Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FARMASI KLINIK

Disusun Oleh :

Nama : Ni Putu Meysanthi Angela Putri Artita


NIM : 050218A150

PROGRAM STUDI FARMASI TRANSFER


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah farmasi
klinik tentang ‘Penyelesaian Kasus dengan Metode PCNE dan SOAP’ ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya dan juga saya berterima kasih
pada Dosen mata kuliah Farmai Klinik yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya
sendiri maupun yang membacanya.

Ungaran, 22 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2

1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus............................................................................................ 3

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus........................................................................... 3

2.1.2 Patogenesis Diabetes Melitus..................................................................... 3

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus ...................................................................... 7

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus ....................................................................... 7

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ............................................................. 8

2.2 Defini Dislipidemia ....................................................................................... 11

2.2.1 Definisi Dislipidemia ................................................................................. 11

2.2.2 Klasifikasi Dislipidemia ............................................................................. 12

2.2.3 Penatalaksanaan Dislipidemia.................................................................... 13

BAB III PEMBAHASAN

A. PCNE.............................................................................................................. 18

A. SOAP.............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 28

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kefarmasian telah bergeser dari drug oriented ke patient
oriented (pharmaceutical care). Peran farmasis dalam pharmaceutical
care adalah memaksimalkan optimasi hasil terapi pada pasien dengan
dengan mengeliminasi atau menghilangkan Drug Related Problems
(DRPs). DRPs terdiri dari tujuh kategori, dua diantaranya adalah salah
obat dan interaksi obat. Data dari Minnesota Pharmaceutical Care Project
tercatat 17% dari DRPs teridentifikasi oleh komunitas farmasi melibatkan
pasien yang menerima obat salah (Cipolle, 1998).
Dengan adanya DRPs diharapkan seorang apoteker dapat
menjalankan perannya untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP, serta
melakukan konseling pada pasien tersebut agar masalah terkait
penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti tentang
pengobatannya yang bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien
dalam pengobatan yang teratur.
Makalah ini merupakan makalah tentang kasus pasien diabetes
melitus tipe 2 yang juga hiperlipid, dimana pasien telah mendapat
pengobatan dari dokter sehingga makalah ini akan membahas apakah
pengobatan yang didapat pasien telah tepat dengan analisis menggunakan
metode PCNE dan SOAP.
Diabetes melitus adala sekumpulan gangguan metabolik yang
ditandai oleh hiperglikemi dan abnormalitas metabolisme dari karbohidrat,
lemak dan protein. Mayoritas pasien diabetes adalah DM tipe 2. Angka
insiden DM tipe 2 meningkat dengan bertambahnya umur (Davis and
Granner, 2008).
Hiperlipida adalah suatu kondisi kelebihan lemak dalam sirkulasi
darah. Dapat disebut juga hiperlipoproteinemia karena substansi lemak
yang mengalir diperedaran darah terikat oleh protein karena lemak
merupakan partikel yang tidak larut air. Secara umum, hiperlipidemia
dapat dibedakan menjadi 2 sub kategori hiperkoleterolemia dan
hipertrigliseridemia (Harikumar, 2013).
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pasien telah mendapatkan pengobatan yang tepat ?
2. Bagaimana analisis kasus menggunakan metode PCNE dan SOAP ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah pengobatan yang didapatkan pasien telah
tepat ?
2. Untuk mengetahui analisis kasus menggunakan metode PCNE dan
SOAP ?
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai
oleh adanya kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Diabetes
Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berikatan dengan
defisiensi absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena
itu meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin, manifestasi
pokoknya adalah penyakit metabolik (Waspadji, 1995).
2.1.2 Patogenesis Diabetes Melitus
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang :
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang
berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet.
4

Gambar 1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia pada
DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for
the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh


delapan hal (omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalamkeadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses gluconeogenesis.
3. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
5

4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja
dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja
untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi
dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di
dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon
6

atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4


inhibitor dan amylin.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.
7

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Tabel 2 Klasifikasi Diabetes Melitus

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat
ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT). • Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil
pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam.
8

Tabel 3 Nilai Kadar Normal Diagnosis Diabetes

Tabel 4 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa

2.1.5 Penatalaksanaan DM
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil
lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
A. Terapi Non Farmakologi
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi
yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi
medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi
diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini
antara lain : menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki
profil lipid, meningkatkan sensitivitas resseptor insulin, memperbaiki
system koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah
untuk mencapai dan mempertahankan :
9

1. Kadar glukosa darah mendekati normal


• Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
• Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
• Kadar Hb AlC < 7%
2. Tekanan darah < 130/80 mmHg
3. Profil lipid
• Kolesterol LDL < 100 mg/dl
• Kolesterol HDL > 40 mg/dl
• Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini
lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada
gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor
khusus lain yang perlu diberikan prioritas. Beberapa faktor yang
harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status
kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia.
(Soebardi, 2006)
B. Terapi Farakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.

Tabel 5 Profil Obat Hiperglikemi Oral yang Tersedia di Indonesia


10

C. Obat Anti Hiperglikemi Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1
dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
• HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Krisis Hiperglikemia
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
• Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
• Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan
insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek
penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk
indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan
sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan
Lixisenatide.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah
beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam
3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg
setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang
diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja
Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.
11

2.2 Dislipidemia
2.2.1 Definisi
Hiperlipidemia adalah suatu kondisi kelebihan lemak dalam
sirkulasi darah. Dapat disebut juga dengan hiperlipoproteinemia karena
substansi lemak yang mengalir di peredaran darah terikat oleh protein
karena lemak merupakan partikel yang tidak larut air. Secara umum,
hiperlipidemia dapat dibedakan menjadi 2 sub kategori yaitu
hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia (Harikumar, dkk., 2013).
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid
yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam
plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total (Ktotal), kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida (TG), serta
penurunan kolesterol HDL (K-HDL). Dalam proses terjadinya
aterosklerosis semuanya mempunyai peran yang penting, dan erat
kaitannya satu dengan yang lain, sehingga tidak mungkin dibicarakan
tersendiri. Agar lipid dapat larut dalam darah, molekul lipid harus terikat
pada molekul protein (yang dikenal dengan nama apoprotein, yang sering
disingkat dengan nama Apo. Senyawa lipid dengan apoprotein dikenal
sebagai lipoprotein. Tergantung dari kandungan lipid dan jenis
apoprotein yang terkandung maka dikenal lima jenis liporotein yaitu
kilomikron, very low density lipo protein (VLDL), intermediate density
lipo protein (IDL), low-density lipoprotein (LDL), dan high density
lipoprotein (HDL) (tabel 3).
Dari total serum kolesterol, K-LDL berkontribusi 60-70 %,
mempunyai apolipoprotein yang dinamakan apo B-100 (apo B).
Kolesterol LDL merupakan lipoprotein aterogenik utama, dan dijadikan
target utama untuk penatalaksanaan dislipidemia. Kolesterol HDL
berkontribusi pada 20-30% dari total kolesterol serum. Apolipoprotein
utamanya adalah apo A-1 dan apo A-II. Bukti bukti menyebutkan bahwa
HDL memghambat proses aterosklerosis.

Tabel 6 Jenis Lipoprotein, apoprotein dan kandungan lipid


12

2.2.2 Klasifikasi Dislipidemia


Berbagai klasifikasi dapat ditemukan dalam kepustakaan,
tetapi yang mudah digunakan adalah pembagian dislipidemia
dalam bentuk dislipidemia primer dan dislipidemia sekunder.
Dislipidemia sekunder diartikan dislipidemia yang terjadi sebagai
akibat suatu penyakit lain. Pembagian ini penting dalam
menentukan pola pengobatan yang akan diterapkan.
A. Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer adalah dislipidemia akibat kelainan
genetik. Pasien dislipidemia sedang disebabkan oleh
hiperkolesterolemia poligenik dan dislipidemia kombinasi familial.
Dislipidemia berat umumnya karena hiperkolesterolemia familial,
dislipidemia remnan, dan hipertrigliseridemia primer.
B. Dislipidemia Sekunder
Pengertian sekunder adalah dislipidemia yang terjadi akibat
suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme, sindroma nefrotik,
diabetes melitus, dan sindroma metabolik (tabel2). Pengelolaan
penyakit primer akan memperbaiki dislipidemia yang ada. Dalam
hal ini pengobatan penyakit primer yang diutamakan. Akan tetapi
pada pasien diabetes mellitus pemakaian obat hipolipidemik sangat
dianjurkan, sebab risiko koroner pasien tersebut sangat tinggi.
Pasien diabetes melitus dianggap mempunyai risiko yang sama
(ekivalen)dengan pasien penyakit jantung koroner. Pankreatitis
akut merupakan menifestasi umum hipertrigliseridemia yang berat.
Adapun penyebab dislipidemia sekunder yaitu :
• Diabetes melitus
• Hipotiroidisme
• Penyakit hati obstruktif
• Sindroma nefrotik
• Obat-obat yang dapat meningkatkan kolesterol LDL dan
menurunkan kolesterol HDL (cth : progestin, steroid
anabolik, kortikosteroid, beta blocker).
13

2.2.3 Penatalaksanaan Dislipidemia


Dalam pengelolaan dislipidemia, diperlukan strategi yang
komprehensif untuk mengendalikan kadar lipid dan faktor faktor
metabolik lainnya seperti hipertensi, diabetes dan obesitas. Selain
itu faktor faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya seperti
merokok juga harus dikendalikan. Pengelolaan dislipidemia
meliputi pencegahan primer yang ditujukan untuk mencegah
timbulnya komplikasi penyakit-penyakit kardiovaskular pada
pasien dislipidemia seperti penyakit jantung koroner, stroke dan
penyakit aterosklerosis vaskular lainnya dan pencegahan sekunder
yang ditujukan untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler
lanjutan pada semua pasien yang telah menderita penyakit
aterosklerosis dan kardiovaskular yang jelas.
Pengelolaan pasien dislipidemia terdiri dari terapi non
farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi
perubahan gaya hidup, termasuk aktivitas fisik, terapi nutrisi
medis, penurunan berat badan dan penghentian merokok.
Sedangkan terapi farmakologis dengan memberikan obat anti lipid.
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai kedua
terapi tersebut.
A. Terapi Non Farmakologi
1. Aktivitas Fisik
Aktifitas fisik yang disarankan meliputi program latihan
yang mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan
intensitas sedang (menurunkan 4-7 kkal/menit) 4 sampai 6 kali
seminggu, dengan pengeluaran minimal 200 kkal/ hari.
Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat, bersepeda statis,
ataupaun berenang. Tujuan aktivitas fisik harian dapat dipenuhi
dalam satu sesi atau beberapa sesi sepanjang rangkaian dalam
sehari (minimal 10 menit). Bagi beberapa pasien, beristirahat
selama beberapa saat di selasela aktivitas dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap progran aktivitas fisik. Selain aerobik,
aktivitas penguatan otot dianjurkan dilakukan minimal 2 hari
seminggu.
2. Terapi Nutrisi Medis
Bagi orang dewasa, disarankan untuk mengkonsumsi diet
rendah kalori yang terdiri dari buah-buahan dan sayuran (≥ 5
porsi / hari), biji-bijian (≥ 6 porsi / hari), ikan, dan daging tanpa
lemak. Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol harus
dibatasi, sedangkan makronutrien yang menurunkan kadar
14

LDL-C harus mencakup tanaman stanol/sterol (2 g/ hari) dan


serat larut air (10-25 g /hari).
3. Berhenti Merokok
Merokok merupakan faktor risiko kuat, terutama untuk
penyakit jantung koroner, penyakit vaskular perifer, dan stroke.
Merokok mempercepat pembentukan plak pada koroner dan
dapat menyebabkan ruptur plak sehingga sangat berbahaya bagi
orang dengan aterosklerosis koroner yang luas. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa merokok memiliki efek negatif
yang besar pada kadar KHDL dan rasio K-LDL/K-HDL.
Merokok juga memiliki efek negatif pada lipid postprandial,
termasuk trigliserida. Berhenti merokok minimal dalam 30 hari
dapat meningkatkan K-HDL secara signifikan.
B. Terapi Farmakologi
Prinsip dasar dalam terapi farmakologi untuk dislipidemia
baik pada ATP III maupun ACC/AHA 2013 adalah untuk
menurunkan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Berbeda
dengan ATP III yang menentukan kadar K-LDL tertentu yang
harus dicapai sesuai dengan klasifikasi faktor risiko, ACC/AHA
2013 tidak secara spesifik menyebutkan angka target terapinya,
tetapi ditekankan kepada pemakaian statin dan persentase
penurunan K-LDL dari nilai awal. Hal tersebut merupakan hasil
dari evaluasi beberapa studi besar yang hasilnya menunjukkan
bahwa penggunaan statin berhubungan dengan penurunan risiko
ASCVD tanpa melihat target absolut dari K-LDL(16) .
Namun demikian, jika mengacu kepada ATP III, maka
selain statin, beberapa kelompok obat hipolipidemik yang lain
masih dapat digunakan yaitu Bile acid sequestrant, Asam nikotinat,
dan Fibrat dengan profil sebagai berikut :
15

Tabel 7 Obat-obat Hipolipidemik

Jika mengacu kepada studi-studi besar pencegahan primer


dan sekunder dari ASCVD maka hanya statin yang menunjukkan
bukti bukti yang konsisten sedangkan obat obat yang lain belum
mempunyai bukti yang cukup kuat. Sehingga ACC/AHA 2013
merekomendasikan statin sebagai obat utama pada pencegahan
primer dan sekunder. Obat lain hanya dipakai apabila didapatkan
kontraindikasi atau keterbatasan pemakaian statin. Penggunaan
plant sterols, sterol esters, stanols atau stanol esters belum
mempunyai bukti yang cukup signifikan dalam pencegahan
ASCVD.
Berikut ini akan dirinci lebih lanjut tentang jenis obat
hipolipidemik mengenai farmakokinetik dan farmakodinamiknya
1. Statin
Mekanisme Kerja Statin bekerja dengan mengurangi
pembentukan kolesterol di liver dengan menghambat secara
kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA reduktase. Pengurangan
konsentrasi kolesterol intraseluler meningkatkan ekspresi reseptor
LDL pada permukaan hepatosit yang berakibat meningkatnya
pengeluaran LDL-C dari darah dan penurunan konsentrasi dari
LDL-C dan lipoprotein apo-B lainnya termasuk trigliserida Statin
sebagai pencegahan primer:
16

• Terapi statin direkomendasikan sebagai bagian dari


pengelolaan dan strategi pencegahan primer penyakit
kardiovaskular pada dewasa yang memiliki 20% atau 10
tahun risiko lebih besar terkena penyakit kardiovaskular
(skor risiko Framingham). Tingkat risiko dapat dihitung
dengan menggunakan risk calculator. Pada kelompok
tertentu dimana risk calculator tidak mampu menghitung
resiko secara tepat (pasien geriatri, etnis tertentu) maka
dilakukan penilaian secara klinis.
• Keputusan untuk memulai terapi statin harus didahului
dengan pemberian informasi yang jelas kepada pasien
tentang risiko dan manfaat dari statin, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor tambahan seperti
komorbiditas, harapan hidup dan aspek ekonomi.
• Target untuk kolesterol total dan kolesterol LDL tidak
dianjurkan jika indikasi pemberian statin adalah untuk
pencegahan primer.
• Setelah dimulai pemberian statin untuk pencegahan primer,
pengulangan ulangi pengukuran lipid tidak perlu. Clinical
judgement dan keinginan pasien harus memandu review
terapi obat dan apakah untuk meninjau profil lipid.
• Jika pemberian statin untuk tujuan pencegahan primer telah
diberikan, maka belum ada rekomendasi kapan untuk
melakukan penilaian laboratorium ulangan untuk kadar
lipid. Penilaian klinis dan juga mendengarkan pilihan yang
dibuat oleh pasien dapat dijadikan pertimbangan untuk
menentukan penggunaan statin selanjutnya dan kapan
melakukan evaluasi ulang dari profil lipid.
2. Asam Fibrat
Terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafibrat,
ciprofibrat, dan fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid
plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati. Obat
ini bekerja mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang
kerjanya memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar
trigliserid, obat ini juga meningkatkan kadar kolesterol-
HDL yang diduga melalui peningkatan apoprotein A-I, dan
A-II.
17

3. Asam Nikotinik
Obat ini diduga bekerja menghambat enzim
hormone sensitive lipase di jaringan adiposa, dengan
demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas.
Diketahui bahwa asam lemak bebas ada dalam darah
sebagian akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber
pembentukkan VLD. Dengan menurunnya sintesis VLDL
di hati, akan mengakibatkan penurunan kadar trigliserid,
dan juga kolesterol-LDL di plasma. Pemberian asam
nikotinik temyata juga meningkatkan kadar kolesterol-
HDL. Efek samping yang paling sering terjadi adalah
flushing yaitu perasaan panas pada muka bahkan di badan.
4. Ezetimibe
Obat golongan ezetimibe ini bekerja dengan
menghambat absorbsi kolesterol oleh usus halus.
Kemampuannya moderate didalam menurunkan kolesterol
LDL (15-25%). Pertimbangan penggunaan ezetimibe
adalah untuk menurunkan kadar LDL, terutama pada pasien
yang tidak tahan terhadap pemberian statin. Pertimbangan
lainnya adalah penggunaannya sebagai kombinasi dengan
statin untuk mencapai penurunan kadar LDL yang lebih
rendah.
18

BAB III

PEMBAHASAN KASUS 8

3.1 DATABASE PASIEN


Nama Pasien : Livia
Umur : 27 Tahun
TB/BB : 163 cm/75 Kg
Riwayat Penyakit : DM tipe 2 dan dislipidemia
Riwayat Keluarga : Ibu ( DM dan Hipertensi, merokok sejak SMA )
Ayah ( Hipertensi )
Riwayat Pengobatan : Novorapid 6 (3 x 22 unit), Lantus 2 (1 x 20 unit
Malam), Acarbose 50mg 90 tablet (3 x 1 tablet),
Metformin 500mg 90 tablet (3 x 1 tablet).
Alergi Obat :-

A. PCNE
1. Subjek
• Nama : Livia
• Umur : 27 th
• Rutin minum obat dan mampu mentoleransi obatnya dengan
baik tapi kadar gulanya masih sering tidak terkontrol.
• Alergi : tidak ada ( nihil )
• Riwayat keluarga :
Ibu : DM dan Hipertensi, merokok sejak SMA
Ayah : Hipertensi
• Riwayat penyakit : DM tipe 2 dan dislipidemia
• Kajian sistem tubuh :
(+) polyuria/polyphagia/polydipsia

2. Objektif
a. Pemeriksaan Fisik :
TD : 100/90 mmHg
BB : 75 kg
Nad : 80 bpm
TB : 163 cm
19

b. Hasil Tes Laboratorium :

No Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Lab Pasien


1 HbA1c <6,5 % 9,5 %
2 Kolesterol Total 150-250 mg/dl 305 mg/dl
3 LDL < 100 mg/dl 259 mg/dl
4 HDL >40 mg/dl 40 mg/dl
5 TG <150 mg/dl 196 mg/dl
6 Urean N 7 – 30 mg/dl 8 mg/dl
7 Ureum 10,7-42,8 mg/dL 17 mg/dl
8 Creatinin 0,5-1,1 mg/dL 0,61 mg/dl
9 eLFG (cd-epi) 90-120 124 ml/menit/1,73
ml/menit/1,73 m2 m2
10 Rasio Albumin-
< 30 µg/mg 146 µg/mg
Kreatinin
11 Glukosa Puasa 70-106 mg/dl 325µg/mg

c. Tabel PCNE

PROBLEM M.1 Efktifitas Obat M1.1 Tidak ada efek terapi obat
MEDIK
1. Masalah Terapi Obat
Diabetes Melitus Alasan ? Target (SMART) ?

Gula darah pasien masih sering tidak Kadar GDP < 126 mg/dl
terkontrol padahal terapi sudah Kadar GDS < 150 mg/dl
ADEKUAT. HbA1C < 6,5 %
(PERKENI, 2015)

Kemungkinan Solusi ? Implementasi ?

• Rekonsiliasi kepada pasien. Penggunaan obat dan insulin sudah


• Memperbaiki gaya hidup. sesuai dosis.
• Penggantian acarbose

Solusi yang dipilih Monitoring ?

Rekonsiliasi pasien dan memperbaiki • Mengontrol kadar GDP dan


gaya hidup HbA1c
• Pengaturan gaya hidup sehat
20

dengan menjaga pola makan


• Olahraga rutin

M1.3 Ada Indikasi / Gejala yang


PROBLEM M.1 Efektifitas Terapi Tidak Di Terapi

MEDIK
2. Masalah Terapi Obat
Dislipidemia Alasan ? Target (SMART) ?

Kadar Kolesterol < 200 mg/dl


Nilai kadar koletsterol total, LDL dan Kadar LDL < 100 mg/dL
TG melebihi kadar normal dan belum Kadar TG < 150 mg/dL
mendapatkan terapi. Kadar HDL > 40 mg/dL
(PERKENI, 2015)
Kemungkinan Solusi ? Implementasi ?

•Diberikan terapi golongan statin Direkomendasikan Statin-Fibrat


(Simvastatin 5 mg) kepada pasien.
(PERKI, 2013) (Jurnal kedokteran, vol 39, th 2006)
• Statin-Fibrat (Jurnal kedokteran,
vol 39, th 2006)
• Statin-Niacin (Jurnal kedokteran,
vol 39, th 2006)
Solusi yang dipilih Monitoring ?

Diberikan terapi gol. statin kombinasi • Monitoring kadar


gol. Fibrat kepada pasien. kolesterol total,
(Jurnal kedokteran, vol 39, th 2006) LDL dan TG.
• Monitoring TTV
21

B. SOAP
1. Subjek
• Nama : Livia
• Umur : 27 th
• Rutin minum obat dan mampu mentoleransi obatnya dengan
baik tapi kadar gulanya masih sering tidak terkontrol.
• Alergi : tidak ada ( nihil )
• Riwayat keluarga :
Ibu : DM dan Hipertensi, merokok sejak SMA
Ayah : Hipertensi
• Riwayat penyakit : DM tipe 2 dan dislipidemia
• Kajian sistem tubuh :
(+) polyuria/polyphagia/polydipsia
2. Objektif
a. Pemeriksaan Fisik :
TD : 100/90 mmHg
BB : 75 kg
Nad : 80 bpm
TB : 163 cm

b. Hasil Tes Laboratorium


No Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Lab Pasien
1 HbA1c <6,5 % 9,5 %
2 Kolesterol Total 150-250 mg/dl 305 mg/dl
3 LDL < 100 mg/dl 259 mg/dl
4 HDL >40 mg/dl 40 mg/dl
5 TG <150 mg/dl 196 mg/dl
6 Urean N 7 – 30 mg/dl 8 mg/dl
7 Ureum 10,7-42,8 mg/dL 17 mg/dl
8 Creatinin 0,5-1,1 mg/dL 0,61 mg/dl
9 eLFG (cd-epi) 90-120 124 ml/menit/1,73
ml/menit/1,73 m2 m2
10 Rasio Albumin-
< 30 µg/mg 146 µg/mg
Kreatinin
11 Glukosa Puasa 70-106 mg/dl 325µg/mg
22

3. Assesment
Medical
NO Therapy Subyetif & Obyektif DRPs Mecanism
Problem
Terapi Adekuat
Bekerja langsung pada Bekerja dengan menekan
hati (hepar), produksi glukosa pada hati
Metformin menurunkan produksi (hepar), meningkatkan
glukosa hati. sensitivitas insulin.
(PERKENI, 2015)

Terapi Adekuat Cara kerja obat ini yaitu


Acarbose merupakan menghambat absorpsi
first-line untuk pasien karbohidrat di usus halus
Subjektif : polyuria/
yang glukosa sehingga akan menurunkan
polyphagia/ polydipsia
darahnya tinggi tidak kadar gula darah
Acrbose
terkontrol karena pola postprandial.
1 Diabetes Melitus Obyektif :
diet / life style yang (Jurnal Sari Pediatri, 2010)
GDP: 325 mg/dl
tidak baik.
HbA1C : 9.5%
(Expert Opin.
Pharmacother, 2014)
Terapi Adekuat Insulin bekerja melalui
Insulin diperlukan memperantarai uptake
pada keadaan HbA1c glukosa seluler, regulasi
>9%. Terapi insulin metabolism karbohidrat,
Insulin diupayakan mampu lemak, dan protein, serta
menyerupai pola mendorong pemisahan dan
sekresi insulin yang pertumbuhan sel melalui
fisiologis. efek motigenik pada insulin
(PERKENI, 2015) (Wilcox, 2005).
Objektif :
Kolestrol : 305 mg/dl, Untreated Indication
2 Dislipidemia - TG : 196 mg/dl (indikasi yang tidak -
LDL : 259 mg/dl ditangani)
HDL: 40 mg/dl
23

4. Plan
Medical
NO Rekomendasi dan Alasan Monitoring
Problem
• Direkomendasikan kepada
pasien untuk tetap
melanjutkan pengobatan
yang ada, karena
berdasarkan literatur
pengobatan yang didapat
• Penggunaan insulin dan
sudah Ade Kuat.
waktu mengkonsumsi
• Berdasarkan nilai BMI
1 Diabetes Melitus obat.
pasien mengalami
• Kadar GDP, GDS dan
obesitas, disarankan
HbA1c.
kepada pasien agar
menjaga life style seperti
pola makan dan
melakukan aktvitas seperti
olahraga agar
metabolisme tubuh lancar.
Direkomendasikan untuk
pemberian obat dislipidemia gol.
Statin kombinsi gol. Fibrat, karena
kombinasi kedua obat menurunkan
LDL, TG, non-HDL dan apoB Kadar kolesterol total, LDL, dan
2 Dislipidemia
yaitu 26,5%, 24,1%, 30,4%, TG.
21,8%. Dengan waktu konsumsi
yang diberi jeda untuk mencegah
terjadinya efek samping obat.
(Jurnal Kedokteran, 2006)

C. KIE
1. Diet nutrisi, seperti mengurangi asupan gula dan tinggi kolesterol
/ lemak.
2. Megkonsumsi obat dengan teratur.
3. Mengubah life style dan tingkatkan aktivitas fisik dengan
melakukan olahraga seperti jalan cepat + 30 menit.
24

LAMPIRAN PUSTAKA & SITASI


25
26

Depkes, 2005
27
28

DAFTAR PUSTAKA

Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C. 1998. Pharmaceutical Care Practice.
McGraw-Hill : New York.

Davis, S.N dan Granner D.K.. 2008. Dasar Farmakologi Terapi volume 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Depkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Direktorat


Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Diani, Aryana, dkk. 2010. Tata laksana Metformin Diabetes Mellitus Tipe 2 pada
Anak Dibandingkan dengan obat Anti Diabetes Oral yang lain.
Jurnal Sari Pediatri. Vol. 11. No. 6.

Harikumar, K., S. 2013. A Review of Hyperlipidemic.International Journal of


Novel Trends In Pharmaceutical Sciences 3. Vol .4 : 59-62.

Lindarto, Dharma. 2006. Pengobatan Kombinasi Dislipidemia. Jurnal Kedokteran


Nusantara. Vol. 39 No. 2.

PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni.

PERKENI. 2015. Panduan Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta : PB


Perkeni.

Shasank R Joshi, Ambady Ramachandran. 2014. Acarbose plus metformin fixed


dose combination in the management of type 2 diabetes. Expert
opin. Pharmacother. Vol.15.

Waspadji, S. 1995. Penelitian Diabetes Mellitus Suatu Tinjauan Tentang Hasil


Penelitian dan Kebutuhan Penelitian Masa yang Akan Datang
dalam Diabetes Mellitus Penatalaksanaan Terpadu. FKUI :
Jakarta.

Wilcox, G.. 2005. Insulin and insulin resistance. Clin Biochem.

Anda mungkin juga menyukai