Anda di halaman 1dari 2

Samuel Krisna Surya Hanggara (6122001036)

Eksegese: PL Sejarah
Ujian Akhir Semester
1. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tanah memang memiliki peran yang cukup sentral
dalam relasi antara Allah dengan manusia. Bahkan, janji keselamatan Allah kepada bangsa
Israel yang disampaikan melalui Musa yang memiliki bentuk tanah. Hal ini menunjukkan
bahwa tanah di dalam Perjanjian Lama bukan hanya soal urusan biasa saja, melainkan
memiliki dimensi yang kudus juga. Melihat kenyataan semacam ini, tanah dapat dikatakan
memiliki dua dimensi, yaitu horizontal dan vertikal.
Sifatnya yang vertikal pun tidak hanya bermakna satu saja, melainkan memiliki dua
makna yang penting. Unsur yang pertama tentu saja erat kaitannya dengan relasi manusia
dengan Allah. Lalu, unsur lainnya yang tidak kalah penting dalam sifat vertikal ini adalah
unsur keturunan dari generasi ke generasi. Ada beberapa teks Kitab Suci yang nantinya
dapat membantu memahami dua makna dari sifat vertikal tanah di dalam Perjanjian Lama.
Makna pertama dari unsur vertikal yang dimiliki tanah menggambarkan bagaimana relasi
Allah dengan manusia. Penjelasan Musa di dalam kisah mengenai anak-anak perempuan
Zelafehad (Bil 36:1-12) menunjukkan bahwa tanah adalah milik pusaka para bangsa yang
diberikan oleh Allah dengan cara membuang undi. Cara yang dilakukan dalam membagi-
bagi tanah pusaka ini memperlihatkan bahwa Allah benar-benar terlibat dalam pembagian
tanah terjanji kepada bangsa Israel. Keterlibatan Allah inilah yang menjadi alasan penting
untuk menjaga tanah yang sudah dipercayakan kepada setiap bangsa dan jangan sampai
beralih kepada bangsa-bangsa yang lain. Bahkan, menurut tradisi, tanah sebenarnya adalah
milik eksklusif Allah. Namun, karena Allah berkenan menyelamatkan manusia, maka Ia
memberikan tanah tersebut kepada bangsa Israel agar dapat hidup dan selamat.
Dalam kisah ini, Musa menjelaskan bagaimana caranya mempertahankan tanah
pemberian dari Allah apabila anak yang dimiliki oleh satu keluarga perempuan semua.
Caranya adalah anak perempuan tersebut menikah dengan orang yang satu kaum atau suku
dengan ayahnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan mempertahankan tanah yang telah
diberikan Allah kepada setiap suku. Dengan begitu, relasi antara Allah dengan manusia
dapat terus terjalin secara baik.
Cara yang diajarkan Musa untuk mempertahankan tanah terjanji secara tidak langsung
menunjukkan juga makna kedua yang tidak kalah penting dari unsur vertikal ini, yakni
warisan tanah dari generasi ke generasi. Tanah menjadi penting dari generasi ke generasi
karena tanah melambangkan adanya kehidupan sekaligus juga kesejahteraan. Dengan
adanya tanah, seseorang dapat tinggal dan juga hidup secara lebih sejahtera. Tidak hanya
itu, keberadaan tanah di dalam suatu suku juga menunjukkan bahwa keturunan dari suatu
suku akan terus berlanjut. Hal ini dapat terlihat dalam kisah Rut yang menikah dengan
Boas agar keturunan Naomi dapat terus berlansung (bdk. Rut 4:9-17).
Masih berkaitan dengan keturunan. bangsa Yahudi meyakini bahwa arwah leluhur
mereka terus mengamati proses menjaga tanah milik suatu suku. Mereka percaya bahwa
arwah leluhur tetap tinggal di tanah miliki pusaka suatu bangsa. Hal ini membuat banyak
orang-orang Israel yang mencari petunjuk untuk menjaga tanah pusaka tersebut (bdk. Yes
8:19). Namun, hal ini agak sedikit kontroversial juga karena di teks yang lain ada larangan
untuk tidak meminta petunjuk kepada orang-orang yang sudah mati (bdk. Ul 18:10-11).
Walaupun begitu, fenomena semacam ini sudah semakin menunjukkan bahwa bangsa
Israel menganggap tanah memiliki sifat vertikal dan tentu saja horizontal.
2. Ezra adalah tokoh yang memiliki peran penting dalam menjaga iman bangsa Israel yang
diperkenankan kembali ke Yerusalem dari pembuangan oleh Koresh, Raja Persia (bdk Ezr
1:1-4). Larangan untuk melakukan perkawinan campur adalah salah satu cara yang
digaungkan oleh Ezra agar iman bangsa Israel dapat menjadi semakin lebih baik dari
sebelumnya. Larangan ini muncul karena Ezra melihat bahwa hukum taurat melarang
bangsa Israel untuk melakukan perkawinan campur (bdk. Ul 7:1-6). Sebab, ada
kemungkinan apabila seseorang melakukan kawin campur, orang tersebut mengikuti cara
ibadat pasangannya dan pada akhirnya tidak setia pada Allah yang telah
menyelamatkannya (Kel 34:11-16; Ul 7:1-6). Ketegasan Ezra tentu bukan tanpa alasan.
Ezra menggaungkan hal ini karena ia merasa menegakkan hukum taurat dan berupaya agar
pengalaman pembuangan tidak terulang kembali. Sebab bagi Ezra, pembuangan bangsa
Israel dapat terjadi karena bangsa Israel menyembah allah yang lain. Ezra sangat keras
dalam fenomena perkawinan campur ini dan Ia menganggap orang-orang yang melalukan
perkawinan campur sebagai umat yang tidak setia (bdk. Ezr 10:10). Konsekuensi dari
larangan ini adalah para suami yang melakukan perkawinan campur diminta untuk
memerintakan istri dan anak-anaknya pergi dari Yerusalem (bdk. Ezr 10:40). Ezra, sekali
lagi, berusaha untuk menjaga iman bangsa Israel yang baru saja kembali dari pembuangan.
Alasan Ezra untuk melarang perkawinan campur untuk menjaga iman bangsa Israel
memang baik, tetapi rasa-rasanya terlalu berlebihan. Ezra sepertinya terlalu
menggenarilasasi fenomena perkawinan campur ini. Perkawinan campur memang
membuka kemungkinan terbangunnya niat untuk mengikuti cara beribadat pasangan
asingnya. Namun, bukan berarti semuanya melakukan hal yang sama semacam itu. Pasti
ada saja orang-orang yang tetap setia melakukan ibadatnya kepada Allah tanpa terganggu
pasangannya yang dianggap asing itu. Artinya, masalah utama dari fenomena perkawinan
campur ini sebenarnya terletak di dalam kekuataan dan ketaatan iman setiap orang. Jika
iman seseorang sudah kuat, perkawinan campur tidak menjadi masalah bagi
perkembangan imannya. Bahkan, bukan tidak mungkin, pasangannya menjadi tergerak
untuk mengikuti iman yang benar. Sebaliknya, jika iman seseorang belum kuat, ada
kemungkinan orang tersebut tidak taat dan tidak setia kepada Allah meskipun memiliki
pasangan yang seiman. Dengan begitu, masalah yang pertama dan utama sebenarnya
terletak di dalam iman masing-masing orang, bukan perkawinan campurnya. Walaupun
begitu, sikap Ezra tentu baik apabila dikaitkan dengan konteks saat itu. Tujuannya sangat
jelas, yaitu supaya umat Israel tidak jatuh kembali ke dalam dosa.

Anda mungkin juga menyukai