Paradigma modernisasi muncul setelah Perang Dunia II, terutama awal 1950-
an, dan sejak itu mendominasi kebijakan pembangunan ekonomi di negara-negara
miskin sampai hari ini. Dalam paradigma ini telah berkembang beragam teori sesuai
dengan cara pandang masing-masing penemunya. Diantara mereka adalah Rostow
(1960), Hagen (1962), Lerner (1964), Eisenstadt (1966), Smelser (1966),
McClelland (1976), Parsons (1966), dan Inkeles dan Smith (1974). Mereka
mengarahkan analisisnya pada dua faktor pokok yang berbeda dalam menjelaskan
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial, yaitu structural fungsional dan sosial-
psikologis sebagaimana yang telah dialami oleh masyarakat Eropa dan Amerika
Utara. Para pakar merumuskan teori modernisasi yang dapat menstimulasi
perumusan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional di negara-negara
Dunia Ketiga.
Di dalam paradigma modernisasi ditemukan dua pendekatan yang berbeda,
yaitu struktural (makro) dan sosial psikologis (mikro) (Portes 1976). Dalam
pandangan structural (makro), modernisasi dianggap sebagai perubahan sosial,
politik dan ekonomi melalui evolusi, sebagaimana terjadi di Eropa Barat terutama
pada abad ke 18 dan 19. Pendekatan yang kedua ialah pendekatan sosial-psikologis
(mikro), faktor pendorong perubahan sosial dan pembangunan bukan karakteristik
masyarakat pada tingkat makro, tetapi karakteristik individu pada tingkat mikro
(Hagen 1962; Lerner 1964; Smelser 1966; McClelland 1976; Portes 1976; Chirot
dan Hall 1982). Pendekatan ini mencurahkan perhatiannya pada faktor-faktor nilai
dan norma yang berlaku atau dianut oleh masyarakat tradisional dan modern.
Mazhab ini beranggapan bahwa perubahan sosial pada tingkat makro (masyarakat)
ditentukan oleh adanya perubahan pada tingkat individu (mikro), seperti perubahan
dalam cara berpikir dan bertindak, norma dan sistem nilai.
Saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan 111
dari 180 negara yang artinya masih jauh tertinggal dengan negara-negara lain yang
lebih maju, bahkan juga di kalangan negara ASEAN. Hal ini membuktikan bahwa
Indonesia masih sangat tertinggal di beberapa bidang.
Ketertinggalan Indonesia menurut pendekatan makro, yakni:
a. Prioritas yang rendah untuk investasi pengembangan sumberdaya
manusia (Schultz 1981). Investasi sumber daya manusia berupa peran
pemerintah dalam hal pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan
kesehatan. Untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang
produktif tidak bisa lepas dari pendidikan yang diberikan oleh pemerintah.
SDM yang unggul dapat diperoleh jika pendidikan, pengetahuan, wawasan
yang diberikan berguna, bermutu. Maka dari itu banyak yang meletakkan
pendidikan yang berkualitas sebagai kunci utama mendobrak kemajuan
negaranya. Bukti yang sangat nyata saat keterbelalkangan Indonesia dalam
hal ini ialah tingkat literasi indonesia yang rendah. Kesadaran membaca
masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga asia
tenggara. Mengutip laporan riset Central Connecticut State University di
2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan tingkat
literasi rendah. Sedangkan data statistik dari The United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan
minat baca masyarakat Indonesia, sangatlah memprihatinkan yaitu hanya
0,001%. Sedangkan pada pendekatan makro memusatkan perhatian kepada
perubahan sosial, politik dan ekonomi melalui evolusi, yang terjadi pada
struktur makro masyarakat yang biasa dikenal dengan structural fungsional
differentiation.
Contoh negara maju di Asia yang tentunya memiliki kualitas
pendidikan yang sangat baik ialah Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan
masih banyak negara lainnya. Negara korea selatan menduduki peringkat
pertama sebagai negara dengan tingkat pendidikan terbaik didunia untuk
tahun 2020 versi the social progress imperative. Fokus utama pembangunan
diarahkan pada dunia pendidikan. Begitu juga dengan negara jepang
menduduki peringkat kedua terbaik dengan minat baca buku yang tinggi.
Selainn itu pada bidang kesehatan, tingkat stunting di Indonesia
masih 24, 4% yang merupakann cerminan dari rendahnya kualitas kesehatan
summber daya manusia di Indonesia.
b. Rendahnya pendayagunaan tenaga kerja (Bauer 1957). Tenaga kerja di
Indonesia masih didominasi oleh pekerja berkeahlian rendah atau low skill.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo), Hariyadi B.Sukamdani, dalam kegiatan Sosialisasi Pemagangan
dan Kuliah Umum bersama APINDO dan GAPKI, Selasa (4/10) yang
berlangsung secara bauran di Ruang Multimedia UGM dan platform Zoom
Meetings. Hariyadi mengungkapkan dari data Bappenas tahun 2018
diketahui pekerja di sektor pertanian dan industri sebagian besar berkeahlian
rendah. Dari total pekerja sebanyak 121,02 juta sekitar 99,41% pekerja di
sektor pertanian adalah berkeahlian rendah, 0,47% berkeahlian menengah,
dan hanya 0,13% berkeahlian tinggi. Kondisi tersebut tak jauh berbeda di
sektor manufaktur dimana sebanyak 90,45% berkeahlian rendah, 6,52%
berkeahlian menengah, dan 3,03% berkeahlian tinggi. Lalu, untuk sektor
jasa dan lainnya cenderung membutuhkan keahlian menengah dan tinggi
dengan potret sebanyak 14,36% berkeahlian tinggi, 52,74% berkeahlian
menengah, dan 32,90% berkeahlian rendah.
c. Pemerintahan yang lemah dan perencanaan yang tidak efisien dan
efektif (Myrdal 1968). Contoh pada faktor keterbelakangan ini ialah
ketidakjelasan dari RPJMD yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia.
Masih banyak terdapat rencana-rencana atau program dari pemerintah yang
tidak tahu arahnya kemana, apa yang akan dilakukan ke depannya, bahkan
tidak tahu juga apa potensi yang harus dikembangkan dari daerah tersebut.
Sehingga pembangunan yang terjadi di Indonesia itu tidaklah jelas.