Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit yang banyak diderita oleh sebagian besar
masyarakat di dunia. Penyakit ini dapat terjadi secara tiba-tiba dan menyerang
siapa saja, tanpa memandang usia atau status ekonomi yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian. 1 Stroke terbagi
atas stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Stroke non hemoragik
didefinisikan sebagai infark di otak, sumsum tulang belakang atau retina dan
menyumbang 71 persen dari semua stroke di seluruh dunia. 2 Stroke ini
disebabkan oleh bekuan darah atau penyumbatan arteri di otak dan biasanya
tidak disertai dengan muntah, sakit kepala hebat, kehilangan kesadaran dan
tekanan darah rendah.
Menurut WHO pada tahun 2014, stroke merupakan penyebab
kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker. Di seluruh
dunia, 15 juta orang menderita stroke setiap tahun, sepertiga meninggal dan
sisanya menjadi cacat permanen.1 Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, frekuensi penyakit tidak menular seperti diabetes,
tekanan darah tinggi, stroke dan penyakit sendi/rematik/asam urat semakin
meningkat.3 Menurut data Dinas Kesehatan tahun 2017, prevalensi penyakit
stroke khususnya di provinsi Jawa Tengah sebesar 64,7% dari kejadian stroke
non hemoragik (SNH). Pada tahun 2017, Kabupaten Brebes memiliki jumlah
kasus stroke non hemoragik (SNH) tertinggi sebesar 16,4 persen kasus, urutan
kedua Kabupaten Klaten menyumbang 15,7% kasus dan di urutan ketiga
adalah Kab.Kebumen sebesar 8,2% kasus.4 Hasil dari studi pendahuluan yang
dilakukan di RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang, didapatkan data
populasi pasien pasca stroke non hemoragik dari bulan Januari sampai Juni
2023 yang sedang menjalani pengobatan rawat jalan sebanyak 223 pasien.

1
Stroke membuat seseorang menjadi tergantung pada orang lain dan
pasca stroke biasanya terjadi perubahan penerimaan diri dari orang yang
terkena, yang tercermin dari perilakunya. 5 Kondisi mental yang dikenal
sebagai depresi seringkali terjadi pada pasien stroke dengan frekuensi yang
signifikan. Sebuah penelitian longitudinal sistematis pertama yang dilakukan
pada depresi pasca-stroke (PSD) menunjukkan bahwa gangguan yang parah
terkait dengan aktivitas sehari-hari, fungsi sosial, dan kognisi dapat terjadi
pada pasien yang mengalami PSD.6 Sekitar 26-60% penderita stroke memiliki
gejala klinis depresi.5
Menurut Ikatan Psikiater Indonesia, kejadian depresi pasca stroke
berkisar antara 11-68% pada 3-6 bulan setelah stroke dan tetap tinggi 1-3
tahun kemudian. Sekitar 15-25% pasien stroke yang dirawat di rumah
mengalami depresi, sementara 30-40% pasien yang dirawat di rumah sakit
mengalami depresi.5 Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya
menyatakan bahwa self efficacy berperan penting dalam tingkatan depresi
pasca stroke dan ditemukan juga bahwa penderita stroke dengan tingkat
efikasi diri yang lebih tinggi memiliki gejala depresi yang lebih sedikit.7
Self efficacy merupakan salah satu aspek dari Health Belif Model.
Health Belief Model adalah pandangan individu tentang kesehatan yang
dipengaruhi oleh keyakinan mereka sendiri.8 Self efficacy mengacu pada
keyakinan seseorang pada kemampuan mereka untuk mengelola penyakit
sendiri, karena dapat menentukan apakah seseorang mulai merawat diri
sendiri atau tidak.9 Menurut peneliti terdahulu, pada pasien stroke sebagian
mengalami penurunan efikasi diri yang ditandai dengan memiliki penurunan
keyakinan untuk berpindah dari tempat tidur secara mandiri, menurunnya
keyakinan untuk berjalan-jalan dirumah, menurunnya keyakinan untuk makan
dan menyiapkan makan secara mandiri, menurunnya keyakinan untuk
memakai pakaian sendiri, menurunnya keyakinan untuk melaksanakan
program lanjutan dalam mencapai kesembuhan, dan menurunnya keyakinan

2
untuk mengontrol frustasi.10 Dari penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
ada hubungan antara efikasi diri dengan depresi pasca stroke.
Al-Qur’an menegaskan bahwa siapapun bisa menghadapi kejadian
apapun karena Allah SWT berjanji bahwa Allah SWT hanya akan membebani
seseorang dengan apa yang sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana
Firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah/2: 286.

‫او اَل تا‬


‫اما ٱ ْكتا ْ اربهنا اَل ُت اؤا ِّخ ْذن ٓا ِّإن نه ِّسين ٓا أا ْو اطأْنا ار‬ ‫ً سا ِّإ هَل ُو ْس ا اك اسبا ْت او‬ ‫اَل ُي اك ِّل' ُ ف ٱ‬
‫ْح ِّم ْل‬
‫أا ْخ ا هبنا‬ ‫ا بسا ت‬ ‫ا لعا ْي اها‬ ‫اع اها ۚ لا اها م‬ ‫ل َّهلُ نا ْف‬
‫ا‬
ۚ ٓ‫او اَل تُ ا اَل اطاقاةا لان ا بِّ ِّهۦ ا ْ ع ُ ف اعنها اوٱ اح ْمنا‬ ۚ ‫اح ام ْلتاُۥه اعلاى ٱله ِّذي ان ِّمن قا ْب ِّلنا‬ ‫ا لعا ْينآ ِّإ ْص ًۭ ًرا اك اما‬
‫ۖ و اوٱ ْ غ ِّف ْر لاناا ْر أان ات‬ ‫اح ِّ'م ْ نل اا م‬ ‫اربهنا‬
‫ٱ‬ ‫ا‬
‫اعلاى ٱ ْلقا ْو ِّم ٱ ْل اك ٰـ ِّف‬ ‫ام ْولا ٰىناا فاٱن ُ ص ْرناا‬
٢٨٦ ‫ِّري ان‬
Artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakanya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Mereka berdo’a
Ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah.
Ya tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya
Tuhan kami , janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Allah SWT tidak
membebani hamba-Nyadengan apapun diluar kemampuannya. Ini
menciptakan keyakinan bahwa apa pun yang terjadi, kita bisa mengatasinya.11

1.2 Rumusan Masalah

3
Apakah terdapat hubungan self efficacy dengan kejadian depesi pada pasien
pasca stroke non hemoragik?

4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan self efficacy dengan kejadian depesi pada
pasien pasca stroke non hemoragik.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi self efficacy pasien pasca stroke non hemoragik.
2. Mengidentifikasi kejadian depresi pada pasien pasca stroke non
hemoragik.
3. Menganalisis self efficacy terhadap kejadian depresi pada pasien
pasca stroke non hemoragik.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk
meningkatkan self efficacy terhadap kejadian depresi pasien pasca
stroke non hemoragik.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan menjadikan wawasan tentang
hubungan self efficacy dengan kejadian depresi pasien pasca stroke
non hemoragik.
2. Bagi institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ilmiah bagi
institusi mengenai hubungan self efficacy dengan depresi pasien
pasca stroke non hemoragik.

5
1.5 Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Nama
peneliti, Judul Metode Hasil Persamaan Perbedaan
Tahun
Frinsca Hubungan Deskriptif Hasil penelitian Variabel Lokasi
Luthfiah, Efikasi Diri analitik dengan didapatkan terikat dan penelitian,
2020 Dengan Depresi pendekatan bahwa dari 72 variabel tahun
Pasca Stroke cross sectional, responden bebas penelitian,
Pada Penderita pengambilan didapatkan pengambilan
Stroke Di sampel ada hubungan sampel
Poliklinik menggunakan antara efikasi menggunakan
Penyakit Syaraf purposive diri consecutive
RS Tingkat III sampling dengan depresi sampling
Dr. pasca stroke
Reksodiwiryo
Padang Tahun
2020
Ismatika, Hubungan Self Analitik Hasil penelitian Variabel Self Variabel
Umdatus Efficacy Dengan korelasional menunjukkan Efficacy depresi pasca
Soleha, Perilaku Self dengan bahwa dari 36 stroke non
2017 Care Pasien pendekatan responden hemoragik,
Pasca Stroke Di cross sectional sebagian besar desain
Rumah Sakit atau 26 penelitian,
Islam Surabaya responden lokasi
(72.2%) penelitian,
memiliki self dan tahun
efficacy baik dan penelitian
sebagian besar
atau 27
responden (75%)
memiliki
perilaku self care
baik.
Riaz Relationship Desain random Temuan Variabel self Variabel
Ahmad Z, between sampling. penelitian efficacy depresi pasca
Yasien S, perceived social menunjukkan stroke non
Ahmad R, self-efficacy and korelasi negatif hemoragik,
2014 depression in yang signifikan sampel
adolescents. (r = −0,149, p penelitian,
<0,05) antara desain
variabel PSSE penelitian,
(perceived social lokasi
self-efficacy) dan penelitian
depresi. dan tahun
penelitian

6
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel
penelitian, lokasi penelitian, metode penelitian, dan tahun penelitian. Selain itu juga
belum terdapat penelitian yang meneliti tentang pengaruh self efficacy terhadap
kejadiandepresi pada pasien stroke non hemoragik.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke Non Hemoragik
2.1.1 Definisi
Stroke didefinisikan sebagai gejala klinis yang berkembang
pesat akibat penyakit otak fokal, gejala yang berlangsung
setidaknya 24 jam dan dapat menyebabkan kematian tanpa
penyebab lain yang jelas.10
Stroke dibagi menjadi dua kategori: stroke non-hemoragik dan
stroke hemoragik. Stroke non-hemoragik adalah jenis stroke yang
paling umum, terhitung hampir 80% dari semua stroke.
Penyumbatan pembuluh darah yang membawa darah ke otak ini
menyebabkan stroke non-hemoragik. Gejala utama stroke non
hemoragik adalah defisit neurologis yang tiba-tiba, didahului
gejala prodromal, terjadi saat istirahat atau saat bangun tidur, di
mana kesadaran biasanya tidak terganggu.12

2.1.2 Prevalensi
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka
kejadian stroke di Indonesia meningkat dari 7 persen pada 2013
menjadi 10,9 persen atau sekitar 2.120.362 orang. Menurut data
Dinas Kesehatan tahun 2017, prevalensi penyakit stroke khususnya
di provinsi Jawa Tengah sebesar 64,7% dari kejadian stroke non
hemoragik (SNH). Pada tahun 2017, Kabupaten Brebes memiliki
jumlah kasus stroke non hemoragik (SNH) tertinggi sebesar 16,4
persen kasus, urutan kedua yaitu Kab. Klaten menyumbang 15,7%
kasus dan di urutan ketiga adalah Kab.Kebumen sebesar 8,2%
kasus.4 Menurut Riskesdas, prevalensi penyakit menular termasuk

8
stroke, meningkat 10,9% sejak 2018 dibandingkan tahun 2013,
tidak kurang dari 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur
(14,7%) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (14,6%) merupakan
provinsi dengan kejadian stroke tertinggi di Indonesia. Sedangkan
dibandingkan provinsi lain, Papua dan Maluku Utara memiliki
prevalensi terendah yaitu 4,1% dan 4,6%.3

2.1.3 Etiologi
Penyebab stroke iskemik adalah gumpalan darah atau emboli
yang mengurangi aliran darah ke otak. Selama peristiwa trombotik,
aliran darah ke otak dibatasi dalam pembuluh karena disfungsi
pembuluh itu sendiri.13
Emboli adalah mekanisme stroke yang paling umum.
Kebanyakan emboli adalah gumpalan darah dari jantung (emboli
jantung) akibat penyakit jantung. Gangguan jantung yang
umumnya menyebabkan stroke antara lain fibrilasi atrium,
penyakit katup jantung, dan kardiomiopati akibat infark miokard
atau hipertensi. Emboli muncul dari trombus yang pecah dari
dinding pembuluh darah distal yang besar dan melekat pada
pembuluh yang lebih kecil di bagian hilir.13

2.1.4 Faktor Resiko


Faktor risiko stroke terbagi menjadi dua jenis, yaitu faktor
risiko yang tidak dapat diubah, seperti umur, jenis kelamin,
riwayat keluarga dan ras. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
termasuk hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes,
dislipidemia, pola makan yang buruk, obesitas, kebiasaan merokok,
anemia, dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak.14

9
Terdapat beberapa faktor risiko penyebab stroke non
hemoragik yaitu usia lanjut, hipertensi, diabetes melitus,
hiperkolesterolemia, merokok dan penyakit serebrovaskular. 12
Faktor risiko lainnya antara lain obesitas, aktivitas fisik, obat-
obatan terlarang dan kontrasepsi oral.15

2.1.5 Patofisiologi
Stroke non hemoragik merupakan penyakit kompleks dengan
berbagai etiologi dan manifestasi klinis. Sekitar 45% stroke
disebabkan oleh penyumbatan arteri, besar atau kecil, 20%
disebabkan oleh emboli, dan sisanya tidak diketahui penyebabnya.
Stroke non hemoragik dapat muncul sebagai stroke trombotik
(jenis pembuluh darah besar atau kecil), emboli (dengan atau tanpa
kerusakan jantung atau arteri), hipoperfusi sistemik, atau trombosis
vena.16
Stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
kurangnya aliran darah ke sebagian atau seluruh bagian otak,
mengakibatkan hilangnya glukosa dan oksigen ke neuron dan
kegagalan menghasilkan senyawa fosfat berenergi tinggi seperti
adenin trifosfat (ATP). Hal ini mempengaruhi proses produksi
energi yang penting untuk kelangsungan hidup sel jaringan. Jika
ini berlanjut dan memburuk, dapat menyebabkan penyusutan
membran neuron dan kematian sel akibat gangguan proses seluler
normal. Biasanya, stroke non hemoragik hanya menyerang
sebagian otak karena arteri besar atau kecil yang tersumbat. Hal ini
dapat terbentuk dengan cepat di beberapa bagian arteri dan
menjadi gumpalan atau gumpalan tunggal yang pecah dan
mengalir melalui aliran darah. Ketika arteri tersumbat dan otak
kekurangan darah, hampir semua fungsi alami saraf terhambat.

10
Fungsi normal saraf terganggu dan gejala muncul di area otak yang
terkena (kelemahan, mati rasa, kehilangan penglihatan, dll.).16
Jaringan serebrovaskuler yang terkena iskemia memiliki dua
lapisan, yaitu inti dari iskemia berat dengan aliran darah kurang
dari 10-25%, menujukkan adanya nekrosis baik neural maupun sel
glia dan lapisan luar iskemia yang tidak parah (penumbra) yang di
suplai oleh kolateral dan mengandung sel-sel yang didapatkan
kembali oleh pemberian terapi dalam waktu yang
tepat. Berdasarkan kejadian iskemik, perfusi pada inti
iskemik adalah 10- 20ml/100g/menit atau kurang, sedangkan
hipoferfusi pada daerah penumbra kritis yaitu kurang dari 18-
20 ml/100g/menit dan beresiko menyebabkan kematian jika
tidak dipulihkan dalam waktu 2 jam. Sebaliknya, jika
penumbra berperfusi setidaknya sekitar 60 ml/100g/menit
kemungkinan kematian akan berkurang. Neuron pada penumbra
sebagian besar mengalami disfungsi, tapi dapat pulih jika di
reperfusi pada waktu yang tepat. Intervensi farmakologis yang
diberikan secepatnya dapat membantu proses rekanalisasi
pembuluh darah yang tersumbat, karena tidak hanya
menyelamatkan neuron dan sel glia dari penumbra tapi juga sel
glia pada inti iskemia sehingga dapat mengurangi infark jaringan.16
Trombosis dapat terbentuk di arteri ekstrakranial atau
intracranial saat intima menjadi kasar dan plak terbentuk selama
terjadi luka pada pembuluh darah. Luka endothelial merangsang
platelet untuk menempel dan beragregasi kemudian koagulasi aktif
dan trombus terbentuk pada tempat plak. Aliran darah pada sistem
ektrakranial dan intracranial menurun dan sirkulasi kolateral
mempertahankan fungsinya. Saat mekanisme pertahanan sirkulasi
kolateral gagal, perfusi terganggu dan akhirnya menyebabkan

11
penurunan perfusi dan kematian sel. Pada stroke emboli, klot

12
berjalan dari sumber terbentuknya menuju ke pembuluh darah
serebral. Mikroemboli dapat terpecah dari plak sclerosis di arteri
karotid atau bersumber dari jantung seperti atrial fibrilasi, patent
foramen ovale, atau hipokinetik ventrikel kiri. Emboli dapat
berupa darah, lemak ataupun udara yang dapat muncul selama
prosedur operasi, kebanyakan muncul data operasi jantung tapi
juga setelah operasi tulang.16
Mekanisme ketiga dari stroke iskemik adalah hipoperfusi
sistemik yang umumnya terjadi karena hilangnya tekanan arteri.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan hipoperfusi sistemik adalah
infark miokard dan/atau aritmia. Area otak di tepi distal dari
cabang arteri yang biasa disebut batas antara daerah arteri serebral
inti, cenderung terganggu. Hipotensi berat dapat menimbulkan
efek yang sama dengan iskemik, terutama dalam konteks stenosis
yang signifikan dari arteri karotid dan dapat memicu batas
unilateral iskemia.16

2.1.6 Dampak Stroke


Terdapat beberapa dampak stroke yang terjadi pada pasien, yaitu :
1) Dampak fisik
Stroke dapat memunculkan sejumlah masalah fisik seperti
hemiparesis, hemiplagia yang dihasilkan oleh
ketidaknormalan motor neuron pada jalur piramidal,
hambatan dalam komunikasi, kehilangan kemampuan
untuk merasakan, rasa sakit, inkontinensia, kesulitan
menelan, masalah tidur, dan kehilangan fungsi dasar.17
2) Dampak psikososial
Orang yang mengalami stroke umumnya akan
menghadapi perubahan dalam hubungan dan peran mereka

13
karena gangguan komunikasi yang terjadi. Mereka juga
cenderung merasa tidak berdaya, putus asa, mudah
tersinggung, dan kurang kooperatif. Selain itu, orang yang
mengalami stroke merasa kesulitan dalam menyelesaikan
masalah karena gangguan dalam proses berpikir dan
komunikasi. Biasanya, mereka tidak mampu melakukan
aktivitas keagamaan karena kelemahan yang dirasakan.17
3) Dampak ekonomi
Serangan stroke merupakan kondisi medis yang
membutuhkan pengeluaran besar untuk perawatan dan
pengobatan. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan,
pengobatan, serta perawatan dapat berdampak pada
kestabilan ekonomi keluarga dan juga emosi pasien dan
keluarganya.17

2.2 Depresi Pasca Stroke


2.2.1 Definisi Depresi
Depresi adalah salah satu dari sejumlah kelainan yang dapat
berkembang kapan saja dalam hidup dan memengaruhi aspek
kognitif, emosional, dan perilaku dalam kehidupan. Depresi adalah
keadaan suasana hati yang ditandai dengan rendahnya harga diri,
kurangnya minat pada aktivitas biasa, penurunan atau penambahan
berat badan, insomnia atau susah tidur, agitasi atau
keterbelakangan psikomotor, kelelahan, penurunan kemampuan
berpikir atau berkonsentrasi, ragu-ragu dan memiliki pikiran atau
upaya untuk bunuh diri.18 Depresi dapat menyerang siapa saja,
namun lebih sering terjadi pada orang dengan penyakit serius,
seperti stroke.19

14
Gejala depresi meliputi kesedihan, murung, kehilangan
antusiasme, distorsi kognitif seperti kehilangan kepercayaan diri,
perasaan bersalah dan tidak berharga, pikiran gelap tentang masa
depan, pesimisme, kehilangan ingatan, dan kehilangan konsentrasi.
Keterbelakangan psikomotor, lesu, kurang energi, gangguan tidur,
kehilangan nafsu makan dan penurunan hasrat seksual juga terjadi
pada depresi.19

2.2.2 Faktor Risiko Depresi Pasca Stroke


1. Usia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vika tahun 2018
menemukan bahwa hampir separuh (42,8%) responden
berusia paruh baya antara 45-59 tahun dengan depresi berat.
Insiden depresi stroke semakin meningkat dengan
meningkatnya usia pasien. Diasumsikan bahwa bertambahnya
usia melemahkan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan lingkungan, perubahan fungsi fisik, perubahan
kognitif dan psikososial yang mendukung perkembangan
depresi pada lansia.5
2. Jenis Kelamin
Perubahan peran dan berkurangnya interaksi sosial serta
kehilangan pekerjaan dapat membuat pria lebih rentan
terhadap masalah mental, termasuk depresi. Dari depresi
terlihat rata-rata angka depresi pada lansia adalah 13,5 dengan
rasio perempuan/laki-laki 14,1:8.6.20
3. Pekerjaan
Berdasarkan dari penelitian yang sama, ditenemukan bahwa
hampir setengah (44,0%) penderita stroke yang berhenti
bekerja mengalami depresi sedang.5

15
4. Pendidikan
Pendidikan rendah dikaitkan dengan depresi, terutama di usia
tua, karena orang yang kurang berpendidikan ketika
memasuki usia tua mengalami penurunan kognitif dan
kesehatan fisik yang buruk.5
5. Dukungan Keluarga
Ada empat jenis dukungan keluarga, yaitu dukungan
kendaraan, dukungan penghargaan, dukungan emosional, dan
dukungan informasi. Dalam dukungan instrumental, keluarga
berfungsi sebagai sumber dukungan dan fasilitasi selama
pengobatan. Keluarga berperan sebagai mediator antara
korban stroke dan layanan medis. Ia juga dapat membantu
korban jika mereka kesulitan melakukan sesuatu. Dukungan
ini akan lebih efektif jika diapresiasi oleh pasien dan dapat
mengurangi depresi.5
6. Social Ekonomi
Faktor status sosial ekonomi berkorelasi negatif dan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
individu yang mengalami gejala depresi, dimana semakin
rendah status sosial ekonomi seseorang maka semakin tinggi
pula risiko mengalami gejala depresi.21
7. Self Efficacy
Self Efficacy juga diduga mempengaruhi depresi melalui
dampaknya terhadap hubungan sosial. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa meragukan kemampuan seseorang untuk
berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain membuat
lebih sulit untuk membentuk hubungan sosial yang positif,
sehingga membuat seseorang lebih kecil kemungkinannya
untuk mengalami depresi dibandingkan.18

16
2.2.3 Aspek-Aspek Depresi
Beck dan Alford menjelaskan bahwa depresi memiliki empat
aspek yaitu:22
a. Aspek afektif/emosional seperti ketidakpuasan atau kesedihan,
mudah menangis, cemas, lekas marah, kehilangan minat,
merasa diam, apatis.
b. Aspek kognitif seperti harga diri rendah, berpikir negatif,
menyalahkan diri sendiri, keinginan negatif, menarik diri dan
menolak membantu orang lain, citra tubuh yang buruk
menyebabkan perasaan tidak menarik dan pesimis, merasa
gagal, kehilangan semangat, gairah dan cinta.
c. Aspek motivasi seperti penurunan atau menurunnya motivasi
dalam beraktivitas dan sering melamun. Sisi motivasi biasanya
mengarah pada hal-hal negatif seperti pikiran untuk bunuh diri,
sulit mengambil keputusan dan sulit berkonsentrasi.
d. Aspek fisik dan otonom, misalnya perubahan pola tidur, nafsu
makan, kelelahan, hilangnya hasrat seksual.

2.2.4 Penegakan Diagnosis


a) Anamnesis
Gejala klinis depresi antara lain perubahan suasana hati
yang depresif, lesu, penurunan berat badan, gangguan tidur,
kelelahan, penurunan rasa berguna, dan anhedonia. Ada
juga gejala yang membagi gejala depresi.Ada dua jenis
emosi, yaitu gejala fisik dan gejala psikologis. Gejala fisik
seperti anoreksia, kelelahan, dan keterbelakangan
psikomotor, sedangkan gejala psikologis berupa mood
depresi.23

17
b) Pemeriksaan Penunjang
Peneliti menggunakan Kuesioner Hamilton Depression
Rating Scale yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Asupah (2013). Kuesioner terdiri dari 17
pertanyaan dengan skor yang dapat dicapai pasien ketika
menjawab kuesioner dari 8 hingga 50. Pasien akan
diklasifikasikan sebagai depresi ringan dengan skor 8
hingga 13, depresi sedang dengan skor 14 hingga 18,
depresi berat. depresi dengan skor 19 hingga 22, depresi
sangat berat dengan skor 23 hingga 50.24

2.3 Self Efficacy Pada Pasien Pasca Stroke Non Hemoragik


Self efficacy merupakan keyakinan dalam diri seseorang untuk
mengendalikan dirinya sendiri yang diwujudkan dalam tindakan tertentu
dan menggambarkan stabilitas seseorang dalam menghadapi situasi baru
yang diharapkannya.25 Self efficacy menentukan bagaimana cara seseorang
berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri sendiri.26 Seseorang yang
memiliki self efficacy yang tinggi lebih baik dalam aktivitas sehari-hari
daripada pasien dengan self efficacy rendah. Self efficacy berhubungan
positif dengan mobilitas, kehidupan sehari-hari dan kualitas hidup, tetapi
berhubungan negatif dengan depresi.1
Keyakinan pada efikasi diri mengatur fungsi manusia melalui proses
kognitif, motivasi, dan afektif. Keyakinan terhadap efikasi diri
mempengaruhi keadaan mental dan respons emosional seseorang, seperti
suasana hati yang positif meningkatkan persepsi efikasi diri dan suasana
hati yang putus asa menurunkannya.18 Self efficacy yang tinggi dapat
membuat pasien menerima keadaan dirinya, namun sebaliknya jika pasien
memiliki self efficacy yang rendah maka dapat menimbulkan kecemasan
yang berdampak pada proses penyembuhan pasien.1

18
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya self efficacy pada pasien
stroke, faktor pertama yaitu harapan yang dimiliki pasien untuk dapat
sembuh kembali agar bisa melakukan aktifitas sehari-hari.27 Harapan pada
pasien ini dapat dilihat dari adanya kemauan pasien dalam mengatasi rasa
cemas, ketakutan dan kekhawatiran, serta memiliki motivasi untuk
sembuh. Sikap dan usaha pasien juga dapat dilihat dari kemauan pasien
untuk terus menjalani terapi dan pengobatan untuk proses kesembuhannya.
Faktor kedua yang mempengaruhi self efficacy adalah usia.28
Berdasarkan penelitian sebelumnya, menyebutkan bahwa rata-rata
penderita stroke berusia dewasa akhir dan lansia. Semakin tua usia
seseorang, fungsi tubuh semakin mengalami kelemahan termasuk
fleksibilitas pembuluh darah dan mengalami penurunan keyakinan diri
untuk sembuh. Sedangkan seseorang pada masa dewasa lebih memiliki self
efficacy yang tinggi dalam menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-
hari.
Faktor ketiga yang mempengaruhi self efficacy adalah pendidikan.27
Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh dalam kemampuan
menganalisis berita sehingga dapat meyakini keputusan yang dipilih dalam
bertindak.
Faktor lain yang mempengaruhi self efficacy adalah dukungan
keluarga.27 Salah satu bentuk dukungan keluarga yang berkaitan dengan
self efficacy yang diberikan kepada pasien adalah motivasi, dimana pasien
menjadi lebih antusias dan memiliki efikasi diri yang lebih besar untuk
sembuh. Self efficacy yang baik diperlukan untuk mencapai kemandirian
dalam aktivitas sehari-hari, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi
depresi pasca stroke.28

19
2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Keterangan :

: Tidak diteliti

: Diteliti

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

20
2.6 Hipotesis
2.6.1 Hipotesis Mayor
Terdapat hubungan self efficacy dengan kejadian depresi pada
pasien pasca stroke non hemoragik
2.6.2 Hipotesis Minor
1. Terdapat self efficacy pasien pasca stroke non hemoragik
2. Terdapat kejadian depresi pasien pasca stroke non hemoragik.
3. Terdapat hubungan self efficacy dengan kejadian depresi pada
pasien pasca stroke non hemoragik.

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian


3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan
Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat.
3.1.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan November sampai Desember
2023.
3.1.3 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Poli Saraf Instalasi Rawat Jalan RSUD KRMT
Wongsonegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah.

3.2 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berupa studi analitik dengan
menggunakan desain penelitian cross sectional.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
3.3.1.1 Populasi Target
Pasien pasca stroke non hemoragik di Kota Semarang.
3.3.1.2 Populasi Terjangkau
Pasien pasca stroke non hemoragik yang sedang menjalani
pengobatan rawat jalan di RSUD KRMT Wongsonegoro
Semarang yang telah memenuhi kriteria inklusi pada bulan Januari
sampai Juni 2023 dan berdomisili di Kota Semarang.

22
3.3.2 Sampel
3.3.2.1 Besar Sampel
Besar sampel untuk pasien pasca stroke non hemoragik di Rumah
Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro, Kota Semarang
menggunakan rumus slovin:

𝑁
n=
1+𝑁𝑒2
Keterangan :
n = Ukuran sampel/jumlah responden
N = Ukuran populasi
e = Tingkat kesalahan (ditetapkan peneliti)
N = 223 (Pasien pasca stroke non hemoragik di RSUD
KRMT Wongsonegoro, Kota Semarang )
e = 10 % = 0,10
223
n=
1+(223 𝑋 (0,10)2)
223
n=
1+(223 𝑋 0,01)
223
n=
3,23
n = 69,0402
n = 70
Dengan demikian jumlah sampel yang diambil sebesar 70
orang sampel.

3.3.2.2 Cara Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling
dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai
berikut :
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien pasca stroke non hemoragik >3 bulan yang
menjalani rawat jalan di poli saraf di RSUD KRMT
Wongsonegoro Kota Semarang.

23
b. Berdomisili di Kota Semarang
c. Bersedia menjadi responden penelitian.
2. Kriteria Ekslusi
a. Pasien yang telah terdiagnosis depresi
b. Pasien dengan gangguan berbahasa dan komunikasi (afasia)
c. Responden yang tidak kooperatif.
d. Responden tidak mengisi kuesioner dengan lengkap.

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

Jenis Nama Definisi Skala


Variabel Variabel Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
Variabel Depresi Gangguan suasana Kuesioner Interpretasi skor : Ordinal
terikat hati di mana Hamilton ≤7 : Tidak depresi
seseorang Rating Scale 8-13 : Depresi ringan
kehilangan kendali for 14-18 : Depresi
atas emosi tersebut Depression sedang
dan menyebabkan (HRSD). 19-22 : Depresi berat
kesusahan. Adanya ≥23 : Depresi sangat
gangguan mobilitas, berat
kekuatan
fisik,
kesulitan kerja,
hobi dan
kemampuan
kognitif pada pasien
stroke dapat
memicu depresi.
Variabel Self Keyakinan dalam Kuesioner Interpretasi skor Ordinal
bebas efficacy diri seseorang untuk The Stroke : 0-12 : Rendah
mengendalikan Self Efficacy 13-26 : Sedang
dirinya sendiri yang Questinnare. 27-39 : Tinggi
diwujudkan dalam Hasil uji
tindakan tertentu 22 ronbach’s
dan α 0,90 dan
menggambarkan nilai uji
stabilitas seseorang validitas r =
dalam menghadapi 0,803 dan
situasi baru yang p<0,001.
diharapkannya.
Variabel Usia Lama waktu hidup Data 1. 40-45 tahun Ordinal
perancu atau ada (sejak Demografi 2. 46-65 tahun
3. >65 tahun

24
dilahirkan atau
diadakan).
Variabel Jenis Pembeda laki – laki Data 1. Pria Nominal
perancu Kelamin dan perempuan Demografi 2. Wanita
dilihat dari sudut
biologi
Variabel Pendidikan Tahap yang Data 1. SD Ordinal
perancu berkelanjutan yang Demografi 2. SMP
ditetapkan 3. SMA
4. Diploma/Sarjana
berdasarkan tingkat
5. Tidak Sekolah
perkembagan para
peserta didik,
keluasaan bahan
pengajaran, dan
tujuan pendidikan
yang dicantumkan
dalam kurikulum
Variabel Pekerjaan Kedudukan Data 1. Bekerja Nominal
perancu seseorang dalam Demografi 2. Tidak bekerja
unit usaha/kegiatan
dalam melakukan
pekerjaan setelah
mengalami stroke
non hemoragik.
Variabel Lama sakit Menunjukkan Data 1. <6 bulan Nominal
perancu berapa hari/bulan Demografi 2. ≥6 bulan
seorang pasien
mengalami sakit.
Variabel Pendapatan Penghasilan yang Data 1. <UMR Ordinal
perancu timbul dari aktivitas Demografi 2. UMR
biasa suatu entitas 3. >UMR
dan dikenal dengan
berbagai nama
seperti pendapatan,
biaya, bunga,
dividen, royalty,
dan sewa..
Variabel Dukungan Proses hubungan Kuesioner 1. Kurang : 20-33 Ordinal
perancu Keluarga antara keluarga dukungan 2. Cukup : 34-47
dengan lingkungan social 3. Baik : 48-60
sosial, dukungan keluarga
yang
keluarga
diadaptasi
merupakan bantuan oleh

25
dapat dalam barang, Priastina
informasi, nasehat, tahun 2018.
sehingga membuat
penerima dukungan
akan merasa
disayang, dihargai
dan tentram

3.5 Alat dan Bahan


1. Lembar Informed Consent.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rekam medis berupa
diagnosis pasien pasca stroke non hemoragik di Rumah Sakit Umum
Daerah KRMT Wongsonegoro, Kota Semarang bulan Januari - Juni tahun
2023.
3. Kuesioner Data Demografi Responden
4. Kuesioner Dukungan Keluarga
Kuesioner dukungan sosial keluarga yang digunakan pada penelitian ini
diambil dari penelitian yang ditulis oleh Priastina untuk mengukur
dukungan keluarga pasien pasca stroke non hemoragik di Rumah Sakit
Umum Daerah KRMT Wongsonegoro, kota Semarang. Kuesioner ini
terdiri dari 20 pernyataan dan menggunakan skala ordinal. Penilaian dari
masing-masing jawaban pada kuesioner ini dibagi menjadi skor “ya”,
“tidak”, dan “tidak tahu”.
5. Kuesioner Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD)
Instrumen untuk mengukur depresi menggunakan Hamilton Rating Scale
for Depression (HRSD). Skala HRSD ini a dalah salah satu skala pertama
yang dikembangkan untuk depresi dan merupakan skala klinis yang
dimaksudkan untuk menilai tingkat keparahan depresi pada pasien.
Validitas instrumen HRSD telah diuji setiap tahunnya, dan validitas
HRSD terakhir diuji oleh Asupah pada tahun 2012 dengan nilai uji
validitas sebesar 0,600. Reliabilitas HRSD juga diuji oleh Azim pada

26
tahun 2012, dan nilai r tabel sebesar 0,60 dapat diandalkan karena
koefisien alpha lebih tinggi dari r tabel (0,60).24
6. Kuesioner Self Efficacy
Instrumen untuk mengukur self efficacy menggunakan The Stroke Self
Efficacy Questionnaire yang terdiri dari 13 items pertanyaan. Validitas
dan reliabilitas penggunaan kuesioner ini diuji dengan menggunakan
rumus Cronbach’s Alpha. Pengujian kuesioner dilakukan antara tahun
2004 dan 2006 dan dalam tiga penelitian. Kuesioner ini diuji pada 112
pasien dengan stroke. Hasil uji cronbach’s α 0,90 dan nilai uji validitas r
= 0,803 dan p<0,001.

27
3.6 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian

3.7 Pengelolaan Data dan Analisis Data


3.7.1 Tahap Pengolahan Data
1. Editing

28
Tahapan pengecekan kembali setelah dilakukan penelitian yang
meliputi identitas responden, kuesioner self efficacy, dan kuesioner
depresi.
2. Coding
Tahap pemberian kode pada data untuk mempermudah dalam tahap
analisis data.
Tabel 3.2 Coding
Variabel Kategori Kode
Depresi ≥23 : Depresi sangat berat 1
19-22 : Depresi berat 2
14-18 : Depresi 3
sedang 8-13 : Depresi 4
ringan 5
≤7 : Tidak Depresi
Self Efficacy 0-12 : Rendah 1
13-26 : Sedang 2
27-39 : Tinggi 3

Usia 40-45 tahun 1


46-65 tahun 2
>65 tahun 3
Jenis Kelamin Pria 1
Wanita 2
Pendidikan SD 1
SMP 2
SMA 3
Diploma/Sarjana 4
Tidak Sekolah 5
Pekerjaan Bekerja 1
Tidak Bekerja 2
Lama Sakit <6 bulan 1
≥6 bulan 2
Social Ekonomi <UMR 1
UMR 2
>UMR 3
Dukungan Keluarga 20-33 : Kurang 1
34-47 : Cukup 2
48-60 : Baik 3

3. Entry

29
Proses memasukkan data yang telah didapat kemudian dihitung
frekuensinya yang kemudian ditampilkan dalam tabel.
4. Processing
Proses penganalisisan data hasil penelitian.
5. Cleaning
Tahap memastikan kembali data yang sudah di entry tidak terdapat
kesalahan.

3.7.2 Analisis Data


Analisis data dan interpretasi data adalah proses pengolahan data ke
bentuk yang lebih sederhana. Analisis data yang dipakai dalam penelitian
ini terdiri dari :
3.7.2.1 Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik distribusi dan frekuensi variabel
penelitian, yaitu self efficacy dan depresi pasien pasca stroke non
hemoragik.
3.7.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian in bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara variabel yaitu self efficacy terhadap depresi pada
pasien pasca stroke non hemoragik di Rumah Sakit Umum Daerah
KRMT Wongsonegoro. Variabel dengan skala ordinal yaitu self
efficacy, usia, pendidikan, pendapatan, dan dukungan keluarga
dilakukan uji analisis non parametrik terhadap depresi dengan
menggunakan uji rank spearman. Sedangkan variabel dengan skala
nominal yaitu jenis kelamin, pekerjaan, dan lama sakit dilakukan uji
analisis non parametrik terhadap depresi dengan menggunakan uji
mann-whitney test. Tingkat kepercayaan yang digunakan peneliti
adalah 95 % dengan derajat kesalahan "a" sebesar 0,05.

30
3.7.2.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi hubungan dua variabbel atau lebih dengan tujuan
untuk mengetahui variabel bebas yang paling berhubungan dengan
variabel terikat. Proses analisis multivariat dengan menghubungkan
beberapa variabel bebas dan variabel terikat dalam waktu bersamaan
sehingga dapat diketahui variabel bebas mana yang paling dominan
pengaruhnya terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel
terikatnya yakni ordinal maka analisis multivariat menggunakan
metode uji regresi ordinal.

31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


4.1.1. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah KRMT
Wongsonegoro, Kota Semarang. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 24
November 2023 sampai dengan 29 Desember 2023 dengan jumlah responden
sebanyak 70 orang responden yang sedang menjalani rawat jalan.
Pengambilan sampel dilakukan dengan Teknik consecutive sampling dengan
memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi.

4.1.2. Analisis Univariat


Analisis univariat ditujukan untuk mendeskripsikan karakteristik
masing-masing variabel.
Table 4.1 Analisis Univariat
%
Karakteristik Responden n
Usia
40-45 tahun 3 4,3%
46-65 tahun 48 68,6%
>65 tahun 19 27,1%

Jenis Kelamin
Pria 36 51,4%
Wanita 34 48,6%

Pendidikan
Tidak sekolah 9 12,9%
SD 14 20,0%
SMP 6 8,6%
SMA 31 44,3%
Diploma/Sarjana 10 14,3%

Lama Sakit
<6 bulan 30 42,9%
≥6 bulan 40 57,1%

32
%
Karakteristik Responden n
Pekerjaan
Tidak Bekerja 20 28,6%
Bekerja 50 71,4%

Pendapatan
<UMR 43 61,4%
UMR 18 25,7%
>UMR 9 12,9%

Dukungan Keluarga
Kurang 10 14,3%
Cukup 42 60,0%
Baik 18 25,7%

Tingkat Self
Efficacy 12 17,1%
Rendah 42 60,0%
Sedang 16 22,9%
Tinggi
Tingkat Depresi
Tidak Depresi 36 51,4%
Depresi Ringan 22 31,4%
Depresi Sedang 6 8,6%
Depresi Berat 4 5,7%
Depresi Sangat Berat 2 2,9%

Berdasarkan hasil tabel 4.1 mayoritas responden pada penelitian ini


berusia 46-65 tahun yaitu sebanyak 48 responden (68,6%), diikuti oleh
responden usia >65 tahun sebanyak 19 responden (27,1%), dan usia 40-45
tahun sebanyak 3 responden (4,3%). Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas
responden pada penelitian ini adalah pria yakni sebanyak 36 responden
(51,4%) sementara wanita sebanyak 34 responden (48,6%). Berdasarkan
tingkat pendidikan, penelitian ini didominasi oleh responden lulusan SMA
yakni sebanyak 31 responden (44,3%), disusul lulusan SD yakni sebanyak 14
responden (20,0%), lulusan diploma/sarjana sebanyak 10 responden (14,3%),
tidak sekolah sebanyak 9 responden (12,9%), dan lulusan SMP sebanyak 6
responden (8,6%).

33
Berdasarkan pekerjaan, mayoritas responden pada penelitian ini
bekerja yaitu sebanyak 50 responden (71,4%) sementara yang tidak bekerja
sebanyak 20 responden (28,6%). Berdasarkan lama sakit, mayoritas responden
pada penelitian ini sakit selama ≥6 bulan sebanyak 40 responden (57,1%)
sementara yang sakit selama <6 bulan sebanyak 30 responden (42,9%).
Berdasarkan tingkat pendapatan, mayoritas responden pada penelitian ini
memiliki pendapatan <UMR yaitu sebanyak 43 responden (61,4%), UMR
sebanyak 18 responden (25,7%) dan >UMR sebanyak 9 responden (12,9%).
Berdasarkan dukungan keluarga, responden pada penelitian ini didominasi
oleh responden yang mendapatkan dukungan keluarga cukup yaitu sebanyak
42 responden (60%), dukungan keluarga baik sebanyak 18 responden (25,7%)
dan dukungan keluarga kurang sebanyak 10 responden (14,3%).
Berdasarkan tingkat self efficacy pada pasien pasca stroke non
hemoragik didapatkan hasil bahwa responden yang memiliki tingkat self
efficacy rendah sebanyak 12 responden (17,1%), responden yang memiliki self
efficacy sedang yaitu 42 responden (60%), dan yang memiliki tingkat self
efficacy tinggi yaitu 16 responden (22,9%). Distribusi tingkat depresi pada
pasien pasca stroke non hemoragik didapatkan hasil bahwa responden yang
memiliki tingkat depresi normal atau tidak depresi sebanyak 36 responden
(51,4%), responden yang memiliki depresi ringan yaitu 22 responden (31,4%),
depresi sedang yaitu 6 responden (8,6%), depresi berat yaitu 4 responden
(5,7%), dan yang memiliki tingkat depresi sangat berat yaitu 2 responden
(2,9%).

4.1.3. Analisis Bivariat


Pada penelitian ini, metode uji analisis bivariate pada variabel dengan
skala ordinal yakni self efficacy, usia, pendidikan, pendapatan, dan dukungan
keluarga menggunakan uji rank spearment sedangkan variabel dengan skala

34
nominal yakni jenis kelamin, lama sakit, dan pekerjaan menggunakan uji
mann-whitney test.

Table 4.2 Analisis Bivariat

Depresi
Depresi
Depresi Depresi Depresi
Variabel Normal Sangat p-value r
Ringan Sedang Berat Berat
n % n % n % n % n %
Rendah 0 0 1 8,3 5 41,7 4 33,3 2 16,7
Self Sedang 21 50 20 47,6 1 2,4 0 0 0 0 0,000*ʼ 0,704
Efficacy Tinggi 15 93,8 1 6,3 0 0 0 0 0 0
40-45 tahun 2 66,7 0 0 0 0 0 0 1 33,3
Usia 46-65 tahun 30 62,5 15 31,3 1 2,1 1 2,1 1 2,1 0,001*ʼ -0,379
65 tahun 4 21,1 7 36,8 5 26,3 3 15,8 0 0
Jenis Pria 18 50 11 30,6 3 8,3 3 8,3 1 2,8
Wanita 18 52,9 11 32,4 3 8,8 1 2,9 1 2,9 0,690# -
Kelamin
SD 7 50 5 35,7 2 14,3 0 0 0 0
SMP 0 0 3 50 2 33,3 1 16,7 0 0
Pendidikan SMA 24 77,4 5 16,1 2 6,5 0 0 0 0 0,327* -0,119
Diploma/Sarjana 4 40 3 30 0 0 3 30 0 0
Tidak Sekolah 1 11,1 6 66,7 0 0 0 0 2 22,2
Tidak Bekerja 17 85 3 15 0 0 0 0 0 0
Pekerjaan Bekerja 19 38 19 38 6 12 4 8 2 4 0,000# ʼ -
<6 bulan 24 80 3 10 0 0 1 3,3 2 6,7
Lama Sakit ≥6 bulan 12 30 19 47,5 6 15 3 7,5 0 0 0,000# ʼ -
< UMR 14 32,6 19 44,2 5 11,6 3 7 2 4,7
Pendapatan UMR 14 77,8 2 11,1 1 5,6 1 5,6 0 0 0,000*ʼ 0,454
≥ UMR 8 88,9 1 11,1 0 0 0 0 0 0
Kurang 1 1,4 1 10 2 20 4 40 2 20
Dukungan Cukup 24 57,1 14 33,3 4 9,5 0 0 0 0 0,000*ʼ 0,408
Keluarga Baik 11 61,1 7 38,9 0 0 0 0 0 0
*Uji Rank Spearman ʼ Signifikan
#Uji Mann-Whitney test

Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh dari 70 responden mayoritas berusia 46-


65 tahun memiliki hasil tingkat depresi normal sebanyak 30 responden
(62,5%) dengan nilai p-value 0,001 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara usia dengan depresi. Nilai koefisien korelasi
didapatkan sebesar -0,379 yang menunjukkan tingkat kekuatan hubungan
(korelasi) antara variable usia dengan kejadian depresi pada pasien pasca

35
stroke non hemoragik yaitu lemah. Angka koefisien korelasi pada hasil di atas
bernilai negative, sehingga hubungan kedua variable bersifat tidak searah
yang artinya jika variable usia meningkat maka tingkat depresinya menurun.
Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 36 responden (51,4%). Hasil uji statistik yang diperoleh nilai p-
value 0,690 (p>0,05) menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan depresi.
Berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat SMA memiliki hasil tingkat
depresi normal sebanyak 24 responden (77,4%) dan nilai p-value 0,327
(p>0,05) menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
pendidikan dengan depresi. Nilai koefisien korelasi didapatkan sebesar -0,119
yang menunjukkan tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variable
pendidikan dengan kejadian depresi pada pasien pasca stroke non hemoragik
yaitu sangat lemah. Angka koefisien korelasi pada hasil di atas bernilai
negative, sehingga hubungan kedua variable bersifat tidak searah yang artinya
jika variable pendidikat meningkat maka tingkat depresinya menurun.
Berdasarkan pekerjaan, mayoritas responden yang bekerja memiliki hasil
tingkat depresi normal sebanyak 19 responden (38%) dan nilai p-value 0,000
(p<0,05) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pekerjaan
dengan depresi.
Berdasarkan lama sakit, responden yang mengalami lama sakit ≥6 bulan
memiliki tingkat depresi ringan sebanyak 19 responden (47,5%) dan nilai p-
value 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
lama sakit dengan depresi.
Berdasarkan tingkat pendapatan, mayoritas memiliki tingkat pendapatan
<UMR mengalami depresi ringan sebanyak 19 responden (44,2%). Hasil uji
statistik yang diperoleh menggunakan uji rank spearman didapatkan nilai p-
value 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
lama sakit dengan depresi. Nilai koefisien korelasi didapatkan sebesar 0,454

36
yang menunjukkan tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variable
pendapatan dengan kejadian depresi pada pasien pasca stroke non hemoragik
yaitu lemah. Angka koefisien korelasi pada hasil di atas bernilai positif,
sehingga hubungan kedua variable bersifat searah yang artinya jika variable
pendapatan meningkat maka tingkat depresinya juga akan meningkat.
Berdasarkan tingkat dukungan keluarga, dari 70 responden mayoritas
memiliki dukungan keluarga cukup tidak mengalami depresi sebanyak 24
responden (57,1%) dan nilai p-value 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan depresi. Nilai
koefisien korelasi didapatkan sebesar 0,408 yang menunjukkan tingkat
kekuatan hubungan (korelasi) antara variable dukungan keluarga dengan
kejadian depresi pada pasien pasca stroke non hemoragik yaitu lemah. Angka
koefisien korelasi pada hasil di atas bernilai positif, sehingga hubungan kedua
variable bersifat searah yang artinya jika variable dukungan keluarga
meningkat maka tingkat depresinya juga akan meningkat.
Berdasarkan tingkat self efficacy, mayoritas memiliki self efficacy sedang
tidak mengalami depresi sebanyak 21 responden (50%). Hasil uji statistik
yang diperoleh menggunakan uji rank spearman didapatkan nilai p-value
0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self
efficacy dengan depresi. Nilai koefisien korelasi didapatkan sebesar 0,704
yang menunjukkan tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara variable self
efficacy dengan kejadian depresi pada pasien pasca stroke non hemoragik
yaitu kuat. Angka koefisien korelasi pada hasil di atas bernilai positif,
sehingga hubungan kedua variable bersifat searah yang artinya jika variable
self efficacy meningkat maka tingkat depresinya juga akan meningkat.

37
4.1.4. Analisis Multivariat

Analisis multivariat pada penelitian ini menggunakan analisis metode


regresi logistic ordinal, yang bbertujuan untuk melihat variabel indang paling
berpengaruh dalam variabel dependen.

Table 4.3 Analisis Multivariat

95% Confidence
Sig.
Variabel Estimates Std. error Wald Interval
(p-value)
Lower Upper

Self Efficacy 4.416 1.275 11.999 .001 1.917 6.914

Usia .943 .667 1.998 .158 -.365 2.251

Pendapatan 1.752 .591 8.776 .003 .593 2.911

Dukungan Keluarga .653 .864 .570 .450 -1.041 2.347

Pekerjaan -1.998 .929 4.620 .032 -3.819 -.176

Lama Sakit -1.902 .816 5.440 .020 -3.501 -.304

Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui bahwa variabel yang paling


berhubungan dengan depresi yaitu self efficacy ( p-value 0,001), pendapatan ( p-value
0,003), pekerjaan ( p-value 0,032), dan lama sakit ( p-value 0,020).

4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa dari 70 responden terdapat
sebagian besar responden yang menderita stroke non hemoragik yaitu berusia
antara 45-65 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa kelompok usia 55-64 tahun dengan jumlah responden
sebanyak 1623 orang mengalami insiden stroke paling tinggi (34,6%). 32 Hasil uji
statistic diperoleh nilai p-value 0,001 (p>0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara usia dengan kejadian depresi pasca stroke non

38
hemoragik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa usia memiliki pengaruh yang penting terhadap terjadinya depresi, dimana
dari 28 responden lansia sebanyak 23 orang mengalami depresi. Bertambahnya
umur diasumsikan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
stress lingkungan, perubahan fungsi fisik, kognitif sampai perubahan psikososial
yang akan mempermudah terjadinya depresi pada lansia.30 Faktor usia merupakan
faktor risiko yang tidak dapat diubah.33 Semakin meningkatnya usia maka risiko
terkena depresi pasca stroke juga semakin meningkat.34 Karena ketidakmampuan
fisik menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki oleh penderita sebelum
stroke dan dapat menyebabkan gangguan persepsi akan arti diri yang
bersangkutan dan akan mengurangi kualitas hidupnya, hal inilah yang membuat
lansia merasa tidak berguna dan menjadi beban keluarga dan pada akhirnya dapat
menyebabkan depresi.35
Berdasarkan jenis kelamin, Sebagian responden berjenis kelamin laki-laki.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pasien
stroke laki-laki sebanyak 50 responden (57%) dan perempuan sebanyak 33
responden (37%).36 Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor pemicu lainnya
yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan,
misalnya merokok, mengkonsumsi alkohol, dan sebagainya. Kebiasaan merokok
beresiko terkena stroke disebabkan karena efek zat kimia yang terdapat pada
rokok (tar, CO, nikotin, polonium, dll) dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi fibrinogen, hematokrit, dan agregrasi platelet, menurunkan aktifitas
fibrinolitik, dan aliran darah serebral. Kondisi tersebut menyebabkan
vasokontriksi, sehingga mempercepat terjadinya plak ateroklerosis. 37 Hasil uji
statistic diperoleh p-value 0,606 (p<0,05), maka dapat disimpulkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan depresi pasca stroke. Hal
ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa jenis kelamin tidak berhubungan
dengan depresi yang dialami oleh pasien pasca stroke iskemik (p-value 0,144).38

39
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p-value 0.327 (p>0,05), maka dapat
disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
pasien pasca stroke dengan depresi. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
pendidikan dengan terjadinya depresi pasca stroke. 29 Terdapat sejumlah alasan
mengapa pendidikan dapat memengaruhi kesehatan. Pendidikan secara langsung
memengaruhi kesehatan dengan membuat individu lebih mampu memproses
informasi dan kesadaran terhadap kesehatan atau dengan memingkatkan efisiensi
terapi. Sebagai contoh, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin cepat
dalam mencari pertolongan dan lebih taat dalam melaksanakan terapi. Pengaruh
pendidikan terhadap depresi dapat bersifat tidak langsung, yaitu melalui faktor
ekonomi (pendapatan, pekerjaan, kondisi tempat kerja), hubungan keluarga dan
faktor psikososial.39 Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian lain yang
menyebutkan bahwa adanya hubungan pendidikan dengan depresi. Dari hasil
analisis, terdapat 2 pasien yang tidak sekolah dan mengalami depresi berat, lalu
ada 3 pasien yang mengalami depresi berat dari kelombok diploma/sarjana. salah
satu contoh pendidikan memengaruhi kejadian depresi adalah dengan coping
mechanism, yaitu tingkah laku penanggulangan segala perbuatan ketika
berinteraktsi dengan lingkungan sekitar untuk menyelesaikan masalah. 40
Seseorang dengan pendidikan tinggi akan menemukan cara untuk mengurangi
stressnya dengan cara mencari dukungan sosial dengan bercerita kepada orang
lain, berdoa dan menyelesaikan masalah sebagai bentuk menyesuaikan diri
setelah menderita stroke. Sementara itu seseorang dengan pendidikan rendah
ketika menghadapi masalah dengan mengisolasi diri, menampilkan reaksi apatis,
marah sedih berkepanjangan karena tidak dapat menyesuaikan dirinya setelah
menderita stroke.40 Penelitian ini pasien dengan riwayat pendidikan tingkat
diploma/sarjana mengalami depresi ringan dan juga berat, hal ini mungkin
disebabkan oleh usia,pekerjaan atau lama sakit pasien.29

40
Berdasarkan lama sakit, didapatkan bahwa lebih dari separuh pasien pasca
stroke non hemorragik mengalami lama sakit ≥6 bulan. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa dari 52 responden, 35
responden mengalami lama sakit ≥6 bulan. Hasil uji statistik Rank Spearman
diperoleh nilai p-value 0,030 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara lama sakit dengan depresi pasca stroke non
hemorragik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lama menderita stroke dengan
depresi. Lama menderita stroke akan membuat pasien semakin merasa tidak
berguna dan putus asa dengan apa yang dialaminya, stressor seperti ini sangat
memicu pasien untuk jatuh ke dalam keadaan depresi. 30 Hal ini diperkuat dengan
teori yang mengatakan bahwa penderita stroke ketika serangan akut tidak
menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan 6
bulan setelahnya ditemukan sekitar 30% nya menunjukkan gejala depresi. Karena
keterbatasan fisik pasien pasca stroke inilah yang menjadikan pasien tidak dapat
beraktivitas dan komunikasi seperti sediakala. Setiap pasien akan menanggapi
dengan mekanisme pertahanan yang berbeda, semakin buruk mekanisme dalam
menghadapi stroke maka akan semakin mengalami gangguan emosional. Oleh
karenanya, pasien yang menderita stroke lebih lama akan membuat dirinya
merasa tidak berguna dan cepat merasa putus asa. 37 Sebagian besar penderita
stroke mengalami pemulihan pada 2-3 tahun pertama pasca stroke khusunya pada
6 bulan setelah stroke. Pada masa itu pasien dapat dilatih untuk melakukan
aktivitas hidup secara mandiri sebagai upaya bentuk rehabilitasi mandiri yang
dapat dilakukan supaya mereka terbiasa untuk melakukan aktivitas sehari-harinya
tanpa selalu bergantung pada orang lain. Semakin cepat maka akan kesempatan
untuk mandiri semakin baik dan lama-lama mereka akan berbiasa seiring dengan
berjalannya waktu dan latihan yang rutin.41
Berdasarkan status pekerjaan, sebagian besar responden bekerja. Hasil uji
statistik t-test diperoleh nilai p-value 0,001 (p<0,05), maka dapat disimpulkan

41
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan depresi pasca
stroke non hemorragik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menyebutkan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan depresi, dimana
responden yang masih bekerja memiliki resiko terhadap depresi karena waktu
mereka lebih banyak dihabiskan untuk bekerja di luar rumah. 29 Pekerjaan
merupakan sesuatu yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan tertentu.
Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan paparan serta risiko menurut
sifat pekerjaan, lingkungan dan sosial ekonomi karyawan. 36 Selain itu, pasien
pasca stroke juga tidak mampu melakukan pekerjaan seperti sediakala, orang-
orang yang menduduki jabatan yang tinggi terpaksa harus turun jabatan karena
dampak yang ditimbulkan pasca stroke. Sehingga hal ini dapat menyebabkan
bertambahnya beban pikiran dan berisiko terjadinya depresi.37
Berdasarkan tingkat pendapatan, mayoritas responden memiliki pendapatan
<UMR. Hasil uji statistik t-test diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan
depresi pasca stroke non hemorragik. Penelitian ini sejalan dengan peneliti
sebelumnya yang menyebutkan bahwa adanya hubungan antara tingkat
pendapatan dengan depresi, dimana angka kematian pada penderita stroke sangat
erat hubungannya dengan pekerjaan dan pendapatan kepala keluarga, dan telah
diketahui bahwa angka kematian stroke lebih banyak terjadi pada status ekonomi
rendah.36
Berdasarkan dukungan keluarga, sebagian besar responden memiliki
dukungan keluarga yang cukup. Hasil uji statistik Rank Spearman diperoleh nilai
p-value 0,000 (p<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga dengan depresi pasca stroke non hemorragik.
Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa terjadi
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kejadian depresi
pada penderita pasca stroke hemoragik. Pada penelitian tersebut menjelaskan
bahwa dukungan keluarga sangat penting bagi lansia pasca stroke, dimana

42
penderita yang baru saja mengalami stroke perlu dukungan keluarga, baik berupa
materi, pengobatan, bantuan aktivitas, dan moril dengan harapan, klien tersebut
dapat melalui fase adaptif dengan baik sehingga resiko depresi dapat
diminimalisir.31 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat depresi pasien
pascastroke diantaranya seperti kemampuan motoric, fungsi kognitif dan
dukungan keluarga. Dukungan keluarga menjadi sangat penting bagi pasien pasca
stroke, dimana keluarga menjadi fasilitator dan pemenuh kebutuhan pasien yang
dalam proses menjalani adaptasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.31
Stroke non hemoragik terjadi karena penumpukan kolestrol pada dinding
pembuluh darah sehingga menyumbat aliran pembuluh darah ke otak. Kejadian
stroke non hemoragik merupakan faktor risiko dari diabetes melitus, jantung,
tekanan darah tinggi. Sama halnya dengan stroke hemoragik terjadi karena
pecahnya pembuluh darah dalam otak sehingga dapat menekan sel-sel otak dan
merusaknya, hipertensi merupakan faktor utama dalam terjadinya stroke
hemoragik.42 Berdasarkan penyakit penyerta (komorbid) dalam hasil penelitian
didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki penyakit penyerta berupa
hipertensi sebanyak 37 responden (52,9%), responden dengan penyakit penyerta
hipertensi dan DM sebanyak 18 responden (25,7%), tidak memiliki komorbid
sebanyak 11 responden (15,7%), DM sebanyak 3 responden (4,3%), dan
dislipidemia sebanyak 1 responden (1,4%). Hal yang sama juga didapati pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar, bahwa
mayoritas penderita stroke mengalami penyakit hipertensi sebelumnya yaitu
sebesar 35 orang (61.4%), terdapat 4 orang (7.1%) yang memiliki riwayat
penyakit diabetes mellitus, dan terdapat 6 orang (10.5%) yang memiliki riwayat
penyakit jantung sebelumnya.43 Semakin tinggi tekanan darah, semakin berisiko
terkena stroke dan seseorang yang memiliki hipertensi berisiko 3-4 kali
mengalami stroke dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki hipertensi.42
Berdasarkan self efficacy menurut hasil penelitian ini sebagian besar
responden memiliki self efficacy sedang sebanyak 42 responden. Hasil penelitian

43
ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS Dr. Reksodiwiryo
Padang, diperoleh dari 84,7% dari responden memiliki self efficacy sedang,
dimana dalam penelitian ini disebutkan bahwa pada umumnya responden merasa
sedikit yakin akan bisa beristirahat dengan tenang, berjalan dengan aman di luar
bahkan di dalam rumah, menyiapkan makanan sendiri, kurang yakin dengan
melakukan aktivitas yang disenanginya, kurang yakin dengan kemajuan
kesehatannya dengan terapi yang diikutinya, bahkan ada yang tidak yakin sama
sekali seperti mempertahankan kecepatan seperti sebelum stroke.7
Tanda seseorang memiliki efikasi diri yang rendah yaitu menjauhi kegiatan
yang sulit, memiliki keinginan yang rendah, fokus pada kegagalan, mengurangi
usaha, dan berfokus pada perasaan seperti stress dan depresi. Kejadian depresi
pada pasien pasca stroke disebabkan oleh efikasi diri yang rendah. 7 Peters et al
menyatakan bahwa depresi dapat mempengaruhi persepsi pasien tentang
kemampuan fisik dan mental mereka, yang mengakibatkan efikasi diri rendah.
Pasien dengan rasa takut yang lebih tinggi memiliki tingkat efikasi diri yang lebih
rendah.44
Berdasarkan tingkat depresi yang diukur menggunakan kuesioner Hamilton
Depression Rating Scale (HDRS) sebagian besar responden yaitu sebanyak 36
responden (51,4%) normal, 22 responden (31,4%) mengalami depresi ringan, 6
responden (8,6%) mengalami depresi sedang, 4 responden (5,7%) mengalami
depresi berat, dan 2 responden (2,9%) mengalami depresi sangat berat. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Puskesmas
Remaja Samarinda, diperoleh bahwa dari 33 responden pasien pasca stroke yang
normal atau tidak mengalami depresi sebanyak 26 orang (78,8%) dan 7 orang
(21,2%) mengalami depresi ringan. Depresi pasca stroke merupakan faktor utama
yang dapat menghambat penyembuhan fungsi neurologi dan aktivitas harian pada
pasien stroke dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Depresi sendiri
merupakan gangguan mental yang di tandai dengan munculnya gejala penurunan
mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau

44
nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi. Depresi apabila tidak
ditangani dapat menimbulkan hormon kortisol yang mempengaruhi penurunan
sistem imun sehingga ketahanan tubuh penderita juga semakin menurun yang
menyebabkan penderita juga lebih mudah terkena infeksi, kadar glukosa dan
tekanan darah juga meningkat yang menyebabkan berulangnya serangan stroke.45
Berdasarkan hasil uji statistik, sebanyak 21 responden (58,3%) memiliki self
efficacy sedang dengan hasil tidak mengalami depresi.dan hasil analisis rank
spearman didapatkan nilai p-value 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan kejadian depresi pada pasien
pasca stroke non hemoragik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dengan
nilai p-value 0,000 (p<0,05) didapatkan hasil bahwa responden yang memiliki
tingkat efikasi diri sedang terbanyak mengalami depresi dengan tingkat sedang
yaitu sebanyak 37 orang (60,7%), dan responden yang memiliki tingkat efikasi
diri rendah terbanyak mengalami depresi tingkat cukup parah yaitu sebanyak 8
orang (72,7%). Dari hasil penelitian ini, berarti tingkat efikasi diri dan depresi
pada pasien pasca stroke berbanding lurus, semakin rendah efikasi diri, maka
semakin tinggi tingkatan depresi pasca stroke. 7 Dalam teori Health Belief Model
(HBM) juga dijelaskan bahwa individu akan melakukan tindakan pencegahan
tergantung dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health beliefs) yaitu: ancaman
yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) dan
pertimbangan tentang keuntungan dan rintangan (benefits and barriers).46

4.3. Keterbatasan Penelitian


Dalam penggunaan desain penelitian berfokus dengan desain penelitian cross
sectional yang mempelajari prevalensi, distribusi, maupun penyakit atau outcome
lain secara serentak dalam satu waktu sekaligus sehingga kurang mendalam
dalam mengidentifikasi faktor risiko (penyebab) yang digali dari dampak kejadian
depresi pada pasien stroke non hemorraghic.

45
Peneliti tidak melihat beberapa faktor perancu seperti pola hidup sedentary
(sedentary lifestyle), obesitas, Riwayat serangan transient ischemic attack atau
stroke sebelumnya, dan faktor risiko lainnya. Serta dalam penggunaan kuesioner
yang bergantung kepada pemahaman responden sehingga pemaknaan dari item
kuesioner memiliki kecenderungan terjadinya bias.

46
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan self efficacy dengan


kejadian depresi pada pasien pasca stroke non hemoragik di RSUD KRMT
Wongsonegoro Semarang. Berdasarkan hasil analisis dan pengujian statistik
dapat disimpulkan bahwa:
1. Mayoritas pasien pasca stroke non hemoragik memiliki tingkat self
efficacy sedang.
2. Mayoritas pasien pasca stroke non hemoragik memiliki tingkat
depresi normal/tidak mengalami depresi.
3. Terdapat hubungan self efficacy dengan kejadian depresi pada pasien
pasca stroke non hemoragik di RSUD KRMT Wongsonegoro Kota
Semarang.
4. Terdapat hubungan yang paling berpengaruh dengan depresi yaitu
self efficacy, pendapatan, pekerjaan, dan lama sakit.

5.2 Saran

1. Bagi Keluarga Pasien


Keluarga pasien disarankan agar dapat memberikan dukungan kepada
pasien dalam menjalani proses pengobatan serta memberikan keyakinan
sugesti positif untuk kesembuhan agar terhindar dari stroke berulang serta
memiliki keyakinan yang tinggi untuk kesembuhan dan menjalankan aktivitas
lebih baik.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya

47
a. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian
dengan lingkup populasi yang lebih luas dengan pengambilan data dari
fasilitas kesehatan yang berbeda sehingga dapat menggambarkan
populasi yang lebih banyak.
b. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian
dengan desain penelitian case control yang bergerak dari akibat
(penyakit) ke sebab (paparan) agar dapat mengetahui lebih jauh terkait
faktor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit.
c. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menetapkan waktu
pengambilan data dan mempertimbangkan kenyamanan pasien dalam
proses wawancara.

48

Anda mungkin juga menyukai