i
2023
USULAN PENELITIAN
NIM: 2171022001
Universitas Udayana
NIM: 2171022001
PROGRAM STUDI SPESIALIS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN
dr. I Made Darmajaya, Sp.B., Sp.BA, Dr. dr. I Ketut Sudartana, Sp.B-KBD
NIP:
Mengetahui,
Universitas Udayana
NIP: 197111112000121003
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
lainnya dari semua pihak, usulan penelitian ini tidak akan dapat diselesaikan
dengan baik. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang
MARS yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan mulai dari
2. Pembimbing kedua Dr. dr. I Ketut Sudartana, Sp.B-KBD yang dengan penuh
3. Direktur Utama RSUP Sanglah, dr. I Wayan Sudana, M.Kes beserta staf dan
Sanglah.
Putra Pinatih, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas dalam mengikuti Program
7. Khususnya kepada orang tua yang selalu mendukung penulis dalam setiap
Penulis sangat terbuka terhadap berbagai kritik dan saran demi kesempurnaan
penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya
penelitian ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................viii
DAFTAR TABEL...................................................................................................ix
DAFTAR ISTILAH................................................................................................xi
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
2.1 Penyakit Hirschsprung.......................................................................6
2.2 Hirschsprung associated enterocolitis (HAEC)...............................12
2.3 Irigasi Rektal pada Penyakit Hirschsprung.....................................21
2.5 Metronidazole..................................................................................23
BAB III..................................................................................................................27
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN.............27
3.1 Kerangka Teori................................................................................27
3.2 Kerangka Konsep............................................................................30
3.3 Hipotesis..........................................................................................30
BAB IV..................................................................................................................31
METODE PENELITIAN.......................................................................................31
4.1 Rancangan Penelitian......................................................................31
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...........................................................32
4.3 Populasi Penelitian..........................................................................32
4.4 Sampel Penelitian............................................................................32
4.5 Variabel Penelitian..........................................................................34
4.6 Bahan dan Alat Penelitian...............................................................36
4.7 Alur Penelitian.................................................................................40
4.8 Analisis Data...................................................................................41
4.9 Etika Penelitian................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 (A) Prosedur Soave, (B) Prosedur Swenson, (C) Prosedur
Duhamel.......................................................................................10
Gambar 2.2 Gambaran fotomikrograf bagian dari kolon sigmoid diwarnai oleh
H&E..............................................................................................15
Gambar 2.3 (a) Distensi gas pada kolon (b) X-Ray abdomen..........................19
Gambar 2.4 Mekanisme kerja metronidazole...................................................25
Gambar 3.1 Kerangka Teori.............................................................................29
Gambar 3.2 Kerangka Konsep.........................................................................30
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian...................................................................31
Gambar 4.2 Alur Penelitian..............................................................................40
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kriteria diagnostik pada penyakit Hirschsprung..................................14
Tabel 2.2 Deskripsi derajat histopatologi menurut Tietelbaum...........................15
Tabel 4.1 Deskripsi derajat histopatologi menurut Tietelbaum...........................35
DAFTAR ISTILAH
AChE : Acetylcholinesterase
α7nAchR : α7 nicotinic acetylcholine receptor
BMP-2 : Bone morphogenetic protein 2
β2AR : Beta-2 adrenergic receptor
BAC : Benzalkonium chlorida
CSF-1 : Colony stimulating factor-1
EGC : Enteric glial cells
GDNF : Glial cell line-derived neurotrophic factor
HAEC : Hirschsprung Associated Enterocolitis
IL-1β : Interleukin 1 Beta
NTFs : Neurotrophic factors
RSB : Rectal Suction Biopsy
TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alpha
Treg : Regulatory T
Th17 : T helper 17
1
BAB I
PENDAHULUAN
intrinsik dari sistem saraf usus yang memiliki karakteristik tidak adanya sel
pencernaan distal. Salah satu fungsi dari sel-sel saraf yang tidak adalah
bertanggung jawab untuk sistem peristaltik dari usus. Ketidakhadiran dari sel-sel
dari 5.000 kelahiran hidup (Puri, 2019). Andersen, et al melaporkan 2.464 kasus
tersebut didapatkan dari data populasi di California dari tahun 1995 – 2013
Kemenkes pada tahun 2017, jika diperkirakan angka insiden 1 diantara 5000
kelahiran hidup, maka dapat diprediksi dengan jumlah penduduk 220 juta dan
tingkat kelahiran 35 per juta kelahiran, akan lahir 1400 bayi setiap tahunnya
2
adalah adalah adanya obstruksi pada usus besar yang dapat muncul setiap saat dari
periode postnatal hingga dewasa. Tetapi gambaran klinis tersebut sudah khas sejak
masa bayi/anak di usia usia dini. Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 24-
48 jam setelah kelahiran adalah gambaran klinis yang khas pada 80-90% bayi
dengan penyakit hirschsprung tetapi bisa juga muncul pada 30-40% anak tanpa
Hirschprung Disease dan pada 30-35% bayi prematur yang sehat. (Das, 2017).
etiologi dan patofisiologi penyakit Hirschsprung, diagnosis dini dan akurat serta
ditandai dengan diare eksplosif, perut kembung, sakit perut kolik, lesu, dan
demam. Kondisi HAEC dapat terjadi sebelum maupun setelah operasi. Insiden
terjadinya HAEC diperkirakan sekitar 6-60 % dan insiden pada post operatif
3
- 50 % dengan prevalensi yang lebih tinggi pada periode neonatal sebelum koreksi
Irigasi rektal (rectal irrigation) atau rectal washout adalah salah satu
pencegahan dan terapi pada HAEC. Pada pasien HAEC, Tindakan irigasi rektal
harus segera dilakukan sebagai tindakan dekompresi. Dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Marty et al, 1995, dikatakan bahwa rektal irigasi yang dilakukan
secari rutin setelah operasi dapat menurunkan insiden dan keparahan enterokolitis
pada anak-anak setelah operasi Hirschsprung. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Sunggiardi et al, 2020 didapatkan korelasi positif yang sangat kuat antara tingkat
keparahan derajat histopatologi dan keparahan dari enterokolitis yang dilihat dari
pasien HAEC yang mendapat perlakuan irigasi 1 kali, jumlah koloni bakteri tidak
berubah, pada pasien dengan perlakuan irigasi 2 kali jumlah koloni menurun
Pengguanaan cairan salin normal telah dikenal luas untuk irigasi rektal pada
metronidazole pada pasien dengan penyakit hirschsprung saat ini masih sebatas
sebagai antibiotik sistemik. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan
perbandingan antara cairan normal salin dan kombinasi normal salin dengan
metronidazole sebagai cairan yang dapat digunakan untuk irigasi rektal pada
pasien HAEC.
1.3 Tujuan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan sumber
selanjutnya
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
jaringan mienterik dan pleksus submucosa pada usus besar, mulai dari
satu setengah abad yang lalu. Dia terkenal sebagai penulis pertama yang
bulan biasanya dikeluarkan dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Pada
laksatif dan enema dapat mengurangi keluhan dalam jangka waktu lama.
suction (rectal suction biopsy – RSB). Dalam tiga dekade terakhir, RSB,
dengan adanya feses yang yang menetap dan terjadi pertumbuhan bakteri
dan dapat muncul pada saat pasien menunggu operasi ataupun setelah
klinis pada pasien dengan HAEC yaitu dapat ditemukannya diare berbaau,
ditangani maka dapat terjadi syok sepsis yang dikenal sebagai toxic
migrasi dari sel ganglion. Pada kondisi normal, tabung neural terbentuk
interaksi intra sel yang abnormal (tidak adanya molekul adhesi sel neural)
tiga kali dalam satu hari. Setelah diagnosis ditegakkan, maka waktu untuk
diagnosis dilakukan pada bayi baru lahir, dan operasi direncanakan antara
yang saat ini tetap diindikasikan untuk aganglia kolon total (ileostomi) dan
HAEC berulang.
through) bagian usus yang normal sampai ke anus, dengan menjaga fungsi
sfingter agar tetap baik. Teknik operasi yang paling sering dilakukan
teoretis yang melekat pada diseksi panggul yang dalam, studi hasil jangka
(Coran,2012).
dan sakrum dan menggabungkan dua dinding usus untuk membuat lumen
Gambar 2.1 (A) Prosedur Soave, (B) Prosedur Swenson, (C) Prosedur Duhamel
11
tube selama 12 jam sampai dengan 24 jam. Antibiotik spektrum luas tetap
dilanjutkan selama 5-7 hari. Pasien bisa diberikan makanan ketika sudah
ketika pasien sudah bisa mentoleransi makanan dengan baik. Dua minggu
striktur. Anal dilatasi dilanjutkan sampai dengan satu tahun pasca operasi.
borborygmi, dan tidak bisa buang air besar. Insidens terjadinya gejala
dan megakolon fungsional karena sering menahan buang air besar (Langer,
2017).
hilangnya garis transisional atau linea dentata. Kontrol sfingter yang tidak
sering karena peregangan otot sfingter yang berlebihan. Selain itu juga
kembung, feses berbau busuk, dan diare yang bersifat eksplosif. Kondisi
karena kemajuan dalam teknik bedah dan perawatan medis (Suita, 2005).
hingga 25% bayi (Gosain, 2016). HAEC juga dapat muncul dengan
kesulitan dalam membuat diagnosis dan tidak ada definisi standar dari
semua faktor selain diare dengan feses eksplosif, diare dengan feses
berbau busuk, eksplosif feses pada pemeriksaan dubur, dan perut buncit
yang lebih berat pada penunjang diagnosa. Kriteria ini, meski luas,
HAEC yang terlihat secara klinis dan skor histopatologis tingkat 3 ke atas.
16
Sistem penilaian ini telah bertahan dan masih digunakan untuk tujuan
histopatologis HAEC pada tikus yang dikondisikan HAEC dengan larutan BAC
0.1%. Derajat 1 HAEC ditandai dengan adanya dilatasi kelenjar Lieberkühn yang
muncul pada hari ke-7 sampai hari ke-12. Derajat 2 HAEC ditunjukkan oleh
Gambar 2.2 Gambaran fotomikrograf bagian dari kolon sigmoid diwarnai oleh H&E yang
menunjukkan derajat HAEC (pembesaran 200x). (a) Derajat 0 HAEC pada kelompok kontrol
menunjukkan (1) vili mukosa, (2) kelenjar Lieberkühn, (3) tunika muskularis, (4) sel goblet, (5)
sel Paneth, (6) ganglion, (7) pembuluh darah; (b) HAEC derajat 1 pada hari ke-7 sampai hari
ke-12 menunjukkan dilatasi kelenjar Lieberkühn (panah); (c) derajat 2 HAEC pada hari ke-14
sampai hari ke-17 menunjukkan infiltrasi mononuklear dan neutrofil (panah); (d) derajat 3
HAEC pada hari ke-19 sampai hari ke-21 menunjukkan PMN di kripta (panah); (e) derajat 4
HAEC pada hari ke-23 menunjukkan fibrinogen di dalam kelenjar Lieberkühn (*) dan nekrosis
serta deskuamasi sel epitel vili mukosa (**); (f) derajat 5 HAEC pada hari ke-25 dan -28
menunjukkan nekrosis kelenjar Lieberkühn (panah) (Budianto,2021).
17
HAEC derajat 2 terjadi pada hari ke-14 sampai hari ke-17. Pada hari ke-19
itu, derajat HAEC derajat 4 sampai derajat 5 terlihat pada hari ke-23
Lieberkühn, nekrosis dan deskuamasi sel epitel vili mukosa, dan nekrosis
berubah (Kyrklund,2020).
iskemia mukosa dan invasi bakteri pada segmen yang terdilatasi, (2)
melepaskan TNF-α yang membuat sel Cajal kehilangan fenotipe c-kit dan
2021 dikatakan usia yang lebih tua pada saat dilakukan operasi terkait
dengan interval bebas dari HAEC yang lebih pendek setelah operasi
dengan panjang segmen aganglionik pada usus. HAEC lebih sering terjadi
juga dikatakan sebagai faktor resiko terjadinya HAEC pada bayi dengan
dengan riwayat HAEC. Resiko HAEC juga meningkat pada pasien yang
yang tidak terisi udara, dilatasi loop usus. air fluid level, pneumatosis
pada kasus lanjut dapat dilihat udara bebas akibat perforasi kolon.
2014).
20
Gambar 2.3 (a) Distensi gas pada kolon, dengan cut off pada tingkat pinggiran pelvis
(tanda panah cut off usus) pada pasien dengan HAEC pasca operasi. (b) X-Ray
abdomen dari pasien yang sama setelah insersi rektal tube (panah), dengan
penurunan distensi gas kolon yang nyata (Demehri 2013).
dan hidrasi oral. Irigasi rektal untuk mengevakuasi feses yang tertahan dari
perut. Tatalaksana ini dapat digunakan sebagai uji coba untuk melihat
(Gosain, 2017).
sehingga aliran feses dapat menjadi lancar. Banyak penelitian telah melihat
(Svetanoff, 2021).
Pada pasien dengan HAEC yang berulang atau HAEC rekuren atau
through telah memberikan hasil yang bail dalam penelitian terbaru dengan
perbaikan gejala dan lama rawat inap. Namun, hasil jangka panjang
macam cara. Irigasi rektal secara terjadwal telah tebukti mengurangi angka
berulang dan akalasia sfingter interna. Namun karena jumlah pasien kecil
membatasi interpretasi hasil dari studi ini, ini pendekatan harus dipelajari
probiotik dapat menurunkan insiden dan frekuensi HAEC. Hasil dari studi
air besar yang telah digunakan secara luas. Irigasi rektal adalah suatu
dari burung iblis yang suci, dimana burung tersebut mengambil air banjir
Irigasi rektal adalah suatu teknis untuk membersihkan feses yang tertahan
pada kolon yang digunakan sebagai terapi maupun pencegahan terjadinya HAEC.
Teknik detail pada irigasi rektal adalah dengan memasukkan tube yang lembut
dengan ukuran yang paling besar ke dalam kolon distal untuk menyemprotkan
cairan yang biasanya berupa salin normal 0.9 % dengan dosis 10-20 mL/kg.
Irigasi rektal biasanya dilakukan berulang-ulang sebanyak 2-4 kali sehari untuk
mencegah tertahannya feses pada usus karena gangguan motilitas (Lu, 2019).
kasus HAEC berat, irigasi rektal harus dihindari karena risiko perforasi, tetapi
bagian lembut dari tube tetap dimasukkan ke dalam usus untuk dekompresi.
Irigasi rektal yang terjadwal dapat menurunkan angka kejadian HAEC. Sebesar 36
% pasien yang tidak dilakukan rektal irigasi pasca operasi pada penyakit
24
Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Marty, et al, 1995 disimpulkan
bahwa irigasi rektal dapat berperan mencegah terjadinya HAEC pasca dilakukan
operasi definitive pada pasien dengan Hirschsprung. Irigasi rektal rutin pasca
koloni mikrobiota terkait dengan HAEC. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
rektal pada pasien HAEC dengan frekuensi sebanyak 3 kali. Namun perbedaan ini
tidak berbeda nyata dengan irigasi rektal dengan frekuensi 2 kali sehari.
2.4 Metronidazole
(Löfmark, 2010).
(Löfmark, 2010).
Dalam dua fase pertama, senyawa dilewatkan ke dalam sel melalui difusi
Fase ketiga dalam aksi metronidazole melibatkan efek sitotoksik dari obat
pemisahan untai tunggal dan ganda. Hal ini menyebabkan degradasi DNA
dengan metronidazole dan kematian sel. Akhirnya, produk akhir obat yang
enam jam kemudian dengan dosis 7,5 mg/kg yang diberikan setiap enam
efek samping ringan sampai sedang seperti mual, sakit perut, dan diare.
neuropati perifer meningkat bila dosisnya lebih tinggi dari 42 gram. Efek
BAB III
peradangan pada dengan gejala klinis demam, distensi perut, diare, sepsis.
barrier usus dan respon imun yang abnormal maka HAEC dapat
kripta usus. Hal ini terkait dengan pelebaran kripta dan mucus yang
abses kripta, ulserasi mukosa, dan debris fibrinopurulent. Pada kasus yang
untuk irigasi rektal. Peenelitian irigasi rektal dengan salin normal 0.9 % di
koloni bakteri tidak berubah, pada pasien dengan perlakuan irigasi 2 kali
sebatas sebagai antibiotik sistemik. Oleh karena itu, pada penelitian ini
Fecal statis
sis
Obstruksi
Fecal stasis
Perubahan Histopatologi
31
Faktor internal
Usia
Jenis kelamin Irigasi rektal dengan Normal
Berat badan Salin normotermik
HAEC
Derajat
Histopatologi
Faktor eksternal HAEC
Makanan
Kondisi kandang
Teknik insisi
Penjahitan
Irigasi rektal Salin normal + Metronidazole IV normotermik
Keterangan:
: variabel bebas
: variabel tergantung
: variabel kendali
32
3.3 Hipotesis
BAB IV
METODE PENELITIAN
randomized with post test only control group. Dalam desain eksperimen
variabel terikat.
Keterangan:
P : Populasi R : Randomisasi
S : Sample K : Kelompok control
P1 : Kelompok perlakuan 1
O1 : Post-test kelompok kontrol
O2 : Post-test kelompok perlakuan 1
FKH.
Tikus Wistar jantan, berusia 2-3 bulan dan berat badan 250-300 gram.
Tikus Wistar jantan, berusia 2-3 bulan dan berat badan 250-300 gram yang
- Tikus Wistar dewasa jantan, berusia 2-3 bulan dengan berat badan 250-
300gram.
35
- Tikus Wistar yang sakit atau mati yang ditentukan oleh dokter hewan.
P (n-1) ≥ 15
2 (n-1) ≥ 15
2n-2 ≥ 15
2n ≥ 17
n ≥ 8,5 = 9
=9×2
= 18
salin normal
1. Laparatomi
4. Suhu normotermik
rektal peritoneum dengan suhu sesuai suhu tubuh normal tikus 35.9-
5. Salin normal
6. Metronidazale
38
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel usus, salin
1. Timbangan
2. Set minor
ujicoba.
3. Termometer
rektal
4. Tube
Tube yang digunakan pada penelitian ini adalah feeding tube dengan
5. Pemeriksaan histopatologi
kaca obyek, kaca penutup, rak khusus untuk pewarnaan, oven 60⁰ C.
akan dilakukan.
ditempatkan pada kandang besi, 2-3 ekor per kandang, dengan akses
larutan BAC 0,1% diteteskan pada kain kasa setiap 5 menit untuk
diare.
3.0.
7,5 mg/kg BB dan normal salin 10 cc/kg BB. Irigasi rektal dilakukan 1
6. Pada hari ke-8 dilakukan re-laparatomi dengan insisi bentuk “U” pada
Sampel usus diambil dari seluruh tikus uji coba untuk diperiksa
Tikus HAEC
Randomisasi
Analisis data
Hasil
kurang, cleaning data, dan pemeriksaan kembali data setelah dibuat menggunakan
perubahan derajat histopatologis HAEC diuji statistik dengan Chi Square. Apabila
tidak memenuhi persyaratan chi square maka data diuji statistic dengan uji Fisher
(RR), dengan batas kemaknaan apabila p<0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
mendapak izin dan kelaikan etik (ethical clearance). Penelitian akan dilakukan
4.9.2 Privacy
untuk keperluan penelitian dan analisis data, dan tidak dapat diketahui secara luas
untuk publik.