Anda di halaman 1dari 3

SUDUT PANDANG KOTA BALIKPAPAN

(STUDI KASUS : JALAN LETJEND SOEPRAPTO)

Pertumbuhan kegiatan ekonomi yang ada di Kota Balikpapan sejak zaman


Belanda dan dengan semakin luasnya jaringan jalan perkotaan yang
berkembang, warga Kota Balikpapan telah menetap di daerah Balikpapan Barat
dan telah mengembangkan pusat perdagangan dan jasa yang saat ini tumbuh pesat
hingga khususnya pada Jalan Letjen Suprapto. Koridor Jalan Letjen Suprapto
menjadi salah satu koridor perdagangan dan jasa tertua yang ada di Kota
Balikpapan sejak zaman Kolonial Belanda. Koridor Jalan Letjen Suprapto adalah
bagian dari kawasan perdagangan dan jasa di Kecamatan Balikpapan Barat yang
mencakup tingkat lingkungan dan tingkat kota sesuai dengan dokumen Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 serta dalam S
Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Balikpapan Tahun
2021-2041, kawasan ini juga disebutkan sebagai Zona Perdagangan dan
Jasa, Sub Zona Perdagangan dan Jasa Skala Kota, Sub Zona Perdagangan dan
Jasa Skala BWP, serta Zona Transportasi.
Aaktivitas sosial dan ekonomi yang ada pada koridor Letjend
Suprapto, sebagai kawasan perdagangan dan jasa tingkat lingkungan dan
tingkat kota, ditandai dengan terdapatnya pasar dan pertokoan, Hal ini juga
meningkatkan mobilitas masyarakat. Namun, sejalan dengan peningkatan
mobilitas tersebut terdapat sarana prasarana pendukung kurang memadai. Salah
satunya adalah fasilitas jalur pejalan kaki yang belum memadai untuk mendukung
aktivitas dan pergerakan berbagai kelompok, mulai dari anak-anak sekolah dari
usia (6-13 tahun), pedagang, konsumen, pekerja dari usia produktif (18-65
tahun) dan lansia (>65 tahun). Oleh karena itu untuk mendukung mobilitas ini
diperlukan peningkatan sarana prasana jalur pejalan kaki untuk memberikan
kenyamanan dan keamanan akses di koridor jalan Lejtend Suprapto.
Nyatanya, pemanfaatan jalur pedestrian atau pejalan kaki tidak optimal
seiring dengan perkembangan kawasan tersebut. Terdapat faktor yang
menghambat fungsi koridor pejalan kaki. Seperti, jalur pejalan kaki sering
terputus hanya di beberapa titik lokasi, mengakibatkan sebagian besar area tidak
memiliki fasilitas pejalan kaki yang memadai. Kemudian, trotoar yang
seharusnya digunakan untuk pejalan kaki malah sering dijadikan lahan parkir
kendaraan bermotor secara sembarangan. Selain itu, keberadaan pedagang kaki
lima yang berjualan di atas jalur pejalan kaki juga menjadi salah satu
hambatan. Ketidakdisiplinan sebagian besar pemilik toko yang menggunakan
jalur pejalan kaki untuk kepentingan pribadi juga ikut mempersulit situasi.
Kerusakan pada jalur pejalan kaki turut menjadi masalah serius. Terakhir,
tidak adanya Guiding block untuk masyarakat dengan kebutuhan khusus
semakin memperburuk keadaan dan menciptakan ketidakteraturan yang
mencolok dalam pemanfaatan jalur pejalan kaki ini. Sebagaimana yang
ditetapkan dalam Perencanaan Teknis Pejalan Kaki Kementerian PUPR
Tahun 2018. Hal ini menyempitkan jalur pejalan kaki dan jalur transportasi,
menciptakan lebih banyak masalah bagi pengguna jalur pejalan kaki.
Keberadaan pedagang kaki lima dan pemilik toko yang menyalahgunakan
jalur pejalan kaki menghambat pergerakan orang terutama disabilitas atau
kebutuhan khusus. Kerusakan jalur pejalan kaki juga menjadi risiko tambahan
bagi pengguna jalan inklusif, seperti orang dengan gangguan penglihatan yang
mengandalkan jalur dan tekstur permukaan jalan untuk navigasi. Tanpa Guiding
block atau fasilitas khusus untuk masyarakat dengan kebutuhan khusus,
pengalaman berjalan bagi pengguna jalan dapat menjadi sulit dan bahkan
berbahaya. Secara keseluruhan, permasalahan di jalur pejalan kaki tersebut tidak
hanya mempengaruhi kenyamanan, tetapi juga desain jalur pejalan kaki yang tidak
standar memberikan dampak langsung terhadap mobilitas dan keamanan
pengguna jalan yang inklusif sehingga merubah perilaku pengguna jalan berjalan
tidak pada jalurnya.
Oleh karena itu diperlukan perencanaan yang komprehensif yang
memprioritaskan jalur pejalan kaki yang aksesibel bagi pengguna jalan dan
regulasi yang ketat untuk mengendalikan penggunaan ilegal. Salah satu konsep
yang dapat menyelesaikan permasalahan terbebut dengan pendekatan inklusif.
Pendekatan ini adalah pendekatan desain yang memperhatikan kebutuhan
beragam pejalan kaki, termasuk yang memiliki keterbatasan fisik. Keragaman
karakteristik pejalan kaki, seperti usia, jenis kelamin, dan kondisi fisik,
mengharuskan jalur pejalan kaki dirancang untuk melayani berbagai pengguna.
Tujuannya agar setiap orang memiliki akses yang sama dan adil ke trotoar, yang
diukur dengan aksesibilitas, keamanan, dan daya tarik jalur tersebut.
Pendekatan inklusif ini perlu terintegrasi dengan pendekatan berkelanjutan
sebagaimana untuk perencanaan yang berkelanjutan dengan menekankan
penggunaan sumber daya yang efisien dan mengurangi dampak lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai