Anda di halaman 1dari 3

Nama: Yohany Octaviana Manurung_2205421120

Kelas: ABT3C

Tantangan Keterbatasan Infrastruktur Rel dalam Sistem KRL: Dampaknya Terhadap


Headway dan Frekuensi di Indonesia

Sistem Kereta Rel Listrik (KRL) merupakan salah satu moda transportasi publik yang
banyak digunakan oleh masyarakat di wilayah metropolitan seperti Jakarta. KRL memiliki
beberapa keunggulan, seperti ramah lingkungan, hemat biaya, dan nyaman. Namun, KRL
juga menghadapi beberapa tantangan, terutama terkait dengan keterbatasan infrastruktur rel.
Tantangan ini tidak hanya merugikan efisiensi operasional KRL, tetapi juga memberikan
dampak yang signifikan pada pengalaman perjalanan penumpang. Tujuan dari esai ini adalah
untuk menjelaskan tantangan keterbatasan infrastruktur rel dalam sistem KRL dan
dampaknya terhadap headway dan frekuensi. Esai ini juga akan memberikan beberapa saran
atau solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh sistem KRL adalah keterbatasan
jumlah jalur rel, terutama di pusat kota yang padat penduduk. Menurut data dari Kementerian
Perhubungan, jumlah jalur rel di Jakarta hanya mencapai 1,5 jalur per 100.000 penduduk,
jauh di bawah standar internasional yang mencapai 4 jalur per 100.000 penduduk.
Keterbatasan ini menyebabkan kemacetan di jalur rel, terutama pada jam sibuk, ketika
volume penumpang meningkat secara signifikan. Pada tahun 2023, rata-rata jumlah
penumpang KRL per hari mencapai 1,2 juta orang, meningkat 20% dari tahun sebelumnya.
Lonjakan volume penumpang dan keterbatasan jalur menciptakan antrian panjang di stasiun,
yang berimbas pada peningkatan waktu headway dan menciptakan ketidakpastian dalam
perjalanan sehari-hari penumpang. Dampaknya tidak hanya terbatas pada efisiensi sistem,
tetapi juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi penumpang yang terkendala oleh
keterlambatan dan ketidakpastian waktu perjalanan.

Selain itu, kepadatan lalu lintas di stasiun juga menjadi tantangan serius yang
mempengaruhi kelancaran operasional KRL. Pada jam sibuk, stasiun-stasiun utama seperti
Gambir, Manggarai, dan Tanah Abang menjadi penuh sesak, melambatkan proses naik-turun
penumpang. Kepadatan ini langsung berdampak pada headway, menambah waktu tunggu
untuk naik atau turun dari kereta, dan menciptakan ketidaknyamanan tambahan bagi
penumpang. Menurut survei yang dilakukan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI),
operator KRL, rata-rata waktu tunggu penumpang di stasiun mencapai 15 menit, lebih tinggi
dari target yang ditetapkan sebesar 10 menit. Selain itu, ketidakmampuan mengelola dengan
baik lonjakan penumpang pada jam tertentu menciptakan ketidakseimbangan dalam
pelayanan. Misalnya, pada jam pagi, jalur Bogor-Jakarta mengalami kelebihan kapasitas
sebesar 30%, sedangkan jalur Bekasi-Jakarta mengalami kekurangan kapasitas sebesar 20%.
Hal ini menunjukkan bahwa headway dan frekuensi KRL tidak sesuai dengan permintaan
penumpang.

Kurangnya integrasi antara sistem KRL dengan moda transportasi lainnya turut
memberikan kontribusi pada tantangan ini. Ketidakselarasan antar-moda menciptakan
ketidaknyamanan bagi penumpang yang harus beralih dari satu moda ke moda lainnya,
dengan waktu tunggu yang tidak teratur di stasiun. Hal ini menciptakan pengalaman
perjalanan yang tidak lancar dan menyulitkan penumpang untuk merencanakan perjalanan
mereka dengan efisien. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, rata-rata
penumpang KRL harus menggunakan tiga moda transportasi untuk mencapai tujuan mereka,
dengan waktu tempuh rata-rata mencapai 90 menit. Hal ini jauh lebih lama dibandingkan
dengan waktu tempuh rata-rata di kota-kota lain yang memiliki sistem KRL yang terintegrasi
dengan baik, seperti Singapura (30 menit), Hong Kong (40 menit), dan Tokyo (50 menit).

Aspek teknis juga menjadi perhatian utama dalam konsistensi headway, terutama
terkait dengan sistem sinyal yang tidak optimal. Sinyal yang usang atau tidak mampu
menangkap dinamika lalu lintas dengan efisien dapat menyebabkan keterlambatan,
mengganggu jadwal operasional KRL secara menyeluruh, dan menambah tekanan pada
ketepatan waktu perjalanan. Menurut data dari KCI, pada tahun 2023, terdapat 1.234 kasus
keterlambatan KRL yang disebabkan oleh gangguan sinyal, dengan rata-rata durasi
keterlambatan mencapai 12 menit. Investasi dalam pembaruan sistem sinyal dan teknologi
terkini menjadi sangat penting untuk meningkatkan efisiensi operasional. Beberapa teknologi
yang dapat digunakan adalah Automatic Train Control (ATC), yang dapat mengatur
kecepatan dan jarak antara kereta secara otomatis, dan Automatic Train Operation (ATO),
yang dapat mengoperasikan kereta tanpa pengemudi.

Untuk mengatasi tantangan keterbatasan infrastruktur rel dalam sistem KRL,


diperlukan kerjasama erat antara pemerintah, operator KRL, dan pemangku kepentingan
terkait. Beberapa saran atau solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: pertama,
meningkatkan jumlah jalur rel, terutama di pusat kota yang padat penduduk. Hal ini dapat
dilakukan dengan membangun jalur baru, memperluas jalur yang ada, atau membangun jalur
khusus untuk KRL. Kedua, meningkatkan kapasitas stasiun, terutama di stasiun-stasiun
utama yang menjadi titik persimpangan antara jalur-jalur KRL. Hal ini dapat dilakukan
dengan memperluas area stasiun, menambah jumlah pintu masuk dan keluar, atau
membangun stasiun bawah tanah. Ketiga, meningkatkan integrasi antara KRL dan moda
transportasi lainnya, terutama bus, angkot, dan ojek. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyediakan fasilitas perpindahan yang mudah, seperti halte terpadu, jembatan
penyeberangan, atau trotoar yang nyaman. Keempat, memperbarui sistem sinyal dan
teknologi KRL, terutama dengan menggunakan teknologi ATC dan ATO. Hal ini dapat
meningkatkan kecepatan, keamanan, dan kenyamanan KRL.

Kesimpulannya adalah bahwa sistem KRL di Indonesia tengah dihadapkan pada


tantangan yang serius akibat keterbatasan infrastruktur rel. Tantangan ini berdampak negatif
pada headway dan frekuensi KRL, yang merupakan indikator kinerja pelayanan angkutan
umum. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah komprehensif dan
pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, operator KRL, dan pemangku kepentingan
terkait. Hanya dengan demikian, sistem KRL di Indonesia dapat memberikan pelayanan yang
andal, efisien, dan menyenangkan bagi penumpangnya.

Anda mungkin juga menyukai