Anda di halaman 1dari 6

KEMAHIRAN BERBAHASA INDONESIA: KUNCI SUKSES MEMAHAMI MATERI

PEMBELAJARAN

Petrus Foni, S.Fil

SMPK St. Isidorus Besikama

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk memanusiakan manusia. Untuk

mencapai tujuan tersebut, maka seluruh rangkaian proses pendidikan perlu didukung oleh

beberapa faktor, diantaranya: sarana prasarana pendidikan, metode pembelajaran, media

pembelajaran, dan lain sebagainya. Faktor lainnya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan

adalah penggunaan bahasa secara baik dan benar baik oleh pendidik maupun peserta didik dalam

proses pembelajaran. Dalam hal ini, aspek bahasa memainkan peran sentral dalam proses

pembelajaran, khususnya terhadap peningkatan pemahaman peserta didik terkait materi

pembelajaran yang digodok bersama.

Dalam konteks penggunaan bahasa pembelajaran di Indonesia, Bapak Pendidikan

Indonesia, Ki Hajar Dewantara, semasa perjuangannya untuk membangun pendidikan Indonesia

yang berkualitas, menegaskan kembali peranan bahasa nasional dalam proses pembelajaran

sebagaimana tertuang dalam UUD Pasal 32 dan 36 serta pasal 3 garis besar negara. Secara lebih

mendetail dikatakan bahwa” Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di semua sekolah di

seluruh Indonesia, dan dipakai sebagai bahasa pengantar mulai dari sekolah-sekolah rakyat

sampai dengan sekolah-sekolah tinggi”. Sedangkan penggunaan bahasa daerah hanya

secukupnya saja sejauh tidak merugikan kedudukan bahasa nasional, Bahasa Indonesia (2009,

hlm. 25). Artinya dalam konteks pembelajaran di Indonesia, maka Bahasa Indonesia hendaknya
menjadi prioritas utama. Untuk itu, baik peserta didik maupun pendidik hendaknya sudah

memiliki modal dasar yang cukup sebelum memulai proses pembelajaran, yakni mahir berbahasa

Indonesia secara sederhana, baik dan benar. Sebab, dengan mahir berbahasa Indonesia akan

memampukan peserta didik untuk memahami materi pembelajaran secara baik dan benar. Lagi

pula semua teks pembelajaran tersaji dalam bahasa Indonesia.

Pada umumnya, setiap pendidik mengharapkan agar peserta didiknya mampu memahami

materi pembelajaran secara baik dan benar. Pemahaman peserta didik terhadap materi biasanya

dibuktikan dengan partisipasi aktif mereka selama proses pembelajaran berlangsung, komunikasi

formal yang terjadi antarsiswa, Bahasa pertanggungjawaban peserta didik terhadap tugas yang

diberikan, yang semuanya bermuara pada perolehan nilai yang memuaskan atau sekurang-

kurangnya sesuai kriteria ketuntasan minimal, tanpa dikatrol. Hal-hal tersebut kemudian dapat

menjadi asumsi pendukung bagi pendidik untuk secara lantang berkata “tujuan pembelajaran

sebagaimana tercantum dalam rencana pembelajaran yang sistematis sudah tercapai”.

Menegaskan suatu ungkapan yang sangat familiar, “ekspektasi tak sesuai kenyataan”,

demikianlah yang dijumpai oleh kebanyakan pendidik manakala berjuang di medan pendidikan

praktis. Sebagian besar pendidik dipaksa untuk menggagas kembali asanya manakala berhadapan

dengan kenyataan yang terjadi. “Mengecewakan” mungkin konsep tepat lainnya untuk

menghubungkan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang penulis sendiri alami

selama mengabdi sebagai pendidik. Apalagi pendidik di beberapa tingkat pendidikan yang

berbeda namun harus berhadapan dengan persoalan yang sama, yakni kurangnya pemahaman

peserta didik terhadap materi pembelajaran yang sudah digodok bersama-sama.

Inilah persoalan mendasar yang kemudian melahirkan aneka pertanyaan yang mendesak

untuk segera dicari akar masalah dan solusinya demi menghantar peserta didik mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Adapun deretan pertanyaan yang

dimaksud antara lain: “mengapa para peserta didik sulit merumuskan suatu pertanyaan sederhana

untuk didiskusikan?”, “Mengapa pula jawaban-jawaban yang diberikan sering kali tidak sesuai

bahkan tidak menyentuh inti pertanyaan?”, “Mengapa sebagian peserta didik hanya

mengumpulkan kertas kosong pada saat terjadi post test?”, “mengapa sebagian peserta didik

tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana sebagai bentuk review terhadap pemahaman yang

sudah diperoleh sebelumnya?”, “Mengapa peserta didik sulit untuk melakukan komunikasi

formal dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar?”.

Rentetan pertanyaan yang sudah terpendam sekian tahun seakan mendapatkan

jawabannya manakala berbagai upaya pemecahan masalah harus dilakukan. Perlu diketahui

bahwa langkah-langkah pemecahan masalah telah dilakukan secara individu selama tiga tahun

terakhir, khususnya selama mengabdi sebagai guru pengampuh mata pelajaran Seni Budaya dan

mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di SMPK St. Isidorus Besikama.

Melalui beberapa metode pendekatan yang digunakan, misalnya melakukan test lisan, test

tertulis, pertanggungjawaban hasil diskusi kelompok, pemeriksaan buku catatan peserta didik

dan pengenalan kata melalui tindakan membaca teks pada siswa kelas VIIA, VII B dan VII E

ditemukan bahwa ketidakmampun peserta didik untuk memahami materi pembelajaran lebih

didasarkan pada ketidakmahiran peserta didik dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik

dan benar.

Ketidakmahiran berbahasa justru menjadi faktor pemicu yang menyebabkan peserta didik

sulit beradaptasi dengan materi pembelajaran yang tersaji dengan menggunakan Bahasa

Indonesia, sehingga peserta didik menjadi takut dalam berkomunikasi secara formal, sulitnya

peserta didik untuk mempertanggungjawabkan tugas kelompoknya secara lisan di depan teman-
teman, serta sulitnya mencatat materi pembelajaran yang diberikan. Situasi demikian seakan

menjadi suatu situasi yang tidak gampang untuk dibenahi, sebab berdasarkan pengamatan

ternyata sebagian besar peserta didik masih berkutat dengan penggunaan Bahasa daerah sebagai

Bahasa komunikasi yang intens, pola pendidikan dalam keluarga yang lebih didominasi oleh

penggunaan Bahasa daerah. Ironisnya, pola pendidikan ini justru terjadi sejak anak sedang dalam

tahap perkembangan bahasanya yang sesuai dengan aturan tata bahasa yang baku. Padahal,

dalam psikologi pendidikan, yang membahas perkembangan bahasa anak dikatakan bahwa pada

usia empat tahun para peserta didik sudah memiliki ribuan kosa kata dan mereka dapat membuat

kalimat yang sesuai dengan tata Bahasa. Menegaskan hal ini, hasil penelitian psikolinguistik,

yang mempelajari proses anak-anak menciptakan tata bahasa sendiri dan kemudian

mengubahnya menuruti aturan tata bahasa baku. Lalu, mengapa para peserta didik di SMPK St.

Isidorus Besikama, yang sudah berusia lebih dari empat tahun masih sulit memahami materi

pembelajaran? Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa faktor utamanya adalah pada usia

perkembangannya, peserta didik lebih banyak diberondong dengan bahasa daerah daripada

bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Inilah persoalan yang hendaknya diselesaikan terlebih

dahulu sebelum masuk pada perubahan metode dan sistem pendidikan yang berkualitas.

Sehubungan dengan ini, meminjam konsepnya Ki Hadjar Dewantara, tentang

“Mendirikan Balai Bahasa Indonesia”, penulis mencoba menawarkan program “Latihan

Kehamiran Berbahasa Indonesia” sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan

kurangpahamnya peserta didik terhadap materi pembelajaran. Sebelum menggodok hal

kemahiran berbahasa Indonesia, baiklah kita melihat terlebih dahulu konsep mengenai bahasa itu

sendiri.
Tentang konsep Bahasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005, hal. 75, menulis

bahwa Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter (manasuka), yang dipergunakan

oleh para anggota suatu masyarakat untuk berinteraksi, mengidentifikasikan diri dan sebagainya

dalam seluruh aspek hidupnya bersama dengan orang lain. Secara lebih mendetail, Prof. Dr.

Gorys Keraf, dalam bukunya Komposisi (2004; hlm. 2-4), mendefinisikan bahasa sebagai suatu

sistem komunikasi yang mempergunakan symbol-simbol vocal (bunyi ujaran) yang bersifat

arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Dalam hal ini, Bahasa

berfungsi sebagai alat komunikasi, alat untuk mengekspresikan diri, alat untuk berintegrasi dan

adaptasi sosial, serta alat untuk mengadakan kontrol sosial. Perlu diketahui bahwa bahasa

berpengaruh besar bagi setiap orang dalam segala prosesnya.

Sedangkan kemahiran berbahasa itu sendiri berarti pemakaian bahasa secara baik untuk

kepentingan setiap individu dalam masyarakat dan untuk kebaikan umat manusia itu sendiri.

Inilah tujuan utama yang harus dicapai dalam kemahiran berbahasa sehingga dapat menghasilkan

kesanggupan-kesanggupan lainnya, seperti: kesanggupan untuk mengenal diri secara mendalam,

kesanggupan untuk mengenal orang lain, kesanggupan mengamati dunia sekitar kita dengan

lebih cermat, serta kesanggupan mengembangkan suatu proses berpikir yang jelas dan teratur.

Semua kesanggupan ini terkristalisasi dalam kalimat “kemahiran berbahasa Indonesia secara

baik dan benar dapat menyanggupkan peserta didik untuk mampu berbicara dan menulis serta

terdorong untuk terlibat secara aktif dalam segala bentuk proses sosialisasi yang dihadapinya”.

Dengan demikian, dapat dikatakan dengan kemahiran berbahasa Indonesia secara baik dan benar

memungkinkan peserta didik dapat memahami materi pembelajaran secara tuntas.

Proses untuk menjadi pribadi yang mahir berbahasa Indonesia secara baik dan benar

harusnya berlangsung secara intensif, berkesinambungan, melalui wadah-wadah yang perlu


disediakan, seperti: sanggar bahasa, kebiasaan untuk memberikan kesempatan kepada peserta

didik membacakan teks pembelajaran yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan oleh

pendidik atau peserta didik lainnya, penyediaan panggung bagi siswa guna mengasah

kemampuan berbahasanya, serta kesediaan pendidik untuk menjelaskan materi pembelajaran

secara menarik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana. Bila program ini

dilaksanakan secara continue, maka bukan tidak mungkin pelan tapi pasti harapan pendidik

terhadap para peserta didiknya akan tercapai.

Anda mungkin juga menyukai