140423-Referat Endokrin
140423-Referat Endokrin
Nama :
NIM :
Tanggal presentasi :
Pembimbing :
Hal
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR ISTILAH v
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 DIABETES MELITUS TIPE 2 3
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Klasifikasi
2.4 Patofisiologi
2.5 Diagnosis
2.6 Tatalaksana
BAB 3 TERAPI INJEKSI PADA DIABETES MELITUS
3.1 Sejarah Terapi Injeksi pada Diabetes Melitus tipe 2
Agonist
Reseptor Agonist
Reseptor Agonist
Khusus
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR TABEL
Gambar 3. A: Algoritma terapi inisiasi dan intensifikasi pengobatan injeksi pasien DM lama yang
tidak terkontrol dengan kombinasi OHO. B: Terapi inisiasi dan intensifikasi pengobatan injeksi pasien
DM baru dengan dekompensasi metabolik8..........................................................................................21
Gambar 4. Algoritma strategi umum terapi insulin pasien DM rawat jalan 8.........................................22
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis, yang terjadi oleh karena
adanya gangguan pada sekresi insulin, resistensi terhadap insulin, atau keduanya. Kondisi
hiperglikemia kronis yang bersinergi dengan gangguan metabolik lain pada pasien dengan
DM dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan pada berbagai sistem organ, yang kemudian
berakibat pada berkembangnya morbiditas dan kondisi komplikasi yang mengancam nyawa.
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan terdapat sebanyak 415 juta individu
berusia 20 hingga 79 tahun yang menderita DM di tahun 2015 dan sebesar 425 juta individu
di tahun 2017. DM terbukti menjadi beban kesehatan publik global, karena jumlah penderita
DM diproyeksikan akan mencapai 200 juta individu di tahun 2040. 1,2 Diabetes merupakan
epidemik dunia, dimana seiring dengan pertambahan usia, perubahan gaya hidup dan
peningkatan obesitas, prevalensi DM juga turut meningkat. Sekitar 25% dari populasi berusia
>65 tahun memiliki riwayat DM. 3 Di Indonesia, IDF mengungkapkan bahwa Indonesia saat
ini menduduki peringkat ke-6 dunia dengan jumlah pasien terbesar, yaitu sebanyak 10,3 juta
jiwa, yang diprediksi akan terus meningkat hingga 16,7 juta jiwa pada tahun 2045. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi DM naik
menjadi 8,5%, dari yang sebelumnya hanya sebesar 6,9% di tahun 2013. 4,5
DM dibagi ke dalam 3 klasifikasi utama berdasarkan etiologi dan presentasi klinisnya,
yaitu tipe 1, tipe 2, dan diabetes melitus gestasional (DMG). Tipe lain yang lebih jarang
adalah diabetes monogenik dan diabetes sekunder. 1,2 DM tipe 2 berkontribusi sebanyak 90%
dari semua kasus DM. Pada DM tipe 2, terjadi respons yang berkurang terhadap insulin,
sehingga hal ini didefinisikan sebagai resistensi insulin. 2 Insulin telah digunakan sejak tahun
1922. 6–8 Insulin yang tersedia di Indonesia sangat beragam. Insulin dapat dikelompokkan
berdasarkan 3 hal, yaitu fungsi insulin terhadap kontrol glukosa darah, jenis bahan pembuatan
insulin, serta profil farmakokinetik. 8
Glucagon Like Peptide-1 (GLP-1) Receptor Agonist yang juga dikenal sebagai incretin
mimetics atau GLP-1 analog, merupakan kelas terapi yang digunakan untuk menangani DM
tipe 2 dan obesitas di beberapa kasus. Terapi ini diindikasikan pada dewasa dengan penyakit
kardiovaskular (liraglutide) untuk menurunkan risiko kejadian kardiovaskular mayor yang
tidak diinginkan. Namun, obat ini tidak aman digunakan untuk ibu hamil dan ibu menyusui. 9
BAB 2
DIABETES MELITUS TIPE 2
2.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis, yang dicirikan dengan
adanya hiperglikemia persisten. Hal ini dapat terjadi oleh karena adanya gangguan pada
sekresi insulin, resistensi terhadap insulin, atau keduanya. Kondisi hiperglikemia kronis yang
bersinergi dengan gangguan metabolik lain pada pasien dengan DM dapat mengakibatkan
timbulnya kerusakan pada berbagai sistem organ, yang kemudian berakibat pada
berkembangnya morbiditas dan kondisi komplikasi yang mengancam nyawa. Mayoritas
komplikasi DM berupa komplikasi mikrovaskular, yang disebut dengan kondisi retinopati,
nefropati, dan neuropati, serta makrovaskular, yang mengakibatkan peningkatan risiko
sebesar 2 hingga 4 kali lipat untuk mengalami penyakit kardiovaskular. 1,2
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF), kira-kira terdapat sebanyak 415
juta individu berusia 20 hingga 79 tahun yang menderita DM di tahun 2015 dan sebesar 425
juta individu di tahun 2017. DM terbukti menjadi beban kesehatan publik global, karena
jumlah penderita DM diproyeksikan akan mencapai 200 juta individu di tahun 2040. 1,2
Diabetes merupakan epidemik dunia, dimana seiring dengan pertambahan usia, perubahan
gaya hidup dan peningkatan obesitas, prevalensi DM juga turut meningkat. Sekitar 25% dari
populasi berusia >65 tahun memiliki riwayat DM. 3 Prevalensi DM di China adalah sebesar
10,4%, dimana tingkat awareness, terapi, dan kontrol glikemik DM di China adalah sebesar
38,6%, 35,6%, dan 33,0%, secara berurutan. 10 Di Indonesia, IDF mengungkapkan bahwa
Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-6 dunia dengan jumlah pasien terbesar, yaitu
sebanyak 10,3 juta jiwa, yang diprediksi akan terus meningkat hingga 16,7 juta jiwa pada
tahun 2045. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi
DM naik menjadi 8,5%, dari yang sebelumnya hanya sebesar 6,9% di tahun 2013. 4,5
2.3 Klasifikasi
Secara luas, DM dibagi ke dalam 3 tipe berdasarkan etiologi dan presentasi klinisnya,
yaitu tipe 1, tipe 2, dan diabetes melitus gestasional (DMG). Tipe lain yang lebih jarang
adalah diabetes monogenik dan diabetes sekunder. 1,2
2.3.1 DM Tipe 1
DM tipe 1 berkontribusi sebanyak 5-10% dari DM, yang dicirikan dengan adanya
destruksi autoimun sel beta yang memproduksi insulin pada islets pankreas. Sebagai
akibatnya, terdapat defisiensi absolut insulin yang timbul. Kombinasi antara kerentanan
genetik dan faktor lingkungan, seperti infeksi virus, toksin, atau beberapa faktor makanan
telah terbukti berperan dalam memicu terjadinya autoimunitas. DM tipe 1 banyak ditemukan
pada anak dan remaja, meskipun DM tipe ini dapat berkembang di berbagai usia. 1,2
2.3.2 DM Tipe 2
DM tipe 2 berkontribusi sebanyak 90% dari semua kasus DM. Pada DM tipe 2, terjadi
respons yang berkurang terhadap insulin, sehingga hal ini didefinisikan sebagai resistensi
insulin. Pada kondisi ini, insulin menjadi tidak efektif dan mulai diinisiasi peningkatan
produksi insulin untuk mempertahankan homeostasis glukosa, tetapi seiring berjalannya
waktu, terjadi penurunan produksi insulin yang berakibat pada munculnya kondisi DM tipe 2.
DM tipe 2 umumnya terlihat pada individu berusia >45 tahun. Namun, saat ini DM tipe 2
banyak juga ditemukan pada anak, remaja, dan dewasa yang berusia lebih muda karena
peningkatan obesitas, gaya hidup sedentary, dan diet padat energi. 2
2.3.3 DM Gestasional (DMG)
Kondisi hiperglikemia yang baru pertama kali terdeteksi selama kehamilan,
dikategorikan sebagai DM gestasional (DMG). Meskipun dapat terjadi kapanpun saat hamil,
DMG dapat mempengaruhi wanita hamil selama trimester kedua dan ketiga. Berdasarkan
American Diabetes Association (ADA), DMG mengakibatkan komplikasi pada 7%
kehamilan. Wanita dengan DMG dan bayi yang dilahirkannya memiliki peningkatan risiko
mengalami DM tipe 2 di masa depan. Janin dapat mengalami peningkatan berat dan ukuran
(makrosomia) atau anomali kongenital. Pasca kelahiran, bayi dapat mengalami sindrom
distres respirasi dan obesitas masa kanak, serta remaja. Faktor risiko DMG antara lain adalah
usia ibu yang sudah tua, obesitas, peningkatan berat badan gestasional yang berlebihan,
riwayat anomali kongenital pada anak sebelumnya, atau riwayat lahir mati, serta riwayat
keluarga memiliki diabetes. 2
2.3.4 Diabetes Monogenik
Mutasi genetik tunggal pada gen autosomal dominan menyebabkan diabetes tipe ini
terjadi. Kondisi DM pada neonatus dan maturity-onset diabetes of the young (MODY)
merupakan contoh dari diabetes monogenik. Sekitar 1% hingga 5% kasus DM adalah berupa
diabetes monogenik. MODY merupakan gangguan familial dan biasanya terdapat pada
individu berusia <25 tahun. 2
2.3.5 Diabetes Sekunder
Diabetes sekunder disebabkan oleh adanya komplikasi dari penyakit lain yang
berdampak pada pankreas, misalnya pankreatitis, gangguan hormon, seperti pada penyakit
Cushing, atau obat, seperti pada penggunaan kortikosteroid. 2
2.4 Patofisiologi
DM tipe 2 merupakan kondisi resistensi insulin, yang diikuti juga dengan disfungsi sel
beta. Pada awalnya, terdapat kompensasi berupa peningkatan sekresi insulin, yang
mempertahankan kadar glukosa pada tingkat normal. Seiring dengan progresi penyakit,
perubahan pada sel beta terjadi dan sekresi insulin menjadi gagal untuk mempertahankan
homeostasis glukosa, yang kemudian mengakibatkan timbulnya kondisi hiperglikemia.
Mayoritas pasien dengan DM tipe 2 mengalami obesitas atau persentase lemak tubuh yang
tinggi, yang terdistribusi di daerah abdomen. Jaringan lemak ini mendukung terjadinya
resistensi insulin melalui berbagai mekanisme inflamasi, termasuk peningkatan pelepasan
asam lemak bebas dan disregulasi adipokin. Kurangnya aktivitas fisik, riwayat DMG pada
pasien dengan hipertensi atau dislipidemia juga meningkatkan risiko mengalami DM tipe 2.
Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat disregulasi
adipokin, inflamasi, biologi inkretin yang abnormal dengan penurunan inkretin, seperti
glucagon-like peptide-1 (GLP-1) atau resistensi inkretin, hiperglukagonemia, peningkatan
reabsorpsi glukosa ginjal, dan abnormalitas pada mikrobiota usus, yang berperan di dalam
patofisiologi DM. 2
2.5 Diagnosis
Pasien dengan DM umumnya datang dengan keluhan rasa haus yang meningkat,
meningkatnya frekuensi buang air kecil, kurangnya energi dan rasa lelah, infeksi bakteri dan
jamur, serta penyembuhan luka yang lama. Beberapa pasien juga mengeluhkan adanya mati
rasa atau kesemutan pada tangan atau kaki, serta pandangan kabur. Pasien dapat mengalami
hiperglikemia sedang, yang dapat memburuk menjadi hiperglikemia berat atau ketoasidosis
karena adanya infeksi atau kondisi stres. 2
2.5.1 Skrining DM
Individu yang berusia >40 tahun harus diskrining untuk DM tiap tahun. Skrining yang
lebih sering direkomendasikan untuk individu dengan faktor risiko tambahan diabetes. 2,11–15
Faktor risiko tambahan DM antara lain adalah etnis/ ras tertentu (Amerika, Afrika-Amerika,
Hispanik, Asia-Amerika, Pasifik), individu yang mengalami overweight atau obesitas dengan
indeks massa tubuh >25 kg/m2 atau 23 kg/m2 pada Asia-Amerika, riwayat keluarga dengan
DM (terutama keturunan pertama), riwayat penyakit kardiovaskular atau hipertensi,
kolesterol HDL yang rendah atau hipertrigliseridemia, wanita dengan sindrom ovarium
polikistik, gaya hidup sedentary, serta kondisi yang berkaitan dengan resistensi insulin,
seperti acanthosis nigricans. Wanita yang pernah terdiagnosis DMG harus melakukan
pemeriksaan glukosa darah sepanjang hidupnya, minimal setiap 3 tahun. Untuk semua pasien,
pemeriksaan harus dimulai di usia 45 tahun, dimana apabila hasilnya normal, maka pasien
harus diperiksa minimal setiap 3 tahun. Pemeriksaan yang sama digunakan, baik pada
skrining maupun diagnosis DM, dimana pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mendeteksi
individu yang jatuh pada kondisi prediabetes. 2
2.5.2 Diagnosis DM
Diabetes dapat diagnosis melalui pemeriksaan hemoglobin A1C atau konsentrasi
glukosa plasma, baik dalam kondisi puasa atau 2 jam setelah makan. 2
2.5.2.1 Glukosa Plasma Puasa atau Fasting Plasma Glucose (FPG)
Pengambilan sampel darah dilakukan setelah 8 jam puasa semalaman. Menurut ADA,
kadar glukosa plasma puasa yang ditemukan >126 mg/dL (7,0 mm/L) sesuai untuk
menegakkan diagnosis DM. 2
2.5.2.2 Two-Hour Oral Glucose Tolerance Test (OGTT)
Pada pemeriksaan ini, kadar glukosa plasma diukur sebelum dan 2 jam setelah
meminum 75 mg glukosa. DM terdiagnosis apabila kadar glukosa plasma pada 2 jam setelah
makan ditemukan >200 mg/dL (11,1 mmol/L). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
standar, tetapi kurang memberikan kenyamanan dan lebih mahal dibandingkan pemeriksaan
FPG, serta memiliki isu variabilitas mayor. Pasien harus mengonsumsi diet minimal 150
gram karbohidrat per hari untuk 3-5 hari dan tidak meminum obat apapun yang dapat
mempengaruhi toleransi glukosa, seperti steroid dan diuretik thiazide. 2
2.5.2.3 Glycated Hemoglobin (Hb) A1C
Pemeriksaan ini memberikan gambaran rata-rata glukosa darah selama 2-3 bulan
terakhir. Pasien dengan HbA1C >6,5% (48 mmol/mol) sudah dapat dikatakan tegak
mengalami DM. HbA1C merupakan pemeriksaan yang nyaman, cepat, dan terstandarisasi,
serta menunjukkan variasi yang lebih sedikit yang disebabkan oleh variabel pre-analisis.
HbA1C tidak dipengaruhi oleh kondisi penyakit akut atau stres. HbA1c memiliki kelemahan
berupa harganya yang mahal dan beberapa isu, termasuk sensitivitasnya yang rendah. HbA1C
harus diukur dengan menggunakan metode tersertifikasi National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP) yang sudah distandarisasi dengan pemeriksaan Diabetes
Control and Complications Trial (DCCT). Pemeriksaan HbA1C dipengaruhi oleh berbagai
kondisi, seperti penyakit sickle cell, kehamilan, hemodialisis, hilangnya darah, transfusi, atau
terapi eritropoietin. Pemeriksaan ini belum tervalidasi dengan baik pada populasi yang bukan
berkulit putih. 2
Anemia yang disebabkan oleh defisiensi besi atau vitamin B12 mengakibatkan
peningkatan palsu dari HbA1C, yang membatasi penggunaan pemeriksaan ini di negara yang
memiliki anemia dengan prevalensi tinggi. Selain itu, pada anak-anak dan lanjut usia,
hubungan antara HbA1C dan FPG kurang optimal. 2
Untuk semua pemeriksaan di atas, apabila individu datang tanpa menunjukkan gejala
apapun (asimptomatik), maka pemeriksaan harus diulang kemudian untuk menegakkan
diagnosis DM. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia, berupa peningkatan rasa
haus, peningkatan rasa lapar, serta peningkatan frekuensi buang air kecil, pemeriksaan
glukosa plasma acak >200 mg/dL sudah cukup untuk mendiagnosis DM. Pemeriksaan FPG,
glukosa plasma 2 jam pasca OGTT, dan HbA1C merupakan pemeriksaan yang sama baiknya
untuk mendiagnosis DM. 2
2.6 Tatalaksana
Kunci utama tatalaksana pada DM tipe 2 adalah diet dan olahraga. 16–18 Pasien DM perlu
diedukasi untuk diet rendah lemak jenuh, karbohidrat olahan, sirup jagung tinggi fruktosa,
serta diet tinggi serat dan lemak monounsaturated. Latihan aerobik dengan durasi 90 hingga
150 menit tiap minggu juga memberikan manfaat bagi pasien DM. Target utama pada pasien
DM tipe 2 yang mengalami obesitas adalah penurunan berat badan. Apabila kadar glikemia
yang normal tidak dapat dicapai dengan manuver di atas, maka pemberian metformin adalah
terapi lini pertama DM tipe 2. Selain metformin, terdapat terapi oral lain untuk mengontrol
DM tipe 2, yaitu sulfonylureas, dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) inhibitors, glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) receptor agonists, sodium-glucose co-transporter-2 (SGLT2) inhibitors,
pioglitazone, khususnya apabila pasien memiliki penyakit perlemakan hati, maka alpha-
glucosidase inhibitors dan insulin, dapat diberikan. 2
SGLT2 inhibitor, empagliflozin (EMPA), GLP-1 receptor agonist, dan liraglutide
terbukti dari studi terbaru, dapat menurunkan kejadian kardiovaskular dan mortalitas secara
signifikan. Kondisi hipoglikemia dapat meningkatnya mortalitas, sehingga terapi yang
diberikan sebaiknya tidak menginduksi terjadinya hipoglikemia, misalnya DPP-4 inhibitors,
SGLT-2 inhibitors, GLP-1 receptor agonists, dan pioglitazone dengan metformin. Kelebihan
lain dari pemberian SGLT-2 inhibitors dan GLP-1 receptor agonists adalah penurunan pada
berat badan, tekanan darah, dan albuminuria. Untuk menurunkan komplikasi mikrovaskular,
target penurunan HbA1C harus di bawah 7%. Selain itu, target tekanan darah harus di bawah
130/85 mmHg dengan terapi angiotensin-converting enzyme (ACE)/ angiotensin receptor
blocker (ARB). Pemeriksaan fundus mata dan ekskresi albumin urin harus dilakukan sesuai
panduan, minimal 2 kali dalam setahun. 2
Target penurunan lemak adalah sebagai berikut. Kolesterol LDL harus <100 mg/dL
apabila tidak terdapat penyakit kardiovaskular aterosklerotik (ASCVD) atau <70 mg/dL
apabila terdapat ASCVD. Pilihan obat yang direkomendasikan adalah statin, karena obat ini
dapat menurunkan kejadian kardiovaskular dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular.
Pemberian ezetimibe dan PCSK9 inhibitors untuk pasien ASCVD yang tidak mencapai
target, perlu dipertimbangkan. 2
BAB 3
TERAPI INJEKSI PADA DIABETES MELITUS
Menurut pedoman PERKENI, indikasi pemberian insulin bagi pasien rawat jalan
dikelompokkan menjadi 2, yaitu indikasi absolut dan temporer. Indikasi absolut pemberian
insulin adalah DM tipe 1 dan DMG yang tidak terkontrol. Indikasi temporer pemberian
insulin antara lain adalah kegagalan mencapai sasaran dengan penggunaan kombinasi obat
hipoglikemia oral (OHO) dosis optimal selama 3-6 bulan, terjadinya dekompensasi metabolik
yang ditandai dengan gejala DM dan penurunan berat badan disertai GDP >250 mg/dL atau
GDS >300 mg/dL atau HbA1C >9% dan/ atau sudah mendapatkan terapi OHO. Selain itu,
indikasi temporer dapat berupa pemberian terapi steroid dosis tinggi yang menyebabkan
glukosa darah tak terkendali, perencanaan operasi dan perlunya penurunan kadar gula darah
segera, serta beberapa kondisi tertentu yang dapat memerlukan pemakaian insulin, seperti
infeksi, penyakit hati kronis, dan gangguan fungsi ginjal. 8
Gambar 2. Efek multipel insulin 8
Gambar 3A Gambar 3B
Gambar 3. A: Algoritma terapi inisiasi dan intensifikasi pengobatan injeksi pasien DM lama yang tidak terkontrol dengan
kombinasi OHO. B: Terapi inisiasi dan intensifikasi pengobatan injeksi pasien DM baru dengan dekompensasi metabolik 8
Keterangan: OD, 1 kali sehari; BD, 2 kali sehari; TID, 3 kali sehari
*Gejala dekompensasi metabolik: bukti katabolisme (penurunan berat badan signifikan tanpa terpogram, ketosis,
hipertrigliserida) atau gejala hiperglikemia berat (poliuria atau polidipsia memberat).
**Intensifikasi sesuai dengan indikasi
Y
DE-ESKALASI: dilakukan jika dekompensasi metabolik atau glukotoksisitas telah teratasi
^
Premixed dengan regimen kombinasi insulin 30/70 atau 25/75
#
Intensifikasi regimen premixed BD menjadi TID dengan syarat fungsi ginjal baik
Gambar 4. Algoritma strategi umum terapi insulin pasien DM rawat jalan 8
Pemantauan glukosa darah pada pasien rawat inap harus selalu berpegang teguh pada
prinsip kehati-hatian terhadap kejadian hipoglikemia. Pemberian insulin tidak hanya
berdasarkan atas indikasi klinis saja, tetapi juga bergantung pada sarana dan prasarana yang
ada, dimana apabila dibutuhkan pemberian insulin yang agresif, tetapi tenaga kesehatan yang
ada berjumlah terbatas, maka agresivitas pemberian insulin harus disesuaikan. 8 Pada
pemberian insulin secara IV kontinu, glukosa darah diperiksa setiap jam dalam 3 jam pertama
untuk mengevaluasi kemungkinan hipoglikemia, kemudian glukosa darah dipantau sesuai
dengan agresivitas pemberian insulin. Pada insulin yang diberikan secara subkutan dosis
terbagi, maka kurva glukosa darah harus diperiksa 2-3 kali/minggu, dimana kurva glukosa
darah harian terdiri atas pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi, siang, dan sore/
malam. Pada pemberian insulin subkutan dosis koreksional, glukosa darah diperiksa berkala
dalam 1 hari sesuai advis klinisi yang menangani. 8 Transisi ke insulin subkutan pada pasien
yang sebelumnya mendapatkan terapi insulin IV kontinu diperlukan apabila pasien mulai
memakan makanan biasa atau akan pindah ke ruang rawat biasa. Dosis insulin subkutan yang
diberikan biasanya antara 75-80% dari dosis harian total insulin IV kontinu, yang kemudian
dibagi secara proporsional menjadi komponen basal dan prandial. Insulin subkutan harus
diberikan 2 jam sebelum infus insulin IV dihentikan untuk mencegah terjadinya
hiperglikemia. 8
3.2.5 Keamanan dan Efek Samping Insulin
Penggunaan human insulin pada wanita hamil sudah teruji keamanannya, sedangkan
keamanan dari insulin analog masih perlu diperhatikan. Insulin lispro dan insulin aspart
memiliki manfaat kendali glikemik maternal yang lebih baik daripada soluble human insulin.
Penggunaan kedua insulin ini berkaitan dengan penurunan puncak konsentrasi glukosa,
sehingga dapat menurunkan risiko makrosomia pada fetus. Namun, hanya tersedia sedikit
data mengenai kondisi fetus setelah lahir, sehingga human insulin tetap lebih disarankan
dibandingkan dengan insulin analog jangka pendek. Tidak terdapat bukti yang cukup untuk
mengevaluasi penggunaan glargine pada kehamilan. Oleh karena itu, NICE lebih
merekomendasikan insulin NPH sebagai pilihan insulin kerja jangka panjang. Glargine
dikategorikan ke dalam kategori obat C oleh organisasi Food and Drug Administration
(FDA). Tidak terdapat perbedaan insiden hipoglikemia dan luaran fetal antara pasien hamil
yang menggunakan detemir dan NPH. Terdapat perbaikan glukosa darah puasa dengan
penggunaan detemir tanpa peningkatan insiden hipoglikemia. FDA telah menyetujui
penggunaan detemir pada kehamilan, dimana detemir dikategorikan ke dalam kategori B.
Namun, apabila diabetes sudah terkontrol baik dengan NPH, ibu hamil tidak perlu mengganti
NPH dengan detemir karena tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan detemir pada
wanita dengan DMG dan DM tipe 2, serta hanya terdapat sedikit manfaat definitif terhadap
fetus dari ibu yang menggunakan detemir selama kehamilan. Degludec merupakan insulin
analog kerja panjang yang dapat menjadi alternatif dari insulin basal analog selama
kehamilan. Sebuah laporan kasus menyatakan bahwa terdapat wanita hamil dengan DM tipe
2 yang menggunakan degludec sejak prekonsepsi, memiliki luaran klinis kehamilan yang
baik. Saat ini, belum tersedia penelitian uji coba klinis penggunaan degludec selama
kehamilan karena permasalahan etik dan potensi bahaya terhadap fetus, tetapi uji coba pada
hewan sudah dilakukan dan memberikan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan antara
degludec dengan human insulin terkait embriotoksisitas dan teratogenesitas. 8
Efek samping insulin yang terpenting untuk diperhatikan adalah kondisi hipoglikemia.
Kondisi ini dapat memperburuk luaran klinis pasien kritis, yang timbul akibat dari target
glukosa darah yang terlalu ketat. Edukasi pada pasien rawat jalan yang menggunakan terapi
insulin perlu dilakukan untuk mengendalikan glukosa darahnya dengan harapan dapat
menurunkan kejadian hipoglikemia. Edukasi yang diberikan pada pasien rawat jalan antara
lain meliputi konsep mengenai glukosa darah puasa dan prandial, fungsi insulin basal dan
insulin prandial, serta pemantauan glukosa darah mandiri. 8
3.3.4 Implikasi Klinis dan Manfaat Glucagon Like Peptide -1 Reseptor Agonist
GLP-1 analog diketahui mampu mengontrol glikemia. Obat di kelas ini mampu
meningkatkan homeostasis glukosa dengan memperkuat sekresi insulin yang bergantung
pada glukosa dengan menekan peningkatan kadar glukosa, baik pada kondisi berpuasa
maupun setelah makan, serta dengan memperlambat pengosongan lambung. Hal ini secara
bersamaan membantu dalam penurunan kadar HbA1C pada pasien dengan DM tipe 2.
Perubahan pada kadar HbA1C karena administrasi GLP-1 analog dari berbagai uji klinis.
GLP-1 analog menurunkan motilitas gastrointestinal, sehingga dapat meningkatkan waktu
untuk absorpsi nutrisi. Hal ini mendukung rasa kenyang dan resting metabolic rate, serta
menurunkan konsentrasi asam lemak bebas di plasma. Hipotesis menyebutkan bahwa adanya
penurunan berat badan dari penggunaan GLP-1 analog kemungkinan dikarenakan oleh
penekanan pada nafsu makan, penurunan lemak tubuh, dan peningkatan fungsi endothelial.
Penggunaan GLP-1 analog juga bermanfaat untuk kesehatan kardiovaskular pada pasien
dengan DM tipe 2, karena obat ini mampu mengontrol risiko kardiovaskular, seperti
hiperglikemia, dislipidemia, kenaikan berat badan, dan hipertensi arteri. GLP-1 analog juga
memiliki efek renoprotektif direk dan indirek, dengan menekan marker yang terlibat pada
hipoksia renal dan aktivasi sistem renin-angiotensin. GLP-1 analog juga berperan dalam
menurunkan perlemakan pada hepar dan melindungi hepar dari kondisi iskemia, serta
menstimulasi lipolisis. Namun, GLP-1 analog harus digunakan dengan waspada atau tidak
digunakan pada pasien dengan riwayat pribadi atau keluarga memiliki pankreatitis. Obat
kelas ini juga meningkatkan risiko secara signifikan untuk terjadinya kolelithiasis. 9
3.3.5 Indikasi dan Inisiasi Terapi Glucagon Like Peptide -1 Reseptor Agonist
Selain sebagai terapi tambahan terhadap diet dan olahraga pada individu dengan DM
tipe 2, GLP-1 analog juga direkomendasikan sebagai monoterapi di beberapa negara, seperti
dulaglutide di India. Obat kelas ini diindikasikan pada dewasa dengan penyakit
kardiovaskular (liraglutide) untuk menurunkan risiko kejadian kardiovaskular mayor yang
tidak diinginkan. 9
3.3.6 Penggunaan Glucagon Like Peptide -1 Reseptor Agonist pada Penderita Diabetes
dengan Komplikasi dan Populasi Khusus
GLP-1 analog digunakan pada pasien dengan komplikasi kardiovaskular, gangguan
renal, dan gangguan hepar, seiring dengan penggunaannya pada lanjut usia, ibu hamil, dan
menyusui. Pasien dengan DM tipe 2 memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
penyakit kardiovaskular, yang menjadi penyebab kematian utama pasien dengan DM.
Meskipun penggunaan agen ini direkomendasikan pada pasien penyakit jantung koroner
asimptomatik dan stabil, tetapi belum terdapat bukti yang jelas terkait penggunaan obat ini
pada infark miokard akut. 9
Exenatide dan lixisenatide utamanya diekskresikan melalui ginjal. Dosis exenatide
direkomendasikan untuk ditingkatkan pada pasien dengan eGFR 30-60 mL/menit/1,73 m 2.
Kedua obat tersebut dikontraindikasikan pada pasien dengan eGFR <30 mL/menit/1,73 m 2.
Eliminasi GLP-1 analog tidak hanya terjadi melalui metabolisme hepar. Liraglutide dan
dulaglutide dimetabolisasi secara endogen ke dalam komponen asam amino melalui jalur
katabolisme protein umum. 9 Penuaan mengakibatkan terjadinya gangguan progresif pada
toleransi karbohidrat, yang mungkin berkaitan dengan pelepasan insulin yang terganggu,
penurunan produksi insulin, penurunan sekresi GLP-1, peningkatan adipositas, sarkopenia,
dan gaya hidup sedentary. GLP-1 analog diketahui memiliki risiko hipoglikemia yang rendah
dan memberikan variabilitas glikemik yang kecil. Penggunaan obat ini juga secara luas
dipakai oleh dewasa untuk mengontrol glikemia. Pada saat berpuasa, GLP-1 analog tidak
menyebabkan hipoglikemia, sehingga pengaturan dosis tidak diperlukan selama bulan
Ramadhan. Dosis obat ini dapat tetap dan sama seperti saat tidak berpuasa, meskipun
digunakan bersamaan dengan insulin. Namun, penyesuaian dosis diperlukan untuk insulin,
sulfonilurea, atau obat antidiabetes lain yang dapat menyebabkan hipoglikemia, apabila
diadministrasikan bersama dengan GLP-1 analog. OHO lain tidak memerlukan pengaturan
dosis. Kondisi polycystic ovary syndrome (PCOS) berkaitan dengan kadar androgen yang
tinggi dan insulin (hiperinsulinemia), yang berkontribusi pada risiko mengalami gangguan,
termasuk obesitas, tekanan darah tinggi, hiperkolesterolemia, DM, dan penyakit jantung.
Wanita dengan PCOS berisiko 5-10 kali lipat untuk mengalami DM tipe 2, dimana progresi
dari gangguan toleransi glukosa menjadi DM tipe 2 lebih cepat dibandingkan pada wanita
tanpa PCOS. GLP-1 analog telah menjadi pilihan terapi PCOS, dimana obat ini mampu
mempengaruhi berat badan dan kontrol glikemik. Obat ini juga berkaitan dengan penurunan
sedang dari tekanan darah dan perbaikan hiperlipidemia. Studi pada hewan menunjukkan
terdapat toksisitas GLP-1 analog terhadap reproduksi, sehingga penggunaan obat ini
dikontraindikasikan pada kehamilan dan menyusui. Wanita dengan usia reproduktif
dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi selama terapi. 9
3.4 Teknik Penyuntikan dan Penyimpanan Obat Injeksi pada Diabetes Melitus tipe 2
Cara pemberian insulin adalah dengan menggunakan semprit insulin (1 mL dengan
skala 100 unit/mL), jarum, pen insulin, atau pompa insulin (continuous subcutaneous insulin
infusion/ CSII). Pen insulin saat ini lebih banyak diminati oleh pasien karena lebih nyaman
saat diinjeksikan, pengaturan dosis lebih akurat, dan dapat dibawa ke manapun dengan
mudah. 8
Teknik penyuntikan insulin adalah sebagai berikut. Insulin sebaiknya digunakan pada
suhu kamar, disuntukkan pada area yang tidak terdapat akar rambut, menggunakan jarum
yang lebih pendek dan diameter lebih kecil, serta menggunakan jarum baru untuk
menghindari nyeri pada tempat penyuntikan. Apabila alkohol digunakan, maka suntikan
dilakukan apabila alkohol sudah kering. Jarum kemudian dimasukkan secara cepat melalui
kulit, disuntikkan perlahan, dan dipastikan plunger atau tombol telah sepenuhnya tertekan.
Pada penggunaan pen, setelah tombol ditekan, maka pasien harus menghitung perlahan
sampai 10 sebelum jarum ditarik. Jarum berukuran 4 mm dan 5 mm dapat digunakan oleh
pasien dewasa, termasuk pasien dengan obesitas. Penyuntikan dilakukan dengan sudut 90 o
terhadap permukaan kulit, serta tidak perlu dilakukan pengangkatan lipatan kulit. Setelah itu,
lepaskan lipatan kulit dan lepaskan jarum dari pen. Kemudian, jarum yang telah digunakan
dibuang. Pasien harus diedukasi untuk memilih dan memeriksa lokasi penyuntikan, serta
mampu mendeteksi lipohipertrofi. Pemindahan lokasi penyuntikan dari lipohipertrofi ke
jaringan normal sering memerlukan penurunan dosis yang disuntikkan. Strategi pencegahan
terbaik yang dapat dilakukan untuk lipohipertrofi adalah dengan menggunakan human insulin
yang dimurnikan, rotasi lokasi injeksi, menggunakan zona injeksi yang lebih besar, dan tidak
menggunakan kembali jarum yang telah digunakan. Skema rotasi penyuntikan yang
dimaksud adalah sebagai berikut: bagi tempat injeksi ke dalam kuadran atau bagian apabila
menggunakan paha atau pantat, gunakan satu kuadran per minggu, serta penyuntikan
dilakukan di lokasi yang berjarak minimal 1 cm satu sama lain untuk menghindari trauma
jaringan yang berulang. Penyuntikan pada wanita hamil dengan DM harus dilakukan dengan
mengangkat lipatan kulit dan menghindari lokasi perut sekitar umbilikus selama trimester
akhir. 8
Insulin yang sudah digunakan kemudian disimpan pada suhu kamar maksimal 1 bulan
setelah pemakaian pertama dan belum kadaluarsa. Insulin yang belum digunakan dapat
disimpan di dalam kulkas, tetapi tidak di dalam freezer. Cloudy insulin, misalnya NPH dan
insulin campuran, harus diputar sebanyak 20 putaran secara lembut dan/ atau dimiringkan
sampai kristal kembali larut ke dalam suspensi, hingga larutan menjadi berwarna putih susu. 8
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis.
2. DM dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan pada berbagai sistem organ,
morbiditas dan mortalitas tinggi.
3. Mayoritas pasien dengan DM tipe 2 mengalami obesitas atau persentase lemak tubuh
yang tinggi, yang terdistribusi di daerah abdomen, dimana jaringan lemak ini
mendukung terjadinya resistensi insulin melalui berbagai mekanisme inflamasi.
4. Kurangnya aktivitas fisik, riwayat DMG pada pasien dengan hipertensi atau
dislipidemia meningkatkan risiko mengalami DM tipe 2.
5. Insulin yang tersedia di Indonesia sangat beragam, yang dapat dikelompokkan
berdasarkan 3 hal, yaitu fungsi insulin terhadap kontrol glukosa darah, jenis bahan
pembuatan insulin, serta profil farmakokinetik.
6. Indikasi pemberian insulin adalah berdasarkan berat tidaknya kondisi hiperglikemia
pasien, rawat inap atau rawat jalan, serta penggunaan OHO sebelumnya.
7. Efek samping insulin yang terpenting untuk diperhatikan adalah kondisi hipoglikemia.
8. Supresi pada ekspresi glukagon oleh GLP-1 dipertimbangkan penting dalam klinis,
karena GLP-1 menghilangkan efek inhibisi pada sekresi glukagon pada kadar
hipoglikemia.
9. Penggunaan GLP-1 analog bermanfaat untuk kesehatan kardiovaskular pada pasien
dengan DM tipe 2.
10. Dosis GLP-1 analog tidak perlu disesuaikan pada kondisi puasa.
4.2 Saran
Klinisi diharapkan mampu memahami jenis dan indikasi terapi insulin, serta mampu
mengevaluasi terapi DM tipe 2 pada pasien, baik dengan terapi injeksi insulin, GLP-1 analog,
maupun kombinasinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zheng Y, Ley SH, Hu FB. Global aetiology and epidemiology of type 2 diabetes mellitus and its
complications. Nat Rev Endocrinol. 2018 Feb 8;14(2):88–98.
3. Carrillo-Larco RM, Barengo NC, Albitres-Flores L, Bernabe-Ortiz A. The risk of mortality among
people with type 2 diabetes in Latin America: A systematic review and meta-analysis of population-
based cohort studies. Diabetes Metab Res Rev. 2019 May;35(4):e3139.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Utama Riskesdas 2018 [Internet]. Website
Departemen Kesehatan RI . 2018 [cited 2023 Apr 14]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info- terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas
%202018.pdf
5. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 8th ed. [Internet]. IDF website. 2017 [cited
2023 Apr 14]. Available from: http://diabetesatlas.org/resources/2017-atlas.html
6. Quianzon CC, Cheikh I. History of insulin. J Community Hosp Intern Med Perspect. 2012;2(2).
7. McCall AL, Farhy LS. Treating type 1 diabetes: from strategies for insulin delivery to dual hormonal
control. Minerva Endocrinol. 2013 Jun;38(2):145–63.
8. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien
Diabetes Melitus. PB. PERKENI; 2021.
9. Kalra S, Das AK, Sahay RK, Baruah MP, Tiwaskar M, Das S, et al. Consensus Recommendations on
GLP-1 RA Use in the Management of Type 2 Diabetes Mellitus: South Asian Task Force. Diabetes
Therapy. 2019 Oct 29;10(5):1645–717.
10. Chinese Diabetes Society; National Offic for Primary Diabetes Care. [National guidelines for the
prevention and control of diabetes in primary care. Zhonghua Nei Ke Za Zhi. 2018 Dec;57(12):885–
93.
11. Hussain S, Chowdhury TA. The Impact of Comorbidities on the Pharmacological Management of
Type 2 Diabetes Mellitus. Drugs. 2019 Feb 11;79(3):231–42.
12. Martinez LC, Sherling D, Holley A. The Screening and Prevention of Diabetes Mellitus. Primary
Care: Clinics in Office Practice. 2019 Mar;46(1):41–52.
14. Willis M, Asseburg C, Neslusan C. Conducting and interpreting results of network meta-analyses in
type 2 diabetes mellitus: A review of network meta-analyses that include sodium glucose co-
transporter 2 inhibitors. Diabetes Res Clin Pract. 2019 Feb;148:222–33.
15. Kempegowda P, Chandan JS, Abdulrahman S, Chauhan A, Saeed MA. Managing hypertension in
people of African origin with diabetes: Evaluation of adherence to NICE Guidelines. Prim Care
Diabetes. 2019 Jun;13(3):266–71.
16. Lai L, Yusoff WNIW, Vethakkan SR, Mustapha NRN, Mahadeva S, Chan W. Screening for non‐
alcoholic fatty liver disease in patients with type 2 diabetes mellitus using transient elastography. J
Gastroenterol Hepatol. 2018 Dec 14;jgh.14577.
17. Eckstein ML, Williams DM, O’Neil LK, Hayes J, Stephens JW, Bracken RM. Physical exercise and
non‐insulin glucose‐lowering therapies in the management of Type 2 diabetes mellitus: a clinical
review. Diabetic Medicine. 2018 Dec 7;dme.13865.
18. Massey CN, Feig EH, Duque-Serrano L, Wexler D, Moskowitz JT, Huffman JC. Well-being
interventions for individuals with diabetes: A systematic review. Diabetes Res Clin Pract. 2019
Jan;147:118–33.
19. Oubré AY, Carlson TJ, King SR, Reaven GM. From plant to patient: an ethnomedical approach to the
identification of new drugs for the treatment of NIDDM. Diabetologia. 1997 Apr 24;40(5):614–7.
20. Marwood SF. Diabetes mellitus--some reflections. J R Coll Gen Pract. 1973 Jan;23(126):38–45.
21. Gemmill CL. The Greek concept of diabetes. Bull N Y Acad Med. 1972 Sep;48(8):1033–6.
22. Mazur A. Why were “starvation diets” promoted for diabetes in the pre-insulin period? Nutr J. 2011
Dec 11;10(1):23.
23. Bliss M. The History of Insulin. Diabetes Care. 1993 Dec 1;16(Supplement_3):4–7.
24. Rosenfeld L. Insulin: discovery and controversy. Clin Chem. 2002 Dec;48(12):2270–88.
25. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group. The Effect of Intensive Treatment of
Diabetes on the Development and Progression of Long-Term Complications in Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus. New England Journal of Medicine. 1993 Sep 30;329(14):977–86.
26. Hirsch IB. Insulin Analogues. New England Journal of Medicine. 2005 Jan 13;352(2):174–83.
28. Collins L, Costello R. Glucagon-like Peptide-1 Receptor Agonists. StatPearls Publishing. 2023.
30. Gourgari E, Wilhelm EE, Hassanzadeh H, Aroda VR, Shoulson I. A comprehensive review of the
FDA-approved labels of diabetes drugs: Indications, safety, and emerging cardiovascular safety data.
J Diabetes Complications. 2017 Dec;31(12):1719–27.
31. Burcelin R, Gourdy P. Harnessing glucagon-like peptide-1 receptor agonists for the pharmacological
treatment of overweight and obesity. Obesity Reviews. 2017 Jan;18(1):86–98.
32. Hunt B, Malkin SJP, Moes RGJ, Huisman EL, Vandebrouck T, Wolffenbuttel BHR. Once-weekly
semaglutide for patients with type 2 diabetes: a cost-effectiveness analysis in the Netherlands. BMJ
Open Diabetes Res Care. 2019 Oct;7(1):e000705.