Anda di halaman 1dari 52

Paper Akhir Pratikum Silvikultur Medan, Desember 2023

PAPER AKHIR

Dosen Penanggung Jawab


Afifuddin Dalimunthe SP., MP.
Oleh:
Mhd fajri afisyah
221201198
HUT 3C

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
PAPER AKHIR
Disusun Oleh:
Mhd fajri afisyah

Paper Akhir Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memenuhi Komponen
Penilaian Praktikum Ekologi Hutan Program Studi Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan

Diketahui Oleh:

Asisten Korektor

Mia Amelia Simamora Englin Dame Sahwila Gultom


NIM: 211201167 NIM: 211201080

Dosen Penanggung Jawab:

(Afifuddin Dalimunthe SP., MP.)


NIP. 197311052002121001

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan paper akhir Praktikum Silvikultur ini dengan baik dan tepat waktu. Paper
Praktikum Silvikultur ini disusun untuk memenuhi salah tugas Praktikum
Silvikultur sebagai syarat masuk practical test Program Studi Kehutanan, Fakultas
Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian paper ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Afifuddin
Dalimunthe S.P, MP. selaku dosen penanggung jawab yang telah mengajarkan
materi praktikum dengan baik begitu juga dengan asisten praktikum silvikultur
yang telah membantu kami dalam melaksanakan praktikum yang hasilnya
kemudian dituangkan dalam paper ini.
Penulis sadar, penulisan Paper ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari
segi teknik maupun materi. Oleh sebab itu, penulis sangat mengaharapkan kritik
dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan paper praktikum ini. Akhir kata,
semoga laporan praktikum ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
PEMILIHAN JENIS DI HUTAN LINDUNG SESAOT
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Lingkungan Di Hutan Lindung Sesaot ........................................... 3
2.2 Kondisi vegetasi di hutan lindung sesaot .................................................... 3
2.3 Keberadaan Pohon Aren Di Hutan Lindung Sesaot ..................................... 5
2.4 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Lindung Sesaot ............. 5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 7
3.2 Saran .......................................................................................................... 7
PEMILIHAN JENIS DI HUTAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL
GUNUNG LEUSER
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 9
1.1 Rumusan Masalah .................................................................................... 10
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 10
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser .................................................. 11
2.2 Jenis Flora dan Fauna Yang Terdapat Pada Kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser ............................................................................................................ 11
2.3 Kondisi Tanah Tempat Tumbuh Pohon Keruing (Dipterocarpus hetutus) .. 12
2.4 Tanaman yang Didominasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.. 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 15
3.2 Saran ........................................................................................................ 15
PEMILIHAN JENIS DI HUTAN PRODUKSI DALAM UPAYA
REHABILITASI HUTAN PRODUKSI PT. RAPP
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 17
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 18
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 18
BAB II ISI
2.1 Letak Administrasi, Geografis dan Topografi PT. RAPP ........................... 19
2.2 Kondisi Iklim ........................................................................................... 20
2.3 Jenis Bibit yang Ditanam .......................................................................... 20

ii
2.4 Sistem dan Teknik Silvikultur Yang Digunakan ........................................ 21
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 22
3.2 Saran ........................................................................................................ 22
PERSEMAIAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 24
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 25
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 25
BAB II ISI
2.1 Pengertian Persemaian .............................................................................. 26
2.2 Kegiatan persemaian ................................................................................. 27
2.3 Tujuan persemaian.................................................................................... 30
2.4 Permasalahan dalam persemaian .............................................................. 31
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 32
3.2 Saran ........................................................................................................ 32
PEMELIHARAAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 34
1.2 Rumusan Masalah ...................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan ........................................................ Error! Bookmark not defined.
BAB II ISI
2.1 Pengertian Pemeliharaan ............................ Error! Bookmark not defined.
2.2 Cara Memelihara Tanaman yang Baik dan Benar ...................................... 37
2.3 Faktor yang Harus Diperhatikan Dalam Pemeliharaan .............................. 38
2.4 Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman ................................................. 40
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 41
3.2 Saran ........................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA

iii
PEMILIHAN JENIS DI HUTAN LINDUNG SESAOT

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan adalah sumber daya hayati yang bisa diperbaharui. Namun bukan
berarti bahwa hutan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengelolaan yang efektif
dan efesien. Sebaiknya hutan harus dikelolah sebaik mungkin dan lebih
memperhatikan segi aspek-aspek yang ada untuk menuju pada suatu pengelolaan
hutan yang berkelanjutan. Selain berfungsi ekonomi, hutan menempati fungsi yang
sangat penting dalam terciptanya keseimbangan iklim dan ekosistem. Dilain pihak,
hutan juga mempunyai manfaat ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
maupun pemerintah terutama dalam era otonomi daerah ini (Hastuti, 2021).
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah (UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan).
Apabila hutan lindung diganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya
sebagai pelindung,bahakan erosi, mencegah ilustrasi, air laut dan akan
menimbulkan bencana alam sepertibanjir, tanah longsor dan erosi dan kemungkinan
akan berakibat fatal dalam kawasan tersebut. Aset utama dari hutan lindung ini yaitu
pepohonan yang berdiri sebagai penghalang untuk menurunkan gerakan massa
seperti batu karang, erosi, longsoran tanah, aliran puing, dan banjir. Efek
perlindungan dari hutan lindung ini hanya dapat dipastikan jika tata kelola sistem
silvikultur yang digunakan ketahanannya tidak memberikan dampak buruk yang
signifikan terhadap lingkungan sekitar (Dorren, 2015).
Rehabilitasi hutan lindung pada dasarnya harus mempunyai dua manfaat
sekaligus, yaitu manfaat secara ekologis yang berhubungan dengan fungsi
pokoknya dan manfaat ekonomis yang artinya dapat memberikan nilai tambah bagi
masyarakat sekitarnya. Manfaat ekonomi ini menjadi penting karena sebagian besar
hutan lindung sudah terdapat penggarap di dalamnya. Dengan demikian, diperlukan
strategi rehabilitasi yang tepat. Strategi rehabilitasi ini setidaknya mempunyai dua
aspek penting, yaitu lokasi yang tepat dan pemilihan jenis yang tepat. Penentuan
2

lokasi yang tepat dapat menggunakan berbagai kriteria dan indikator, baik fisik
maupun sosial. Salah satu parameter fisik yang dapat digunakan adalah kerentanan
hutan lindung terhadap erosi, dan aspek sosial yang dapat digunakan adalah tekanan
penduduk terhadap lahan (Setiawan dan Krisnawati, 2014).
UU No. 41/1999 dan PP No. 34/2002 menyebutkan pula bahwa bentuk
pemanfaatan hutan lindung terbatas pada pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan
kawasan pada hutan lindung dapat berupa budidaya tanaman obat, perlebahan,
penangkaran. Sedangkan pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha yang
memanfaatkan potensi hutan lindung dengan tidak merusak lingkungan seperti
ekowisata, wisata olah raga tantangan, pemanfaatan air, dan perdagangan karbon.
Bentuk-bentuk pemanfaatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah,
peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat sekitar hutan akan fungsi dan
kelestarian hutan lindung. Untuk pemilihan jenis, maka jenis penghasil Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) merupakan pilihan yang paling logis, karena di kawasan
hutan lindung pemanfaatan kayu tidak diperbolehkan sehingga HHBK dapat
dimanfaatkan sebaik mungkin (Krisfianti et al., 2015).
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana kondisi lingkungan di hutan lindung sesaot?
2. Bagaimana kondisi vegetasi di hutan lindung sesaot?
3. Bagaimana keberadaan pohon aren di hutan lindung sesaot?
4. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung sesaot?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi lingkungan di hutan lindung sesaot.
2. Untuk mengetahui kondisi vegetasi hutan lindung sesaot.
3. Untuk mengetahui Bagaimana keberadaan pohon aren di hutan lindung
sesaot.
4. Untuk mengetahui sejauh mana Masyarakat lokal terlibat dalam
pengelolaan hutan lindung sesaot.
3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Lingkungan Di Hutan Lindung Sesaot
Kondisi lingkungan di hutan lindung sesaot saat ini, dari luasan HL Sesaot
ini 43% diantaranya merupakan hutan buatan yang dibangun sejak tahun 1951 dan
sebagian darinya saat ini merupakan kawasan penyangga yang dikelola oleh
masyarakat sekitar hutan dengan beragam jenis tanaman baik tanaman buah
maupun tanaman kayu (Sutomo et al. 2013). Meningkatnya jumlah penduduk
disekitar kawasan Sesaot disertai peningkatan kebutuhan hidup sehari-hari
memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap keutuhan HL Sesaot. Perburuan
hasil hutan oleh masyarakat baik masyarakat asli maupun pendatang tak lepas dari
lokasinya yang cukup strategis bila dilihat dari jaraknya ke pusat pemerintahan
Kabupaten maupun pusat pemerintahan Propinsi.
Secara umum kondisi Hutan Lindung Sesaot tergolong kurang baik dengan
nilai indeks keanekaragaman spesies antara 1-2, terutama pada plot (20x20m)
maupun plot (40x40m). Namun dinamika pertumbuhan tegakan hutan tergolong
stabil dengan struktur tegakan yang seimbang berdasarkan strata tumbuhan maupun
diameter batang pohon. (Zuhri dan Mutaqien, 2014) menyebutkan baahwa dengan
nilai indeks keanekaragaman spesies di kedua blok kawasan HL Sesaot kurang dari
2, maka kondisi ini digolongkan dengan keanekaragaman vegetasi yang rendah.
2.2 Kondisi vegetasi di hutan lindung sesaot
(Bahar, 2016) menyatakan bahwa meskipun hutan lindung memiliki fungsi
pokok sebagai pengatur tata air dan pemelihara kesuburan tanah, tetapi bisa juga
berfungsi sebagai habitat bagi tumbuhan dan hewan, penyerap karbon dioksida dan
penghasil oksigen, dan bahkan sebagai produsen hasil-hasil hutan non kayu.
Susunan vegetasi hutan Sesaot terdiri dari hutan tanaman dan hutan alam. Hutan
tanaman didominasi oleh jenis Mahoni. Jenis lain di hutan tanaman ini meliputi:
Kemiri (Aleurites mollucana), Sengon (Albizia falcataria), Bajur (Pteros permum
javanicum) serta sedikit pohon Pinus (Pinus merkusii) utamanya di lokasi dekat
Dusun Kumbi. Pada hutan alam didominasi oleh jenis benang yang kayunya biasa
dimanfaatkan untuk pertukangan, disusul jenis Klokos Udang (Callophyllum
inophyllum), Suren (Toona sureni), Sentul (Aglaia sp.) dan Beringin (Ficus
4

benyaminap). Jenis yang jarang dijumpai yaitu: Gaharu (Aguilaria mallacensis) dan
Kelicung (Dyospiros vilaria).
Terdapat dua (2) jenis tumbuhan Familia Arecaceae di Hutan Sesaot Pulau
Lombok, yaitu Arenga pinnata (Aren) dan Salacca zalacca (Salak).
1. Arenga pinnata (Aren)
Aren merupakan jenis tanaman tahunan, berukuran besar, berbentuk pohon
soliter tinggi hingga 12 m, diameter setinggi dada (DBH) hingga 60 cm. Pohon aren
dapat tumbuh mencapai tinggi dengan diameter batang sampai 65 cm dan tinggi 15
m bahkan mencapai 20 m dengan tajuk daun yang menjulang di atas batang. Daun:
pinnate, hingga 8 m panjang, anak daun divaricate, panjangnya 1 m atau lebih,
jumlahnya 100 atau lebih pada masing-masing sisi, dasar daun 2 auriculate, ujung
daun lobes, dan kadang-kadang bergerigi, permukaan atas hijau berdaging, bagian
bawah putih dan bertepung. Pohon aren mempunyai tajuk (kumpulan daun) yang
rimbun. Daun aren muda selalu berdiri tegak di pucuk batang, daun muda yang
masih tergulung lunak seperti kertas. Pelepah daun melebar di bagian pangkal dan
menyempit ke arah pucuk. Susunan anak daun pada pelepah seperti duri-duri sirip
ikan, sehingga daun aren disebut bersirip. Oleh karena pada ujungnya tidak
berpasangan lagi daun aren disebut bersirip ganjil. Pada bagian pangkal pelepah
daun diselimuti oleh ijuk yang berwarna hitam kelam dan dibagian atasnya
berkumpul suatu massa yang mirip kapas yang berwarna cokelat.
2. Salacca zalacca (Salak)
Tanaman salak termasuk golongan pohon palem rendah yang tumbuh
berumpun. Batang hampir tidak kelihatan karena tertutup pelepah daun yang sangat
rapat. Batang, pangkal pelepah, tepi daun dan permukaan buahnya berduri tempel.
Pada umur 1-2 tahun batang dapat tumbuh ke samping membentuk beberapa tunas
yang akan menjadi anakan atau tunas bunga. Tanaman salak dapat tumbuh
bertahun-tahun hingga ketinggiannya mencapai tinggi 7 m. Daun tersusun roset,
bersirip terputus, panjang 2,5-7 m. Anak daun tersusun majemuk, helai daun lanset,
ujung meruncing, pangkal menyempit. Bagian bawah dan tepi tangkai berduri
tajam. Ukuran dan warna daun tergantung varietas
5

2.3 Keberadaan Pohon Aren Di Hutan Lindung Sesaot


Petani di daerah Desa Sesaot mengelola aren dengan cara tradisional yang
diturunkan secara turun temurun, teknik pengelolaan aren ini menjadi kearifan lokal
yang terdapat di desa tersebut. Salah satu bentuk dari kearifan lokal yaitu ”pamali”
dalam menanam aren. (Abdullah et al, 2018) menyebutkan bahwa pamali
merupakan ungkapan-ungkapan yang mengandung semacam larangan atau
pantangan untuk dilakukan. Meskipun larangan menanam aren merupakan suatu
kearifan lokal yang sudah diajarkan secara turun-menurun, namun kepercayaan
apabila tidak dikaji lebih dalam makna dan filosofinya maka akan berdampak bagi
eksistensi dan kelestarian pohon aren. Suatu saat jumlah pohon aren akan semakin
sedikit apabila hanya mengandalkan aren yang tumbuh secara liar, padahal apabila
aren dikembangkan secara tepat akan menjadi nilai jual yang tinggi dan dapat
berpotensi mensejahterakan petani karena aren merupakan tanaman yang istimewa
dikarenakan hamper seluruh bagian aren dapat dipanen.
Pohon aren dapat dipanen saat berumur 7/8 tahun. Petani suku Sesaot
biasanya menggunakan ritual-ritual tertentu yang harus dilakukan sebelum
mengambil nira aren. Ritual tersebut dilakukan sebagai suatu pernyataan “permisi”
atau bagian dari izin petani sebelum menyadap nira. Petani suku Sesaot
menganggap aren merupakan tanaman yang sensitif (dianggap seperti wanita)
sehingga dilakukan oleh laki-laki dan biasanya dengan orang yang sama karena
dalam melakukan penyadapan memerlukan keahlian penguasaan spiritual. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan (Widiastuti, 2015) bahwa pamali umumnya
masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakatnya, dan pada masyarakat lainnya
6
yang menganggap pamali sebagai mitos atau sebatas warisan leluhur.

2.4 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Lindung Sesaot


Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting karena (1)melalui partisipasi
masyarakat dapat diperoleh informasi mangenai kondisi, kebutuhan dan sikap
masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan akan gagal
(2)bahwa masyarakat lebih mempercayai program pembangunan jika dilibatkan
dalam proses persiapan dan perencanaan karena mereka lebih mengerti seluk beluk
program tersebut dan akan memiliki program tersebut, (3)adanya anggapan bahwa
6

merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan


masyarakat mereka sendiri.
Masyarakat sudah terlibat dalam pengelolaan hutan Sesaot. Masyarakat ikut
menanam tanaman sengon dan buah-buahan sebagai bagian dari program
rehabilitasi. Masyarakat tidak hanya ikut menanam, namun juga diperkenankan
mengelola tanaman tersebut masyarakat mulai menanm kopi di bawah tegakkan
pohon penghijauan. Agar penanaman kopi dikelola dengan baik, kantor kehutanan
setempat mendirikan Koperasi Rimbawan yang menaungi pengelolaan kopi
masyarakat. Sejak saat itu, livelihood masyarakat lokal sekitar hutan Sesaot
ditopang oleh kopi. rehabilitasi lahan untuk seluruh kawasan hutan dalam hutan
produksi Sesaot dilakukan dengan sistem tumpangsari.
Masyarakat lokal diminta bantuan menanam dan memelihara tanaman
pokok yang bibitnya diberikan oleh kantor kehutanan dengan tidak diberi upah.
Sebagai kompensasi, masyarakat lokal yang terlibat diberikan kesempatan selama
tiga tahun untuk menanam tanaman semusim di sela-sela tanaman pokok. Tanaman
tumpangsari yang paling banyak ditanam pada waktu itu adalah padi gogo (rau).
Sehingga ada istilah ngegrau untuk aktivitas menanam di hutan. Jenis tanaman
tumpangsari lainnya adalah kacang-kacangan, kecipir, dan jagung. Selain
bergantung pada kopi dan tanaman semusim di selasela tanaman pokok, masyarakat
lokal juga terlibat sebagai buruh tebang dan buruh pikul pada perusahan HPH yang
mendapatkan konsesi. (Guthiga, 2013) menyebutkan bahwa masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan sukses melakukan perlindungan lahan kritis melalui upaya-
upaya konservasi lahan.
Pengelolaan hutan Sesaot terjadi perubahan status dan fungsi hutan Sesaot
dari hutan produksi menjadi hutan lindung. Pemerintah melibatkan masyarakat
lokal dalam program penghijauan di wilayah eks-HPH hutan Sesaot. Pemerintah
memberikan bibit dari tanaman mahoni, sengon, lamtoro, dan juga tanaman buah-
buahan yang akan ditanam melalui mekanisme banjar harian dan tumpang sari
(agroforestry) yang memberikan banyak dampak positif. Bahkan, masyarakat
menanam pisang di antara tanaman-tanaman tersebut. Untuk penanaman dan
pengelolaann kopi pun terus berlanjut. Hal itu dilakukan agar tetap menjaga kondisi
hutan tersebut beserta isinya.
7

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Dari luasan HL Sesaot ini 43% diantaranya merupakan hutan buatan yang
dibangun sejak tahun 1951.
2. Terdapat dua jenis tumbuhan Familia Arecaceae di Hutan Sesaot Pulau
Lombok, yaitu Arenga pinnata (Aren) dan Salacca zalacca (Salak).
3. Petani di daerah Desa Sesaot mengelola aren dengan cara tradisional yang
diturunkan secara turun temurun dan masih mengganggap memanen aren
sebagai hal yang pamali.
4. Masyarakat sudah terlibat dalam pengelolaan hutan Sesaot. Masyarakat tidak
hanya ikut menanam, namun juga diperkenankan mengelola tanaman tersebut
masyarakat mulai menanm kopi di bawah tegakkan pohon penghijauan.

3.2 Saran
Sebainya praktikum selanjutnya dapat memahami materi praktikum dan
menyelesaikan tugas dengan baik. Praktikan juga dihimbau untuk tetap bersikap
sopan dan menghargai asisten selama praktikum berlangsung. Dan sebaiknya
asisten selalu membimbing para praktikan dalam kegiatan praktikum dan
memberikan informasi dengan lengkap dan jelas. Sebaiknya materi disampaikan
juga oleh asisten agar seluruh praktikan bisa lebih mengerti tentang materi tersebut.
8

PEMILIHAN JENIS DI HUTAN KONSERVASI TAMAN


NASIONAL GUNUNG LEUSER

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
9

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan adalah sumber daya hayati yang bisa diperbaharui. Namun bukan
berarti bahwa hutan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengelolaan yang efektif
dan efesien. Sebaiknya hutan harus dikelola sebaik mungkin dan lebih
memperhatikan segi aspek-aspek yang ada untuk menuju pada suatu pengelolaan
hutan yang berkelanjutan. Selain berfungsi ekonomi, hutan menempati fungsi yang
sangat penting dalam terciptanya keseimbangan iklim dan ekosistem. pihak, hutan
juga mempunyai manfaat ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
maupun pemerintah terutama dalam era otonomi daerah ini. Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL) sebagai kawasan konservasi bertujuan ganda, yakni;
sebagai perlindungan dan pengawetan secara mutlak terhadap tipe ekosistem dan
keanekaragaman jenis yang ada (Hastuti, 2021).
Hutan konservasi merupakan suatu kawasan hutan yang dilindungi untuk
melestarikan hutan dan seluruh kehidupan didalamnya sehingga fungsi hutannya
tetap terjaga dan berjalansebagaimana mestinya. Menurut Undang-UndangNomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu yang memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi banyak manfaat bagi
masyarakat yang hidup disekitar kawasan hutan seperti jasa lingkungan, sumber air
dan sumber pangan apabila masyarakat desasebagai pengelola hutan mampu hidup
berdampingan baik dengan hutan maka kesejahteraan masyarakat dapat terjaga
(Safe’I, 2020).
Pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mencegah timbulnya
kerusakan fungsi tatanan lingkungan hidup, sehingga dapat mendukung kebutuhan
sosial dan meningkatkan ekonomi masyarakat yang ada di sekitar kawasan
konservasi. Dengan adanya tujuan dari pengelolaan tersebut selanjutnya akan
diikuti meningkatnya fungsi lingkungan terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan
satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa. Disamping itu
mempertahankankeanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan
10

alam, sehingga fungsi tatanan lingkungan hidup dapat dipertahankan


(Achmaddhian, 2013).
Sebagian besar atau 60,2% kawasan konservasi berstatus sebagai taman
nasional. Beberapa dari taman nasional tersebut memiliki pengakuan global seperti
World Heritage, Biosphere Reserve, ASEAN Heritage dan Ramsar Site. Pengakuan
global merupakan bukti bahwa kawasan konservasi di Indonesia memiliki nilai
penting bagi konservasi keanekaragaman hayati secara global dan memiliki nilai-
yang bersifat universal. Kawasan konservasi terbukti berfungsi pula sebagai daerah
resapan air, ‘pabrik air’, perlindungan hidrologi, iklim mikro, kesuburan tanah,
sumber mikroba, materi bioaktif, antioksidan, keseimbangan siklus air, penyimpan
karbon dan menjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu sampai ke hilir,
kawasan konservasi menjadi penggerak ekonomi wilayah karena juga digunakan
sebagai kawasan wisata seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Gayo
Lues, Aceh (Safe’I, 2020).

1.1 Rumusan Masalah


1.1.1 Bagaimana sejarah Taman Nasional Gunung Leuser?
1.1.2 Apa Dominan yang terdapat pada kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser?
1.1.3 Bagaimana kondisi Tanah Tempat Tumbuh Pohon Keruing
(Dipterocarpus retutus)?
1.1.4 Kenapa Tumbuhan Macaranga Rhizinoides ( Tampu ) Bisa dominan dan
Bagaimana Macaranga Rhizinoides (Tampu) Hidupnya di Taman
Nasional Gunung Leuser
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui sejarah Taman Nasional Gunung Leuser
1.2.2 Untuk mengetahui jenis flora dan fauna yang terdapat pada kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser
1.2.3 Untuk mengetahui kondisi Tanah Tempat Tumbuh Pohon Keruing
(Dipterocarpus retutus)
1.2.4 Untuk mengetahui tanaman yang mendominasi di Kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser
11

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser


Sejarah panjang kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dimulai sejak
tahun 1920-an, zaman pemerintah kolonial Belanda. Sebagai salah satu taman
nasional tertua di Indonesia, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memegang
peranan penting sebagai rumah bagi keberlangsungan biodiversity di Nusantara.
Pada 6 Maret 1980, pemerintah Indonesia meresmikan 5 kawasan suaka alam
termasuk Taman Nasional Gunung Leuser sebagai Taman Nasional melalui SK
Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/II/1980. Beberapa gelar atau status
nasional maupun internasional pun disandang Taman Nasional Gunung Leuser
yaitu Cagar Biosfer (1980), Asean Heritage Park (1984), Tropical Rainforest
Heritage of Sumatera (Warisan Dunia) (2004) dan Kawasan Lindung Nasional
(2008). Taman Nasional Gunung Leuser ini merupakan taman nasional yang paling
ramai dikunjungi. Hal itu sesuai dengan pernyataan (Wiratno, 2013) yang
menyatakan bahwa ada kurang lebih 2000 wisatawasn internasional yang
berkunjung ke Taman Nasional Gunung Leuser pada tahun 2013.
Secara administrasi pemerintahan, kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser terletak di 2 provinsi, yaitu provinsi Aceh (meliputi kabupaten Aceh Barat
Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Gayo Lues) dan provinsi Sumatera Utara
(meliputi kabupaten Langkat dan Karo). Sejarah panjang kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser dimulai sejak tahun 1920-an, zaman pemerintah kolonial Belanda.
Secara geografis, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser membentang pada
koordinat 96º 35” – 98º 30” Bujur Timur dan 2º 50” – 4º 10” Lintang Utara. Kondisi
topografi mulai dari daerah pantai (0 mdpl) hingga daerah pegunungan (≥3000
mdpl). Hampir 80% dari luas kawasan memiliki kemiringan di atas 40%. Hal itu
sesuai dengan pernyataan dari (TNGL, 2022) yang menyatakan bahwa hampir 80%
dari luas kawasan memiliki kemiringan di atas 40%.

2.2 Jenis Flora dan Fauna Yang Terdapat Pada Kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 pasal 1 butir 14 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan “Taman Nasional adalah
12

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi”. Salah satu Tanam Nasional yang
ada di Indonesia adalah Taman Nasional Gunung Leuser. Diantara zonasi tersebut,
terdapat zona produksi yang salah satunya adalah hutan Larut Matang yang
merupakan area hutan mangrove. Menurut Subiakto dan Rachmat (2016), hutan ini
termasuk pada kelas perusahaan kayu arang dan kayu pancang, sedangkan sistem
silvikultur yang diaplikasikan adalah sistem tebang habis dengan permudaan alam
(THPA), dengan daur tebangan 30 tahun. Dengan demikian, tujuan pengelolaan
hutan di Larut Matang adalah untuk mendapatkan produksi kayu secara
berkelanjutan, baik untuk bahan baku kayu arang maupun untuk cerucuk (pancang).
Taman Nasional Gunung Leuser memiliki keanekaragaman flora dan fauna
yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Pohon-pohon besar dengan diameter 1
meter diantaranya adalah pohon kayu jenis damar, meranti, keruing, dan masih 5
banyak jenis tanaman lain di dalamnya. Berdasarkan hasil Vegetasi di Kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser ditemukannya 33 famili dari species dengan
jumlah keseluaruhannya 353 individu dikawasan Taman Nasional Gunung Leuser
di Aceh Timur yang dimana Tumbuhan paling Dominan ialah Macaranga
Rhizinoides atau dikenal dengan Tampu.

2.3 Kondisi Tanah Tempat Tumbuh Pohon Keruing (Dipterocarpus hetutus)


Tanah disekitar tempat tumbuh pohon Dipterocarpus hetutus,
Dipterocarpus constulatus, Dipterocarpuselongatus Korth dan Dipterocarpus
haseltii termasuk Typic Hapludults dengan tekstur tanah lempung berliat sampai
liat dan dari sedang sampai baik serta solum tanah termasuk dalam 60-110 cm. Pada
umumnya kondisi tanah di lokasi penelitian mempunyai kecenderungan kerapatan
(bulk density) yang semakin tinggi seiring bertambahnya tingkat kedalaman tanah
pada setiap kondisi lahan (berkisar 0,65-1,42gram/cm3). Tanah yang padat atau
bulk density tinggi akan sulit ditembus air.sesuai dengan pernyataan (Sutedjo &
Kartasapoetra 2013) yang menyatakan bahwa pada tanah dengan bulk density
tinggi, maka akar tanaman akan susah untuk menembus lapisan tanah tersebut. Di
samping itu, bulk density menggambarkan pemadatan/kompaksi tanah, dimana
13

semakin tinggi bulk density, maka semakin padat tanah tersebut, sehingga jumlah
pori-pori tanah berkurang dan infiltrasitanah akan menurun.
pH tanah pada lokasi ini tergolong sangat masam berkisar 3,8 – 4,8.
Menurut Pradiastoro (2014) Dipterocarpus retusus tumbuh pada kondisi kadar
kemasaman yang cukup tinggi, dengan nilai pH tanah kurang dari 7 (pH netral),
begitu juga untuk ketiga jenis Dipterocarpus yang ditemukan pada lokasi penelitian.
Hal ini bisa dikatakan bahwa jenis Dipterocarpus sp tumbuh pada kawasan dengan
pH tanah yang sangat asam. Secara umum, tanah-tanah yang berada dibawah
kondisi vegetasi hutan akan cenderung lebih masam dibandingkan dengan yang
berkembang di bawah padang rumput. KTK (Kapasitas Tukar Kation) pada lokasi
ini juga terlihat sangat rendah berkisar antara 4,9 – 13,2 me/100g.

2.4 Tanaman yang Didominasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser


Berdasarkan hasil Vegetasi di Kawasan Taman Nasional Gunung leuser
ditemukannya 33 famili dari 81 spesies dengan jumlah keseluruhan tanaman yaitu
353 individu dikawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Aceh timur.
Keseluruhan Tanaman berjumlah 353 dan Species Yang Didominasi Atau Paling
Banyak di Jumpai Di Taman Nasional Hutan Gunung Leuser Ialah Dengan Species
Macaranga tanarius, Macaranga diepenhorstii, Villebrunea rubescens,
Monocarpia euneura Miq dan Pterospermum javanicum. Adapun spesies pohon
yang paling sedikit ditemukan di lokasi penelitian yaitu Spondias pinnata Kurz atau
Dengan Nama Daerah ialah kedondong hutan Mangifera foetida (Mancang hutan),
Agathis borneensis (Damar), Santina oblongifolia Aquilaria malaccensis(Gaharu)
Artocarpus integer (Cempedak hutan), Diplospora malaccensis (Kopi-kopi), Acer
negondu (Kacang-kacang), Badula barthesisia (Asam hutan).
Dengan Species Yang Didominasi ialah Famili Macaranga dapat Kita
Ketahui Bahwa Secara umum marga Macaranga termasuk suku Euphorbiaceae.
Jenis-jenis macaranga yang tumbuh di hutan sekunder sering disebut dengan
Mahang. Jenis macaranga merupakan sebagai pohon pionir tumbuhan pionir sendiri
ada yang berupa tumbuhan Bryophyta (lumut), Pteridophyta (paku-pakuan), dan
Spermatophyta (tumbuhan berbiji).Tumbuhan Macaranga secara fisik tumbuh
pepagan halus, abu-abu sering mengeluarkan cairan merah terutama pada ranting.
Kayu tekstur halus warna putih. Ranting kadang-kadang berongga dan dihuni oleh
14

semut. Tangkai daun panjang, dan menebal 6 pada bagian ujungnya. Bentuk daun
spiral, terkadang besar, helai daun bertulang menyirip dan menjari. Memiliki
kelenjar bintik, tepi daun bergigi. Bunga berkelamin tunggal (bunga jantan dan
betina berlainan tumbuhan) pada ketiak antara atau di belakang daun dalam tandan
Selanjutnya didiskripsikan bahwa bunga jantan terdapat daun kelopak 2-4 buah,
benang sari 1-20 buah, kepala sari beruang 3 atau 4, kepala putik tidak ada. Dalam
bunga betina terdapat kelopak bergigi sangat pendek atau bahkan tidak bergigi.
Bakal buah beruang 2 atau 3, tangkai putik panjang atau pendek.. Sering berlapis
dengan lapisan lilin kekuningan, merekah menjadi bagian-bagian beruang ganda
dan bertemu pada suatu tigu pusat.Macaranga Tersebut Tumbuh dalam Hutan
Sekunder (Tumbuh Secara Alami).
15

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Taman Nasional Gunung Leuser adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata,
dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser dimulai sejak tahun 1920-an, zaman
pemerintah kolonial Belanda.
Sebagai salah satu taman nasional tertua di Indonesia, Jenis Pohon di Taman
Nasional Gunung Leuser Terdapat 81 Jenis Pohon dan dengan Jumlah Keseluruhan
353 Tegakan, Serta 33 Famili dan dominan di Taman Nasional Gunung Leuser Ialah
Macaranga Rhizinoides atau dikenal dengan Tampu Kondisi tanah di Taman
Nasional Gunung Leuser Pada umumnya kondisi tanah di lokasi penelitian
mempunyai kecenderungan kerapatan (bulk density) yang semakin tinggi seiring
bertambahnya tingkat kedalaman tanah pada setiap kondisi lahan (berkisar 0,65-
1,42gram/cm3).

3.2 Saran
Dalam pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser, menurut kelompok
kami sebaiknya pihak yang mengelola Taman Nasional Gunung Leuser tersebut
lebih memperhatikan ukuran pH tanah di Kawasan tersebut dan melakukan
beberapa pengendalian seperti pemberian kapur (dolomit) ataupun memberikan
pupuk yang bersifat asam ke tanah. Supaya pH tanah di Taman Nasional Gunung
Leuser tetap normal dan florai dalamnya tetap tumbuh dengan baik.
16

PEMILIHAN JENIS DI HUTAN PRODUKSI DALAM UPAYA


REHABILITASI HUTAN PRODUKSI PT. RAPP

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
17

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan adalah sumber daya hayati yang bisa diperbaharui. Namun bukan
berarti bahwa hutan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengelolaan yang efektif
dan efesien. Sebaiknya hutan harus dikelola sebaik mungkin dan lebih
memperhatikan segi aspek-aspek yang ada untuk menuju pada suatu pengelolaan
hutan yang berkelanjutan. Selain berfungsi ekonomi, hutan menempati fungsi yang
sangat penting dalam terciptanya keseimbangan iklim dan ekosistem. Dilain pihak,
hutan juga mempunyai manfaat ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
maupun pemerintah terutama dalam era otonomi daerah ini. sebagai kawasan
produksi bertujuan ganda, yakni; sebagai perlindungan dan pengawetan secara
mutlak terhadap tipe-tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang
terdapat di situ (Hastuti, 2021).
Pengelolaan hutan produksi dengan sistem Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu. (IUPHHK) yang dilakukan selama ini telah mengakibatkan terjadinya
suatu degradasi dan deforestasi hutan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan tahun (2013) menunjukkan bahwa luas hutan produksi berjumlah
69.230.322,99 hektare (54,81 persen dari luas kawasan hutan 126.302.229,90
hektare). Dari luasan tersebut 727.981,2 hektare telah mengalami deforestasi
(diolah dari Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014.
Tanpa perbaikan sistem pengelolaan yang ada saat ini dikhawatirkan luas hutan
produksi yang terdegradasi akan bertambah terus sehingga fungsi produksinya tidak
lagi lestari dan akan memicu terjadinya deforestasi. Kebijakan restorasi ekosistem
diharapkan akan memperbaiki kondisi hutan produksi yang telah terdegradasi dan
terdeforestasi tersebut (Qodriyatun, 2016).
Paradigma bahwa sumber daya alam kehutanan harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan pembangunan (ekonomi) semata sudah tidak
relevan dengan kondisi saat ini, hutan harus pula dimaknai sebagai pemberi manfaat
bagi lingkungan hidup dan sosial-budaya. Manfaat ekonomi diupayakan untuk
sejalan dengan aspek sosial dan lingkungan melalui upaya produksi sumber daya
18

alam. Salah satu hutan yang terdapat di Riau adalah hutan produksi, hutan produksi
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 adalah hutan
yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hasil utama dari hutan
produksi berupa kayu, sedangkan hasil hutan lainnya disebut hasil hutan nirkayu
yang mencakup rotan, bambu, tumbuhan obat, buah, biji, kulit kayu, daun, lateks
(getah), resin (damar, kopal, gom, gondorukem, dan jernang), dan zat ekstraktif
lainnya berupa minyak. Salah satunya Hutan Tanam Industri (HTI) milik PT Riau
Pulp and Paper (RAPP) yang memanfaatkan hasil hutan berupa kayu (Redi, 2014).
Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang memproduksi tanaman-
tanaman kayu komersial dengan menerapkan budidaya kehutanan secara
intensif yang bertujuan untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan baik
dalam negeri maupun luar negeri. Hutan produksi merupakan salah satu program
dari pemerintah dalam mengatasi pengerusakan hutan alam. Menurut Peraturan
Pemerintah No.6 tahun 2007, lahan yang dicanangkan untuk pengembangan
adalah lahan yang telah terdegradasi atau lahan kritis dengan tingkat kesuburan
tanah yang relatif rendah atau marginal. Kebijakan pembangunan hutan
produksi yang dimulai sejak awal 1990 bertujuan selain merehabilitasi lahan-
lahan hutanyang sudah rusak, juga diharapkan menjadi penyumbang bahan baku
bagi industri kehutanan. Perlahan-lahan peran hutan produksi juga bakal
diharapkan akan menghilangkan ketergantungan (Simanullang et al., 2023).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana letak Administrasi, Geografis dan Topografi PT. RAPP?
1.2.2 Bagaimana Kondisi Iklim PT. RAPP?
1.2.3 Apa jenis bibit yang di tanaman di PT. RAPP?
1.2.4 Bagaimana jenis bibit yang di tanaman di PT. RAPP?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui letak Administrasi, Geografis dan Topografi PT. RAPP.
1.3.2 Untuk mengetahui Kondisi Iklim PT. RAPP
1.3.3 Untuk mengetahui jenis bibit yang di tanaman di PT. RAPP
1.3.4 Untuk mengetahui Sistem dan Teknik Silvikultur Yang digunakan
19

BAB II
ISI

PT. RAPP merupakan suatu perusahaan swasta yang bergerak dibidang


pembuatan pulp dan kertas. Perusahaan ini didirakan oleh Bapak Sukanto Tamoto
yang lahir pada tahun 1949 yang bermula dari bisnis keluarga hingga menjadi bisnis
Internasional. PT. RAPP merupakan anak perusahaan Raja Garuda Mas
Internasional yang merupakan pemegang saham utama pada APRIL Group (Asia
Pacifik Resourc Internasional Holding Lid) yang telah dikenal dalam dunia bisnis
Internasional. PT. RAPP Berkedudukan di Jakarta pada tahun 1989. Pada tahun
1995 perusahaan ini mulai beroperasi di provinsi Riau tepatnya di Desa Pangkalan
Kerinci Kabupaten Pelalawan, dengan kapasitas hasil produksi mencapai 750.000
ton pulp pertahun. Debi (2021) menyatakan bahwa alat yang digunakan dalam
pemanfaatan hutan produksi ialah alat pemotong, alat pencuci dan penyaring. Dari
segi peralatan dan teknologi di datangkan dari Eropa terutaman Finlandia dan
Swedia, misalnya sund fibrator, diantaranya terdiri dari alat-alat pemotong
superbatch, pencuci dan penyaring pulp, sistem delignifikasi oksigen, mesin
pemutih dan penyaringan tahap kedua.
2.1 Letak Administrasi, Geografis dan Topografi PT. RAPP
Estate Mandau, secara administrasi berada diwilayah kecamatan sungai
Mandau, Kecamatan Koto Gasik dan Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Provinsi
Riau. Secara Geografis, Estate Mandau terletak antara 101°07ʼ49” - 101°20ʼ15”
BT 0°47ʼ45” - 0°51ʼ00” LU. Estate Langgam, secara administrasi berada di
wilayah Kecamatan Langgam (Kabupaten Pelalawan) dan Kecamatan Kempar
Hilir (Kabupaten Kempar), Provinsi Riau. Secara Geograsi Estate Langggam
terdapat pada 101°29ʼ00” - 100°40ʼ00” BT 0°06ʼ55” - 0°11ʼ20” LS.
Estate Pelalawan secara administrasi berada di wilayah Kecamatan
Pelalawan dan Teluk Meranti, (Kabupaten Pelalawan) dan Kecamatan Dayun
(Kabbupatan Siak), Provinsi Riau. Secara geografis Estate Pelalawan terletak
antara 101°07ʼ49” - 101°20ʼ15” BT 0°47ʼ45” - 0°51ʼ00” LU. Estate Teso, secara
administrasi berada di wilayah Kecaamatan Singingi Hilir Kabupaten Kuantan
Singingi, Kecamatan Salo dan Kecamatan gunung Sahilan Kabupaten Kampar,
20

Provinsi Riau. Secara geografis Estate Teso terletak antara 100°14ʼ19” -


101°33ʼ00” BT dan 0°03ʼ53” - 0°01ʼ00”LU.
2.2 Kondisi Iklim
Berdasarkan data hasil pengukuran suhu udara tahun 2010 sampai dengan
tahun 2013, suhu udara rata-rata bulanan di kawasan ini berkisar antara 32-37° C
dengan suhu udara rata-rata tahunan sebesar 35, 25° C. Hal itu sesuai dengan
pernyataan Also (2015) yang menyatakan bahwa rata-rata suhu udara bulanan di
kawasan PT. RAPP antara 32-37° C. Suhu udara bulanan tertinggi terjadi pada
bulan April, Mei dan September sebesar 37° C, sedangkan terendah terjadi pada
bulan Desember sebesar 32° C. Kelembaban udara rata-rata bulanan di kawasan ini
berkisar antara 67-78 %, dengan kelembaban udara rata-rata tahunan sebesar
70,92%. Kelembaban udara bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar
78 %, sedangkan terendah terjadi pada bulan Maret sebesar 67%.
2.3 Jenis Bibit yang Ditanam
Berdasarkan pemeriksaan status konservasi pada 106 jenis flora yang
teridentifikasi di 8 titik contoh yang tersebar di dalam dan sekitar kawasan Estate
Pelalawan. Dari keseluruhan jenis yang teridentifikasi tersebut, hanya ditemukan
satu jenis flora yang termasuk dalam kategori terancam punah. Jenis tersebut adalah
meranti kunyit (Shorea hemsleyana). Berdasarkan data dari IUCN, (2013) jenis ini
terancam punah dikarenakan: (1) penurunan populasi yang dicurigai hingga 80%
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir atau 3 generasi akibat perubahan habitat dan
atau penurunan kualitas habitat; serta (2) metapopulasi jenis ini kurang dari 50
individu dalam satu bentang habitat yang diduga akan peluang eksploitasi terhadap
jenis ini lebih tinggi.
Shorea hemsleyana merupakan kelompok meranti murah yang cenderung
lebih kecil ukurannya, yakni hanya mampu tumbuh dengan diameter 2- 2,5 m.
Bentuk daun umumnya berupa bulat lonjong (elliptic-oblong) hingga bentuk seperti
bulat telur memanjang (obovate-oblong) dengan ukuran 35x15cm, permukaan daun
kasar berambut yang membelah pada ujungnya,muncul seperti bintang pada urat-
urat dipermukaan daun tersebut. Kayu teras berwarna merah muda hingga berwarna
coklat, sedangkan kayu gubal dicirikan dengan gradasi warna yang lebih gelap
terutama dengan warna merah hingga coklat.
21

Tekstur kayu umumnya kasar, bergelombang dengan resin damar berwarna


putih. Seperti jenis Dipterocarpaceae lain, Shorehemsleyana memiliki sistem
pembuahan massal (mast-fruiting). Dafa (2015) menyatakan bahwa hampir semua
Dipterocarpacee dan sampai 88% jenisnya merupakan spesies tajuk atas yang
sudah memasuki periode induksi dan pembuahan yang cepat. Produk samping dari
hasil produksi pulp berupa kulit kayu, fines, dan weak black liquor di PT.RAPP
dimanfaatkan oleh unit bisnis PT Riau Prima Energi untuk memproduksi listrik.
2.4 Sistem dan Teknik Silvikultur Yang Digunakan
Sistem lahan dan tanah yang digunakan mengacu kepada Regional Physical
Planning Program for Transmigration (RePPProT, 1982) dan Land Resources
Evaluation Programme (LREP). Klasifikasi tanah disajikan menurut sistem
Klasifikasi tanah Amerika Serikat (USDA, 1975). Daerah Estate Pelalawan terdiri
dari berbagai jenis sistem lahan. Berbagai sistem lahan tersebut membentuk satuan
lahan yang berbeda-beda. Satuan lahan di wilayah ini terdiri atas tanah gambut dan
tanah mineral. Tanah gambut di wilayah in merupakan gambut dalam dengan
kategori saprik. Tanah dengan memiliki solum merupakan tanah yang baik. Hal itu
sesuai dengan pernyataan Toga (2013) menyatakan bahwa sedangkan tanah mineral
di wilayah ini bercirikan solum yang dalam serta tekstur yang agak kasar hingga
halus (Lempung berpasir hingga liat).
Sistem silvikultur yang diterapkan di HTI RAPP adalah sistem tebang habis
dengan permudaan buatan, semua teknik silvikultur dan pemanenan disesuaikan
dengan sistem ini. Pada awal beroperasinya, teknik budidaya yang diterapkan
hanyalah berdasarkan informasi yang tersedia pada saat itu. Sejalan dengan waktu,
semua teknik silvikultur termasuk teknologi pemanenan diperbaiki berdasarkan
hasil-hasil penelitian, bench-marking operations dan program continuous
improvement yang paling sesai dengan kondisi setempat. Hal itu sesuai dengan
pernyataan Aini (2014) yang menyatakan bahwa Semua teknik silvikultur
diperbaiki berdasarkan hasil-hasil penelitian. RAPP ini tergabung di dalam sebuah
anak perusahaan dari APRIL Group (The Asia Pacific Resources International
Holding's Ltd.). Dimana APRIL itu sendiri adalah salah satu perusahaan yang
memimpin pulp and paper di dunia.
22

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
PT.RAPP dibagi menjadi 8 (delapan) distri (estate) pengelolaan,yaitu Estate
Mandau,Estate Langgam, Estate Pelalawan, Estate Teso, Estate Baserah, Estate
Logas, Estate Ukui dan Estate Cerenti. PT. RAPP memiliki suhu udara rata-rata
tahunan sebesar 35,25℃ dan kelembaban udara rata-rata tahunan sebesar 70,92%.
Tanaman yang diproduksi di PT. RAPP adalah Acacia mangium (Tongke
Hutan), Gmelina arborea (Jati Putih), Eucalyptus sp (Eukaliptus). Sistem
silvikultur yang diterapkan di HTI PT. RAPP adalah sistem tebang habis dengan
permudaan buatan (THPB).

3.2 Saran
Sebaiknya hutan produksi di Indonesia, dapat lebih terjaga kelestariannya
dan perusahaan yang bergerak di bidang hutan produksi agar memperhatikan
kondisi lingkungan hutan bukan semata mata hanya menginginkan keuntungan
produksi, apalagi tanaman yang bukan dominan di hutan tersebut seperti Meranti
Kunyit (Shorea hemsleyana).
23

PERSEMAIAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
24

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persemaian adalah tempat atau areal untuk kegiatan mengelola benih atau
bagian tanaman lain menjadi bibit siap ditanam ke lapangan. Pada umumnya,
persemaian mempunyai dua tipe, yaitu persemaian tetap (permanen) dan
persemaian tidak tetap. Kedua tipe persemaian tersebut mempunyai persyaratan-
persyaratan agak berbeda. Persemaian tidak tetap membutuhkan persyaratan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan persemaian permanen. Persemaian tidak tetap
berlangsung hanya periode panenan semai. Persemaian permanen berada di suatu
tempat lebih lama dari lima tahun dan biasanya sarana material dan peranan yang
ada di persemaian yang lebih baik kualitasnya dan lebih mahal harganya.
Persemaian permanen pada umumnya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dari
pada persemaian tidak tetap dalam kegiatan investasinya (Kovertina, 2016).
Persemaian modern memiliki fungsi utama dalam mempercepat kesiapan
bibit tanaman untuk rehabilitasi dan reklamasi hutan. Lokasi persemaian modern
biasanya dipilih berdasarkan beberapa kriteria, seperti kondisi kemiringan lahan
yang datar hingga landai, luas lahan yang mencukupi untuk sarana infrastruktur
persemaian, ketersediaan sumber air dan/atau air tanah yang memadai, akses jalan
yang mudah, serta meminimalkan potensi konflik. Namun, dalam perencanaan
persemaian bibit tanaman, salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan adalah
ketersediaan air. Udara merupakan kebutuhan penting dalam proses persemaian,
baik untuk penyiraman bibit maupun untuk keperluan lain seperti pengaturan suhu
dan kelembaban udara di dalam rumah persemaian. Oleh karena itu, evaluasi
ketersediaan tanah di lokasi persemaian sangat penting untuk memastikan
keberhasilan budidaya tanaman (Istikorini dan Sari, 2020).
Perlakuan yang terbaik pada benih ialah menanam benih atau disemaikan
segera setelah benih-benih itu dikumpulkan atau dipanen, jadi mengikuti cara-cara
alamiah, namun hal ini tidak selalu mungkin karena musim berbuah tidak selalu
sama, untuk itu penyimpanan benih perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan
benih saat musim tanam tiba. Tujuan penyimpanan yaitu untuk menjaga biji agar
25

tetap dalam keadaan baik, melindungi biji dari serangan hama dan jamur, dan
mencukupi persediaan biji selama musim berbuah tidak dapat mencukupi
kebutuhan. Penyimpanan benih yang lama dapat mengakibatkan kemunduran benih
atau disebut dengan “Deteriorasi Benih”. Kemunduran benih diakibatkan oleh
faktor genetis benih dan lingkungan. Kemunduran benih akibat faktor genetis
dikenal sebagai proses deteriorasi yang kronologis, sedangkan deteriorasi akibat
perlakuan penyimpan benih yang tidak sesuai dengan persyaratan penyimpanan
benih atau terjadi penyimpangan selama pembentukan dan prosesing benih dikenal
sebagai deteriorasi faktor lingkungan (Sri, 2013).
Dalam beberapa kasus, lokasi perencanaan persemaian tanaman bibit hutan
berada di kawasan kampung kasih, yang ditandai dengan kondisi hidrologi (air
tanah) yang terbatas hingga langka di batugamping. Kawasan karst memiliki
karakteristik geologi yang khas, di mana air dapat dengan mudah meresap ke dalam
tanah dan membentuk sistem akuifer yang kompleks. Persemaian adalah suatu
kegiatan dalam budidaya tanaman yang bertujuan untuk menghasilkan bibit
tanaman yang berkualitas tinggi. Proses persemaian melibatkan beberapa tahap,
mulai dari persiapan media tanam, penaburan benih, perawatan bibit, hingga bibit
siap ditanam di lapangan (Muslim et al., 2018)
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu persemaian?
1.2.2 Apa jenis-jenis persemaian?
1.2.3 Bagaimana tahap-tahapan kegiatan persemaian?
1.2.4 Apa tujuan persemaian?
1.2.5 Apa permasalahan dalam persemaian?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian persemaian
1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenis persemaian
1.3.3 Untuk mengetahui tahap-tahapan kegiatan persemaian
1.3.4 Untuk mengetahui tujuan persemaian
1.3.5 Untuk mengetahui permasalahan dalam persemaian
26

BAB II
ISI

2.1 Pengertian Persemaian


Persemaian adalah tempat atau areal untuk kegiatan mengelola benih atau
bagian tanaman lain menjadi bibit siap ditanam ke lapangan. Pada umumnya,
persemaian mempunyai dua tipe, yaitu persemaian tetap (permanen) dan
persemaian tidak tetap. Kedua tipe persemaian tersebut mempunyai persyaratan-
persyaratan agak berbeda. Persemaian tidak tetap membutuhkan persyaratan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan persemaian permanen. Persemaian tidak tetap
berlangsung hanya periode panenan semai. Persemaian permanen berada di suatu
tempat lebih lama dari lima tahun dan biasanya sarana material dan peranan yang
ada di persemaian yang lebih baik kualitasnya dan lebih mahal harganya.
Persemaian permanen pada umumnya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dari
pada persemaian tidak tetap dalam kegiatan investasinya. Bibit berkualitas ditandai
oleh kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan baru, dapat tumbuh dengan
baik jika ditanam di lapangan, sehat, dan seragam (Kasih, 2015).
Persemaian (Nursery) adalah tempat atau areal untuk kegiatan memproses
benih (atau bahan laindari tanaman) menjadi bibit/semai yang siap ditanam di
lapangan. Kegiatan di persemaian merupakan-kegiatan awal di lapangan dari
kegiatan penanaman hutan karena itu sangat penting dan merupakan kuncipertama
di dalam upaya mencapai keberhasilan penanaman hutan. Salah satu faktor yang
ikut menentukan keberhasilan penanaman adalah ketersediaan bibit berkualitas.
Bibit berkualitas ditandai oleh kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan
baru, dapat tumbuh dengan baik jika ditanam di lapangan, sehat, dan seragam. Oleh
sebab itu bibit yang akan ditanam harus memenuhi mutu genetik dan mutu fisik
fisiologis. Mutu genetik menginformasikan tentang asal sumber benih, dengan
demikian, mutu genetik akan berhubungan dengan kualitas pohon yang dijadikan
sebagai penghasil benih untuk pembibitan. Jika pohon induk yang digunakan
berkualitas baik, maka akan lebih berpeluang menghasilkan anakan yang baik,
demikian juga sebaliknya. Sedangkan mutu fisik fisiologis menginformasikan
tentang kondisi fisikbibit, antara lain kondisi batang, kesehatan bibit, tinggi, jenis-
27

jenis Persemaian.
Umumnya, persemaian dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu persemaian
sementara dan persemaian tetap. Persemaian sementara biasanya berukuran kecil
dan terdapat di dekat area yang akan ditanami, selain itu hanya digunakan untuk
beberapa musim panen yaitu paling banyak 5 tahun saja. Keuntungannya adalah
biaya pengankutan bibit murah, memerlukan tenaga kerja sedikit sehingga lebih
efisien, persemaian selalu berpindah tempat kondisi ekologi mendekati keadaan
yang sebenarnya. Kerugiannya adalah ongkos persemaian mahal, keterampilan
petugas kurang dan sering berganti petugas.
Persemaian tetap biasanya berukuran luas dan lokasinya menetap pada suatu
tempat, agar dapat melayani areal penanaman yang sangat luas. Selain itu,
persemaian jenis ini digunakan dalam waktu panen yang lama yaitu minimal 25
tahun. Keuntungannya adalah kesuburan tanah dapat dijaga, dengan mpemberian
pupuk, bisa dikerjakan secara mekanis, jika diinginkan pemeliharaan dan
pengawasan sangat efisien, keterampilan petugas berkembang, karena petugas
tetap dan mayoritas adalah ahli di bidangnya, produktifitas bibit lebih unggul dan
pertumbuhannya bersama Kerugiannya adalah keadaan ekologi jauh dari
sebenarnya, ongkos pengangkutan lebih mahal, jika dibandingkan dengan
persemaian sementara, memerlukan biaya yang tinggi, saat pertama kali melakukan
proses persemaian, meski bibit hasil persemaian tetap lebih mahal jika
dibandingkan dengan persemaian sementara, namun untuk urusan kualitas bibit
persemaian tetap lebih berkualitas dan terjamin mutunya dikarenakan tenaga ahli
dibidangnya, sehingga mampu menghasilkan bibit unggul.
2.2 Kegiatan persemaian
Tahapan Pembibitan Tanaman Hutan meliputi kegiatan lapangan dari mulai :
2.2.1 Teknik Penentuan Pembangunan Persemaian
Dalam memilih lokasi persemaian harus memperhatikan persyaratan
sebagai berikut: Lokasi persemaian sedekat mungkin dengan lokasi penanaman
atau jalan angkutan (aksesibilitas), Lapangan harus datar, Cukup tersedia
air, Mudah mendapatkan media, Keadaan lingkungan baik, sirkulasi udara lancar
dan sinar matahari dapat masuk kepermukaan tanah untuk mengurangi kerusakan
bibit dari insecta dan jamur, Dekat dengan tenaga kerja.
28

2.2.2 Pembersihan Lokasi Persemaian


Panjang dan lebar lokasi areal persemaian disesuaikan dengan keadaan
topografi lapangan, yang lebih baik diutamakan memanjang Utara-Selatan yang
berarti apabila luasnya 100 m² yaitu mempunyai panjang 50 meter dan lebarnya 20
meter. Bersihkan lahan persemaian yang telah diukur dari semak belukar atau
rumput/alang-alang bahkan bekas tonggak diangkat juga akar alang-alang perlu
diangkat supaya tidak cepat tumbuh lagi yang nantinya bisa mengganggu dalam
proses pemeliharaan tanaman. Setiap ukuran bedengan yang telah ditetukan,
diratakan dan ditinggikan tanahnya supaya memudahkan pada saat pengisian
polybag. Ukuran bedengan sudah sesuai dengan yang telah direncanakan baik
panjang maupun lebarnya.
Bedengan terbagi menjadi dua yaitu bedeng sapih dan bedeng tabur. Bedeng
Tabur yaitu tempat penyemaian biji atau benih yang membutuhkan perlakuan
khusus, sedangkan Bedeng Sapih yaitu tempat penyapihan semai atau cabutan
anakan alam.
2.3.3. Pengadaan benih dan cabutan anakan alam, Proses pembuatan bibit
dari biji atau benih
Pengadaan benih biasanya dengan cara membeli ke tempat-tempat khusus
penjual benih tanaman karena sebelumnya buah atau biji pohon tersebut sudah
dipilih dengan menggunakan alat khusus dan aman dari hama dan penyakit. Benih
yang baik yang sudah dibeli untuk jenis-jenis tanaman tertentu tetap dalam
perkembahannya memerlukan perlakuan lagi dengan cara ada yang dibakar terlebih
dahulu untuk jenis-jenis yang mempunyai kulit buah tebal dan adapula yang harus
di rendam dahulu dengan air panas selama beberapa menit untuk jenis-jenis benih
yang mempunyai kulit luar keras.
Benih setelah diberi perlakuan khusus, baru disemaikan pada bedeng tabur
yang sudah tersedia atau pada bak tabur sampai berkecambah. Masing-masing
benih berkecambah berbeda-beda tergantung dari jenis benih tanamannya ada yang
dalam satu minggu sudah berkecambah dan bahkan ada yang satu bulan baru
kecambah karena masing-masing benih tersebut mempunyai dormansi yang
berbeda-beda. Pengadaan benih : Benih harus diperoleh dari sumber yang
terpercaya dan bebas dari hama dan penyakit.
29

2.3.4 Penyapihan Benih


Benih yang sudah berkecambah lebih baiknya setelah kulit luarnya
mengelupas segera dipindahkan atau disapih kedalam polybag karena apabila
terlambat dalam penyapihan akan mengakibatkan mengalami stress yang cukup
lama dan daunnya cepat layu.
2.3.5 Pemeliharaan
Pelaksanaan pemeliharaan dipersemaian, mulai dari penyiraman,
pembersihan polybag dari gulma sampai penyemprotan untuk hama dan penyakit.
2.3.6. Cara menghitung dan menentukan perhitungan kebutuhan benih
Sebuah PT akan merencanakan kegiatan penanaman Jati putih (Gmelina arborea)
di lahan seluas 10.000 ha.
a. Jumlah semai yang harus di hasilkan 150.000 butir
b. Jarak tanam yang ditetapkan 2 x 2m
c. Jumlah benih jati putih per kg nya 1500 butir
d. Persen perkecambahan 70%
e. Persen siap di tanam 80%
f. Kematian semai di persemaian 10%
g. Kerusakan semai pada waktu di bawa ke lapangan 5%
h. Kematian semai di lapangan 5%
i. Jumlah semai yang akan di hasilkan 40%
j. Lebar bedengan sapih 1m
k. Jumlah semai di bedengan tabur 100/m2
l. Jumlah semai setiam m2 (Ds) adalah 100/m2
m. Jumlah semai tambahan (Dt) adalah 500 semai/m2
Pertanyaan :
a. Hitung luas persemaian
b. Kebutuhan benih yang dibutuhkan
Luas Bedeng sapih = T/Ds x w
= 150.000/(100+500)1
=150.000/600x1
30

=250m^2
Luas Bedeng tabor = T/Dg x W
= 150.000+(10%x150.000)/(500+500)1
=150.000+15.000/1.000x1
= 165.000/1.000x 1
=165 m^2
Luas persemaian = 100/60 (Luas Bedeng tabur+ Luas Bedeng sapih)
= 100/60 x (250+165)
= 100/60 x 415
= 1,6 x 415
= 664 m^2
= 0,0664 ha
Kebutuhan benih = V= A/(BxCxD)
= 150.000/(70% x 80% x 1.500)
= 150.000/(0,7 x 80% x 1.500)
= 150.000/840
= 178,5 Kg.
2.3 Tujuan persemaian
Penyemaian merupakan suatu proses penyiapan bibit tanaman baru sebelum
ditanam pada lahan sesungguhnya. Benih tanaman disemaikan pada suatu tempat
terlebih dahulu hingga pada usia tertentu baru dipindahkan ke lahan. Penyemaian
ini sangat penting, terutama pada benih tanaman yang halus dan tidak tahan
terhadap faktor-faktor luar yang dapat menghambat proses pertumbuhan benih
menjadi bibit tanaman. Sehingga tujuan penyemaian benih adalah untuk
mengurangi kematian akibat tanaman yang belum siap dengan kondisi lapangan
dan atau untuk mempersiapkan bibit tanaman yang mempunyai mutu baik sehingga
nantinya dapat tumbuh menjadi tanaman yang baik pula.
Dengan menyemaikan benih terlebih dahulu, diharapkan akan mendapat
mutu yang lebih baik karena dapat dilakukan pemilihan bibit yang cermat dan tepat.
Selain itu apabila diusahakan pada lahan yang sempit, maka pemeliharaannya lebih
31

intensif sehingga mengurangi kemungkinan kegagalan atau ketidak tumbuhan bibit.


Selain itu cara ini akan lebih efektif dan efisien dalam penggunaan lahan untuk
pembibitan dan juga menghindari terjadinya kegagalan pembibitan karena kita
dapat melakukan pengamatan terhadap perkembangan benih hingga usia tertentu.
Tempat persemaian bisa dibuat permanen ataupun sementara dan media persemaian
bisa berupa tray, tercetak, polybag atau bedengan biasa.

2.4 Permasalahan dalam persemaian


Persemaian adalah proses awal dalam melakukan penanaman sebuah
tananam. Persemaian adalah proses menumbuhkan benih atau biji menjadi bibit
yang akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya (peremajaan dan pembesaran). Jika
tahapan dan kebutuhan akan semaian tidak diberikan dengan sesuai maka semaian
akan mengalami masalah.
Masalah yang sering terjadi pada semaian adalah etiolasi, busuk, berjamur,
layu dan pertumbuhan lambat. Etiolasi adalah kondisi semaian atau bibit tanaman
tumbuh memanjang atau menjalar dengan kondisi batang tidak kokoh, daun kecil
dan pucat. Etiolasi pada tanaman disebabkan karena semaian kekurangan cahaya.
Busuk pada semaian adalah masalah selanjutnya dalam persemaian. Busuk pada
semain biasanya ditandai pada akar bibit yang tidak dapat menyerap dengan
sempurna sehingga mempengaruhi dalam proses pertumbuhan.
Layu adalah kondisi yang tidak normal yang paling sering ditunjukkan oleh
tanaman terutama semaian. Kondisi layu dapat ditunjukkan oleh perubahan
tanaman terutama daun yang nampak lemas atau tidak segar. Pertumbuhan lambat
benih dapat mempengaruhi daya pertumbuhan yaitu benih yang memiliki
kemampuan rendah akan mempengaruhi proses perkecambahan. Salah satu cara
untuk mengetahui daya pertumbuhan benih dengan cara memberikan uji daya
paling sederhana. Uji daya paling sederhana dapat dilakukan dengan memasukkan
benih kedalam air selama 10 – 15 menit. Selanjutnya untuk benih yang terapung
tidak perlu digunakan atau dilanjutkan dalam semai dan yang tenggelam bisa
langsung disemai.
32

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Persemaian adalah tempat atau areal untuk kegiatan mengelola benih atau
bagian tanaman lain menjadi bibit siap ditanam ke lapangan. Umumnya,
persemaian dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu persemaian sementara dan
persemaian tetap. Tahapan kegiatan persemaian yaitu tehnik penentuan
pembangunan persemaian, pembersihan lokasi persemaian, pengadaan benih dan
cabutan anakan alam, proses pembuatan bibit dari biji atau benih, penyapihan
benih, dan pemeliharaan.
Tujuan penyemaian benih adalah untuk mengurangi kematian akibat
tanaman yang belum siap dengan kondisi lapangan dan atau untuk mempersiapkan
bibit tanaman yang mempunyai mutu baik. Masalah yang sering terjadi pada
semaian adalah etiolasi, busuk, berjamur, layu dan pertumbuhan lambat
3.2 Saran
Sebaiknya persemaian dilakukan lebih hati-hati lagi baik dalam pemilihan
benih, hal tersebut dilakukan agar benih dapat tumbuh dengan baik sehingga
meminimalisir terjadinya etiolasi. Dalam pemilihan benih harus dicari yang bebas
jamur dan harus memperhatikan jumlah cahaya yang masuk agar mampu
mencukupi kebutuhan cahaya tanaman.
33

PEMELIHARAAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
34

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan


(flora) maupunbinatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi
dan dengan luassedemikian rupa serta mempunyai kerapatan tertentu dan menutupi
areal, sehinggadapat membentuk iklim mikro tertentu. Hal ini mempertegas bahwa
komponen utama penyusun hutan adalah komunitas flora dan fauna yang saling
berkaitan satusama lain. Keberadaan flora dan fauna yang menjadi satu-kesatuan
dalam menyusun ekosistem hutan dan membentuk keanekaragaman hayati.
Keadaan florahutan rakyat yang beragam akan memberi pengaruh yang beragam
terhadap ekosistem hutan itu sendiri. Struktur vegetasi berpengaruh terhadap
ketebalanserasah dan mempengaruhi ekosistem (Jamilah, 2013).
Pemeliharaan tanaman secara manual sering terjadi kesalahan dalam
prosesnya yaitu: Pemilik tanaman melakukan penyiraman, pumupukan dan
pestisida pada jadwal yang tidak tepat, melakukan pumupukan dan pestisida dengan
konsentrasi dan dosis yang tidak sesuai dan sulitnya untuk mengetahui keadaan
kelembaban tanah pada media tanam dan suhu udara pada lingkungan tanaman
yang menjadikan penyiraman tidak efisien. Selain itu, faktor kelalaian manusia
seperti malas dan terlupa karena adanya aktifitas atau kesibukan yang lain
menjadikan jadwal pemeliharaan tanaman menjadi tidak teratur, dan saat pemilik
tanaman sedang tidak berada dilokasi penanaman, pemeliharaan tanaman tidak
dapat dilakukan karena dapat merusak tanaman (Rustam et al., 2020).
Pemeliharaan tanaman merupakan aspek yang memegang peranan penting
dalam tumbuh kembang tanaman. Secara umum pemeliharaan tanaman meliputi
penyiraman, pemupukan, dan pengendalian OPT (Organisme Pengganggu
Tanaman) serta pemeliharaan spesifik untuk tanaman tertentu Namun dalam
penerapannya seringkali melakukan pemeliharaan tanpa melihat kondisi dari
tanaman. Waktu dan dosis dari penyiraman, pemupukan dan pestisida yang tidak
sesuai dengan keadaan kelembaban media tanam, dan suhu udara pada lingkungan
tanaman. Bagi tanaman pemeliharaan yang keliru dapat menjadikan tanaman dalam
35

kondisi tidak baik. Bukan hanya tidak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal namun tanaman bisa layu bahkan mati. Sementara itu tanaman dengan
kondisi tidak baik tersebut dapat membawa petaka bagi pemilik tanaman karena
hasil produksi yang gagal (Kosasih, 2013).
Pemeliharaan tanaman yang baik meliputi pemupukan yang tepat antara
kombinasi organik dan anorganik, pengkondisian lingkungan mikro yang sesuai
dengan daerah asal di hutan sehingga membutuhkan cahaya matahari yang rendah
dengan kelembaban yang tinggi oleh karena itu dibutuhkan teknik penanaman
tumpang sari dengan komoditas lain untuk membentuk iklim mikro yang sesuai.
Pemupukan adalah tindakan memberikan tambahan unsur-unsur hara pada komplek
tanah, baik langsung maupun tak langsung dapat menyumbangkan bahan makanan
pada tanaman. Tujuannya untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah agar
tanaman mendapatkan nutrisi yang cukup untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas pertumbuhan tanaman (Sudin, 2016).
Budidaya tanaman intensifikasi dengan pengaplikasi pupuk anorganik
berdampak terhadap penurunan kesuburan tanah karena rendahnya pengembalian
bahan organik ke dalam tanah. Budidaya tanaman dengan sistem intensifikasi
terkendali berbasis organik merupakan penerapan sistem produksi yang
menyatukan pemanfaatan pada potensi biologis tanah, manajemen tanaman,
pemupukandan tata air secara terpadu yang berperan mendukung pertumbuhan dan
perakaran tanaman (Ningsih, 2014).
2.1 Rumusan Masalah
2.1 Apa itu Pemeliharaan Tanaman?
2.2. Bagaimana cara memelihara pada tanaman yang baik dan benar?
2.3 Faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman?
2.4 Apa saja Penyakit yang menyerang dalam pemeliharaan tanaman?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian pemeliharaan
1.3.2 Untuk mengetahui cara memelihara tanaman tanaman baik dan benar
1.3.3 Untuk mengetahui faktor yang diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman
1.3.4 Untuk mengetahui penyakit yang menyerang pada tanaman
36

BAB II
ISI

2.1 Pengertian Persemaian


Pemeliharaan Tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan
lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal melalui pendangiran,
penyiangan, penyulaman, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit.
Kegiatan pemeliharaan yang biasanya dilakukan, yaitu pemupukan, penyiraman,
penyiangan dan pembumbunan, serta pengendalian organisme penggangu tanaman.
Pemeliharaan (maintenance) adalah suatu kombinasi dari berbagai tindakan yang
dilakukan untuk menjaga suatu barang atau memperbaikinya sampai suatu kondisi
yang bisa diterima.adapun tujuan pemeliharaan Memperpanjang usia kegunaan
aset. Menjamin ketersediaan peralatan dan kesiapan operasional perlengkapan serta
peralatan yang dipasang untuk kegiatan produksi. Membantu mengurangi
pemakaian atau penyimpangan di luar batas serta menjaga modal yang ditanamkan
selama waktu yang ditentukan
Faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan pemeliharaan tanaman,
yaitu: Kondisi kelembaban media tanam, dan suhu udara pada lingkungan tanaman
serta waktu dan dosis dalam penerapan pemeliharaan yang dibutuhkan tanaman
sesuai dengan jenis tanaman tersebut. Kelembaban media tanam adalah jumlah
partikel-partikel air yang berada pada media tanam yang berpengaruh pada tingkat
kelembaban tanah, dan suhu udara adalah kadar uap di udara yang juga
mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman, sedangkan komposisi merupakan
kuantitas untuk dosis pemberian air, pupuk dan pestisida, serta frekuensi pada
pemeliharaan tanaman Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamid .(2017) yang
menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan penting mengapa pemeliharaan
tanaman perlu dilakukan, yaitu tanaman dapat memberikan manfaat bagi kesehatan
dan kehidupan manusia. Tanaman dapat membantu meningkatkan kesehatan,
membersihkan udara, dan menciptakan suasana ruang yang lebih indah.
Pemeliharaan tanaman memegang peranan penting dalam tumbuh kembang
tanaman, meliputi aspek-aspek seperti penyiraman, pemupukan, dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman
37

2.2 Cara Memelihara Tanaman yang Baik


Nilai jual suatu pohon ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan
dengan: ukuran dan kelurusan batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat
kayu, dan ada tidaknya cacat kayu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suhartati dan
Nursyamsyi (2016) Cara memelihara tanaman agar menghasilkan pohon dan kayu
yang berkualitas dan terhindar dari gangguan hama. Pemeliharaan tanaman yang
tepat akan mampu meningkatkan mutu pohon sehingga meningkatkan nilai jualnya,
Misalnya Antara lain.
A. Penggunaan Bibit Unggul
Bibit unggul adalah bibit yang memiliki sifat tahan terhadap serangan hama
(penyakit), cepat berbuah, banyak hasilnya, dan dapat digunakan secara meluas
(biasanya diambil dari buah atau bagian tanaman yang subur dan matang yang siap
untuk ditanam lagi dan dari ternak diambil pejantan yang baik). Penggunaan bibit
unggul akan Menghasilkan Pohon Pohon yang tumbuh cepat dan berbatang lurus.
B. Pemangkasan Cabang (Prunning)
Pemangkasan cabang (Pruning) Pada jati Berumur Muda akan menghasilkan
Batang tanpa cacat mata kayu,dan batang bebas cabang tinggi kegiatan
pemangkasan cabang-cabang pohon yang masih muda dan tumbuh pada batang
utama pohon. Bagian yang dipangkas adalah cabang pohon. Kegiatan ini bertujuan
untuk meningkatkan tinggi bebas cabang dan mengurangi mata kayu dari batang
utama. Dengan menghilangkan cabang atau ranting yang tidak diperlukan maka
nutrisi pohon (sari makanan) akan lebih terpusat untuk pertumbuhan pohon (batang
dan tajuk utama waktu terbaik untuk memangkas tanaman dalam ruangan adalah
tepat di awal musim tanam. Untuk sebagian besar tanaman hias, akhir musim dingin
(hujan) atau awal musim semi, ketika hari semakin panjang dan tanaman mulai
tumbuh adalah waktu terbaik.Pemotongan cabang sebaiknya sedekat mungkin
dengan batang utama, namun tidak sampai memotong leher cabang. Pemotongan
cabang yang terlalu dalam akan mengakibatkan luka yang besar sehingga lambat
tertutup dan juga berisiko terserang penyakit.
C. Penjarangan (Thinning)
Penjarangan (Thinning) adalah penebangan untuk memperlebar jarak tanam
atau mengurangi jumlah pohon agar pertumbuhan dalam suatu area lebih merata
38

sehingga mutu kayu yang dihasilkan meningkat. Penjarangan juga akan


mengurangi Persaingan antara Pohon dalam memperoleh makanan (hara) dari tanah
dan juga cahaya, sehingga mempercepat pertumbuhan diameter batang.
D. Pemupukan Tanaman
Pemupukan pada tanaman jati akan mempercepat pertumbuhan sehingga
menghasilkan kayu yang berukuran besar Pemupukan dilakukan pada umur 1, 2
dan 3 tahun dengan pupuk NPK. Dosis pupuk pada tahun pertama 50 gr, tahun
kedua 100 gr dan tahun ketiga 150 gr per pohon. Dosis yang disarankan untuk
pemberian kapur dolomit adalah sekitar 150 sampai 250 gr tiap lubang tanam.
Teknik pemberian pupuk dengan cara membuat lubang dengan gejik (pasak kayu)
di sebelah kanan-kiri tanaman, atau dengan membuat lubang sedalam 10-15 cm,
melingkari tanaman pokok dengan jarak 0,5-1,5 m dari batang jati (melingkar
selebar tajuk).
E. Pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT)
Pohon jati dapat terinfeksi inger-inger pada umur 3 tahun. Serangannya baru
terlihat setelah umur 7 tahun. Meluasnya serangan inger-inger dapat dicegah
dengan kegiatan penjarangan yang teratur. Kerusakan kayu yang diakibatkan oleh
hama inger-inger Penebangan/penjarangan terhadap pohon yang terserang inger-
inger harus dilakukan sebelum awal musim hujan di saat laron inger-inger belum
keluar. Dengan pengendalian organisme penganggu tanaman akan menjamin pohon
tumbuh sehat dan normal sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar dan
bebas cabang
2.3 Faktor yang harus diperhatikan dalam Memelihara Penanaman
Memiliki taman yang asri dan segar tentu menjadi impian banyak orang. Akan
tetapi semua tentu membutuhkan usaha dan pengetahuan mengenai bagaimana cara
pemeliharaan tanaman agar tumbuh subur. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Reyansyah (2017) Taman yang terpelihara serta nampak segar bisa menjadi
pemandangan terbaik untuk melepaskan kepenatan kita setelah lelah seharian.
Adapun faktor yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman Antara lain:
A. Memilih dengan Tepat Media Tanam.
Media tanam yang baik memiliki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi yang sesuai
dengan kebutuhan tanaman. Media tersebut dapat menyediakan ruang tumbuh bagi
39

akar tanaman dan menopang tanaman. Selain itu, media memiliki porositas yang
baik, dapat menyediakan unsur hara yang cukup, dan steril. Media tanam yang baik
memiliki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman. Media tersebut dapat menyediakan ruang tumbuh bagi akar tanaman dan
menopang tanaman. Selain itu, media memiliki porositas yang baik, dapat
menyediakan unsur hara yang cukup, dan steril.
B. Memilih tempat untuk menanam.
Dalam hal memilih tempat untuk menanam kita harus mengetahu bagaimana
kondisi tanah dan apa yang dominan di daerah tersebut dan pastikan memilih benih
dengan tepat untuk menanam supaya tidak terjadi apa yang kita inginkan dan
pastikan terdapat sinar
C. Memilih Tanaman yang tepat.
Memilih tanaman yang tepat kita harus memastikan di daerah tersebut lebih
dominan apa dan kita harus memerhatikan tanaman apa yang bisa digunakan
dengan tanah ditempat penanaman dan harus tepat
D. Memberi sinar matahari yang cukup.
Matahari bermanfaat untuk mengaktifkan klorofil, menghangatkan biji,
memberikan warna hijau, menjaga suhu agar tetap stabil, mempercepat proses
pertumbuhan pada tumbuhan, dan sebagainya.
E Menyiram Tanaman dengan teknik yang tepat
Menyiram tanaman dengan Teknik yang tepat adalah dengan berfokus pada
penyiraman dengan akar, hindari penyiraman saat ada embun, hindari overwatering
overwatering ini salah satu kesalahan umum karena kebanyakan orang memikrkan
jika memberi kelebihan air dapat bertumbuh dengan cepat padahal itu bisa
menyebabkan merusak akar tanaman dan terjadi abnormal di tanaman tersebut dan
Pastikan drainase yang baik yang dimana drainase yang baik membantu
menghindari pembusukan akar
F. Mengatur suhu dan kelembapan.
Kelembaban media tanam adalah jumlah partikel-partikel air yang berada pada
media tanam yang berpengaruh pada tingkat kelembapan tanah, dan suhu udara
adalah kadar uap di udara yang juga mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman,
sedangkan komposisi merupakan kuantitas untuk dosis pemberian air, pupuk dan
40

pestisida, serta frekuensi pada pemeliharaan tanaman. Kualitas terbaik jati dapat
diperoleh pada suhu optimal yaitu 32-42°C. Kelembaban yang dibutuhkan waktu
terbaik untuk memangkas tanaman dalam ruangan adalah tepat di awal musim
tanam. Untuk sebagian besar tanaman hias, akhir musim dingin (hujan) atau awal
musim semi.
2.4 Penyakit yang Menyerang Tanaman Tanaman
Adapun penyakit yang menyerang pada tanaman jati dapat merugikan pada
tanaman karena bisa mengakibatkan tanaman mati dan juga tanaman tidak sehat
serta bisa menular satu sama lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reyansyah
(2017) Penyebabnya penyakit yang menyerang tanaman meliputi faktor biotik dan
abiotik. Faktor biotik antara lain bakteri, virus, dan alga. Sedangkan faktor abiotik
seperti kondisi cuaca, kekurangan maupun kelebihan unsur hara dan air.
A. Penyakit Layu
Penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas tectonae. Penyakit
ini umumnya menyerang bibit tanaman yang masih di persemaian atau tanaman
muda di lapangan. Gejala awalnya adalah adanya bercak-bercak berwarna coklat
muda atau tua
B. Penyakit mati pucuk
Penyakit mati pucuk yang disebabkan oleh jamur Phoma sp. Penyakit ini
biasanya terjadi pada tanaman muda. Serangan terjadi di saat daun bersemi dan
menyebabkan beberapa pucuk daun mati. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak
lurus dan terhambat.
C. Penyakit Upas
Penyakit jamur upas (Corticium salmonicolor). Penyakit jamur upas sering
timbul dan mudah menular secara cepat pada musim hujan. Gejala penyakit yang
tampak dari luar, daun tanaman layu tergantung lemas dengan warna hitam gelap
seperti tersiram air panas.
D. Penyakit kanker batang
Penyakit kanker batang yang disebabkan oleh Nectria haematococca. Gejala
diawali dengan daun layu dan berwarna hitam gelap, kemudian muncul benjolan
lapisan gabus di permukaan batang. Selanjutnya kulit kayu pecah-pecah, terjadi
luka, dan lubang-lubang memanjang pada batang.
41

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan lingkungannya
agar tanaman tumbuh sehat dan normal melalui pendangiran, penyiangan,
penyulaman, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Kegiatan
Pemeliharaan dilakukan yaitu pemupukan, penyiraman, penyiangan dan
pembumbunan, serta pengendalian organisme penggangu tanaman. Faktor
penyakitnya penyakit layu, penyakit mati pucuk penyakit upas dan penyakit kanker
batang. Waktu terbaik untuk memangkas tanaman dalam ruangan adalah tepat di
awal musim tanam. Untuk sebagian besar tanaman hias, akhir musim dingin (hujan)
atau awal musim semi, ketika hari semakin panjang dan tanaman mulai tumbuh
adalah waktu terbaik.
3.2 Saran
Sebaiknya pemeliharaan tanaman dilakukan lebih hati-hati lagi baik dalam
pemberian pupuk, penyiraman, suhu dan kelembapan hal tersebut dilakukan agar
benih dapat tumbuh dengan baik sehingga meminimalisir terjadinya penyakit
penyakit didalam tanaman dalam pemeliharaan tanaman juga pratikan harus lebih
memperhatikan penyiraman teratur dan tidak terjadi overwatering yang dimana
kelebihan air pada tanaman sehingga terjadinya kerusakan akar dan menjadi
abnormal pada tanaman tersebut.
42

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim A. 2015. Skema Hutan Kemasyarakatan (HKM) kolaboratif sebagai


solusi penyelesaian konflik pengelolaan SDA di Hutan Sesaot, Lombok
Barat. Sodality, Jurnal Sosiologi Pedesaan, 3(03).
Afrizal NS. 2020.Pelatihan Pembuatan Persemaian dan Cabutan Anakan Alam di
Kampung Kasih Kabupaten Sorong. Jurnal agroforestri, 2(2): 67-71.

Agung WN. 2020. Studi Intensitas Cahaya Di Sempadan Sungai Hutan Produksi
Jati Khdtk Cemoro Modang. Jurnal Wasian, 7(1):15-24.

Aini S. 2014. Peranan air dalam perkecambahan biji. Jurnal Imiah Sains.
10(2): 190-195

Akhmaddhian S. 2013. Peran pemerintah daerah dalam mewujudkan hutan


konservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Studi di Kabupaten Kuningan). Jurnal Dinamika Hukum, 13(3):
446-456.

Akhmaddhian. 2013. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Hutan


Konservasi Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Studi
di Kabupaten Kuningan). Jurnal Dinamika Hukum,13(3): 77-89.

Aljo J. 2015. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Memproduksi Hutan Yang Baik.
Jurnal Pertanian Terpadu, 3(1):154-174.
Arwanda ER, Safe’i R, Kaskoyo H, Herwanti S. 2021. Identifikasi Kerusakan
Pohon pada Hutan Tanaman Rakyat PIL, Kabupaten Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia. Agro Bali : Agricultural Journal,
4(3): 351-361.
Aswandi ND. 2018. Persemaian Jati Putih (Gmelina arborea) di Kecamatan Batu
Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat Mangrove Pests at Batu
Ampar, Kubu Raya, West Kalimantan. Journal of Tropical Silviculture,
9(1): 16-23.
Baharuddin, Kurniawan. 2016. Pengelolaan Bersama Kawasan Hutan Sesaot
Berbasis Masyarakat. Jurnal Sangkareang Mataram. 2(2): 49-58.
Balgis K, Siahaya L. 2021. Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Sebagai Pupuk
Organik Cair untuk Pertumbuhan Pala (Myristica fragranshoutt).
Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil, 5(2): 213-224.
Bernadetta M, Sadsoeitoeboen, H and Francina F. Kesaulija K. 2013 Keberhasilan
Tumbuh Tanaman Jati (Tectoa grandis) pada Lokasi RHL di Distrik Biak
Timur Kabupaten Biak Numfor." Jurnal Warta Rimba. 4(1):65-73.
43

Boerhendhy I, Amypalupy K. 2016. Optimalisasi Produktivitas Karet Melalui


Penggunaan Bahan Tanam, Pemeliharaan, Sistem Eksploitasi dan
Peremajaan Tanaman. Jurnal Agroforestry, 4(1):15-22.

Dafa K, Lugina M. Djaenudin D. 2015.Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan


Produksi (Policy Analysis of Protection Forest Management). Jurnal
Penelitian Sosial Ekonomi, 2(2):203-232.
Damayanti PT. 2013. Upaya Pelestarian Hutan Melalui Pengelolaan Sumberdaya
Hutan Bersama Masyarakat. Jurnal Komunitas, 3(1): 70-82.

Debi S. 2021. Pemanfaatan Lahan Oleh Masyarakat Di Kawasan Hutan Produksi


Terbatas Air Bengkenang Kecamatan Air Nipis Kabupaten Bengkulu
Selatan Provinsi Bengkulu. Journal of Global Forest and Environmental
Science, 1(1):9-18.

Dian D. 2020. Budaya Berladang Petani Di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi


(KPHP) Batulanteh, Kabupaten Sumbawa. Jumal Agroforestri Indonesia.
3(1):19-28.

Diana R, Andani L. 2020. Keragaman Jenis Liana pada Tutupan Kanopi berbeda di
Hutan lindung sesaot di Lombok barat. Jurnal Penelitian Ekosistem
Dipterokarpa, 6(2):149-156.
Dipokusumo B. 2015. Model Partispatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan
Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Pada
Kawasan Hutan Lindung Di Pulau Lombok). Jurnal Agrikultur, 1(4):35-
48.
Doria C, Safe’i R, Iswandaru D, Kaskoyo H. 202I. Analisis Kesehatan0 Hutan
Repong Damar Berdasarkan Indikator Produktivitas. Jurnal Hutan Pulau-
Pulau Kecil, 5(1): 14-27.
Dorren. 2014. Integryty, stability and management of protection forests in the
European Alps. Journal of Forest Ecology and Management, 2(1); 38-42.

Emda A. 2015. Pemanfaatan Madia dalam Pembelajaran Biologi Sekolah. Jurnal


Ilmiah Didaktika, 12(1):149-162.

Falah F. 2017. Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan Beberapa Hutan


Produksi. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 4(1):1-19.

Ginoga K, Mega L, Deden D. 2015. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi.


Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, 2(2):1-4.
Hamid I. 2017. Pengertian Pemeliharaan Tanaman Dan Bertujuan Memperpanjang
usia kegunaan aset Pemeliharaan Tanaman Jurnal Agribisnis Pertanian,
5(2):75-81.

Hastuti AR. 2021. Mengenal Budidaya Tegakan Hutan Melalui Pemanfaatan Media
Informasi. Jurnal Jupiter, 14(1): 66-71.
44

Hendro H, Ariyanto S, Sudjianto U. 2021. Pemberdayaan Masyarakat Melalui


Penerapan Agroforestry pada Lahan Kritis di Desa Wonosoco Kecamatan
Undaan Kabupaten Kudus. Muria Jurnal Layanan Masyarakat, 3(2):111-
118.
Hidayat S. 2014. Kondisi vegetasi di hutan lindung Sesaot, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat, sebagai informasi dasar pengelolaan
kawasan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 3(2), 97-105.
Hidayat S. Kondisi Vegetasi Di Hutan Lindung Sesaot, Kabupaten Lombok Barat
Sebagai Informasi Dasar Pengelolaan Kawasan. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 3(2):97-105.
Irawan H, Istikorini Y, Sari OY. 2020. Survey dan Identifikasi Penyebab Penyakit
Damping Off pada Sengon (Paraserianthes falcataria) di Persemaian
Permanen IPB. Jurnal Sylva Lestari, 8(1): 32-41.
Jamilah J. 2013. Pengaruh Penyiangan Gulma dan Sistem Tanam terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Sawah (Oriza sativa L). Jurnal
Agrista, 17(1): 28-32.

Kasih KR. 2015. Pelatihan Pembuatan Persemaian Dan Cabutan Anakan Alam di
Kampung Kasih Kabupaten Sorong. Jurnal Penelitian, 8(12): 11-17.
Kosasih P. 2013. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan pada Introduksi
Jenis Pohon Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Bogor: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam,
11(3):87-99.
Kovertina J, Hariri M, Husaini I. 2016. Pengujian Kualitas Bibit Acacia mangium
dan Falcataria falcata di Unit Persemaian Permanen Bpdas Citarum
Ciliwung. Gorontalo Journal of Forestry Research, 5(2): 59-69.
Kristin Y, Qurniaty R, Kaskoyo H. 2018. Interaksi Masyarakat sekitar Hutan
terhadap Pemanfaatan Lahan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman.
Jurnal Sylva Lestari, 6(3): 1-8.

Kuncari ES. 2015. Keanekaragaman Tumbuhan Pangan Di Hutan Dataran Rendah


Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser. Jurnal Ekowisata, 5(1): 21-24.
Kurniawan B. 2016. Pengelolaan Bersama Kawasan Hutan Sesaot Berbasis
Masyarakat. Jurnal Sangkareang Mataram, 2(2):49-58.
Mansur I, Kadarisman MI. 2019. Teknik Pembibitan Kayu Putih (Melaluca
cajuputi) Secara Vegetatif Di Persemaian Perusahaan Batubara PT Bukit
Asam (Persero) Tbk. Journal of Tropical Silviculture, 10(1): 21-28.
Muslim A, Suwandi S, Umar MY. 2018. Serangan Penyakit Rebah Kecambah
Tanaman Cabai pada Tanah yang Berasal dari Persemaian Tanaman Petani
di Lahan Rawa Lebak Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal
Lahan Suboptimal, 7(1): 80-87.
45

Mustafa W, Cornelia W, Fransina L. 2019 Identifikas Jenis Penyakit pada Tanaman


Jati. pada Hutan Tanaman Rakyat Dusun Telaga Kodok, Provinsi Maluku.
Jurnal Hutan Tropis 7(2):181-189.
Nasir BH, Lakani I, Monde A. 2019. Penerapan Teknologi Usahatani Konservasi
Terpadu Pada Daerah Rawan Longsor untuk Pengembangan Pertanian
Berkelanjutan dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Kecamatan
Gumbasa Kabupaten Sigi. Jurnal Pengabdian Masyarakan Universitas
Tadulako, 7(1):55-61.

Nilam S. 2014. Kondisi Tempat Tumbuh Keruing (Dipterocarpus spp) Di Kawasan


Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Louser, Sumatera Utara.
Jurnal Penelitian Dipterokarpa, 8(2): 65-72.
Ningsih E. 2014. Macam Macam Teknik Budidaya terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman pada Tanaman Padi (Oryza sativa). Jurnal Agroland,
21(1): 62-68.
Oktaviyani ES., Indriyanto I, Surnayanti S. 2017. Identifikasi Jenis Tanaman Hutan
Rakyat dan Pemeliharaannya di Hutan Rakyat Desa Kelungu Kecamatan
Kota Agung Kabupaten Tanggamus. Jurnal Sylva Lestari, 5(2):63-67.
Panggabean SM, Purnowo P. 2017. Manajemen Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit
di Agro Estate, Kalimantan Tengah. Agrohorti, 5(3): 316-324.
Pratiwi L, Safe’i, R. 2018. Penilaian Vitalitas Pohon Jati dengan Forest Health
Monitoring di KPH Balapulang. Ecogreen, 4(1), 9-15.

Qodriyatun A. 2015. Analisis Kebijakan Daerah Dalam Rangka Pengelolaan Hutan


Produksi di Lombok barat. Jurnal warta rimba, 2(2):171-174.
Rahayu SM, Andini SC. 2020. Arecaceae Di Hutan Sesaot, Pulau Lombok. Lombok
Journal of Science, 2(1):1-6.

Redi V. 2017. Kegiatan Penanaman Hutan Tanaman Produksi. Jurnal Sylva


Indonesia, 3(2):54-63.
Reyansyah A 2017. Faktor Yang Harus Diperhatikan Dalam Pemeliharaan Tanaman
Jurnal Ilmiah Terapan Budidaya dan Pengelolaan Tanaman Pertanian dan
Perkebunan. 6(2):50-55.
Rhoidah IS. 2013. Manfaat Penggunaan Pupuk Anorganik untuk Kesuburan Tanah.
Jurnal Universitas Tulungagung Bonorowo, 1(1): 30-42.
Risma AS, Husamah, D Fatmawati, A Fauzi, F Jaya. 2020. Structure and
Composition of Vegetation in Sesaot Protected Forest Nature Tourism in
West Lombok-West Nusa Tenggara. Journal of Biotechnology and
Biodiversity, 4(2): 89-105.
Sabri Y. 2017. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dari Sabut Kelapa dan
Bokashi Cair dari Kotoran Ayam terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi
Caisim ( Brassica juncea L.). Jurnal Pertanian Faperta UMSB, 1(1): 35-
42.
46

Safe I, Rahmat A. 2020. Kajian Kesehatan Hutan dalam Pengelolaan Hutan


Konservasi. Ulin Jurnal Hutan Tropis, 4(2): 70-76.

Sari N. 2014. Kondisi Tempat Tumbuh Pohon Keruing (Dipterocarpus spp) Di


Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera
Utara. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa, 8(2), 65-72.
Setiawan B, Indriyanto, Afif B. 2020. Pemeliharaan Tegakan Hutan Oleh Petani
Kemasyarakatan Beringin Jaya, Kphl Kota Agung Utara, Tanggamus.
Jurnal Sylva Tropika, 4(1): 241-253.
Shavira RA, Husamah, Fatmawati D, Fauzi A, Miharja F. 2020. Structure and
Composition of Vegetation in Sesaot Protected Forest Nature Tourism in
West Lombok. Journal of Biotechnology and Biodiversity, 4(2):89-105.

Simanunllang 1, Gunawan H. 2013. Telaah Sejarah Kebijakan Pengelolaan Taman


Nasional di Indonesia. Jurnal Pengembangan IT, 1(1): 1-10
Sri R. 2013. Analisis Reklamasi Tambang Batukapur Di Kecamatan Bungoro
Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Geomine, 5(2): 14-
19.
Suhartati A, and Nursyamsi D. 2016 "Dosis Pupuk dan Asal Bibit terhadap
Pertumbuhan Jati." Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 3(3):193-200.
Surachman IF, Hariri AM. 2014. Inventarisasi hama persemaian di hutan tanaman
rakyat desa ngambur Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten
Lampung Barat. Jurnal Sylva Lestari, 2(2): 7-16.
Surnayanti S, Tsani K, Santoso T. 2022. Kerapatan Jenis Tanaman dan
Pemeliharaan Lahan Agroforestri di Hkm Maju Jaya Desa Hujung,
Lampung Barat. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil, 6(2): 149-158.
Syahputra H, Jamilah M, Saputra S. 2022. Tingkat Keberhasilan Kegiatan
Pengayaan pada Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Taman Hutan
Raya Pocut Meurah Intan, Aceh. jurnal Lingkungan Almuslim, 1(2): 1-8.

Toga K. 2013. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi. Jurnal Penelitian


Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 2(2):169-194.
Tuhuteru S, Mahanani A, Rumbiak RE. 2019. Pembuatan Pestisida Nabati untuk
Mengendalikan Hama dan Penyakit pada Tanaman. Jurnal Pengabdian
Kepada Masyarakat, 25(3): 135-143.
Utama, RC, Dewi, BS 2018. Persemaian dan Pemanenan Kayu di Perum Perhutani
Divisi Regional 1 Jawa Tengah. Jurnal Penelitian, 7(6) :17-22.

Anda mungkin juga menyukai