Disusun Oleh:
Dosen Pengampu:
Imam Santoso, M. Pd
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................. 10
B. Saran ........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
norma-norma gender yang merugikan. Oleh karena itu, penting
untuk mengkaji budaya dan tradisi secara kritis untuk
mengidentifikasi dan mengubah praktik yang
memperkuatketidaksetaraan gender, Pengalaman Pribadi dan
Empati: Mendengarkan pengalaman individu dan berempati
terhadap pengalaman mereka adalah langkah penting dalam
membangun sikap sensitif gender. Ini melibatkan pengakuan akan
priviledge ( hak istimewa ) yang dimiliki oleh individu tertentu
berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender mereka, serta
keinginan untuk mendukung mereka yang mungkin mungkin
mengalami diskriminasi atau ketidaksetaraa
2
.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1.Untuk Mengetahui Kesadaran Akan Perbedaan Gender.
2.Untuk Mengetahui Pendidikan Tentang Ketidaksetaraan Gender.
3.Untuk Mengetahui Studi Tentang Teori Gender.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
atau kaku. Seperti yang
1
Wulansari Ardianingsih, Rose Mini Agoes Salim, Perbedaan Gender Pada
Kesadaran Metakognitif Dalam Strategi Membaca Bacaan Akademik, Jurnal:
Psikologi Teori Dan Terapan, Vol. 10, No. 1, 2019, Hal. 80
5
diungkapkan oleh ( Stromquist, 2007 ) gender dikonstruksi secara
sosial, ia juga dapat diubah secara sosial. ( Megawangi, 1999 )
menjelaskan bahwa diferensiasi peran antara laki-laki dan
perempuan ditujukan agar ada mekanisme untuk saling
melengkapi, sehingga tercipta hubungan kesatuan yang harmonis
Dengan demikian kesadaran gender merupakan keterampilan
yang hendaknya dikembangkan agar dapat mencapai
keharmonisan hidup yang ditandai dengan adanya saling
menghormati, kerjasama dan melengkapi antara feminim dan
maskulin. Agar seorang memiliki kesadaran gender maka sejak
masih anak- anak haruslah diberi pemahaman akan identitas
gender mereka.2
Menurut Stubbs, laki-laki dan perempuan secara biologis
berbeda, berarti memperlakukan mereka secara sama
menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan antara laki-laki
dan perempuan. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif
merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang
dikemudikan oleh ideologi pembuat keputusan dan tidak untuk
kepentingan perempuan. Sifat patriakal dalam ketentuan hukum
menjadi penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi
terhadap perempuan.3
6
2
Guruh Sukma Hanggara, Dkk, Skala Kesadaran Gender Untuk Siswa Sekolah
Dasar,
Jurnal Pinus: Jurnal Penelitian inovasi Pembelajaran, Vol. 6. NO. 1, 2020, Hal. 77
3
Trianah Sofiani,Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga Berbasis Hak
Konstitusional, ( Sleman: Deepublish, 2020 ), Hal. 187
7
Melalui pendidikan ini kita dapat mengubah nilai sosial dan
budaya mengenai perbedaan gender yang tumbuh di masyarakat.
Dalam merealisasikan tujuan tersebut perlu kiranya untuk
menciptakan pendidikan yang berlandaskan pada kesetaraan serta
keadilan antara perempuan dan laki-laki agar dapat memutus dan
mengubah anggapan adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan tersebut di masyarakat ( Suratna, 2017 ).
Namun dalam pelaksanaannya di masyarakat belum terbebas
dari pembedaan antara perempuan dan laki-laki, sebagai contoh
guru memandang bahwa laki-laki lebih pantas menjadi seorang
pemimpin, misalnya menjadi ketua kelas atau ketua OSIS
dibandingkan dengan siswa perempuan, sehingga seringkali ketua
kelas atau ketua OSIS dijabat oleh laki-laki. Tanpa disadari
pembedaan-pembedaan tersebut akan berdampak pada mental
yang semakin lama akan membentuk suatu tradisi dalam
kehidupan sehari-hari dari guru dan siswa. Hal ini bertentangan
dengan pendidikan Islam yang seharusnya tidak mengandung
unsur unsur ketidakadilan dengan memisahkan antara perempuan
dan laki-laki. Untuk mengubah konep adanya perbedaan antara
perempuan dan laki-laki tersebut, salah satunya dapat dilakukan
dengan pemberian kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang setara antara perempuan dan laki-laki, dengan begitu
perempuan juga dapat berperan besar dalam masyarakat (
Suratna, 2017 ).4
Keadilan seringkali menjadi alasan untuk menafsirkan isu
gender sebagai suatu ketimpangan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam tata sosial bermasyarakat masih seringkali
ditemukan kasus diskriminasi terhadap gender, terutama pada
kaum perempuan. Alasan utama yang kerapkali mendasari
diskriminasi tersebut adalah masih lekatnya budaya patriarki
8
dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Budaya patriarki
4
Inayah Cahyawati, Mugowim, Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan
Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab, Jurnal: Agama Dan Ilmu Pengetahuan, Vol.
19, No. 2, 2022, Hal. 216
9
megajarkan bahwa kaum laki-laki sebagai pihak yang
mendominasi, melakukan operasi dan mengeksploitasi kaum
perempuan. Diskriminasi gender meluas kedalam segala lingkup
tatanan sosial, seperti keluarga, pendidikan, budaya dan politik.
Pemenuhan hak yang sama dalam bidang pendidikan sudah
banyak dilakukan oleh masyarakat. Berangkat dari persepsi
masyarakat bahwa pendidikan merupakan investasi bagi mereka
dan anak-anaknya sehingga tidak ada batasan gender untuk
memenuhi hak anak dalam bidang pendidikan baik bagi anak laki-
laki maupun anak perempuan.
Selain hak untuk mendapatkan pendidikan di Negara
Indonesia sebenarnya telah menerapkan kesetaraan gender dalam
tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil hingga
pemerintahan, buktinya bahwa perempuan sekarang memiliki
peranan yang sama dalam hal ini menduduki jabatan tertentu
dalam suatu institusi antara lain mulai dari tingkat yang paling
jabatan tertinggi Presiden Republik Indonesia pernah diduduki
oleh seorang perempuan yaitu Ibu Megawati Soekarno Putri, dari
tingkat yang paling bawah pemimpin di kecamatan pernah
diduduki oleh seorang perempuan bahkan sampai pada tingkat
desa dan lurah itu pernah dipimpin oleh seorang perempuan
merupakan bukti real-nya.
Meskipun sudah banyak yang sadar akan kesetaraan gender
dalam hal pendidikan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
diskriminasi juga masih berkembang dalam lapisan masyarakat
tertentu. Masyarakat dari kalangan keluarga miskin masih
menganggap bahwa perempuan tidak pantas untuk disekolahkan
setinggi-tingginya lebih baik langsung dinikahkan, bekerja saja
sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik dan pekerjaan lain
yang tidak menuntut status pendidikan. Berbeda dengan lakilaki
yang mendapatkan perlakuan istimewa baik dalam hal pendidikan
10
dan realita kehidupan yang ada.
Proses pendidikan di Indonesia saat ini, nampaknya masih
didominasi oleh ketimpangan gender. Pada umumnya masyarakat
Indonesia, masih menganut paham perempuan merupakan
kelompok
11
kelas dua, dan posisinya terdapat di bawah laki-laki. Padahal
dalam dunia pendidikan semua manusia, laki-laki dan perempuan
memiliki hak sama untuk memperolehnya. Pendidikan yang
merupakan ranah belajar bagi laki-laki dan perempuan, justru
keberadaannya lebih digandrungi oleh laki-laki daripada
perempuan. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh pandangan patriarki,
yaitu pendapat yang berpandangan bahwa laki-laki lebih tinggi
kedudukan dan derajatnya daripada perempuan. Tidak jarang pula
pendapat tersebut dijadikan pembenaran melalui doktrin agama.
Dalam Islam salah satu doktrin agama yang terkenal perihal
tersebut adalah QS. Annisa [4]: 34. Pembenaran dengan
menggunakan argumentasi teologis tersebut, akhirnya berdampak
pada pemahaman secara sosial, yakni pandangan masyarakat yang
meyakini bahwa laki- laki memiliki posisi yang lebih unggul dari
perempuan. Akhirnya kiprah perempuan menjadi terbatasi,
termasuk ketika mereka memiliki keinginan berikiprah dalam
dunia pendidikan. Agar tidak terjadi ketimpangan dalam dunia
pendidikan, maka kesetaraan gender dalam kehidupan sosial perlu
dilestarikan.
Salah satu tuntutan terhadap dunia pendidikan saat ini adalah
masalah keadilan dan kesetaraan gender. Pendidikan yang
sejatinya ranah belajar bagi lakilaki dan perempuan, justru lebih
digandrungi oleh laki- laki daripada perempuan. Kondisi ini
bukan tanpa alasan, tetapi dilatarbelakangi oleh pandangan
patriarki pada masyarakat, yaitu pendapat yang berpandangan
bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada
perempuan.5
12
Schiffman (
5
Yuni sulistyowati, Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan Dan Tata,
Sosial,
jurnal: Journal Of Gender Studies, Vol. 1, No. 2, 2020, Hal. 8-9
13
2008 ) budaya adalah kumpulan tentang keyakinan, nilai, adat
yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku konsumen di anggota
masyarakat tertentu. Kotler dan Keller ( 2007 ) mengemukakan
bahwa budaya adalah penentu keinginan dan perilaku referensi,
dan perilaku manusia ditentukan yang paling mendasar. Menurut
Sarwono ( 2015:3 ) budaya adalah suatu set dari sikap, perilaku
dan simbolsimbol yang dimiliki bersama oleh orang-orang dan
biasanya dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Manusia tidak lahir dengan membawa budayanya,
melainkan budaya tersebut diwariskan dari generasi ke generasi.
14
syara’ basandi kitabullah” (adat bersendikan hukum, hukum
bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran
islam (Mara, 2010).6
15
6
Dio Septiawan, Dkk, Pengaruh Gender, Budaya, Dan Faktor Lingkungan
Terhadap
Ethical Beliefs, Jurnal: Eksplorasi Akuntansi, Vol. 1, No. 1, 2019, Hal. 94- 95
7
Abdul jalil, St. Aminah, Gender Dalam Perspektif Budaya Dan Bahasa,
Jurnal: Al-Malyyah, Vol. 11, No. 2, 2018, Hal. 279- 280
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
Teori gender mengakui bahwa pengalaman gender bersifat
kompleks dan beragam, sering kali seperti ras, kelas, orientasi
seksual, dan identitas budaya.
B. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19