Anda di halaman 1dari 3

Pengertian Perda itu sendiri dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau lebih disingkat UU PPP. Pasal 7 dan 8 UU


PPP mengatakan bahwa Perda provinsi/kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala
Daerah. Senada dengan itu, Imam Ropi’i juga mengatakan “Proses pembahasan dan penentuan
peraturan di daerah secara teoritis dapat dilakukan dari dua jalur, yaitu jalur lembaga
perwakilan daerah dan pemerintah daerah (Kepala Daerah), karena kedua lembaga tersebut
penentuannya dilakukan secara langsung oleh rakyat di daerah, maka secara politis rakyat
memiliki hak untuk berpartisipasi”. Pasal 1 ayat (18) Permendagri No. 80 tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, dimana Pembentukan Perda adalah pembuatan peraturan-
perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
penetapan, pengundangan dan penyebarluasan.

Proses keterlibatan masyarakat dalam pembentukan produk hukum daerah, memang telah
diakomodir. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 166 Permendagri Pembentukan Produk Hukum
Daerah, dimana masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
pembentukan Perda, Perbup, Peraturan Bersama KDH dan/atau Peraturan DPRD. Masukan
tersebut dapat dilakukan dengan;

1. Rapat Dengar Pendapat Umum;


2. Kunjungan kerja;
3. Sosialisasi; dan/atau
4. Seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Pasal 22 ayat (1) Permendagri Pembentukan Produk Hukum Daerah (berlaku secara mutatis
mutandis untuk kabupaten/kota-vide Pasal 24), dimana dalam rancangan Perda wajib disertai
dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Pasal 16 ayat (3) serta Pasal
26 Permendagri Pembentukan Produk Hukum Daerah, dimana penyusunan penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah akadmik dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan pihak ketiga yang
mempunyai keahlian sesuai materi yang akan diatur dalam rancangan perda serta dalam
penyusunan rancangan Perda tim penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari
lingkungan Perguruan Tinggi atau organisasi kemasyarakatan sesuai kebutuhan.

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat
penting dalam rangka menciptakan good governance. Jika melihat bentuk partisipasi masyarakat
dalam Pasal 166 Permendagri Pembentukan Produk Hukum Daerah, masyarakat selama ini
dalam proses pembentukan Perda masih bersifat pasif, parsial dan simbolik. Beberapa
komunikasi massa yang dilakukan hanyalah sebagai pelengkap prosedur adanya basis research
(penelitian dasar) yang melandasi pelaksanaan Perda. Hal ini tidak sejalan dengan konsep yang
dikemukakan oleh Philipus Hadjon, “bahwa di tahun 1960 muncul konsep demokrasi
partisipasi. Dalam konsep ini, rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses
pengambilan keputusan pemerintahan”. Tentunya ini yang seharusnya mesti dilakukan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kayong Utara dengan menjadikan masyarakat sebagai bagian
dari pengambil keputusan, bukan sebagai pelengkap prosedur dalam pembentukan peraturan di
daerah.

Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU PPP, yaitu sebagai berikut:

1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ Pembentuk;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan;
7. Keterbukaan.
Proses pembentukan produk hukum daerah, mulai tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, pengundangan dan penyebarluasan sangat penting untuk dilakukan.
Untuk membangun Perda yang partisipatif, asas transparansi atau keterbukaan menjadi penting
untuk dilakukan, dimana proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai
perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan daerah.

Program Pembentukan Perda yang disingkat Propemperda berdasarkan Pasal 15 ayat (2)
Permendagri Pembentukan Produk Hukum Daerah, dimana penyusunan Propemperda memuat
daftar rancangan Perda yang didasarkan atas:

1. Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;


2. Rencana pembangunan daerah;
3. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
4. Aspirasi masyarakat daerah.

Edi Pranoto dalam artikelnya yang berjudul “Ketetapan Tidak Sah” mengatakan “Pemenuhan
terhadap syarat-syarat dibuatnya ketetapan menjadi sangat penting, agar ketetapan yang dibuat
menjadi sah, yang artinya tidak terpenuhinya syarat-syarat ketetapan, akan menyebabkan itu
tidak sah atau disebut ketetapan tidak sah (nietrechtsgelding). Akibat hukum dari ketetapan yang
tidak sah adalah ketetapan batal karena hukum (nietigheid van rechtswege), ketetapan batal
(nietig) atau ketetapan dapat dibatalkan (vernietigbaar).

Jika melihat dasar Propemperda di atas, empat syarat tersebut merupakan satu-kesatuan, karena
pada poin (C) diatas ditambahi kata “dan” sehingga apabila empat syarat tadi tidak terpenuhi,
maka Propemperda yang nantinya ditetapkan menjadi Perda dapat berakibat hukum, Perda yang
telah ditetapkan dapat batal karena hukum atau dibatalkan.

Aspirasi masyarakat daerah merupakan hal yang cukup penting dikarenakan masyarakat di
daerah adalah mengetahui tentang dirinya dan permasalahan yang melingkupinya. Selanjutnya,
pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam
optimalisasi Perda itu sendiri? Menurut Rival G. Ahmad, setidaknya ada 8 (delapan) prinsip,
yaitu adanya publikasi yang efektif; adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang
sistematis, bebas dan acceptable; adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif
bagi masyarakat untuk terlibat dalam mengawasi proses; adanya prosedur yang menjamin publik
bisa mengajukan RUU selain anggota DPRD dan Pemerintah; adanya pengaturan yang jelas
mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan acceptable seperti naskah akademik dan
raperda; adanya jaminan banding bagi publik bila proses pembentukan perda tidak dilakukan
secara partisipatif; ada pengaturan jangka waktu yang memadai untuk seluruh proses
penyusunan, pembahasan raperda dan diseminasi perda yang telah dilaksanakan; dan ada
pertanggungjawaban yang jelas dan memadai bagi pembentukan peraturan daerah.

Jika diamati Permendagri Pembentukan Produk Hukum Daerah yang tentunya diakui sebagai
mekanisme Propemperda yang berlaku bagi Kabupaten Kayong Utara, maka ada beberapa
catatan, yaitu, tidak adanya adanya prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan rancangan
Perda selain anggota DPRD dan Pemerintah, tidak adanya jaminan banding bagi masyarakat, bila
proses pembentukan perda tidak dilakukan secara partisipatif, tidak adanya pertanggungjawaban
yang jelas dan memadai bagi pembentukan peraturan daerah yang dengan sengaja menutup
peluang masyarakat untuk berpartisipasi dan tidak adanya jaminan prosedur dan forum yang
terbuka, efektif bagi masyarakat untuk terlibat dalam mengawasi proses dan tidak adanya
kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas dan acceptable seperti naskah
akademik dan raperda.

Mengacu pada catatan yang dikemukakan diatas tadi, sampai saat inipun tidak ada ruang yang
cukup memadai bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan produk hukum daerah. Secara
prosedural formal, seluruh proses dalam prosedur penyusunan produk hukum daerah adalah
black box bagi masyarakat yang ingin mengusulkan atau berpartisipasi dalam penyusunan suatu
produk hukum daerah. Sebenarnya, salah satu jalan atau solusi yang bisa ditempuh adalah
masyarakat dapat memberikan usulan untuk penyusunan produk hukum daerah secara formal
dan substantif dengan mengusulkannya melalui Unit Kerja (SKPD) terkait di pemerintah daerah
atau melalui DPRD. Dari pengalaman yang ada, mengusulkan penyusunan produk hukum daerah
melalui DPRD adalah jalan yang paling pendek dan tidak rumit. Yang perlu dilakukan adalah
kemampuan untuk meyakinkan anggota DPRD agar bisa mengakomodasi mereka. Hal ini senada
dengan apa yang dikatakan oleh pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia Zairin
Harahap bahwa penyusunan peraturan daerah di setiap daerah harus bersifat partisipatif yang
artinya peraturan daerah juga untuk kepentingan publik sehingga publik harus terlibat secara
kompherensif dalam perumusan itu. Selain itu, antusiasme masyarakat untuk terlibat secara aktif
perlu ditingkatkan kesadarannya dalam mengawasi maupun memberikan masukan terkait
penyusunan perda.

Kabupaten Kayong Utara sampai saat inipun belum memiliki Perda yang mengatur Penyusunan
Propemperda. Pasal 16 ayat 3 Permendagri Pembentukan Produk Hukum Daerah (berlaku secara
mutatis mutandis untuk kabupaten/kota-vide Pasal 17) telah mengamanatkan bahwa tata cara
penyusunan Propemperda diatur dalam Perda. Diharapkan, kedepan agar bisa diusulkan
eksekutif atau inisiatif legislatif menjadi Raperda sehingga nantinya akan menjadi payung
hukum bagi penyusunan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten
Kayong Utara mulai dari Perda, Perbup, Peraturan Bersama KDH dan/atau Peraturan DPRD.

Pemerintah dalam merancang dan membuat peraturan daerah hendaknya memperhatikan asas-asas
pembuatan perda yang baik, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Peraturan Daerah dibuat untuk menciptakan suasana pemerintahan yang baik
dan teratur, bukan malah membuat masalah baru dalam masyarakat. Untuk itu keprofesionalan dan
kearifan pemerintah sangatlah dibutuhkan.

bentuk partisipasi masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk


memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan daerah

Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam penyusunan produk hukum daerah

bagaimana mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam optimalisasi Perda

Anda mungkin juga menyukai