Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TOKOH SUFI ABAD PERTAMA DAN KEDUA


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Tasawuf
Dosen Pengampu : Ahmad Robitul Hilmi, MA., M.Ag..

Disusun Oleh Habibil Ajami


NIM. 2171010

PRAGRAM STUDI ILMU TASAWUF


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH MUBAROKIYAH
PONDOK PESANTREN SURYALAYA
TASIKMALAYA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji dan syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-
Nya sehingga makalah yang berjudul Tokoh Sufi pada Abad Pertama dan Kedua ini dapat
saya selesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Tasawuf pada semester
3. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang
Tokoh Sufi pada Abad Pertama dan Kedua.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Ahmad Robitul Hilmi, MA., M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Sejarah Tasawuf. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah
wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Tasikmalaya, 7 Januari 2023


Penulis,

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ I

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah........................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hasan Al Basri ............................................................................................................. 2
B. Ibrahim Bin Adham ..................................................................................................... 6
C. Sufyan Ats Sauri .......................................................................................................... 10
D. Rabiah Al Adawiyah .................................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang berorientasi pada moralitas berasas
keislaman. Tasawuf bertujuan untuk lebih mendekatkan seorang hamba kepda
Tuhannya.
Pembahasan mengenai Tasawuf dan konsep ilmunya tidak akan terlepas adari
tokoh-tokoh yang ada didalamnya. Tokoh-tokoh Tasawuf atau yang biasa disebut
dengan Sufi biasanya identik dengan kehidupan yang sederhana dan kehidupannya
itu hanya ditujukan kepada Allah semata. Kehidupan seorang Sufi sudah sejak zaman
para sahabat Nabi, yakni sejak abad pertama ketika itu paras Sufi mencontoh
kehidupan para Khalifah.
Dalam makalah ini akan dibahas tokoh-tokoh tasawuf yakni pada masa abad
pertama dan kedua, yang mana tokoh-tokoh Tasawuf tersebut memiliki pandangan
dan pemahaman yang berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh Sufi pada abad pertama dan bagaimana pemikirannya?
2. Siapa saja tokoh Sufi pada abad kedua dan bagaimana pemikirannya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tokoh Sufi pada abad pertama dan pemikirannya
2. Mengetahui tokoh Sufi pada abad kedua dan pemikirannya

1
BAB II
PEMBASAHAN

A. Hasan Al Basri
1. Biografi Hasan Al Basri
Nama asli dari Hasan Al-Basri adalah Abu Sa’id Al Hasan bin
Yasar. Beliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Khoiroh, dan
beliau adalah anak dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit. Tepatnya pada tahun 21
H di kota Madinah setahun setelah perang shiffin, ada sumber lain yang
menyatakan bahwa beliau lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Al- Khattab. Khoiroh adalah bekas pembantu
dari Ummu Salamah yang bernama asli Hindi Binti Suhail yaitu istri Rosullullah
SAW. Sejak kecil Hasan Al-Basri sudah dalam naungan Ummu Salamah.
Bahkan ketika ibunya menghabiskan masa nifasnya Ummu Salamah meminta
untuk tinggal di rumahnya. Dan juga nama Hasan Al-Basri itupun pemberian dari
Ummu Salamah. Ummu Salamah pun terkenal dengan seorang puteri Arab yang
sempurna akhlaknya serta teguh pendiriannya. Para ahli sejarah menguraikan
bahwa Ummu Salamah paling luas pengetahuannya diantara para istri-istri
Rosullah SAW lainnya. Seiring semakin akrabnya hubungan Hasan Al-
Basri dengan keluarga Nabi, berkesempatan untuk bersuri tauladan kepada
keluarga Rosullulahdan menimba ilmu bersama sahabat di masjid Nabawy.
Dan ketika menginjak 14 tahun, Hasan Al-Basri pindah ke kota Basrah
(Iraq). Disinilah kemudian beliau mulai dengan sebutan Hasan Al-Basri. Kota
Basrah terkenal dengan kota ilmu dalam daulah Islamiyyah. Banyak dari
kalangan sahabat dan tabi’in yang singgah di kota ini. Banyak orang berdatangan
untuk menimba ilmu kepada beliau. Karena perkataan serta nasehat beliau dapat
menggugah hati sang pendengar.
Kemudian pada tahun 110 H, tepatnya pada malam jum’at diawal bulan
Rajab beliau kembali ke rahmatullah pada usianya yang ke 80 tahun. Banyak dari
penduduk Basrah yang mengantarkan sampai ke pemakaman beliau. Mereka
merasa sedih serta kehilangan ulama besar, yang berbudi tinggi, soleh serta fasih
lidahnya.

2
2. Pemikiran Hasan Al Basri
Dalam pengenalan Tasawuf beliau mendapatkan ajaran tasawuf dari
Huzaifah bin Al-Yaman, sehinggan ajaran itu melekat pada dirinya sikap
maupun perilaku pada kehidupan sehari-hari. Dan kemudian beliau dikenal
sebagai Ulama Sufi dan juga Zuhud. Dengan gigih dan gayanya
yang retorik, beliau mampu membawa kaum muslim pada garis agama dan
kemudian munculah kehidupan sufistik.
Dasar pendirian yang paling utama adalah Zuhud terhadap kehidupan
dunia, sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan dunia.
Hasan Al Basri mangumpakan makna dunia ini seperti ular, terasa mulus
kalau disentuh tangan, tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh sebab itu,
dunia ini harus dijauhi dan kemegahan serta kenikmatan dunia harus ditolak.
Karena dunia bisa membuat kita berpaling dari kebenaran dan membuat kita
selalu memikirkannya.
Prinsip kedua ajaran Hasan Al basri adalah Khauf dan Raja’, dengan
pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering
melalaikan perintah Allah. Merasa kekurangan dirinya dalam mengabdi
kepada Allah, timbullah rasa was was dan takut, khawatir mendapat murka
dari Allah. Dengan adanya rasa takut itu pula menjadi motivasi tersendiri bagi
seseorang untuk mempertinggi kualitas dan kadar pengabdian kepada Allah
dan sikap daja’ ini adalah mengharap akan ampunan Allah dan karunia-Nya.
Oleh karena itu prinsip-prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan
untuk melakukan muhasabah agar selalu mamikirkan kehidupan yang hakiki
dan abadi.
Hasan Al Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat
takwa, wara’ dan zuhud pada kehidupan dunia yang mana dikala masanya
banyak dari kalangan masyarakt khususnya dari kalangan atas yang hidup
berfoya-foya. Yang mana kezuhudan itu masih melekat ajarannya dari para
ulama-ulama lainnya pada masa sahabat. Yang mana ajran beliau masih kental
ataupun berdasarkan Al Qur’an dan Hadist nabi, untuk itu beliau termasuk
golongan Tasawuf Sunni.
Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh

3
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya Lebih jauh lagi, Hamka
mengemukakan bahwa ajaran tasawuf Hasan yaitu: Perasaan takut yang
menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentran yang
menimbulkan perasaan takut.
Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan
perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah
darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan
hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan
dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
“Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita
bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun
banyakya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya.
Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”,
“dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya.”, “orang yang beriman akan senantiasa berduka
cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut
mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih
tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”, “hendaklah setiap orang sadar
akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat
yang hendak menagih janjinya.”Banyak duka cita didunia memperteguh
semangat amal saleh.”
Sikap tasawuf Hasan Al-Bashri senada dengan sabda Nabi yang
berbunyi: “Orang yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana yang orang duduk di bawah sebuah gunung
besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
3. Keteladanan Hasan Al Basri
Hasan basri adalah seorang ulama Tabi’in yang sangat mementingkan
kehidupan akhirat. Yang patut kita teladani dari kehidupan dari Hasan Basri
adalah kezuhudtannya, ia pernah ditanyai tentang masalah pakaian.
Pakaian apa yang paling kamu sukai? Tanya orang-orang ” yang paling
tebal, yang paling kasar, yang paling hina menurut pandangan manusia”
jawab hasan basri . Dari perkataan inilah dapat kita pahami bahwa hasan basri

4
sangat enggan dari dunia kemewahan apalagi kenyamanan dan tingkah
lakunya sangat menjauhkan dari pujian manusia.
Hasan Basri tidak pernah memerintah, memberikan nasihat dan anjuran
sebelum ia sendiri melakukan dengan ketulusan hatinya, karena selayaknya
seorang yang yang berdakwah dijalan tuhan harus menjadi panutan sesama.
Dan ia juga tidak pernah melakukan larangan sebelum ia sendiri menjauhkan
terlebih dahulu. Hal tersebut menujukkan bahwa hasan memang penuh ke
strategis dalam berdakwah.
Lebih dari itu Hasan Basri adalah adalah orang yang penyabar dan
penuh dengan kebijaksanaan. Hasan basri mempunyai seorang tetangga yang
beragama nasrani, diatas rumah Hasan basri oleh oleh tetangga tersebut
didirikan kamar kecil, karena rumah Hasan Basri dengannya jadi satu atap.
Setiap membuang air kecil selalu menetes ke ruang kamar Hasan Basri,
kejadian ini berlangsung bukan hanya berjalan satu bulan atau satu tahun,
melainkan 20 tahun. Akan tetapi hasan basri tidak pernah marah-marah dan
mempermasalahkannya. hasan basri tidak mau membuat kecewa
tetangganya.
Karena hasan basri mengamalkan Sabda Nabi ” barang siapa yang
beriman kepada allah dan hari akhir maka muliakannah tetanggnya”. Bahkan
Hasan Basri menyuruh kepada istinya untuk meletakkan wadah di kamarnya
supaya air kencingnya tertampung dan tidak berceceran.
Ketika hasan basri sakit, salah satu tetangganya mengunjungi beliau
ternyata di dalam rumahnya ada wadah yang digunakan untuk menampung
kencing, setelah diperiksa wadah yang ada di dalam kamar hasan
tersebut, ternyata runtuhan air kencing yang berasal dari atas kamar kecil
yang berada di atas rumahnya.
Setelah ditanya. Sejak kapan engkau bersabar dengan tetesan air kencing
ini? Tannya sitetangga tadi. Hasan Basrti diam saja tidak menjawab,
mungkin hasan basri tidak mau membuat tetangganya tidak enak.
Hasan katakanlah dengan jujur sejak kapan engkau bersabar dengan air
kencing ini? Jika kau diam saja dan tidak mau berterus terang aku akan
merasa tidak enak, Tanya teangga nasrani tadi, akhirnya dengan penuh

5
pemaksaan, hasan basri mau menjawab juga; selama 20 tahun ; jawab hasan
basri
Mengapa engkau kok diam saja dan tidak mempermasalahkan hal ini?
Tanya tetangga tadi . akan tetapi hasan Hasan menjawab ” aku tidak ingin
mengecewakan tetangga aku, karena Nabi Muahammad SAW bersabda
“barang siapa yang berimana kepada allah dan hari akhir maka mulikanlah
tetangganya”
Ketika itu pulalah ia masuk islam berbondong-bondong bersama
keluarganya. Ternyata hasan basri penuh dengan keteladanan, ia tidak pernah
memaksa seseorang untuk masuk islam, akan tetapi yang paling dianjurkan
oleh baliau, sikap ramah, lemah lembut, penuh dengan pengertian dan
kebijaksanaan yang bisa mengantarkan ketertarikan kepada orang yang
diluar islam untuk mengikuti agama islam.
B. Ibrahim Bin Adham
1. Biografi Ibrahim Bin Adham
Ibrahim ibn Adham lahir di Balkh dengan nama Abu Ishak Ibrahim bin
Adham pada tahun 80 Hijriah dan wafat pada tahun 160 Hijriyah. Ibrahim bin
Adham merupakan seorang raja di Balkh yakni sebuah daerah tempat awal
perkembangan ajaran Budha. Kisah Ibrahim bin Adham adalah satu kisah yang
cukup menonjol di masa awal kesufian.
Ibrahim bin Adham terlahir dari keluarga bangsawan Arab yang dalam
sejarah sufi ia sangat dikenal karena meninggalkan kerajaannya dan memilih
menjalani latihan pengendalian tubuh dan jiwa sama seperti yang dilakukan oleh
Budha Sidharta. Dalam tradisi kesufian banyak menceritakan tentang tindakan
keberanian, rendah hati, serta gaya hidupnya yang cukup bertolak belakang
dengan kihidupannya semasa menjadi Raja Balkh.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'yam, Ibrahim bin Adham
menekankan akan pentingnya ketenangan dan meditasi dalam melakukan
pelatihan pengendalian tubuh dan jiwa. Rumi dalam Mansawi yang ditulisnya
mejelaskan secara detail bagaimana kehidupan dari Ibrahim bin Adham. Salah
satu murid Ibrahim bin Adham yang terkenal adalah Shaqiq al-Balki.
Dalam tradisi muslim, keluarga Ibrahim bin Adham berasal dari Kufah,
namun ia dilahirkan di Balkh (bagian wilayah Afganistan sekarang). Beberapa

6
penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah,
saudara Ja'far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali,
salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi, namun sebagian
besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah
kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni
Ibnu Asakir dan Bukhari.
Ibrahim bin Adham terlahir dalam lingkungan masyarakat Arab yang
tinggal di Balkh. Ia tercatat sebagai raja daerah tersebut pada sekitar tahun 730
Masehi, namun ia meninggalkan tahtanya dan memilih menjalani kehidupannya
sebagai seorang petapa. Hal ini dilakukan oleh Ibrahim bin Adham setelah
mendapat teguran dari Tuhan melalui penampakan Khidir sebanyak dua kali.
Setelah mendapat teguran tersebut, Ibrahim bin Adham lalu memutuskan turun
dari thatanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai pertapa di Suriah.
(Cerita ini berbeda dengan versi Kitab Ushfuriyah)
Semenjak melepaskan jabatannya sebagai raja, Ibrahim pun berangkat ke
Naishapur dan hidup di dalam gua selama sembilan tahun. Selama dalam gua ia
pernah bertemu dengan ular yang sangat besar, kemudian Ibrahim berdo'a
kepada sang pencipta "Ya Allah, Engkau telah mengirim makhluk ini dalam
bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihat bentuknya yang sebenarnya yang
sangat mengerikan. Aku tak sanggup melihatnya". Kemudian sang ular pun
bergerak dan bersujud di depan Ibrahim sebanyak tiga kali.
Setelah dari pertapaan tersebut Ibrahim berangkat ke Makkah, dalam
perjalanan ia pun melalui banyak kejadian yang luar biasa. Pada saat dia berada
di Dzatul Irq, Ibrahim bin Adham bertemu dengan tujuh puluh orang yang
berjubah kain perca yang tergeletak dengan darah yang mengalir dari hidung dan
telinga mereka. Setelah 14 tahun berkelana pada padang pasir akhirnya beliau
sampai ke Makkah dan hidup sebagai tukang kayu.
Setelah kepindahannya pada tahun 750 Masehi, Ibrahim bin Adham
memutuskan menjalani hidup secara semi-nomaden, terkadang Ibrahim bin
Adham berjalan sampai jauh ke Selatan hingga ke wilayah Gaza. Semasa
menjalani kehidupannya tersebut, Ibrahim bin Adham sangat menghindari untuk
mengemis. Ia memilih bekerja membanting tulang tanpa mengenal lelah untuk
mendapatkan uang sebagai sumber pembiayaan hidupnya sehari-hari.

7
2. Pemikiran Ibrahim Bin Adham
Ibrahim bin Adham adalah seorang penguasa di Balakh yang kaya-raya
dengan istananya yang megah. Namun, meski hidup bergelimang harta dan
kekuasaan, hatinya tidak menjadi lalai.

Lama-lama, gemerlapnya dunia tak membuat dirinya bahagia, juga tak bisa
menghadirkan ketenangan jiwa. Akhirnya, ia meninggalkan istana dan semua
kemewahan duniawi. Ia pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk menimba
ilmu dari para ulama. Pencariannya ditopang dari hasil buruan dan memelihara
kebun. Ia hidup sebagai seorang yang amat zuhud dan wara’. Ia terkenal sebagai
ahli ibadah dan sangat penyantun terhadap sesama, terlebih lagi kepada orang-
orang miskin.

Tentang keutamaan Ibrahim bin Adham, Imam an-Nasa’i berkata, “Ibrahim


bin Adham tsiqah (terpercaya). Ia salah seorang yang amat zuhud.”

Karena keilmuan, keikhlasan, kewaraan dan kezuhudannya, Ibrahim bin


Adham dikenal sebagai salah seorang Sulthân al-Awliyâ’. Bahkan
menisbatkan Sulthân al-Awliyâ’ kepada Ibrahim bin Adham (wafat 206 H) telah
amat populer.

Terkait keikhlasannya, Ibrahim bin Adham, jika ikut terlibat dalam


peperangan (jihad), misalnya, usai perang ia tidak
mengambil ghanîmah (rampasan perang) yang menjadi haknya. Hal itu ia
lakukan demi meraih kesempurnaan pahala jihad.

Terkait kewaraan dan kezuhudannya, Ibrahim bin Adham rela meninggalkan


istanannya yang megah dan segala kemewahan duniawi. Ia pergi menuju Syam
untuk mencari rezeki yang halal dengan tangannya sendiri. Ia bekerja di kebun
milik orang lain dengan tekun.

Sikap zuhudnya juga tampak saat Ibrahim bin Adham pergi safar ke Baitullah
(Makkah). Saat itu ia berpapasan dengan seorang Arab dusun yang mengendarai
seekor unta. Orang itu berkata, “Syaikh, mau kemana?” Ibrahim bin Adham
menjawab, “Ke Baitullah.” Orang itu bertanya lagi, “Anda ini seperti tak waras.
Saya tidak melihat Anda membawa kendaraan, juga bekal, sementara
perjalanan sangat jauh.” Ibrahim kembali berkata, “Sebetulnya saya memiliki

8
beberapa kendaraan. Hanya saja, engkau tidak melihatnya.” Orang itu bertanya,
“Kendaraan apa gerangan?” Ibrahim bin Adham berkata, “Jika di perjalanan
aku tertimpa musibah, aku menaiki ‘kendaraan sabar’. Jika di perjalanan aku
mendapatkan nikmat, aku menaiki ‘kendaraan syukur’. Jika di perjalanan Allah
SWT menetapkan suatu qadhâ’ untukku, aku menaiki ‘kendaraan ridha’.” Orang
Arab dusun itu lalu berkata, “Jika demikian, dengan izin Allah, teruskan
perjalanan Anda, Syaikh. Anda benar-benar berkendaraan. Sayalah yang tidak
berkendaraan.”

c. Keteladanan Ibrahim Bin Adham

Dalam sebuah kisah, Sahl bin Ibrahim menuturkan, “Aku berteman dengan
Ibrahim bin Adham. Saat aku sakit ia membiayai semua pengobatanku dan
memenuhi semua keinginanku. Setelah agak sembuh dari sakitku, aku bertanya,
“Ibrahim, di manakah keledaimu?” Ibrahim bin Adham menjawab enteng,
“Telah kujual untuk memenuhi keperluanmu.” Aku bertanya kembali, “Lalu kita
naik apa?” Ibrahim bin Adham berkata, “Saudaraku, naiklah ke atas
punggungku.” Kemudian ia membawa aku ketiga tempat."

Ibrahim bin Adham amat terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang dalam dan
amat menyentuh kalbu. Ia, antara lain, berkata, “Ada tiga perkara yang paling
mulia di akhir zaman: (1) teman dekat di jalan Allah; (2) mengusahakan harta
yang halal; (3) menyatakan kebenaran di hadapan penguasa.”

Suatu saat Ibrahim bin Adham berjalan melewati sebuah pasar di Bashrah,
Irak. Tiba-tiba ia dikelilingi oleh banyak orang. Ia ditanya oleh mereka tentang
firman Allah SWT yang artinya, ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan
mengabulkan do’a kalian.” (TQS Ghafir [40]: 60). Mereka mengatakan,
“Kami telah berdoa kepada Allah, namun mengapa belum juga dikabulkan?”
Lalu beliau menjawab, “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara: (1)
Kalian mengklaim mengenal Allah, tetapi tidak menunaikan hak-hak-Nya; (2)
Kalian membaca Kitab-Nya, tetapi tidak mengamalkan isinya; (3) Kalian
mengaku memusuhi setan, tetapi mengikuti ajakannya; (4) Kalian mengaku
mencintai Rasulullah saw., tetapi meninggalkan sunnah-sunnahnya; (5) Kalian
mengklaim merindukan surga, tetapi tidak melakukan amalan-amalan penduduk
surga; (6) Kalian mengaku takut neraka, tetapi justru banyak melakukan
9
perbuatan penduduk neraka; (7) Kalian mengatakan kematian itu pasti, tetapi
tidak menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu; (8) Kalian sibuk
mencari aib orang lain, sedangkan aib kalian sendiri tidak kalian perhatikan;
(9) Kalian makan dari rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya;
(10) Kalian sering menguburkan orang mati, tetapi tidak pernah mengambil
pelajaran dari kematian mereka.” Mendengar nasihat itu, orang-orang itu pun
menangis.

Ibrahim bin Basyar ash-Shufi al-Khurasani, pembantu Ibrahim bin Adham,


menuturkan kisah lain: Pernah seorang sufi datang kepada Ibrahim bin Adham
dan bertanya, “Abu Ishaq, mengapa hatiku seperti terhijab dari Allah ‘Azza wa
Jalla?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Karena hatimu mencintai apa yang
Allah benci. Kamu lebih mencintai dunia dan cenderung pada kehidupan yang
penuh tipuan, senda-gurau dan permainan.”

C. Sufyan Ats Sauri

1. Biografi Sufyan Ats Sauri

Namanya adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib Ats
Tsauri rahimahullah ta’la, berasal dari qabilah Tsaur bin Abdul Manat, yang
merupakan bagian dari qabilah Mudhar. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 97
H dan dibesarkan disana, dan wafat di Bashrah pada tahun 161 Hijriyah.

Beliau mulai mengambil ilmu dari ayahnya Sa’id bin Masruq, seseorang
periwayat hadits yang memiliki derajat tsiqah, ayahnya juga mengambil riwayat
hadits dari enam ulama kibar penulis Kutubus Sittah. Sa’id bin Masruq adalah
sahabat dari Asy Sya’bi. Sedangkan kakeknya Masruq pernah ikut dalam perang
Jamal bersama ‘Ali bin Abi Thalib.

Kedua orang tua Sufyan Ats Tsauri menaruh perhatian yang besarterhadap
ilmu. Seperti kita ketahui ayahnya adalah seorang ahli hadits, beliau banyak
meriwayatkan hadits kepada anak-anaknya. Sedangkan ibunya turut andil pula
dalam mendukung anak-anaknya menuntut ilmu, dia mampu menghasilkan uang
dari syair-syair yang dibuatnya dan dia infakkan untuk menopang kebutuhan
anaknya dalam rangka menuntut ilmu.

10
Sufyan Ats Tsauri dikenal memiliki daya ingat yang luar biasa, orang-orang
mengatakan bahwa Suftyan Ats Tsauri lebih kuat hafalannya dibandingkan
dengan Malik bin Anas dan Asy Sya’bi, beliau sendiri berkata: “Tidaklah aku
mengingat sesuatu kemudian aku melupakannya.”

Beliau rahimahullah telah menghafal sekitar 30.000 hadits selama hidupnya.


Beliau benar-benar telah menghabiskan usianya untuk menuntut ilmu dan
menghafalkan hadits, sampai pada detik-detik kematiannya-pun beliau masih
menulis hadits yang didengar dari orang yang menjenguknya. Beliau telah
melakukan safar dari Kufah ke Mekah dan Madinah demi menuntut ilmu.

Sufyan Ats Tsauri memiliki kebiasaan membagi waktu malam menjadi dua
bagian; pertama, untuk membaca Al-Qur’an dan qiyamul lail, dan yang kedua
untuk membaca hadits dan menghafalnya. Maka tak heran dengan kemampuan
daya ingatnya yang luar biasa ditambah kebiasaan menghafal hadits setiap
malamnya membuat beliau mampu mengahafal lebih dari 30.000 hadits.

2. Keteladanan dan Nasihat Sufyan Ats Sauri

Dari Ali bin Fudhail, dia berkata: ”Aku melihat Sufyan ats Sauri bersujud
disekitar ka’bah, kemudian melakukan thawaf sebanyak 7 kali, dan Ats Sauri
belum mengangkat kepalanya dari sujud.”

Dari Ibnu Wahab dia berkata: ”Aku melihat Ats Sauri sedang berada di
Masjidil Haramsetelah shalat maghrib, kemudian beliau bersujud dan tidak
mengangkat kepalanya hingga kami mengajaknya untuk shalat isya.”

Dari Abdullah bin Abdan Abu Muhammad Al Baghlani, dia berkata:


”Abdullah telah bercerita kepada kami, ada seseorang yang mengikuti Sufyan Ats
Sauri, beliau selalu memperhatikan sebatang bata yang biasa digunakan untuk
menambal bangunan. Aku ingin sekali tahu kenapa beliau selalu memperhatikan
bata tersebut, dan ketika beliau mleetakkan batu bata ditangannya maka aku
melihat bata itu tertulis ”Sufyan ingatlah kamu akan berada disisi Allah.”

Dari Said bin Shadaqah Abu Muhalhal, dia berkata: ”Sufyan menarik
tanganku dan membawaku ke sebuah gunung, kamipun jauh dari jangkauan orang,
beliau menangis kemudian berkata: Wahai Abu Mahalhal, dengarkanlah pesanku,
jika pada zaman sekarang ini kamu bisa tidak berbaur dengan seseorang pun,
11
maka lakukanlah. Hendaknya kesedihan sebagai bekalmu, jangan sesekali
mendatangi para penguasa, berharaplah hanya kepada Allah terhadap kebutuhan
yang berada dalam kekuasaan para penguasa tersebut, dan mintalah perlindungan
kepada Allah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Kemudian Ats Sauri berkata: ”Hendaknya kamu merasa cukup dari manusia
dan penuhilah kebutuhan keseharianmu kepada orang-orang tidak mengagungkan
barang-barang kebutuhan itu. Sungguh jika aku mengetahui dari penduduk Kuffah
ini ada yang merasa takut pada dirinya karena pinjaman 10 dirham, maka aku akan
meminjam darinya, kemudian orang yang meminjamkan itu menulis hutangku
ketika aku pergi, dan setelah aku kembali dia berkata, Sufyan datang kepadaku
dan meminjam dariku. Maka aku akan mengembalikan pinjama itu kepadanya.”

Dari Atha Al Khalaf, dia berkata: ”Aku tidak bertemu dengan Sufyan Ats
Sauri kecuali beliau dalam keadaan menangism sehingga suatu hari aku bertanya,
apa yang terjadi padamu?, beliau menjawab, aku takut jika aku termasuk jadi
orang yang tidak beruntung sesuai dengan isi Al-qur’an.”

3. Karya-Karya Sufyan Ats Sauri

▪ Kitab Al Jamii Al Kabiir (Kitab Hadtis)

▪ Kitab Al Jamii As Shagiir (Kitab Hadits)

▪ Kitab Fii Al Faroidh.

D. Rabiah Al Adawiyah

1. Biografi Rabiah Al Adawiyah

Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-


Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185
H/801 Dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat
dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabi’ah yang berarti anak keempat.
wafat di Bashrah pada tahun 185 H/801 M.

Beberapa hari setelah kelahiran Rabi’ah, Ismail bermimpi bertemu dengan


Nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata kepada Ismail agar jangan bersedih

12
karena Rabi’ah akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang
akan mengharapkan syafaatnya.

Sejak kecil Rabi’ah sudah dikenal sebagian ak yang cerdas dan taat
beragama. Beberapa tahun kemudian Ismail meninggal dunia kemudian disusul
oleh ibunya, sehingga Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi
anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah
perahu yang digunakan Rabi’ah untuk mencari nafkah. Rabi’ah bekerja sebagai
penarik perahu yang menyeberangkan orang di Sungai Dajlah. Sementara ketiga
saudara perempuannya bekerja di rumah menenun kain atau memintal benang.

Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat
kemarau panjang, Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk
mencari penghidupan di kota, namun Rabi’ah terpisah dengan ketiga saudara
perempuannya sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat itulah Rabi’ah diculik oleh
sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya/budak seharga
enam dirham kepada seorang pedagang. Pada usia remaja ini, Rabi’ah menjadi
salah satu remaja yang kehilangan kemerdekaannya dan menjadi ammat yang
dapat diperjual-belikan dari majikan yang satu ke majikan yang lain.

Rabi’ah al-Adawiyah menjadi ammat yang sangat laris, karena muda,


cantik, bersuara merdu, pandai menyanyi dan menari. Dari kemampuann
menyanyi dan menarinya ini, membawa Rabi’ah menjadi penyanyi dan penari di
istana Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad. Namun demikian, setiap malam
Rabi’ah bermunajat kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya untuk diberi
kebebasan. Rabi’ah berdo’a, jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tidak
akan berhenti sedikitpun beribadah. Suatu saat, ketika Rabi’ah sedang berdoa dan
melakukan salat malam, majikannya dikejutkan oleh cahaya di atas kepala
Rabi’ah. Cahaya itu bagaikan lampu yang menyinari seluruh isi rumah.

Melihat peristiwa yang aneh tersebut maka majikannya menjadi ketakutan


dan keesokan harinya membebaskan Rabi’ah. Sebelum Rabi’ah pergi, Pedagang
itu menawarkan kepada Rabi’ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung
segala keperluan dan kebutuhannya, namun karena kezuhudannya, Rabi’ah
menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi’ah akan mengabdikan
hidupnya hanya untuk beribadah.
13
2. Pemikiran Rabiah Al Adawiyah

Rabi’ah al-Adawiyah memiliki corak tasawuf yang unik dan berbeda


dengan para sufi pendahulunya. Corak tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah terfokus pada
konsepnya tentang Mahabbatullah (cinta Allah). Ia mengungkapkan perasaannya
tentang cinta Ilahi dengan dua corak cinta, yaitu cinta karena diriku dan cinta
karena dirimu. Cinta pertama berpijak kepada diri seorang hamba yang jatuh cinta
dan senantiasa terpaut dengan Tuhannya. Pada maqām ini seorang hamba berusaha
untuk dekat kepada Allah dengan menunjukkan kepatuhannya dan membenci
sikap melawan kepada-Nya. Dengan ketaatan dan kepatuhan yang luar bisaa maka
seorang hamba akan berhasil menjadi kekasih-Nya.

Keberhasilan menjadi kekasih Allah membawanya kepada pengalaman


baru, yakni pengalaman merasakan cinta yang kedua, yaitu cinta karena dirimu.
Pada maqām ini Rabi’ah al-Adawiyah mengalami kasyaf, yaitu keterbukaan tabir
yang selama ini menghalangi hamba dengan Tuhan. Melalui proses mukasyafah,
hamba berusaha, Tuhan membukakan hijab Rabi’ah al-Adawiyah sehingga
tercapailah maqām musyahadah, yaitu pengalaman menyaksikan keagungan Allah
melalui basyirah (mata hati) sehingga ia mencapai ma’rifat (mengenal Allah
dengan meyakinkan). Pada tahap ini Rabi’ah al-Adawiyah merasakan cinta Allah
karena diri- Nya, ia berada pada posisi yang pasif, menjadi objek yang menerima
limpahan cinta Allah.

Tasawuf yang diamalkan oleh Rabi’ah termasuk tasawuf irfani. Konsep


tasawuf mahabbah yang diajarkan oleh Rabi’ah merupakan perwujudan rasa
tulus dan ikhlas dengan cinta tanpa adanya permintaan ganti dari Allah. Ajaran-
ajaran Rabi’ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan
tasawuf dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun
kehidupan sufi, Rabi’ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi sesudahnya dan
puisi cintanya sering dirujuk oleh para sufi lainnya, misalnya: Abu Ṭālib al-Makki,
As-Suhrawardi, dan al- Ghazali. Puisi cinta Rabi’ah yang sangat masyhur adalah:
Aku mencinta-Mu dengan dua cinta, Cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu Cinta karena
diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik

14
ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk
kkesemuanya.

Al-Ghazali memberikan ulasan tentang sya’ir cinta Rabi’ah al-Adawiyah


tersebut sebagai berikut: “Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena
dirinya adalah cinta Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini,
sedangkan cinta kepada- Nya adalah karena Ia layak dicintai keindahan dan
keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta
yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan
Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadiś Qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku
yang saleh, Aku menyiapkan apa yang terlihat oleh mata, tidak terdengar telinga,
dan tidak terbesit di kalbu manusia.”

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada abad pertama dan kedua hijriah, bisa dikatakan merupakan fase zuhud. Sikap ini
banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-
individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak
mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Tahap pertama, tasawuf
masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat sederhana. Yaitu, ketika pada
abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian
memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar keuntungan
akhirat. Mereka adalah, antara lain: Hasan Al-Basri, Ibrahim bin Adham, Sufyan Ats Sauri
dan Rabi`ah Al-Adawwiyah. Selain konsep zuhud pad abad pertama dan kedua hijriyah
juga terdapat beberapan konsep pemikiran tentang Tasawuf seperti khauf dan raja’, dan
juga mahbbah yang dikenalkan oleh Rabiah Al Adawiyah tentang kecintaannya kepada
Allah Swt.

Dari sekian banyak sufi pada abad pertama dan kedua hijriyah kita bisa mengambil
pelajaran keteladanan sifat-sifat terpuji dari kehidupan mereka di masa lalu, kita bisa
menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Kamus Tasawuf. Remaja Rosdakarya; Bandung, 2002.


Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Cetakan IV. Pustaka Setia Bandung, TT.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1984.
Hasbi Ashiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1977.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Yayasan Nurul Islam. Jakarta, 1980.
Al-Barsany, Noer Iskandar. Tasawuf Tarekat Para Sufi. Raja Grafindo Persada Jakarta,
2001.
Sjukur, Asjwadie. Ilmu Tasawuf 1.Bina Ilmu, Surabaya, 1978.
Syukur, Amin dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2002.

17

Anda mungkin juga menyukai