Anda di halaman 1dari 17

Metode Ilmiah

 Metode ilmiah sejatinya adalah landasan


utama epistemologi ilmu pengetahuan
 Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar. Atau dengan kata lain metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu.
 Dengan demikian dapat kita katakan juga
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah
 Metode, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu yang mempunyai langkah‐langkah secara
sistematis (Senn, 1971 dalam Jujun,2000)
 Metodologi merupakan suatu pengkajian /ilmu dalam
mempelajari peraturan‐peraturan dalam metode tersebut
 Dengn demikian metodologi ilmiah adalah pengkajian dari
peraturan‐peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah
 Metodologi secara filsafati termasuk dalam epistemologi
yang merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan; apakah sumber‐sumber
pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang
lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan
untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?
(Jujun, 2000)
Proses Kegiatan ilmiah

 T: Kapan proses kegiatan ilmiah dimulai?


 J: Ketika manusia mengamati sesuatu
 T: Mengapa manusia mengamati sesuatu?
 J : karena manusia mempunyai perhatian terhadap
obyek tersebut
 John Dewey: “ perhatian terhadap suatu obyek
dinamakan permasalahan atau adanya kesukaran
yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam
pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan”
 Dan pertanyaan tersebut timbul disebabkan oleh
adanya kontak manusia dengan dunia empiris
 Bahwa manusia menghadapi masalah, atau
bahwa menyadari adanya masalah dan
bermaksud untuk memecahkannya, hal ini
bukan sesuatu yang buruk.
 Namun dalam menghadapi masalh ini manusia
memberikan reaksi yang berbeda‐beda sesuai
dengan perkembangan cara berfikir masing‐
masing.
 Dalam menghadapi permasalahan, manusia
memiliki sikap budaya yang terbagi menjadi tiga
tahap yakni mistis, ontologis, dan fungsional (Van
Peursen, dalam Jujun, 2000)
Tahapan manusia mensikapi
permasalahan
 Tahap mistis; sikap manusia yang merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan‐kekutan gaib di sekitarnya
 Tahap ontologis; sikap manusia yang tidak lagi
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan‐
kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari
obyek di sekitarnya serta memulai melakukan
telaah‐telaah terhadap obyek tersebut
 Tahap fungsional; terbebaskan dari kepungan
kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan
berkenaan obyek tersebut serta dapat
memfungsikan pengetahuan tersebut untuk
kepentingan dirinya
Telaah kita!
 Sesungguhnya ilmu mulai tumbuh dalah tahapan ontologis,
mengapa?
 Karena pada tahapan ini, manusia dalam menghadapi
permasalahan tertentu sudah menentukan jarak dan batas‐
batas eksistensi masalah tersebut yang memungkinkan
manusia dapat mengenai wujud masalah itu, untuk
kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya.
 Dalam usaha memecahkan masalah tersebut, maka ilmu
tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pikiran
yang berdasarkan penalaran
 Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai permasalah
yg dihadapi yang kemudian memahami hakikatnya dan
mencari pemecahannya.
Telaah …

 Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang


dikajinya hanya pada masalah yg terdapat dalam
ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia
 Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hari
kemudian atau surga dan neraka, yang berada di
luar pengalaman manusia
 Hal ini harus disadari, karena hal inilah yang
memisahkan wilayah ilmu dan agama. Sehingga
anggapan banyak orang bahwa agama berbeda
dengan ilmu!
 Setujukah saudara ?
Tugas Kelompok

 Buatkan makalah tentang hubungan antara


agama dan ilmu pengetahuan
 Makalah bersumber dari sumber‐sumber
terkini, minimal 5 refrensi dan hasil diskusi
kelompok saudara
 Satu kelompok terdiri dari 5 orang
 Tebal naskah maksimal 10 halaman, ditulis di
kertas A4 dengan kaidah penulisan ilmiah
 Naskah dilengkapi dengan power point untuk
presentasi kelompok
Teori Ilmiah

 ilmu dimulai dengan suatu fakta dan diakhiri


dengan fakta, hal ini dikarenakan masalah yang
dihadapi ilmu adalah persoalan yang nyata maka
jawabannya ada pada dunia yang nyata pula.
 Dengan demikian perlu adanya penghubung
antara kedua hal tersebut , dan jembatan
penghubung diantara keduanya adalah “teori”
 Teori yg dimaksud adalah penjelasan mengenai
gejala yg terdapat dalam dunia fisik tersebut
 Teori merupakan suatu abstraksi intelektual
dimana pendekatan secara rasional
digabungkan dengan pengalaman empiris
 Artinya, teori ilmu merupakan suatu
penjelasan rasional yg berkesesuaian dengan
obyek yg dijelaskannya.
 Suatu penjelasan, biar bagaimanapun
meyakinkan,tetap harus didukung oleh fakta
empiris hingga dapat dikatakan benar.
 Secara rasional maka ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara
pengetahuan yg sesuai dengan fakta dengan yg
tidak.
 Secara sederhana, semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat utama yakni:
1. Harus konsisten dengan teori‐teori sebelumnya, yg
memungkinkan tidak terjadi kontradiksi dalam teori
secara keseluruhan
2. Harus cocok dengan fakta‐fakta empiris,
 Jadi, logika ilmiah merupakan gabungan antara
logika deduktif dan logika induktif, dimana
rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan
dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.
 Dengan demikian, sebelum teruji kebenarannya
secara empiris semua penjelasan rasional yg
diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara.
 Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis,
yang merupakan dugaan atau jawaban sementara
terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.
 Pada dasarnya hipotesis disusun secara deduktif
dengan mengambil premis‐premis dari pengetahuan
ilmiah yg sudah diketahui sebelumnya.
 Dengan adanya jembatan berupa penyusunan
hipotesis ini, maka metode ilmiah sering dikenal
sebagai proses logico‐hypothetico‐verifikasi;
“perkawinan yg berkesinambungan antara deduksi
dan induksi”
Alur befikir dalam metode
Ilmiah
1. Perumusan masalah; yg merupakan pertanyaan
mengenai obyek empiris yang jelas batas‐batasnya
serta dapat diidentifikasikan faktor‐faktor yg
terkait di dalamnya
2. Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan
hipotesis; merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yg mungkin terdapat
antara berbagai faktor yg saling mengkait dan
membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan
premis‐premis ilmiah yg telah teruji kebenarannya
dengan memperhatikan faktor‐faktor empiris yg
relevan dengan permasalahan
Alur befikir dalam metode
Ilmiah
3. Perumusan hipotesis; merupakan jawaban
sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yg
diajukan yg materinya merupakan kesimpulan dari
kerangka berfikir yg dikembangkan
4. Pengujian hipotesis; merpakan pengumpulan fakta‐
fakta yang relevan dengan hipotesis yg diajukan
untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta‐
fakta yg mendukung hipotesis tersebut
5. Penarikan kesimpulan; merupakan penilaian apakah
sebuah hipotesis ditolak atau diterima. Jika
terdapat fakta yang cukup maka diterima, begitu
juga sebaliknya ditolak jika fakta tidak mendukung.
 Hipotesis yg diterima kemudian dianggap
menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah
sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan
yakni mempunyai kerangka penjelasan yg
konsisten dgn pengetahuan ilmiah
sebelumnya dan telah teruji kebenarannya
 Kebenaran yg dimaksud harus dipahami
secara pragmatis artinya bahwa sampai saat
ini belum terdapat fakta yg menyatakan
sebaliknya
Perumusan Masalah

Deduksi
Khasanah Peng. Ilmiah Perumus. Ker. Berpikir
Koherensi

Perumusan Hipotesis
Korespondensi

Induksi

Diterima Pengujian Hipotesis Ditolak


Simpulan!

 Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya ilmu


merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun
secara konsisten dan kebenarannya telah teruji
secara empiris
 Hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian
dalam ilmu tidak bersifat absolut, artinya bila ada
kumpulan fakta yg menolak hipotesis yg selama ini
kita anggap benar.
 Jadi pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita
terima selama tidak didapatkan fakta yg menolak
hipotesis tersebut, hal ini merupakan dimensi baru
pada hakikat ilmu yakni sifat pragmatis dari ilmu

Anda mungkin juga menyukai