan untuk memutuskan
hukum baru dengan membandingkannya dengan hukum yang sudah ada
dalam Al-Qur'an dan hadis.

Dalam qiyas, suatu situasi baru dianalogikan dengan situasi yang sudah
ada hukumnya, sehingga hukum yang sama dapat diterapkan. Namun,
qiyas harus didasarkan pada kesamaan dasar (illah) antara situasi lama
dan baru yang dianggap sebagai landasan hukumnya.

20
21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang
bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur
tingkah laku manusia di Tengah tengah masyarakatnya. Dengan kalimat
yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang
bersumber dari ajaran Islam. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber
dan merupakan bagian dari agama Islam. Berbeda dengan hukum lainnya,
hukum Islam tidak hanya hasil pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh
kebudayaannya, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyuNya
dan dijelaskan oleh Rasulullah melalui sunnahnya. Perkembangan hukum
islam mulai menunjukkan perkembangan dinamisnya sejak kurun waktu
yang relative lama. Dalam potret sejarah penetapan hukum Islam,
perkembangan pemikiran hukum Islam dalam realitas empiric dapat
diidentifikasi secara sistematis sejak periode Rasulullah SAW. Hingga era
kontemporer saat ini.Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah
orang yang pertamakali memberikan fatwa fatwa ke pada manusia yang
beragama islam, nabi muhammad memberikan fatwa kepada umat
muslim yang diterima dari malikat jibril.

3.2 Kritik dan Saran


Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain, tentu saya
selaku penulis juga membutuhkan arahan serta bimbingan dari berbagai
pihak, terutama dosen dan teman-teman serta pembaca yang lebih
berwawasan serta berpengetahuan. Dalam proses pengerjaan makalah ini,

22
penulis menyadari banyak sekali kekurangan baik dari segi pemahaman
maupun referensi bacaan disamping minimnya pengalaman dan
pengetahuan penulis. Oleh karena itu, sumbangsih berupa saran dan kritik
sangat dibutuhkan agar dapat meningkatkan kemampuan dan menambah
wawasan penulis.

DAFTAR PUSTAKA

1.. Afauzi · 2014 https://etheses.uinsgd.ac.id/53107/1/YUSA%20MUKSALMINA_


1213010175_UAS%20POLITIK.pdf

2. Rw. Ningtyas · 2022


http://etheses.iainkediri.ac.id/6608/2/931213618_BAB1.pdf

3. Dr.Supin, S.Ag., M.Ag. Dkk Buku PAI Unja 2022.pdf

4. banjur desa, 2021, hukum islam

5. Mazaya Maryam, 2023, 10 jenis hukum islam dan pengertian, contoh serta
sumbernya.

23
24
MAKALAH AGAMA
KELOMPOK 6
“THAHARAH”

Dosen pengampu :
Salman Jufri, S.Pd, M.Pd

Anggota:
1. M. Fadilah Akbar Anugrah ( C1B023001 )
2. Arya Praditya Hidayat ( C1B023099 )
3. Rahmadian Larasati ( C1B023009 )
4. Naila Putri Adhira ( C1B023025 )
5. Dela Tri Amanda ( C1B023015 )

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN R-003


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JAMBI
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….…1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….…….2
BAB III PENUTUP………………………………………..…………………………………6
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..7
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Allah itu bersih dan suci untuk menemuinya manusia harus terlebih
dahulu bersuci atau disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci.
Dalam hukum islam bersuci termasuk bagian ilmu dan amalan yang paling
utama di antara syarat – syarat sholat wajib suci dari hadas dan suci badan,
pakaian dan tempatnya dari najis. Kehidupan sehari – hari tidak terlepas dari
najis dan kotor sehingga thaharah di jadikan sebagai alat dan cara bagaimana
mensucikan diri agar sah saat menjalankan ibadah.

Terkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling


utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah
kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama
dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan
kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi
SAW yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.

Usaha-usaha menjaga kebersihan dapat dilakukan dengan menjaga


kebersihan pekarangan rumah, termasuk bak mandi, bak wudhu, tempat
belajar, dan yang paling utama ialah menjaga kebersihan tempat ibadah. Yang
tidak kalah pentingnya ialah menjaga kebersihan badan dan pakaian karena
seseorang dapat dikatakan bersih apabilah dapat menjaga kebersihan badan
dan pakaian.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian thaharah, hadast dan najis?
2. Bagaimana cara bersuci dari najis dan hadast?
3. Apa Pengertian wudhu, tayamum dan mandi?
4. Apa saja alat-alat untuk bersuci?
5. Apa hikmah dari bersuci?

C. TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Thaharah dan Bersuci dalam Islam
2. Untuk mengetahui pengertian Hadast dan Najis
3. Untuk mengetahui berbagai hal-hal yang menyebabkan Najis
4. Untuk mengetahui tata cara bersuci dari Najis sesuai tuntunan Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah, Hadast, dan Najis


1. Pengertian Thaharah
Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang
berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud.
Adapun secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadast, najis, dan
kotoran dengan air atau tanah yang bersih. Dengan demikian, thaharah adalah
menghilangkan kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya
shalat dan ibadah lain.

2. Pengertian hadast
Hadast secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan
tidak suci – jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam,
hadast adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan
dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi
seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan
badan bersih dari Hadast dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.

3. Pengertian najis
Dalam bahasa Arab, najis diperoleh dari akar kata al-qadzarah ( ‫ ) اﻟﻘﺬارة‬yang
artinya adalah kotoran. Sedangkan definisi menurut istilah disampaikan antara lain
oleh ulama Mazhab Syafi'i dan Mazhab Maliki. Dalam Mazhab Syafi'i, najis secara
literal bermakna segala sesuatu yang kotor yang dapat mencegah keabsahan salat.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, najis merupakan sifat hukum suatu benda yang
mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan melakukan salat bila terkena atau
berada di dalamnya. Benda-benda najis itu meliputi :
a. Darah, dan nanah
b. Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang
c. Anjing dan babi
d. Segala sesuatu yang dari dubur dan qubul
e. Minuman keras, seperti arak
f. Bagian atau anggota tubuh binatang yang terpotong dan sebagainya
sewaktu masih hidup.
Selain itu, najis dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Najis ringan (Mukhofafah)
b. Najis sedang (Mutawasithoh)
c. Najis berat (Mugholadhoh)
d. Najis ma’fu
B. Bagaimana cara bersuci dari hadast dan najis
1. Cara bersuci dari hadast
a. Hadas kecil penyebabnya keluar sesuatu dari dubur dan kubul, menyentuh lawan

2
jenis yang bukan muhrimnya, dan tidur nyenyak dalam keadaan tidak tetap. Cara
mensucikan hadas kecil ini adalah dengan wudhu atau tayamum.
b. Hadas Besar penyebabnya keluar air mani, bersetubuh ( baik keluar mani atau tidak ),
menstruasi atau nifas ( keluar darah karena melahirkan ), dan lain sebagainya. Cara
mensucikan hadast besar adalah dengan mandi wajib.

2. Cara bersuci dari najis


a. Najis Ringan (mukhofafah), yaitu air kencing bayi lelaki yang berumur dua tahun,
dan belum makan sesutu kecuali air susu ibunya. Menghilangkannya cukup diperceki
air pada tempat yang terkena najis tersebut. Jika air kencing itu dari bayi perempuan
maka wajib dicuci bersih. Rasulullah SAW bersabda, ‫ت‬ ِ ‫ل اْﻟَﺒَﻨﺎ‬ُ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َﺑْﻮ‬
َ ‫ب ِإَذا َوَﻗَﻊ‬
ُ ‫ﻞ اﻟَّﺜْﻮ‬ُ ‫ﺴ‬ َ ‫ِإَّﻧَﻤﺎ ُﻳْﻐ‬
‫ل اْﻟَﺄْوَﻟﺎد‬ُ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َﺑْﻮ‬
َ ‫ش ِﺑَﻤﺎٍء ِإَذا َوَﻗَﻊ‬
ُّ ‫ َوُﻳَﺮ‬،ِ “Sesungguhnya pakaian dicuci jika terkena air
kencing anak perempuan, dan cukup diperciki air jika terkena kencing anak laki - laki
“. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim).
b. Najis Sedang (mutawasitoh), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul
manusia atau binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai
manusia, ikan laut, dan belalang) serta susu, tulang, dan bulu hewan yang haram
dimakan. Dalam hal ini tikus termasuk golongan najis, karena tikus hidup di tempat -
tempat kotor seperti comberan dan tempat sampah sekaligus mencari makanan
disana. Sedangkan kucing tidak najis. Rasulullah SAW telah bersabda, “Sungguh
kucing itu tidak najis, karena ia termasuk binatang yang jinak kepada kalian“. (HR
Ash-habus Sunan dari Abu Qotadah ra.)
Najis mutawasitoh dibagi dua :
1. Najis Ainiyah, yaitu yang berwujud (tampak dan tidak dilihat). Misalnya, kotoran
manusia atau binatang.
2. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak berwujud ( tidak tampak dan tidak terlihat
), seperti bekas air kencing, dan arak yang sudah mengering.
Cara membersihkan najis mutawashitho ini, cukupalah dibasuh tiga kali agar
sifat - sifat najisnya (yakni warna, rasa, dan baunya) hilang.
c. Najis berat (mugholladhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannya
harus dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu air yang bercampur tanah.
Rasulullah SAW bersabda : ‫ﻦ ِﺑاﻟُّﺘَﺮاب‬ َّ ‫ﻫ‬
ُ ‫ﺣَﺪ‬
ْ ‫ت َوا‬
ٍ ‫ﺳْﺒَﻊ َﻣَّﺮا‬
َ ‫ﺴْﻠُﻪ‬
ِ ‫ﻢ َﻓْﻠَﻴْﻐ‬
ْ ‫ﺣِﺪُﻛ‬َ ‫ﺐ ِﻓﻲ ِإَﻧﺎِء َأ‬ُ ‫ﻖ اْﻟَﻜْﻠ‬
َ ‫ِِإَذا َﻟِﻌ‬
“Jika bejana salah seorang diantara kalian dijilat anjing, cucilah tujuh kali dan salah
satunya hendaklah dicampur dengan tanah”. (HR.Muslim)
Selain tiga jenis kotoran diatas, ada satu lagi, yaitu najis ma’fu (najis yang
dimaafkan) Antara lain nanah dan darah yang cuma sedikit, debu, air dari lorong -
lorong yang memercik sedikit yang sulit dihindarkan.

C. Pengertian Wudhu, Tayamum dan Mandi


1. Wudhu
Wudhu yaitu mempergunakan air untuk anggota-anggota badan tertentu yang
dimulai dengan niat.
Adapun Syarat-syarat Wudhu ada lima dan ini juga menjadi syaratnya mandi, adalah:
a. Air mutlaq
Selain air mutlaq tidak dapat menghilangkan hadast, mencuci najis, dan tidak dapat

3
digunakan thaharah.
b. Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh.
c. Pada anggota Wudhu tidak terdapat sesuatu yang membahayakan bagi berubahnya
air.
d. Tiada pembatas antara anggota basuhan dengan air.
e. Masuknya waktu bagi orang-orang yang berkeadaan hadast.
Adapun rukun Wudhu adalah sebagai berikut :
‫ﺿﺎ ِﻟﻠِﻪ َﺗَﻌاَﻟﻰ‬
ً ‫ﺻَﻐِﺮ َﻓْﺮ‬
ْ َ ‫ث ْاﻻ‬
ِ ‫ﺤَﺪ‬
َ ‫ﺿْﻮَء ِﻟَﺮْﻓِﻊ اْﻟ‬
ُ ‫ﺖ اْﻟُﻮ‬
ُ ‫َﻧَﻮْﻳ‬
Artinya: "Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil fardhu karena Allah Ta'ala,"
a. Niat
Hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara melakukannya tepat pada
waktu membasuh muka, sesuai dengan pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in,
muqtarinan bi fi’lihi” yang artinya meniatkan sesuatu secara beriringan
dengan perbuatan.
b. Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu,
dan dari telinga kanan hingga telinga kiri).
c. Membasuh kedua tangan sampai siku-siku.
d. Mengusap sebagian rambut kepala.
e. Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki.
f. Tertib ( berturut-turut ).

2. Tayamum
Menurut pengertian bahasa, tayammum berarti maksud atau tujuan. Sedang
menurut pengertian syariat, tayamum berarti menuju ke pasir untuk mengusap wajah
dan sepasang tangan dengan niat agar diperbolehkan melakukan shalat.
Adapun rukun dan tata cara tayamum adalah sebagai berikut :
a. Niat
Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana niat tayamum seharusnya.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iah berpendapat hampir sama, niat tayamum yang
dianggap sah adalah niat tayamum untuk diperbolehkan melaksanakan sholat atau
niat melaksanakan kewajiban tayamum, sedangkan untuk menghilangkan Hadast
tidak sah.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa niat hanya merupakan syarat
sah tayamum, bukan rukun. Menurut kelompok ini, yang penting niat disertai tujuan
tayamum.
b. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu.
Menurut Malikiyah dan Hanabillah orang yang akan bertayamum harus
menepukkan tanganya ke tanah yang suci satu kali kemudian mengusapkanya ke
tangan dan wajah, sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah harus menepukkan
tangan dua kali, yang pertama untuk diusapkan ke tangan dan yang kedua ke wajah.
Batasan dalam mengusap wajah tidak diharuskan debu merata sampai kulit
dasar jenggot meskipun tidak lebat. Sedangkan bagian tangan sebagian ulama
berpendapat hanya mengusap sampai pergelangan tangan saja dan menganggap
sampai ke siku sebagai sunnah, namun sebagian mengqiyaskan dengan wudhu yaitu
membasuh sampai siku-siku.
c. Tartib
Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tartib menjadi rukun tayamum

4
untuk menghilangkan Hadast kecil, sedangkan untuk menghilangkan Hadast besar
tidak menjadi rukun. Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa tartib hanya sunah,
bukan wajib.

3. Mandi
Mandi adalah meratakan atau mengalirkan air keseluruh tubuh. Sedangkan
mandi besar atau junub atau wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan
bersih ( air mutlak ) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut keseluruh
tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk
menghilangkan hadast besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah
sholat. Mandi itu disyariatkan berdasarkan Firman Allah
‫َْوِان‬ ‫ُْﻛْﻨُﺘﻢ‬ ‫ﺟُﻨًﺒﺎ‬
ُ ‫ﻃَّﻬُﺮْوا‬
َّ ‫َۗﻓﺎ‬
“Dan jika kamu junub hendaklah bersuci!” (Q.S Al-Maidah : 6).
Hal-hal yang mewajibkan mandi wajib. Mandi itu diwajibkan atas lima perkara :
a. Keluar air mani disertai syahwat, baik diwaktu tidur maupun bangun, dari laki-laki atau wanita.
b. Hubungan intim, walau tidak sampai keluar mani.
Firman Allah Ta’ala : ‫ﺟُﻨًﺒﺎ ُْﻛْﻨُﺘﻢ َْوِان‬
ُ ‫ﻃَّﻬُﺮْوا‬
َّ ‫َۗﻓﺎ‬
“ jika kamu junub, hendaklah kamu bersuci ”.
c. Terhentinya haid dan nifas.
d. Mati, bila seorang menemui ajal wajiblah memandikannya berdasarkan ijma’.
e. Orang kafir bila masuk islam.
Rukun ( Fardhu ) dan Tata Cara Mandi Besar.
1. Niat (bersamaan dengan membasuh permulaan anggota tubuh).
2. Membasuh air dengan tata keseluruhan tubuh, yakni dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Tata Cara Mandi Wajib. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama mandi ialah sebagai berikut :
Membaca Niat. Yaitu ‫ﺟُﻨًﺒﺎ ُْﻛْﻨُﺘﻢ َْوِان‬ ُ ‫ﻃَّﻬُﺮْوا‬َّ ‫َۗﻓﺎ‬
“ Nawaitul ghusla lirof’il Hadastil fardlol ilaahita’ala ”.
b. Membilas atau membasuh seluruh badan dengan air ( air mutlak yang menyucikan ) dari ujung
kaki ke ujung rambut secara merata.
c. Hilangkan najis yang lain bila ada.
D. Alat-alat untuk bersuci
1. Air
Ditinjau dari hukumnya air dibagi menjadi empat :
a. Air mutlak yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan. Sebab belum berubah
sifat ( bau, rasa, dan warnanya ).
b. Air musyammas yaitu air suci yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun
makruh digunakan. Mislanya, air bertempat dilogam yang bukan emas, dan
terkana panas matahari.
c. Air musta’mal yaitu air suci tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan karena
sudah dipakai untuk bersuci, meskipun air itu tidak berubah warna, rasa, dan
baunya.
d. Air mutanajis yaitu air yang terkena najis, dan jumlahnya kurang dari dua kullah.
Karenanya air tersebut tidak suci dan tidak dapat dipakai mensucikan.
2. Debu.
3. Alat-alat yang kasar seperti batu.

E. Hikmah bersuci
Islam adalah agama yang cinta keindahan. Keindahan selalu identik dengan
kebersihan dan kesucian. Demikianlah sebuah hadits berbunyi “Kebersihan itu
5
sebagian dari iman”. Artinya keimanan belum tanpa adanya kebersihan. Baik jasmani
maupun rohani.Anjuran bersuci dalam Islam terjembatani dalam pelaksanaan
Wudhu’ sebelum shalat. Demikian pula anjuran mandi sebelum pertemuan jum’atan
atau berkumpul tahunan dalam rangka shalat idul adha maupun idul fitri. Begitu juga
dengan anjuran memotong kuku, membersihkan gigi, membersihkan pakaian
dengan mencuci.
Kitab Fiqih Manhaji Madzhab Imam Syafi’I menerangkan adanya hikmah dibalik
anjuran tersebut diantaranya.
1. Menunjukkan fitrah Islam sebagai agama yang suci.
2. Menjaga kehormatan dan kewibawaan seorang Islam. Karena manusia pada
dasarnya condong pada sesuatu yang bersih, suka berkumpul dengan orang-
orang yang bersih dan menjauhi sesuatu yang kotor. Maka perintah bersuci
adalah jalan menuju kehormatan dan kewibawaan Islam itu sendiri. Lebih-lebih
ketika bersinggungan dengan msyarakat lainnya.
3. Menjaga kesehatan. Karena penyakit itu datang disebabkan kuman-kuman serta
bakteri-bakteri yang dibawa oleh kotoran, maka Islam menganjurkan umatnya
untuk menjaga kebersihan agar terhindar dari penyakit. Seperti mebersihkan
badan, mencuci muka, mencuci tangan, mencuci kaki, karena anggota yang
disebutkan merupakan tempat dimana kotoran yang menbawa penyakit itu
bersarang.
4. Mempermudah diri mendekati Ilahi. Allah Tuhan Yang Mahas Suci senang akan
hal-hal yang suci. Karena itu keitka shalat untuk menghadapi-Nya haruslah
dalam keadaan suci secara lahir maupun batin.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah atau bersuci.
Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala seluk beluknya termasuk bagian
ilmu dan amalan yang penting. Macam - macam Thaharah ada empat
yaitu pertama, tentang wudhu yaitu menghilangkan najis dari badan. Kedua, tentang
bertanyamum yaitu pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar yaitu
menyiram air keseluruh tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’ yaitu membersihkan
kotoran yang keluar dari salah satu dua pintu keluarnya kotoran itu.
Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh
Rasullullah SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa digunakan. Macam
- macam hadas juga terbagi menjadi dua ialah hadas kecil yaitu yang disebabkan
oleh keluar sesuatu dari dubur dan kubul, sedangkan hadas besar yaitu yang
disebabkan oleh keluarnya air mani dan bersetubuh. Dan macam - macam Najis
terbagi menjadi tiga yaitu Najis Mukhofafah, Najis Mutawashitho, dan Najis
Mogholladhoh.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari
makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat

6
menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Aliy As’ar. 1980. Terjemah Fathul Mu’in, Kudus: Menara Kudus.


Abdul Rosyad Shiddiq. 2006. Fikih Ibadah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Isnatin Ulfah. 2009. Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN Press.
Muhamad Dainuri. 1996. Kajian Kitab Kuning Terhadap Ajaran Islam. Magelang:
Sinar Jaya.
Sayyid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah jilid 1. Jakarta: Mulyaco.
Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
http://semuamakalahpembelajaran.blogspot.com/2017/06/makalah-thaharah-hadats-dan-
najis.html?m=1

Supian, d. (2022). Menjadi Muslim Moderat. Jambi: GP Press


Group.https://id.wikipedia.org/wiki/Bersuci_dalam_Islam#:~:text=10.2%20Daftar%20
pustaka
-,Pengertian%20Thaharah,berwujud%20maupun%20yang%20tak%20berwujud.
https://muhammadiyah.or.id/thaharah/

Anda mungkin juga menyukai