Anda di halaman 1dari 10

CHARISTHEO Print ISSN: 2808-8735

Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Online ISSN: 2808-4454


Sekolah Tinggi Teologi Anugrah Indonesia Vol. 2 No. 1, September 2022
http://e-journal.anugrah.ac.id/index.php/JCH

Submitted: 2022-05-18 Reviewed: 2022-05-23 Accepted: 2022-07-15

KONSEP KRISTOLOGI PAULUS


(KEILAHIAN DAN KEMANUSIAAN YESUS)

ABSTRACT
This abstract examines the Pauline concept of Christology, highlighting the duality of the Divinity
and Humanity of Jesus. The research background reflects the theological complexity of Paul and the
significance of understanding his views within the Christian tradition. The aim of this study is to
analyze and delineate Paul's concept of Christology with a focus on the dual nature of Jesus as both
Divine and Human. The method employed is a qualitative literature review approach, involving the
analysis of Pauline texts in the New Testament as well as interpretations from theologians and
biblical scholars. The findings indicate that Paul presents Jesus as a figure simultaneously possessing
divine and human attributes. In conclusion, Pauline Christology offers a profound understanding of
the identity of Jesus Christ, serving as the foundation for Christian faith and practice. This research
makes a significant contribution to expanding theological and spiritual understanding within the
Christian tradition.
Keywords: Christology; Paul; Divinity and Humanity of Jesus

ABSTRAK
Abstrak Artikel ini mengkaji konsep Kristologi Paulus yang menyoroti dualitas Keilahian dan
Kemanusiaan Yesus. Latar belakang penelitian mencerminkan kompleksitas teologis Paulus dan
pentingnya pemahaman terhadap pandangan tersebut dalam tradisi Kristen. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis dan menguraikan konsep Kristologi Paulus dengan fokus pada dualitas
Keilahian dan Kemanusiaan Yesus. Metode yang digunakan adalah pendekatan studi pustaka
kualitatif, yang melibatkan analisis teks-teks Paulus dalam Perjanjian Baru serta interpretasi dari para
teolog dan ahli Alkitab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Paulus menyajikan Yesus sebagai
sosok yang simultan memiliki sifat ilahi dan manusiawi. Kesimpulannya, konsep Kristologi Paulus
menawarkan pemahaman mendalam tentang identitas Yesus Kristus yang menjadi dasar bagi iman
dan praktik Kristen. Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memperluas pemahaman
teologis dan spiritual dalam tradisi Kristen. (kesimpulan harap spesifik bukan mengulang
pembahasan)
Kata-kata kunci: Kristologi, Paulus, Keilahian dan Kemanusiaan Yesus

1
Copyright© 2022; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
XXX

PENDAHULUAN
Perdebatan tentang Kristologi sudah terjadi sejak abad ke-4 yang diawali dengan
pemahaman konsep Tritunggal, kemudian disusul dengan perdebatan konsep Kristologi
(Dister, Nico Syukur, 2008). Perdebatan Kristologi yang penulis maksud di sini adalah
perdebatan yang menyangkut masalah tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus. Jika
membaca surat-surat Paulus, maka kita bisa melihat dengan jelas pemikiran Paulus
tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus. Filipi 2:5-11, Paulus menulis bahwa Yesus
setara dengan Allah (ay. 6), Yesus adalah Tuhan (ay. 11), dan Yesus mengosongkan
diri, mengambil rupa hamba, dan menjadi sama dengan manusia (ay. 7). Yesus adalah
gambar Allah (Kol. 1:15). Paulus percaya pada menyatakan keilahian dan kemanusiaan
Yesus, dalam arti Yesus yang adalah sehakikat dengan Allah. Metode yang digunakan dalam
penulisan adalah studi pustaka dalam upaya mengumpulkan data pemikiran Paulus tentang
keilahian dan kemanusiaan. Tujuan penulisan adalah supaya kita orang yang percaya
tidak dibingungkan dengan perdebatan doktrin keilahian dan kemanusiaan Yesus
yang masih ada sampai saat ini.
Permulaan pPerdebatan kKeilahian dan kKemanusiaan Yesus dimulai pada abad
pertama gereja mula-mula diperhadapkan pada suatu persoalan: 1) Pengakuan dari ajaran
Yahudi yang mengatakan bahwa Allah itu adalah esa. 2) Pengakuan bahwa Yesus adalah
Allah. Gereja bergumul antara percaya pada keesaan Allah yang menekankan pada ajaran
Bapa, Anak, dan Roh Kudus seolah-olah dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja, atau
percaya pada Tritunggal yang menekankan ajaran Bapa, Anak, dan Roh Kudus— ketiganya
seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan (Hadiwijono, Harun, 2010).
Pada abad ketiga muncullah Praxeas, yang mengajarkan bahwa Allah adalah Roh,
yang juga disebut Bapa. Allah telah mengenakan daging atau menjadi manusia, yang disebut
sebagai Anak (Yesus). Bapa dan Anak menjadi satu, dalam arti sang manusia Yesus (yang
daging adanya) adalah Anak, sedangkan Kristusnya (yang Roh adanya) adalah Bapa
(Hadiwijono, Harun, 2010). Praxeas juga mendukung keesaan Allah dan melepaskan
Tritunggal. Pemikiran ini pun dilakukan oleh Sabellius, mengajarkan Allah adalah esa—
Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan diri Allah dalam
keesaan-Nya. Allah menampakkan diri-Nya dalam wajah Bapa sebagai pencipta dan pemberi
hukum; dalam wajah Anak sebagai Juruselamat— dimulai dari kelahiran Yesus sampai Dia
naik ke surga, lalu dalam wajah Roh Kudus sejak hari Pentakosta (Hadiwijono, Harun,
2010).
Pada waktu itu juga muncul pemikir Kristen yang mencoba mempertahankan
Tritunggal dan melepaskan keesaan Allah, seperti Paulus dari Samosata. Paulus
mengatakan bahwa Allah hanyalah satu pribadi saja, tetapi di dalam diri-Nya dapat
dibedakan antara Logos (Firman) yang disebut Anak, dan Hikmat yang disebut Roh Kudus.
Logos bukanlah suatu pribadi, tetapi suatu kekuatan yang telah bekerja dalam Perjanjian
Lama (PL) dalam diri Musa dan para nabi, dan juga bekerja dalam diri Yesus yang adalah
manusia (Hadiwijono, Harun, 2010).
Pemikiran yang sama juga dilakukan oleh Origenes. Origenes percaya Tritunggal,
Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus secara abadi adalah tiga ‘hypostasis’ dalam
keberadaannya. Sifat ketiganya Allah adalah bagian dari tabiat kekal-Nya, bukan sesuatu

2
Copyright© 2021; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
Judul artikel

yang timbul kemudian. Namun, menurut Origenes Tritunggal itu bertingkat— Allah Bapa
lebih besar dari Anak Allah (Yesus), dan Yesus lebih lebih besar daripada Roh Kudus (Lane,
Tony, 2009). Yesus adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal Dia dilahirkan dari
Allah. Dia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, karena itu bisa dikatakan Dia satu
dengan Allah (Yesus adalah Allah), hanya saja karena Dia dilahirkan dari zat ilahi (keluar
dari Allah) maka Dia lebih rendah (Hadiwijono, Harun, 2010). Hanya Bapa adalah yang
merupakan Allah sejati.
Demikianlah permasalah persoalan yang dihadapi oleh gereja mula-mula, hingga
sampai pada Konsili Nicea (325). Konsili Nicea diadakan sebagai reaksi atas ajaran-ajaran
Arius (Hadiwijono, Harun, 2010). Arius adalah seorang Presbyterian dari Alexandria.
Pemikiran Arius dipengaruhi oleh Origenes. Arius memperdalam pemikiran Origenes
dengan memusatkan pemikirannya pada monoteisme radikal dan menyimpulkan bahwa
hanya Allah Bapa adalah Allah sejati. Namun, Arius tidak percaya pada hierarki pribadi-
pribadi ilahi, seperti yang dipercaya Origenes. Arius percaya bahwa melalui Yesus segala
sesuatu diciptakan, tetapi Yesus hanyalah ciptaan dari yang tidak ada, bukan Allah. Sebagai
makhluk Yesus berarti tidak kekal, tapi mempunyai awal. Artinya pernah ada waktu Dia
tidak ada (Hadiwijono, Harun, 2010).
Pemikiran Arius ini ditentang oleh uskupnya sendiri, yaitu Aleksander. Dia meminta
pertimbangan dari uskup-uskup dari Timur dan mendapat dukungan dari beberapa pengikut
Origenes, seperti Eusebius dari Kaisarea (Hadiwijono, Harun, 2010). Pada tahun 324, ketika
Konstantinus menjadi kaisar di Timur dan Barat, dia memutuskan untuk mengadakan
Konsili Nicea pada bulan Juni tahun 325 di bawah pimpinannya. Ada sekitar 220 uskup yang
hadir, dan kebanyakan dari Timur. Konsili mengutuk Arius dan menyusun pengakuan iman
anti-Arius (Pengakuan Iman Nicea), sebagai berikut:
“Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi,
segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak
Allah yang Tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari Allah,
terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat
dengan Sang Bapa … dst. Aku percaya kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan yang
menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak … dst.” (Hadiwijono, Harun,
2010).
Konsili ini mempertahankan Tritunggal dalam keesaan dan keesaan dalam
Tritunggal, dengan penekanan pada keilahian Yesus yang sehakikat (homoousios) dengan
Bapa. Pengikut Origenes dan sebagian besar wakil-wakil dari Timur berpendapat
penggunaan istilah homoousios kurang tepat, karena bisa membawa pada dua sikap yang
ekstrim, yaitu pada pandangan yang melihat Allah sebagai yang materialis dibagi tiga, dan
juga membawa pada pandangan Monarkianisme— peleburan pribadi Bapa, Anak, dan Roh
Kudus (Lane, Tony, 2009).
Pertentangan itu akhirnya disambut baik oleh Athanasius dan beberapa orang dari
kelompok Nicea dengan sikap berdamai dengan kombinasi pandangan homoousios Nicea
(Anak Allah adalah sehakikat dengan Sang Bapa) dan pernyataan Origenes bahwa Allah
adalah tiga hypostasis. Versi kombinasi ini disebarkan oleh Bapa-bapa Kapadokia dan
diterima sebagai ortodoks yang tepat pada Konsili Konstantinopel tahun 381 (Lane, Tony,
2009).

3
Copyright© 2022; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
XXX

Perdebatan tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus tidak berhenti sampai di sini
saja. Perdebatan itu terus berlanjut, seperti pemikiran Cyrillus dari Aleksandria yang
mengatakan bahwa Yesus bukanlah manusia yang dipersatukan dengan Allah Firman,
melainkan Allah Firman yang telah menjadi manusia. Artinya Yesus sepenuhnya manusia.
Pemikiran Cyrillus ini muncul sebagai pertentangan dari pemikiran sesat Nestorius yang
mengatakan bahwa Yesus adalah manusia yang dipersatukan dengan Firman dengan cara
yang sempurna (Lane, Tony, 2009). Untuk mencari penyelesaian perdebatan ini diadakan
Konsili Efesus (431).
Theodoretus dari Kirus mendukung pemikiran Nestorius dan menentang Cyrillus.
Awalnya Theodoretus menyatakan bahwa Yesus mempunyai dua kodrat dan dua hypostasis.
Namun, kemudian dia beralih pada pandangan yang membedakan antara hypostasis atau
kepribadian-Nya yang satu dari kodrat atau hakikat-Nya yang dua, yaitu kemanusiaan-Nya
dan keilahian-Nya (Lane, Tony, 2009).
Muncul juga Eutyches, seorang rabi tua yang sangat dihormati, tinggal di
Konstantinopel. Pada tahun 448 Eutyches dituduh memberi ajaran sesat yang mencampur
kedua kodrat Yesus— Yesus menjadi semacam campuran dari keallahan dan kemanusiaan,
menjadi suatu tertium quid (sesuatu yang ketiga) yang bukan Allah dan bukan juga manusia
(Lane, Tony, 2009). Kemudian pemikiran Eutyches ini ditolak oleh Leo. Leo adalah uskup
Roma (440-461) yang dijuluki sebagai Leo Agung. Dia menulis ajaran tentang Yesus dalam
karyanya berjudul Tomus (Buku), yang ditulis untuk menolak Eutyches. Leo menekankan
bahwa Yesus mempunyai dua kodrat, yaitu keallahan dan kemanusiaan, di mana masing-
masing kodrat mempertahankan sifat-sifatnya tanpa dikurangi sedikitpun. Permasalah ini
kemudian dibahas dalam Konsili Chalcedon (451) dan menghasilkan suatu ajaran yang bisa
disimpulkan “satu oknum berkodrat dua.” Yesus adalah oknum Allah Firman yang satu dan
telah menjadi manusia. Yesus memiliki dua kodrat: sungguh-sungguh ilahi dan benar-benar
manusia (Lane, Tony, 2009).
Para Reformator pada umumnya berpegang teguh pada keputusan Chalcedon. Para
teolog Luther mengatakan bahwa kesatuan kemanusiaan Yesus mendapat bagian dari sifat-
sifat ilahi Logos. Kemanusiaan Yesus diserapi oleh keallahan-Nya. Calvin menekankan pada
perbedaan antara dua tabiat Yesus di dalam kesatuan pribadi-Nya Hadiwijono, Harun, 2010).
Perbedaan pemikiran tentang keilahian dan kemanusian Yesus masih terus berlanjut
sampai sekarang ini. Perlu disadari bahwa pembahasan in buka sesuatu yang mudah untuk
dijelaskan, apalagi berhubungan dengan dasar iman Kristen. Pada tulisan ini kita akan
melihat bagaimana pemikiran Paulus tentang Yesus— apakah Yesus adalah Allah, atau
Yesus adalah manusia, atau keduanya memiliki dua kodrat. ###

METODE PENELITIAN
Adapun penelitian ini kaji dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekata
studi Pustaka. Metode Penelitian kualitatif menurut Lexy J. Moleong (2017) adalah bersifat
dekskiriptif dan menggunakan pendekatan pengembangan pengertian, konsep dari temuan
fakta hingga menjadi sebuah teori ilmiah. Sementara pendekatan studi Pustaka merupakan
kumpulan sumber literatur seperti jurnal, buku, internet, dan sumber lainnya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik (Sonny Eli Zaluchu, 2020). Tahap yang dilakukan

4
Copyright© 2021; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
Judul artikel

dalam penelitian ini dimulai dari analisis tentang berbagai kontep tentang keilahian dan
kemanusiaan Yesus dari berbagai sudut pandang termasuk Paulus, kemudian peneliti
mengumpulkan sumber-sumber yang pendukung, peneliti juga melakukan kajian terhadap
beberapa penelitian terdahulu untuk melihat relevansinya dengan topik pembahasan dalam
penelitian yang hendak dikaji. Terdapat tiga tahap dalam proses pengolahan data untuk
mendapatkan hasil akhir penelitian ini, antara lain: reduksi data, verifikasi dan validasi.
Langkah terakhir yang peneliti lakukan adalah menarik sebuah kesimpulan tentang
penelitian ini yaitu dengan mengemukakan dan menguraikan konsep Kristologi Paulus
tentang Keilahian dan Kemanusiaan Yesus.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Latar Belakang Paulus
Paulus lahir menjelang permulaan abad pertama di kota Tarsus di wilayah Sisilia
(Kis. 21:39), sebuah kota Yunani yang menjadi salah satu pusat kebudayaan Yunani
(helenistis) ( Wahono, Wismoady, 2010). Lahir dari suku Benyamin berdarah Yahudi murni
(Flp. 3:5), putra dari seorang Farisi (Kis. 23:6), dibesarkan dalam Yudaisme ortodoks. Pada
usia sekitar tiga belas tahun, dia dikirim ke Yerusalem dan menyelesaikan studinya di bawah
Gamaliel yang terkenal (Kis. 22:3; 26:4–5). Menjadi siswa yang unggul dan bersemangat
(Gal. 1:14), dia tidak hanya mempelajari Perjanjian Lama, tetapi juga pembelajaran kerabian
dari para sarjana. Paulus juga memiliki hak istimewa karena lahir sebagai warga negara
Romawi (Kis. 22:25, 28). Dia menggunakan hak istimewanya itu untuk melawan
ketidakadilan dan untuk meningkatkan status iman Kristen, juga menjembatani jurang antara
orang bukan Yahudi dan orang Yahudi (Douglas, J. D. dan Tenney, Merrill Chapin, 1987).
Ada tiga unsur penting yang Paulus miliki, yaitu kebudayaan Yunani, kewarganegaraan
Romawi, dan agama Ibrani (ilva, Moisés, Douglas, J. D., dan Tenney, Merrill C., 2011).
Siapakah Yesus? Dalam Alkitab ada ayat-ayat yang mengatakan Yesus adalah benar-
benar manusia, tapi ada ayat-ayat lain yang mengatakan bahwa Yesus adalah Allah sendiri.
Paulus memang tidak banyak berbicara tentang kehidupan Yesus di dalam surat-suratnya
karena dia berfokus pada pengajaran dan akibat kedatangan Yesus (Wahono, Wismoady,
2010).
Dari gambaran kehidupan Paulus yang kaya akan latar belakang budaya,
kewarganegaraan, dan agama, kita dapat melihat bagaimana latar belakang ini membentuk
perspektif dan pemahaman Paulus tentang Kristus. Meskipun dia memiliki hubungan erat
dengan tradisi Yahudi dan telah dididik dengan baik dalam hal tersebut, Paulus juga
terpengaruh oleh kebudayaan Yunani dan memiliki hak istimewa sebagai warga Romawi.
Kombinasi dari ketiga unsur ini membentuk landasan yang kuat bagi pengajaran Paulus
tentang Kristus, yang mencakup aspek-aspek kemanusiaan dan keilahian-Nya. Meskipun
Paulus tidak terlalu banyak membahas kehidupan Yesus secara rinci dalam surat-suratnya,
fokusnya pada pengajaran dan akibat kedatangan Kristus menunjukkan pentingnya
penghayatan akan karya penyelamatan Kristus bagi umat manusia.
Pemahaman tentang identitas Yesus sebagai manusia dan Allah merupakan titik
sentral dalam teologi Paulus. Meskipun ada ayat-ayat yang menegaskan kemanusiaan Yesus,
seperti pengakuan bahwa Dia lahir sebagai manusia sejati, ada juga ayat-ayat yang
menunjukkan keilahian-Nya. Dalam hal ini, Paulus memainkan peran kunci dalam

5
Copyright© 2022; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
XXX

menyatukan dua aspek ini dalam pemikiran teologisnya. Meskipun fokusnya pada implikasi
teologis dari kedatangan Yesus, pemahaman Paulus tentang kemanusiaan dan keilahian-Nya
membentuk fondasi yang kokoh bagi pemahaman umat Kristiani tentang Kristus sebagai
penyelamat dan Tuhan. Oleh karena itu, latar belakang dan pengajaran Paulus memberikan
kontribusi penting dalam pembentukan teologi Kristiani yang terus relevan hingga hari ini.

Kemanusiaan dan keilahian Yesus menurut pandangan Paulus


Meskipun Paulus tidak terlalu banyak membahas kemanusiaan Yesus, tapi Paulus
mengetahui bahwa Yesus berasal dari keturunan Daud (Rm. 1:3). Yesus diutus oleh Allah
dalam rupa manusia ‘daging’ (Rm. 8:3)— “dalam daging yang serupa dengan daging yang
dikuasai dosa” tidak harus sama, tapi menurut naturnya dosa mengambil tempat di dalam
daging dan menandai modus keberadaan manusia sebagai daging yang dikuasai dosa.
Kedatangan-Nya adalah suatu penyataan dari apa yang saat itu tersembunyi (1Tim. 3:16).
Dia adalah Kristus, orang Israel menurut kata ‘sarka – daging’ (Rm. 9:5), dari keturunan
Daud yang sudah lama dinantikan (Rm. 1:3) (Ridderbos, Herman, 2008). Dia diutus oleh
Allah pada waktu yang sudah ditentukan, yang dilahirkan oleh seorang perempuan dan hidup
dibawah hukum Taurat (Gal. 4:4). Banyak sarjana menemukan formula pengakuan pra-
Paulus dalam ayat ini (Gal. 4:4-5), tapi itu tidak bisa dipastikan meskipun gagasan yang
digunakan Paulus ini tidak muncul di surat lain. Substansi yang ingin disampaikan di sini
sesuai dengan tema utama Galatia, pembebasan dari hukum datang hanya melalui salib
Kristus (Schreiner, Thomas R, 2010). Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, mati disalibkan
untuk menggantikan kita (Kol 1:22). Paulus juga mengetahui mengetahui keluarga Yesus, itu
terlihat saat dia menyebut Yakobus sebagai saudara Yesus (Gal. 1:19) (Guthrie, Donald,
2010). Oleh karena itu, bisa dimengerti ketika Paulus mengatakan Kristus telah mengambil
rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:7) (Hadiwijono, Harun,
2010).
Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah yang bekerja di antara manusia dan
kelihatan nyata (1Kor. 1:24). Kuasa itu terus terlihat di dalam dunia ketika injil
dikhotbahkan, orang datang untuk bertobat dan percaya. Dengan menghubungan ‘kekuatan’
dan ‘hikmat’, Paulus menunjukkan bahwa hikmat tidak hanya spekulatif, tetapi merupakan
manifestasi dari tindakan Allah (Gardner, Paul, 1 Corinthians, ed. Arnold, Clinton E., 2018).
Kalau ‘hikmat’ pada penciptaan adalah cerminan dari kekuasaan Allah dan gambaran
dari kebaikan-Nya yang tidak kelihatan, maka menurut Paulus, Kristus adalah gambaran dari
Allah yang tidak kelihatan itu “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan …” (Kol. 1:15),
“karena seluruh kepenuhan Allah berkenan di dalam Dia” (Kol. 1:19) (Wahono, Wismoady,
2002).
Sesudah kebangkitan Yesus, memang ada perubahan yang terjadi, seperti Dia bisa
masuk ke dalam kamar yang terkunci, berjalan bersama para murid tanpa dikenali, dan hal.
Namun, di satu sisi sangat jelas sesudah Yesus bangkit dari antara orang mati Dia benar-
benar manusia— tetap sama dengan keadaan-Nya sebelum Dia mati. Memang benar bahwa
Yesus adalah manusia, tapi sangat sulit bagi kita untuk mengerti segala yang dilakukan dan
dikatakan Yesus, seandainya Dia hanya sebatas manusia. Karya-Nya tentu sulit untuk
dimengerti jika hanya diukur dengan ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengukur perkataan
dan perbuatan manusia (Hadiwijono, Harun, 2010).
Menurut Grand Rapids, MI: Zondervan (2008), Roma 9:5, “… Ia adalah Allah yang
harus dipuji sampai selama-lamanya.” Pada ayat ini Paulus menegaskan kesatuan Yesus

6
Copyright© 2021; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
Judul artikel

dengan Allah Israel, artinya Kristus adalah Allah. Di ayat ini Paulus menyebut Yesus sebagai
Theos, sedangkan di ayat lain menyebut Kurios-Lord (seperti 1Kor. 8:6). Fee, Gordon D.,
(1987) menjelaskan bahwa di Korintus, Paulus ingin memberi kontras yang tajam dengan
interupsi (ay. 5b) karena ada banyak ‘dewa-dewa’ dan ‘ilah-ilah’. Paulus menyadari
penyembahan terhadap berhala itu akan mempengaruhi komunitas Korintus dan ingin
menetapkan yang benar adalah “… hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, … dan hanya ada
satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus.”
Menurut Schreiner, Thomas R., (2010), di Galatia 3:20, Paulus juga menegaskan
Allah yang esa “Seorang pengantara bukan hanya mewakili satu orang saja, sedangkan Allah
adalah satu”. Di ayat ini Paulus ingin mengontraskan keesaan Allah dan perantara— melalui
Musa, Allah memberikan hukum kepada Israel (bnd. Kel. 19–34), yang berdiri di antara dua
pihak (Allah dan umat). Deklarasi Allah adalah satu, mengingatkan salah satu prinsip dasar
Yudaisme, yaitu shema Israel (Ul. 6:4).
Hal yang sama juga ditulis dalam 1 Timotius 2:5-6, “Karena Allah itu esa dan esa
pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus,
yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada
waktu yang ditentukan.” Menurut Towner (2006), ada tiga hal penekanan pada ayat 5-6:
“First, the theme of universality and open access to salvation continues to direct the
thought. But, secondly, this is juxtaposed to exclusive theological and christological claims
that locate the means of salvation for all in a single person. Third, as theology turns to
Christology, Paul again places the heaviest accent on the humanity of Christ.”
Towner (2006) juga menjelaskan bahwa Paulus memulai dengan teologi yang
mendasari kehendak universal Allah untuk menyelamatkan. Dalam rumusan Paulus “Allah
itu esa” menghasilkan konsekuensi logis “oleh karena itu semua memiliki akses kepada
keselamatannya, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi.” Kemudian Kristologi
mengambil alih dan klaim universal melekat pada pribadi Kristus, sebagai “pengantara”
melaksanakan rencana universal dari satu Allah (ay. 5b). Menjadi sebuah paradoks yang
halus ketika satu pengantara disejajarkan langsung dengan satu Allah: “esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia.” Gambaran Yesus sebagai pengantara adalah
untuk melaksanakan kehendak universal Allah untuk menyelamatkan dia lakukan sebagai
manusia, dalam solidaritas penuh dengan kondisi manusia.
Semua terlihat jelas jika dibandingkan dengan perikop Kristologi terkenal di Filipi
2:6-8, 11 (bdk. 2Kor. 4:4, dan Kol. 1:5):
“… yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu
sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri,
dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan
sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di
kayu salib.
dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah,
Bapa!”
Menurut Fee (1995), ada dua penekanan Paulus dalam ayat 6, yaitu:
First, he is picking up on, and thereby reaffirming, what he said in the initial
participial phrase, that Christ before his incarnation was “in very nature God.” This
reaffirmation is accomplished by means of two complicated points of grammar, which
together make it clear that Paul intends the infinitive phrase (“to be equal with God”) to
repeat in essence the sense of what preceded (“being in the ‘form’ of God”).

7
Copyright© 2022; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
XXX

Second, Paul is thereby trying to set up the starkest possible contrast between
Christ’s “being in the ‘form’ of God” and the main clause, “he emptied himself.” Equality
with God, Paul begins, is something that was inherent to Christ in his pre-existence.

Menjadi jelas Fee (1995) menjelaskan bahwa Kristus dalam kepra-adaan-Nya,


Kristus sehakikat dengan Allah atau setara dengan Allah. Dalam keberadaan-Nya, yang
setara dengan Allah, Dia mengosongkan diri. Pengakuan “Yesus Kristus adalah Tuhan” (Fil.
2:11) merupakan garis pemisah antara orang percaya dan yang tidak percaya, “Sebab jika
kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu,
bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan
diselamatkan” (Rm. 10:9). Pengakuan seperti ini menurut Paulus dalam 1 Korintus 12:3,
hanya dapat datang melalui Roh Kudus; karena itu Roh Kudus memiliki peran penting dalam
pertobatan. Ini juga menunjukkan Yesus adalah sehakikat dengan Tuhan.
Ridderbos (2008) dalam tulisannya, menjelaskan sebagai berikut:
“Paulus melihat Kristus sebagai Anak Allah, bukan hanya saat Ia menyatakan diri
dalam inkarnasi tetapi bahkan sebelum dunia diciptakan, Kristus adalah Allah yang terpuji
selama-lamanya. Tetapi sebelum dunia diciptakan dan untuk selama-lamanya, Kristus yang
seperti ini juga adalah Allah-bagi-kita. Yang menjadi isi dan fondasi Kristologi Paulus,
bahkan yang terdalam sekalipun, bukan Keallahan Kristus yang terpisah dari kita, tetapi
Kristus sebagai Allah dan Anak Allah bagi kita. Ia adalah Allah yang menjadi manusia, dan
yang telah menjadi manusia. Ia adalah Gambar Allah dan ditentukan sebelumnya untuk
menjadi manusia, dan sebagai Yang Sulung dari banyak saudara, Ia membawa mereka
berbagai dalam Gambar-Nya ini (Rm. 8:29; 1Kor. 15:49; 2Kor. 3:18). Ia adalah Anak Allah
yang telah diutus (Rm. 3:8; Gal. 4:4), yang tidak disayangkan oleh Allah (Rm. 8:32), yang
lahir dari keturunan Daud (Rm. 1:3), yang mati (Rm. 5:10), yang oleh kebangkitan-Nya telah
dinyatakan sebagai Anak Allah yang berkuasa (Rm. 1:4).”
Ridderbos (2008) dalam tulisannya juga menekankan kesatuan Kristus dan Allah,
sebelum dunia diciptakan dan untuk selama-lamanya, Dia adalah Allah.
Dari penjelasan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa Konsep Kristologi Paulus
tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus memiliki relevansi yang sangat besar dalam
teologi masa kini. Meskipun Paulus tidak secara terperinci membahas kemanusiaan Yesus,
namun dia memberikan penekanan pada aspek-aspek kemanusiaan Kristus seperti keturunan
Daud dan hidup dalam rupa manusia. Ini menunjukkan bahwa pemahaman Paulus tentang
kemanusiaan Yesus turut membentuk fondasi teologi yang kuat dalam memahami hubungan
antara Allah dan manusia melalui Kristus.
Selain itu, Konsep Kristologi Paulus juga menggarisbawahi keilahian Yesus sebagai
Tuhan yang terpuji selama-lamanya. Dalam pengajaran Paulus, Kristus tidak hanya adalah
manusia biasa, tetapi Dia adalah Allah yang menjadi manusia untuk menebus umat manusia
dari dosa dan memberikan keselamatan. Pemahaman ini memperkuat keyakinan umat
Kristiani dalam kuasa dan kasih karunia Allah yang bekerja melalui Kristus, serta
menegaskan pentingnya pengakuan Kristus sebagai Tuhan dalam kehidupan iman dan
pertobatan. Dengan demikian, Konsep Kristologi Paulus tetap relevan dalam membentuk
pemahaman teologis umat Kristiani pada masa kini, mengarahkan mereka untuk hidup sesuai
dengan kehendak Allah dan menjalani kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus.

Relevansi Konsep Kristologi Paulus (Keilahian dan Kemanusiaan Yesus) dalam teologi
masa kini
8
Copyright© 2021; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
Judul artikel

Dalam konteks kehidupan kekristenan masa kini, relevansi Konsep Kristologi Paulus
mengenai Keilahian dan Kemanusiaan Yesus masih sangat penting. Paulus, salah satu tokoh
kunci dalam Perjanjian Baru, memberikan pemahaman yang mendalam mengenai identitas
Kristus sebagai manusia dan Allah secara bersamaan. Konsep ini, yang dikenal sebagai
"Kristologi Paulus," menyoroti keseimbangan antara dua sifat ini dalam pribadi Yesus
Kristus. Dalam teologi masa kini, pemahaman ini memainkan peran sentral dalam mengatasi
berbagai tantangan dan pertanyaan yang dihadapi oleh umat Kristiani.
Salah satu aspek penting dari kKonsep Kristologi Paulus adalah penekanannya pada
kemanusiaan Yesus. Paulus menegaskan bahwa Yesus, meskipun Allah yang disembah, juga
menjadi manusia sepenuhnya. Hal ini menghadirkan titik sentral dalam teologi yang
mengingatkan umat Kristiani akan pentingnya persekutuan dengan Allah yang memahami
dan berbagi dalam segala penderitaan dan keterbatasan manusia. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan beragam ini, pemahaman akan kemanusiaan Yesus membangun landasan yang
kuat bagi hubungan antarmanusia dan dengan Allah.
Sementara itu, aspek keilahian Yesus dalam kKonsep Kristologi Paulus menegaskan
keagungan dan kebesaran-Nya sebagai Tuhan. Dalam menghadapi tantangan spiritual dan
moral, penghayatan akan keilahian Yesus memperkuat iman umat Kristiani dalam kekuatan
dan otoritas-Nya. Dengan menyatukan kemanusiaan dan keilahian dalam pribadi Yesus,
Konsep Kristologi Paulus memberikan landasan yang kokoh bagi penghayatan iman yang
terintegrasi dan berkelanjutan.
Dalam teologi masa kini, relevansi kKonsep Kristologi Paulus juga termanifestasi
dalam pemahaman akan pentingnya keselamatan melalui karya Yesus Kristus. Paulus
menekankan bahwa hanya melalui Kristus manusia dapat berhubungan kembali dengan
Allah dan menerima anugerah keselamatan. Pemahaman ini memperluas perspektif umat
Kristiani mengenai kepentingan pentingnya penebusan dan kasih karunia Allah dalam
kehidupan sehari-hari.
Terakhir, kKonsep Kristologi Paulus mengingatkan umat Kristiani akan panggilan
untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus. Dengan menyatukan
kemanusiaan dan keilahian dalam diri-Nya, Yesus menjadi teladan bagi umat-Nya untuk
hidup dalam kesetiaan, kasih, dan kekudusan. Dalam menanggapi berbagai perubahan dan
tantangan zaman, pemahaman akan Konsep Kristologi Paulus menjadi sumber inspirasi dan
bimbingan bagi umat Kristiani dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak
Allah.

KESIMPULAN
Simpulan atas pembahasan dan merupakan jawaban singkat atas masalah yang telah
diajukan dalam artikel ini pada bagian pendahuluan bahwa perdebatan tentang pribadi Yesus
sudah lama, bahkan sejak gereja mula-mula. Perdebatan ini dimulai ketika Kristen mula-
mula diperhadapkan pada dua kepercayaan, yaitu antara percaya keesaan Allah, atau percaya
Tritunggal. Diikuti dengan pertanyaan siapakah Yesus? Apakah Yesus adalah Allah, atau
Yesus adalah manusia. Saat ini muncul berbagai pemikiran, seperti Arius percaya bahwa
Yesus hanyalah manusia, bukan Allah. Lalu Konsili Nicea merumuskan ajaran yang
menekankan pada keilahian Yesus yang sehakikat (homoousios) dengan Bapa. Demikianlah
perdebatan tentang pribadi Yesus, yang juga menjadi pokok iman mewarnai sejarah Kristen.
Paulus sendiri mengetahui Yesus dari keturunan Daud (Rm. 1:3), yang diutus oleh
Allah pada waktu yang telah ditentukan (Gal. 4:4), Dia telah mengosongkan diri-Nya dan

9
Copyright© 2022; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
XXX

mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia (Fil. 2:7). Paulus juga percaya Yesus
adalah Allah yang harus dipuji (Rm. 9:5), Dia adalah rupa Allah (Fil. 2:6) dalam arti
sehakikat dengan Allah atau setara dengan Allah. Paulus percaya pada keilahian dan
kemanusiaan Yesus, dalam arti Yesus sehakikat dengan Allah.
Kita sebagai orang Kristen tidak perlu ragu untuk percaya bahwa Yesus adalah Allah,
Alkitab memberi kesaksian tentang itu. Selain dalam surat-surat Paulus, kitab-kitab injil juga
menuliskannya, Yohanes 1:1 menuliskan bahwa dan Firman itu adalah Allah, yang menjadi
manusia (ay. 14) dan diam diantara kita. Dalam kepra-adaan-Nya, Dia sebagai Firman yang
bersama-sama dengan Allah (yang adalah Allah), dan dalam keberadaan-Nya, Dia sebagai
manusia (Yesus). Ini berbicara tentang kodrat atau hakikat-Nya, keduanya tidak dapat
dipisahkan.

KEPUSTAKAAN
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 1. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Douglas, J. D. dan Tenney, Merrill Chapin. New International Bible Dictionary. Grand
Rapids, MI: Zondervan, 1987.
Fee, Gordon D. Paul’s Letter to the Philippians, The New International Commentary on the
New Testament (Grand Rapids, MI: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1995.
____________. The First Epistle to the Corinthians, The New International Commentary on
the New Testament. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1987.
Gardner, Paul. 1 Corinthians, ed. Arnold, Clinton E., Zondervan Exegetical Commentary on
the New Testament. Grand Rapids, MI: Zondervan, 2018.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Harrison, Everett F., dan Hagner, Donald A., “Romans,” dalam The Expositor’s Bible
Commentary: Romans–Galatians (Revised Edition), ed. Tremper Longman III &
Garland, David E., vol. 11. Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Morris, Leon. The Epistle to the Romans, The Pillar New Testament Commentary. Grand
Rapids, MI; Leicester, England: W.B. Eerdmans; Inter-Varsity Press, 1988.
Ridderbos, Herman. Paulus: Pemikiran Utama Theologinya. Surabaya: Momentum, 2008.
Schreiner, Thomas R. Galatians, Zondervan Exegetical Commentary on the New Testament.
Grand Rapids, MI: Zondervan, 2010.
Silva, Moisés, Douglas, J. D., dan Tenney, Merrill C. Paul: Zondervan Illustrated Bible
Dictionary. Grand Rapids, MI: Zondervan, 2011.
Towner, Philip H. The Letters to Timothy and Titus, The New International Commentary on
the New Testament. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2006.
Wahono, Wismoady. Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

10
Copyright© 2021; CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen

Anda mungkin juga menyukai