PEMBELAJARAN
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk memanusiakan manusia. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka seluruh rangkaian proses pendidikan perlu didukung oleh
pembelajaran, dan lain sebagainya. Faktor lainnya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan
adalah penggunaan bahasa secara baik dan benar baik oleh pendidik maupun peserta didik dalam
proses pembelajaran. Dalam hal ini, aspek bahasa memainkan peran sentral dalam proses
yang berkualitas, menegaskan kembali peranan bahasa nasional dalam proses pembelajaran
sebagaimana tertuang dalam UUD Pasal 32 dan 36 serta pasal 3 garis besar negara. Secara lebih
mendetail dikatakan bahwa” Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di semua sekolah di
seluruh Indonesia, dan dipakai sebagai bahasa pengantar mulai dari sekolah-sekolah rakyat
secukupnya saja sejauh tidak merugikan kedudukan bahasa nasional, Bahasa Indonesia (2009,
hlm. 25). Artinya dalam konteks pembelajaran di Indonesia, maka Bahasa Indonesia hendaknya
menjadi prioritas utama. Untuk itu, baik peserta didik maupun pendidik hendaknya sudah
memiliki modal dasar yang cukup sebelum memulai proses pembelajaran, yakni mahir berbahasa
Indonesia secara sederhana, baik dan benar. Sebab, dengan mahir berbahasa Indonesia akan
memampukan peserta didik untuk memahami materi pembelajaran secara baik dan benar. Lagi
Pada umumnya, setiap pendidik mengharapkan agar peserta didiknya mampu memahami
materi pembelajaran secara baik dan benar. Pemahaman peserta didik terhadap materi biasanya
dibuktikan dengan partisipasi aktif mereka selama proses pembelajaran berlangsung, komunikasi
formal yang terjadi antarsiswa, Bahasa pertanggungjawaban peserta didik terhadap tugas yang
diberikan, yang semuanya bermuara pada perolehan nilai yang memuaskan atau sekurang-
kurangnya sesuai kriteria ketuntasan minimal, tanpa dikatrol. Hal-hal tersebut kemudian dapat
menjadi asumsi pendukung bagi pendidik untuk secara lantang berkata “tujuan pembelajaran
Menegaskan suatu ungkapan yang sangat familiar, “ekspektasi tak sesuai kenyataan”,
demikianlah yang dijumpai oleh kebanyakan pendidik manakala berjuang di medan pendidikan
praktis. Sebagian besar pendidik dipaksa untuk menggagas kembali asanya manakala berhadapan
dengan kenyataan yang terjadi. “Mengecewakan” mungkin konsep tepat lainnya untuk
menghubungkan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang penulis sendiri alami
selama mengabdi sebagai pendidik. Apalagi pendidik di beberapa tingkat pendidikan yang
berbeda namun harus berhadapan dengan persoalan yang sama, yakni kurangnya pemahaman
Inilah persoalan mendasar yang kemudian melahirkan aneka pertanyaan yang mendesak
untuk segera dicari akar masalah dan solusinya demi menghantar peserta didik mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Adapun deretan pertanyaan yang
dimaksud antara lain: “mengapa para peserta didik sulit merumuskan suatu pertanyaan sederhana
untuk didiskusikan?”, “Mengapa pula jawaban-jawaban yang diberikan sering kali tidak sesuai
bahkan tidak menyentuh inti pertanyaan?”, “Mengapa sebagian peserta didik hanya
mengumpulkan kertas kosong pada saat terjadi post test?”, “mengapa sebagian peserta didik
tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana sebagai bentuk review terhadap pemahaman yang
sudah diperoleh sebelumnya?”, “Mengapa peserta didik sulit untuk melakukan komunikasi
jawabannya manakala berbagai upaya pemecahan masalah harus dilakukan. Perlu diketahui
bahwa langkah-langkah pemecahan masalah telah dilakukan secara individu selama tiga tahun
terakhir, khususnya selama mengabdi sebagai guru pengampuh mata pelajaran Seni Budaya dan
mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di SMPK St. Isidorus Besikama.
Melalui beberapa metode pendekatan yang digunakan, misalnya melakukan test lisan, test
tertulis, pertanggungjawaban hasil diskusi kelompok, pemeriksaan buku catatan peserta didik
dan pengenalan kata melalui tindakan membaca teks pada siswa kelas VIIA, VII B dan VII E
ditemukan bahwa ketidakmampun peserta didik untuk memahami materi pembelajaran lebih
didasarkan pada ketidakmahiran peserta didik dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Ketidakmahiran berbahasa justru menjadi faktor pemicu yang menyebabkan peserta didik
sulit beradaptasi dengan materi pembelajaran yang tersaji dengan menggunakan Bahasa
Indonesia, sehingga peserta didik menjadi takut dalam berkomunikasi secara formal, sulitnya
peserta didik untuk mempertanggungjawabkan tugas kelompoknya secara lisan di depan teman-
teman, serta sulitnya mencatat materi pembelajaran yang diberikan. Situasi demikian seakan
menjadi suatu situasi yang tidak gampang untuk dibenahi, sebab berdasarkan pengamatan
ternyata sebagian besar peserta didik masih berkutat dengan penggunaan Bahasa daerah sebagai
Bahasa komunikasi yang intens, pola pendidikan dalam keluarga yang lebih didominasi oleh
penggunaan Bahasa daerah. Ironisnya, pola pendidikan ini justru terjadi sejak anak sedang dalam
tahap perkembangan bahasanya yang sesuai dengan aturan tata bahasa yang baku. Padahal,
dalam psikologi pendidikan, yang membahas perkembangan bahasa anak dikatakan bahwa pada
usia empat tahun para peserta didik sudah memiliki ribuan kosa kata dan mereka dapat membuat
kalimat yang sesuai dengan tata Bahasa. Menegaskan hal ini, hasil penelitian psikolinguistik,
yang mempelajari proses anak-anak menciptakan tata bahasa sendiri dan kemudian
mengubahnya menuruti aturan tata bahasa baku. Lalu, mengapa para peserta didik di SMPK St.
Isidorus Besikama, yang sudah berusia lebih dari empat tahun masih sulit memahami materi
pembelajaran? Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa faktor utamanya adalah pada usia
perkembangannya, peserta didik lebih banyak diberondong dengan bahasa daerah daripada
bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Inilah persoalan yang hendaknya diselesaikan terlebih
dahulu sebelum masuk pada perubahan metode dan sistem pendidikan yang berkualitas.
kemahiran berbahasa Indonesia, baiklah kita melihat terlebih dahulu konsep mengenai bahasa itu
sendiri.
Tentang konsep Bahasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005, hal. 75, menulis
bahwa Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter (manasuka), yang dipergunakan
oleh para anggota suatu masyarakat untuk berinteraksi, mengidentifikasikan diri dan sebagainya
dalam seluruh aspek hidupnya bersama dengan orang lain. Secara lebih mendetail, Prof. Dr.
Gorys Keraf, dalam bukunya Komposisi (2004; hlm. 2-4), mendefinisikan bahasa sebagai suatu
sistem komunikasi yang mempergunakan symbol-simbol vocal (bunyi ujaran) yang bersifat
arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Dalam hal ini, Bahasa
berfungsi sebagai alat komunikasi, alat untuk mengekspresikan diri, alat untuk berintegrasi dan
adaptasi sosial, serta alat untuk mengadakan kontrol sosial. Perlu diketahui bahwa bahasa
Sedangkan kemahiran berbahasa itu sendiri berarti pemakaian bahasa secara baik untuk
kepentingan setiap individu dalam masyarakat dan untuk kebaikan umat manusia itu sendiri.
Inilah tujuan utama yang harus dicapai dalam kemahiran berbahasa sehingga dapat menghasilkan
kesanggupan untuk mengenal orang lain, kesanggupan mengamati dunia sekitar kita dengan
lebih cermat, serta kesanggupan mengembangkan suatu proses berpikir yang jelas dan teratur.
Semua kesanggupan ini terkristalisasi dalam kalimat “kemahiran berbahasa Indonesia secara
baik dan benar dapat menyanggupkan peserta didik untuk mampu berbicara dan menulis serta
terdorong untuk terlibat secara aktif dalam segala bentuk proses sosialisasi yang dihadapinya”.
Dengan demikian, dapat dikatakan dengan kemahiran berbahasa Indonesia secara baik dan benar
Proses untuk menjadi pribadi yang mahir berbahasa Indonesia secara baik dan benar
didik membacakan teks pembelajaran yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan oleh
pendidik atau peserta didik lainnya, penyediaan panggung bagi siswa guna mengasah
secara menarik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana. Bila program ini
dilaksanakan secara continue, maka bukan tidak mungkin pelan tapi pasti harapan pendidik