Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Cedera Kepala Berat

1. Definisi

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai

atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti

terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cedera kepala adalah trauma yang

mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan

tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah

laku dan emosional (Widagdo, Suharyanto and Aryani, 2008).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan

lalu lintas. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau

deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.

Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah

trauma. Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan

penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24

jam (Haddad and Arabi, 2012) Cedera kepala berat adalah keadaan dimana

penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran

menurun (GCS < 8) (Advanced Trauma Life Support, 2008). Dari semua

pengertian di atas dapat disimpulkan cedera kepala berat adalah proses terjadi

trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan suatu


gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan

interstitial dimana mengalami penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8

dan mengalami amnesia > 24 jam.

2. Tanda dan gejala Menurut Manurung (2018),

tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:

a. Commotio Cerebri

1) Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit

2) Mual dan muntah

3) Nyeri kepala (pusing)

4) Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal

b. Contosio cerebri

1) Tidak sadar lebih 10 menit

2) Amnesia anterograde

3) Mual dan muntah

4) Penurunan tingkat kesadaran

5) Gejala neurologi, seperti parese

6) Perdarahan
c. Laserasio Serebri

1) Jaringan robek akibat fragmen patah

2) Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan

3) Kelumpuhan anggota gerak

4) Kelumpuhan saraf otak

d. Manifestasi klinis spesifik

Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya.

Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran

penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan

gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja, atas dasar

ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi:

1) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

a) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, alternative dan orientatif)

b) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)

c) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang

d) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.

e) Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala

f) Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.


2) Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)

a) Skor skala koma Glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)

b) Konfusi c) Amnesia pasca trauma

d) Muntah

e) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,

hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospina

f) Kejang

3) Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)

a) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

b) Penurunan derajat kesadaran secara progersif

c) Tanda neurologis fokal

d) Cedera kepala penetrasi atau serba fraktur depresi cranium.

3. Pemeriksaan penunjang

Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang sering

ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :

a. Foto Polos Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus

(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala

yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.


b. CT – Scan CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan

cedera kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah

tulang, pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.

Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah

pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada

lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,

febris, dll)

4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS c.

Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap,

gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.

c. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen

penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo and Usman,

2014)

e. MRI Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang

memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI


telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam

mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.

f. EEG Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk

membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat

perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark

pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera

otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%.

Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah

pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang

delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada

bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.

g. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti

perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.

h. Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

i. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

j. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil

k. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

l. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.
m. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

n. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrakranial

o. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo, 2012)

p. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks menyatakan

akumulasi udara/cairan pada area pleural

q. Toraksentesis menyatakan darah/cairan

r. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu tes

diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang dapat

digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan

status asam basa.

B. Konsep Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi adalah cara pemeriksaan yang menghasilkan gambar bagian

dalam tubuh manusia untuk tujuan diagnostik yang dinamakan pencitraan diagnostik.

Radiologi merupakan ilmu kedokteran tentang penggunaan alat-alat radio yang digunakan

untuk melihat bagian tubuh manusia yang menggunakan pancaran atau radiasi

gelombangel ektromagnetik maupun gelombang mekanik.

Radiologi adalah pemeriksaan yang menggunakan teknologi pencitraan untuk

mendiagnosis suatu penyakit. Dengan begitu, penanganan tepat bisa dokter lakukan untuk

jenis penyakit tersebut


Radiologi merupakan sarana pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

penyakit dan pemberian terapi yang cepat dan tepat bagi pasien yang menjadikan

pelayanan radiologi telah diselenggarakan di berbagai sarana pelayanan kesehatan seperti

puskesmas, klinik swasta dan rumah sakit di seluruh Indonesia. Pelayanan unit radiologi

yang diberikan kepada pasien rumah sakit harus sesuai dengan standar mutu. Semakin

meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka pelayanan

radiologi juga sebaiknya dapat memberikan pelayanan yang berkualitas. Pelayanan yang

memenuhi standar akan memberikan hasil yang terbaik dan akan lebih terarah dalam

pelaksanaannya.

Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang

radio, panas, cahaya sinar ultraviolet, tetapi mempunyai panjang gelombang yang sangat

pendek sehingga dapat menembus benda-benda. Sinar-X juga merupakan salah satu

bentuk dari radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang berkisar antara 10

nanometer sampai 100 picometer dengan jangkauan frekuensi 30 PHz sampai 60 EHz. .

Sinar-X umumnya digunakan dalam diagnosis gambar medical dan kristalografi.

Besarnya penyerapan oleh bahan tergantung dari panjang gelombang sinar-X, susunan

objek terdapat pada alur berkas sinar-X, ketebalan serta kerapatan suatu bahan. Dalam

kegiatan medik, sinar-X dapat dimanfaatkan untuk diagnose maupun terapi (Akhdi, M.

2000) Sinar-X dapat membedakan kerapatan dari berbagai jaringan dalam tubuh manusia

yang dilewatinya. Dengan penemuan sinar-X ini, informasi mengenai tubuh manusia

menjadi mudah diperoleh tanpa perlu dilakukan pembedahan. Saat ini pesawat sinar-X

sangat diperlukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perlu diatur suatu

sistem pelayanan yang baik yang berhubungan dengan ketepatan diagnose pada pasien.

Salah satu klinik di Bali saat ini telah memiliki fasilitas pendukung yang sangat baik antara

lain tersedianya Pesawat Sinar-X.


Optimalisasi hasil pemeriksaan dengan pesawat sinar-X ini sangat diperlukan agar citra

yang dihasilkan memiliki kualitas baik dengan radiasi yang diberikan pada pasien tetap

dalam jumlah sekecil mungkin dan berada dalam nilai batasan yang aman. Pembentukan

gambar pada peristiwa pencitraan pesawat sinarX tergantung dari beberapa factor antara

lain ; tegangan, arus dan waktu penyinaran.

2. Macam-macam Pemeriksaan Radiologi

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1014/MENKES/SK/XI/2008

tentang Standar Pelayanan Radiologi Diagnostik di Sarana Pelayanan Kesehatan

menyatakan, dalam pelayanan radiologi diagnostik memiliki tiga jenis. Tiga pelayanan

radiologi diagnostik meliputi:

1. Pelayanan Radiodiagnostik.

2. Pelayanan Pencitraan Diagnostik.

3. Pelayanan Radiologi Intervensional.

Pelayanan radiodiagnostik adalah pelayanan untuk melakukan diagnosis dengan

menggunakan radiasi pengion (sinar-X), meliputi antara lain pelayanan sinarX

konvensional, Computed Tomography Scan (CT Scan) dan mammografi. Pelayanan

pencitraan diagnostik adalah pelayanan untuk melakukan diagnosis dengan

menggunakan radiasi non pengion, antara lain pemeriksaan dengan Magnetic

Resonance Imaging (MRI), dan ultrasonografi (USG). Pelayanan radiologi intervensional

adalah pelayanan untuk melakukan diagnosis dan terapi intervensi dengan

menggunakan peralatan radiologi sinar-X (angiografi, CT Scan). Pelayanan ini memakai

radiasi pengion dan radiasi non pengion.


Ilmu Radiologi intervensi adalah area spesialisasi dalam bidang radiologi yang

menggunakan teknik radiologi seperti radiografi sinar-X, pemindai CT, 11 pemindai MRI,

dan ultrasonografi untuk menempatkan kabel, tabung, atau instrumen lain di dalam

pasien untuk mendiagnosa atau mengobati berbagai kondisi.

Berikut ini dijelaskan macam-macam pemeriksaan radiologi yang umum dilakukan.

Jenis-jenis pemeriksaan ini dijelaskan secara garis besar berdasarkan modalitas

radiodiagnostik maupuan pencitraan diagnostik lainnya yang digunakan.

1. Radiografi dan Fluoroskopi

Pemeriksaan sinar-X klasik adalah metode radiologi tertua. Secara umum,

radiogram dapat membedakan antara tulang, udara, dan jaringan, tetapi sulit

membuat penggambaran yang tepat dari struktur oleh karena tumpang tindih. Saat

ini, pemeriksaan sinar-X klasik terutama digunakan untuk memeriksa paru-paru dan

tulang (Kartawiguna & Georgiana, 2011:6).

Selama pemeriksaan sinar-X dilakukan, sinar-X akan menembus tubuh. Jaringan

tubuh, seperti tulang dan organ-organ tubuh akan melemahkan sinar - X dengan

berbagai tingkat perlemahan yang berbeda, sinar yang mampu melewati tubuh

sepenuhnya akan mengenai sebuah film yang sensitif terhadap cahaya, membentuk

pola paparan. Ini adalah radiogram klasik. Sedangkan pada sebuah radiogram digital,

film sinar-X digantikan dengan detektor datar yang bekerja berdasarkan teknik

semikonduktor.

2. Computed Tomography Sama seperti sinar-X konvensional,

tomografi komputer (computed tomography atau CT) bekerja dengan sinar-X, tetapi

memberikan gambar yang tidak tumpang tindih yang disebut tomografi. Ini berarti

bahwa daerah yang akan diperiksa adalah disinari dengan sinar-X pada banyak
irisan tipis yang terpisah, yang dapat dilihat secara individual atau dapat

dikombinasikan untuk membentuk tampilan tiga dimensi, sehingga memudahkan

diagnosis yang lebih baik (Kartawiguna & Georgiana, 2011:8).

Selama pemeriksaan CT, tubuh dipindai dalam bagian-bagian individu

sementara pasien bergerak di atas meja melalui gantry. Sebuah tabung sinar-X,

yang terletak di dalam cincin berbentuk donat, diarahkan menuju pusat cincin, di

mana pasien berbaring. Seberkas sinar-X berbentuk kipas dengan ketebalan 1 – 10

mm 12 melewati pasien menuju detektor irisan berganda pada sisi yang

berlawanan, memungkinkan gambar dalam bentuk volume dibuat.

3. Ultrasound atau Sonography

Sonografi paling cocok untuk pencitraan terus menerus atau pemantauan, karena ini

adalah teknik yang sama sekali bebas risiko diagnostik dibandingkan dengan

radiografi, yang menggunakan radiasi berbahaya. Bahkan pemeriksaan gema

berganda (multiple echo) benar-benar aman bagi pasien. Untuk alasan ini, sonografi,

sebagai contoh, telah menjadi prosedur standar untuk pemantauan kehamilan. USG

mengkonversi pulsa elektrik ke gelombang suara, yang ditransmisikan dari

transduser atau probe ke tubuh. Tergantung pada berbagai jenis jaringan tubuh,

gelombang suara diserap dan dipantulkan secara berbeda. Mereka dideteksi oleh

probe dan komputer kemudian dihitung waktu kembalinya gema dan intensitas

gema, mengkonversi gelombang suara yang dipantulkan ke dalam gambar

(Kartawiguna & Georgiana, 2011:6).

4. Magnetic Resonance Imaging

MRI adalah pilihan metode pencitraan saat diperlukan diferensiasi jaringan lunak

ditambah dengan resolusi spasial tinggi dan kemampuan pencitraan fungsional.

Seperti CT, MRI juga merupakan metode tomografi, tapi tidak seperti CT, tidak
menggunakan sinar-X. Sebaliknya, MRI menggunakan medan magnet yang kuat

yang terbentuk dalam cincin menyebabkan perubahan orientasi proton hidrogen

dalam tubuh. Jaringan yang berbeda menghasilkan sinyal yang berbeda, yang

direkam oleh peralatan dan diubah menjadi gambar dengan komputer (Kartawiguna

& Georgiana, 2011:9).

5. Angiografi Angiografi

adalah pemeriksaan sinar-X khusus yang memungkinkan untuk memvisualisasikan

pembuluh darah. Aplikasi klinis khas berkisar dari visualisasi pembuluh darah

koroner, kepala, dan pembuluh arteri serviks dan vena, ke pembuluh perifer di

panggul dan ekstremitas. Metode ini memudahkan diagnosis stenosis (penyempitan)

dan trombosis (penyumbatan) dan bahkan penyembuhan kondisi ini menggunakan

teknik invasif khusus (Kartawiguna & Georgiana, 2011:10). 13 Angiografi

menggunakan media kontras untuk memvisualisasikan pembuluh darah. Media

kontras diberikan melalui kateter yang ditempatkan sedekat mungkin dengan

pembuluh darah yang akan divisualisasikan. Sebuah sistem sinar-X berbentuk

lengan C (C-arm) yang dibutuhkan untuk melakukan radiografi pembuluh darah. Alat

ini dilengkapi dengan lengan berbentuk C yang dapat bergerak dengan tabung sinar-

X di satu ujung dan detektor panel datar pada sisi yang lain.

Anda mungkin juga menyukai